Anda di halaman 1dari 6

Pemberdayaan Masyarakat dalam

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut


Terpadu
 Post authorBy admin
 Post dateNovember 23, 2021
 No Commentson Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Laut Terpadu
Berdasarkan data dari Badan Informasi Geospasial, Indonesia merupakan negeri
dengan garis pantai sepanjang 108.000 km dan ini merupakan garis pantai
terpanjang kedua di dunia (setelah Kanada). Luas perairan laut Indonesia juga
mencapai 6,4 juta kilometer persegi, yang berarti kurang lebih 70% dari wilayah
Indonesia adalah perairan. Bahkan, Indonesia juga memiliki predikat sebagai
negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau sebanyak 17.504. Dari
sederet fakta ini tidak dipungkiri bahwa Indonesia memiliki potensi pesisir dan laut
yang sangat besar, baik potensi sumber daya hayati maupun sumber daya non
hayati. Potensi ini tentu wajib untuk diberdayakan seoptimal mungkin untuk
kesejahteraan rakyat.

Banyak pendapat para ahli baik di dunia yang telah mengemukakan definisi dan
batasan wilayah pesisir. Menurut Soegiarto (1976), wilayah pesisir adalah daerah
pertemuan antara darat dan laut, meliputi bagian daratan baik yang kering maupun
terendam air, yang masih dipengaruhi laut seperti pasang-surut air laut; dan bagian
laut yang masih terpengaruh proses-proses alami di darat (seperti sedimentasi)
maupun akibat aktivitas manusia di darat seperti pencemaran. Departemen
Kelautan dan Perikanan dalam Undang-Undang mendefinisikan wilayah pesisir
sebagai daerah peralihan antara Ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh
perubahan di darat dan laut.

Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabwo memaparkan bahwa potensi sumber
daya perikanan dan kelautan Indonesia sangat melimpah, namun belum
termanfaatkan secara maksimal, yaitu baru dimanfaatkan sebesar 10%. Padahal
potensi sumber daya pesisir dan laut yang dapat dimanfaatkan meliputi potensi
perikanan baik tangkap maupun budidaya, terumbu karang, hutan mangrove,
pertambangan, sumber daya energi dan mineral kelautan, perhubungan laut, wisata
bahari, dll.

Disisi lain, wilayah pesisir dan laut juga menyimpan segudang permasalahan yang


berasal dari aktivitas manusia. Mulai dari pencemaran industri di laut, konflik
kepentingan antar pemanfaatan laut, pemanfaatan sumber daya yang berlebihan
(overexploitation), dan kerusakan terumbu karang. Paradigma pembangunan yang
banyak berorientasi ke darat dan lemahnya komitmen kelembagaan untuk
memanfaatkan potensi sumber daya pesisir dan laut juga menjadi problem.
Ditambah, kehidupan masyarakat pesisir juga sangat menonjol dengan kemiskinan.
Nelayan menjadi masyarakat yang terpinggirkan, baik secara ekonomi, sosial,
bahkan politik. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020,
penduduk miskin di Indonesia mencapai 24,79 juta jiwa dan 60,23% diantaranya
adalah masyarakat yang hidup di Kawasan pedesaan dan pesisir. Oleh karena itu,
perlu adanya upaya pengelolaan pesisir dan laut yang melibatkan berbagai pihak
sehingga potensi sumber daya pesisir dan laut dapat dimanfaatkan untuk
kesejahteraan rakyat.
Konsep pengelolaan wilayah pesisir dan laut (integrated coastal management) juga
menjadi topik di dunia internasional yang tertuang dalam United Nation
Conference on Environment and Development (UNCED) di Rio de Janeiro pada
tahun 1992. Didalam Agenda 21 Chapter 17 yang merupakan hasil dari UNCED,
terdapat integrated coastal management sebagai rencana kerja abad 21. Agenda 21
Chapter 17 menuangkan salah satu program utama yaitu integrated management
and sustainable development of coastal areas, including exclusive economic
zones sebagai upaya mengelola wilayah pesisir dan laut. Indonesia sebagai negara
yang memiliki wilayah pesisir dan laut yang luas, tentu menjadikan arahan
internasional ini menjadi fokus utama.
Pemerintah Indonesia melalui Departemen Kelautan dan Perikanan juga telah
menerbitkan payung hukum pertama mengenai pengelolaan pesisir dan laut, yaitu
Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 10 Tahun 2003 tentang
Panduan Perencanaan Pengelolaan Pesisir Secara Terpadu, yang memiliki target
untuk 1) mengintegrasi perencanaan pengelolaan pesisir dari seluruh pihak, 2)
memformulakan kebijakan pengelolaan wilayah pesisir dan laut serta prioritas
pemanfaatannya, serta 3) tersusunnya dokumen pengelolaan wilayah pesisir dan
laut secara terpadu. Didalam Surat Keputusan tersebut juga menyebutkan hierarki
perencanaan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu, yaitu: 1) Rencana
Strategis (Strategic Plan), Rencana Pemintakatan/ Zonasi (Zoning Plan), Rencana
Pengelolaan (Management Plan), dan Rencana Aksi (Action Plan).
Dalam perkembangannya, untuk memperinci pembagian tugas dan penerapannya,
pengelolaan wilayah pesisir juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun
2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang kemudian
diperbarui lagi dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil.

Pengelolaan wilayah pesisir terpadu adalah upaya secara terprogram, dinamis, dan
terus menerus dalam membuat keputusan terkait pemanfaatan, pembangunan dan
perlindungan wilayah dan sumber daya pesisir dan lautan sehingga terjadi
optimalisasi dan harmonisasi berbagai kepentingan dalam mencapai pembangunan
wilayah pesisir secara berkelanjutan. Prinsip-prinsip dasar pengelolaan pesisir
terpadu adalah: 1) keterpaduan, 2) desentralisasi pengelolaan, 3) pembangunan
berkelanjutan, 4) keterbukaan dan peran serta masyarakat, dan 5) kepastian hukum.
Terpadu yang dimaksud mengandung dimensi-dimensi berikut, yaitu keterpaduan
wilayah, sektor, dan bidang ilmu,. Keterpaduan wilayah memiliki arti bahwa
adanya integrasi antara wilayah daratan secara administrative dan laut karena
keduanya saling berdampak. Keterpaduan sektoral adalah mewujudkan koordinasi
tugas, wewenang, dan tanggung jawab antar sektor atau instansi pemerintah.
Keterpaduan bidang ilmu adalah dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut
dilaksanakan atas dasar pendekatan berbagai jenis keilmuan, meliputi: teknik,
ekonomi, ekologi, sosiologi, hukum, kelautan, tata ruang, dan lainnya yang
relevan. Selain ketiga hal tersebut, penting juga memperhatikan keterpaduan
ekologis yaitu dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut selain berusaha
meningkatkan pembangunan ekonomi, namun tetap mengedepankan ekologis
lingkungan. Dalam prosesnya, pengelolaan wilayah pesisir dan laut terdiri dari 3
tahap utama: perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian maka
keterpaduan tersebut perlu untuk diterapkan sejak tahap perencanaan sampai
pengendalian.

Bagaimanapun, adanya peraturan dan dokumen perencanaan merupakan upaya


serius pemerintah dalam mengelola wilayah pesisir dan laut secara terpadu.
Namun, keberhasilan dari upaya ini tentu wajib didukung oleh berbagai pihak,
tidak hanya dari pemerintah, namun juga dari masyarakat. Masyarakat pesisir yang
menjadi subjek dari perencanaan dapat diberdayakan secara optimal sebagai bagian
dari upaya pengelolaan wilayah pesisir dan laut.

Pemberdayaan masyarakat adalah proses meningkatkan, mengembangkan,


memandirikan, menswadayakan, memperkuat posisi tawar menawar masyarakat
lapisan bawah terhadap kemampuan di segala bidang kehidupan. Pemberdayaan
yang dimaknai disini adalah menempatkan masyarakat sebagai subjek (partisipan
yang bertindak) yang berbuat secara mandiri. Mandiri berarti terbukanya ruang
untuk mengembangkan potensi dan kreasi, mengontrol lingkungan dan sumber
daya sendiri, dan menyelesaikan masalah sendiri.

Menurut Sumodiningrat  (2000), tiga sasaran pokok pemberdayaan masyarakat


adalah 1) meningkatkan pendapat masyarakat dan mengurangi jumlah penduduk
yang berada di bawah garis kemiskinan, 2) meningkatnya kapasitas masyarakat
sehingga semakin produktif pada aspek sosial-ekonomi, dan 3) meningkatnya
kemampuan masyarakat dalam bidang kapasitas kelembagaan.

Dalam pemberdayaan masyarakat, penting untuk memperhatikan karakteristik


masyarakat, kondisi geografis, ciri khas yang mungkin berbeda dengan masyarakat
lainnya, dan kebutuhan masyarakat dengan mempertimbangkan kondisi sosial,
ekonomi, budaya dan lingkungan. Berdasarkan pengamatan karakteristiknya,
nelayan terkategori masyarakat rentan karena pekerjaan mereka: 1) dipengaruhi
oleh cuaca dan alam, 2) harga dan daya tahan ikan dipengaruhi oleh kondisi fisik
tangkapan. Oleh karena itu, penting untuk meningkatkan kemampuan dan
kapasitas nelayan sehingga semakin produktif dan berperan dalam pengelolaan
wilayah pesisir dan laut.

Peran serta masyarakat pesisir dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut meliputi
tahap perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan. Berdasarkan Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan No. 40 Tahun 2014 tentang Peran Serta dan
Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil, Kementerian dan Pemerintah Daerah wajib untuk memberdayakan
masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya, dengan melalui:

Pertama, peningkatan kapasitas. Peningkatan kapasitas dapat berupa


penyelenggaraan Pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan. Pendidikan dapat berupa
pemberian beasiswa untuk Pendidikan dan juga pemberian sosialisasi mengenai
pengelolaan wilayah pesisir dan laut (meliputi perencanaan, konservasi, mitigasi
bencana, rehabilitasi, reklamasi, kewirausahaan, pemanfaatan sumber daya pesisir
dan pulau-pulau kecil dan penggunaan teknologi ramah lingkungan). Pelatihan
dapat mengenai kewirausahaan, dan pelatihan mengenai pengelolaan wilayah
pesisir dan laut. Penyuluhan dapat berupa pembentukan kelompok usaha,
pendampingan proses produksi sampa pemasaran, pendampingan analisis
kelayakan usaha, pendampingan kemitraan dengan pelaku usaha, dan pemberian
materi tentang pengelolaan wilayah pesisir dan laut

Kedua, pemberian akses teknologi dan informasi, dengan melalui penyebarluasan


ilmu pengetahuan dan teknologi ramah lingkungan, penyediaan sarana dan
prasarana ramah lingkungan, dan pengembangan jejaring usaha dan sistem
komunikasi. Informasi yang diberikan berupa sarana produksi, harga komoditas,
prakiraan iklim, Pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan, akses pasar, dan peluang
kemitraan.

Ketiga, permodalan, dengan melalui penyediaan skim kredit dengan bunga ringan,
pemberian subsidi bunga kredit program dan/atau imbalam jasa penjaminan, dan
pemanfaatan dana tanggung jawab sosial serta dana program kemitraan dan bina
lingkungan.

Keempat, infrastruktur, berupa penyediaan prasarana usaha.

Kelima, jaminan pasar, berupa fasilitasi akses pemasaran, fasilitasi sarana


pemasaran, mengembangkan Kerjasama/ kemitraan, mengembangkan sistem
pemasaran, dan menyediakan informasi pasar.

Berikut adalah proyek Pembangunan Masyarakat Pesisir dan Pengelolaan Sumber


Daya Perikanan (Coastal Community Development and Fisheries Resource
Management – COFISH) yang pernah dilakukan sebagai upaya Pemberdayaan
Masyarakat di wilayah pesisir dan laut. Proyek ini dijalankan pada tahun 1998
hingga 2004 dengan Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap sebagai instansi
penyelenggaranya. Tujuan utama dari proyek COFISH ini ada 4, yaitu pengelolaan
sumberdaya perikanan pesisir, pembangunan masyarakat dan pengurangan
kemiskinan, perbaikan lingkungan pusat pendaratan ikan, dan penguatan
kelembagaan. Proyek ini dilaksanakan di 4 provinsi di 5 kabupaten/kota, yaitu
Kabupaten Bengkalis di Provinsi Riau, Kota Tegal di Provinsi Jawa Tengah,
Kabupaten Trenggalek di Provinsi Jawa Timur, Kabupaten Banyuwangi di
Provinsi Jawa Timur, dan Kabupaten Lombok Timur di Provinsi NTB. Berikut
adalah capaian proyek per komponen:
Pertama, Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pesisir, yang bertujuan untuk
mengelola pemanfaatan sumberdaya perikanan pesisir secara berkelanjutan melalui
partisipasi masyarakat. Kegiatannya berupa perencanaan sumber daya perikanan
berdasarkan kesepakatan masyarakat, penetapan wilayah perlindungan laut dan
suaka perikanan, rehabilitasi habitat ikan (hutan bakau dan terumbu karang),
pembangunan terumbu buatan, tebar benih, pengurangan penangkapan ikan yang
tidak sesuai dengan syarat lingkungan, pengurangan penangkapan ikan di area
padat tangkap ikan.

Kedua, Pembangunan Masyarakat dan Pengentasan Kemiskinan, yang bertujuan


untuk meningkatkan kesejahteraan dan pendapatan. kegiatannya berupa
pengorganisasian masyarakat dan persiapan sosial, penerapan kegiatan ekonomi,
perbaikan prasarana seperti jalan ke desa nelayan, pembangunan balai pertemuan
nelayan, air bersih dan pos Kesehatan. Selain itu, juga dilakukan pelatihan
pengolahan ikan dan rumput laut, dan penerapan keramba jaring apung.

Ketiga, Peningkatan Kondisi Lingkungan Pendaratan Ikan, yang bertujuan untuk :


meningkatkan sanitasi dan lingkungan, meningkatkan kualitas dan harga ikan,
mengurangi kerusakan ikan. Aktivitasnya berupa pembangunan Pusat Pendaratan
Ikan di Tegalsari, Tegal dan Prigi, serta rehabilitasi PPI Labuan, dll.

Keempat, Penguatan Kelembagaan, baik di pusat, provinsi, kabupaten, maupun


LSM, perguruan tinggi, dan masyarakat. Penguatan Kelembagaan dilakukan
dengan pelatihan dan pemberian alat-alat pada lokasi yang membutuhkan.

Realisasi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut Terpadu dengan melibatkan


pemberdayaan masyarakat diatas jelas menunjukkan upaya serius pemerintah
dalam mengelola wilayah pesisir dan laut. Walaupun dalam prakteknya masih
perlu adanya peningkatan dan pengembangan, namun kolaborasi pemangku
kepentingan dan masyarakat merupakan upaya penerapan perencanaan bottom-
up yang patut untuk dipertahankan. Dengan adanya pemberdayaan, mampu
meningkatkan kemampuan dan kreativitas masyarakat pesisir yang kerap tertinggal
karena minimnya akses terhadap Pendidikan/kapasitas, teknologi, permodalan,
infrastruktur dan jaminan pasar. Terlebih lagi, dalam penyusunan tata ruang laut
yang termasuk dalam Rencana Zonasi (Zoning Plan) sangat penting melibatkan
masyarakat pesisir sehingga dalam penerapannya mampu mengakomodasi
kepentingan masyarakat pesisir, seperti area tangkap ikan, area budidaya, dsb.
Sehingga pendapatan masyarakat pesisir semakin meningkat dan predikat the
poorest of the poor yang dipegang oleh nelayan mampu dilepaskan.

Anda mungkin juga menyukai