Anda di halaman 1dari 188

Bagian Kesatu

HAK PENGUSAHAAN PERAIRAN PESISIR:


TINJAUAN ASPEK EKONOMI, LINGKUNGAN, DAN SOSIAL*

Lukman Adam, S.Pi., M.Si.**

*
Penelitian yang dilakukan pada tahun 2012.
**
Peneliti bidang Ekonomi dan Kebijakan Publik di Pusat Pengkajian dan Pengolahan Data
dan Pelayanan Informasi Setjen DPRRI.
BAB I
PENDAHULUAN

Perairan pesisir merupakan wilayah transisi antara daratan dan lautan.


Di dalamnya terdapat ekosistem mangrove, terumbu karang, padang lamun,
dan ikan. Karakteristik sumber daya manusia yang terlibat di dalamnya sangat
beragam, terdapat penduduk asli atau pendatang, berpenghidupan dengan
mengeksploitasi sumber daya alam atau jasa lingkungan, relatif sejahtera atau
masih tertinggal.
Perairan pesisir sangat tergantung pada lingkungan, baik di hulu maupun
hilir. Kerusakan dalam salah satu wilayah akan menyebabkan ketidakstabilan
lingkungan, dan menyebabkan masyarakat yang bergantung hidup pada sumber
daya alam dan lingkungan menjadi terganggu. Saat ini, kondisi sumber daya
alam di wilayah pesisir sudah sangat memprihatinkan, karena ketergantungan
yang tinggi pada sumber daya alam. Jumlah desa pesisir mencapai 10.666 desa,1
dari jumlah keseluruhan desa di Indonesia mencapai 66.650 desa.2
Kesejahteraan wilayah pesisir dapat ditinjau dari cara-caranya dalam
memanfaatkan sumber daya alam. Ketika suatu daerah telah menjadi suatu
daerah pertambangan, maka hanya sebagian masyarakat yang memanfaatkannya,
bahkan sangat jarang masyarakat lokal yang memperoleh manfaat.
Ditinjau dari dua aspek tersebut, yaitu: potensi wilayah pesisir, dan pilihan
untuk melakukan eksploitasi atau konservasi, maka kajian dalam tulisan ini
dilakukan di dua kabupaten yang mempunyai potensi pesisir sangat besar
dan memanfaatkan sumber daya pesisir melalui eksploitasi yang bertanggung
jawab. Kedua kabupaten tersebut adalah Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi
Tenggara dan Kabupaten Alor, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Kabupaten Wakatobi merupakan salah satu kabupaten yang 97 persen
wilayahnya merupakan lautan dan sisanya adalah daratan. Wilayah Wakatobi
termasuk dalam zona Wallacea yang dikenal kaya keanekaragaman hayati,


1
Disampaikan oleh Halim (2011) dalam Focus Group Discussion “Tantangan Indonesia
sebagai Negara Kepulauan di Era Globalisasi”, yang diselenggarakan oleh Pusat Pengkajian
Pengolahan Data dan Informasi, Sekretariat Jenderal DPR RI. 3 Agustus 2011. Jakarta.

2
Kementerian Dalam Negeri, 2009.

3
Hak Pengusahaan Perairan Pesisir: Tinjauan Aspek Ekonomi, Lingkungan, dan Sosial

baik di laut maupun di darat3. Salah satu keunikan Wakatobi adalah seluruh
wilayahnya merupakan wilayah Taman Nasional Laut Wakatobi.4
Sedangkan Provinsi NTT dengan dukungan The Nature Conservation tengah
menyiapkan kajian dan perancangan guna penetapan Perairan Laut Sawu sebagai
Taman Nasional. Kajian dan perancangan sudah dilakukan sejak tahun 2009.
Taman nasional ini meliputi Provinsi NTT, 10 kabupaten, dan 178 desa dengan
luas wilayah mencapai 3,5 juta hektar.5 Didalamnya juga termasuk 4 dari 5 pulau
terdepan, dan termasuk Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Alor dengan
luas cadangan mencapai 400.008 hektar.6
Dalam kaitannya dengan wilayah pesisir, maka pengelolaannya terkait
dengan sumber daya pesisir dan masyarakat yang hidup di wilayah tersebut.
Ketika terjadi korelasi antara subjek yang memanfaatkan dan sumber
daya yang ada, maka terjadi interaksi ekonomi. Undang-Undang Nomor
27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
menyebutkan bahwa pengusahaan perairan pesisir adalah bagian-bagian
tertentu dari perairan pesisir untuk kegiatan pemanfaatan sumber daya
pesisir yang mencakup atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan
permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu.
Legislasi yang mengatur mengenai pengelolaan wilayah pesisir di
Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Di dalamnya termuat mengenai hak
pengusahaan perairan pesisir. Pada tahun 2011, Mahkamah Konstitusi
menyatakan bahwa hak pengusahaan perairan pesisir bertentangan dengan
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hak ini dikhawatirkan akan
mengakibatkan wilayah perairan pesisir dikuasai oleh pemodal besar, sehingga
nelayan tradisional yang telah menggantungkan kehidupannya pada sumber
daya pesisir akan tersingkir.
Menurut Mahkamah Konstitusi, pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil dilakukan dengan tujuan untuk: (i) melindungi, mengonservasi,
merehabilitasi, memanfaatkan, dan memperkaya sumber daya pesisir dan pulau-
pulau kecil serta sistem ekologisnya secara berkelanjutan, (ii) menciptakan
keharmonisan dan sinergi antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah dalam
pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil, serta (iii) memperkuat
peran serta masyarakat dan lembaga pemerintah serta mendorong inisiatif

3
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi. 2011, hal 1.

4
Coral Reef Rehabilitation and Management Program (Coremap), Satker Dinas Kelautan
dan Perikanan Kabupaten Wakatobi, dan CV Wahana Bahari. 2009.

5
Hasil wawancara dengan Tim Pengkajian Penetapan dan Perancangan Pengelolaan Laut
Sawu, 22 Juli 2012.

6
Hasil wawancara dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Alor, 23 Juli 2012.

4
Lukman Adam, S.Pi., M.Si.

masyarakat dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil


agar tercapai keadilan, keseimbangan dan keberlanjutan. Menurut Mahkamah
Konstitusi, untuk menghindari pengalihan tanggung jawab penguasaan negara
atas pengelolaan perairan pesisir dan pulau-pulau kecil kepada pihak swasta,
maka negara dapat memberikan hak pengelolaan tersebut melalui mekanisme
perizinan. Pemberian izin kepada pihak swasta tersebut tidak dapat diartikan
mengurangi wewenang negara untuk membuat kebijakan (beleid), melakukan
pengaturan (regelendaad), melakukan pengurusan (bestuursdaad), melakukan
pengelolaan (beheersdaad), dan melakukan pengawasan (toezichthoudensdaad)
untuk tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Di samping itu, negara tetap
dimungkinkan menguasai dan mengawasi secara utuh seluruh pengelolaan
wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil. Melalui mekanisme perizinan,
pemberian hak pengelolaan kepada swasta tidak merupakan pemberian hak
kebendaan yang mengalihkan penguasaan negara secara penuh kepada swasta
dalam kurun waktu tertentu. Dengan demikian, wilayah perairan pesisir dan
pulau-pulai kecil tetap dapat dikelola secara terintegrasi dan membangun sinergi
berbagai perencanaan sektoral, mengatasi tumpang tindih pengelolaan, konflik
pemanfaatan dan kewenangan serta memberikan kepastian hukum.7
Atas dasar tersebut, maka kajian ini hendak mencari pengusahaan
perairan pesisir yang sesuai dengan karakteristik masyarakat pesisir Indonesia.
Tujuan dari kajian ini adalah menentukan pengelolaan wilayah pesisir yang
mengakomodasi kepentingan masyarakat pesisir, dengan memperhatikan
pemanfaatan secara ekonomi berkelanjutan dan penerimaan secara sosial,
sekaligus memberikan masukan bagi perubahan terhadap Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil.


7
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010, hal 164-165.

5
BAB II
KERANGKA PEMIKIRAN

Sumber daya pesisir memiliki potensi dan permasalahan. Dalam


kaitannya dengan aspek ekonomi, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007
tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil telah mengatur
dalam bentuk hak pengusahaan perairan pesisir. Dibatalkannya pasal
mengenai Hak Pengusahaan Perairan Pesisir merupakan masalah tersendiri,
mengingat undang-undang ini menjadi landasan bagi Peraturan Pemerintah
Nomor 62 Tahun 2010 tentang Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Terluar.
Selain itu, di beberapa daerah terdapat Peraturan Daerah yang merujuk pada
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil, seperti di Sulawesi sebanyak 16 Perda, Kalimantan
terdapat 7 Perda, Sumatera sebanyak 10 Perda, dan Jawa sebanyak 2 Perda.
Dalam pengusahaan perairan pesisir, terdapat beberapa aspek yang
perlu diperhatikan, yaitu aspek sosial, perikanan, jasa-jasa lingkungan, dan
keseimbangan lingkungan hidup. Keseimbangan aspek ekonomi, sosial dan
lingkungan hidup dalam proses pembangunan adalah prinsip yang senantiasa
harus menjadi dasar utama bagi seluruh stakeholder. Secara umum prinsip
pengelolaan sumber daya meliputi empat hal, yaitu (Suseno, 2007:123-126):
1. Prinsip kehati-hatian
Hal ini termasuk dalam Code of Conduct for Responsible Nature 1995,
yang menyebutkan negara harus memberlakukan pendekatan yang
bersifat kehati-hatian secara luas demi konservasi, pengelolaan, dan
pengusahaan sumber daya hayati guna melindungi dan mengawetkan
lingkungannya.
2. Prinsip Tanggung Jawab
Pengelolaan yang bertanggung jawab tidak memperbolehkan hasil
tangkapan melebihi jumlah potensi lestari yang boleh ditangkap.
3. Prinsip Keterpaduan
Keterpaduan antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dunia usaha
dan masyarakat dalam proses perencanaan, pelasanaan dan pengawasan
dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya.

7
Hak Pengusahaan Perairan Pesisir: Tinjauan Aspek Ekonomi, Lingkungan, dan Sosial

4. Prinsip Berkelanjutan
Konsep pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang
mengintegrasikan komponen ekologi, ekonomi dan sosial. Setiap
komponen itu saling berhubungan dalam satu sistem yang dipicu
kekuatan dan tujuan.

Fauzi (2010: 143-161) secara khusus menyebutkan bahwa pengelolaan


pengaturan atau regulasi merupakan proses evolusi yang cukup panjang.
Lima fase regulasi adalah: 1) fase hak pemilikan, monopoli, dan kedaulatan;
2) regulasi berbasis biologi; 3) pembatasan melalui lisensi; 4) regulasi
berbasis kuota; 5) hak pemilikan eksklusivitas. Selain itu, fase tersebut juga
ada regulasi dalam bentuk perizinan, kuota dan pajak. Instrumen kebijakan
dan regulasi tersebut tergolong dalam instrumen kebijakan rasionalisasi
yang berbasis pasar. Kebijakan tersebut lebih diarahkan pada pengendalian
pemanfaatan sumber daya dari sisi pelaku atau industri itu sendiri. Sedangkan
instrumen pengendalian yang diarahkan pada pengendalian stok berupa:
daerah perlindungan laut atau marine protected area, marine ranching,
restocking, dan kebijakan pengendalian pencemaran dan perlindungan
habitat. Selain itu, terdapat instrumen yang berbasis non-pasar yang juga
diarahkan pada pengendalian sumber daya melalui berbagai mekanisme
tanpa harus menggunakan mekanisme insentif dan disinsentif, seperti:
pengukuhan hak masyarakat tradisional, konsumsi selektif, community
awareness, ecolabelling, custodial management, dan livelihood approach.
Analisis dalam penulisan ini menggunakan proses hirarki analitis
dengan memerhatikan tiga atribut, yaitu atribut lingkungan, sosial dan
ekonomi. Ketiga atribut ini harus menjadi satu kesatuan dalam menganalisis
pengusahaan perairan pesisir. Mengingat aspek ekonomi merupakan
aspek penting dalam pemanfaatan perairan pesisir, dengan memerhatikan
penerimaan terhadap masyarakat sekitar, serta daya dukung lingkungan.
Aspek lingkungan sangat penting diperhatikan di wilayah pesisir, karena
pesisir rentan dengan kerusakan lingkungan. Wilayah pesisir sangat
tergantung terhadap keberadaan hutan mangrove dan terumbu karang.
Salah satu sumber daya alam tersebut hilang atau rusak akan menyebabkan
abrasi dan terganggunya kestabilan lingkungan pesisir, dan berdampak pada
kehidupan masyarakat. Kerangka pemikiran penulisan ini lebih lengkapnya
dapat dilihat pada Gambar 1.

8
Lukman Adam, S.Pi., M.Si.

Gambar 1. Kerangka Pemikiran dalam Hak Pengusahaan Perairan Pesisir

9
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan


data primer dan data sekunder. Data primer bersumber dari wawancara
dengan stakeholder terkait, seperti Dinas Kelautan dan Perikanan, Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah, Badan Lingkungan Hidup Daerah, WWF
Indonesia, Tim Pengkajian Penetapan dan Perancangan Pengelolaan Laut
Sawu, Kepala Daerah, dan LSM lokal. Data sekunder bersumber dari hasil
laporan yang terkait dengan tujuan penulisan.
Dari kerangka pemikiran dan tujuan yang dirumuskan, maka tulisan ini
menggunakan proses hirarki analitis sebagai analisis data. Untuk penentuan
prioritas suatu kegiatan yang jumlahnya banyak, maka asumsi-asumsi yang
digunakan adalah sebagai berikut: 1) harus terdapat sedikit kemungkinan
tindakan, yakni: 1, 2, 3,..., n yang merupakan tindakan positif; 2) responden
diharapkan akan memberikan nilai dalam angka terbatas untuk memberikan
tingkat urutan (skala) pentingnya tujuan-tujuan; 3) skala yang digunakan
dapat bermacam-macam bentuknya, namun dalam kajian ini digunakan
metode skala angka Saaty mulai dari 1 yang menggambarkan antara satu
tujuan terhadap tujuan lainnya sama penting dan untuk tujuan yang sama
selalu bernilai satu, atau 9 yang menggambarkan satu tujuan ekstrim penting
terhadap tujuan lainnya. Tabel 1 disajikan skala angka Saaty beserta definisi
dan penjelasannya.
Tabel 1: Skala Angka Saaty
Intensitas/
Definisi Keterangan
Pentingnya
Dua aktivitas memberikan kontribusi
1 Sama penting
yang sama kepada tujuan
Perbedaan penting yang Pengalaman dan selera sedikit
3 lemah antara yang satu menyebabkan yang satu lebih disukai
terhadap yang lain daripada yang lain

11
Hak Pengusahaan Perairan Pesisir: Tinjauan Aspek Ekonomi, Lingkungan, dan Sosial

Pengalaman dan selera sangat


Sifat lebih pentingnya menyebabkan penilaian yang satu
5
kuat lebih dari yang lain, yang satu lebih
disukai dari yang lain
Aktivitas yang satu sangat disukai
Menunjukkan sifat dibandingkan dengan yang lain,
7
sangat penting dominasinya tampak dalam
kenyataan
Bukti antara yang satu lebih disukai
daripada yang lain menunjukkan
9 Ekstrim penting
kepastian tingkat tertinggi yang dapat
dicapai
Nilai tengah antara dua
2, 4, 6, 8 Diperlukan kesepakatan (kompromi)
penilaian
Jika aktivitas i,
dibandingkan dengan
j, mendapat nilai
Resiprokal bukan nol, maka j jika Asumsi yang masuk akal
dibandingkan dengan
i, mempunyai nilai
kebalikannya
Jika konsistensi perlu dipaksakan
Rasio yang timbul dari
Rasional dengan mendapatkan sebanyak n
skala
nilai angka untuk melengkapi matriks
Sumber: Saaty (1988)

12
BAB IV
POTENSI KABUPATEN WAKATOBI
DAN KABUPATEN ALOR

Potensi Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Alor ditinjau dari besaran


lapangan usaha yang memengaruhi PDRB. Data pada Tabel 2 dan Tabel 3
menunjukkan bahwa sektor pertanian sangat memengaruhi PDRB kedua
kabupaten tersebut. Sektor pertanian terdiri dari sub sektor tanaman
pangan, perikanan, peternakan, dan kehutanan. Di Kabupaten Wakatobi,
sektor yang memengaruhi PDRB selain sektor pertanian adalah sektor
perdagangan. Hal ini diindikasikan dari banyaknya jenis usaha perdagangan
yang berupa perdagangan produk elektronik dan alat rumah tangga yang
diimpor dari negara lain, seperti Singapura. Dari hasil wawancara dengan
Direktorat Polisi Air, Provinsi Sulawesi Tenggara, pelaku usaha dengan
modus seperti ini dilakukan oleh banyak pihak dan dapat dikategorikan
sebagai penyelundupan. Bahkan saat ini, Pemerintah Kabupaten Wakatobi
sedang menyiapkan peraturan daerah mengenai perdagangan barang-barang
hasil selundupan ini.8 Upaya yang dilakukan oleh sebagian pelaku usaha
perdagangan di Kabupaten Wakatobi merupakan tindakan pelanggaran
hukum, karena menyebabkan kerugian negara. Kerugian tersebut akibat
tidak adanya penerimaan pajak.
Tabel 2: PDRB Kabupaten Wakatobi Atas Dasar Harga Konstan
menurut Lapangan Usaha
Tahun
No. Lapangan Usaha
2008 2009
1. Pertanian 78,986.36 86,048.58
2. Pertambangan dan Penggalian 10,117.53 11,141.01
3. Industri Pengolahan 11,013.37 12,485.50
4. Listrik, Gas dan Air Minum 1,626.52 1,871.96
5. Bangunan/Konstruksi 12,757.76 15,984.37
6. Perdagangan 33,059.04 42,878.30


8
Hasil wawancara dengan Direktorat Polisi Air Provinsi Sulawesi Tenggara, 6 Juli 2012.

13
Hak Pengusahaan Perairan Pesisir: Tinjauan Aspek Ekonomi, Lingkungan, dan Sosial

7. Pengangkutan dan Komunikasi 6,205.72 7,516.41


8. Keuangan, Persewaan dan Jasa 18,446.91 19,339.0
9. Jasa-Jasa 43,818.36 47,934.87
PDRB 220,571.48 250,716.09
Satuan: Jutaan Rupiah
Tahun Dasar: 2000
Sumber: BPS Kabupaten Wakatobi (2011)

Seandainya penegakan hukum diberlakukan terhadap kegiatan ini,


akan menyebabkan terjadinya gangguan terhadap perekonomian daerah,
banyak pelaku usaha kecil yang terkena dampak dan dampak sosial lainnya.
Oleh karena itu, sosialisasi bahwa kegiatan perdagangan produk dari luar
negeri merupakan tindakan yang mengakibatkan kerugian negara harus
terus dilakukan. Apabila Pemerintah Kabupaten Wakatobi jadi menerbitkan
Peraturan Daerah, sangat besar kemungkinan peraturan daerah ini dibatalkan
oleh Kementerian Dalam Negeri karena bertentangan dengan undang-undang
mengenai pajak dan undang-undang mengenai hukum acara pidana.
Tabel 3: PDRB Kabupaten Alor Atas Dasar Harga Konstan
menurut Lapangan Usaha
Tahun
No. Lapangan Usaha
2009 2010 2011
1. Pertanian 150,018.17 153,879.85 155,912.83
2. Pertambangan dan Penggalian 5,288.38 5,557.44 5,776.30
3. Industri Pengolahan 7,682.30 7,912.97 7,956.29
4. Listrik, Gas dan Air Minum 1,748.69 1,884.80 2,027.25
5. Bangunan/Konstruksi 21,570.43 22,199.31 22,387.19
6. Perdagangan 65,144.57 69,942.10 76,558.19
7. Pengangkutan dan Komunikasi 24,312.62 25,209.02 26,223.60
8. Keuangan, Persewaan dan Jasa 17,522.14 18,674.44 19,655.32
9. Jasa-Jasa 115,943.67 123,866.12 134,320.70
PDRB 409,230.97 429,126.05 450,817.68
Satuan: Jutaan Rupiah
Tahun Dasar: 2000
Sumber: BPS Kabupaten Alor (2012)

Di Kabupaten Alor, sektor jasa juga berkontribusi terhadap PDRB, selain


sektor pertanian. Hal ini diindikasikan bahwa jasa lingkungan dan pariwisata
bahari sangat menunjang bagi kehidupan perekonomian di Kabupaten

14
Lukman Adam, S.Pi., M.Si.

Alor. Oleh karena itu, Kabupaten Alor yang memiliki potensi kelautan dan
perikanan sangat besar harus memerhatikan lingkungan sebagai pendukung
penting bagi keberlanjutan kedua sektor ini. Sektor pertanian dan jasa-jasa
sangat bergantung pada kualitas dan daya dukung lingkungan.
Dukungan anggaran bagi pembangunan daerah Kabupaten Wakatobi dan
Kabupaten Alor sangat ditentukan dari tiga sumber, yaitu pendapatan asli
daerah, dana perimbangan, dan pendapatan lain yang sah. Dari ketiga sumber
tersebut, komponen pendapatan terbesar berasal dari dana perimbangan.
Hal ini menunjukkan bahwa kedua kabupaten ini sangat tergantung pada
pemerintah pusat. Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4 dan
Tabel 5.
Tabel 4: Komponen Pendapatan Daerah Kabupaten Wakatobi
Tahun
No. Jenis Pendapatan
2009 2010
1. Pendapatan Asli Daerah 8,508,88 12,037,64
2. Pendapatan Transfer 335,065,58 338,298,80
a. Transfer Pemerintah Pusat-Perimbangan 274,282,54 266,611,91
b. Transfer Pemerintah Pusat-Lainnya 56,281,67 67,530,003
c. Transfer Pemerintah Provinsi 4,201,36 4,156,43
3. Lain-Lain Pendapatan yang sah 40,55 1,605,34
Pendapatan Hibah 0 0
Pendapatan Lainnya 40,55 1,605.34
Satuan: Juta Rupiah
Sumber: BPS Kabupaten Wakatobi (2011)

Tabel 5: Realisasi Pendapatan Kabupaten Alor


Menurut Jenis Pendapatan pada Tahun Anggaran 2008 dan 2010
Tahun
No. Jenis Pendapatan
2008 2010 2011
Sisa Lebih Perhitungan
1. 18,120,883 30,734,745 53,096,588,438
Anggaran Tahun Lalu
2. Pendapatan Asli Daerah 16,239,894 16,349,229 20,221,404
3. Dana Perimbangan 355,844,463 361,491,171 489,503,883
Bagi Hasil Pajak dan
a. 18,968,386 3,260,613 19,481,907
bukan pajak
Subsidi Daerah Otonom
b. 284,632,877 299,323,003 416,727,121
(DAU)

15
Hak Pengusahaan Perairan Pesisir: Tinjauan Aspek Ekonomi, Lingkungan, dan Sosial

Bantuan Pembangunan
c. 52,243,200 41,137,583 50,341,800
(DAK)
Bagi hasil pajak dan
d. bantuan keuangan dari 2,207,867 12,649,120 2,953,055
propinsi
Penerimaan lainnya yang
4. 9,632,273 2,468,550 -
sah
Total 399,837,513 396,218,684 509,725,287
Satuan: Ribuan Rupiah
Sumber: BPS Kabupaten Alor (2012 dan 2009)

Pendapatan asli daerah (PAD) Kabupaten Wakatobi lebih rendah daripada


Kabupaten Alor pada tahun 2010. Hal ini terjadi karena seluruh wilayah
Kabupaten Wakatobi merupakan bagian dari Taman Nasional Laut Wakatobi,
sehingga pemanfaatan terhadap bagian tertentu dari wilayah kabupaten ini harus
diperhatikan agar tidak mengganggu kelestarian terumbu karang. Bagi daerah
yang mempunyai ekosistem terumbu karang dengan keanekaragaman tinggi
dan mempunyai kawasan konservasi, seharusnya pemerintah memberikan
dana perimbangan memadai agar dapat membiayai kegiatan pembangunan
di daerahnya. Namun, pendapatan asli daerah juga bisa ditingkatkan melalui
pemungutan pajak dan retribusi daerah bagi wisatawan yang berkunjung atau
dari kegiatan penunjang pariwisata lainnya, seperti hotel dan restoran.
Kabupaten yang menjadi lokasi penelitian merupakan kabupaten yang
berada di daerah kepulauan. Karenanya potensi sumber daya pesisir yang
banyak dimanfaatkan oleh masyarakat setempat adalah produksi hasil
perikanan. Di Kabupaten Wakatobi, jenis ikan yang banyak diperoleh adalah
ikan tuna, ikan layang-layang, dan ikan kakap. Di Kabupaten Alor, ikan yang
banyak dimanfaatkan merupakan ikan laut. Lebih lengkapnya dapat dilihat
pada Tabel 6 dan Tabel 7.
 Tabel 6. Produksi Hasil Perikanan di Kabupaten Wakatobi
Tahun 2006-2010
Tahun
No. Komponen
2006 2007 2008 2009 2010
1. Ikan 7.324,7 7.071,8 6.953,2 8.437,1 8.925,2
Ikan tuna 822,1 821,1 797,1 830,1 875,1
Ikan layang 2.563 2.432 1.973 2.512 2.765
Kakap 275,2 264,5 198,5 272,5 298,5

16
Lukman Adam, S.Pi., M.Si.

Lain-lain 3.664,4 3.554,2 3.984,6 4.822,5 4.987


2. Rumput Laut 1.819,5 2.036,2 2.175,5 2.189,67 927,2
Satuan: Ton
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi (2011)
Tabel 7. Produksi Perikanan Menurut Sektor
di Kabupaten Alor
No. Sektor Jumlah
1. Perikanan Laut 18.891
2. Perikanan Darat
Perairan Umum 17.003
Tambak 8
Kolam 3,7
Total 35.894
Satuan: ton
Sumber: BPS Kabupaten Alor (2011)

Posisi geografis Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Alor yang berada di


wilayah perairan menyebabkan mayoritas penduduk bekerja dalam bidang
usaha pertanian. Pertanian yang dimaksud disini termasuk didalamnya
sektor perikanan. Oleh karena itu, pemanfaatan ekonomi wilayah pesisir
harus dilakukan dengan bijaksana agar tidak merusak lingkungan pesisir.
Lebih lengkapnya dapat dilihat pada Tabel 8 dan Tabel 9.
Tabel 8. Persentase Pekerja Menurut Lapangan Pekerjaan
di Kabupaten Wakatobi Tahun 2010
No. Lapangan Usaha Jumlah
1. Pertanian 55,91
2. Penggalian 1,01
3. Industri 3,74
4. Listrik dan Air 0,33
5. Konstruksi 3,62
6. Perdagangan dan Akomodasi 13,12
7. Transportasi dan Komunikasi 6,67
8. Keuangan dan Persewaan 0,23
9. Jasa Kemasyarakatan dan Sosial 15,37
Sumber: BPS Kabupaten Wakatobi (2011)

17
Hak Pengusahaan Perairan Pesisir: Tinjauan Aspek Ekonomi, Lingkungan, dan Sosial

Tabel 9. Penduduk Berumur 15 Tahun ke atas yang Bekerja


Menurut Lapangan Pekerjaan di Kabupaten Alor
Tahun 2010
No. Lapangan Usaha Jumlah
1. Tenaga Profesional 4.577
2. Tenaga Kepemimpinan 964
3. Pejabat Pelaksana 4.128
4. Tenaga Usaha Penjualan 7.386
5. Tenaga Usaha Jasa 1.493
6. Tenaga Usaha Pertanian 53.902
7. Tenaga Produksi, Angkutan, Pekerja Kasar 13.638
8. Lainnya 156
Sumber: BPS Kabupaten Alor (2011)

18
BAB V
PERMASALAHAN EKONOMI DAN SOLUSINYA

Bentang alam Kabupaten Wakatobi menyediakan keragaman potensi


sumber daya perikanan yang dapat dimanfaatkan melalui kegiatan
penangkapan ikan dan usaha budidaya, yang semuanya telah memberikan
kontribusi nyata dalam pembangunan daerah sampai saat ini.9 Sedangkan
Kabupaten Alor termasuk dalam salah satu diantara 92 pulau-pulau kecil
terluar di Indonesia yang termasuk dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78
Tahun 2005 dan memiliki 15 pulau, diantaranya 9 pulau berpenghuni.10 Potensi
yang dimiliki di Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Alor menyebabkan
banyak permasalahan yang dihadapi. Permasalahan ekonomi yang dihadapi
terkait dengan pemanfaatan sumber daya alam pesisir di Kabupaten Wakatobi
dan Kabupaten Alor, yaitu:
1. Masih adanya eksploitasi sumber daya alam yang merusak, seperti
penambangan pasir laut, penggunaan batu karang, penangkapan ikan
menggunakan bahan peledak, dan penangkapan terhadap jenis ikan
yang dilarang. Di Kabupaten Wakatobi, jenis ikan Napoleon (Cheilinus
undulatus) termasuk dalam jenis ikan yang dilindungi, namun banyak
ditangkap, baik oleh masyarakat setempat maupun pendatang. Harga
ikan napoleon di Kabupaten Wakatobi mencapai Rp 600 ribu/kilogram,
sedangkan apabila dijual di Hongkong mencapai Rp 2 juta/kilogram. Ikan
napoleon hanya bisa diperoleh dengan cara menggunakan obat bius, dan
tidak menggunakan alat pancing. Ikan napoleon bersimbiosis dengan
terumbu karang, bentuknya adalah ikan napoleon memakan bintang
laut yang menempel di terumbu karang.11 Di Indonesia, pengaturan
mengenai ikan napoleon dilakukan melalui Keputusan Menteri Pertanian
Nomor 375 Tahun 1995 tentang Larangan Penangkapan Ikan Napoleon
Wrasse dan Keputusan Direktur Jenderal Perikanan Nomor 330 Tahun


9
Coral Reef Rehabilitation and Management Program (Coremap), Satker Dinas Kelautan
dan Perikanan Kabupaten Wakatobi, dan CV Wahana Bahari. 2009, hal 2.
10
Bahan tertulis dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Alor Tahun 2012.
11
Hasil wawancara dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi, 3 Juli 2012.

19
Hak Pengusahaan Perairan Pesisir: Tinjauan Aspek Ekonomi, Lingkungan, dan Sosial

1995 tentang Ukuran, Lokasi, dan Tata Cara Penangkapan Ikan Napoleon
Wrasse. Pengaturan mengenai ikan napoleon sudah tidak sesuai lagi
dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, dan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Ikan napoleon termasuk dalam daftar merah International Union
for Conservation of Nature (IUCN) pada tahun 2004 dan appendix II
Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora
and Fauna (CITES) pada tahun 2005, karena keberadaannya menurun
drastis.
Sedangkan di Kabupaten Alor pengambilan pasir laut masih terjadi.12
Perdagangan terumbu karang dan penangkapan ikan menggunakan
bahan beracun alamiah masih sering dilakukan.13 Bahan beracun
alamiah ini berasal dari jenis tumbuh-tumbuhan yang banyak terdapat
di Pulau Alor. Penangkapan ikan menggunakan bahan peledak masih
banyak ditemukan.14 Nelayan yang menggunakan bom ikan banyak
berasal dari luar Wakatobi. Hasil penangkapan oleh aparat keamanan
menunjukkan bahwa nelayan yang menggunakan bom ikan berasal dari
Suku Bajo yang bertempat tinggal di sekitar Kendari.15 Penangkapan
ikan menggunakan bahan peledak juga masih ditemukan di perairan
Alor. Hasil dari ikan yang diperoleh akibat terkena peledakan bom
dikumpulkan oleh pengumpul lokal di provinsi dan penggunaan bahan
peledak hanya untuk jenis ikan konsumsi, sedangkan untuk ikan hias
menggunakan obat bius.16 Penangkapan ikan dengan menggunakan
cara-cara yang tidak ramah lingkungan bertentangan dengan Undang-
Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
2. Penurunan kuantitas dan kualitas sumber daya ikan.17 Telah terjadi
penangkapan ikan secara berlebihan, khususnya jenis ikan karang dalam
dua tahun terakhir. Jenis ikan yang banyak dicari adalah ikan kerapu dan
ikan kakap, khususnya dalam keadaan hidup.
Potensi sumber daya ikan di Kabupaten Alor mencapai 164.604 ton/
tahun, dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan mencapai 131.683
12
Hasil wawancara dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Alor, 23 Juli 2012.
13
Hasil wawancara dengan Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Alor, 24 Juli 2012.
14
Hasil wawancara dengan Bappeda Kabupaten Wakatobi, 4 Juli 2012.
15
Hasil wawancara dengan WWF, 4 Juli 2012.
16
Hasil wawancara dengan Tim Pengkajian Penetapan dan Perancangan Pengelolaan Laut
Sawu, 22 Juli 2012.
17
Hasil wawancara dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi, 3 Juli 2012.

20
Lukman Adam, S.Pi., M.Si.

ton/tahun, sedangkan tingkat pemanfaatan tahun 2011 mencapai


19.399 ton.18
Berdasarkan Laporan dari Komisi Nasional Pengkajian Sumberdaya Ikan
Tahun 2010, perairan sekitar Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Alor
termasuk dalam WPP-RI 714, dengan status overfishing hanya untuk ikan
tuna mata besar. Ikan demersal, pelagis kecil, madidihang, dan cumi-cumi
berada dalam status fully dan moderately fishing. Hal ini menunjukkan
bahwa pemanfaatan ikan tuna mata besar mesti dikendalikan, sehingga
mata pancing yang khusus menangkap jenis ikan ini dihindari, termasuk
pemberian perizinan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan setempat.
3. Kemiskinan masyarakat pesisir.19 Persentase penduduk miskin di
Kabupaten Wakatobi terus mengalami penurunan. Pada tahun 2011,
sejumlah 18,52 persen dengan garis kemiskinan mencapai Rp 191.496/
kapita/bulan. Persentase penduduk miskin tahun 2011 di Indonesia
mencapai 12,49% dan garis kemiskinan Indonesia tahun 2011 mencapai
Rp 230.000/kapita/bulan. Indeks kedalaman kemiskinan pada tahun
2010 mencapai 3,21 dan indeks keparahan kemiskinan mencapai 0,96.
Bandingkan dengan keadaan tahun 2006, dengan indeks kedalaman
kemiskinan yang mencapai 3,84 dan indeks keparahan kemiskinan yang
mencapai 0,87 (BPS Kabupaten Wakatobi, 2011).20 Jumlah rumah tangga
miskin di Kabupaten Alor pada tahun 2008 mencapai 26.670 orang, dengan
penduduk miskin terbanyak di Kecamatan Alor Barat Laut sejumlah 3.232
rumah tangga (BPS Kabupaten Alor, 2012).
4. Keberadaan Masyarakat Adat yang melakukan eksploitasi sumber daya
alam secara berlebihan.21 Pemanfaatan sumberdaya laut oleh masyarakat
adat di Kabupaten Wakatobi, yaitu Suku Bajo telah mengalami pergeseran
yang diindikasikan oleh: tidak berlakunya sistem buka tutup kawasan,
terjadi pemanfaatan jenis yang dilindungi dan penggunaan alat tangkap
yang bertentangan dengan peraturan pengelolaan taman nasional;
pembangunan perumahan yang menggunakan karang sebagai landasan
dan fondasi dasar rumah permanen; dan sebagian besar masyarakat
tidak lagi menggunakan peralatan peralatan tangkap tradisional.22
18
Dokumen tertulis dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Alor Tahun 2012.
19
Hasil wawancara dengan Bupati Wakatobi, 3 Juli 2012.
20
Penurunan nilai indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan mengindikasikan bahwa
rata-rata pengeluaran penduduk miskin cenderung semakin mendekati Garis Kemiskinan
dan ketimpangan pengeluaran juga semakin menyempit.
21
Hasil wawancara dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi, 3 Juli
2012.
22
Baharudin, S. 2011. Pergeseran Nilai Tradisional Suku Bajo dalam Perlindungan dan
Pemanfaatan Sumberdaya Laut Taman Nasional Wakatobi, hal 67.

21
Hak Pengusahaan Perairan Pesisir: Tinjauan Aspek Ekonomi, Lingkungan, dan Sosial

Suku Bajo merupakan suku yang biasa hidup di lautan dan bergantung
pada sumber daya perikanan. Tindakan sebagian masyarakat Suku Bajo
yang melakukan eksploitasi sumber daya perikanan dengan cara merusak
merupakan tindakan yang harus dihadapi dengan bijaksana. Sosialisasi
oleh pemerintah daerah harus terus dilakukan, termasuk didalamnya
adalah: eksploitasi sumber daya alam dengan cara yang bijaksana, pola
kehidupan yang sehat, dan pengembangan pendidikan lingkungan.
5. Menutup akses masyarakat setempat ke wilayah pesisir, seperti
terjadi di Wakatobi Dive Resort.23 Penyebab pengaturan mengenai hak
pengusahaan perairan pesisir dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun
2007 tentang Pengelolaan Wilayah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi
disebabkan memberikan kesempatan yang sama antara masyarakat
lokal dan pihak swasta untuk mengusahakan perairan pesisir. Mahkamah
mengkhawatirkan pihak swasta yang mendapatkan kesempatan akan
menutup akses masyarakat terhadap wilayah pesisir yang ada dalam
penguasaannya. Akses tersebut adalah akses terhadap pariwisata pesisir,
pemanfaatan sumber daya perikanan, dan melewati wilayah pantainya.
Kekhawatiran lain adalah pihak asing yang bekerjasama dengan swasta
lokal akan membuat masyarakat lokal menjadi terabaikan. Namun,
di beberapa daerah juga ditemui adanya pihak asing yang menyewa
daerah tertentu dan memberikan manfaat terhadap ekosistem pesisir.
Sebagai contoh, di Provinsi NTT, keberadaan orang asing yang menyewa
pulau telah membentuk kesadaran terhadap kawasan konservasi. Hal
ini terjadi di Pulau Kenawa, Kabupaten Manggarai Barat24.
Pemerintah semestinya memberikan perlakuan khusus antara masyarakat
lokal dan pihak swasta, mengingat terdapat ketidaksetaraan antara
masyarakat lokal dan swasta dari aspek permodalan dan jejaring sosial-
ekonomi. Pemerintah harus melakukan pemberdayaan dan pendampingan
kepada masyarakat agar membentuk kelompok, sehingga dapat mempunyai
posisi tawar apabila berhadapan dengan pihak swasta terhadap pemanfaatan
sumber daya yang sama di wilayah pesisir.
6. Belum ada perhatian dari pemerintah pusat terhadap kebijakan
konservasi di daerah. Kabupaten Alor yang telah menjadi Kawasan
Konservasi Laut Daerah dengan luas cadangan mencapai 400.008 hektar
tidak memperoleh dana dari tugas perbantuan Kementerian Kelautan

Hasil wawancara dengan Bappeda Kabupaten Wakatobi, 4 Juli 2012.


23

Hasil wawancara dengan Tim Pengkajian Penetapan dan Perancangan Pengelolaan Laut
24

Sawu, 22 Juli 2012.

22
Lukman Adam, S.Pi., M.Si.

dan Perikanan atau Kementerian Negara Lingkungan Hidup.25 Hal yang


sama juga terjadi di Kabupaten Wakatobi, padahal seluruh kabupaten
ini merupakan wilayah Taman Nasional Laut Wakatobi sehingga
pendapatan asli daerah sangat minim. Untuk mengatasi permasalahan
tersebut, maka solusi yang harus dilakukan adalah:
a. Penanganan lintas daerah. Wilayah pesisir tidak bisa dipisahkan
berdasarkan kewenangan pemerintah daerah. Dalam pengelolaan
wilayah pesisir, penanganan semestinya didasarkan pada kesamaan
ekosistem, geografis, dan karakteristik wilayah, termasuk karakteristik
sosial-budaya masyarakat, sehingga bisa dilakukan secara terpadu
dan terencana.
b. Regulasi di nasional dan daerah, contohnya adalah penerbitan
Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2007 tentang Penggunaan Alat
Tangkap yang Diperbolehkan dan Tidak Diperbolehkan.26 Peraturan
Daerah di Kabuptan Alor mengenai wilayah pesisir sudah ada, yaitu
Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2007 tentang Wilayah Pesisir.
Perda ini mengatur mengenai larangan menangkap ikan dengan
cara yang merusak, seperti menggunakan bahan peledak dan obat
bius. Namun, dalam Perda ini tidak ada sanksi yang dapat dikenakan
terhadap pelaku. Di Provinsi NTT terdapat Peraturan Gubernur
Nomor 38 Tahun 2010 tentang Terumbu Karang yang mengatur
mengenai upaya pelestarian terhadap terumbu karang.27 Peraturan
Daerah Nomor 14 Tahun 2006 yang mengawasi ketat eksploitasi
pasir laut juga telah dimiliki oleh kabupaten ini.28 Pemerintah Daerah
Kabupaten Alor mempunyai Peraturan Daerah Nomor 14 Tahun 2005
tentang Pengelolaan Sumber Daya Lingkungan Hidup Kawasan Pesisir
dan Laut yang berupaya menangani berbagai potensi pencemaran
dan perusakan wilayah pesisir.29 Masih ditemukannya pelanggaran
terhadap peraturan ini menunjukkan bahwa penegakan hukum
dan sosialisasi terhadap aturan ini masih sangat lemah. Mungkin
saja, eksploitasi terjadi karena masyarakat tidak memiliki pilihan
selain melakukan eksploitasi pasir laut. Karena itu, pemberdayaan
masyarakat agar masyarakat dapat melakukan mata pencaharian
25
Hasil wawancara dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Alor, 23 Juli 2012.
26
Hasil wawancara dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi, 3 Juli
2012.
27
Hasil wawancara dengan Tim Pengkajian Penetapan dan Perancangan Pengelolaan Laut
Sawu, 22 Juli 2012.
28
Hasil wawancara dengan Badan Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten Alor, 24 Juli 2012.
29
Bahan tertulis dari Badan Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten Alor Tahun 2012.

23
Hak Pengusahaan Perairan Pesisir: Tinjauan Aspek Ekonomi, Lingkungan, dan Sosial

alternatif harus dilakukan. Pemerintah daerah dapat memberikan


bantuan modal agar masyarakat melakukan alih pekerjaan, sekaligus
memberikan sanksi ketat bagi pelaku utama atau pemberi modal.
c. Mempersiapkan kelembagaan, aturan main, dan pedoman teknis.30
Kelembagaan yang mengatur mengenai pesisir harus lintas
daerah dengan mempertimbangkan kesamaan ekosistem dan
sosial budaya masyarakat. Pemerintah daerah dapat melakukan
pemberdayaan agar lembaga ini terbentuk. Pemberdayaan yang
dilakukan meliputi: pembuatan aturan main, norma dan pedoman
teknis. Termasuk didalamnya peningkatan kapasitas sumber daya
manusia. Kelembagaan yang dilakukan bisa berbentuk koperasi
atau kelompok masyarakat
d. Pemberian anggaran, berupa insentif fiskal.31 Dana Alokasi Khusus
(DAK) dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah didefinisikan sebagai
dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan
kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai
kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai
dengan prioritas nasional. Aturan pelaksana dari norma ini adalah
Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana
Perimbangan dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 209 Tahun
2011 tentang Pedoman Umum dan Alokasi DAK Tahun Anggaran
2012. Alokasi DAK dilakukan untuk membantu daerah mendanai
kebutuhan fisik sarana-prasarana dasar yang merupakan prioritas
nasional. Prioritas nasional ditentukan sebanyak 16 bidang, mulai
dari pendidikan sampai sarana-prasarana kawasan perbatasan.
Sampai tahun 2011, dari Laporan Bappenas (2011), sebaran DAK
yang mengucur ke wilayah Nusa Tenggara hanya mencapai 6,53
persen atau lebih rendah dibandingkan tahun 2008 yang mencapai
7,18 persen. Bagi Sulawesi, sebaran DAK yang diperoleh tahun 2011
mencapai 14,81 persen atau lebih rendah daripada tahun 2008
yang mencapai 17,41 persen. Faktor yang memengaruhi besaran
DAK didasarkan pada jumlah penduduk, luas wilayah (termasuk
didalamnya luas perairan), kemahalan konstruksi, PDRB per
kapita, dan indeks pembangunan manusia. Namun kategorisasinya
masih menimbulkan masalah. Seperti daerah pesisir atau daerah
30
Hasil wawancara dengan Armand, Koordinator Jaringan Pengembangan Kawasan Pesisir,
1 Juli 2012.
31
Hasil wawancara dengan Bupati Wakatobi, 3 Juli 2012.

24
kepulauan, bisa dipandang sebagai potensi, bisa juga sebagai isolasi
geografis. Pemerintah juga belum memberikan perhatian terhadap
daerah yang memberikan prioritas bagi upaya konservasi, seperti
Kabupaten Wakatobi yang keseluruhan wilayah merupakan taman
nasional, mestinya mendapatkan DAK lebih besar ditinjau dari
aspek lingkungan atau konservasi.
e. Dorongan agar tidak melakukan eksploitasi terhadap sumber
daya pesisir, seperti pasir laut. Sebagai contoh, saat ini sedang
disosialisasikan dengan pihak pemerintah daerah untuk
pembangunan gedung yang berasal dari APBN menggunakan pasir
dari luar Kabupaten Wakatobi.32 Penggunaan pasir laut dan karang
untuk pembangunan gedung, rumah, dan jalan menyebabkan
eksploitasi sumberdaya pesisir yang sangat besar. Akibatnya
kerugian lingkungan dalam jangka panjang yang ditimbulkan sangat
besar.

Hasil wawancara dengan WWF, 4 Juli 2012.


32

25
BAB VI
STRATEGI MENINGKATKAN KEHIDUPAN MASYARAKAT PESISIR

Pasal 10 dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan


Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menyebutkan bahwa rencana zonasi
wilayah pesisir dialokasikan dalam bentuk: kawasan pemanfaatan umum,
kawasan konservasi, kawasan strategis nasional tertentu, dan alur laut. Direktorat
Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan
Perikanan sedang melakukan perubahan terhadap hak pengusahaan perairan
pesisir menjadi izin pemanfaatan perairan pesisir.
Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil harus dilakukan secara
holistik. Tidak bisa dipisahkan antara pemanfaatan ekonomi semata, namun juga
harus ditinjau dari aspek lingkungan dan sosial. Eksploitasi sumber daya pesisir
tidak boleh dilakukan dengan cara merusak, dan harus mempertimbangkan
pemanfaatan secara berkelanjutan. Terumbu karang dan pasir laut tidak boleh
dimanfaatkan mengingat akan mengganggu keseimbangan ekologis terhadap
keseluruhan ekosistem pesisir. Nilai dan prioritas dari pengelolaan wilayah
pesisir secara terpadu menggunakan Proses Hirarki Analitis dapat dilihat pada
Tabel 10.
Tabel 10: Penentuan Pengelolaan Wilayah Pesisir
Menggunakan Proses Hirarki Analitis
Nilai
No. Tujuan Prioritas
(%)
1 Mengutamakan masyarakat lokal 81,1 P1
2 Penataan kelembagaan lokal 69,67 P2
Perubahan paradigma pembangunan daerah
3 55,53 P3
dengan berorientasi pada sumber daya kelautan
Sinkronisasi dengan peraturan perundang-
4 51,1 P4
undangan terkait

Strategi dalam pengusahaan perairan pesisir ditinjau dari aspek ekonomi


adalah:

27
Hak Pengusahaan Perairan Pesisir: Tinjauan Aspek Ekonomi, Lingkungan, dan Sosial

I. Keterpaduan Antara Aspek Lingkungan, Ekonomi, dan Sosial


Pengelolaan wilayah pesisir tidak hanya dilihat dari satu aspek saja,
namun juga harus dilihat dari keseluruhan aspek yang terkait, yaitu
aspek lingkungan, ekonomi dan sosial. Lingkungan pesisir sangat rentan
terhadap kerusakan iklim. Apabila satu sumber daya mengalami tekanan
akan menimbulkan gangguan terhadap sumber daya lain. Oleh karena itu,
pertumbuhan penduduk harus dikendalikan dan pemanfaatan sumber daya
mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan.
Wilayah pesisir memiliki potensi ekonomi yang sangat tinggi, karena kaya
akan sumber daya ikan, minyak bumi dan gas, pariwisata bahari, pelayaran,
serta bahan baku kosmetik. Menurut Rompas (2011), potensi ekonomi
wilayah pesisir mencapai 56 milyar US$ per tahun dilihat dari besarnya
potensi terumbu karang, hutan mangrove dan pasir laut di Indonesia.33
Belum termasuk diantaranya potensi perikanan, wisata bahari dan arus laut.
Namun, pemanfaatannya harus dilakukan dengan bijaksana. Pemanfaatan
oleh masyarakat lokal dan pendatang harus dikendalikan melalui sosialisasi
dan penegakan hukum yang tegas dan adil. Selain itu, pemanfaatan terhadap
sumber daya pesisir harus memperhatikan penerimaan dari masyarakat
lokal, dengan melakukan pemberdayaan masyarakat dan kajian terhadap
kehidupan sosial budaya masyarakat.

Gambar 2. Keterpaduan dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Disampaikan oleh Rompas (2011) dalam Focus Group Discussion “Tantangan Indonesia
33

sebagai Negara Kepulauan di Era Globalisasi”. Diselenggarakan oleh Pusat Pengkajian


Pengolahan Data dan Informasi, Sekretariat Jenderal DPR RI. 3 Agustus 2011. Jakarta.

28
Lukman Adam, S.Pi., M.Si.

II. Keberpihakan terhadap Masyarakat Lokal


Dibatalkannya hak pengusahaan perairan pesisir oleh Mahkamah
Konstitusi membuat terjadinya perubahan dalam pengusahaan/pemanfaatan
perairan pesisir. Kementerian Kelautan dan Perikanan saat ini memandang
bahwa hak pengusahaan perairan pesisir yang diberikan akan berbentuk
izin pemanfaatan perairan pesisir. Kementerian Kelautan dan Perikanan
beranggapan bahwa setiap pemanfaatan sumber daya di wilayah pesisir
harus melalui kementerian tersebut dalam bentuk izin lokasi.34 Hal ini
menimbulkan permasalahan perizinan yang ego-sektoral. Sektor energi dan
sumber daya mineral, pelayaran, dan pariwisata mempunyai kementerian
sendiri yang mengatur mengenai masing-masing sektor tersebut. Sedangkan
KKP beranggapan bahwa pemanfaatan terhadap wilayah pesisir melalui
perizinan yang diterbitkan oleh institusi mereka. Seharusnya apabila bersifat
lintas sektoral seperti ini pengaturannya berbentuk peraturan pemerintah,
dan hanya satu kementerian yang akan mengatur atau bisa juga diberikan
kewenangan kepada pemerintah daerah melalui satuan kerja perangkat daerah.
Izin pemanfaatan yang dibuat di banyak kementerian atau lembaga akan
kontraproduktif bagi iklim investasi dan akan membuat daya saing Indonesia
menjadi rendah. Oleh karena itu, kehendak dari KKP yang menginginkan
dikeluarkannya izin dari KKP terkait pemanfaatan wilayah pesisir harus
dicermati dan dibicarakan dengan seksama antar kementerian.
Pengusahaan/pemanfaatan wilayah pesisir kepada masyarakat lokal
yang sudah menetap cukup lama diberikan kepada masyarakat melalui
kelembagaan yang sudah ada, seperti koperasi atau kelompok nelayan.
Bentuk yang bisa diberikan dapat berupa hak atau izin, terpenting adalah
definisi yang diberikan harus selaras dengan undang-undang lain yang
terkait seperti Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria.
Dalam masyarakat pesisir pemanfaatan sumberdaya milik bersama
dibatasi dan dilandasi beberapa hak yang memberikan jaminan bagi
pemegangnya. Hak-hak tersebut adalah sebagai berikut :
a. Hak akses yaitu hak untuk masuk ke dalam sumberdaya yang
memiliki batas-batas fisik yang jelas.
b. Hak memanfaatkan yaitu hak untuk memanfaatkan sumberdaya
dengan cara-cara dan teknik produksi sesuai dengan ketetapan dan
peraturan yang berlaku.
http://www.bisnis.com/articles/izin-pemanfaatan-pesisir-berlaku-untuk-semua-
34

bidang-investasi diakses tanggal 31 Agustus 2012.

29
Hak Pengusahaan Perairan Pesisir: Tinjauan Aspek Ekonomi, Lingkungan, dan Sosial

c. Hak mengatur yaitu hak untuk mengatur pemanfaatan sumberdaya


serta meningkatkan kualitas dan kuantitas sumberdaya melalui upaya
pengkayaan stok ikan serta pemiliharaan dan perbaikan lingkungan.

Dalam pemanfaatannya harus dihindari hak sebagai berikut, yaitu:


d. Hak Eksklusif yaitu hak untuk menentukan siapa yang boleh memiliki
hak akses dan apakah hak akses tersebut dapat dialihkan kepada
orang lain, dan
e. Hak mengalihkan yaitu hak untuk menjual atau menyewakan
keempat hak tadi kepada orang lain

Dalam konteks legal, hak memiliki pengertian tentang milik, kepunyaan,


kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu karena telah ditentukan
dengan undang-undang, kekuasaan atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu,
derajat atau martabat. Padahal wilayah pesisir merupakan milik bersama
sehingga siapapun dapat memanfaatkannya. Karena itu, yang memegang hak
terhadap sumber daya pesisir adalah negara. Masyarakat atau pihak swasta
dapat memanfaatkan dengan melalui mekanisme yang ditetapkan oleh
pemerintah dan pemerintah daerah.
Sepertinya antara Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tidak melalui proses sinkronisasi sehingga terjadi
tumpang tindih pengaturan yang membuat pemerintah daerah mengalami
kesulitan dalam membuat peraturan pelaksana. Hal ini bisa dilihat dari
berurutannya kedua undang-undang ini terbit. Dalam Undang-Undang Nomor
26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang disebutkan mengenai perlunya dibuat
peraturan daerah mengenai tata ruang, demikian juga dengan Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil yang mengamanatkan pembuatan peraturan daerah mengenai rencana
zona wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Sehingga pemerintah daerah, wajib
membuat kedua perda ini. Hal ini menyebabkan mungkin terjadi tumpang tindih
antara zonasi wilayah pesisir dan daratan.

III. Penataan Kelembagaan Lokal


Kelembagaan lokal seperti koperasi dan kelompok masyarakat/nelayan
mesti terus diberdayakan dan ditingkatkan peranannya agar mampu
memberikan daya guna bagi kesejahteraan masyarakat pesisir. Lembaga
ini merupakan lembaga ekonomi yang disesuaikan dengan karakteristik
masyarakat lokal dan disesuaikan dengan kearifan lokal. Pemerintah daerah

30
Lukman Adam, S.Pi., M.Si.

melakukan penguatan melalui pendampingan pembuatan aturan main,


kemitraan serta pemberdayaan lain yang terkait dengan pemanfaatan
sumber daya pesisir.

IV. Perubahan Paradigma Pembangunan Daerah


Mayoritas wilayah di Indonesia terkait dengan pesisir dan pulau-pulau
kecil. Dengan luas lautan mencapai 2,5 kali luas daratan, memiliki garis pantai
sebesar 104 ribu km, dan jumlah pulau yang dimiliki adalah 17.504 pulau
(Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2011)35, maka sedikit sekali daerah
di Indonesia yang tidak terkait dengan pesisir. Oleh karena itu, seharusnya
pemerintah daerah mulai fokus pada pengembangan wilayah pesisir dalam
rencana pembangunan daerahnya.
Kabupaten Wakatobi dapat mengandalkan pengembangan jasa lingkungan,
sehingga menurut Bappeda, yang harus dipersiapkan adalah rencana tata ruang
dan grand strategy.36 Penetapan zonasi dalam bentuk daerah konservasi di
beberapa daerah mesti dilakukan agar terjadi keseimbangan lingkungan antara
zona pemanfaatan dan alur laut. Sebagai contoh, zona inti di Taman Nasional
Laut Wakatobi saat ini ditetapkan pada daerah yang: tidak ada penduduk,
banyak disinggahi burung migran, mempunyai hutan mangrove dengan
kerapatan sangat tinggi, dan mewakili ragam jenis terumbu karang.37 Demikian
juga di Provinsi Nusa Tenggara, dengan zona inti dari rencana Taman Nasional
Perairan Laut Sawu sebesar 0,2 persen dari luas perairan taman nasional. Zona
ini terdapat di Pulau Batek, Pulau Dana, dan Pulau Satu Tanjung.38

35
Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2011. Kelautan dan Perikanan dalam Angka 2011, hal 1.
36
Hasil wawancara dengan Bappeda Kabupaten Wakatobi, 4 Juli 2012.
37
Hasil wawancara dengan WWF, 4 Juli 2012.
38
Hasil wawancara dengan Tim Pengkajian Penetapan dan Perancangan Pengelolaan Laut
Sawu, 22 Juli 2012.

31
BAB VII
MASUKAN BAGI AMANDEMEN UU NO. 27 /2007

Hak pengusahaan perairan pesisir dalam Undang-Undang Nomor 27


Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil telah
dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Akibatnya semua aturan yang terkait
dengan hak pengusahaan perairan pesisir harus dilakukan perubahan.
Tabel 11 mengulas mengenai klasifikasi hak tersebut dan rekomendasi yang
diberikan.
Tabel 11: Klasifikasi Hak Pengusahaan Perairan Pesisir
dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007
tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
dan Usulan Perubahannya terkait dengan Pemanfaatan
Secara Ekonomi, Lingkungan dan Sosial
Klasifikasi Uraian Rekomendasi
Permukaan laut dan kolom air
Ruang
sampai dengan permukaan dasar Tetap
Lingkup
laut.
Kepentingan: kelestarian ekosistem
pesisir dan pulau-pulau kecil,
Dasar
masyarakat adat, dan kepentingan Tetap
pertimbangan
nasional, serta hak lintas damai bagi
kapal asing.
Orang perseorangan warga negara
Indonesia, Badan hukum yang
Subjek Tetap
didirikan berdasarkan hukum
Indonesia, atau masyarakat adat

33
Hak Pengusahaan Perairan Pesisir: Tinjauan Aspek Ekonomi, Lingkungan, dan Sosial

Klasifikasi Uraian Rekomendasi


Perlu dilakukan
sinkronisasi dengan
peraturan perundang-
undangan lain, seperti
Jangka waktu 20 tahun. Dapat diperpanjang
Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria.
Persyaratan Teknis, administratif dan operasional Tetap
Teknis: kesesuaian dengan rencana
Zona dan/atau Rencana Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,
hasil konsultasi publik sesuai dengan
besaran dan volume pemanfaatannya, Tetap
dan pertimbangan hasil pengujian dari
berbagai alternatif usulan atau kegiatan
yang berpotensi merusak Sumber Daya
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Administratif: penyediaan dokumen


Dokumen administratif
administratif, penyusunan rencana
yang diajukan harus
dan pelaksanaan pemanfaatan Sumber
dirinci bentuknya.
daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Terdapat persetujuan
sesuai dengan daya dukung ekosistem,
dari DPRD dan Kepala
pembuatan sistem pengawasan dan
Daerah, serta kajian
pelaporan hasilnya kepada pemberi
mengenai penerimaan
HP-3, dan dalam hal HP-3 berbatasan
masyarakat dan
langsung dengan garis pantai, pemohon
dampaknya.
wajib memiliki hak atas tanah
Operasional: memberdayakan
Masyarakat sekitar lokasi kegiatan,
mengakui, menghormati, dan
melindungi hak-hak Masyarakat
Adat dan/atau Masyarakat lokal,
memperhatikan hak Masyarakat untuk Tetap
mendapatkan akses ke sempadan
pantai dan muara sungai, dan
melakukan rehabilitasi sumber daya
yang mengalami kerusakan di lokasi
HP-3.

34
Lukman Adam, S.Pi., M.Si.

Klasifikasi Uraian Rekomendasi


Pemberian di Kawasan Konservasi,
Larangan suaka perikanan, alur pelayaran, Tetap
kawasan pelabuhan, dan pantai umum.

Hak pengusahaan perairan pesisir sebaiknya dirubah menjadi pemanfaatan


perairan pesisir, dan dalam pemanfaatannya dapat diberikan izin dengan
mengutamakan pemberian izin kepada masyarakat lokal yang bergabung dalam
bentuk kelompok masyarakat atau koperasi. Jangka waktu pemberian izin mesti
dilakukan sinkronisasi dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Izin pemanfaatan diberikan hanya
untuk hak guna usaha, tidak berbentuk hak guna bangunan. Dalam Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,
hak guna usaha diberikan untuk jangka waktu paling lama 25 tahun (Pasal
29 ayat 1). Patut dihindari pemikiran adanya perbedaan rezim antara daratan
dengan lautan, mengingat konteks pesisir sendiri merupakan wilayah peralihan
antara daratan dengan lautan. Namun, berapapun jangka waktu yang diberikan
sebenarnya tidak menjadi masalah, karena yang terpenting adalah pelaksanaan
terhadap aturan tersebut dan tidak terjadi perbedaan dengan aturan pelaksana
atau aturan di daerah.
Pemanfaatan perairan pesisir merupakan upaya menggunakan bagian-
bagian tertentu dari perairan pesisir untuk usaha ekonomi terhadap sumber
daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang mencakup atas permukaan laut dan
kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu.
Usaha ekonomi termasuk didalamnya untuk usaha pertambangan, minyak dan
gas, perhubungan, perikanan, pariwisata bahari, dan pemanfaatan lainnya.
Dalam perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang terpenting adalah
penegakan hukum terhadap pelanggaran yang dilakukan.
Izin pemanfaatan perairan pesisir yang diberikan oleh pemerintah
dikoordinasikan oleh kementerian koordinasi, bukan dari kementerian teknis
agar tidak terjadi ego-sektoral dalam proses perizinan agar memudahkan
penanaman modal.

35
BAB VIII
KESIMPULAN DAN SARAN

I. Kesimpulan
Dalam pengusahaan perairan pesisir yang perlu dilakukan adalah:
memadukan aspek lingkungan, ekonomi dan sosial. Harus dihindari pengelolaan
wilayah pesisir hanya dilihat dari satu aspek saja, namun juga ditinjau dari
keseluruhan aspek yang terkait, yaitu aspek lingkungan, ekonomi dan sosial.
Lingkungan pesisir sangat rentan terhadap kerusakan iklim. Apabila satu sumber
daya mengalami tekanan akan menimbulkan gangguan terhadap sumber daya
lain.
Dibatalkannya hak pengusahaan perairan pesisir oleh Mahkamah Konstitusi
membuat perlunya pengusahaan/pemanfaatan wilayah pesisir diberikan kepada
masyarakat lokal yang sudah menetap cukup lama melalui kelembagaan yang
sudah ada atau dibentuk baru, seperti koperasi atau kelompok nelayan. Koperasi
atau kelompok ini harus ditingkatkan keberadaannya melalui pemberdayaan
dan pendampingan.

II. Saran
Hak pengusahaan perairan pesisir sebaiknya dirubah menjadi pemanfaatan
perairan pesisir, dan dalam pemanfaatannya dapat diberikan izin dengan
mengutamakan pemberian izin kepada masyarakat lokal yang bergabung dalam
bentuk kelompok masyarakat atau koperasi. Patut dihindari pemikiran adanya
perbedaan rezim antara daratan dengan lautan, mengingat konteks pesisir
sendiri merupakan wilayah peralihan antara daratan dengan lautan. Namun,
berapapun jangka waktu yang diberikan sebenarnya tidak menjadi masalah,
karena yang terpenting adalah pelaksanaan terhadap aturan tersebut dan tidak
terjadi perbedaan dengan aturan pelaksana atau aturan di daerah.
Pemanfaatan perairan pesisir merupakan upaya menggunakan bagian-
bagian tertentu dari perairan pesisir untuk usaha ekonomi terhadap sumber
daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang mencakup atas permukaan laut dan
kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu.
Usaha ekonomi termasuk didalamnya untuk usaha pertambangan, minyak dan

37
Hak Pengusahaan Perairan Pesisir: Tinjauan Aspek Ekonomi, Lingkungan, dan Sosial

gas, perhubungan, perikanan, pariwisata bahari, dan pemanfaatan lainnya.


Dalam perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang terpenting adalah
penegakan hukum terhadap pelanggaran yang dilakukan.
Izin pemanfaatan perairan pesisir yang diberikan oleh pemerintah
dikoordinasikan oleh kementerian koordinasi, bukan dari kementerian teknis
agar tidak terjadi ego-sektoral dalam proses perizinan agar memudahkan
penanaman modal.

38
BIBLIOGRAFI

Buku
Badan Pusat Statistik Kabupaten Alor. 2012. Alor dalam Angka 2012. Badan
Pusat Statistik Kabupaten Alor. Kalabahi.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Wakatobi. 2011. Wakatobi dalam Angka


2011. Kerjasama Badan Pusat Statistik Kabupaten Wakatobi dengan
Badan Perencanaan Pembangunan, Penanaman Modal, Penelitian dan
Pengembangan Daerah Kabupaten Wakatobi. Wangi-Wangi.

Fauzi, A. 2010. Ekonomi Perikanan: Teori, Kebijakan, dan Pengelolaan.


Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2011. Kelautan dan Perikanan dalam


Angka 2011. Pusat Data Statistik dan Informasi Kementerian Kelautan
dan Perikanan. Jakarta.

Saaty, T.L. 1988. Decision Making for Leaders:The Analytical Hierarchy Process
for Decisions in a Complex World. RWS Publication, Pittsburgh.

Suseno. 2007. Menuju Perikanan Berkelanjutan. Cetakan Pertama. Penerbit


Pustaka Cidesindo. Jakarta.

Laporan
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), GIZ GmbH Good
Governance/Decentralisation Program, dan Provincial Governance
Strengthening Programme (PGSP). 2011. Analisis Perspektif, Permasalahan
dan Dampak Dana Alokasi Khusus (DAK): White Paper. November 2011.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), GIZ GmbH
Good Governance/Decentralisation Program, dan Provincial Governance
Strengthening Programme (PGSP). Jakarta.

39
Hak Pengusahaan Perairan Pesisir: Tinjauan Aspek Ekonomi, Lingkungan, dan Sosial

Coral Reef Rehabilitation and Management Program (Coremap), Satker Dinas


Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi, dan CV Wahana Bahari. 2009.
Laporan Akhir Penelitian Tingkat Kabupaten. Wakatobi. Sulawesi Tenggara.

Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi. 2011. Coral Reef


Rehabilitation and Management Program Phase II (Coremap II) Kabupaten
Wakatobi 2011. Wangi-Wangi. Kabupaten Wakatobi. Provinsi Sulawesi
Tenggara.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010.

Skripsi
Baharudin, S. 2011. Pergeseran Nilai Tradisional Suku Bajo dalam Perlindungan
dan Pemanfaatan Sumberdaya Laut Taman Nasional Wakatobi. Skripsi.
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Fakultas
Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Tidak Diterbitkan.

Wawancara
1. Wawancara dengan Armand, Koordinator Jaringan Pengembangan
Kawasan Pesisir, Kendari, Sulawesi Tenggara, 1 Juli 2012.

2. Wawancara dengan Badan Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten Alor,


Kalabahi, Alor, Nusa Tenggara Timur, 24 Juli 2012.

3. Wawancara dengan Bappeda Kabupaten Wakatobi, Wangi-Wangi,


Wakatobi, Sulawesi Tenggara, 4 Juli 2012.

4. Wawancara dengan Bupati Wakatobi, Wangi-Wangi, Sulawesi Tenggara,


3 Juli 2012.

5. Wawancara dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi,


Wangi-Wangi, Sulawesi Tenggara, 3 Juli 2012.

6. Wawancara dengan Direktorat Polisi Air Provinsi Sulawesi Tenggara, 6


Juli 2012.

7. Wawancara dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Alor,


Kalabahi, Alor, Nusa Tenggara Timur, 23 Juli 2012.

8. Wawancara dengan Tim Pengkajian Penetapan dan Perancangan


Pengelolaan Laut Sawu, Kalabahi, Alor, Nusa Tenggara Timur, 22 Juli 2012.

9. Wawancara dengan WWF, Wangi-Wangi, Sulawesi Tenggara, 4 Juli 2012.

40
Bagian Kedua
NILAI STRATEGIS CORAL TRIANGLE INITIATIVE
BAGI MASYARAKAT WILAYAH PESISIR
DAN PULAU-PULAU KECIL DI INDONESIA*

Lisbet Sihombing, S.Ip., M.Si.**

*
Penelitian yang dilakukan pada tahun 2012
**
Peneliti Pertama pada Pusat Pengkajian dan Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Hubungan
Internasional Sekretariat Jenderal DPR RI. Dapat dihubungi melalui lisbet.sihombing@dpr.go.id
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Wilayah segitiga terumbu karang (coral triangle) sering kali disebut
sebagai wilayah yang kaya akan keberagaman (mega diversity) sumberdaya
alam di laut. Wilayah coral triangle merupakan tempat ideal bagi berbagai
jenis ikan untuk bertelur dan membesarkan anaknya karena memiliki perairan
relatif hangat dengan arus kuat. Wilayah ini pun diperkuat dengan adanya
aneka ekosistem lain yang juga turut mendukung kekayaan alam di wilayah
tersebut seperti, mangrove dan lamun.
Terumbu karang terdapat banyak bahan-bahan kimia sehingga mempunyai
nilai ekonomi yang tinggi karena mempunyai potensi untuk obat-obatan (bioaktif)
dan untuk bahan kosmetik yang bermutu tinggi.1 Sebagai contoh, di perairan laut
banyak terdapat bakteri-bakteri yang menghasilkan eksopolisakarida (ESP),
yaitu suatu polimer karbohidrat yang dapat digunakan dalam industri kosmetika,
farmasi, pangan, dan bioremediasi, atau dipergunakan sebagai bahan plastik yang
ramah lingkungan. Dari berbagai potensi tersebut dapat diperkirakan bahwa nilai
keseluruhan pelayanan dan sumberdayanya sendiri mencapai setidaknya 61,9
miliar dollar AS per tahun.2
Terumbu karang juga sangat berperan penting dalam melindungi pantai
serta menyediakan pekerjaan bagi masyarakat pesisir. Sekitar 500 juta orang di
dunia menggantungkan nafkahnya pada terumbu karang, termasuk di dalamnya
30 juta yang bergantung secara total pada terumbu karang sebagai penghidupan.
Terumbu karang di Indonesia memberikan keuntungan pendapatan sebesar 1,6
miliar dollar AS per tahun. Tidak hanya itu saja, para ahli juga memperkirakan
terumbu karang yang sehat dapat menghasilkan 25 ton ikan per tahunnya.
Selain itu, objek wisata terumbu karang yang sehat dan bagus akan menarik
minat wisatawan untuk berkunjung dan diperkirakan sekitar 20 juta penyelam,
menyelam dan menikmati terumbu karang per tahun.3

1
Wawancara dengan Kepala Bagian Hidrologi Laut Institut Pertanian Bogor, Dietriech G Bengen
di Jakarta tanggal 16 November 2011.

2
“CTI-CFF Langkah Maju Pelestarian Terumbu Karang”, Business News, 8176/2-11-2011, hal 6-7.

3
Ibid.

43
Nilai Strategis Coral Triangle Initiative bagi Masyarakat Wilayah Pesisir

Sayangnya, keberagaman tersebut akan punah karena pola hidup


masyarakat pesisir. Pola hidup masyarakat pesisir yang merusak itu menyangkut
cara penangkapan ikan yang masih menggunakan bom, obat bius (potasium),
pukat harimau, serta adanya pembangunan pesisir yang destruktif. Sebagai
contoh, di Kota Kendari, Kabupaten Wakatobi maupun Kabupaten Alor,
masyarakat pesisir masih banyak yang membangun pondasi rumahnya dengan
mengambil karang-karang laut.4 Selain itu, masih banyak terdapat pelanggaran-
pelanggaran penangkapan ikan dengan dengan menggunakan cara-cara yang
destruktif seperti dengan menggunakan bom maupun obat bius (potasium)
padahal wilayah-wilayah tersebut merupakan wilayah-wilayah yang seharusnya
dilindungi (Taman Nasional).
Jumlah terumbu karang sehat yang ada di Indonesia, tapi lama kelamaan
justru semakin menurun. Kerusakan atau hilangnya ekosistem terumbu karang
memiliki dampak besar bagi perikanan dunia. Apabila terumbu karang di
daerah-daerah tersebut tidak dapat terkelola dengan baik maka tidak mungkin
selama beberapa tahun ke depan, jumlahnya akan terus meningkat. Sebesar
37.1 % terumbu karang di Indonesia berada pada status cukup. Jumlah ini
hanya sedikit melampaui jumlah terumbu karang yang memiliki status kurang
yakni sebesar 31.45%.
Sedangkan yang berada pada status baik hanya mencapai 25.89% bahkan
status sangat baik hanya sebesar 5.56%. Kondisi terumbu karang terparah
berada pada wilayah Indonesia bagian Timur yakni sebesar 40.69%.5 Lebih
lanjut, Sebesar tiga puluh % dari ekosistem terumbu karang ini telah rusak,
hanya sejumlah enam puluh % yang masih bisa pulih. Padahal, keberlanjutan
ekosistem itu mempengaruhi sekitar 120 juta masyarakat yang hidupnya
tergantung pada laut.6
Indonesia telah menjadi negara pengekspor biota laut terbesar. Komoditi
ekspornya yang terutama adalah karang hias yang menjadi elemen penting
dalam akuarium biota laut. Total ekspor karang Indonesia pada 2008 telah
mencapai 973.003 potong. Dari jumlah itu, hanya 29% atau 282.006 potong
yang berasal dari koral hasil cangkok. Sebanyak 690.937 potong masih
diambil langsung dari alam.
Kondisi itu perlu diwaspadai, karena pasar semakin sadar akan kelestarian
lingkungan. Bahkan, saat ini Filipina melakukan moratorium pengambilan

4
Wawancara dengan Koordinator program jaringan wilayah pesisir, di Kendari tanggal
1 Juli 2012 dan wawancara dengan Dirpolair Kendari, Wayan Pinatih dan jajarannya, di
Kendari tanggal 6 Juli 2012.

5
Marine and Fisheries in Figures Year 2010, hal 98.

6
“Terumbu Karang Sumber Ikan Dunia”, Kompas, 4 November 2011 hal 14.

44
Lisbeth Sihombing, S.IP., M.Si.

karang alam sambil mengembangkan proyek transplantasi karang. Sayangnya,


Indonesia masih beranggapan bahwa moratorium pengambilan karang ini tidak
perlu dilakukan di Indonesia.
Kendati demikian, Indonesia tetap memandang penting adanya komitmen
untuk mengembangkan transplantasi karang serta mendorong sertifikasi
ecolabelling untuk biota laut. Ecolabelling inilah yang nantinya akan memastikan
bahwa proses budi daya karang di alam ataupun transplantasi memenuhi standar
kelayakan lingkungan. Memang hal ini akan menambah biaya produksi bagi
produsen, tapi dalam jangka panjang, ecolabelling akan menjadi branding yang
membedakan karang asal Indonesia dengan produk negara lain apalagi dengan
kualitas karang yang bagus.7
Terumbu karang ditempati oleh 25% biota laut dunia, 350 spesies biota laut
dunia. Terumbu karang dan ekosistem lain yang terkait, seperti padang lamun,
rumput laut dan mangrove adalah ekosistem laut terkaya di dunia. Sekitar 0,7%
dari luas laut dunia atau sekitar 284,300 km2 adalah terumbu karang.8
Terumbu karang di Indonesia pada umumnya terletak disekeliling pulau-
pulau kecil karena tidak ada beban dari daratan yang dapat membebani
laut karena airnya tidak keruh dan tidak ada sedimen.9 Dengan kondisi yang
demikian, seharusnya kondisi terumbu karang ini masuk kedalam kategori
sangat baik. Namun, faktanya, status kondisi terumbu karang di Indonesia
pada tahun 2009 lebih banyak masuk ke dalam kategori cukup. Hal ini dapat
terlihat dengan jelas pada tabel di bawah ini.
Tabel 1: Status Kondisi Terumbu Karang di Indonesia Tahun 2009
Status (Dalam persentase)
Lokasi
Sangat Baik Baik Cukup Kurang Total Luas

Barat 444 5.86 27.48 34.01 32.66 100


Tengah 274 5.11 30.29 44.89 19.71 100
Timur 290 5.52 19.31 34.48 40.69 100
Indonesia 1008 5.56 25.89 37.1 31.45 100
Sumber: Marine and Fisheries in Figures Year 2010, hal 98.

Keterangan:
Sangat baik : 75 – 100 % tutupan karang hidup
Baik : 50 – 74 % tutupan karang hidup
7
“Hobi Yang Terus Tumbuh”, Koran Tempo, 28 Juli 2011, hal. A13.
8
“CTI-CFF Langkah Maju Pelestarian Terumbu Karang”, loc. cit.
9
Wawancara dengan Kepala Bagian Hidrologi Laut Institut Pertanian Bogor, Dietriech G
Bengen di Jakarta tanggal 16 November 2011.

45
Nilai Strategis Coral Triangle Initiative bagi Masyarakat Wilayah Pesisir

Cukup : 25 – 49 % tutupan karang hidup


Kurang : 0 – 24 % tutupan karang hidup

Sebagaimana yang terlihat pada tabel diatas, sebesar 37.1% terumbu


karang di Indonesia berada pada status cukup. Jumlah ini hanya sedikit
melampaui jumlah terumbu karang yang memiliki status kurang yakni sebesar
31.45%. Sedangkan yang berada pada status baik hanya mencapai 25.89%
bahkan status sangat baik hanya sebesar 5.56%. Dari tabel tersebut dapat
terlihat kondisi terumbu karang terparah berada pada wilayah Indonesia
bagian Timur yakni sebesar 40.69%. Apabila terumbu karang di daerah-
daerah tersebut tidak dapat terkelola dengan baik maka tidak mungkin
selama beberapa tahun ke depan, jumlahnya akan terus meningkat.

B. Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian


Terumbu karang yang seyogyanya memberikan banyak manfaat
tersebut saat ini telah berada dalam ancaman. Ancaman yang dimaksud
antara lain kegiatan penangkapan ikan secara destruktif, penangkapan ikan
secara berlebihan (overfishing), dan adanya perubahan iklim. Penangkapan
ikan secara destruktif atau dengan menggunakan bom dilansir merupakan
penyebab kerusakan yang utama. Kendati demikian, penangkapan ikan
secara berlebihan dengan jaring muro-ami dan penambangan karang untuk
kapur bangunan juga merupakan penyebab kerusakan karang.
Adanya perubahan iklim (climate change) global dan tekanan eksploitasi
pun telah menyudutkan ekosistem terumbu karang di tempat yang sangat
rentan. Salah satu dampak dari perubahan iklim terhadap kehidupan biota
laut adalah terjadinya pemutihan karang (bleaching). Pada tahun 1998 tercatat
antara 10-15% terumbu karang dunia mengalami kematian yang berdampak
lanjut hingga saat ini sekitar 15% dari karang dunia rusak setiap tahun.10 Oleh
karena itu, sebagai negara Maritim, Indonesia perlu memberikan perhatian
serius terhadap kerusakan terumbu karang sebagai dampak perubahan iklim.
Inisiatif Indonesia dalam mewujudkan kerja sama Regional Coral Triangle
Initiative (CTI) menunjukkan betapa besar perhatian dan peran Indonesia
dalam upaya meyelamatkan sumber daya pesisir dan laut di wilayah Indonesia
maupun wilayah pusat segitiga karang dunia tersebut. Inisitatif tersebut
juga merupakan upaya dalam melakukan langkah-langkah nyata dalam
menghadapi perubahan iklim yang sedang terjadi.11 Hal ini adalah wajar
10
Freddy Numberi, “Perubahan Iklim; Implikasinya terhadap Kehidupan di Laut, Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil”, (Jakarta: Fortuna Prima Makmur, 2009), hal 52.
11
Ibid, hal 117-125.

46
Lisbeth Sihombing, S.IP., M.Si.

mengingat Indonesia memiliki 14.000 jenis terumbu karang yang tersebar di


243 lokasi di seluruh kepulauan Nusantara dengan total luas mencapai lebih
dari 85.000km2.12
Namun, tindakan yang dilakukan oleh pemerintah sebagai bentuk respons
terhadap kondisi ini dianggap masih belum optimal. Sudah banyak terdapat
info ataupun pemberitaan mengenai keindahan alam laut Indonesia (terumbu
karang) baik di media elektronik maupun cetak. Bahkan, tidak jarang pula
diberitakan bahwa kondisinya (terumbu karang) saat ini telah semakin
memprihatinkan.
Di samping itu, manfaat dari keikutsertaan Indonesia di kerja sama CTI
belum dapat dirasakan oleh masyarakat Indonesia terutama masyarakat
pesisir. Sebagai contoh, Salah satu proyek CTI di Indonesia, Sulu Sulawesi
Marine Ekoregion (SS-ME) yang disepakati Indonesia, Malaysia dan Filipina
pada tanggal 13 Februari 2004. Pelaksanaannya, pengelolaan Laut Sulu
Sulawesi justru menempatkan nelayan dan masyarakat pesisir, dengan
kearifan lokal dan tradisi kebahagiaannya, sebagai pelengkap saja.13
Padahal, akan lebih baik apabila masyarakat pesisir juga dilibatkan dalam
proses pelestarian dan pengelolaan terumbu karang. Sebagai negara yang
memiliki wilayah terumbu karang terbesar di dunia, Pemerintah seyogyanya
mengajak masyarakat serta para pemangku kepentingan lainnya untuk
bersama-sama melestarikan keindahan alam terumbu karang tersebut.
Oleh karena itu, tulisan ini hendak meneliti tentang apa yang menjadi
nilai strategis CTI bagi masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
di Indonesia? Adapun pertanyaan penelitiannya adalah sebagai berikut:
1. Apakah yang dimaksud dengan Coral Triangle Initiative?
2. Apa nilai Strategis Coral Triangle Initiative bagi masyarakat di
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia?

C. Maksud dan Kegunaan Penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:
1. Apa yang dimaksud dengan Coral Triangle Initiative?
2. Apa nilai Strategis Coral Triangle Initiative bagi masyarakat di
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia?

12
Andy A. Zaelany dan Ary Wahyono, “Konflik Pengelolaan Konservasi Laut COREMAP dengan
Adat di Perairan Buton”, LIPI: Jurnal Masyarakat Indonesia Edisi XXXVI, No., 2, 2010, hal 158.
13
“Segitiga Terumbu Karang Dunia; Inisiatif Pengelolaan Belum Tampak”, Kompas, 31 Oktober
2011, hal 13.

47
Nilai Strategis Coral Triangle Initiative bagi Masyarakat Wilayah Pesisir

Selain itu, kegunaan dari penelitian ini ditujukan bagi parlemen RI yang
memiliki peranan penting untuk melakukan fungsi pengawasan terhadap
program-program pelestarian terumbu karang terutama yang menyangkut
dalam kerangka kerja sama Coral Triangle Initiative.

D. Kerangka Pemikiran
Penelitian ini menggunakan kerangka pemikiran kerja sama regional.
Menurut Andrew Hurrell, regionalisme dibedakan menjadi lima kategori14
yaitu pertama, regionalization. Regionalization merupakan perkembangan
suatu integrasi sosial dalam suatu kawasan yang secara tidak langsung
merupakan suatu proses interaksi sosial dan ekonomi. Kedua, kesadaran dan
identitas regional (regional awareness and identity), adalah suatu persepsi
bersama (shared perception) yang dimiliki oleh komunitas khusus yang
didasarkan oleh faktor-faktor internal, sering didefinisikan sebagai suatu
kesamaan budaya, sejarah maupun tradisi agama. Juga dapat didefinisikan
sebagai bentuk ancaman keamanan maupun tantangan budaya sebagai
pengaruh factor eksternalnya.
Ketiga, kerjasama antar negara dalam kawasan (regional interstate co-
operation) merupakan kerjasama yang dibentuk untuk beberapa tujuan tertentu
seperti upaya untuk menghadapi tantangan eksternal serta melakukan koordinasi
terhadap kondisi regional dalam lembaga-lembaga internasional maupun dalam
perundingan-perundingan internasional. Selain itu kerja sama regional akan
dapat meningkatkan stabilitas keamanan, pemahaman terhadap nilai-nilai
bersama serta mengatasi masalah-masalah bersama, terutama terhadap masalah-
masalah yang timbul akibat adanya peningkatan rasa saling tergantung antara
satu negara dengan negara lainnya dalam kawasan tersebut. Keempat, integrasi
regional yang dikembangkan oleh negara (state-promoted regional integration).
Adapun penekanan dari integrasi ini lebih kepada integrasi ekonomi regional.
Integrasi regional meliputi suatu pengambilan kebijakan khusus oleh pemerintah-
pemerintah suatu negara yang dibentuk untuk mengurangi adanya kendala-
kendala terhadap pergerakan barang, jasa, modal serta tenaga kerja.
Kelima, kohesi regional. Kohesi regional merupakan gabungan dari keempat
proses sebagaimana yang telah disebutkan diatas yang akan menciptakan
adanya suatu kepaduan (kohesi) serta konsolidasi suatu unit regional. Kohesi
dapat dipahami melalui dua pengertian, yakni pertama, ketika sutu kawasan
memainkan peranan penting bagi kawasan tersebut maupun terhadap kawasan

Teuku May Rudy SH, “Studi Strategis dalam Transformasi Sistem Internasional Pasca Perang
14

Dingin”, (Bandung: PT Refika Aditama, 2002), hal 84-85.

48
Lisbeth Sihombing, S.IP., M.Si.

lainnya dan kedua, yaitu ketika suatu kawasan membentuk suatu pengaturan
yang didasarkan atas suatu kebijakan yang mencakup suatu isu tertentu.
Kerja sama regional merujuk kepada adanya interdependensi antar
negara yang dikembangkan untuk memecahkan masalah bersama –dalam hal
ini menjaga kelestarian terumbu karang.15 Lebih lanjut, kerjasama regional
memiliki beragam bentuk mengacu pada isu-isu yang menjadi kesepakatan
bersama.16
Adapun tingkat-tingkat kerjasama regional dapat dibagi menjadi lima
jenis, yakni:17 Pertama, asosiasi. Asosiasi merupakan pertemuan negara-
negara untuk membahas suatu isu tertentu namun belum sampai pada
tingkat merumuskan aturan bersama. Kedua, koordinasi. Koordinasi adalah
pertemuan antar negara yang sudah terdapat kesepakatan dari masing-masing
negara untuk saling membantu dalam menangani isu-isu tertentu. Ketiga,
harmonisasi. Harmonisasi yaitu suatu tingkatan dimana masing-masing negara
saling melakukan adaptasi dan penyesuaian-penyesuaian terhadap kebijakan
luar negeri negara-negara lain namun belum sampai terdapat kesepakatan
menyangkut masalah kewenangan otoritas, norma-norma yang akan dipakai
bersama, apalagi mengenai struktur kerjasama. Keempat, integrasi yang sudah
mengarah pada pembentukan norma bersama serta terwujud dalam sebuah
organisasi regional yang diserahi semacam otoritas wewenang. Integrasi yang
bersifat sepenuhnya seperti Uni Eropa yang telah memiliki organ-organ yang
lengkap dan mengarah pada terbentuknya supranasional. Namun ada juga yang
bersifat sebagian seperti ASEAN yang hanya terintegrasi pada aspek-aspek
tertentu saja. CTI masuk ke dalam kategori jenis kerjasama yang terintegrasi
namun hanya sebagian.

15
Nuraeini S, Deasy Silvya, Arfin Sudirman, “Regionalisme; Dalam Studi Hubungan Internasional”,
(Yogyakarta; Putaka Pelajar, 2010), hal 9.
16
Ibid, hal 79.
17
Ibid, hal 82-85.

49
BAB II
METODOLOGI PENELITIAN

I. Tempat dan Waktu


Penelitian dilakukan di dua provinsi. Pertama adalah Provinsi Sulawesi
Tenggara pada tanggal 1 Juli 2012-7 Juli 2012. Di Sulawesi Tenggara, penelitian
dilakukan dengan pejabat-pejabat di Kendari dan Wakatobi. Di Kendari,
wawancara dilakukan ke Dinas Kementerian Kelautan dan Perikanan dan
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Propinsi Sulawesi tenggara. Selain
di Kendari, wawancara juga dilakukan di Kabupaten Wakatobi. Di Wakatobi,
wawancara dilakukan ke Bupati Wakatobi, LSM seperti World Wildlife Fund
(WWF), Dinas Kelautan dan Perikanan, Badan Lingkungan Hidup Daerah dan
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten. Selain itu, penelitian juga
dilakukan di Provinsi Nusa Tenggara Timur pada tanggal 22 Juli 2012-28 Juli
2012. Di Propinsi Nusa Tenggara Timur, penelitian dilakukan dengan pejabat-
pejabat di Kupang dan Kabupaten Alor. Di Kupang, wawancara dilakukan ke LSM
The Nature Conservancy (TNC) serta Tim Pengkajian Penetapan dan Perancangan
Pengelolaan Laut Sawu. Sedangkan di Kabupaten Alor, wawancara dilakukan di
Dinas Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Lingkungan Hidup Daerah,
Bupati dan pejabat dinas di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah.

II. Cara Pengumpulan Data


Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka dari berbagai media
cetak maupun elektronik, internet serta laporan-laporan mengenai kondisi
terumbu karang dan kegiatan-kegiatan Coral Triangle Initiative. Selain itu,
pengumpulan data juga dilakukan melalui forum discussion group dengan
nara sumber dari para pejabat Pemerintah seperti Kementerian Kelautan dan
Perikanan maupun Lembaga Swadaya Masyarakat seperti WWF dan TNC.
Setelah mendapatkan gambaran tentang perkembangan terkini tentang hal-
hal tersebut, penulis melakukan wawancara mendalam (in-depth interview)
dengan pihak-pihak terkait seperti para Pejabat dari Kementerian Kelautan
dan Perikanan baik di Pusat maupun di daerah dan pendapat pakar dari

51
Nilai Strategis Coral Triangle Initiative bagi Masyarakat Wilayah Pesisir

Institut Pertanian Bogor di Bogor dan Jakarta. Hal ini dilakukan agar penulis
mendapatkan gambaran komprehensif bagi para Anggota Parlemen.

III. Metode Analisis Data


Penelitian ini menggunakan metode kualitatif karena bersifat
menggambarkan tentang perkembangan kegiatan Coral Triangle Initiative
maupun kondisi terkini terumbu karang yang ada di Indonesia. Selain itu,
metode ini dilakukan melalui analisis data primer dan data sekunder. Analisis
data primer dilakukan melalui penelitian ke lapangan (field research) dan
melakukan wawancara langsung dengan para penjabat yang terkait dengan
kegiatan Coral triangle Initiative dan pelestarian terumbu karang di Indonesia.
Sedangkan analisis data sekunder dilakukan melalui pencarian data serta
informasi di laporan-laporan Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta
media cetak maupun elektronik.

52
BAB III
CORAL TRIANGLE INITIATIVE

Kawasan Coral Triangle Initiative merupakan kawasan perlindungan


laut yang sangat kaya akan keanekaragaman sumber daya alam bawah laut.
DIantara keenam negara anggota CTI, Indonesia yang memiliki kawasan
paling luas dan yang paling beragam jenis terumbu karangnya. Hal ini dapat
menjadi keuntungan bagi Indonesia selama terumbu karang dapat terawat
dengan baik. Sayangnya kondisi terumbu karang saat ini di beberapa tempat
masih ada yang kurang baik.
Di Teluk Kendari beberapa waktu yang lalu, masih terdapat terumbu karang
tapi sekarang sudah tidak ada karena sedimentasi teluk. Saat ini, ada banyak
substrat terumbu karang yang tertutup oleh lumpur. Selain itu terdapat dilema
yakni penggunaan alat tangkap “linggis” untuk menangkap ikan abalon masih
diperbolehkan padahal alat tangkap ini dapat merusak terumbu karang.18
Masyarakat pesisir membangun rumahnya dengan menggunakan batu karang
karena lebih murah. Padahal hal ini bisa menyebabkan abrasi. Direktorat polisi
air tidak secara spesifik memantau berapa banyak bongkahan batu karang
yang telah diambil tapi saat ini sudah semakin banyak jumlah penduduk di
pesisir yang membangun rumahnya menggunakan batu karang.19
Kabupaten Wakatobi terdiri dari 142 pulau tapi yang berpenghuni dan
hanya tujuh pulau yang berpenghuni. Pemerintah Pusat sampai saat ini
masih belum menganggap bahwa terumbu karang itu sangat penting penting.
Hal ini dikarenakan masih tidak adanya insentif bagi daerah yang menjaga
terumbu karangnya. Pemerintah Pusat hanya memikirkan pendapatan yang
disetorkan ke sana. Daerah pesisir yang melindungi taman nasional atau cagar
biosfer yang punya nilai harus punya perlakuan khusus dari negara (anggaran
khusus). Kabupaten Wakatobi mempunyai luas yang merupakan seluas taman
nasional. Wakatobi terdiri dari 97% lautan sedangkan daratan 3%.

18
Wawancara dengan Koordinator Program Jaringan Wilayah pesisir, di Kendari tanggal 1
Juli 2012.
19
Wawancara dengan Dirpolair Kendari, Wayan Pinatih dan Jajarannya, di Kendari tanggal 6
Juli 2012.

53
Nilai Strategis Coral Triangle Initiative bagi Masyarakat Wilayah Pesisir

Untuk itu, diperlukan adanya cara pandang visioner untuk membangun


daerah. Potensi dasar laut sangat tinggi: berdasarkan penelitian dari walace
ada 942 jenis ikan dan 750 hard coral dan soft coral. Jumlah yang banyak dari
total 850 jenis yang ada di dunia. Oleh karena itu disebut biodiversity: CTI.
Pesisir menjadi barometer penting pembangunan di wilayah indonesia. Hal ini
disentuh dengan UU. Harus ada reorientasi dari daratan ke lautan. Wakatobi
terima penghargaan sebagai cagar biosfer di Paris tanggal 9-11 juli 2012.
Wakatobi mendapat penghargaan karena menjaga biota laut. Penambangan
yang merupakan sumber APBD dinomor sekiankan. Wakatobi juga mendapat
insentif fiskal sebagai pendapatan daerah. Kabupaten Wakatobi menyerap
karbon paling tinggi. Pemda wakatobi tidak menjadikan pembangunan jalan dan
jembatan sebagai prioritas. Penganggaran Dana Alokasi Khsusu masih kurang
karena wakatobi dipandang sebagai daerah kepulauan padahal dari jumlah
penduduk dan wilayah kalo dihitung berasarkan hal itu, wakatobi dianggap
sebagai continent.
Pemerintah daerah Wakatobi sedang berupaya membangun daerahnya,
melalui:
1. Ecotourism. Yang dimaksud dengan ecotourism adalah bidang
pariwisata yang ramah lingkungan. Bidang pariwisata sangat
diminati karena keindahan bawah lautnya yang sangat menarik.
2. Fishery and marine. Selain di bidang pariwisata, upaya lain yang
dilakukan adalah bidang perikanan dan kelautan. Hal ini dilakukan
karena jumlah ikan yang melimpah.

Wakatobi merupakan bisa menjadi pusat penelitian dunia. Tidak ada


reward dari pemerintah/perlindungan dalam UU. Kabupaten Wakatobi
sedang membangun Sekolah Tinggi Marine dan Protected Area Management.
Sekolah tinggi ini dibangun seluas 45 km2. Untuk 6 negara CTI. Bekerjasama
dengan universitas dari negara2 lain dimana semua periset akan berkumpul
di sekolah ini. Awalnya ingin didirikan di Bali tapi paling pas ada di wakatobi
karena terletak antara laut Flores dan laut Banda: wakatobi terletak ditengah-
tengahnya. Pakai biaya Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) atas
kerjasama pemerintah pusat dan daerah. Sekolah ini diharapkan mejadi
kekuatan besar bagi indonesia sebagai pusat pendidikan kelautan.20
Wakatobi merupakan salah satu daerah yang terkenal dengan objek wisata
bawah lautnya. Jumlah wisatawan meningkat menjadi 200 %. Tantangan di
pariwisata wakatobi adalah penerbangan yang terbatas jumlahnya. Wisatawan
manca negara paling banyak datang ke wakatobi dari inggris karena tomia dive
Wawancara dengan Bupati Wakatobi, Hugua, di Wakatobi tanggal 3 Juli 2012.
20

54
Lisbeth Sihombing, S.IP., M.Si.

ressort yang dikelola oleh Loren. Sedangkan Tomia punya bandara sendiri. Ada
paket paling murah 3000 US $ dengan paket hotel, restoran dan penerbangan
dengan jet dari bali langsung ke tomia. Sekarang mau bidik wisatawan dari
asia karena eropa lagi krisis. Bikin pameran di Jepang dan Malaysia. Para divers
menjaga lingkungan, tidak akan merusak terumbu karang.21
Sektor andalan yang ada di Wakatobi adalah Pariwisata dan perikanan tapi
masih terdapat kendala-kendala terhadap sektor andalan tersebut seperti masih
adanya penambangan pasir dan masih banyak yang menggunakan bom untuk
menangkap ikan. Kegiatan-kegiatan CTI tidak terjangkau di Wakatobi karena
masih bersifat inisiatif. Yang dilakukan hanya berupa pertemuan-pertemuan
Bupati dan di wilayah Coral Triangle. Harapan dari CTI: pemerintah memberikan
adanya peningkatan kapasitas kepada masyarakat local diluar bantuan yang
ada. Kapasitas: memberikan keahlian atau pendampingan supaya masyarakat
mandiri. Adapun peran dari CTI: bisa mengisi kekurangan dari program
Pemda yang sudah ada karena masih lemah dalam pendampingan. Reef health
monitoring and survey bleeching dari WWF dan TNC yang terdapat di Wakatobi:
tingkat pemulihan terumbu karang cukup bagus karena kondisi perairan masih
jauh dari industri. Jadi, Kondisi terumbu karang di wakatobi masih cukup bagus
ketimbang wilayah lain.22
Kerja sama CTI tidak ada implementasi langsung ke masyarakat berbeda
dengan IMAX dan Coremap karena kebijakan masih dilevel atas padahal kalau
presentasi di kongres-kongres hasilnya bagus. Saat ini, CTI nebeng dengan
kegiatan Coremap (Coremap-CTI) akibat beberapa masukan di kongres yakni
para ahli yang menangani CTI. Presentasi bagus tapi implementasi kurang.
Wakatobi dapat menjadi pusat terumbu karang dunia (terletak di segitiga karang
dunia). CTI harus masuk sampai ke level desa seperti kecamatan dan kelurahan
sehingga tidak hanya pada level atas. Saat ini hanya sampai Bupati.23
Yang jadi kekuatan dari Wakatobi adalah keindahan bawah lautnya termasuk
terumbu karang. Antara rehabilitasi dan pemberdayaan bentrok karena fokus
dari pembangunan ada di bidang jasa tapi bukan eksploitasi dan yang mau
diperhatikan adalah wilayah laut. Oleh karena itu, Wakatobi diharapkan nantinya
akan menjadi pusat penelitian kelautan bertaraf internasional.
Tahun 2010, pertemuan para bupati yang wilayahnya terkenal dengan
terumbu karang (CTI). Peran Bapeda: fasilitator para bupati yang terlibat
21
Wawancara dengan Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Wakatobi, Tawaka, di
Wakatobi tanggal 3 Juli 2012.
22
Wawancara dengan Project Leader WWF Kantor Wakatobi, Sugianto, di Wakatobi tanggal
5 Juli 2012.
23
Wawancara dengan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Wakatobi, Hajifu, di Wakatobi
tanggal 3 Juli 2012.

55
Nilai Strategis Coral Triangle Initiative bagi Masyarakat Wilayah Pesisir

sebagai implementasi dari SKPD yakni mengawal kerjasama regional pada


tempatnya. pemengarah ke laboratorium di pulau hoga. TNC desin lab yang
dibiayai PEMDA di Pulau Hoga. Marine Protected Area Management (taraf
Strata 2) yang biayai APBN tapi pembebasan lahan seluas 30 hektar adalah
bagian PEMDA. Tantangan terkait CTI: implementasi untuk program CTI
belum terjamah ke bawah. Masih sekedar wacana hanya berupa pertemuan-
pertemuan saja. Ada internalisasi terhadap masyarakat dan pemerintah untuk
melakukan visi wakatobi 2009. Kalau terumbu karang tidak rusak walau
hanya bagian kecil tapi untuk merehabilitasinya butuh waktu lama dan dana
yang besar.24
Orang luar wakatobi sering masuk ke wilayah wakatobi dan melakukan
pengrusakan lingkungan seperti pengeboman karang, penggunaan bius
(potasium), dan pukat harimau pada tahun 2009. Wakatobi bukan hanya milik
indonesia tapi juga dunia. Tantangan BLH: BLH sudah 6 bulan memberikan
edukasi dan penyuluhan tentang pentingnya menjaga terumbu karang. Harus
memperbanyak petugas lapangan dan diperlengkapi senjata di pos penjagaan.
BLH masih tergantung pada hasil riset lembaga asing untuk melihat kondisi
laut dan dalam pengendalian masyarakat.25
Coral Triangle Initiative on Coral Reefs, Fisheries, and Food Security (CTI-CFF)
merupakan kerja sama regional dari enam negara yang memiliki wilayah
yang berdekatan dan memiliki tujuan untuk melestarikan dan pengelolaan
terumbu karang, perikanan dan ketahanan pangan yang penting dan modern.
CTI dideklarasikan pada pertemuan Asia Pacific Economic Cooperation (APEC)
di Sydney, Australia pada tanggal 9 September 2007. Adapun Enam negara
anggota CTI adalah Indonesia, Filipina, Malaysia, Timor Leste, Papua New
Guinea dan Kepulauan Solomon.
Wilayah Segitiga terumbu karang yang melingkupi keenam negara
tersebut telah diakui oleh pakar kelautan dan perikanan sebagai center of
marine megabiodiversity. Hal ini dikarenakan luas wilayah CTI ini adalah
75.000 km2. Selain itu, wilayah ini juga memiliki 500 spesies terumbu karang
dan 3.000 spesies ikan.26
Dalam rangka penyusunan Regional Plan of Action (RPoA) telah disepakati
bahwa Indonesia sebagai Sekretariat regional CTI memiliki tugas pokok
yaitu memfasilitasi pelaksanaan Pertemuan Pejabat Tinggi (Senior Official
24
Wawancara dengan Sekertaris Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPEDA)
Wakatobi, Abdul Halim, di Wakatobi tanggal 4 Juli 2012.
25
Wawancara dengan Badan Lingkungan Hidup Daerah Wakatobi, H Ibrahim SE, MM, di
Wakatobi tanggal 4 Juli 2012.
26
Freddy Numberi, op.cit.

56
Lisbeth Sihombing, S.IP., M.Si.

Meeting/SOM) dan Pertemuan Koordinasi Komite (Coordination Committee


Conference/CCC) untuk menyelesaikan Plan of Action tersebut. Untuk itu telah
dilaksanakan sebanyak tiga kali pertemuan tingkat SOM di Indonesia dan
Filipina. Pada SOM-2 di Manila, Filipina, Draft Regional Plan of Action secara
prinsip telah dapat diterima oleh seluruh negara anggota CTI dan juga telah
disepakati Resolusi Manila yang pada intinya berisikan tentang menegaskan
kembali komitmen masing-masing negara untuk melindungi dan mengelola
sumberdaya pesisir dan laut di kawasan CTI dengan mengimplementasikan
rencana aksi yang terkandung di dalam RPoA. Resolusi tersebut juga telah
menyepakati untuk menghadirkan kepala negara dalam pertemuan CTI
Summit di Manado yang akan didahului dengan pertemuan tingkat Menteri
pada Maret 2009 di Port Moresby, Papua New Guinea. 27
Sehubungan dengan itu, CTI juga telah menyepakati adanya sembilan
prinsip dasar yang sudah diterapkan pada SOM-1 di Bali. Kesembilan prinsip
dasar ini penting untuk digunakan sebagai acuan bagi para anggota CTI dalam
mengimplementasikan kegiatan-kegiatan yang terkait dengan CTI di negaranya
masing-masing. ini Adapun, sembilan prinsip dasar CTI, antara lain: 28
1. Berfokus pada masyarakat, pembangunan berkelanjutan, pengurangan
kemiskinan dan keadilan.
2. Berdasarkan pada hasil-hasil telaah ilmiah.
3. Memiliki tujuan yang kuantitatif dan jadwal kerja yang dapat
diadopsi oleh pemerintah dengan tingkatan politik tertinggi.
4. Menggunakan forum-forum yang ada dan yang akan dibentuk untuk
promosi implementasinya.
5. Sejalan dengan komitmen-komitmen internasional dan regional.
6. Bahwa sumber daya laut penting dan dan komunitas bersifat lintas
batas.
7. Mengedepankan daerah-daerah geografis yang bersifat penting.
8. Bersifat inklusif dan melibatkan semua pemangku kepentingan.
9. Mengakui adanya keunikan, kerapuhan dan keterancaman eksosistem
pulau.

Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (selanjutnya


akan disingkat dengan SBY) telah mengeluarkan sebuah pesan resmi pada
pertemuan kedelapan pihak dalam Konvensi Keanekaragaman hayati (COP-8
Convention on Biological Diversity) di Brazil pada Maret 2006. Pesan ini
menekankan arti pentingnya Coral Triangle. Tak hanya itu, pada Agustus 2007,
Ibid, hal 120-121.
27

Ibid, hal 123.


28

57
SBY juga menulis surat kepada tujuh kepala negara yakni Filipina, Malaysia,
Timor Leste, Papua New Guinea, Kepulauan Solomon, Australia dan Amerika
Serikat. Pada surat tersebut, SBY mengusulkan adanya inisiatif segitiga karang
untuk terumbu karang, perikanan dan ketahanan pangan (Coral Triangle
Initiative on Coral Reefs, Fisheries and Food Security). 29

Ibid, hal 119-120.


29
BAB IV
RUSAKNYA TERUMBU KARANG

Wilayah segitiga terumbu karang (coral triangle) sering kali disebut


sebagai wilayah yang kaya akan keberagaman (megadiversity) sumber
daya alam di laut. Wilayah ini merupakan tempat ideal bagi berbagai jenis
ikan untuk bertelur dan membesarkan anaknya karena memiliki perairan
relatif hangat dengan arus kuat. Wilayah ini pun diperkuat dengan adanya
aneka ekosistem lain yang juga turut mendukung kekayaan alam di wilayah
tersebut seperti, mangrove dan lamun.
Sayangnya, keberagaman tersebut akan punah karena pola hidup
masyarakat pesisir. Pola hidup masyarakat pesisir yang merusak itu
menyangkut cara penangkapan ikan yang masih menggunakan bom, obat bius
(potasium), pukat harimau, serta adanya pembangunan pesisir yang destruktif.
Sebagai contoh, di Kota Kendari, Kabupaten Wakatobi maupun Kabupaten
Alor, masyarakat pesisir masih banyak yang membangun pondasi rumahnya
dengan mengambil karang-karang laut.30 Selain itu, masih banyak terdapat
pelanggaran-pelanggaran penangkapan ikan dengan dengan menggunakan
cara-cara yang destruktif seperti dengan menggunakan bom maupun obat bius
(potasium) padahal wilayah-wilayah tersebut merupakan wilayah-wilayah
yang seharusnya dilindungi (Taman Nasional).
Jumlah terumbu karang sehat yang ada di Indonesia, lama kelamaan
justru semakin menurun. Sebesar 37.1 % terumbu karang di Indonesia berada
pada status cukup. Jumlah ini hanya sedikit melampaui jumlah terumbu
karang yang memiliki status kurang yakni sebesar 31.45%. Sedangkan yang
berada pada status baik hanya mencapai 25.89% bahkan status sangat baik
hanya sebesar 5.56%. Kondisi terumbu karang terparah berada pada wilayah
Indonesia bagian Timur yakni sebesar 40.69%.31 Lebih lanjut, Sebesar tiga
puluh % dari ekosistem terumbu karang ini telah rusak, hanya sejumlah
30
Wawancara dengan Koordinator program jaringan wilayah pesisir, di Kendari tanggal
1 Juli 2012 dan wawancara dengan Dirpolair Kendari, Wayan Pinatih dan jajarannya, di
Kendari tanggal 6 Juli 2012.
31
Marine and Fisheries in Figures Year 2010, hal 98.

59
Nilai Strategis Coral Triangle Initiative bagi Masyarakat Wilayah Pesisir

enam puluh % yang masih bisa pulih. Padahal, keberlanjutan ekosistem itu
mempengaruhi sekitar 120 juta masyarakat yang hidupnya tergantung pada
laut.32
Indonesia telah menjadi negara pengekspor biota laut terbesar. Komoditi
ekspornya yang terutama adalah karang hias yang menjadi elemen penting
dalam akuarium biota laut. Total ekspor karang Indonesia pada 2008 telah
mencapai 973.003 potong. Dari jumlah itu, hanya 29 % atau 282.006 potong
yang berasal dari koral hasil cangkok. Sebanyak 690.937 potong masih
diambil langsung dari alam.
Kondisi itu perlu diwaspadai, karena pasar semakin sadar akan kelestarian
lingkungan. Bahkan, saat ini Filipina melakukan moratorium pengambilan
karang alam sambil mengembangkan proyek transplantasi karang. Sayangnya,
Indonesia masih beranggapan bahwa moratorium pengambilan karang
ini tidak perlu dilakukan di Indonesia. Kendati demikian, Indonesia tetap
memandang penting adanya komitmen untuk mengembangkan transplantasi
karang serta mendorong sertifikasi ecolabelling untuk biota laut. Ecolabelling
inilah yang nantinya akan memastikan bahwa proses budi daya karang di alam
ataupun transplantasi memenuhi standar kelayakan lingkungan. Memang hal
ini akan menambah biaya produksi bagi produsen, tapi dalam jangka panjang,
ecolabelling akan menjadi branding yang membedakan karang asal Indonesia
dengan produk negara lain apalagi dengan kualitas karang yang bagus.33
Kerusakan atau hilangnya ekosistem terumbu karang ini berdampak
besar bagi perikanan dunia. Segitiga terumbu karang berperairan relatif hangat
dengan arus kuat dan biodiversitas yang tinggi karena merupakan tempat ideal
bagi berbagai jenis ikan untuk bertelur dan membesarkan anaknya. Kondisi ini
diperkuat aneka ekosistem tetangga yang mendukung, seperti mangrove dan
lamun. Sayangnya, tiga puluh % dari ekosistem terumbu karang ini telah rusak.
Hanya sejumlah enam puluh % yang masih bisa pulih apabila masyarakat mau
mengubah gaya hidupnya. Pola hidup itu menyangkut cara penangkapan ikan yang
masih menggunakan bom, pukat harimau, dan menagkap anakan serta adanya
pembangunan pesisir yang destruktif. Keberlanjutan ekosistem itu mempengaruhi
sekitar 120 juta masyarakat yang hidupnya tergantung pada laut.34
Indonesia menjadi negara pengekspor biota laut terbesar, khususnya karang
hias yang menjadi elemen penting dalam akuarium biota laut. Total ekspor karang
Indonesia pada 2008 telah mencapai 973.003 potong. Dari jumlah itu, hanya 29
% atau 282.006 potong yang berasal dari koral hasil cangkok. Sebanyak 690.937
32
“Terumbu Karang Sumber Ikan Dunia”, Kompas, 4 November 2011 hal 14.
33
“Hobi Yang Terus Tumbuh”, Koran Tempo, 28 Juli 2011, hal. A13.
34
“Terumbu Karang Sumber Ikan Dunia”, op.cit.

60
Lisbeth Sihombing, S.IP., M.Si.

potong masih diambil langsung dari alam. Kondisi itu perlu diwaspadai, karena
pasar semakin sadar akan kelestarian lingkungan. Saat ini Filipina melakukan
moratorium pengambilan karang alam sambil mengembangkan proyek
transplantasi karang. Sedangkan Indonesia beranggapan bahwa moratorium
ini tidak perlu dilakukan di Indonesia tapi harus ada komitmen untuk
mengembangkan transplantasi karang serta mendorong sertifikasi ecolabelling
untuk biota laut. Ecolabelling ini memastikan bahwa proses budi daya karang di
alam ataupun transplantasi memenuhi standar kelayakan lingkungan. Sepintas
hal ini akan menambah biaya produksi, tapi dalam jangka panjang akan menjadi
branding yang membedakan karang asal Indonesia dengan produk negara lain.
Yayasan Alam Lestari ini sedang mengupayakan agar proses ecolabeling itu bisa
dilakukan di dalam negeri –sebagaimana yang telah dilakukan di India– sehingga
biayanya lebih murah. Pada saat ini lembaga sertifikasi memang masih berada
di negara-negara maju. Salah satu kendala lain adalah soal harga. Direktur
Eksekutif Asosiasi Koral, Kerang, dan ikan hias Indonesia menyatakan masih
terdapat anomaly karena kerang alami dihargai lebih mahal ketimbang karang
transplantasi. Padahal biaya karang transplantasi lebih mahal.35
Karang transplantasi mulai dilirik para pengusaha koral hias, karena karang
hasil pencangkokan tidak mudah stress, sehingga hasil transplantasinya di
akuarium lebih baik. Mereka juga dapat membuat stok jenis karang hias yang
laris di pasar tanpa bergantung pada alam. Transplantasi karang dilakukan
dengan mengambil karang induk dan membelahnya menjadi beberapa potongan
karang berukuran 5-7 sentimeter. Potongan karang itu direkatkan pada media
substrat menggunakan lem.
Karang yang telah direkatkan pada substrat dimasukkan ke laut dengan
kedalaman satu meter untuk aklimatisasi, sebelum dipindahkan ke tempat yang
lebih dalam. Lokasi peletakan karang dipilih kawasan yang relative terlindung
dari ombak besar, dengan dasar perairan yang relative datar, berpasir, dan
dekat terumbu karang yang masih baik sebagai pelindung dengan temperature
air optimal 26-30 derajat Celcius. Kedalaman air pada saat surut tidak boleh
kurang dari 60 cm, sedangkan saat pasang bisa mencapai 1,5–2 meter.
Kedalaman air sangat penting karena lokasi transplantasi karang tidak boleh
kekeringan ketika air surut. Jenis karang transplantasi yang telah memperoleh
rekomendasi budi daya dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia mencapai
24 jenis. Jenis karang rekomendasi LIPI: Acropora sp, Hydnophora rigida,
Merulina ampliata, Montipora sp, Pocillopora eydouxi, Pocillopora Verrucosa,
Porites Nigrescens, Seriatopora hystrix, Stylophora pistillata, Caulastrea sp,

“Hobi Yang Terus Tumbuh”, Op. Cit.


35

61
Echinophyllia aspera, Echinopora lamellosa, Euphyllia Glabrescens, Euphyllia
Ancora, Galaxea Astreata, Galaxea fascicularis, Turbinaria mesenterina,
Turbinaria peltata, Turbinaria reniformis, dan Turbinaria stellulata.36

“Pencangkokan Karang”, Koran Tempo, 28 Juli 2011, hal. A13.


36
BAB V
NILAI STRATEGIS CTI BAGI
MASYARAKAT PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

Indonesia mendapat apresiasi atas kepemimpinannya dalam membentuk


Prakarsa Segitiga Terumbu Karang yang bersifat multilateral. Indonesia (dalam
hal ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono) telah menerima penghargaan 21st
Century Economic Achievement Award dari komunitas bisnis US-ASEAN Business
Council pada tanggal 24 September 2012 di New York. CTI telah melestarikan
sumber daya laut dan pesisir pantai di enam negara yakni Indonesia, Malaysia,
Papua Nugini, Filipina, Kepulauan Solomon, dan Timor Leste. Kawasan ini
merupakan salah satu daerah paling beragam secara biologis yang menjadi
tempat bagi 75% species karang dan 37% ikan terumbu karang.37
Terumbu karang banyak menyumbangkan manfaat bagi masyarakat di
kawasan pesisir. Adapun Manfaat dari terumbu karang antara lain sebagai
habitat bagi berbagai jenis biota laut yang bernilai ekonomi tinggi seperti
ikan, teripang, lobster, rumput laut, kima, kerang, siput, bulu babi, bahkan
untuk karangnya sendiri. Selain itu terumbu karang juga dapat menjadi
sumber devisa yang diperoleh dari wisata bahari karena merupakan kawasan
yang indah dengan panorama bawah lautnya. Bahkan terumbu karang juga
bermanfaat sebagai bahan obat-obatan dan kosmetik. Terumbu karang pun
memiliki daya tarik tersendiri bagi penelitian.
Indonesia memandang penting untuk melindungi, melestarikan serta
mengelola terumbu karang. Hal ini dikarenakan Indonesia merupakan
satu-satunya negara yang memiliki wilayah terumbu karang terluas dan
yang paling beragam di dunia. Terumbu karang di Indonesia memiliki luas
mencapai 42.000 km2 atau sekitar 16,5% dari bagian terumbu karang dunia
yang mencapai 255.300 km2.38
Sebagian besar terumbu karang Indonesia terletak di wilayah Indonesia
bagian Barat seperti ujung barat daya pulau Sumatera, Pulau Jawa, dan
“SBY Terima Penghargaan Lingkungan”, Suara Pembaruan, 25 September 2012, hal 11.
37

Andy A. Zaelany dan Ary Wahyono, “Konflik Pengelolaan Konservasi Laut COREMAP dengan
38

Adat di Perairan Buton”, LIPI: Jurnal Masyarakat Indonesia Edisi XXXVI, No., 2, 2010, hal 157.

63
Nilai Strategis Coral Triangle Initiative bagi Masyarakat Wilayah Pesisir

Kepulauan Riau. Sedangkan di wilayah Indonesia bagian Tengah seperti


di Nusa Tenggara, Sulawesi, Bali dan Lombok; serta di wilayah Indonesia
bagian Timur seperti Papua. Keseluruhan lingkungan ekosistem terumbu
karang tersebut memiliki keanekaragaman hayati yang masih sangat tinggi
di dunia. Misalnya saja terdapat lebih dari 2,500 jenis ikan, 590 jenis karang
batu, 2500 jenis moluska, dan 1500 jenis udang-udangan.39
Kabupaten Wakatobi merupakan salah satu Kabupaten yang terkenal
dengan keindahan bawah lautnya. Bahkan, Taman Nasional Wakatobi (TNW)
di Sulawesi Tenggara, Indonesia merupakan salah satu dari beberapa tempat
yang memiliki terumbu karang dengan biodiversitas tertinggi di dunia.
Sejak tahun 2003, kawasan Wakatobi secara administrasi telah menjadi
Kabupaten Wakatobi dengan luasan yang sama dengan luas kawasan TNW.
Berdasarkan Reef health monitoring and survey bleeching dari WWF dan TNC,
kondisi kesehatan karang sejak tahun 2009-2011 di TNW secara signifikan
lebih tinggi di zona larang ambil dibandingkan di zona pemanfaatan, dengan
kondisi paling baik di tipe habitat pulau utama. Kondisi karang tahun 2011
pun sudah lebih baik daripada tahun 2010, meskipun tidak sebaik tahun
kondisi terumbu karang tahun 2009. Hal ini membuktikan bahwa penetapan
kawasan sebagai zona larang ambil dapat memberikan manfaat bagi proses
perbaikan kondisi terumbu karang.40
Tingkat pemulihan terumbu karang di Wakatobi cukup bagus karena kondisi
perairannya yang masih jauh dari industri. Selain itu, hampir sebanyak 105.000
jiwa penduduk menggantungkan hidupnya pada sumber daya laut di lokasi ini.41
Ketergantungan penduduk terhadap sumberdaya laut ini dikarenakan sebagian
besar penduduk di Wakatobi adalah nelayan, baik sebagai mata pencaharian
utama maupun sampingan.
Kendati demikian, pemutihan karang masih ditemukan selama pemantauan,
meskipun dalam prosentase yang relatif rendah. Ancaman lain yang muncul
terhadap terumbu karang di TNW adalah pengambilan karang dari rataan
terumbu untuk bahan bangunan. Masyarakat mengambil karang untuk bahan
bangunan rumah mereka karena harganya yang murah.
Kondisi terumbu karang di Wakatobi masih cukup bagus ketimbang
wilayah lain. Wakatobi dapat menjadi pusat terumbu karang dunia (terletak di
segitiga karang dunia). Seyogyanya, Kabupaten Wakatobi termasuk ke dalam
39
“CTI-CFF Langkah Maju Pelestarian Terumbu Karang”, loc. cit.
40
TNC-WWF Joint Program Wakatobi bekerja sama dengan Balai Taman Nasional, “Draft
Laporan Pemantauan Kesehatan Terumbu Karang di Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi,
Indonesia Tahun 2009-2011”, hal 40.
41
Ibid.

64
Lisbeth Sihombing, S.IP., M.Si.

kegiatan-kegiatan Coral Triangle Initiative (CTI). Kenyataannya, Wakatobi


tidak termasuk ke dalam daftar kegiatan-kegiatan CTI karena memang
kegiatan-kegiatan CTI sampai saat ini hanya berupa pertemuan-pertemuan
antar Bupati yang ada di wilayah Coral Triangle.
Padahal, Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Wakatobi memiliki
harapan besar dengan adanya kerja sama CTI ini. Pemerintah berharap,
dengan diikutsertakannya Kabupaten Wakatobi dalam kegiatan-kegiatan CTI
maka akan memberikan adanya peningkatan kapasitas kepada masyarakat
lokal (masyarakat pesisir) diluar dari bantuan yang sudah diberikan. Selama
ini, Pemerintah Daerah telah memberikan program-program bantuan kepada
masyarakat namun masih terkendala dalam hal pendampingan.
Bantuan ini sangat penting supaya ke depan masyarakat bisa semakin
mandiri. Bantuan yang dapat diberikan antara lain berupa keahlian atau
pendampingan. Selain itu, sektor andalan yang ada di Kabupaten Wakatobi adalah
Pariwisata dan Perikanan. Akan tetapi, sampai saat ini masih terdapat kendala-
kendala terhadap sektor andalan tersebut seperti masih adanya penambangan
pasir dan masih banyak yang menggunakan bom untuk menangkap ikan.42
Senada dengan LSM di Wakatobi, Pemerintah Daerah Wakatobi pun
menginginkan agar kerja sama CTI dapat menyentuh ke masyarakat
pesisir. Kerja sama CTI dirasakan tidak memiliki implementasi langsung ke
masyarakat. Kerja sama CTI masih berada sampai Bupati. CTI harus masuk
sampai ke level desa seperti kecamatan dan kelurahan sehingga tidak hanya
pada level atas. Kerja sama CTI berbeda dengan IMAX dan Coremap karena
kebijakan masih dilevel atas padahal kalau presentasi di kongres2 hasilnya
bagus. Lebih jauh, saat ini, kerja sama CTI telah bergabung dengan kegiatan-
kegiatan Coremap sehingga disebut Coremap-CTI. 43
Sebelum adanya kerja sama CTI, sebetulnya Pemerintah daerah sudah
menunjukkan kepedulian. Sebagai contoh, Pemerintah Daerah Alor pun sudah
menunjukkan kepeduliannya terhadap terumbu karang. Pada bulan Maret Tahun
2003, Selat Pantar telah ditetapkan menjadi Taman Laut Daerah berdasarkan
Surat Keputusan Bupati Alor. Pada awalnya Taman Laut Daerah Selat Pantar
hanya seluas 4000 km2 saja tapi sekarang diperluas menjadi seluas 400.008
km2. Bahkan, Taman Laut Selat Pantar kini telah diperluas menjadi kawasan
konservasi laut daerah walaupun masih dalam proses zonasi. Kepedulian
pemerintah daerah Kabupaten ALor terhadap terumbu karang dan biota laut
42
Wawancara dengan Project Leader WWF Kantor Wakatobi, Sugianto, di Wakatobi tanggal 5
Juli 2012.
43
Wawancara dengan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Wakatobi, Hajifu, di Wakatobi
tanggal 3 Juli 2012.

65
Nilai Strategis Coral Triangle Initiative bagi Masyarakat Wilayah Pesisir

serta mencadangkan wilayah seluas 400.008 km2 untuk konservasi taman laut
daerah selat pantar ini mendapat apresiasi sehingga mendapatkan penghargaan
di Manado dalam acara WOC tahun 2009.44
Kendati demikian, setelah adanya CTI juga terdapat perubahan-perubahan
yang cukup signifikan seperti pada komitmen di luar negeri. Indonesia mendapat
dana bantuan dari USAID. USAID menambahkan kerjasamanya dengan Bappenas
di bidang kelautan. Selain itu, pada komitmen di dalam negeri adalah sekarang
sudah terdapat laut nasional yang sudah bisa dikonversi 15 juta km2 sedangkan
terdapat target 20 juta km2 di tahun 2020.45
Di dalam pembahasan regional, terdapat regional plan of action di level
menteri sedangkan ada pembagian secara bilateral dan multilateral ada
kesepakatan dari level menteri atau dirjen untuk mengatasi permasalahan-
permasalahan di wilayah negara anggota. Kelebihan dari wakatobi adalah
dapat dikenal oleh dunia dan pemicu bagi Indonesia untuk lebih serius
mengurus taman nasionalnya, ada insentif bagi Indonesia untuk mengurus
sarana dan prasarana. Wakatobi dapat lolos menjadi cadangan biosfer dan
betul-betul dipilih dari UNESCO tanggal 9 juli 2012-07-24 karena keindahan,
kesiapan dokumen, sudah ada yang urus (UPT wakatobinya), dinas dan
pemda sudah ada, ada masyarakat yang mengamankan.46

44
Wawancara dengan Kepala Dinas plt Kementerian Kelautan dan Perikanan Kabupaten
Alor, Mesakh Blegur, di Alor tanggal 23 Juli 2012.
45
Ibid.
46
Wawancara dengan Marine and Marine Species Program Director WWF, Wawan Ridwan di
Jakarta tanggal 25 Juni 2012.

66
BAB VI
KESIMPULAN

Kerusakan atau hilangnya ekosistem terumbu karang memiliki dampak


besar bagi perikanan dunia. Apabila terumbu karang di daerah-daerah
tersebut tidak dapat terkelola dengan baik maka tidak mungkin selama
beberapa tahun ke depan, jumlah terumbu karang yang rusak akan terus
meningkat. Adapun pentingnya kerja sama Coral Triangle Initiative (CTI) ini
bagi Indonesia adalah untuk mempertahankan keberadaan sumber daya alam
laut dan pantai yang luar biasa indahnya yang terdapat di Indonesia dengan
cara memfokuskan terhadap isu-isu seperti ketahanan pangan, perubahan
iklim, dan keanekaragaman laut.
Mengingat pentingnya kerja sama CTI bagi Indonesia, Pemerintah Indonesia
perlu mengajak negara-negara anggota Coral Triangle Initiative (CTI) lainnya
untuk membuat komitmen dalam melestarikan dan mengelola terumbu karang
secara bersama-sama. Hal ini penting untuk keberlangsungan terumbu karang
serta masyarakat pesisir yang tergantung pada sumberdaya kelautan. CTI tidak
hanya semata-mata merupakan pertemuan-pertemuan para pemimpin dari ke-
enam kepala negara untuk memonitoring dan memberitahukan perkembangan
terumbu karang di negaranya masing-masing. Tapi akan lebih baik jika,
kebijakan-kebijakan CTI juga dapat menyentuh hingga ke masyarakat di daerah
pesisir.

67
BIBLIOGRAFI

Buku
Freddy Numberi, “Perubahan Iklim; Implikasinya terhadap Kehidupan di Laut,
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil”, (Jakarta: Fortuna Prima Makmur, 2009).

Nuraeini S, Deasy Silvya, Arfin Sudirman, “Regionalisme; Dalam Studi


Hubungan Internasional”, (Yogyakarta; Putaka Pelajar, 2010).

Teuku May Rudy SH, “Studi Strategis dalam Transformasi Sistem Internasional
Pasca Perang Dingin”, (Bandung: PT Refika Aditama, 2002).

Dokumen
Marine and Fisheries in Figures Year 2010.

TNC-WWF Joint Program Wakatobi bekerja sama dengan Balai Taman


Nasional, “Draft Laporan Pemantauan Kesehatan Terumbu Karang di
Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi, Indonesia Tahun 2009-2011”.

Koran
“SBY Terima Penghargaan Lingkungan”, Suara Pembaruan, 25 September
2012.

“Terumbu Karang Sumber Ikan Dunia”, Kompas, 4 November 2011.

“CTI-CFF Langkah Maju Pelestarian Terumbu Karang”, Business News,


8176/2-11-2011.

“Segitiga Terumbu Karang Dunia; Inisiatif Pengelolaan Belum Tampak”,


Kompas, 31 Oktober 2011.

“Hobi Yang Terus Tumbuh”, Koran Tempo, 28 Juli 2011.

“Pencangkokan Karang”, Koran Tempo, 28 Juli 2011.

69
Nilai Strategis Coral Triangle Initiative bagi Masyarakat Wilayah Pesisir

Majalah
Andy A. Zaelany dan Ary Wahyono, “Konflik Pengelolaan Konservasi Laut
COREMAP dengan Adat di Perairan Buton”, LIPI: Jurnal Masyarakat
Indonesia Edisi XXXVI, No., 2, 2010.

Wawancara
Wawancara dengan Kepala Bagian Hidrologi Laut Institut Pertanian Bogor,
Dietriech G Bengen di Jakarta tanggal 16 November 2011.

Wawancara dengan Koordinator program jaringan wilayah pesisir, di Kendari


tanggal 1 Juli 2012 dan wawancara dengan Dirpolair Kendari, Wayan
Pinatih dan jajarannya, di Kendari tanggal 6 Juli 2012.

Wawancara dengan Kepala Bagian Hidrologi Laut Institut Pertanian Bogor,


Dietriech G Bengen di Jakarta tanggal 16 November 2011.

Wawancara dengan Koordinator Program Jaringan Wilayah pesisir, di


Kendari tanggal 1 Juli 2012

Wawancara dengan Dirpolair Kendari, Wayan Pinatih dan Jajarannya, di


Kendari tanggal 6 Juli 2012

Wawancara dengan Bupati Wakatobi, Hugua, di Wakatobi tanggal 3 Juli


2012.

Wawancara dengan Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Wakatobi,


Tawaka, di Wakatobi tanggal 3 Juli 2012.

Wawancara dengan Project Leader WWF Kantor Wakatobi, Sugianto, di


Wakatobi tanggal 5 Juli 2012.

Wawancara dengan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Wakatobi, Hajifu,


di Wakatobi tanggal 3 Juli 2012.

Wawancara dengan Sekertaris Badan Perencanaan Pembangunan Daerah


(BAPEDA) Wakatobi, Abdul Halim, di Wakatobi tanggal 4 Juli 2012.

Wawancara dengan Badan Lingkungan Hidup Daerah Wakatobi, H Ibrahim


SE, MM, di Wakatobi tanggal 4 Juli 2012.

Wawancara dengan Koordinator program jaringan wilayah pesisir, di Kendari


tanggal 1 Juli 2012 dan wawancara dengan Dirpolair Kendari, Wayan
Pinatih dan jajarannya, di Kendari tanggal 6 Juli 2012.

70
Lisbeth Sihombing, S.IP., M.Si.

Wawancara dengan Project Leader WWF Kantor Wakatobi, Sugianto, di


Wakatobi tanggal 5 Juli 2012.

Wawancara dengan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Wakatobi, Hajifu,


di Wakatobi tanggal 3 Juli 2012.

Wawancara dengan Kepala Dinas plt Kementerian Kelautan dan Perikanan


Kabupaten Alor, Mesakh Blegur, di Alor tanggal 23 Juli 2012.

Wawancara dengan Marine and Marine Species Program Director WWF,


Wawan Ridwan di Jakarta tanggal 25 Juni 2012.

71
Bagian Ketiga
PERAN LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT
INTERNASIONAL
DALAM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR
DAN PULAU-PULAU KECIL*

Dra. Adirini Pujayanti, M.Si.**

*
Penelitian yang dilakukan pada tahun 2012
**
Adirini Pujayanti adalah Peneliti Madya bidang Hubungan Internasional pada Pusat Pengkajian
dan Pengolahan Data dan Informasi (P3DI), Setjen DPR RI. Alamat email adirini.pujayanti@
dpr.go.id.
BAB I
PENDAHULUAN

Perserikatan Bangsa Bangsa telah menetapkan 8 Juni sebagai Hari


Laut Sedunia. Laut merupakan tempat hidup hampir 200.000 species yang
terindentifikasikan, menyerap sekitar 30% karbondioksida (CO2) yang
memicu pemanasan global dan sumber nafkah bagi lebih dari tiga miliar
orang yang bergantung pada keanekaragaman hayati laut dan pesisir.1
Sedemikian besar sumberdaya alam dari laut, namun manusia belum mampu
menjelajahi dan memanfaatkan secara optimal seluruh sumberdaya yang
ada tersebut.
Sekretaris-Jenderal PBB Ban Ki-moon, dalam pesannya untuk Hari
Laut Sedunia 2011 menyatakan semua kegiatan dan kebijakan berkaitan
dengan Laut dan lingkungan laut perlu mengakui dan memasukkan tiga pilar
pembangunan berkelanjutan yaitu isu lingkungan, sosial dan ekonomi agar
tujuan pembangunan berkelanjutan yang ditetapkan oleh masyarakat dunia
dapat tercapai.2 Optimalisasi sumber daya laut perlu mempertimbangkan
kualitas dan daya dukung lingkungan (carrying capacity). Aspek inilah yang
dapat membuat sektor kelautan tidak hanya penting bagi ekonomi, tetapi
juga bagi keseimbangan ekosistem dunia.3 Keseimbangan untuk menjaga
kelestarian alam dan aktivitas produksi akan menentukan keberlanjutan
proses produksi. Oleh sebab itu proses produksi yang cenderung eksploitatif
dan menghasilkan kerusakan lingkungan perlu dihindari.
Saat ini kelangkaan ikan, sebagai salah satu sumberdaya laut yang
terpenting, mulai terasa akibat kerusakan lingkungan laut. Penyebab
kerusakan lingkungan laut tersebut ialah eksploitasi berlebihan atas
sumberdaya laut, praktek penangkapan ikan yang destruktif, pembangunan

1
Bernard Limbong,”Ekonomi Hijau-Biru dan Perintah Konstitusi”, Suara Pembaharuan, 9
Juli 2012, hal. 4.

2
"Selamat Hari Laut Se-Dunia, Our Oceans: Greening Our Future", http://kp3k.kkp.
go.id/mitrabahari/index.php?option=com_content&view=article&id=295%3A
selamat-hari-laut-se-dunia-our-oceans-greening-our-futureq&catid=1%3Aterkini&
Itemid=69&lang=in, diakses 2 Agustus 2012.

3
Firmanzah,”VisiEkonomi Berbasis Kelautan”, Kompas, 14 Juli 2012, h.al. 4.

75
Peran Lembaga Swadaya Masyarakat Internasional

kawasan pesisir, limpasan dari praktek tata guna lahan yang buruk dan
kegiatan pariwisata yang tidak terkendali. Perubahan iklim yang menjadi
ancaman yang serius bagi terumbu karang di dunia juga menjadi salah satu
penyebab berkurangnya ikan.4 Pentingnya laut bagi kehidupan manusia
menjadi tanggungjawab seluruh umat manusia. Secara khusus pesisir pantai
memiliki peran penting bagi dunia.Walaupun luas pesisir hanya 8% dari luas
dunia, tetapi hasil dari pesisir mencapai 40% dari pasokan dunia. Beberapa
sektor yang bersumber dari wilayah pesisir antara lain pertambangan,
pelabuhan, perikanan dan pariwisata.5 Oleh karena itu perhatian dunia
terhadap masalah kelautan, khususnya kawasan pesisir sangat besar. LSM
internasional seperti WWF dan TNC merupakan bagian dari masyarakat
dunia yang turut berperan dalam upaya pelestarian laut dan pesisir diseluruh
dunia, termasuk di Indonesia.
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan potensi sumberdaya laut
yang sangat besar. Indonesia memiliki kurang lebih 17.500 pulau. Luas laut
3,1 juta km2 dengan garis pantai mencapai 81.000 km. Laut Indonesia mampu
menyerap 44% CO2 dan menyediakan pekerjaan bagi 50 juta orang. Letak
Indonesia di wilayah tropis dengan tingkat perubahan suhu lingkungan relatif
rendah memungkinkan berkembangnya berbagai keanekaragaman hayati
laut dan menjadikan Indonesia sebagai negara megadiversity kelautan dunia.
Indonesia mengusulkan konsep ekonomi biru (blue ekonomi) yang bermuara pada
perlunya konservasi dan pemanfaatan sumber daya laut secara berkelanjutan
untuk mengatasi masalah kemiskinan, pengangguran, memperkuat ketahanan
pangan, memperluas kesempatan kerja, dan meningkatkan pertumbuhan
ekonomi. Pembangunan ekonomi dan kesejahteraan Indonesia ke depan perlu
melihat laut sebagai sektor strategis penyumbang produktifitas nasional, karena
potensi kekayaan pesisir dan laut Indonesia dapat menjadi basis keunggulan
persaingan di era globalisasi saat ini.
Upaya memperkuat posisi Indonesia sebagai negara kepulauan yang
memiliki laut sebagai basis pembangunan nasionalnya merupakan salah satu
tujuan dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Undang-undang ini akan mengalami
revisi karena dipandang belum menerapkan pendekatan integrated coastal
management. Undang-Undang ini juga dianggap menyisakan beberapa
permasalahan, yang dapat disebut di sini adalah: Pertama, ia selalu mengkaitkan
dengan adaptasi terhadap situasi global, namun tidak jelas apa konteks global


4
Joanne Wilson dkk,Rancangan Ilmiah Jejaring Kawasan Konservasi Laut Yang Tangguh,
Program kelautan TNC, Laporan No.2/11, Maret 2011, hal. 2-3.

5
Zonasi Pesisir Masih Tertinggal, Kompas, 7 Agustus 2012, hal. 19.

76
Dra. Adirini Pujayanti, M.Si.

yang dimaksud. Jika ditelisik lebih dalam, konsep global di sini lebih mendukung
globalisasi; Kedua, terjadinya privatisasi dalam ranah yang harusnya dikuasai
negara, serta meningglakan persoalan tata ruang; Ketiga, munculnya masalah
perlindungan kelompok rentan di pedesaan pesisir; Keempat, munculnya
masalah kemiskinan dan ancaman atas kedaulatan negara di pulau kecil; Kelima,
perlunya sinkronisasi dengan peraturan perundangan lainnya yang terkait
dengan pengelolaan wilayah pesisir.6
Sebagai negara kepulauan, laut dan wilayah pesisir memiliki nilai strategis
dengan berbagai keunggulan komparatif dan kompetitif yang dimilikinya
sehingga berpotensi menjadi prime mover pengembangan wilayah nasional.
Bahkan secara historis menunjukan bahwa wilayah pesisir ini telah berfungsi
sebagai pusat kegiatan masyarakat karena berbagai keunggulan fisik dan
geografis yang dimilikinya. Agar pemanfaatan sumber daya laut dan pesisir
dapat terselenggara secara optimal, diperlukan upaya penataan ruang
sebagai salah satu bentuk intervensi kebijakan dan penanganan khusus dari
pemerintah dengan memperhatikan kepentingan stakeholders lainnya. Selain
itu, implementasi penataan ruang perlu didukung oleh program-program
sektoral baik yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah
Daerah, dan masyarakat, termasuk dunia usaha.
Penataan/tata ruang sebagai wujud struktural ruang dan pola
penggunaannya secara terencana atau tidak dari bagian permukaan bumi
di laut dan pesisir. Karena laut sebagai sumber dan objek dalam memenuhi
berbagai kebutuhan manusia. Sehingga menjadi penting untuk melakukan
pengaturan tata ruang laut guna menjawab isu strategis masalah tata ruang
dan untuk mencapai tujuan penataan ruang laut nasional. Pengelolaan
wilayah laut tidak sebatas pada bagaimana kita menata wilayah laut, namun
lebih dari pada itu diperlukan adanya suatu pengaturan mengenai tata ruang
wilayah laut yang dilakukan secara terpadu.
Bagi Indonesia pengelolaan ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil
menjadi penting karena terdapat aspek sumber daya manusia, khususnya
pemberdayaan masyarakat lokal dan konservasi. Meski merupakan amanat
Undang-Undang No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau kecil masalah zonasi laut untuk pengelolaan tata ruang laut di
Indonesia hingga kini masih tertinggal. Peran serta daerah untuk membentuk
peraturan daerah tentang zonasi laut juga masih rendah. Zonasi laut sangat
diperlukan untuk tata ruang laut bila pemerintah ingin mengarahkan pulau-


6
Mahkamah Konstitusi, http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/ putusan/ putusan_sidang_
Nomor % 20 3% 20PUU%- 20pesisir%202010-TELAH%20BACA.pdf, diakses tanggal 27 Juli
2011.

77
Peran Lembaga Swadaya Masyarakat Internasional

pulau kecil untuk menopang industrialisasi perikanan. Berbagai aspek


tersebut semestinya memperoleh perhatian dalam pengelolaan wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia.

II. Permasalahan
Saat ini telah terjadi kompetisi antar negara untuk memperebutkan
sumber daya alam, termasuk sumberdaya kelautan yang ada di sepanjang
pantai dan pulau-pulau kecil. Sebagaimana diketahui bersama, pendekatan
keamanan semata kurang efektif untuk mengamankan pulau-pulau terluar
NKRI. Pendekatan ini akan lebih efektif bila diikuti upaya untuk meningkatkan
kesejahteraan dan perekonomian masyarakat yang tinggal di kawasan pulau
terluar, melalui pendekatan kesejahteraan (prosperity approach) maupun
pendekatan lingkungan (environment approach).
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menyatakan pengelolaan sumber daya pesisir
seharusnya dilakukan secara berkelanjutan dan bersifat sinergis. Implikasi
dari bersifat sinergis adalah pemanfaatan sumber daya alam pesisir
tersebut harus dilakukan secara bijaksana dengan menerapkan kaidah-
kaidah pembangunan berkelanjutan. Hal tersebut patut menjadi perhatian
mengingat eksistensi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tersebar di
banyak wilayah di Indonesia, sebuah negara kepulauan yang luas dengan
garis pantai yang panjang dan posisi pulau-pulau terluarnya berbatasan
langsung dengan banyak negara tetangga. Ancaman keamanan yang terjadi
di sana, terutama yang berasal dari luar (negara lain) akan merupakan
ancaman terhadap kedaulatan Indonesia.
Dalam konsep Wawasan Nusantara, seluruh pulau-pulau, termasuk
pesisir dan pulau kecil, adalah merupakan bagian yang utuh dan terintegrasi
secara ideologi, politik, ekonomi, budaya dan pertahanan-keamanan. Sehingga,
sebuah masalah, apalagi ancaman, dengan satu pulau kecil, sekalipun di
wilayah yang jauh sekali dari Jakarta, pusat pemerintahan, terkait dengan cara
pengelolaannya dan nasib penduduknya, dapat merupakan pula ancaman
atas kedaulatan nasional, yang dapat diaktegorikan sebagai ancaman nasional
(national threat). Jadi, masa depan pulau-pulau pesisir dan kecil di wilayah
perbatasan menjadi sangat penting untuk diperhatikan, sebab ia akan segera
menjadi isu internasional, tidak hanya nasional, jika muncul klaim kepemilikan
dari negara lain.

78
Dra. Adirini Pujayanti, M.Si.

III. Pertanyaan Penelitian


Dalam era globalisasi saat ini tidak ada satu negara pun yang bisa mengisolasi
diri dan memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa kerjasama dengan negara lain. Hal
tersebut memperlihatkan kesalingterhubugan atau interdependensi antar-negara.
Dalam masalah kelautan kerja sama antar negara dalam pengembangan wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil pun terjadi. Mengingat masalah kelautan telah
menjadi perhatian bersama seluruh masyarakat dunia kerjasama internasional
dalam menjaga kelestarian lingkungan telah menjadi kebutuhan. Dalam kerjasama
internasional ini peran aktif LSM internasional di bidang lingkungan hidup,
sebagai salah satu aktor internasional, patut diperhitungkan. Untuk menjawab
dan menemukan solusi atas permasalahan di atas, maka diajukan pertanyaan
penelitian sebagaimana diuraikan bawah ini:
Bagaimana kerjasama internasional, khususnya peran LSM internasional
di bidang lingkungan hidup, dalam membantu pengelolaan wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil di Indonesia?

IV. Tujuan dan Manfaat Penelitian


Penelitian ini akan membantu DPR dalam melaksanakan fungsi pengawasan
terhadap kinerja pemerintah dalam mengelola masalah-masalah kelautan, serta
menyiapkan berbagai peraturan perundang-undangan pendukung terkait,
diantaranya RUU mengenai kelautan, RUU mengenai perubahan undang-undang
tentang perjanjian internasional, RUU mengenai perubahan undang-undang
tentang perikanan. Secara lebih khusus laporan penelitian ini juga akan sangat
berguna dalam membantu anggota DPR melakukan amandemen terhadap UU
Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau
Kecil.
Dengan demikian, laporan penelitian tim atau kelompok yang komprehensif
ini dapat dimanfaatkan untuk anggota Komisi I, Komisi IV dan Badan Kerja Sama
Antar-Parlemen (BKSAP) yang membidangi masalah-masalah antar negara
dan pertahanan dan keamanan nasional. Secara khusus, laporan penelitian
adapat dikontribusikan bagi Badan Legislasi, yang tugasnya bertanggung
jawab dan berperan dalam penyusunan legislasi, dan Panitia Khusus RUU
mengenai masalah-masalah kelautan dan kejahatan transnasional.

V. Kerangka Pemikiran
Secara politik, Indonesia memiliki nillai strategis karena menyangkut
posisi tawar Indonesia di mata dunia internasional. menurut Muchtar
Kusumaatmaja, terdapat empat golongan yang berkepentingan dengan
prinsip-prinsip negara kepulauan Indonesia. Pertama, negara-negara tetangga

79
Peran Lembaga Swadaya Masyarakat Internasional

terutama ASEAN dan Australia. Kedua, negara yang berkepentingan terhadap


perikanan dan pemasangan kabel komunikasi di dasar laut. Ketiga, negara
maritim yang berkepentingan terhadap lalu lintas pelayaran laut. Keempat,
negara maritim besar yang mempunyai kepentingan terhadap strategi militer,
seperti AS, China.7
Di era globalisasi saat ini munculnya isu keamanan non-tradisionil
mengalihkan perhatian dari negara sebagai satu-satunya obyek acuan
keamanan. Dalam laporan tahunan UNDP Human Development Report 1994
dinyatakan keamanan lingkungan menjadi salah satu dari tujuh dimensi untuk
menciptakan keamanan manusia.8 Hal ini dipicu oleh pertumbuhan penduduk
yang pesat setelah berakhirnya Perang Dingin, yang kemudian memunculkan
kekuatiran terhadap kian terbatasnya daya dukung sumber daya alam untuk
mendukung kehidupan manusia agar dapat hidup layak. Dalam konteks inilah
berkembang konsep keamanan yang relatif berbeda, yakni konsep keamanan
yang menjadikan manusia secara individual sebagai acuannya (human
security). Konsep keamanan manusia inilah yang membuat konsep keamanan
tradisional (negara) mengalami perubahan, seiring dengan meningkatnya
perhatian masyarakat dunia terhadap isu lingkungan hidup dan semakin
berkurangnya peristiwa-peristiwa kedaulatan, militer dan perdamaian. Hal ini
yang menjadi dasar mengapa isu lingkungan hidup menjadi bagian dari studi
keamanan dalam ilmu hubungan internasional. Atau secara lebih khusus,
inilah yang menjadikan isu lingkungan hidup sebagai agenda baru dalam ilmu
hubungan internasional.
Isu lingkungan hidup menjadi kepentingan bersama karena permasalahan
lingkungan hidup selalu mempunyai efek global dan bersifat transnasional.
Kerusakan lingkungan akibat eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan
yang terjadi di satu negara dapat berdampak negatif ke negara lain.9 Lebih
lanjut isu lingkungan sudah menjadi kekuatan politik yang kuat. Dalam
realitas politik global hal ini mempunyai pengaruh bagi setiap negara dan
entitas lainnya yang ingin memegang kendali dan mendominasi kekuasaan.
Lebih lanjut dapat dijelaskan, isu lingkungan hidup menjadi faktor yang


7
Andi Iqbal Burhanuddin, The Sleeping Giant – Potensi dan Permasalahan Kelautan,
Surabaya; Brilian Internasional, 2011, hal. 201.

8
Bob Sugeng Hadiwinata,”Transformasi Isu dan Aktor di dalam Studi Hubungan
Internasional: dari Realisme hingga Konstruktivisme”, dalam Transformasi dalam studi
Hubungan Internasional, Yulius P. Hermawan (ed,)Yogyakarta, Graha Ilmu, 2007, hal. 13

9
John Baylis dan Steve Smith, The Globalization of World Politics: An Introduction to International
Relations. UK; Oxford University Press, 1999, h.314-315 dalam Anak Agung Banyu Perwita dan
Yanyan Mochamad Yani, Pengantar Hubungan Internasional, Bandung; Remaja Rosdakarya,
2005, hal. 144.

80
Dra. Adirini Pujayanti, M.Si.

harus diperhatikan karena aktivitas sosial dan ekonomi manusia seringkali


berlangsung dengan cara yang mengancam lingkungan hidup. Globalisasi
ekonomi yang cenderung mengurangi kontrol negara atas aliran sumberdaya
ekonomi akan memberi keuntungan kepada bangsa yang menguasai
teknologi. Sedangkan negara yang tidak menguasai teknologi akan hanya
menjadi penonton karena negara maju akan memonopoli eksploitasi sumber
daya alam.
Melalui kemitraan global yang diamanatkan oleh KTT Bumi 1992, semua
pihak diharapkan dapat berperan penuh untuk memperbaiki lingkungan
hidup. Tanpa kerjasama kemitraan tidak ada negara atau entitas bukan
negara yang dapat bekerja memperbaiki lingkungan. Hal ini merupakan
pendirian etis universalis yang dikenal sebagai kosmopolitanisme. Tanggung
jawab etis untuk menjaga lingkungan global berlaku dimana saja dan bagi
semua pelaku moral yang mampu memikulnya, bukan hanya bagi para
anggota dari tradisi yang satu atau komunitas lainnya; dan bahwa faktor-
faktor yang memberi alasan-alasan untuk bertindak pada suatu pelaku,
entah itu perseorangan ataupun korporasi, juga memberikan alasan-alasan
untuk tindakan serupa bagi setiap pelaku lain yang sama tempatnya tanpa
memandang komunitas atau kepercayaan mereka.10
Era globalisasi yang dicirikan oleh semakin meningkatnya hubungan
saling ketergantungan lintas batas negara, telah menyebabkan transformasi
besar dalam hubungan internasional. Isu lingkungan hidup menjadi menjadi
topik dalam berbagai fora internasional dan mempengaruhi hakekat
interaksi aktor-aktor hubungan internasional. Dalam isu lingkungan hidup
negara semakin tunduk kepada kekuatan pasar global dan tekanan-tekanan
aktor non-negara, dimana LSM merupakan salah satunya.
Menurut Daniel S.Papp, LSM yang bergerak secara global telah memperoleh
pengakuan sebagai aktor dalam hubungan internasional sejak Perang Dunia
II berakhir. Interaksi dalam hubungan internasional tidak hanya terjadi
antar negara, tetapi juga antara negara dengan LSM internasional, interaksi
semua aktor internasional tersebut membentuk sistem internasional. Secara
bersamaan, sistem internasional mempengaruhi cara tindakan aktor dan
cara mereka melihat diri mereka sendiri dan pihak lain. Berbagai aktor
internasional dan interaksi mereka menciptakan sebuah ruang gema yang
luas. Saling keterkaitan aktor dan minat mereka menciptakan sebuah sistem
internasional yang dinamis. Pada akhirnya hal tersebut turut mempengaruhi
cara para aktor bertindak dan berinteraksi berdasarkan pada cara pandang
Robert Attfield, Etika Lingkungan Global, (terjemahan Saut Pasaribu), Bantul; Kreasi
10

Wacana, 2010, hal. 32-33.

81
Peran Lembaga Swadaya Masyarakat Internasional

mereka melihat sistem internasional, peran dan posisi mereka dan peran
dan posisi orang lain dalam sistem internasional. Pengambilan keputusan
secara internasional sangat dipengaruhi oleh interaksi dan proses informasi
diantara para aktornya. .Dengan demikian saat ini negara tidak dapat
mengabaikan kritik dan saran LSM internasional. 11

VI. Metodologi Penelitian


A. Tempat dan Waktu
Penelitian dilakukan di dua lokasi, yaitu Kabupaten Wakatobi Provinsi
Sulawesi Tenggara dan Kabupaten Alor Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Penelitian Kabupaten Wakatobi dilakukan pada 1 – 7 Juli 2012, sedangkan
penelitian ke Kabupaten Alor dilakukan pada 22 – 28 Juli 2012. Penelitian
lapangan akan dilakukan di dua pulau pesisir yang memiliki sumber kekayaan
hayati di bidang kelautan dan memiliki permasalahan dalam pengelolaannya,
yang ditandai dengan maraknya eksploitasi sumber daya alam dan pengelolaan
oleh pihak asing. Semakin kompleks indikasi permasalahan yang dihadapi
dan semakin tingginya ancaman yang dihadapi terkait dengan kepentingan
nasional dan stakeholders dan akan semakin baik untuk dipilih sebagai lokasi
penelitian. Representasi yang berimbang antara wilayah barat, tengah, atau
timur Indonesia juga akan dipertimbangkan. Dalam hal ini, Kepulauan Wakatobi,
di Provinsi Sulawesi Tenggara dan Kabupaten Alor di Provinsi Nusa Tenggara
Timur dipilih sebagai lokasi penelitian. Keduanya merupakan wilayah yang
kaya dengan sumber daya alam, terutama terumbu karang dan ikan, namun
ekosistem terancam rusak parah secara menyeluruh oleh maraknya eksploitasi
pertambangan dan sumber daya alam lainnya secara ilegal. Kedua wilayah
tersebut terletak di kawasan Segitiga Karang Dunia (The Coral Triangle) yang
juga merupakan kawasan konservasi, yang selain merupakan aset nasional, juga
internasional (dunia). Di kedua lokasi tersebut peran LSM internasional seperti
WWF dan TNC dalam pengelolaan lingkungan hidup kelautan juga cukup besar.

B. Cara Pegumpulan Data


Sumber data dalam penelitian ini terbagi atas data primer yang berasal
dari wawancara mendalam (indepth interview) yang bersifat terbuka dengan
pihak dinas terkait baik di tingkat kabupaten maupun provinsi dan kalangan
akademis/pakar. Data sekunder diperoleh melalui pengumpulan dokumen
Kabupaten Dalam Angka, draft Rencana Tata Ruang Wilayah, dokumen

Daniel S.Papp, contemporary international relations, fifth edition, bosto ; Allyn an Bacon,
11

1997, hal. 109 -150.

82
Dra. Adirini Pujayanti, M.Si.

Renstra, peraturan daerah, serta tulisan dan hasil kajian yang berhubungan
dengan judul penelitian.

C. Metode Analisis
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif–analisis. Penelitian
kualitatif dimulai dengan identifikasi masalah yang menjadi sasaran dalam
penelitian. Identifikasi masalah menyangkut spesifikasi isu yang hendak
dipelajari. Selanjutnya, melakukan pembahasan atau penelusuran kepustakaan;
mengutarakan maksud dan tujuan penelitian; mengumpulkan data; menganalisa
dan menafsirkan data; dan menyusun laporan.

83
BAB II
MEGADIVERSITY LAUT INDONESIA

Indonesia adalah negara kepulauan dengan lebih dari 17 ribu pulau,


diantaranya 92 pulau kecil yang berada di kawasan perbatasan.12 Sebagai
negara kepulauan yang memiliki wilayah cukup luas, saat ini Indonesia telah
mendepositkan 13.487 pulaunya ke PBB.13 Indonesia merupakan negara yang
mempunyai keanekaragaman hayati sangat tinggi atau megadiversity, terutama
di bidang kelautan karena jumlah pulau dan perairan lautnya yang sangat luas.
Hal tersebut dipengaruhi oleh faktor biogeografi, iklim, arus dan sejarah geologi
Indonesia. Wilayah yang secara geologis lebih tua akan memiliki lebih banyak
keanekaragam hayati daripada wilayah yang lebih muda. Penyebabnya wilayah
yang lebih tua memiliki lebih banyak waktu menerima spesies yang tersebar
dari bagian lain dunia dan lebih banyak waktu bagi spesies yang ada untuk
menjalani proses adaptasi terhadap kondisi lokal. Salah satu contohnya tingkat
kekayaan spesies terumbu karang di Samudera Indonesia dan Pasifik Barat
lebih tinggi dari pada di Samudera Atlantik yang secarageologis lebih muda.
Laut dengan spesies terkaya terumbu karang terdapat di segitiga kepulauan
di Pasifik Barat yang meliputi wilayah negara Indonesia, Filipina dan Malaysia.
Penyebaran jenis-jenis ikan laut juga lebih banyak di kawasan ini. Diperkirakan
di kawasan tersebut terdapat hampir 39% dari jumlah ikan karang dunia atau
setara dengan 2.057 species.14 Keanekaragaman hayati yang dimiliki Indonesia
merupakan world heritage yang menjadi milik dunia, Indonesia tidak secara
mutlak memilikinya karena masyarakat dunia berhak ikut memiliki dan
menjaganya agar tidak punah.15
Kawasan terumbu karang di Indonesia merupakan salah satu kawasan
laut yang menjadi prioritas dunia saat ini karena merupakan kawasan
12
Andi Iqbal Burhanuddin, The Sleeping Giant – Potensi dan Permasalahan Kelautan,
Surabaya; Brilian Internasional, 2011, hal. 200.
13
FGD P3DI dengan Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA, pada tanggal 16 November 2011.
14
Jatna Supriatna, Melestarikan Alam Indonesia, Jakarta;Yayasan Obor Indonesia, 2008, hal.
44-46.
15
Wawancara dengan Marine species program WWF, Bapak Wawan Ridwan pada tanggal
25 Juni 2012.

85
Peran Lembaga Swadaya Masyarakat Internasional

laut terkaya di wilayah Indo-Pasifik. Beberapa pusat endemis terdapat


Indonesia yaitu di Nusa Tenggara, Sulawesi bagian timur laut dan Papua. Di
daerah tersebut jumlah jenis yang endemik atau tidak ditemukan dinegara
lain mencapai 76 jenis. Dalam peta keanekaragaman hayati yang dibuat
oleh World Wild Fund for Nature (WWF) yang dikenal sebagai Global 200
Ecoregions, Indonesia merupakan wilayah penting karena terdapat 19
wilayah keanekaragaman hayati dalam wilayah politik Indonesia. Program
pelestarian di Indonesia terdapat pada 25 situs yang tersebar di 17 provinsi, di
bidang kelautan, ekosistem air tawar dan hutan. Memperhatikan konfigurasi
Kepulauan Indonesia serta letaknya pada posisi silang yang sangat strategis,
juga dilihat dari kondisi lingkungan serta kondisi geologinya, keunggulan
komparatif Mega Biodiversity Indonesia berupa wilayah perairan Indonesia
memiliki keragaman hayati yang tidak ternilai baik dari segi komersial
maupun saintifiknya harus dikelola dengan bijaksana.
Laut Indonesia memiliki luas lebih kurang 5,6 juta km2 dengan potensi
sumberdaya, terutama perikanan laut yang cukup besar, baik dari segi kuantitas
maupun diversitasnya. Selain itu Indonesia tetap berhak untuk berpartisipasi
dalam pengelolaan dan pemanfaatan kekayaan alam di laut lepas di luar batas
200 mil laut ZEE, serta pengelolaan dan pemanfaatan kekayaan alam dasar
laut perairan internasional di luar batas landas kontinen. Indonesia yang
merupakan negara kepulauan, dipisahkan banyak laut dan terdiri dari pulau-
pulau ini disebut juga lokasi kepulauan atau insolar location.16 Konsekuensinya
dari kondisi tersebut diperlukan pengawasan dan penanganan yang cermat
dalam pembangunan untuk tetap menjaga kelestarian laut. Tanpa gangguan
dari manusia, fenomena alam yang ada dapat mengakibatkan perubahan
batas wilayah laut dengan adanya abrasi pantai, pendangkalan, erosi pulau
dan sebagainya.
Dengan kondisi yang pulau-pulau yang terpencar tersebut, masalah lain
yang terjadi adalah kualitas sumberdaya manusia dan tingkat kesejahteraan
sosial ekonomi masyarakat yang rendah. Kesadaran masyarakat untuk turut
menjaga kelestarian lautnya masih terkendala oleh kepentingan ekonomi.
Seperti yang terjadi dengan pengurukan Teluk Kendari yang merusak
ekosistem pesisir dan mengakibatkan musnahnya ikan di pesisir Kendari,
sehingga nelayan harus mencari ikan ke tengah laut dengan keterbatasan
peralatan. Kemiskinan nelayan di Kendari sulit teratasi karena keterbatasan
alat dan kemampuan yang menyebabkan mereka tidak mampu bersaing di

Suryo Sakti Hadiwijoyo, Batas Wilayah Negara Indonesia, Yogyakarta; Penerbit Gava
16

Media, 2009, HAL. 46-47.

86
Dra. Adirini Pujayanti, M.Si.

laut lepas.17 Pertumbuhan ekonomi dengan memanfaatkan potensi ekologi


dan ekonomi sumberdaya alam, serta potensi jasa lingkungan masih sulit
dilakukan karena kesadaran akan pentingnya kelestarian lingkungan masih
kurang. Hal ini seringkali berakibat pada kerawanan sosial dan perusakan
lingkungan demi mencukupi kebutuhan ekonomi masyarakat.

Wawancara dengan beberapa LSM lokal di Kendari pada tanggal 1 Juli 2012.
17

87
BAB III
UPAYA PELESTARIAN PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

Indonesia belum memiliki master plan pengembangan wilayah kelautan


secara nasional yang dapat dijadikan arahan bagi mengembangkan wilayah
laut dan pesisir ke arah yang lebih baik.18 Lebih lanjut, tata ruang terbentuk
atas unsur sumber daya alam, sumber daya buatan, sumber daya manusia,
dan aktivitas. Dalam hal ini, wilayah laut dan pesisir memiliki keempat unsur
tersebut. Penataan ruang bertujuan untuk mencapai pemanfaatan ruang yang
berkualitas untuk mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan sumber daya
alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia.
Penataan ruang merupakan sebuah pendekatan dalam pengembangan wilayah
yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas kesejahteraan masyarakat
dan lingkungan hidup. Dalam mencapai tujuan tersebut, dilakukan upaya
pengelolaan kawasan melalui pengembangan kegiatan ekonomi masyarakat
pada kawasan-kawasan budidaya dan pelestarian kawasan-kawasan lindung,
termasuk yang terdapat di ruang lautan dan kawasan pesisir. Mengembangkan
upaya konservasi tidak hanya membutuhkan dukungan tingkat lokal saja
namun pula regional dan nasional, agar upaya yang direncanakan dapat
didukung melalui berbagai aspek, baik aspek legal maupun aspek anggaran.
Melalui tata ruang, rakyat sedari awal telah diarahkan untuk menempati lokasi-
lokasi yang aman. Ini perlindungan awal yang bisa diberikan oleh Negara
kepada rakyatnya sebagai konsekuensi posisi Indonesia di wilayah rawan
gempa dan bencana alam. Tsunami di Aceh telah mengajarkan bahwa hidup
di tepi laut tanpa adaptasi dan zonasi yang terukur sangat membahayakan.
Perlindungan awal sangat dibutuhkan oleh rakyat negeri ini karena setiap saat
bencana alam dapat terjadi di wilayah Nusantara ini.
Pembangunan di Indonesia selama ini lebih memanfaatkan potensi
sumberdaya daratan daripada potensi sumberdaya perairan laut. Harus ada
perubahan pola pikir yang menjadikan potensi kelautan sebagai kekuatan

FGD dengan Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Direktorat Tata Ruang
18

Laut Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan pada tanggal 16
November 2011.

89
Peran Lembaga Swadaya Masyarakat Internasional

utama pembangunan di Indonesia, terutama di daerah-daerah yang


memiliki potensi laut yang besar. Hal tersebut harus diikuti dengan adanya
perlakukan khusus (reward) bagi daerah kepulauan berupa penganggaran
khusus yang lebih besar bagi daerah dengan mempertimbangkan luas
wilayahnya.19 Sebagai sebuah negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia
mesti menekankan pentingnya manajemen terhadap pulau-pulau kecil dan
wilayah pesisir di Indonesia. Pulau-pulau yang dimiliki oleh negara pantai
sangat penting karena dua alasan, yaitu; sebuah pulau memiliki nilai intrinsik
dalam hal wilayah dan nilainya dalam kaitannya dengan zona maritime yang
bisa diklaim di sekitarnya.Meskipun pulau tersebut berukuran kecil, tidak
berpenghuni dan tidak signifikan dari segi luas daratan, pulau itu menjadi
penting karena bisa mengklaim zona maritime yang signifikan luasnya. Zona
maritim yang diklaim bisa jauh lebih luas dari luas daratannya sendiri.20
Oleh sebab itu melakukan upaya marine cadastre yang pada hakikatnya
merupakan proses pengadministrasian pulau-pulau terluar di suatu negara
dan pemanfaatannya berdasarkan Konvensi Hukum laut PBB tahun 1982
merupakan hal mutlak bagi negara kepulauan Indonesia.Kegiatan yang
termasuk marine cadastre adalah termasuk penamaan, pengukuran dan
pemetaan wilayah termasuk batas-batasnya. Penetapan fungsi ruang laut
bagi pemerintah dan masyarakat juga termasuk dalam marine cadastre.21
Untuk negara kepulauan seperti Indonesia, pulau terluar memiliki
peran yang sangat signifikan dalam penentuan garis pangkal kepulauan. Hal
ini adalah salah satu alasan mengapa Indonesia mengeluarkan Peraturan
Presiden (PP) No.78 tahun 2005 tentang pengelolaan pulau-pulau kecil
terluar.22 Pulau-pulau kecil di perbatasan negara merupakan titik pangkal dan
garis terdepan nusantara yang memiliki nilai ekonomis dan dasar penentuan
wilayah kedaulatan sehingga sangat rentan timbulnya konflik dengan negara
yang berbatasan. Menurut UNCLOS sebuah pulau berhak mengklaim zona
maritime secara penuh, meliputi laut territorial, ZEE, Zona tambahan dan
landas kontinen. Oleh karena itu, sebuah pulau dapat berlaku sebagai bagian
dari garis pangkal bagi negara pantai yang memiliki kedaulatan atas pulau
tersebut.

19
Wawancara dengan Bupati Wakatobi, Hugua, pada tanggal 3 Juli 2012.
20
I Made Arsana, op.cit. hal.66.
21
Bonggas Adhi Chandra,”Mencari Foprmat Manajemen Perbatasan yang Komprehensif”,
dalam Mengelola Perbatasan Indonesia di Dunia Tanpa Batas: Isu, Permasalahan dan
Pilihan Kebijakan, Ludiro Madu dkk (Editor), Yogyakarta, Graha Ilmu, 2010, hal.31.
22
I Made Andi Arsana, Batas Maritim Antarnegara, Yogyakarta, Gajah Mada University Press,
2007, hal.66.

90
Dra. Adirini Pujayanti, M.Si.

Menurut Undang-undang No.27 Tahun 2007 tentang tentang Pengelolaan


Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K), pulau kecil didefinisikan
sebagai pulau dengan luasan kecil atau sama dengan 2000 km2 beserta
kesatuan ekosistemnya. Karena terpisah dari pulau besar dan dikelilingi
oleh lautan, pulau kecil umumnya dipengaruhi oleh faktor-faktor iklim
laut, bukan daratan sehingga sangat rentan terhadap perubahan alam
seperti Tsunami, badai gelombang, dan gempa dasar laut. Pulau kecil juga
sangat rentan terhadap perubahan lingkungan akibat perbuatan manusia
dalam mengeksploitasi pulau secara berlebihan, polusi dan kenaikan suhu
permukaan laut.23 Kerusakan lingkungan yang terjadi di pulau-pulau terluar
Indonesia dapat membawa kehancuran, bahkan bagi pulau-pulau kecil (tiny
Islands) dengan luas kurang lebih atau sama 2000 km2 dapat membawa
kemusnahan. Musnahnya pulau-pulau yang menjadi dasar penghitungan titik
pangkal wilayah Indonesia merupakan ancaman bagi keamanan nasional.
Dalam rangka memanfaatkan sumberdaya pulau kecil secara berkelanjutan,
Pasal 23 Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 menyatakan, pemanfaatan pulau-
pulau kecil perbatasan dan perairan di sekitarnya dilakukan berdasarkan
kesatuan ekologis dan ekonomi secara menyeluruh dan terpadu dengan pulau
besar di dekatnya, diperlukan adanya prinsip partisipasi yakni kerja sama
berbagai pihak yang terlibat untuk saling berbagi kelebihan, khususnya berkaitan
dengan kekuatan sumberdaya manusia. Penduduk pulau perlu didayagunakan
secara maksimal untuk mengurangi kesenjangan pembangunan antarwilayah.
Dengan perencanaan yang baik dan investasi yang cukup, pulau-pulau kecil
perbatasan tersebut dapat dirancang agar tumbuh menjadi kota pantai yang
berfungsi sebagai pusat perdagangan antar pulau maupun yang berorientasi
ekspor.
Dalam pandangan continental state yang tradisional, daerah atau
kepulauan yang tidak subur dipersepsikan sebagai daerah yang tidak penting,
kecuali di dalam tanahnya terkandung sumber mineral dan minyak bumi.
Seiring dengan kelangkaan sumberdaya dan energi serta kemajuan teknologi
eksplorasi laut, laut menjadi harta karun yang tidak ternilai harganya. Dengan
demikian, konsep monopolitik negara daratan tidak lagi cocok dengan konsep
kekinian yang semakin menunjukan relativitas konsep darat dan lautan.24
Pulau kecil yang sebelumnya diperlakukan sebagai daerah pinggiran secara
ekonomi dan hanya dianggap penting secara politik dan militer, kini terbukti
mampu menjadi salah satu aset ekonomi yang penting. Pulau kecil terdepan

Ibid., 207.
23

Herman Khaeron, Transformasi Politik Kelautan Indonesia untuk Kesejahteraan Rakyat,


24

Jakarta, Pustaka Cidesindo, 2012, hal.169-170.

91
Peran Lembaga Swadaya Masyarakat Internasional

Nusantara memiliki potensi laut yang luar biasa meskipun wilayah daratannya
tidak subur. Bahkan Potensi bawah laut yang dimilikinya dapat lebih besar
dibandingkan darat. Pulau-pulau tersebut dapat dibangun menjadi daerah
industri bahari atau pariwisata yang menguntungkan.
Keberadaan pulau-pulau kecil di negara kepulauan sangat penting
tidak hanya secara kewilayahan (politik), tetapi juga secara ekonomi.
Secara sosiobudaya, keberadaan pulau kecil menjadi mata rantai yang
menghubungkan dengan pulau-pulau lain sehingga semuanya seolah-olah
membentuk satu wilayah, satu kekuatan ekonomi, dan sosial dengan pulau
lain di sekitar, bahkan mungkin lebih penting karena letak dan potensi yang
dikandungnya. Atas dasar tersebut konsep negara kepulauan dianut konsep
kesatuan wilayah yang tidak lagi membedakan daratan dan lautan, pulau
besar dan kecil. Dalam konsep ini pulau kecil memiliki nilai geologi dan
geostrategis yang besar peranannya.

92
BAB IV
DUKUNGAN INTERNASIONAL DALAM PELESTARIAN LINGKUNGAN

Laut merupakan fenomena alam yang tersusun dalam suatu sistem yang
kompleks, terdiri dari komponen-komponen sumberdaya hayati dan non hayati
dengan keragaman dan nilai ekonomi yang tinggi. Setiap sumberdaya laut
tersusun dalam suatu ekosistem dengan karakteristik tertentu. Interaksi antar
ekosistem ini membentuk suatu keseimbangan lingkungan laut. Ekosistem laut
beraksi relatif lebih sensitif dan selalu berupaya mencari keseimbangan baru
terhadap adanya perubahan. Hal ini berarti bahwa adanya perubahan pada
suatu ekosistem di laut dapat berdampak pada kawasan yang luas atau bahkan
hingga tingkat global. Masalah lingkungan hidup dapat memberi tekanan pada
negara untuk terlibat dalam kerjasama internasional yang lebih besar. Degradasi
lingkungan hidup merupakan ancaman terhadap lingkungan global yang
merupakan sistem pendukung kehidupan bagi manusia, sehingga degradasi
lingkungan hidup secara khusus merupakan ancaman terhadap manusia secara
keseluruhan. Dibutuhkan kerjasama global agar dapat mengatasi ancaman
tersebut, karena isu lingkungan hidup melintasi pembatas antara politik
domestik dan politik internasional.
Indonesia mempunyai kewajiban untuk memperhatikan aspek kelestarian
lingkungan di wilayah laut dan menjamin kelestarian keanekaragaman hayati
yang ada. Pada saat ini program-program tersebut tertuang dalam kegiatan
konservasi alam, yang terimplementasikan dalam kegiatan perlindungan,
pelestarian dan pemanfaatan. Sistem konservasi yang dilakukan di Indonesia
mengikuti ketentuan-ketentuan yang termuat di dalam strategi konservasi
dunia. Dalam program tersebut termasuk upaya untuk melindungi serta
meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat.Kekayaan laut Indonesia
yang belum banyak termanfaatkan untuk kepentingan nasional, seringkali justru
dimanfaatkan dengan cara ilegal oleh pihak asing untuk kepentingan mereka
tanpa mempedulikan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh kegiatan
tersebut. Upaya pelestarian lingkungan laut membutuhkan biaya yang tidak
sedikit, sehingga tanpa bantuan internasional akan sulit bagi negara berkembang
berbentuk kepulauan seperti Indonesia melakukan upaya pelestarian lautnya.

93
Peran Lembaga Swadaya Masyarakat Internasional

Lingkungan hidup menjadi salah satu topik yang cukup dominan dalam
hubungan internasional dewasa ini, karena berkaitan dengan kelangsungan
kehidupan manusia di bumi. Realitas tersebut telah menjadikan isu lingkungan
hidup sebagai topik penting ketiga dalam hubungan internasional, setelah isu
keamanan internasional dan ekonomi global, sehingga setiap negara harus
memberikan perhatian serius terhadap masalah ini.25 Dukungan internasional
terhadap pengamanan kekayaan laut Indonesia cukup besar. Dunia semakin
menyadari bahwa eksploitasi sumberdaya alam yang hanya berorientasi ekonomi
akan terjadinya degradasi lingkungan yang pada akhirnya dapat berdampak
negatif bagi kehidupan manusia.
Secara internasional pada tahun 1970-an mulai timbul upaya untuk
menangani masalah ini bersama-sama dan secara kelembagaan.26 Diawali
dengan Konferensi Lingkungan Hidup Manusia (UN Conference on the Human
Environment/UNCHE) di Swedia tahun 1972. Salah satu hasil pentingnya adalah
lahirnya Program Lingkungan PBB ( UN Envinronment Program – UNEP).
Lembaga ini dibentuk sebagai katalisator untuk meningkatkan kesadaran
dan aksi yang berkaitan dengan isu lingkungan dalam sistem PBB. UNEP
memunculkan gagasan pembangunan yang berkelanjutan atau berwawasan
lingkungan. (sustainable development). Makin disadari bahwa lingkungan hidup
yang baik merupakan salah satu aspek yang diperlukan agar kebijaksanaan di
bidang pembangunan dan pertumbuhan bisa dipertahankan.27
Paradigma pembangunan berkelanjutan, yang mengedepankan unsur
lingkungan hidup dari seluruh proses pembangunan, diterima sebagai sebuah
agenda politik pembangunan untuk semua negara. Namun hingga kini paradigma
tersebut belum banyak diimplementasikan, bahkan masih belum luas dipahami
dan diketahui.28 Keanekaragaman hayati di laut merupakan kekayaan alam
yang menjadi milik seluruh umat manusia dan generasi mendatang sehingga
semua pihak harus menjaganya. Dukungan terhadap upaya pelestarian
keanekaragaman hayati laut mendapat dukungan besar dari masyarakat
internasional. Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui United Nation Environment
Program (UNEP) mensponsori World Monitoring and Conservation Center
(WCMC) melakukan pencatatan jumlah jenis biota laut dan lingkup distribusi
penyebarannya di seluruh dunia. Kepunahan keanekaragaman hayati merupakan
kerugian besar bagi umat manusia. Hal tersebut berarti hilangnya kesempatan
25
Robert Jackson dan Georg Sorensen, Pengantar Studi Hubungan Internasional ,(terjemahan
Suryadipura), Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2005; hal.324.
26
Addinul Yakin, Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan – Teori dan kebijaksanaan
Pembangunan Berkelanjutan, Jakarta: Akademika Pressindo, 1997., hal. 11-16.
27
Ibid, hal. 15-16
28
A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan, Jakarta; Kompas,2002, hal. 166-167.

94
Dra. Adirini Pujayanti, M.Si.

mempelajari spesies tersebut yang mungkin dapat sangat berguna bagi


kehidupan manusia, seperti untuk kepentingan pangan, pengobatan maupun
kebutuhan industri lainnya. Kerusakan hingga musnahnya keanekaragaman
hayati seringkali dianalogikan sebagai penghancuran perpustakaan dunia yang
menyimpan buku-buku yang belum terbaca.29 Oleh karena itu, upaya pelestarian
keanekaragaman hayati saat ini tidak memandang batas-batas nasional atau
kultural. Masyarakat dunia akan membantu pelestarian keanekaragaman hayati
karena mengetahui manfaat yang sangat besar dari spesies yang bersangkutan
bagi kelangsungan hidup manusia.
Pemanasan global telah membuat ekosistem terumbu karang mengalami
pemutihan dan penurunan populasi biota laut. Ancaman tenggelam terjadi
terhadap pulau-pulau kecil yang merupakan kawasan rentan terhadap perubahan
iklim. Pulau-pulau kecil memiliki fungsi dan peranan ekosistem sebagai penunjang
kehidupan seperti pengatur iklim global, siklus hidrologi dan biogeokimia,
penyerap limbah, sumber plasma nutfah, sehingga hilangnya kawasan ini menjadi
kerugian besar bagi umat manusia.30 Di lain pihak, manusia mempercepat
kerusakan tersebut dengan melakukan penebangan hutan mangrove yang selama
ini menjadi pelindung pulau dari ancaman angin dan gelombang tinggi dan
tempat berkembang biak biota laut, termasuk habitat burung dan hewan lainnya.
Sebagian besar kerusakan keaneragaman hayati terjadi di negara-negara. Hutan
mangrove, padang lamun dan terumbu karang merupakan potensi sumberdaya
hayati dan jasa lingkungan yang memiliki peran dalam mengendalikan
keseimbangan ekosistem perairan laut. Upaya menjaga kelestarian laut kian
berat dengan semakin meningkatnya abrasi pantai, pencemaran lingkungan laut
maupun punahnya keanekaragaman hayati di laut.
Melindungi habitat berupa komunitas hayati yang utuh merupakan cara
efektif untuk melestarikan lingkungan dapat dilakukan dengan membuat
kawasan konservasi atau kawasan yang dilindungi yang merupakan wilayah
darat maupun laut yang dicanangkan dan diwujudkan untuk melindungi
keanekaragaman hayati dan budaya terkait, serta dikelola secara legal dan efektif.
Perlindungan komunitas ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya
mewujudkan kawasan konservasi, mengelola kawasan tersebut secara efektif di
kawasan perbatasan maupun pulau terluar.31
Pelestarian keanekaragaman hayati memerlukan biaya besar, mencakup
program-program pemulihan untuk wilayah-wilayah yang rusak dan kerjasama
29
Robin Attfield, ibid, hal.189.
30
D.G. Bengen, Menuju Pembangunan Pesisir dan Kelautan Berkelanjutan Berbasis Ekosistem,
Jakarta; Pusat Pembelajaran dan Pembangunan Pesisir dan Laut, 2004.
31
Mohamad Indrawan dkk, Biologi Konservasi, Jakarta; Yayasan Obor; 2007, h. 287

95
Peran Lembaga Swadaya Masyarakat Internasional

dengan penduduk lokal. Dengan kenyataan tersebut masyarakat dunia berupaya


membantu dengan menyediakan sumber dana teknologi bagi pemulihan
pelestarian alam. Untuk melindungi keanekaragaman hayati dari kepunahan
perlu dikembangkan rencana pemulihan. Rencana pemulihan ini dapat dilakukan
secara sukarela, atau dengan cara dikontrakan melalui badan internasional yang
bergerak dalam bidang perlindungan dan pelestarian alam, swasta, atau oleh
suatu tim pemulihan yang diangkat oleh pemerintah. Pada umumnya proyek-
proyek ini mendapat bantuan keuangan dari badan-badan internasional yang
bergerak dalam bidang perlindungan dan pelestarian alam, karena pelestarian
keanekaragaman hayati memerlukan biaya besar, mencakup program-programn
pemulihan untuk wilayah-wilayah yang rusak dan kerjasama dengan penduduk
lokal.

96
BAB V
PERUBAHAN POLA PIKIR MASYARAKAT LOKAL

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) berskala internasional yang


bergerak di bidang lingkungan hidup berperan aktif dalam upaya pelestarian
lingkungan di negara-negara berkembang. Sejauh ini, lembaga asing seperti
LSM internasional yang memiliki kantor program di Indonesia telah dijalin
melalui MoU dengan kemenetian kehutanan diantaranya TNC (The Nature
Conservancy), CII (Conservation International Indonesia) dan WWF IP (World
Wildlife Fund for Nature and Natural Resources – Indonesia Program), serta
beberapa LSM nasional yang berafiliasi dengan pihak asing seperti Burung
Indonesia. Dukungan mitra sing maupun nasional ini berada pada wilayah
pengembangan pengelolaan kawsan konservasi dan keanekaragaman hayati
serta dukungan pengembangan masyarakat lokal.32
Dua LSM yang menjadi bahan penelitian di sini adalah WWF dan TNC.
Visi WWF-Indonesia adalah ”Pelestarian keanekaragaman hayati Indonesia
untuk kesejahteraan generasi sekarang dan di masa mendatang”. Misi kami
adalah melestarikan keanekaragaman hayati dan mengurangi dampak yang
disebabkan manusia. WWF-Indonesia memiliki tujuan kerja menghentikan
dan memperbaiki kerusakan lingkungan yang terjadi serta membangun
masa depan, dimana manusia hidup selaras dengan alam. Pola kerja WWF
IP adalah melalui kerjasama dan dialog, melakukan program pendidikan
pelestarian secara berkesinambungan. Sedangkan TNC atau The Nature
Conservancy adalah organisasi konservasi berbasis ilmuwan yang bekerja
di lebih dari 30 negara untuk pelestarian alam di wilayah darat dan perairan
demi kepentingan manusia. Dalam bekerja TNC menggunakan pendekatan
non-konfrontatif dan memberikan solusi pragmatis terhadap tantangan
konservasi. TNC menekankan bekerja sama dengan mitra, yaitu dengan
masyarakat, perusahaan, instansi pemerintah, lembaga-lembaga multilateral,
individu dan organisasi nirlaba di seluruh dunia.

Wawancara dengan Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian


32

Kehutanan, Ir.Sonny Partono MA, pada tanggal 13 Agustus 2012.

97
Peran Lembaga Swadaya Masyarakat Internasional

Keberadaan LSM kedua tersebut dapat lebih mudah diterima oleh


masyarakat karena merekrut warga negara Indonesia sendiri sehingga
lebih mudah beradaptasi dengan masyarakat setempat. Dukungan finansial
yang kuat juga membantu pelaksanaan program kerja mereka dapat segera
diaplikasikan di masyarakat. Hal tersebut menjadi faktor penting karena
penekanan dalam kerjasama internasional di bidang lingkungan adalah
mengupayakan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau kecil secara terpadu.
Dimulai dengan tahap perencanaan proses pengelolaan dilakukan secara terus
menerus dalam membuat keputusan tentang pemanfaatan, pembangunan
dan perlindungan wilayah pesisir. Keberhasilan pengelolaan pesisir terpadu
dapat mendorong keberhasilan berbagai kegiatan pembangunan kelautan
lainnya. Kendala yang masih dihadapi adalah merubah kesemrawutan
menjadi keteraturan yang memiliki nilai tambah.
WWF dan TNC membantu melakukan pengawasan dan sosialisasi kepada
masyarakat agar peduli pada lingkungan laut yang menjadi sumber nafkah
mereka. Peran pengawasan lebih banyak dilakukan dengan pemberian
bantuan operasional, seperti peminjaman kapal maupun biaya operasional
pelayaran. Namun sejak tahun 2002 bantuan yang bersifat operasional
tersebut mulai dialihkan kepada pembinaan SDM, khususnya pemberdayaan
masyarakat pesisir melalui berbagai program pendampingan. Pemberian
bantuan tanpa program pendampingan masyarakat dinilai tidak akan
berhasil. Selain mendidik masyarakat agar tidak manja, pembinaan kepada
masyarakat lebih berdaya guna dan berkelanjutan, karena ilmu yang diberikan
melalui program pendampingan dapat diturunkan dan disebarkan kepada
masyarakat secara lebih luas.33 Dalam pelaksanaannya fokus kerjasama ini
banyak melibatkan masyarakat lokal, khususnya di daerah pesisir karena
SDM yang rendah dan konsentrasi kemiskinan berada di kawasan tersebut.
Mereka berkeyakinan bahwa ikan tidak akan habis sehingga tidak siap saat
terjadi penurunan kuantitas ikan yang dapat terjadi akibat cara penangkapan
yang buruk maupun lingkungan laut yang rusak. Selain itu mereka juga harus
dipersiapkan menghadapi fenomena perubahan iklim yang seringkali tidak
mereka sadari.34
Dalam pandangan LSM internasional yang bergerak di bidang lingkungan
seperti WWF dan TNC, bantuan diutamakan pada pembinaan SDM, khususnya
masyarakat lokal, untuk mengubah pola pikir agar lebih berwawasan
33
Wawancara dengan Bapak Sugianto, perwakilan WWF dan TNC di Wakatobi padatanggal
4 Juli 2012.
34
Wawancara dengan Kepala Dinas KKP Wakatobi, Drs Laode Ibijufu, Msi, pada tanggal 3
Juli 2012

98
Dra. Adirini Pujayanti, M.Si.

lingkungan. Pelestarian lingkungan mengedepankan prinsip keseimbangan


alam, keberlangsungan lingkungan, keadilan dan pengakuan serta kesejahteraan
masyarakat lokal. Masyarakat lokal yang hidup di pesisir dan mengandalkan
laut sebagai sumber mata pencahariannya, merupakan merupakan komponen
utama dalam rangka menunjang konservasi. Konservasi bukan sekedar saluran
dimana kepentingan ekonomi lebih dikalahkan dibandingkan pemeliharaan dan
pemanfaatan lingkungan, masih terdapat titik temu antara kepentingan ekonomi
dan pelestarian alam misalnya melalui ecotourisme. Upaya pemberdayaan
masyarakat lokal dan memperkuat kemampuan ekonomi mereka dengan
membuka berbagai alternatif sumber penghasilan tanpa merusak alam sangat
ditekankan oleh para pemberi bantuan luar negeri. Hal ini dapat diterapkan
Pemda dengan mengangkat budaya lokal menjadi daya tarik turisme, seperti
yang dilakukan Dinas Pariwisata Kabupaten Wakatobi dengan budaya suku
Bajou.35

I. Kabupaten Wakatobi
Kawasan Taman Nasional Wakatobi dengan luas kurang lebih 1.390.000
Hektar memiliki kekayaan sumber daya alam perairan yang penting bagi
manusia, khususnya bagi masyarakat sekitarnya. Pemda Kabupaten Wakatobi
sangat responsif dalam melindungi kekayaan hayati yang dimilikinya, namun
upaya penyusunan perda tentang RTRW belum juga terselesaikan. Seperti juga
kawasan konservasi lainnya, TNW juga tidak terlepas dari permasalahan klasik
berkaitan dengan eksploitasi sumber daya alam dikarenakan ketergantungan
masyarakat pesisir terhadap sumber daya alam kelautan yang ada. Diantaranya
penangkapan biota laut yang dilarang, penambangan batu karang dan pasir
pantai. Kegiatan tersebut dapat bersifat ekstratif bila dilakukan dengan
cara-cara yang merusak lingkungan, seperti penggunaan bom, pembiusan,
atau penggunaan bahan kimia yang merupakan penyebab utama kerusakan
terumbu karang. Kegiatan perusakan oleh masyarakat tersebut akan terus
berlangsung selama kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan tidak
mengalami perubahan ke tingkat yang lebih baik. Dukungan dan partisipasi
aktif masyarakat dalam menjaga kelestarian kawasan akan sulit terwujud
tanpa diimbangi dengan upaya nyata peningkatan kesejahteraan.
Investasi baru di bidang pariwisata dan kelautan di kabupaten ini
diupayakan dapat menjadi pilar dinamika perekonomian, salah satunya
membuka investasi pariwisata di pulau-pulau kecil. Namun, penyewaan
pulau kepada orang asing di Wakatobi ini merugikan warga lokal karena
Wawancara dengan Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Wakatobi, Bapak Tawakkal , pada
35

tanggal 3 Juli 2012.

99
Peran Lembaga Swadaya Masyarakat Internasional

melarang nelayan di kecamatan Tomia mendekati Pulau One Mobaa disewa


Lorens Moders, warga negara Swiss, sejak 15 tahun lalu. Ia menyewa dari
warga bernama Haji Baharuddin untuk masa 75 tahun.36 Daerah tangkapan
ikan nelayan setempat menjadi berkurang, pihak Pemda juga sulit mendapat
ijin untuk melakukan pengawasan ke sana. Masalah keamanan juga patut
menjadi pertimbangan karena para tamu resort tersebut merupakan warga
asing yang datang menggunakan alat transportasi udara langsung ke resort
tersebut sehingga pihak Pemda sulit melakukan pendataan. Pengelola pulau
tersebut juga tidak pernah melaporkan atau memberikan data tamunya
kepada Pemda Wakatobi.
Kabupaten Wakatobi memiliki kekhususan karena seluruh wilayahnya
merupakan kawasan taman nasional. Sosialisasi pelestarian lingkungan
terus diupayakan oleh Pemda dibantu oleh LSM asing. LSM WWF dan TNC
melakukan upaya pendampingan terhadap kelompok-kelompok nelayan
Wakatobi agar tidak menangkap ikan dengan merusak terumbu karang.
Tantangan justru datang dari pencurian ikan oleh nelayan dari luar daerah
yang masih menggunakan bom dan racun untuk penangkapan ikan serta
penambangan pasir. Upaya pengawasan terhadap kegiatan ilegal di laut juga
terkendala minimnya sarana pengamanan maupun personil aparat pengaman.
Upaya penegakan hukum dan kemampuan aparat untuk menanggulangi
masalah ini terkendala kurangnya sarana telekomunikasi, kapal patroli
dan BBM.37 Tidak konsistennya kebijakan antar instansi maupun di pihak
pemerintah pusat juga menyebabkan upaya pelestarian ikan yang dilindungi
seperti napoleon mengalami kendala.38
Kerjasama LSM, khususnya WWF dan TNC, saat ini diarahkan kepada
revisi zonasi Taman Nasional Wakatobi yang ditetapkan tahun 1996. Revisi ini
dilakukan karena penetapan zonasi sebelumnya kurang diterima masyarakat
karena ditetapkan di belakang meja tanpa mempertimbangkan kondisi
di daerah. Di Kabupaten Wakatobi upaya menjaga kelestarian lingkungan
banyak dilakukan melalui kerjasama yang sangat baik dengan Pemda
Wakatobi, khususnya Bupati Wakatobi, Bapak Hugua, yang sangat terbuka
terhadap program pelestarian lingkungan. Keberhasilan pelestarian laut
di Wakatobi dinilai berhasil dan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
yang mengurus masalah pendidikan dan kebudayaan, UNESCO, menetapkan
36
”Pulau Disewa Asing, Nelayan tersingkir”, Media Indonesia, 14 September 2012, hal.12.
37
Wawancara dengan Kepala seksi pengelolaan Taman Nasional Wilayah I, Bapak Laode
Ahyar Thamrin Mukti pada tangal 5 Juli 2012 dan Komandan Polisi Air Kendari , bapak
Wayan Pinatih pada tanggal 6 Juli 2012.
38
Wawancara dengan Kepala Dinas KKP Wakatobi, Drs Laode Ibijufu, Msi, pada tanggal 3
Juli 2012.

100
Dra. Adirini Pujayanti, M.Si.

kawasan Taman Nasional (TN) Laut Wakatobi, Sulawesi Tenggara (Sultra),


sebagai salah satu kawasan cagar biosfer dunia yang ada di Indonesia, tanpa
syarat. Ada tiga kepentingan yang dilindungi UNESCO dalam menetapkan
TN Wakatobi sebagai pusat cagar biosfer dunia tersebut, yaitu kearifan lokal
masyarakat Wakatobi, kelestarian lingkungan, dan kepentingan ekonomi
masyarakat yang berkelanjutan. Tantangan yang dihadapi Kabupaten
Wakatobi selanjutnya adalah upaya kemandirian untuk menjaga kelestarian
lautnya setelah bantuan TNC dan WWF tidak ada dan pergantian bupati.
Terdapat kesenjangan kemampuan pemahaman antara bupati dengan jajaran
pemda dibawahnya sehingga dikhawatirkan terjadi penurunan kebijakan
lingkungan setelah terjadi pergantian bupati Wakatobi.

II. Kabupaten Alor


Keragaman terumbu karang di NTT cukup banyak dan potensinya
hampir merata di semua perairan wilayah ini. Namun ekosistem terumbu
karang di wilayah perairan NTT terus terancam akibat aktivitas manusia
yang merusak karang seperti melakukan penangkapan ikan menggunakan
bom dan potasium. Pemerintah Provinsi NTT mendukung upaya pelestarian
laut di wilayahnya denga berbagai kebijakan, diantaranya Gerakan Masuk
Laut (GEMALA),PERDA NO 4 TAHUN 2007 tentang pengelolaan wilayah
pesisir dan Laut, dan juga PERDA NO 1 Tahun 2011 tentang RTRW provinsi
NTT yang mengintegrasikan pengelolaan wilayah darat dan laut termasuk
pengalokasian TNP Laut Sawu didalamya serta PERATURAN GUBERNUR
NO 38 TAHUN 2010 tentang Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang yang
mana kesemua regulasi yang ada tersebut dapat menjadi landasan kebijakan
bagi peningkatan pengelolaan sumber daya laut dan pesisir di Nusa
Tenggara Timur. Namun hal tersebut diragukan karena PERDA NO 4 TAHUN
2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan Laut maupun PERATURAN
GUBERNUR NO 38 TAHUN 2010 tentang Pengelolaan Ekosistem Terumbu
Karang tidak memiliki saksi yang dapat memberikan efek jera.39
Setelah diterbitkannya UU No 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil. Laut Sawu di Provinsi Nusa Tenggara
Timur (NTT) akan dideklarasikan sebagai kawasan konservasi nasional
untuk perlindungan mamalia laut, khususnya ikan paus. Sebagai Taman
Nasional Perairan yang terletak di dalam Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
dan berbatasan dengan wilayah pesisir Barat Timor Leste. Kawasan ini
perlu penanganan dengan seksama karena termasuk dalam kawasan
segitiga karang dunia (the Coral Triangle) yang memiliki keanekaragaman
Wawancara dengan TNC dan pihak P4 Taman Nasional Laut Sawu pada tanggal 22 Juli 2012.
39

101
Peran Lembaga Swadaya Masyarakat Internasional

hayati laut yang sangat tinggi dengan sebaran terumbu karang yang luas
dan keragaman hayati spesies sekaligus merupakan habitat kritis sebagai
wilayah perlintasan 14 jenis paus, termasuk 2 spesies paus yang langka,
paus biru dan paus sperma. Selain itu Laut Sawu juga merupakan habitat
yang penting bagi lumba-lumba, duyung, ikan pari manta dan penyu.
Masyarakat setempat menjadikan ikan paus tersebut sebagai satwa buru
sehingga jika tidak segera dilindungi maka ikan paus jenis langka bisa
punah. Pengelolaannya akan berbagi peran antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah setempat. Harus adanya sinergitas antara pemerintah
Pusat dan daerah dalam mengelola Taman Nasional Perairan Laut Sawu ini,
yang kesemuanya harus bermuara kepada upaya peningkatan kesejahtreaan
masyarakat Nusa Tenggara Timur. Dalam proses pengkajiannya LSM TNC
dan WWF bekerjasama dengan tim Pengkajian Percepatan Penetapan
Pengelolaan Taman Nasional Laut Sawu yang terdiri dari berbagai unsur
SKPD, Polri, Universitas, LSM lokal dan berbagai asosiasi masyarakat.
Bantuan LSM asing kepada Pemda NTT diberikan dalam bentuk non fisik,
baik berupa pelatihan maupun pendokumentasian dan pendataan. Sebagai
contoh LSM TNC memberi dukungan finansial dan memberikan arahan
program, tetapi duduk bersama semua unsur P4 Laut Sawu membahas
perencanaan program yang akan dilaksanakan. Dalam kerjasama ini setiap
pihak mampu melepaskan ego sektoralnya dan bekerja bersama, terutama
dalam menghadapi tantangan terkait masalah sosial budaya dari masyarakat.
Dalam implementasinya TNC lebih bergerak di bidang teknis, dengan cara
memperkuat kapasitas staf, meningkatkan kerjasama tim, menyerahkan
desentralisasi kewenangan pengawasan kepada Pemda dan menjadi fasilitator
dari staf maupun LSM lokal yang menjadi ujung tombak dalam melakukan
sosialisasi kepada masyarakat.40
Provinsi NTT memiliki 1.192 pulau, tetapi baru dihuni sekitar 50 pulau.
Sisanya tidak dihuni dan belum memiliki nama. Pulau-pulau tersebut
sangat indah tetapi belum dikelola.41 Pulau tak berpenghuni di wilayah
NTT terbilang banyak, karena itu BKPMD menggagas untuk menjadikan
pulau-pulau tersebut masuk dalam investasi baru di bidang pariwisata dan
kelautan sehingga bisa menjadi pilar dinamika perekonomian, salah satunya
membuka investasi di pulau tak berpenghuni.42 Provinsi NTT mempunyai
40
Wawancara dengan bapak Alexander S. Tanody, Project Leader TNC untuk Indonesia
Marine Program Savu Sea Marine Protected Areas Development Project pada tanggal 22
Juli 2012.
41
“Pulau di Sikka Terlantar”, Kompas, 13 September 2012, hal. 22
42
Banyak Pulau Tanpa Penghuni, NTT Bidikan Investasi, 19 Juli 2012, http://www.beritasatu.
com/ ekonomi/60891-banyak-pulau-tanpa-penghuni-ntt-bidikan-investasi.html.

102
Dra. Adirini Pujayanti, M.Si.

potensi pariwisata yang sangat besar, diantaranya keindahan laut dan darat,
hewan langka komodo maupun kebudayaan yang sangat beragam. Seluruh
potensi pariwisata NTT belum terkelola dengan baik sehingga belum menjadi
andalan perekonomian daerah. Pulau-pulau kecil di NTT memiliki keunikan
pemandangan bawah laut dan berpotensi besar menjadi tempat wisata.
Namun pulau-pulau tersebut seringkali tidak terawat karena tidak dikelola.
Jika pulau-pulau ini tidak mendapat perhatian pemerintah akan sangat
mudah diklaim kelompok masyarakat tertentu kemudian dijual kepada
warga negara asing. Orang asing cenderung menikahi gadis lokal kemudian
berupaya membeli pulau yang ada untuk kegiatan bisnis pariwisata.43
Pulau-pulau yang telah disewakan kepada pihak asing dikhawatirkan tidak
akan memberi akses kepada warga lokal untuk turut mempergunakannya
karena dianggap merusak privacy para tamu resort dan merusak keindahan
terumbu karang dikawasan tersebut.
Gugusan pulau terindah terdapat di Kabupaten Alor yang tidak hanya
memiliki tumbuhan dan hewan yang unik, tetapi juga taman laut yang sangat
indah. Kabupaten Alor sebagai salah satu dari 16 Kabupaten/Kota di Provinsi
Nusa Tenggara Timur adalah wilayah kepulauan dengan 15 pulau yaitu 9
pulau yang telah dihuni dan 6 pulau lainnya belum atau tidak berpenghuni.44
Alor memiliki taman laut yang ditengarai merupakan salah satu yang
terindah di dunia. Di perairan sekitar Alor setidaknya ada lebih dari 60 titik
menyelam dengan 20 di antaranya berkualitas terbaik di dunia. Titik-titik
menyelam tersebut tersebar mulai dari Alor Besar, Alor Kecil, Dulolong, Pulau
Buaya, Pulau Kepa, Pulau Ternate, Pulau Pantar, dan Pulau Pura. Selama ini
beberapa pulau dengan titik penyelaman yang indah berada dalam wilayah
yang disewa oleh orang asing. Demi menjaga kelestarian terumbu karang di
daerah tersebut, tidak sembarang orang dapat berkunjung atau mendaratkan
perahunya di kawasan tersebut.
Perairan laut dan pesisir Kepulauan Alor, terutama perairan Laut Selat Pantar
memiliki ekosistem perairan yang menarik dengan keanekaragaman hayati
yang tinggi. Pada musim tertentu, perairan Selat Pantar juga merupakan jalur
migrasi paus yang merupakan daya tarik kawasan. Karena keunikan tersebut,
maka kawasan Selat Pantar dan sekitarnya telah ditetapkan sebagai Taman
Laut melalui Surat Keputusan Bupati No. 5 Tahun 2002. Selain itu, Bupati Alor
juga menetapkan Selat Pantar sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah melalui
Peraturan Bupati Alor No. 12 Tahun 2006 pada tanggal 17 Juli 2006. Dikarenakan

“Pulau di Sikka Terlantar”, Kompas, 13 September 2012, hal.22.


43

Wawancara dengan PLT Kasid KKP Kabupaten Alor, Bapak Mesak Blegur, pada tanggal 23
44

Juli 2012.

103
Peran Lembaga Swadaya Masyarakat Internasional

ada perluasan kawasan konservasi, maka pada tanggal 6 Maret 2009 dikeluarkan
peraturan Peraturan Bupati Alor No. 6 Tahun 2009 yang mengubah Perbup Alor
No. 12 Tahun 2006. Adapun tujuan perluasan Selat Pantar sebagai KKLD, yaitu:
(a) mendukung pengelolaan stok yang perlindungan tahapan kehidupan tertentu
(larva nursery ground), fungsi-fungsi kritis populasi yang dieksploitasi (feeding
ground, spawning ground), pusat dispersi untuk perekrutan larva jenis-jenis yang
dieksploitasi; (b) mendukung stanilitas perikanan; (c) pengganti ekologi yang
hilang karena dampak ekosistem; dan (d) meningkatkan hasil sosial ekonomi
masyarakat.? Luas Kawasan 400,008.30 km2.
Pemda Alor mendapat penghargaan CTI di tahun 2009 karena telah
mencadangkan wilayah perairannya untuk konservasi. Program kerjasama
CTI tidak teraplikasikan di Kabupaten Alor, sehingga program pelestarian
lingkungan lebih banyak merupakan inisiatif dari Kabupaten Alor sendiri.45
Anggaran Kabupaten Alor untuk melakukan pelestarian lingkungan minim
dan lebih banyak digunakan untuk pelaksanaan tugas rutin.46 Pemda Alor
bersama dengan FAO juga bekerjasama memperkuat kemandirian masyarakat
pesisir untuk ketahanan pangan yang tidak merusak alam. Masyarakat
berinisiatif secara berkelompok melakukan pengawasan lingkungan dengan
kearifan lokal melalui cara buka tutup daerah penangkapan ikan.
Upaya pelestarian lingkungan dilakukan Pemda Kabupaten Alor
bekerjasama dengan WWF sejak tahun 2008. WWF juga melakukan koordinasi
dengan pihak TNI AL dalam program GEMALA yang digagas oleh pihak Pemda
Provinsi.47 Dengan kondisi masyarakat yang telah sadar lingkungan tersebut,
WWF memberikan bantuan melalui berbagai pelatihan peningkatan kualitas
SDM untuk meningkatkan kesadaran pelestarian lingkungan, diantaranya
membantu dalam penetapan zonasi, sosialisasi pembentukan dan pembuatan
draft akademis Perda tahun 2010, upaya penyuluhan di sekolah dasar maupun
bantuan pembiayaan pendidikan terkait pelestarian lingkungan.48 Dalam
kerjasama pemberdayaan masyarakat juga dilakukan pelatihan industri rumah
tangga, pertanian rumput laut. Pelatihan yang diberikan WWF, TNC maupun
FAO merupakan menjadi bantuan sekunder bagi Pemda karena lebih kepada
peningkatan kapasitas SDM. Sebagai contoh WWF membantu pelatihan
penanaman dan pengolahan rumput laut, selanjutnya Pemda memberikan
45
Wawancara dengan Bupati Alor, Bapak Drs.Simeon TH Pally, pada tanggal 25 Juli 2012
46
Wawancara dengan Kadis BLDH Kabupaten Alor, Bapak Marzuki dan jajarannya, pada
tanggal 24 Juli 2012.
47
Wawancara dengan Kolonel Habri dari Dinas Potensi Maritim Lantamal VII pada tanggal
27 Juli 2012
48
Wawancara dengan Sekertaris Bappeda Kabupaten Alor, Bapak Obeth Bolang, S,Sos pada
tanggal 24 Juli 2012.

104
Dra. Adirini Pujayanti, M.Si.

bantuan pendanaan. Upaya pemberdayaan masyarakat di bidang ekonomi


harus menjadi perhatian penting karena masyarakat lokal umumnya adalah
nelayan tradisional dengan kemampuan terbatas yang tidak mampu melaut di
laut lepas. Harus ada peluang usaha sampingan bagi mereka agar disaat cuaca
buruk mereka masih tetap dapat mencari nafkah tanpa merusak lingkungan
laut.

105
BAB VI
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

I. Kesimpulan
Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia memiliki nilai strategis bagi
pengembangan ekonomi nasional dan peningkatan kesejahteraan masyarakat
dan sekaligus merupakan wilayah yang sangat rentan terhadap kerusakan dan
perusakan. Oleh karenanya diperlukan pengelolaan yang bijaksana dengan
menempatkan kepentingan ekonomi secara proporsional dengan kepentingan
lingkungan, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil menghadapi tantangan
pembangunan yang kompleks mengingat sifat ekosistemnya yang kaya akan
sumber daya dan bersifat open access. LSM asing juga membantu menangani
permasalahan di wilayah laut dan pesisir agar dikembangkan pendekatan yang
mengintegrasikan pengaturan pemanfaatan ruang daratan, ruang lautan, dan
ruang udara beserta seluruh sumber daya yang ada di dalamnya, termasuk dalam
meningkatkan kualitas SDM. Dengan demikian pengelolaan wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil dapat mewujudkan pembangunan berkelanjutan melalui
pemanfaatan sumber daya secara optimal dan efisien dengan memperhatikan
prinsip-prinsip keterpaduan, pendekatan bottom-up, kerjasama antar-daerah,
penegakan hukum, dan konsistensi dalam memanfaatkan rencana tata ruang
wilayah.
Kerjasama di bidang lingkungan dengan LSM asing relatif berjalan baik.
LSM asing yang memberikan bantuan menyerahkan pembuatan program
kepada Pemda, sehingga program yang dibuat sesuai dengan kebutuhan
masyarakat. LSM juga mengusulkan program baru, tetapi menyerahkan pilihan
tersebut kepada Pemda dan lebih menitikberatkan pada dukungan dana.
Dalam pelaksanaan programnya LSM asing menggunakan tokoh masyarakat
sehingga masyarakat lebih percaya dan bersikap terbuka dibandingkan
petugas instansi pemerintah. Setiap LSM asing harus melaporkan program
yang dilaksanakannya kepada kantor pusatnya di negara luar negeri untuk
dievaluasi untuk kesinambungan program selanjutnya. Data dari hasil laporan
tersebut dapat dimanfaatkan oleh pihak penyandang donor untuk sumber

107
Peran Lembaga Swadaya Masyarakat Internasional

data bagi riset-riset yang dilakukan negara donor demi kepentingan mereka.
Tetap perlu kewaspadaan nasional agar data kekayaan alam hayati di wilayah
pesisir maupun pulau kecil tidak dimanfaatkan pihak asing dan merugikan
Indonesia sendiri.

II. Rekomendasi
Upaya penegakan hukum dan pemberdayaan masyarakat di bidang
kelautan merupakan faktor-faktor utama yang masih harus diutamakan
dalam menjaga kelestarian wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia.
Bantuan LSM asing hendaknya tetap dalam posisi sekunder, karena pada
intinya pelestarian lingkungan pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia tetap
merupakan tanggung jawab pemerintah Indonesia.

108
BIBLIOGRAFI

Buku
Addinul Yakin, Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan – Teori dan kebijaksanaan
Pembangunan Berkelanjutan, Jakarta: Akademika Pressindo, 1997.

Andi Iqbal Burhanuddin, The Sleeping Giant – Potensi dan Permasalahan


Kelautan, Surabaya; Brilian Internasional, 2011.

Daniel S.Papp, Contemporary International Relations, fifth edition, Boston;


Allyn an Bacon, 1997.

Jatna Supriatna, Melestarikan Alam Indonesia, Jakarta;Yayasan Obor Indonesia,


2008.

I Made Andi Arsana, Batas Maritim Antarnegara, Yogyakarta, Gajah Mada


University Press, 2007.

Robert Attfield, Etika Lingkungan Global, (terjemahan Saut Pasaribu), Bantul;


Kreasi Wacana, 2010

Ludiro Madu dkk (Editor), Mengelola Perbatasan Indonesia di Dunia Tanpa


Batas: Isu, Permasalahan dan Pilihan Kebijakan, Yogyakarta, Graha Ilmu,
2010.

Anak Agung Banyu Perwita dan Yanyan Mochamad Yani, Pengantar Hubungan
Internasional, Bandung; Remaja Rosdakarya, 2005

D.G. Bengen, Menuju Pembangunan Pesisir dan Kelautan Berkelanjutan Berbasis


Ekosistem, Jakarta; Pusat Pembelajaran dan Pembangunan Pesisir dan Laut,
2004.

Suryo Sakti Hadiwijoyo, Batas Wilayah Negara Indonesia, Yogyakarta; Penerbit


Gava Media, 2009

Jemadu, Aleksius, Politik Global dalam Teori dan Praktik, Yogyakarta; Graha Ilmu,
2008.

109
Strauss, Anselm dan Juliet Corbin, dasar-dasar Penelitian Kualitatif Prosedur,
Tehnik dan Teori Grounded, Alih bahasa H.M Djuanidi Ghony, Surabaya:PT
Bina Ilmu, 1997

Herman Khaeron, Transformasi Politik Kelautan Indonesia untuk Kesejahteraan


Rakyat, Jakarta, Pustaka Cidesindo, 2012

Keraf, A. Sonny, Etika Lingkungan, Jakarta; Kompas,2002.

Buzan, Barry, et.al, Security:A new Framework for Analysis, Boulder; lynne
Rienner Publisher, 1998.

Indrawan, Mohamad dkk, Biologi Konservasi, Jakarta; Yayasan Obor; 2007.

Jackson, Robert dan Georg Sorensen, Pengantar Studi Hubungan Internasional


, (terjemahan Dadan Suryadipura), Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2005

Yulius P. Hermawan (ed,) Transformasi dalam studi Hubungan Internasional


Yogyakarta, Graha Ilmu, 2007.

Portal
Tentang Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan (KKJI) http://kp3k.
kkp.go.id/webbaru/ditjen/kkji diakses 2 januari 2012

Selamat Hari Laut Se-Dunia, “Our Oceans: Greening Our Future ”, http://
kp3k.kkp.go.id/mitrabahari/index.php?option=com_content&view=
article&id=295%3Aselamat-hari-laut-se-dunia-our-oceans-greening-
our-futureq&catid=1%3Aterkini&Itemid=69&lang=in, diakses 2
Agustus 2012.

Mahkamah Konstitusi, http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/ putusan/


putusan_sidang_ Nomor % 20 3% 20PUU%- 20pesisir%202010-TELAH%20
BACA.pdf, diakses tanggal 27 Juli 2011.

Banyak Pulau Tanpa Penghuni, NTT Bidikan Investasi, 19 Juli 2012, http://
www.beritasatu.com/ ekonomi/60891-banyak-pulau-tanpa-penghuni-
ntt-bidikan-investasi.html

Dokumen
Rencana Induk pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan
tahun 2011 – 2014, Seri BNPP 025-0111, Jakarta: BNPP RI, 2011

110
Joanne Wilson dkk,Rancangan Ilmiah Jejaring Kawasan Konservasi Laut Yang
Tangguh, Program kelautan TNC, Laporan No.2/11, Maret 2011, h.2-3.

FGD
FGD P3DI dengan Prof. Dr. Rizald Max Rompas, pada tanggal 3 Agustus
2011.

FGD P3DI dengan Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA, pada tanggal 16
November 2011.

FGD P3DI dengan Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,
Direktorat Tata Ruang Laut Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Kementerian
Kelautan dan Perikanan pada tanggal 16 November 2011.

FGD dengan bapak Robert Simbolon, MPA Asdep Penataan Ruang Kawasan
Perbatasan BNPP tanggal 2 November 2011

Koran
Bernard Limbong,”Ekonomi Hijau-Biru dan Perintah Konstitusi”, Suara
Pembaharuan, 9 Juli 2012.

”Pulau Disewa Asing, Nelayan tersingkir”, Media Indonesia, 14 September 2012

Fimansyah”Visi Ekonomi Berbasis Kelautan”, Kompas, 14 Juli 2012

Zonasi Pesisir Masih Tertinggal, Kompas, 7 Agustus 2012

“Pulau di Sikka Terlantar”, Kompas, 13 September 2012

Wawancara
Wawancara dengan Marine species program WWF, Bapak Wawan Ridwan
pada tanggal 25 Juni 2012.

Wawancara dengan beberapa LSM lokal di Kendari pada tanggal 1 Juli 2012.

Wawancara dengan Bupati Wakatobi, Hugua, pada tanggal 3 Juli 2012.

Wawancara dengan Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian


Kehutanan, Bapak Ir. Sonny Partono MA, pada tanggal 13 Agustus 2012

Wawancara dengan Bapak Sugianto, perwakilan WWF dan TNC di Wakatobi


pada tanggal 4 Juli 2012.

111
Wawancara dengan Kepala Dinas KKP Wakatobi, Drs Laode Ibijufu, Msi, pada
tanggal 3 Juli 2012

Wawancara dengan Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Wakatobi, Bapak


Tawakkal, pada tanggal 3 Juli 2012.

Wawancara dengan Kepala seksi pengelolaan Taman Nasional Wilayah I,


Bapak Laode Ahyar Thamrin Mukti pada tangal 5 Juli 2012

Wawancara dengan Komandan Polisi Air Kendari , bapak Wayan Pinatih


pada tanggal 6 Juli 2012

Wawancara dengan Kepala Dinas KKP Wakatobi, Drs Laode Ibijufu, Msi, pada
tanggal 3 Juli 2012

Wawancara dengan TNC dan pihak P4 Taman Nasional Laut Sawu pada
tanggal 22 Juli 2012.

Wawancara dengan PLT Kasid KKP Kabupaten Alor, Bapak Mesak Blegur,
pada tanggal 23 Juli 2012

Wawancara dengan Bupati Alor, Bapak Drs.Simeon TH Pally, pada tanggal 25


Juli 2012

Wawancara dengan Kadis BLDH Kabupaten Alor, Bapak Marzuki dan


jajarannya, pada tanggal 24 Juli 2012.

Wawancarad dengan Kolonel Habri dari Dinas Potensi Maritim Lantamal VII
pada tanggal 27 Juli 2012

Wawancara dengan Sekertaris Bappeda Kabupaten Alor, Bapak Obeth


Bolang, S,Sos pada tanggal 24 Juli 2012.

Wawancara dengan bapak Alexander S. Tanody, Project Leader TNC


untuk Indonesia Marine Program Savu Sea Marine Protected Areas
Development Project pada tanggal 22 Juli 2012.

112
Bagian Keempat
PERAN PEMERINTAH DAERAH (PEMDA)
DALAM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR
DAN PULAU-PULAU KECIL DI KABUPATEN WAKATOBI
DAN KABUPATEN ALOR*

Dedeh Haryati, S.Sos., M.Si.**

*
Penelitian yang dilakukan pada tahun 2012.
**
Peneliti pada Pusat Pengkajian dan Pengolahan Data dan Pelayanan Informasi Setjen
DPRRI.
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Secara geografis letak kepulauan Indonesia sangat strategis yakni di
daerah tropis yang diapit oleh dua benua (Asia dan Australia), dua samudera
(Pasifik dan India), serta merupakan pertemuan tiga lempeng besar di dunia
(Eurasia, India-Australia dan Pasifik) menjadikan kepulauan Indonesia
dikaruniai kekayaan sumberdaya kelautan yang berlimpah, baik berupa
sumberdaya hayati dan non-hayati, maupun jasa-jasa lingkungan. Oleh karena
itu Indonesia merupakan suatu karakteristi unik yang di dalamnya terdapat
jutaan potensi sumber daya alam yang bisa termanfaatkan untuk kepentingan
bangsa dan anak cucu bangsa yang akan datang.
Sebagai negara yang terdiri atas kepulauan terbesar di dunia, pastinya
pelayanan oleh pemerintah pusat terhadap seluruh wilayah yang ada di
Indonesia sangat memiliki banyak kendala, yang berefek kepada disintegrasi
bangsa, kemiskinan, ketidakmerataan pembangunan, rendahnya kualitas
hidup masyarakat, dan minimnya pembangunan sumber daya manusia
(SDM), dan lambannya angka kesejahteraan masyarakat. Maka dengan itu,
untuk menyiasati seperti yang disebutkan di atas, maka pemerintah pusat
mengambil sebuah kebijakan yang dikenal dengan Otonomi Daerah.
Dalam otonomi daerah yang terdiri atas UU no 32 tahun 2004, tentang
pemerintahan daerah dan UU No. 25 tahun 1999, tentang perimbangan
keuangan pusat dan daerah, bahwa daerah diberikan hak dan wewenang untuk
mengatur dan mengurus daerahnya masing-masing sesuai dengan potensi
yang dimiliki oleh daerah untuk dikembangkan, sebagai konsekuensi dari
pelaksanaan otonomi daerah. Untuk itu, pemerintah daerah diharapkan memiliki
kemampuan mengidentifikasi dan mengelola potensi-potensi yang ada di
daerahnya, untuk dimanfaatkan secara efektif dan efisien guna terselenggaranya
aktifitas pembangunan dalam rangka peningkatan kualitas hidup masyarakat
dan daerahnya. Dengan demikian pemerintah daerah berkewajiban secara
konsisten mengelola potensi-potensi yang bisa dikembangkan, yang diharapkan

115
Peran Pemda dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir

dapat meningkatkan pendapatan daerah dan meningkatkan kesejahteraan


masyarakat, bangsa dan Negara.
Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut pada dasarnya memiliki tujuan
untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkelanjutan,
terutama komunitas masyarakat lokal yang bermukim di wilayah pesisir
(coastal zone). Oleh karena itu, dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir,
aspek ekologi dalam hal kelestarian sumberdaya dan fungsi-fungsi ekosistem
harus dipertahankan sebagai landasan utama untuk mencapai kesejahteraan
tersebut. Pemanfaatan sumberdaya pesisir diharapkan tidak menyebabkan
rusaknya fishing ground, spawning ground, maupun nursery ground ikan.
Selain itu juga tidak merusak fungsi ekosistem hutan bakau (mangrove),
terumbu karang (coral reefs), dan padang lamun (sea grass) yang memiliki
keterkaitan ekologis dengan keberlanjutan sumberdaya di wilayah pesisir.
Berlakunya Undang-Undang No. 22 tahun 1999 yang kemudian diubah menjadi
UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah memberikan nuansa baru
pembangunan di daerah, maka upaya pemanfaatan dan pengembangan
berbagai potensi daerah, termasuk potensi sumberdaya di wilayah pesisir,
mulai mendapat perhatian.
Arti penting dari UU tersebut adalah bahwa daerah memiliki otoritas
yang lebih besar terhadap pengelolaan sumberdaya di wilayah laut.
Seperti diketahui bahwa selama rezim orde baru (1966-1998) pengelolaan
sumberdaya tersebut cenderung bersifat sentralistik, sehingga telah terjadi
pelemahan peran masyarakat lokal dan berbagai kerusakan sumberdaya
hayati laut, seperti gejala tangkap lebih (overfishing), degradasi ekosistem
terumbu karang dan hutan mangrove akibat praktik penangkapan ikan yang
berlebihan dan merusak ekosistem perairan laut seperti pengeboman dan
bahan-bahan beracun menjadi kurang terkontrol.
Dengan diberlakukannya UU No. 32 tahun 2004, kebijakan pengelolaan
sumberdaya pesisir dan lautan sudah bergeser dari sentralistik ke desentralistik.
Perubahan paradigma pembangunan pesisir dan lautan dari pola sentralistik ke
desentralistik atau istilah lainnya kebijakan kelautan berbasis otonomi daerah,
maka sebagai konsekuensinya pemerintah kabupaten/kota kini telah memiliki
kewenangan (authority) yang lebih besar dalam sistem pengelolaan sumberdaya
pesisir dan laut. Dalam kebijakan pembangunan masyarakat pesisir, Pemerintah
Daerah diharapkan akan lebih berupaya untuk mengedepankan aspirasi,
kebutuhan dan kepentingan masyarakat pesisir, khususnya masyarakat lokal (local
coastal community), dan pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan dalam
rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir setempat, terutama
masyarakat adat.

116
Dedeh Haryati, S.Sos., M.Si.

Potensi sumber daya pesisir dan laut merupakan karunia yang harus
dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk kesejahteraan masyarakat. Sumberdaya
pesisir di Negara Indonesia memang sangatlah istimewa. Namun pada
kenyataanya pengelolaan ini belum optimal dilakukan sehingga di perlukan
pengelolaan melalui konsep suatu pendekatan yang melibatkan dua atau lebih
ekosistem, sumber daya, dan kegiatan pemanfaatan (pembangunan) secara
terpadu (intergrated) guna mencapai pembangunan wilayah pesisir yang
berkelanjutan. Sehingga yang utama harus diperhatikan adalah keseimbangan
antara pembangunan dan aspek konservasi yang tetap harus dilakukan.
Banyaknya pemanfaatan dan berbagai aktifitas yang terus berlangsung
dampak negatif pun muncul. Dampak-dampak utama saat ini berupa polusi,
abrasi, erosi dan sedimentasi, kerusakan kawasan pantai seperti hilangnya
mangrove, degradasi daya dukung lingkungan dan kerusakan biota laut. Termasuk
diantaranya isu administrasi, hukum seperti otonomi daerah, peningkatan
PAD (Pendapatan Asli Daerah), konflik-konflik daerah dan sektoral merupakan
persoalan yang harus dipecahkan bersama melalui manajemen kawasan pesisir
terpadu.
Namundalamupayapemanfaatanpotensi,terkadangmunculpermasalahan
yang berakar dari adanya kesenjangan kondisi lingkungan dan sistem sosial.
Oleh karena itu, pemerintah daerah sebagai perencana, pelaksanan, dan
pengontrol dalam sebuah kebijakan daerah diharapkan mampu menganalisis
dan memetakan permasalahan yang terjadi dalam masyarakat sehingga dalam
mengeluarkan kebijakannya tidak terkesan sepihak, akan tetapi sesuai dengan
kebutuhan masyarakat.
Berdasarkan penjelasan umum UU Nomor: 32 Tahun 2004 tentang
pemerintahan daerah, bahwa tujuan utama penyelenggaraan otonomi daerah
yang hendak dicapai, maka pemerintah wajib melakukan pembinaan berupa
pemberian pedoman, dalam hal penelitian, pengembangan, perencanaan
dan pengawasan.
Untuk itu pemerintah pusat wajib memberikan fasilitas berupa pemberian
kemudahan, bantuan dan dorongan kepada pemerintah daerah agar dapat
melaksanakan otonomi daerah secara efisien dan efektif sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Selain itu, otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi
seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur
semua urusan pemerintahan, diluar yang menjadi urusan pemerintah pusat yang
ditetapkan dalam undang-undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat
kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan serta prakarsa dan
pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan
masyarakat.

117
Peran Pemda dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir

Dengan adanya otonomi daerah, sangat diharapkan daerah mampu


memainkan peranannya dalam membuka peluang memajukan daerahnya
dengan melakukan identifikasi dan mengelola sumber-sumber yang berpotensi
untuk dapat meningkatkan pendapatan asli daerah, karena besar kecilnya
pendapat daerah sangat berefek kepada keberhasilan pelaksanaan otonomi
tersebut. Hal ini berkaitan erat dengan konsep otonomi dan desentralisasi yang
pada hakekatnya memberikan kekuasaan, kewenangan dan keleluasaan kepada
pemerintah daerah.
Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Alor merupakan salah satu daerah
kepulauan di Indonesia yang memiliki potensi pesisir dan kelautan yang sangat
besar. Potensi sumberdaya pesisir dan kelautan yang perlu di kembangkan
dalam pemanfaatannya guna kesejahteraan masyarakat. Keberadaan terumbu
karang, hutan mangrove, serta keanekaragaman flora dan fauna laut merupakan
potensi yang memiliki nilai ekonomi yang menjanjikan, baik di bidang produksi
maupun di bidang pariwisata. Saat ini ekosistem pantai terancam kelestariannya
terutama oleh kegiatan manusia. Sumber daya pantai merupakan anugerah alam
yang sangat berharga bagi mahluk hidup yang perlu dikelola dan dikembangkan
secara baik untuk kepentingan saat ini dan dimasa yang akan datang. Untuk
tetap menjaga potensi sumber daya pesisir Wakatobi dan Alor, maka diperlukan
suatu pengelolaan yang dilakukan secara terpadu dan berkesinambungan agar
sumber daya yang ada tersebut tetap terjaga.

B. Rumusan masalah  
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi perumusan
masalah dalam tulisan ini adalah:
Bagaimanakah Peranan pemerintah daerah dalam pengelolaan wilayah
pesisir khususnya di Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Alor ditinjau
dari segi persfektif otonomi daerah ?.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian


Adapun tujuan dari tulisan ini adalah:
1. Untuk mengetahui peranan pemerintah daerah, dalam hal
pemberdayaan masyarakat berbasis pengelolaan sumberdaya wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil khususnya di Kabupaten Wakatobi dan
Kabupaten Alor.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mendukung dan menghambat
pelaksanaan kebijakan pemerintah daerah dalam pengelolaan
sumberdaya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil khususnya di
Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Alor.

118
Dedeh Haryati, S.Sos., M.Si.

Adapun manfaat yang dapat diambil dari tulisan ini adalah :


1. Dapat memberikan masukan bagi pemerintah daerah dan
masyarakat dalam melaksanakan pengelolaan sumberdaya wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil khususnya di Kabupaten Wakatobi
dan Kabupaten Alor
2. Memberikan kontribusi pengetahuan, pemikiran, dan wawasan
terhadap pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil khususnya di Kabupaten
Wakatobi dan Kabupaten Alor.

D. Metode Penelitian
1. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian lapangan dilakukan di dua wilayah pesisir, terutama yang
memiliki permasalahan dalam pengelolaannya, ditandai dengan maraknya
eksploitasi sumber daya alam dan pengelolaan oleh pihak asing. Semakin
kompleks indikasi permasalahan yang dihadapi dan semakin tingginya
ancaman yang dihadapi terkait dengan kepentingan nasional dan kepentingan
stakeholders akan semakin baik untuk dipilih sebagai lokasi penelitian.
Dalam hal ini, Kepulauan Wakatobi, di Provinsi Sulawesi Tenggara dan
Kabupaten Alor di Provinsi Nusa Tenggara Timur dipilih sebagai lokasi
penelitian. Keduanya merupakan wilayah yang kaya dengan sumber daya
alam, terutama terumbu karang dan ikan, namun ekosistem terancam rusak
parah oleh maraknya eksploitasi pertambangan dan sumber daya alam lainnya
secara ilegal. Kedua wilayah tersebut terletak di kawasan Segitiga Karang
Dunia (The Coral Triangle) yang juga merupakan kawasan konservasi, yang
selain merupakan aset nasional, juga internasional (dunia).

2. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yaitu penelitian
yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh
subyek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi dan lain-lain secara
holistik dan dengan cara diskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada
suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai
metode alamiah1.


1
Lexy J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi, Bandung, Penerbit Remadja
Rosdakarya, 2004, hal. 6.

119
Peran Pemda dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir

a. Teknik Pengumpulan Data dan Informan Penelitian


Teknik pengumpulan data yang utama dilakukan adalah observasi
terhadap obyek penelitian, utamanya hal-hal yang terkait dengan pemerintah
daerah setempat, seperti Bappeda, Dinas Pariwisata, Dinas Kelautan dan
Perikanan, WWF. CNI, Dinas Taman Nasional Wakatobi dan Alor. Konteks dari
setiap proses pengamatan ini diharapkan dapat memahami secara lebih utuh
terkait dengan masalah yang akan dianalisis lebih lanjut pada fokus pada
penelitian ini. Melalui observasi pula, diharapkan bahwa setiap unsur yang
dapat diperoleh dari pengamatan di lapangan akan mendukung penelitian
agar tidak menjadi sekedar bersandar pada data-data atau informasi yang
bersifat formal. Unsur “natural setting” menjadi kekuatan dari pengamatan
yang dilakukan, dengan berusaha menangkap setiap makna dari proses
pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Ini sesuai
dengan pengertian observasi dalam penelitian kualitatif adalah pengamatan
langsung terhadap objek untuk mengetahui keberadaan objek, situasi,
konteks, dan maknanya dalam pengumpulan data penelitian.2
Hasil observasi akan diperdalam dengan melakukan indepth interview.
Wawancara mendalam (indepth interview) terhadap informan penelitian
dilakukan berdasarkan berdasarkan panduan wawancara yang telah
dipersiapkan untuk pelaksanaan penelitian. Hasil penelitian yang didapat melalui
kedua teknik pengumpulan data ini, kemudian dianalisis secara deskriptif.
Informan penelitian pada penelitian ini didapat dengan menggunakan
teknik purposive yaitu teknik penentuan sampel untuk tujuan tertentu saja3.
Informan penelitian yang dipergunakan sebagai sumber data primer dalam
penelitian ini yaitu: Bappeda, Dinas Pariwisata, Dinas Kelautan dan Perikanan,
WWF. CNI, Dinas Taman Nasional Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Alor.

b. Metode Analisis
Analisa penelitian ini diawali dengan mempelajari referensi terkait
pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Referensi yang
dimaksud bisa dalam bentuk dokumen-dokumen dan hasil wawancara. Bentuk
referensi lainnya adalah berita dan artikel surat kabar terkait dengan pengelolaan
sumberdaya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Juga mempelajari buku-
buku, jurnal terkait dengan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil. Data yang berhasil digali di lapangan kemudian dianalisis dengan
menggunakan teori-teori yang digunakan dalam proposal penelitian.


2
Jam’an Satori dan Aan Komariah, Metodologi Penelitian Kualitatif, Penerbit Alfabeta,
Bandung, 2009, hal. 105.

3
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, Penerbit CV Alfabeta, Bandung, 2005, hal. 62.

120
Dedeh Haryati, S.Sos., M.Si.

Selain itu analisa dilakukan dengan menggunakan metode triangulasi, yakni


dengan cara melakukan check and cross check atas informasi yang diterima
untuk melihat persamaan dan keselarasan dan juga perbedaan. Hasil triangulasi
selanjutnya disusun kedalam suatu rangkuman secara deskriptif, dengan melihat
persamaan dan perbedaan dari informan. Setelah deskripsi analisa disusun,
selanjutnya dilakukan pengambilan kesimpulan dan rekomendasi.
Untuk melihat peranan pemerintah daerah, maka Penulis menggunakan
pendekatan proses dengan memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi
program pemerintah daerah dalam pemberdayaan masyarakat kaitannya
dengan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
yaitu faktor manajemen pengelolaan. Apabila faktor tersebut membantu
dalam pelaksanaan program pemerintah daerah, maka faktor tersebut
dikategorikan sebagai faktor pendukung. Sebaliknya apabila faktor tersebut
tidak membantu/menghambat dalam pelaksanaan program pemerintah
daerah, maka disebut sebagai factor penghambat.

121
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori
1. Pengertian dan Krakteristik Wilayah Pesisir
Definisi wilayah pesisir bisa berbeda-beda, karena belum ditemukan
suatu istilah paten untuk mengartikannya. Sesuai dengan Kep. 10/MEN/2002,
wilayah pesisir telah didefinisikan sebagai wilayah peralihan antara ekosistem
daratan dan laut yang ditentukan oleh 12 mil batas wilayah ke arah perairan
dan batas kabupaten/kota kearah pedalaman. Menurut Kesepakatan umum
di dunia bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan
dan lautan.
Dalam Undang-undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil disebutkan bahwa wilayah pesisir
adalah daerah peralihan antara ekosisitem darat dan laut yang dipengaruhi
oleh perubahan di darat dan laut, sedangkan pulau-pulau kecil adalah pulau
dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km² beserta kesatuan
ekosistemnya.
Menurut Emmy Hafid4 bahwa di wilayah pesisir terdapat sekurang-
kurangnya dua bentuk ekosistem, yaitu: 1) ekosistem alamiah meliputi terumbuh
karang, hutan mangrove, padang lamun, pantai berpasir, laguna, delia dan
lain-lain; 2) ekosistem buatan meliputi tambak, sawah pasang surut, kawasan
pariwisata, kawasan industri, agroindustri, permukiman dan lain-lain.
Sumber daya wilayah pesisir terdiri atas sumber daya alam terdiri
dari sumber daya alam yang dapat diperbaharui meliputi berbagai biota
laut yang tumbuh dan hidup disekitar wilayah pesisir termasuk terumbuh
karang. Sedangka sumber daya yang tidak dapat diperbaharui meliputi
minyak, gas, mineral, baru-batuan, pasir dan sebagainya. Keadaan demikian
tercermin sepenuhnya dalam wilayah Taman Nasional Takabonerate yang
oleh pemerintah telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi laut. Oleh
karena wilayah tersebut menyimpan bagitu banyak potensi alam laut, maka

4
Emmy Hafid, Potret Kelautan di Masa Kin. Artikel  ilmiah Majalah Tanah Air Walhi Nomor
3 Tahun XXI, Jakarta, 2006, hal 174.

123
Peran Pemda dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir

sudah barang tentu diminati oleh sebagian kalangan untuk berinvestasi,


berwisata termasuk untuk bermukim baik kalangan pendatang dari wilayah
lain disekitarnya, maupun yang memang penduduk asli setempat.
Selanjutnya oleh Monoarva5 berpendapat pada masyarakat nelayan
jaringan aktivitas sangat terbatas hanya pada kegiatan penangkapan ikan.
Sistem pengetahuan yang berkembang adalah berhubungan erat dengan
kegiatan penangkapan dan sumber daya lautan, sementara jaringan sosial
hanya terbatas pada jaringan kerja (network) ponggawa sawi (Patronklien).
Dalam masyarakat pesisir, umumnya dikenal sebagai masyarakat
nelayan (penghasil ikan) baik dalam skala besar maupun dalam skala
kecil. Kelompok masyarakat nelayan dalamskala besar adalah mereka yang
melakukan pembudidayaan ikan yang umumnya di tambak, sedangkan
kelompok yang berskala kecil adalah mereka yang dalam menghasilkan ikan
atau yang dipersamakan dengan itu sangat bergantung pada penangkapan
langsung dilaut. Meski kedua kelompok masyarakatpesisir tersebut sama-
sama sebagai penghasil ikan atau yang sejenis atau yang dipersamakan
dengan itu, namun titik perbedaannya adalah terletak pada pola kerjanya.
Secara umum, wilayah pesisir dapat didefinisikan sebagai wilayah
pertemuan antara ekosistem darat, ekosistem laut, dan ekosistem udara
yang saling bertemu dalam suatu keseimbangan yang rentan. 6 Kerentanan
tersebut dipengaruhi karena kawasan pesisir dan laut memiliki karakteristik
khusus, baik dalam sifat ekologis maupun keanekaragaman sumberdayanya,
sehingga perlu mendapatkanperhatian yang khusus. Secara ekologis daerah
pesisir terdiri dari karakteristik perairan yang terdapat pada sub sistem
perairan pesisir (coastal water) dan karakteristik daratan yang terdapat
pada sub sistem daratan pesisir (shoreland). Kedua sub sistem tersebut
memiliki karakteristik yang berbeda, namun karena lokasinya yang berada
dalam satu kawasan maka kedua sub sistem tersebut saling berinteraksi dan
saling mempengaruhi.
Secara teoritis, batasan pengertian wilayah pesisir dapat dijelaskan
dengan menggunakan tiga pendekatan yaitu pendekatan ekologis, pendekatan
perencanaan dan pendekatan administratif. Pendekatan ekologis yaitu wilayah
pesisir merupakan kawasan daratan yang masih dipengaruhi oleh proses-
proses kelautan seperti pasang surut dan intrusi air laut dan kawasan laut


5
Monoarva, Karakter Studi dan Budaya dalam Pengembangan Perikanan Berskala Kecil. UI
Press, Jakarta, 1999, hal. 16.

6
Adi Wiyana, 2004, Faktor Berpengaruh Terhadap Keberlanjutan Pengelolaan Pesisir Terpadu
(P2T), http://tumoutou.net/702_07134/adi_wiyana.htm, di akses pada tanggal 25 Agustus
2012.

124
Dedeh Haryati, S.Sos., M.Si.

yang masih dipengaruhi oleh proses-proses daratan, seperti sedimentasi dan


pencemaran.7
Berdasarkan pendekatan secara administrasi, wilayah pesisir adalah
wilayah yang secara administrasi pemerintahan mempunyai batas terluar
sebelah hulu dari kecamatan atau kabupaten atau kota yang mempunyai
wilayah laut dan ke arah laut sejauh 12 mil dari garis pantai untuk propinsi atau
sepertiganya untuk kabupaten atau kota. Pendekatan dari segi perencanaan,
wilayah pesisir merupakan wilayah perencanaan pengelolaan sumber daya
yang difokuskan pada penanganan suatu masalah yang akan dikelola secara
bertanggung jawab.8
Konsep pengaturan pengelolaan wilayah pesisir terpadu di Indonesia
terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang
pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Pengertian wilayah
pesisir terdapat dalam Pasal 1 poin 2 yang berbunyi: Wilayah pesisir adalah
daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh
perubahan di darat dan laut. Batasan ruang lingkup yang di maksud dalam
Undang-Undang pesisir ini terdapat dalam pasal yang sama (Pasal 1) poin 7,
yaitu Perairan pesisir adalah laut yang berbatasan dengan daratan meliputi
perairan sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai, perairan
yang menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuari, teluk, perairan
dangkal, rawa payau, dan laguna.

2. Pengelolaan Wilayah Pesisir


Begitu banyaknya definisi yang berbeda tentang wilayah pesisir, namun
untuk kepentingan pengelolaan, penetapan batas-batas fisik wilayah pesisir
secara statis (kaku) kurang begitu penting untuk kepentingan pengelolaan.
Penetapan secara dinamis lebih diharapkan, artinya wilayah pesisir
dapat berkembang dan bertambah luas karena interaksinya mengalami
perkembangan. Akan lebih berarti lagi apabila penetapan batas-batas
suatu wilayah pesisir didasarkan atas faktor-faktor yang mempengaruhi
pembangunan (pemanfaatan) dan pengelolaan ekosistem pesisir dan lautan
beserta segenap sumber daya yang ada di dalamnya, serta tujuan dari
pengelolaan itu sendiri.
Adapun tujuan dari pengelolaan tersebut adalah:9

7
Lazarus Tri Setyawanto, Masalah-Masalah Hukum di Wilayah Pesisir dan Laut, (Semarang
: Syclosundip, 2005) hal. 84.

8
Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Dinas Kelautan dan Perikanan tahun
2001, Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir, hal. I-5.

9
Rokhmin Dahuri, Jacub Rais, Sapta Putra Ginting, M.J Sitepu, Pengelolaan Sumber Daya
Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1996), hal. 10.

125
Peran Pemda dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir

a. Jika tujuan pengelolaan adalah untuk mengendalikan atau


menurunkan, tingkat pencemaran perairan pesisir yang dipengaruhi
oleh aliran sungai, maka batas wilayah pesisir ke arah darat
hendaknya mencakup suatu daratan DAS (Daerah Aliran Sungai)
dimana buangan limbah di sini akan mempengaruhi kualitas perairan
pesisir. Sedangkan kearah laut hendaknya meliputi daerah laut
yang masih dipengaruhi oleh pencemaran yang berasal dari darat
tersebut atau suatu daerah laut dimana kalau terjadi pencemaran,
misalnya tumpahan minyak, secara otomatis minyaknya akan
mengenai perairan pesisir
b. Jika tujuan pengelolaan adalah untuk mengendalikan laju sedimentasi
di wilayah pesisir akibat pengelolaan lahan atas yang kurang bijaksana
seperti penebangan hutan secara semena-mena dan bertani pada lahan
dengan kemiringan lebih dari 40%, batasan wilayah pesisirnya adalah
sama dengan point di atas
c. Jika pengelolaan wilayah pesisir adalah untuk mengendalikan erosi
(abrasi) pantai, maka batas kearah darat cukup hanya sampai pada
lahan pantai yang diperkirakan terkena abrasi, dan batas kearah laut
daerah yang terkena pengaruh distribusi sediment akibat proses abrasi,
yang biasanya terdapat pada daerah pemecah gelombang (breakwater
zone) yang paling dekat dengan garis pantai.

Perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir secara sektoral biasanya


berkaitan dengan hanya satu macam pemanfaatan sumberdaya atau ruang
pesisir oleh satu instansi pemerintah untuk memenuhi tujuan tertentu seperti
perikanan tangkap, tambak, pariwisata, pelabuhan atau industri minyak dan gas.
Pengelolaan semacam ini dapat menimbulkan konflik kepentingan antar sektor
yang berkepentingan yang melakukan aktivitas pembangunan pada wilayah
pesisir dan lautan yang sama. Pendekatan sektoral seperti dalam penjelasan di
atas pada umumnya tidak atau kurang mengindahkan dampaknya terhadap yang
lain, sehingga dapat mematikan usaha sektor lain.10
Contohnya yaitu perusakan kawasan mangrove untuk perluasan areal
tambak menjadikan pantai semakin terbuka sehingga dengan mudah terkena
abrasi. Contoh lainnya adalah perusakan karang menjadikan berkurangnya
berbagai jenis ikan karang yang mempunyai bentuk fisik dan ragam yang unik.
Pengelolaan wilayah pesisir meliputi kegiatan-kegiatan yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan sektoral diantaranya sektor pertanahan,

Ibid, hal. 11.


10

126
Dedeh Haryati, S.Sos., M.Si.

pertambangan, perindustrian dan perhubungan, perikanan, pariwisata,


pertanian serta sektor kehutanan.
Visi sektoral pengelolaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan
pesisir telah mendorong departemen-departemen atau instansi teknis
berlomba-lomba membuat peraturan perundang-undangan untuk
mengelola sumberdaya alam atau jasa-jasa lingkungan pesisir sesuai
dengan kepentingannya masing-masing yang bermuara pada peningkatan
pendapatan asli daerahnya. Dampak buruk dari visi sektoral juga
menyebabkan adanya kecenderungan daerah akan membuat peraturan-
peraturan daerah berdasarkan kepentingan daerahnya masing-masing.
Pengaturan pengelolaan wilayah pesisir yang demikian ini, telah dan akan
melahirkan ‘ketidakpastian’ hukum bagi semua kalangan yang berkaitan dan
berkepentingan dengan wilayah pesisir (stakeholders).11

4. Hak dan Kewajiban Masyarakat Lokal Atas Sumber daya Alam


Pesisir
Pemanfaatan wilayah pesisir tidak bisa dilepaskan pengaruhnya terhadap
perubahan lingkungan wilayah pesisir. Dampak dari perubahan lingkungan yang
terjadi maka yang pertama merasakannya adalah masyarakat yang berdiam di
sekitar wilayah pesisir, maka dalam pemanfaatan atau pengelolaan wilayah
pesir mesti harus melibatkan peran serta masyarakat.
Pengaturan tentang hak, kewajiban dan peran masyarakat dalam
pengelolaan lingkungan termasuk lingkungan di wilayah pesisir terdapat
dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup utamanya dalam Pasal 5, 6 dan 7, serta Peraturan lainnya
seperti Undang-undang Nomor 26 tahun 2006 tentang Penataan Ruang,
Undang-undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam hayati dan ekosistemnya serta Undang-undang nomor 32 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah.
Masyarakat pesisir/nelayan adalah sekelompok masyarakat yang
bertempat tinggal di daerah pesisir pantai atau daerah kepulauan, yang
struktur ekonominya tergantung pada laut. Potensi, laut adalah modal utama
bagi kehidupan mereka. Norma-norma lokal sangat mempengaruhi cara
kerja mereka dalam penangkapan ikan  maupun dalam pola penguasaan
sumber-sumber perikanan mereka.
Pemanfaatan wilayah pesisir sering dilakukan dengan pola pemanfaatan
yang tidak teratur serta tidak memperhatikan norma-norma kearifan lokal
Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir , Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-
11

Pulau Kecil Dinas Kelautan dan Perikanan tahun 2001, hal. 1-5.

127
Peran Pemda dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir

pengelolaan sumber-sumber bahari, juga kerap kali tidak memperhatikan


kepentingan masyarakat di wilayah pesisir yang menjadikan laut sebagai
sumber mata pencahariannya, akibatnya timbul kerusakan dan pencemaran
di wilayah pesisir, misalnya berupa perusakan hutan bakau (mangrove),
hancurnya teurmbu karang dan pembuangan limbah industri Kegiatan
pemanfaatan di kawasan pesisir untuk pembangunan pariwisata dan industri
di satu sisi merupakan pembangunan sosial ekonomi untuk kesejahteraan
penduduk namun di sisi lain dilakukannya reklamasi dan pengerukan pantai
berdampak rusaknya fungsi pantai sebagai penyanggah abrasi air laut.
Menurut Koesnadi Hardjasumantri12 bahwa setiap orang mempunyai hak
atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Hal tersebut memberikan kepada
yang mempunyai suatu tuntutan yang sah guna meminta kepentingannya
akan suatu lingkungan hidup yang baik dan sehat itu dihormati, suatu
tuntutan yang didukung oleh prosedur hukum, dengan perlindungan hukum
oleh pemerintah dan perangkat-perangkat lainnya.
Pada dasarnya upaya meningkatkan peran serta masyarakat utamanya di
wilayah pesisir harus dimulai dengan sikap yang terbuka terhadap berbagai
masalah yang dihadapi dalam pengelolaan kawasan pesisir. Sikap keterbukaan
ini untuk mencapai pengelolaan kawasan pesisir yang terpadu, di mana
keterpaduan itu mencakup hubungan antara instansi pemerintah, antara
instansi pemerintah dengan masyarakat. Masyarakat disini berperan sebagai
mitra pemerintah dalam proses pembangunan. Aspek kelautan merupakan hal
yang relatif baru berkembang, sehingga untuk pembangunannya diperlukan
penanganan yang lintas sektoral13
Aspek peran serta masyarakat memiliki peranan yang sangat besar dalam
pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam wilayah pesisir. Peran serta
masyarakat secara formal telah diakui hanya saja mekanismenya belum jelas
seperti acara dengar pendapat untuk membahas masalah ganti rugi. Oleh
Rokhmin Dahuri14 melihat peran masyarakat dalam bentuk 1) peran serta
sebagai  kebijakan; 2) peran serta sebagai strategi; 3) peran serta sebagai
komunikasi; 4) peran serta sebagai terapi sosial. Dari segi urgensi/pentingnya
suatu peran serta masyarakat dapat dilihat sebagai berikut: a). Memberi
informasi masyarakat kepada pemerintah; b) meningkatkan kesediaan
12
Koesnadi Hardjasumantri, Hukum Tata Lingkungan. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, 2004, hal. 93
13
Julianti.,. Aspek Hukum Penggunaan Bom dan Bius Ikan di Taman Nasional Takabonerate.
Jurnal Ilmiah Hukum Clavia, Volume II, Universitas 45 Makassar, 2005, hal.1.
14
Rokhmin Dahuri, Pengelolaan Ekosistem Wilayah Pesisir dan Lautan. Gadjah mada
University Press, Yogyakarta, 2004, hal.192.

128
Dedeh Haryati, S.Sos., M.Si.

masyarakat untuk menerima keputusan; c) membantu perlindungan hukum;


d) mendemokratisasikan pengambilan keputusan.
Menurut Mochtar Kusuma Atmadja15 bahwa sejalan dengan adanya
ancaman terhadap pelestarian lingkungan laut maka perlu dilakukan usaha
perlindungan dan pelestarian lingkungan laut, sebab ini berkaitan dengan
pihak atau kepentingan yang mendapat manfaat dengan adanya lingkungan
laut yang lestari, yaitu 1) pemukiman penduduk dan kesehatan umum; 2)
kepentingan rekreasi dan wisata; 3) kepentingan perikanan dan kekayaan
hayati lainnya.
Dalam hal pengelolaan sektor kelautan dan perikanan terutama dengan
kehadiran Dinas Kelautan dan Perikanan di Era Otonomi Daerah menurut
Irwandi  Idris16 bahwa harus dilihat bagaimana masing-masing pihak baik
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah memainkan peran dan
fungsinya masing-masing sesuai dengan kewenangan yang dimiliki serta tatap
memberikan kepastian bahwa pemanfaatan sumber daya wilayah pesisir itu
tetap akan memenuhi rasa keadilan masyarakat dan memihak pada kelestarian
lingkungan. Jadi kehadiran Dinas Kelautan dan Perikanan membawa visi
pembangunan sumber daya pesisir dan laut adalah wilayah pesisir dan laut
beserta segenap sumber daya alam dan jasa lingkungan yang terkandung di
dalamnya, merupakan sumber penghidupan dan sumber pembangunan yang
harus dimanfaatkan secara berkelanjutan, guna meningkatkan kemakmuran
rakyat menuju terwujudnya bangsa Indonesia yang sejahtera, maju dan 
mandiri.
Menurut Sudirman Saad17 bahwa sering kali dalam pengelolaan dan
pemanfaatan wilayah pesisir tidak memperhatikan kepentingan masyarakat
di wilayah pesisir, bahkan mata pencaharian yang salam ini menjadi
tulang punggung kehidupan mereka terabaikan dan tidak tergantikan oleh
pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir yang dibangun, masyarakat
lebih sering tergusur daripada diikutsertakan dalam proses pembangunan.
Bahkan menurut Aidah Husain,18 bahwa masyarakat terutama masyarakat
adat yang masih memegang teguh nilai-nilai dasar lokal pengelolaan sumber
15
Mochtar Kusuma Atmadja, Perlindungan dan Pencemaran Lingkungan Laut di Lihat daei
sudut Hukum Internasional, Regional dan Nasional. Sinar Grafika, Bandung, 2003, hal. 90.
16
Irwansi Idris, Ko-Manajemen Perikanan Pantai Masyarakat Adat dan Pemerintahan di
Indonesia. Makalah pada Konvensi Nasional Pembangunan Benua Maritim Indonesia
Dalam Rangka Mengaktualisasikan Wawasan Nusantara. Dewan Pertahanan Nasional,
Jakarta, 2002, hal. 39.
17
Sudirman Saad, Desentralisasi Pengelolaan Wilayah Laut. Prosiding Lokakarya Regional
Pulau Sulawesi. Makassar 12-14 Maret 2001, hal. 293.
18
Aidah Husain, Studi Optimalisasi Zonasi Taman Nasional Laut Takabonerate. Makalah
Seminar Kelautan, Unhas, Makassar, 2006, hal.444.

129
Peran Pemda dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir

daya pesisir dan laut sering kali tidak terwakili aspirasinya dalam proses
pembangunan atau mendapatkan keuntungan dari proses itu, padahal
mereka memiliki hak untuk melindungi diri dan budayanya serta menolak
perubahan yang berdampak negatif bagi diri dan lingkungannya.
Dengan demikian, dalam pengelolaan kawasan pesisir, seluruh aspek
sumber daya yang ada di dalamnya harus dapat secara sinergis dimanfaatkan
secara optimal untuk berbagai tujuan pemanfaatan yang multiguna. Dalam
dekade terakhir pengelolaan kawasan pesisir menjadi perhatian penting sebagai
salah satu sumber daya untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Pendekatan yang
harus dilakukan adalah antara lain pendekatan ekosistem dan ekonomis serta
kelembagaan  yang dimaksudkan agar kegiatan pemanfaatan dan penggunaan
kawasan pesisir dapat dilaksanakan secara lestari dan berkesinambungan antar
generasi.

5. Konsep Peranan Pemerintah Daerah


Secara filosofis, landasan yang mendasari implementasi kebijakan
desentralisasi dan otonomi daerah adalah otonomi dimaksudkan untuk
meningkatkan pelayanan publik dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat melalui pemberian kewenangan yang lebih besar kepada
daerah. Melalui kewenangan ini diharapkan akan tumbuh prakarsa atau
inisiatif dan kreatifitas daerah untuk mendayagunakan potensi setempat,
dan menjadi semakin responsif terhadap permasalahan-permasalahan yang
mereka hadapi. Dengan kata lain, melalui implementasi otonomi daerah ini,
pemerintah daerah diharapkan akan semakin mampu bekerja secara efektif
dan efisien dalam melayani dan merespons segala tuntutan masyarakat, dan
dalam menyelesaikan permasalahan yang ada19.
Menurut Thoha20 “Dalam bahasa organisasi peranan diperoleh dari
uraian jabatan. Uraian jabatan itu merupakan dokumen tertulis yang memuat
persyaratan-persyaratan dan tanggung jawab atas suatu pekerjaan“. Dengan
demikian dapat dijelaskan bahwa hak dan kewajiban dalam suatu organisasi
diwujudkan dalam bentuk uraian jabatan atau uraian tugas. Oleh karena itu,
maka dalam menjalankan peranannya seseorang/lembaga, uraian tugas/
uraian jabatan merupakan pedomannya.
Pemerintah merupakan satu badan penyelenggaraan atas nama rakyat
untuk mencapai tujuan negara, sedangkan proses kegiatannya disebut
19
Prof. Drs. Budi Winarno, MA, PhD, Kebijakan Publik (Teori, Proses, dan Studi Kasus), 2002,
hal: 367
20
Thoha, Miftah, Pembinaan Organisasi; Proses Diagnosa dan Intervensi, Jakarta:
PT.RajaGrafindo Persada, 1997, hal :80.

130
Dedeh Haryati, S.Sos., M.Si.

pemerintahan dan besar kecilnya kekuasaan pemerintah berasal dari rakyat,


dengan demikian pemerintah dalam menjalankan proses kegiatan Negara
harus berdasarkan kemauan rakyat, karena rakyatlah yang menjadi jiwa
bagi kehidupan dan proses berjalannya suatu negara.
Menurut Taliziduhu Ndraha21, pemerintah adalah: Organ yang berwenang
memproses pelayanan publik dan berkewajiban memproses pelayanan civil
bagi setiap orang melalui hubungan pemerintahan, sehingga setiap anggota
masyarakat yang bersangkutan menerimanya pada saat yang diperlukan
sesuai dengan tuntutan (harapan) yang di perintah. Dalam hubungan itu sah
(legal) dalam wilayah Indonesia, berhak menerima layanan civil tertentu
dan pemerintah wajib melayaninya.
Sedangkan Pemerintah daerah menurut UU No. 32 Tahun 2004, adalah
penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD
menurut asas otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara
Kesatuan RI sebagaimana dimaksud dalam UUD NRI 1994.22
Maka dari itu, peran Pemerintah Daerah sebagai lembaga organisasi
pemerintah merupakan fungsi dalam menunjang program pengelolaan
sumberdaya pesisir dan laut juga pemberdayaan masyarakat di Kabupaten
Wakatobi dan Kabupaten Alor, dan untuk melaksanakan peranannya tersebut,
pemerintah daerah harus melaksanakan fungsinya yang merupakan tugas
atau pekerjaan yang harus dilaksanakan.
Kesejahteraan masyarakat haruslah diwujudkan oleh Pemerintah
Daerah dengan jalan mengelola segala potensi yang dimiliki, melalui
sebuah manajemen dan penerapan konsep pengembangan yang strategis,
salah satunya adalah dalam bidang kepariwisataan, sehingga kesenjangan
ekonomi yang selama ini terjaadi di masyarakat dapat teratasi. Peran
pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya alam merupakan konsekuensi
dari tugas negara untuk menguasai sumber daya alam untuk digunakan
sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Dalam menjalankan perannya,
pemerintah berkewajiban mewujudkan, menumbuhkan, engembangkan,
serta meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab para pengambil
keputusan dan masyarakat dalam pengelolaan kawasan pesisir dan laut. Hal
itu dapat dilakukan dengan mengembangkan dan menerapkan kebijakan
yang memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.  
Beberapa kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan upaya
pengendalian pencemaran dan perusakan kawasan pesisir dan laut meliputi
21
Taliziduhu Ndraha, Kybernology (Ilmu Pemerintahan Baru), Jilid 1, Jakarta : PT. Rineka
Cipta, 2003, hal : 6
22
UU No.32 tahun 2004 ttg Pemerintahan Daerah, Bab I, Ketentuan Umum, Pasal 1, point 2.

131
Peran Pemda dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir

undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri hingga peraturan


daerah, dan keputusan gubernur/bupati/walikota telah banyak disiapkan
bersamaan dengan perangkat pendukungnya.  Melalui Otonomi daerah ini,
Pemerintah Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Alor, haruslah sedapat
mungkin mengoptimalisasi segala pengelolaan wilayah pesisir, yang sampai
saat ini belum dikelola secara efektif dan efisien.

132
BAB III
PROFIL WILAYAH PENELITIAN

1. Kabupaten Wakatobi
Wakatobi adalah nama yang diambil dari kependekan pulau terbesar yakni
Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko yang terletak di sebelah tenggara
Sulawesi. Dahulu, orang menyebutnya di Kepulauan Tukang Besi. Kawasan seluas
1,39 juta hektare itulah yang kemudian dijadikan taman nasional laut pada tahun
1996. Luas kawasan itu pula yang menjadi disahkan sebagai Kabupaten Wakatobi
pada tahun 2004.
Wakatobi, sebuah kabupaten kepulauan di Sulawesi Tenggara, mencoba
menangkap sinyal yang menempatkan laut sebagai harapan untuk masa
depan kehidupan. Kepulauan Wakatobi memiliki 25 gugusan terumbu karang.
Terumbu karang tersebar di antara 37 pulau yang ada. Di kepulauan ini, baru
enam pulau saja yang dihuni. Sementara hanya 11 pulau yang memiliki nama.
Sisanya, 31 pulau masih tak bernama dan belum dikelola. Para wisatawan yang
datang, umumnya melakukan kegiatan selam, snorkeling, berenang, berkemah
dan wisata budaya.
Keindahan alam Wakatobi memang berasal dari kekayaan sumber
daya alamnya. Menurut Hugua, Bupati Wakatobi menyatakan bahwa :
“Wakatobi memiliki 90 persen dari sekitar 850 jenis terumbu karang dunia
dengan 914 spesies ikannya, kekayaan laut inilah yang ingin dijadikan pusat
keunggulan Wakatobi.”23 Sebagai wilayah yang terletak di jantung segitiga
karang dunia, meliputi enam negara: Indonesia, Malaysia, Filipina, Papua
Niugini, Kepulauan Salomon, dan Timor Leste, Wakatobi memang dikaruniai
keragaman jenis biota laut yang tak ternilai. Berangkat dengan visi besar yang
terkesan ambisius, ”terwujudnya surga nyata bawah laut di jantung segitiga
karang dunia”, Wakatobi pun menempatkan sektor perikanan, kelautan,
dan pariwisata sebagai fokus pembangunan mereka24. Untuk itu, sejumlah
langkah berikut penyediaan sarana dan prasarana penopang mulai dibenahi,

Hasil Wawancara dengan Hugua, Bupati Kabupaten Wakatobi, pada 2 Juli 2012
23

Hasil Wawancara dengan Abdul Halim, The Nature Concervancy (TNC) Jakarta pada
24

tanggal

133
Peran Pemda dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir

termasuk pembangunan bandar udara sebagai pintu gerbang masuk calon


wisatawan.
Agar kekayaan alam yang dimiliki Wakatobi tetap lestari dan berkelanjutan,
kepulauan Wakatobi ditunjuk sebagai Taman Nasional dengan luas 1.39 juta
ha, berdasarkan Keputusan Menhut No. 393/Kpts-VI/1996 dan Keputusan
Menhut No. 7651/Kpts-II/2002. Tujuannya adalah untuk melestarikan sumber
daya hayati dan ekosistemnya, guna memenuhi fungsinya sebagai daerah
perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman
jenis flora dan fauna, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya.
Terbentuknya Kabupaten Wakatobi ini diharapkan kualitas dan
kuantitas pembangunan dan pelayanan pada masyarakat akan semakin baik
sebagai akibat dari semakin pendeknya rentang kendali antara pemerintah
Kabupaten dengan masyarakat. Wakatobi sebagai daerah otonom yang
baru diperhadapkan pada berbagai peluang dan tantangan dalam upaya
memanfaatkan dan memaksimalkan berbagai potensi sumber daya alam dan
sumber daya manusia yang dimilikinya untuk kemakmuran masyarakat.

2. Kabupaten Alor
Kabupaten Alor sebagai salah satu dari 16 Kabupaten/Kota di Provinsi
Nusa Tenggara Timur adalah wilayah kepulauan dengan 15 pulau yaitu 9
pulau yang telah dihuni dan 6 pulau lainnya belum atau tidak berpenghuni.
Luas wilayah daratan 2.864,64 km², luas wilayah perairan 10.773,62 km²
dan panjang garis pantai 287,1 km251. Secara geografis daerah ini terletak
di bagian utara dan paling timur dari wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur
pada 8º6’LS - 8º36’ LS dan 123º48’ BT - 125º48’ BT. Batas alam Kabupaten
Alor disebelah utara dengan Laut Flores, sebelah selatan dengan Selat Ombay,
sebelah timur dengan Selat Wetar dan perairan Republik Demokratik Timor
Leste dan sebelah barat dengan Selat Alor (Kabupaten Lembata)26.
Perairan laut Alor cukup kaya dengan keanekaragaman biota laut, karena
fungsi natural bawah laut masih tersinyalir alamiah dan menjadi obyek
wisata bahari dengan 26 titik diving (Selat Pantar), yang digemari wisatawan
mancanegara. Disamping itu, potensi lestari sumber daya perikanan Kabupaten
Alor diperkirakan 164.604 ton per tahun dengan jumlah tangkapan yang
25
Pokok-pokok Kebijakan dan Strategi Pembangunan Daerah dalam rangka percepatan dan
emantapan pelaksanaan pembangunan daerah tertinggal Kabupaten Alor tahun 2005-2009
Provinsi Nusa Tenggara Timur (Materi Expose Bupati Alor pada Kementerian Pembangunan
Daerah Tertinggal dan Departemen/Lembaga terkait lainnya di Jakarta pada tanggal, 31 Mei
2005). Pemerintah Kabupaten Alor, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah 2005. hal 1
26
Ibid, hal 1.

134
Dedeh Haryati, S.Sos., M.Si.

diperbolehkan sebanyak 131.683,44 to per tahun. Total produksi perikanan


di Kabupaten Alor baru mencapai 19.701 ton (14,96%) dari jumlah potensi
penangkapan masih sangat besar yakni 111.982 ton per tahun (85,04%).27
Selain itu, arus laut berpotensi untuk pengembangan energy listrik tenaga
arus. Perairan Lau Alor (Selat Ombay) juga tersimpan sumber daya tambang
migas. Hasil investigasi Dinas Pertambangan Provinsi Nusa Tenggara Timur
(tahun 2003), menemukan adanya dua titik rembesan minyak bumi, yakni
di Sifala-Kecamatan Alor Barat Daya dan Beang-Kecamatan Pantar Barat.
Adanya juga Galian C berupa Batu Hitam (Batu Alor) yang sudah dieksploitasi
sebagai salah satu komoditi ekspor di Kabupaten Alor.

Liputan Humas Alor, http://humasalorblogspot.blogspot.com/2010/12/gambaran-


27

umum-kabupaten-alor.html, diakses pada tanggal 25 Agustus 2012

135
BAB IV
PERAN PEMERINTAH DAERAH
DALAM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR

Peran pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya alam merupakan


konsekuensi dari tugas negara untuk menguasai sumber daya alam untuk
digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Dalam menjalankan
perannya, pemerintah berkewajiban mewujudkan, menumbuhkan,
mengembangkan, serta meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab para
pengambil keputusan dan masyarakat dalam pengelolaan kawasan pesisir
dan pulau-pulau kecil. Hal itu dapat dilakukan dengan mengembangkan dan
menerapkan kebijakan yang memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi.    
Beberapa kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan upaya
pengendalian pencemaran dan perusakan kawasan pesisir dan laut meliputi
undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri hingga peraturan
daerah, dan keputusan gubernur/bupati/walikota telah banyak disiapkan
bersamaan dengan perangkat pendukungnya. Peranan pemerintah daerah
sangat diperlukan dalam perumusan kebijakan pengelolaan sumber daya alam
terutama dalam rangka perlindungan dari bencana ekologis. Sejalan dengan
otonomi daerah, kontrol masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam
dan pelestarian fungsi lingkungan hidup merupakan hal yang penting. Dengan
demikian hak dan kewajiban masyarakat untuk memanfaatkan dan memelihara
keberlanjutan sumber daya alam dan lingkungan harus dapat dioptimalkan.
Secara alamiah potensi wilayah pesisir di daerah khususnya di Wakatobi
dan Alor, dimanfaatkan langsung oleh masyarakat yang bertempat tinggal
di kawasan tersebut yang pada umumnya terdiri dari nelayan. Nelayan di
pesisir memanfaatkan kekayaan laut mulai dari ikan, rumput laut, terumbu
karang dan sebagainya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada
umumnya potensi wilayah pesisir dan kelautan yang di manfaatkan oleh
nelayan terbatas pada upaya pemenuhan kebutuhan hidup.
Pemanfaatan potensi daerah wilayah pesisir secara besar-besaran untuk
mendapatkan keuntungan secara ekonomis dalam rangka peningkatan

137
Peran Pemda dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir

pertumbuhan perekonomian rakyat belum banyak dilakukan. Pemanfaatan


wilayah pesisir untuk usaha ekonomi dalam skala besar baru dilakukan pada
sebagian Kabupaten dan Kota yang berada di daerah pesisir. Pada umumnya
usaha ekonomi pemanfaatan daerah pesisir ini bergerak disektor pariwisata.
Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah, Pemerintah Daerah
berupaya untuk memanfaatkan potensi daerah pesisir ini untuk meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah (PAD). Disamping itu Pemerintah Daerah juga
memanfaatkan potensi daerah pesisir ini untuk meningkatkan pertumbuhan
dan perekonomian masyarakat di daerah. Mengingat kewenangan daerah untuk
melakukan pengelolaan bidang kelautan yang termasuk juga daerah wilayah
pesisir masih merupakan kewenangan baru bagi daerah maka pemanfaatan
potensi daerah wilayah pesisir ini belum sepenuhnya dilaksanakan oleh Daerah
Kabupaten atau kota yang berada di pesisir. Jadi belum semua Kabupaten
dan Kota yang memanfaatkan potensi daerah pesisir, pada umumnya usaha
ekonomi pemanfaatan daerah pesisir ini bergerak di sektor pariwisata. Sejalan
dengan pelaksanaan Otonomi Daerah, Pemerintah Daerah berupaya untuk
memanfaatkan  potensi daerah pesisir ini untuk meningkatkan Pendapatan
Asli Daerah (PAD).
Di Kabupaten Wakatobi, untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah
(PAD) Bupati dan Pemerintah Daerah setempat mangadakan peningkatan
pada sektor pariwisata seperti Sail Wakatobi, Pernikahan bawah laut, diving
di keindahan alam bawah laut Wakatobi. 28 Sedangkan di Kabupaten Alor,
untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Bupati dan Pemerintah
Daerah setempat mangadakan peningkatan pada sektor pariwisata seperti
Wisata Taman Laut, Perkampungan Tradisional, Keajaiban Alam, Taman
Wisata Perburuan, Penangkaran/Budi Daya Rusa, Hutan Kenari Alam, Hutan
Wisata Nostalgia, Museum Daerah, serta Panorama Alam Pegunungan dan
Pantai.29 
Peran pemerintah yang direpresentasikan melalui pemerintah daerah
dalam menggali potensi sumber daya alam untuk sebanyak-banyaknya dilakukan
demi kemakmuran masyarakat. Peran tersebut tersurat dalam Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Implementasi dari ketentuan pengaturan kawasan pesisir dan laut Kabupaten
Wakatobi dan Kabupaten Alor telah di lakukan dengan aturan pola pemanfaatan
ruang (zoning regulation) dalam rangka menjabarkan rencana detail tata ruang
28
Hasil Wawancara dengan Hugua, Bupati Kabupaten Wakatobi dan Kepala Dinas Pariwisata
Wakatobi, pada 2 Juli 2012
29
http://alorkab.go.id/newalor/index.php?option=com_content&task=view&id=52&Itemid
=61

138
Dedeh Haryati, S.Sos., M.Si.

(RDTR). Selanjutnya rencana operasional pemanfaatan ruang dapat dijadikan


acuan dalam setiap kegiatan pembangunan di kawasan tersebut.
Pedoman tersebut dapat digunakan untuk mengoordinasikan,
mengintegrasikan, dan melaksanakan program pemanfaatan ruang yang
dilaksanakan oleh pemerintah, industri/swasta, dan masyarakat secara
operasional. Dengan kebijakan zonasi yang jelas, mekanisme pemanfaatan
ruang yang terkait pemberian perizinan pemanfaatan ruang dan pengendalian
pemanfaatan ruang memiliki kepastian bagi masyarakat, pemerintah,
dan sektor industri/swasta. Peran pemerintah dalam menunjang aspek
pengendalian pencemaran lingkungan hidup di kawasan pesisir Kabupaten
Wakatobi dan Kabupaten Alor dapat lebih terarah dengan adanya kebijakan
zonasi kawasan karena pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan yang lebih
terukur seperti dalam prosedur perizinan dan pengawasan serta penindakan
hukum. Apabila dalam penerapan kebijakan peraturan perundangan, aspek
penegakan hukum yang dilaksanakan secara konsisten, degradasi lingkungan
hidup akan dapat dikurangi sampai batas yang dapat diterima oleh daya
dukung lingkungan.
Peran pemerintah dalam mengatur pemanfaatan zonasi kawasan
sangat menentukan perkembangan kawasan tersebut. Kepatuhan terhadap
kebijakan tata ruang wilayah dalam memanfaatkan potensi sumber daya alam
dapat dijadikan ukuran terhadap komitmen pemerintah dalam pelaksanaan
pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup. Peta
zonasi pemanfaatan kawasan dapat memudahkan peran pemerintah dalam
pengendalian pemanfaatan ruang kawasan.
Pemanfaatan kawasan sesuai dengan kesepakatan zonasi tersebut akan
memberikan implikasi positif terhadap aspek pengendalian pencemaran
lingkungan hidup. Hal ini disebabkan penetapan zonasi tersebut telah
disepakati oleh para pihak terkait dalam upaya mengidentifikasi penggunaan-
penggunaan yang diperbolehkan atas kepemilikan lahan dan peraturan-
peraturan yang berlaku atasnya. Dalam melaksanakan perannya, pemerintah
memiliki kewenangan dalam pengaturan kebijakan pemanfaatan potensi
sumber daya yang tersedia yang pada umumnya dikelola oleh kelompok
industri atau bisnis. Pendapatan hasil pemanfaatan potensi sumber
daya digunakan kembali untuk sebanyak-banyaknya dalam menciptakan
kesejahteraan masyarakat, khususnya masyarakat pesisir/nelayan yang
pada umumnya berada dalam kondisi yang marginal.

139
BAB V
IMPLIKASI OTONOMI PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR

Pada masa pemerintahan orde baru, eksploitasi sumberdaya alam


(termasuk sumberdaya pesisir dan laut) lebih banyak memberikan
manfaat terhadap Pemerintah Pusat dibandingkan Pemerintah Daerah dan
masyarakat setempat yang merupakan pemilik sumberdaya. Dengan dalih
kepentingan nasional, sumberdaya alam yang ada di daerah dieksploitasi
tanpa mengindahkan kelestarian lingkungan, dan bahkan menimbulkan
penderitaan dan kesengsaraan masyarakat yang ada di daerah bersangkutan.
Oleh karena itu, wajar apabila muncul tuntutan dari berbagai daerah untuk
memperoleh kewenangan yang lebih luas dalam mengelola sumberdaya
mereka termasuk sumberdaya kelautan.
Seiring dengan napas reformasi, pemerintah membuat undang-undang
pemerintahan daerah (UUPD) No. 32 tahun 2004 yang memberikan otonomi
yang luas, nyata, dan bertanggungjawab, yang diwujudkan dengan pembagian
dan pemanfaatan sumberdaya nasional serta adanya perimbangan keuangan
antara Pusat dan Daerah secara proporsional sesuai dengan prinsip-prinsip
demokrasi, keadilan dan pemerataan. Pengaturan mendasar yang dibuat
dan untuk pertama kalinya dimuat dalam peraturan perudang-undangan di
Indonesia yang termuat dalam UUPD ini adalah mengenai otonomi daerah
dalam pengelolaan sumberdaya kelautan, yang mencakup kewenangan
sampai dengan 12 mil laut dari garis pantai pasang surut terendah untuk
perairan dangkal, dan 12 mil laut dari garis pangkal ke laut lepas untuk
Daerah Propinsi dan sepertiga dari batas propinsi untuk Daerah Kabupaten.
Kewenangan Daerah terhadap sumberdaya kelautan meliputi kewenangan
dalam: (a) eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut;
(b) pengaturan kepentingan administratif; (c) pengaturan tata ruang; (d)
penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan Pemerintah Daerah
atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah; dan (c) bantuan
penegakan keamanan dan kedaulatan negara khususnya di laut.
Jika selama ini terdapat kesan bahwa Pemerintah Daerah tidak peduli
terhadap pengelolaan sumberdaya kelautan termasuk pesisir secara

141
Peran Pemda dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir

berkelanjutan sangatlah wajar mengingat manfaat terbesar dari sumberdaya


tersebut tidak mereka nikmati, melainkan dinikmati oleh Pemerintah
Pusat. Namun dengan adanya pemberian wewenang kepada daerah untuk
mengelola dan memanfaatkan sumberdaya kelautan yang berada dalam
batas-batas yang telah ditetapkan, maka manfaat terbesar dari sumberdaya
kelautan akan diperoleh Pemerintah Daerah dan masyarakat.
Berdasarkan otonomi daerah ini, Pemerintah Daerah sudah memiliki
landasan yang kuat untuk mengimplementasikan pembangunan pesisir
secara terpadu mulai dari aspek perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan
pengendalian sumberdaya kelautan dalam upaya menerapkan pembangunan
kelautan secara berkelanjutan. Pembangunan kelautan berkelanjutan pada
dasarnya adalah pembangunan untuk mencapai keseimbangan antara manfaat
dan kelestariannya sumberdaya kelautan. Artinya, bahwa sumberdaya kelautan
dapat dieksploitasi untuk kemaslahatan manusia namun tidak menjadikan
lingkungan termasuk sumberdaya itu sendiri menjadi rusak.
Salah satu permasalahan yang muncul dalam pengelolaan sumberdaya
pesisir dan kelautan di daerah selama ini adalah adanya konflik-konflik
pemanfaatan dan kekuasaan. Upaya penanganan masalah tersebut diharapkan
dapat dilakukan secara reaktif dan pro-aktif. Secara reaktif, artinya Pemerintah
Daerah dapat melakukan resolusi konflik, mediasi atau musyawarah dalam
menangani masalah tersebut. Upaya proaktif adalah upaya penanganan
konflik pengelolaan sumberdaya kelautan secara aktif dan dilakukan untuk
mengantisipasi atau mengurangi potensi-potensi konflik pada masa yang
akan datang. Penanganan seperti ini dilakukan melalui penataan kembali
kelembagaan Pemerintah Daerah, baik dalam bentuk konsep perencanaan,
peraturan perundang-undangan, sumberdaya manusia, sistem administrasi
pembangunan yang mengacu pada rencana pengelolaan sumberdaya kelautan
secara terpadu.
Adapun dalam permasalahan penataan ruang di wilayah pesisir
Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Alor, peran serta Masyarakat dan pelaku
pembangunan penataan ruang dapat dilihat sebagai kebijakan publik yang
mengoptimalisasikan kepentingan antar pelaku pembangunan (pemerintah,
swasta dan masyarakat) dalam pemanfaatan ruang laut  pesisir dan pulau-
pulau kecil, sehingga di dalam proses perencanaan tata ruang yang demokratis
dan akomodatif terhadap semua kepentingan pelaku pembangunan.
Penataan ruang merupakan sebuah pendekatan dalam pengembangan
wilayah yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas kesejahteraan masyarakat
dan lingkungan hidup. Dalam mencapai tujuan tersebut, dilakukan upaya
pengelolaan kawasan melalui pengembangan kegiatan ekonomi masyarakat

142
pada kawasan-kawasan budidaya dan pelestarian kawasan-kawasan lindung,
termasuk yang terdapat di ruang lautan dan kawasan pesisir.30
Pemerintah Daerah di Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Alor, telah
dilakukan penyusunan tata ruang pesisir, laut dan pulau-pulau kecil pada
skala regional, provinsi, kabupaten/kota dan kawasan, serta penyusunan
rencana detail lokasi kawasan unggulan.31 Pengalaman-pengalaman masa
lalu banyak menunjukkan bahwa perencanaan yang prosedural, normatif dan
kurang mengakomodasikan kepentingan para pelaku pembangunan yang
ada di dalam proses penyusunannya, menjadi kurang dapat diimplentasikan
karena menghadapi berbagai kendala dilapangan. Rencana-rencana seperti
itu selain kurang aspiratif juga cenderung tidak diakui, tidak diterima dan
tidak ditaati didalam pelaksanaannya.32
Dengan demikian kompensasi masyarakat selama ini dimungkinkan tidak
mengetahui ataupun diberi hak untuk menegosiasikan penyelesaian konflik,
ataupun aspek kompensasi terhadap konsekuensi-konsekuensi biaya dampak
yang ditimbulkan oleh akibat diberlakukannya rencana tata ruang pada suatu
kawasan, baik terhadap timbulnya dampak lingkungan fisik ataupun sosial-
ekonomi.
Manfaat langsung lainnya dari otonomi daerah adalah Pemerintah Daerah
memiliki sumber pendapatan dan pendanaan yang berasal dari (a) sharing
Pemerintah Pusat dan Daerah dalam pemanfaatan sumberdaya kelautan
di wilayah pesisir, (b) biaya-biaya dari proses perijinan dan usaha, pajak
pendapatan dan pajak lainnya, retribusi daerah, dan (c) pendapatan tidak
langsung akibat pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian pembangunan
kawasan pantai (desa-desa), pelabuhan, kawasan industri dan lain-lain
dapat dibiayai oleh Pemerintah Daerah.
Apabila sumber pendapatan dari pemanfaatan sumberdaya pesisir dan
kelautan belum sepenuhnya tergali dengan baik, daerah dapat membiayai
pembangunan pesisir melalui dana APBD. Penggunaan dana APBD dapat
digunakan untuk membiayai kegiatan pembangunan dan pengembangan
masyarakat pantai/nelayan, pemantauan dan pengawasan pemanfaatan
sumberdaya kelautan, penelitian kelautan, pengumpulan dan analisis data
kelautan, serta perencanaan pembangunan kelautan.

30
Tinjauan Aspek Penata Ruang Dalam Pengelolaan Wilayah Laut dan Pesisir, Menteri
Permukiman dan Prasarana Wilayah, disampaikan dalam Seminar Umum Dies Natalies
ITS ke-43 di Surabaya, 8 Oktober 2003
31
Hasil wawancara dengan Bapedda Kabupaten Wakatobi, pada tanggal 4 Juli 2012 dan
Hasil Wawancara dengan Bapedda Provinsi NTT, pada tanggal 27 Juli 2012
32
Hasil wawancara dengan Bapedda Kabupaten Wakatobi, pada tanggal 4 Juli 2012

143
Peran Pemda dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir

Selain itu, pembiayaan pembangunan pesisir dapat juga diupayakan


dari sumber APBN (subsidi pemerintah) maupun bantuan luar negeri yang
umumnya dalam bentuk-bentuk proyek kelautan yang dimaksudkan untuk
pengembangan sumberdaya pesisir. Dengan Undang-undang otonomi
daerah ini diharapkan proyek-proyek pesisir dan kelautan sudah dapat
didesentralisasikan ke daerah yang nantinya menjadi sumber pembiayaan
pembangunan pesisir dan kelautan di daerah.

144
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah, Pemerintah Daerah berupaya
untuk memanfaatkan potensi daerah pesisir ini untuk meningkatkan Pendapatan
Asli Daerah (PAD). Disamping itu Pemerintah Daerah juga memanfaatkan
potensi daerah pesisir ini untuk meningkatkan pertumbuhan dan perekonomian
masyarakat di daerah. Mengingat kewenangan daerah untuk melakukan
pengelolaan bidang kelautan yang termasuk juga daerah wilayah pesisir masih
merupakan kewenangan baru bagi daerah maka pemanfaatan potensi daerah
wilayah pesisir ini belum sepenuhnya dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten
atau kota yang berada di pesisi.
Peran pemerintah yang direpresentasikan melalui pemerintah daerah
dalam menggali potensi sumber daya alam untuk sebanyak-banyaknya dilakukan
demi kemakmuran masyarakat. Peran tersebut tersurat dalam Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Implementasi dari ketentuan pengaturan kawasan pesisir dan laut Kabupaten
Wakatobi dan Kabupaten Alor telah di lakukan dengan aturan pola pemanfaatan
ruang (zoning regulation) dalam rangka menjabarkan rencana detail tata ruang
(RDTR).
Selain itu, Peran pemerintah dalam mengatur pemanfaatan zonasi
kawasan sangat menentukan perkembangan kawasan tersebut. Kepatuhan
terhadap kebijakan tata ruang wilayah dalam memanfaatkan potensi sumber
daya alam dapat dijadikan ukuran terhadap komitmen pemerintah dalam
pelaksanaan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan
hidup. Peta zonasi pemanfaatan kawasan dapat memudahkan peran
pemerintah dalam pengendalian pemanfaatan ruang kawasan.
Berdasarkan otonomi daerah, Pemerintah Daerah sudah memiliki
landasan yang kuat untuk mengimplementasikan pembangunan pesisir
secara terpadu mulai dari aspek perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan
pengendalian sumberdaya kelautan dalam upaya menerapkan pembangunan

145
Peran Pemda dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir

kelautan secara berkelanjutan. Pembangunan kelautan berkelanjutan pada


dasarnya adalah pembangunan untuk mencapai keseimbangan antara
manfaat dan kelestariannya sumberdaya kelautan.
Dengan demikian manfaat langsung dari otonomi daerah adalah
Pemerintah Daerah memiliki sumber pendapatan dan pendanaan yang berasal
dari (a) sharing Pemerintah Pusat dan Daerah dalam pemanfaatan sumberdaya
kelautan di wilayah pesisir, (b) biaya-biaya dari proses perijinan dan usaha,
pajak pendapatan dan pajak lainnya, retribusi daerah, dan (c) pendapatan
tidak langsung akibat pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian pembangunan
kawasan pantai (desa-desa), pelabuhan, kawasan industri dan lain-lain dapat
dibiayai oleh Pemerintah Daerah.

B. Saran
Otonomi daerah sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang No.
32 Tahun 2004, merupakan landasan yang kuat untuk mencapai pengelolaan
sumberdaya pesisir dan kelautan secara berkelanjutan. Agar otonomi daerah
memberikan dampak positif terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir dan
laut, maka perlu adanya keinginan dan komitmen serta adanya kerjasama
antara Pemerintah Daerah bersama masyarakat dan kait pihak-pihak untuk
mengelola sumberdaya pesisir dan kelautan yang berada dalam wilayah
kewenangannya secara berkelanjutan.

146
BIBLIOGRAFI

Buku
Lexy J Moleong, 2004, Metode Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi, Bandung,
Penerbit Remadja Rosdakarya.

Jam’an Satori dan Aan Komariah, 2009, Metodologi Penelitian Kualitatif, Penerbit
Alfabeta, Bandung.

Sugiyono, 2005, Memahami Penelitian Kualitatif, Penerbit CV Alfabeta, Bandung.

Emmy Hafid, Potret Kelautan di Masa Kin. Artikel  ilmiah Majalah Tanah Air
Walhi Nomor 3 Tahun XXI, Jakarta, 2006.

Monoarva, 1999, Karakter Studi dan Budaya dalam Pengembangan Perikanan


Berskala Kecil. UI Press, Jakarta.

Lazarus Tri Setyawanto, Masalah-Masalah Hukum di Wilayah Pesisir dan


Laut, (Semarang: Syclosundip, 2005) hal. 84.

Rokhmin Dahuri, Jacub Rais, Sapta Putra Ginting, M.J Sitepu, 1996, Pengelolaan
Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, Jakarta, Pradnya
Paramita

Koesnadi Hardjasumantri, 2004, Hukum Tata Lingkungan. Gadjah Mada


University Press, Yogyakarta.

Julianti, 2005, Aspek Hukum Penggunaan Bom dan Bius Ikan di Taman Nasional
Takabonerate. Jurnal Ilmiah Hukum Clavia, Volume II, Universitas 45
Makassar.

Rokhmin Dahuri, 2004, Pengelolaan Ekosistem Wilayah Pesisir dan Lautan.


Gadjah mada University Press, Yogyakarta.

Mochtar Kusuma Atmadja, Perlindungan dan Pencemaran Lingkungan Laut


di Lihat daei sudut Hukum Internasional, Regional dan Nasional. 2003,
Sinar Grafika, Bandung.

147
Peran Pemda dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir

Aidah Husain, 2006, Studi Optimalisasi Zonasi Taman Nasional Laut


Takabonerate. Makalah Seminar Kelautan, Unhas, Makassar.

Prof. Drs. Budi Winarno, MA, PhD, 2002, Kebijakan Publik (Teori, Proses, dan
Studi Kasus), Media Presindo, Yogyakarta

Miftah Thoha, 1997, Pembinaan Organisasi; Proses Diagnosa dan Intervensi,


Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada.

Taliziduhu Ndraha, 2003, Kybernology (Ilmu Pemerintahan Baru), Jilid 1,


Jakarta : PT. Rineka Cipta.

Laporan
Pokok-pokok Kebijakan dan Strategi Pembangunan Daerah dalam rangka
percepatan dan pemantapan pelaksanaan pembangunan daerah
tertinggal Kabupaten Alor tahun 2005-2009 Provinsi Nusa Tenggara
Timur (Materi Expose Bupati Alor pada Kementerian Pembangunan
Daerah Tertinggal dan Departemen/Lembaga terkait lainnya di Jakarta
pada tanggal, 31 Mei 2005). Pemerintah Kabupaten Alor, Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah 2005.

Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi. 2011. Coral Reef


Rehabilitation and Management Program Phase II (Coremap II)
Kabupaten Wakatobi 2011. Wangi-Wangi. Kabupaten Wakatobi. Provinsi
Sulawesi Tenggara.

Tinjauan Aspek Penata Ruang Dalam Pengelolaan Wilayah Laut dan Pesisir,
Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah, disampaikan dalam
Seminar Umum Dies Natalies ITS ke-43 di Surabaya, 8 Oktober 2003.

Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Dinas Kelautan dan


Perikanan tahun 2001, Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir

Bahan Tertulis dari Bappeda Wakatobi dan Alor Tahun 2012.

Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Dinas Kelautan dan


Perikanan tahun 2001, Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir,
hal. I-5.

Irwansi Idris, Ko-Manajemen Perikanan Pantai Masyarakat Adat dan


Pemerintahan di Indonesia. Makalah pada Konvensi Nasional Pembangunan
Benua Maritim Indonesia Dalam Rangka Mengaktualisasikan Wawasan
Nusantara. Dewan Pertahanan Nasional, Jakarta, 2002, hal. 39.

148
Dedeh Haryati, S.Sos., M.Si.

Sudirman Saad, 2001, Desentralisasi Pengelolaan Wilayah Laut. Prosiding


Lokakarya Regional Pulau Sulawesi. Makassar 12-14 Maret 2001.

Internet
Adi Wiyana, 2004, Faktor Berpengaruh Terhadap Keberlanjutan Pengelolaan
Pesisir Terpadu (P2T), http://tumoutou.net/702_07134/adi_wiyana.
htm, di akses pada tanggal 25 Agustus 2012.

Direktur Penataan Ruang Nasional Ditjen Penataan Ruang. Perenanaan Batas


Wilayah Laut dan Darat Dalam Konteks Otononomi Daerah. http://
www.penataanruang.net/taru/Makalah/DirPRN_RatuPlaza 090501_
Bataslaut.ppt, di akses pada tanggal 25 Agustus 2012

Website Resmi Kabupaten Alor http://alorkab.go.id/newalor/index.


php?option=com_content&task=view&id=52&Itemid=61, di akses pada
tanggal 25 Agustus 2012

Liputan Humas Alor, http://humasalorblogspot.blogspot.com/2010/12/


gambaran-umum-kabupaten-alor.html, diakses pada tanggal 25 Agustus
2012

Undang-Undang
UU No. 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

UU No. 27 Tahun 2007

Wawancara
1. Wawancara dengan Hugua, Bupati Kabupaten Wakatobi, pada 2 Juli
2012.

2. Wawancara dengan Abdul Halim, The Nature Concervancy (TNC) Jakarta


pada tanggal 8 Juni 2012.

3. Wawancara dengan Bapedda Kabupaten Wakatobi, pada tanggal 4 Juli


2012.

4. Wawancara dengan dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten


Wakatobi, 3 Juli 2012.

5. Wawancara dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Alor, 23


Juli 2012.

149
Peran Pemda dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir

6. Wawancara dengan Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Alor, 24 Juli


2012.

7. Wawancara dengan Bapedda Provinsi NTT, pada tanggal 27 Juli 2012.

8. Wawancara dengan WWF & TNC Kabupaten Wakatobi, pada tanggal 4


Juli 2012.

150
Bagian Kelima
ANCAMAN KEAMANAN
WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL:
PERSPEKTIF TRADISIONAL DAN NON-TRADISIONAL*

Dr. Phil. Poltak Partogi Nainggolan, M.A.**

*
Penelitian yang dilakukan pada tahun 2012.
**
Peneliti Utama di Pusat Pengkajian dan Pengolahan Data dan Informasi (P3DI Setjen
DPRRI).
BAB I
PENDAHULUAN

I. Permasalahan
Sebagai sebuah negara kepulauan yang terdiri dari lebih dari 13 ribu
pulau-pulau besar dan kecil yang sudah dikonfirmasikan dan daftarkan
ke PBB, Indonesia memiliki cakupan wilayah pesisir yang begitu luas.
Dengan lokasi yang begitu strategis di antara 2 benua dan samudera, dan
memiliki garis pantai yang termasuk salah satu yang terpanjang di dunia,
serta rangkaian pulau-pulau terluar yang berbatasan dengan banyak negara
di kawasan, posisi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil menjadi sangat
penting untuk menjamin eksistensi Indonesia dewasa ini dan di masa
depan. Kekayaan Sumber Daya Alam (SDA), flora dan fauna yang beragam
menjadikan keberadaan wilayah dan pulua-pulau tersebut rawan dari
ancaman keamanan yang bersifat tradisional dan non-tradisional, yang
bersumber dari dalam maupun luar negeri.
Belakangan ini, baik dalam rencana strategis pembangunan pendek,
menengah, maupun panjang, pembangunan sektor kelautan, dan pulau-pulau
kecil, pesisir dan terluar telah memperoleh perhatian besar dari pemerintah.
Sayangnya, dalam alokasi APBN tahun yang berjalan, seperti juga 2012 ini,
mengalami penurunan, atau tidak sebanding dengan sektor yang tidak
dijadikan prioritas dalam berbagai renstra yang ada.1 Ini artinya, janji dan
realisasi tidak sejalan, atau komitmen masih rendah, kebijakan pemerintah,
seperti dalam berbagai kebijakan lainnya, baru bersifat pencitraan.
Menurut Perpres 78/2005, Menko Polkam adalah Ketua Tim Kordinasi
Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Terluar, sedangkan Menteri Kelautan dan
Perikanan adalah Wakil Kordinasi Harian, dengan 17 kementerian di bawah
kordinasi mereka. Menurut data, terdapat 92 pulau-pulau kecil terluar, 31
berpenduduk dan 61 tidak berpenduduk. Untuk Pulau Nipah, yang luasnya
sekitar 62 hektar, Presiden SBY telah memutuskan untuk mengamankan pulau


1
FGD dengan Direktur Kelautan dan Perikanan Bappenas, Sriyanti, dan Direktur
Pemberdayaan Pulau-pulau Kecil Pulau-pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan
(KKP), Agus Dermawan di DPR, Jakarta, pada 6 Juni 2012.

153
Ancaman Keamanan yang Dihadapi Wilayah Pesisir

terluar yang berbatasan dengan Singapura itu dengan pembangunan 1 Yon


marinir berkekuatan sekitar 90 orang.2 Pengamanan tersebut akan berguna
juga untuk menjaga keamanan wilayah Indonesia, yakni pulau-pulau kecil dan
pesisir di sekitar Selat Malaka dan Selat Singapura yang ramai dan rawan,
selain dari ancaman klaim negara tetangga, juga dari kejahatan transnasional
seperti pencurian dan penyelundupan. Satuan pengaman Pulau Nipah tersebut
berasal dari Satuan Tugas Marinir Pengamanan Pulau-pulau Terluar Wilayah
Barat, yang dibantu pasukan TNI AD.3
Harus diperhatikan, wilayah pesisir merupakan wilayah pemukiman
utama penduduk, karena di kawasan inilah kota-kota utama dibangun.
Dengan demikian, kawasan pesisir merupakan sumber tersedianya bahan
makanan bagi penduduk, baik untuk makanan utama seperti padi, sayuran,
dan biji-bijian, maupun dari pertanian dan industri skala kecil perikanan
(sebanyak 4.512.191 ton), akuakultur (sebanyak 1.228.559 ton) dan lain-
lainnya. Berdasarkan data, terdapat 2.625.909 orang dan 2.284.208 orang
yang mengandalkan hidup mereka masing-masing dari sektor perikanan
dan akukultur.4 Sisanya hidup dari kegiatan pariwisata dan berbagai
industri lainnya. Studi di salah satu kabupaten pesisir, yaitu Indramayu,
mengungkapkan bahwa pada tahun 2011, terdapat 58-59% penduduknya
berada di bawah garis kemiskinan. Jumlah ini meningkat menjadi hampir
70% pada tahun 2003, atau hanya selang waktu 2 tahun. Sementara,
dilihat dari latar belakang pendidikan, kondisi masyarakat pesisir turut
memprihatinkan. Sekitar 79,5% dari mereka tidak tamat SD, sedangkan yang
tamat SD hanya 19,6%. Kemudian, yang tamat SLTP hanya 1,9%, SLTA hanya
1,4% dan perguruan tinggi jauh lebih kecil angkanya, yakni 0,003%.5 Dapat
dikatakan, kebanyakan dari mereka memiliki basis pengetahuan tradisional,
yang diturunkan oleh generasi sebelum mereka. Karena itu, keterbelakangan
dan kemiskinan adalah masalah utama yang dihadapi penduduk pulau-pulau
kecil, pesisir, dan terluar Indonesia.
Tidak adanya regulasi yang jelas untuk penangkapan SDA ikan telah
membuat beberapa wilayah laut memiliki potensi ikan yang kain surut dan
minim. Banyak tempat yang lemah regulasi dan pengawasan implementasinya
oleh aparat di lapangan, dalam kondisi berlebihan dieksploitasi (overfishing),
terutama oleh alat-lat tangkap besar dan modern. Belum tuntasnya masalah
2
Direktur Pemberdayaan Pulau-pulau Kecil Pulau-pulau Kecil Kementerian Kelautan dan
Perikanan (KKP), Agus Dermawan di DPR, Jakarta, pada 6 Juni 2012.
3
“SBY Kunjungi Nipah,” Kompas, 3 Juni 2012, hal. 2.
4
Ibid.
5
Ibid.

154
Dr. phil. Poltak Partogi Nainggolan, M. A.

perbatasan laut dengan negara tetangga, terutama Malaysia, dan penangkapan


ikan secara ilegal oleh nelayan asing (illegal fishing) merupakan pula masalah
yang membuat nelayan Indonesia, sebagai bagian dari penduduk pesisir,
semakin terbatas peluang untuk melakukan kegiatan di laut.6 Begitu pula,
dengan kian agresifnya aparat keamanan laut Australia melakukan penindakan
atas wilayah laut yang selama ini biasa mereka lalui dan upayakan untuk
mencari ikan dan SDA laut lainnya, misalnya tripang, membuat economic
security penduduk pesisir semakin terancam oleh kondisi dan berbagai
perubahan lingkungan sekitar mereka.
Orientasi dan bentuk pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-
pulau kecil akan memberikan dampak lebih lanjut pada kehidupan dan
masa depan penduduknya. Pengelolaan yang padat modal dan semata
bertumpu pada investor, kian membuat tidak nyaman dan menyuramkan
kehidupan penduduk pesisir. Apalagi, jika pola investasi dan kerja sama
dengan kalangan swasta, termasuk asing, tidak pro-lingkungan hidup dan
memperhatikan tanggung jawab sosial perusahaan pengelolanya (Corporate
Social Responsibility –CSR).7
Sebelum dibatalkannya HP3 (Hak Pengusahaan Perairan Pesisir) dalam
UU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau
Kecil oleh Mahkamah Konstitusi, UU tersebut menciptakan ancaman yang
tinggi atas keamanan ekonomi masyarakat pesisir. Sebab, 4 hak konstitusional
nelayan tidak dilindungi, yakni hak untuk melintas akses laut secara
bebas, hak untuk memanfaatkan SDA laut, hak untuk mengelola SDA laut
berdasarkan kearifan lokal dan tradisi bahari secara bergenerasi, serta hak
mendapatkan lingkungan dan perairan tradisional yang bersih dan sehat.8
Hak terakhir yang terancam ini juga merupakan bentuk ancaman yang nyata
terhadap keamanan lingkungan (environmental security) masyrakat pesisir.
Kelangkaan infrastruktur dan minimnya pasokan listrik amat parah
dihadapi pulau-pulau kecil di wilayah pesisir, bahkan di Kepulauan Morotai dan
Kepulauan Raja Ampat, yang diandalkan untuk dikembangkan sebagai sumber
devisa dari pariwisata karena potensi alam dan kekayaaan habitat lautnya.
Sebagai solusi, PLN berusaha memanfaatkan potensi matahari dan membangun
Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) berkapasitas 600 kilowatt peak (kWp).
Di Pulau Sebatik, PLN telah mengoperasikan PLTS berkapasitas 350 kWp, dan

6
Pada tahun 2009 ada 11 kasus pengakapan nelayan Indonesia oleh aparat Malaysia, dan
sampai September 2010 sebanyak 9 kasus, dengan jumlah yang ditangkap sebanyak 100
orang. Lihat, Abdul Halim,”Mengelola Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Berdasarkan
Konstitusi,” makalah presentasi dalam FGD di P3DI Setjen DPRRI pada 19 Maret 2012.

7
Adhuri, 2012, loc.cit.

8
Halim, 2012, loc.cit.

155
Ancaman Keamanan yang Dihadapi Wilayah Pesisir

100 kWp di Pulau Miangas, yang masing-masing merupakan pulau-pulau


terdepan yang berbatasan dengan Malaysia dan Filipina.9 Dalam kasus lain, di
Pulau Maratua, Berau, Kalimantan Timur, dilaporkan, rumah penduduk yang
belum teraliri listrik mencapai 75%. Padahal, pulau ini termasuk salah satu
pulau terluar Indonesia yang berbatasan langsung dengan negara tetangga,
Malaysia.10 Perbedaan perkembangan yang mencolok dengan negara tetangga
dikuatirkan berdampak pada merosotnya moralitas atau semangat integritas
mereka dengan pemerintah pusat (NKRI).
Listrik menjadi masalah yang juga perlu memperoleh prioritas bagi
pengembangan pulau-pulau pesisir dan pulau-pulau kecil, khususnya di
wilayah perbatasan dan pulau-pulau terluar. Diketahui, dewasa ini fasiitas
dan suplai listrik di sana masih belum merata; ada daerah yang baru
memiliki fasilitas dan pasokan 30%, dan ada yang sudah mencapai 60%.
Pemerintah melalui Kementerian Daerah Tertinggal menargetkan pada
tahun 2014, sebanyak 100% masyarakat di kawasan tersebut telah dapat
menikmati listrik. Untuk itu, anggaran sebesar Rp. 400 miliar telah disiapkan
pemerintah pusat.11 Selain masalah ini, tentu saja menjadi sangat penting
diketahui, masalah-masalah lain apa saja yang dihadapi wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil di Indonesia, yang merupakan ancaman keamanan dewasa
ini dan di masa depan, dilihat dari dua perspektif berlainan yang bersifat
saling melengkapi, yakni tradisional dan non-tradisional.

II. Pertanyaan Penelitian


Dalam penelitian mengenai kondisi kawasan pesisir dan pulau-pulau
kecil ini dikemukakan dua pertanyaan mendasar, yakni:
1. Bagaimana kondisi wilayah pesisisr dan pulau-pulau kecil dilihat
dari perspektif ancaman keamanan tradisional yang dihadapinya
dewasa ini dan di masa depan? Apa saja ancaman keamanan
tradisional yang muncul di sana?
2. Bagaimana pula kondisi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dilihat
dari perspektif ancaman keamanan non-tradisional yang lebih
kompleks? Apa juga jenis-jenis ancaman keamanan non-tradisional
yang ada?
3. Bagaimana pemerintah pusat dan daerah harus merespon
dan mempersiapkan kebijakan untuk menanganinya secara
komprehensif dan efektif?


9
“Ambisi Melistriki 100 Pulau Terdepan,” Media Indonesia, 16 April 2012, hal. 17.
10
Koran Jurnal Nasional, edisi online, Jurnas.com, 10 Juli 2012.
11
“Listrik jadi prioritas di Pulau Terluar,” Kompas, 18 Juli 2012, hal. 23.

156
Dr. phil. Poltak Partogi Nainggolan, M. A.

III. Tujuan dan Kegunaan Penelitian


Penelitian bertujuan mengumpulkan data dan masukan mengenai
kondisi aktual wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia, dengan
melihat tantangan dan ancaman keamanan yang dihadapinya dewasa ini dan
di masa depan. Hasil penelitian dalam bentuk laporan penelitian lengkap
akan dikontribusikan bagi komisi-komisi DPR, terutama Komisi IV yang
mengurus masalah kelautan dan perikanan, serta lingkungan hidup, dan
Komisi II yang mengurus masalah-masalah kedaerahan dan wilayah.
Laporan penelitian ini juga akan berguna untuk disumbangkan bagi
Komisi I dan BKSAP, yang fokus pada tupoksinya di bidang keamanan dan
pertahanan negara, dan kerja sama luar negeri antar-parlemen (pelaksanaan
diplomasi parlemen) serta aparat-aparat pelaksananya, dan Badan Anggaran
yang memiliki tupoksi dalam melakukan sinkronisasi anggaran untuk berbagai
wilayah/daerah di Indonesia. Selain dapat dipergunakan untuk bahan rapat-
rapat kerja dalam menjalanakan fungsi pengawasan dan anggaran, secara
khusus, laporan penelitian yang dihasilkan dapat dikontribusikan bagi Badan
Legislasi untuk penyusunan RUU mengenai masalah kelautan dan kejahatan
transnasional

IV. Pemahaman Wilayah dan Ancaman


Wilayah pesisir selalu identik dengan wilayah yang memiliki garis dan
kawasan pantai, serta laut. Sebuah negara kepulauan seperti Indonesia dapat
dipastikan tidak hanya terdiri dari banyak pulau besar dan kecil, namun
juga memiliki wilayah pesisir yang luas. Dalam konteks ini, pulau-pulau
terluar atau yang terletak di perbatasan dengan negara-negara tetangga,
yang kebanyakan terdiri dari pulau-pulau kecil, kecuali untuk Kalimantan,
Sumatera, Sulawesi dan Papua, juga mempunyai kawasan pesisir yang tidak
kecil ruangnya. Bahkan, untuk Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Alor,
wilayah pesisir mereka begitu dominan, yang bahkan, untuk yang disebut
pertama, melampaui luas wilayah daratnya.
Lebih lanjut wilayah pesisir didefinisikan sebagaimana beirkut ini. Idris,
Ginting, dan Budiman, dalam Membangunkan Raksasa Ekonomi menjelaskan
bahwa wilayah pesisir adalah kawasan peralihan yang menghubungkan
ekosistem darat dan ekosistem laut, yang sangat rentan terhadap perubahan
akibat aktivitas manusia di darat dan di laut.12 Letaknya dapat diukur ke arah
darat sejauh pasang tertinggi dan ke arah laut sejauh pengaruh dari darat.
Untuk kepastian hukum, ukuran administrasi wilayahnya dihitung, ke arah
Lihat, Idris, I., S. P. Ginting, dan Budiman. 2007. Membangunkan Raksasa Ekonomi. Bogor:
12

Penerbit PT Sarana Komunikasi Utama, 2007.

157
Ancaman Keamanan yang Dihadapi Wilayah Pesisir

darat sejauh batas yang mempunyai peranan laut dan ke arah laut sejauh 12
mil dari garis pantai.13
Terkait dengan eksistensi pulau-pulau kecil, Abubakar dalam Menata
Pulau-Pulau Kecil Perbatasan, secara harfiah mendefinisikan mereka sebagai
kumpulan pulau berukuran kecil, yang secara fungsional saling berinteraksi,
baik dari sisi ekologi, ekonomi, sosial, maupun budaya. Interaksi tersebut
menyebabkan pulau-pulau kecil terpisah dari pulau induknya (mainland
area).14 Sedangkan, Beller dalam How to Sustain Small Island, dalam Beller,
d’Ayala, and Hein (Eds.), Sustainable Development and Environmental
Management of Small Islands, memberikan paling sedikit 5 karakteristik
pulau-pulau kecil yang sangat menonjol, yakni:15
1. Terpisah dari habitat pulau induk, sehingga bersifat insuler (tersebar,
menjadi banyak pulau);
2. Memiliki persediaan air tawar yang terbatas, termasuk air tanah/
air permukaan;
3. Rentan terhadap gangguan eksternal, baik alami maupun akibat
kegiatan manusia;
4. Memiliki spesies endemik yang memiliki fungsi ekologi yang tinggi;
5. Tidak memiliki daerah hinterland.

Sementara, H.C. Brookefield, dalam “An Approach to Islands,” dalam


W.P. d’Ayala dan P. Hein (Eds.), Sustainable Development and Environmental
Management, Man and Biosphere, menyusun kategori sendiri untuk pulau-
pulau kecil. Brookefield mengatakannya sebagai pulau-pulau yang luasnya
sekitar 1.000 km2 dan berpenduduk lebih kecil dari 100.000 orang.16
Batasan ukuran untuk definisi Brookefield ini, dalam kenyataannya, telah
diadopsi di negara Jepang.17 Untuk perbandingan, negara Indonesia seperti
tampak dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 41
Tahun 2000 memberikan kategori sendiri untuk pulau-pulau kecil, dengan
mendefinisikannnya sebagai pulau yang ukuran luasnya kurang dari 10.000
13
Ibid.
14
Lihat, M. Abubakar, M. Menata Pulau-Pulau Kecil Perbatasan, Jakarta: Penerbit Buku
Kompas. 2006.
15
W. Beller, “How to Sustain Small Island”, dalam W. Beller, d’Ayala, and Hein (Eds.), Sustainable
Development and Environmental Management of Small Islands, France: Unesco, 1990.
16
Lihat, H.C. Brookefield, “An Approach to Islands,” dalam W.P. d’Ayala dan P. Hein (Eds.),
Sustainable Development and Environmental Management, Man and Biosphere Series, Vol.
5, 1990.
17
Lihat T. Nakajima dan M. Machida. 1990. “Island in Japan,” dalam W.P. d’Ayala and P. Hein
(Eds.), Sustainable Development and Environmental Management. Man and Biosphere
Series, Vol. 5, 1990.

158
Dr. phil. Poltak Partogi Nainggolan, M. A.

km persegi, dengan jumlah penduduk sekitar 500.000 jiwa.18 Dengan


demikian, ukuran yang dipakai Indonesia jauh lebih luas, dengan jumlah
penduduk yang jauh lebih banyak.
Sementara itu, dalam hubungannya dengan potensi dan kakayaan alam
yang dimilikinya, diungkapkan bahwa potensi sumber daya alam dan jasa
lingkungan di pulau-pulau kecil terdiri dari sumber daya hayat, sepertii
padang lamun, terumbu karang, dan hutan mangrove. Keberadaan sumber
daya alam itu selama ini diketahui sangat berperan dalam mengendalikan
keseimbangan ekosistem, termasuk kelestarian biota-biota perairan. Tidak
kalah pentingnya, di lain pihak, potensi sumber daya non-hayati, seperti
bahan tambang, energi laut, dan jasa lingkungan yang ada di kawasan itu
dapat dimanfaatkan untuk medorong pertumbuhan ekonomi.19
Terkait dengan eksistensi ancaman, dalam studi keamanan dan hubungan
internasional telah lama didiskusikan munculnya ancaman keamanan
baru, di luar yang telah banyak dikenal selama ini. Karena itulah, dewasa
ini telah dipilah adanya ancaman keamanan tradisional (konvensional)
dan yang non-tradisional (non-konvensional). Ancaman keamanan yang
dikategorikan tradisional bersifat tidak berubah, yakni berasal dari militer
dan para aktornya, sedangkan yang dikategorikan non-tradisional (non-
konvensional) berasal dari unsur-unsur non-militer, mencakup masalah-
masalah kesehatan, lingkungan hidup, ketersediaan air bersih, ancaman
endemik, ketersediaan rumah sakit dan fasilitas kesehatan dan obat-obatan,
ketersediaan SDA, ancaman bencana alam, dan sebagainya.

V. Metodologi Penelitian
A. Jenis Penelitian
Penelitian mengenai wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil ini merupakan
penelitian yang bersifat deskriptis-analitis. Penelitian mendeskripsikan
secara komprehensif dan jelas berbagai permasalahan, tantangan, dan
ancaman yang dihadapi berbagai wilayah dan pulau-pulau tersebut dari
perspektif keamanan tradisioal dan non-tradisional. Data dan temuan
penelitian yang diperoleh, selanjutnya, dianalisis secara cermat dan kritis,
untuk dapat dibuat kesimpulan dan rekomendasi kebijakan yang relevan
untuk mengatasinya.

18
Lihat, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kelautan dan Perikanan dalam Angka 2011.
Jakarta: Pusat Data Statistik dan Informasi Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2011.
19
Lihat R. Dahuri, Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, Bogor: Penerbit
IPB Press. 1998.

159
Ancaman Keamanan yang Dihadapi Wilayah Pesisir

B. Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian lapangan (field researches) dilakukan di Kabupaten Wakatobi,
Sulawesi Tenggara, dan Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur. Penelitian
lapangan di Kabupaten Wakatobi dilaksanakan pada Juli 2012, sedangkan
di Kabupaten Alor dilakukan pada Agustus 2012. Kunjungan on the spot
dijalankan ke wilayah-wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di sekitar kedua
kabupaten tersebut, termasuk yang terletak di wilayah provinsi maupun yang
sudah mendekati wilayah perbatasan antar-provinsi dan antar-kabupaten.

C. Teknik Pengumpulan Data


Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan studi kepustakaan
dan melakukan teknik wawancara (interview) mendalam secara langsung
pada berbagai narasumber. Setelah itu, pengumpulan data-data primer
dan tertulis melalui studi kepustakaan dilanjutkan dengan melakukan
wawancara secara mendalam. Untuk kepentingan wawancara mendalam
ini, narasumber yang akan diwawancari sudah ditentukan sebelumnya
atau dipilih, dengan melihat kriteria kedudukan (posisi/jabatan mereka)
dan relevansinya dengan tugas-tugas mereka di lapangan. Pihak-pihak
yang akan diwawancarai adalah dari Kementerian Kelautan dan Perikanan
(KKP), Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten (pemkab), Dinas-dinas
di tingkat Provinsi dan Kabupaten, kalangan akademisi/pakar, terutama dai
IPB, serta LSM seperti WWF (Wild World Fund) dan Kiara, dan juga aparat
keamanan yang bertugas di Lantama, Kepolisian, dan Jagawana (Polisi
Kehutanan) .
D. Teknik Analisis Data
Data-data diperoleh melalui studi kepustakaan dan penelitian lapangan,
dari hasil kompilasi data-data tertulis serta hasil wawancara mendalam dan
pengamatan lapangan (observasi). Berbagai jenis data itu kemudian direduksi
secara selektif, dengan memilah dan memisahkan bagian-bagian yang relevan
dan memang dibutuhkan untuk pembahasan dan analisis. Proses seleksi dan
reduksi data-data tertulis (primer) yang diperoleh dari studi kepustakaan
dan penelitian lapangan dilakukan dengan melakukan cross-check yang
cermat melalui kegiatan wawancara mendalam. Selanjutnya, baik data-data
primer maupun sekunder tersebut dianalisis dengan menggunakan metode
kualitatif.

160
BAB II
PERSPEKTIF KEAMANAN EKONOMI

Sebagai dikatakan Agus Dermawan dari KKP, masalah utama yang


dihadapi pulau-pulau kecil, pesisir dan terluar, selain kemiskinan dan
keterbelakangan, kelangkaan air bersih, serta ancaman bencana alam
adalah akses menuju ke sana atau hubungan dengan pulau-pulau lain, di
samping harga BBM --dan juga kebutuhan pokok lainnya-- jauh lebih mahal.
Konsentrasi kemiskinan pada umumnya terdapat di kawasan pesisir.20
Dari sisi keamanan ekonomi, warga pesisir menghadapi kesulitan
memperoleh pasokan bahan pokok secara teratur dan dengan harga terjangkau.
Keterbatasan alat transportasi dan tingginya harga BBM merupakan masalah
utama. Selain itu, tantangan alam, yang menyulitkan angkutan perairan
(laut) akibat perubahan iklim dan cuaca ekstrim, yang menyebabkan sering
terjadinya angin kencang dan gelombang pasang dan membuat jalur pelayaran
ke pulau-pulau kecil ditutup, membuat terhambatnya pengiriman pasukan
bahan pokok. Tidak heran, harga-harga bahan pangan bisa meningkat 5 kali
lipat, atau bahan pangan tidak tersedia sama sekali, jika pulau-pulau pesisir
itu terisolasi akibat kondisi alam. Sehingga, jika sudah tidak ada pasokan telur,
ayam dan sayur, penduduk makan dengan garam.21
Buruknya kondisi perekonomian di pulau-pulau pesisir dan kecil juga
disebabkan oleh masih banyak pelabuhan perikanan yang belum ada ataupun
beroperasi sama sekali. Selain karena dilatarbelakangi belum terbentuknya
kelembagaan pengelola sebagai penanggungja- wab, juga akibat fasilitas
pelabuhan perikanan yang belum memadai. Kelangkaan anggaran belanja
besar milik Pemerintah Daerah untuk mendukungnya menjadi dasar dari
semua hambatan yng terjadi. Padahal, pengembangan dan peningkatan fasilitas
pelabuhan adalah bagian dari program industrialisasi kelautan dan perikanan.
Sementara, pelabuhan perikanan perlu memberikan pelayanan dan pembinaan
terhadap pelabuhan perikanan swasta dalam pemanfaatan potensi ikan,
termasuk ikan yang didaratkan. Konektifitas dan sistem informasi pelabuhan
20
Wawancara dengan Kadis KKP Kabupaten Wakatobi, Drs. Laode Hajifu, M.Si, di Wakatobi,
Provinsi Sultra, pada 1 Juli 2012.
21
“Dibuka Lagi Jalur ke Pulau-pulau Kecil,” Kompas, 26 Maret 2012, hal. 21.

161
Ancaman Keamanan yang Dihadapi Wilayah Pesisir

yang belum menjangkau semua pelabuhan perikanan menambah buruk kondisi


dukungan infrastruktur pulau-pulau pesisir dan kecil. Sehigga, banyak pelabuhan
kecil (tangkahan) yang dibangun perusahaan swasta untuk kebutuhan sendiri,
dan berkembang menjadi pelabuhan swasta dan tempat ikan nelayan lokal.
Diketahui, maraknya tangkahan turut dipicu oleh sangat sedikitnya sarana
pelabuhan ikan yang dibangun pemerintah selama ini.22
Masalah lain yang dihadapi oleh penduduk pulau-pulau pesisir adalah
anak-anak mereka, yang terancam putus sekolah. Langkanya infrastruktur,
terutama bangunan sekolah, hingga ke tingkat menengah dan lanjutan atas,
dan kemiskinan selama ini telah menghentikan langkah anak-anak mereka
melanjutkan sekolah. Kenaikan harga BBM yang diperparah oleh faktor cuaca
dan lingkungan, mempersulit penduduk dalam membiayai transportasi
anak-anak mereka. Sekalipun sekolah tidak dipungut biaya (gratis), namun
ongkos transportasi laut yang tinggi membuat orang tua siswa semakin
terbebani, di luar tergerusnya kemampuan untuk memenuhi kebutuhan
dasar lainnya.23
Ancaman keamanan ekonomi datang pula dari aspek penguasaan atau
kepemilikan oleh asing atas pulau-pulau pesisir dan kecil yang tersebar di
seluruh wilayah Indonesia. Selama ini telah dilaporkan adanya penguasaan
warga negara asing atas (pengelolaan) pulau-pulau di NTT, Bali, Nias Barat,
dan lain-lain.24 Sehingga, aspek penguasaan selama ini tidak hanya atas
pengelolaan resor-resor kecil dan lokasi penyelaman (diving). Salah satu
indiaksi buruk atas perkembangan ini adalah, ditutupnya akses masuk
untuk publik dan juga aparat negara ke pulau-pulau atau resor-resor yang
dikuasai itu. Dengan demikian, kondisi wilayah tempat lokasi pulau-pulau
atau resor-resor tersebut seperti ‘negara dalam negara’ atau menyerupai
wilayah negara asing yang tidak boleh dimasuki oleh orang dari Indonesia.

22
“Pelabuhan Perikanan Belum Memadai,” Kompas, 7 Juli 2012, hal. 18.
23
Lihat,”Anak-anak Pesisir Terancam Putus Sekolah,” Media Indonesia, 22 Maret 2012, hal.
8.
24
Lihat misalnya,“Dua Pulau Dikuasai Asing,” Koran Tempo, 22 Juni 2012, hal. A8.

162
BAB III
DAMPAK PERUBAHAN IKLIM

Abrasi menjadi ancaman besar bagi pulau-pulau pesisir dan kecil


akibat perubahan iklim. Akibat naiknya permukaan laut sebagai implikasi
atas pemanasan global, yang menyebabkan terjadinya abrasi di banyak
pantai, banyak pulau pesisir dan kecil yang terancam tenggelam. Sehingga,
sebagai contoh, sekitar 120 pulau terancam tenggelam dihantam abrasi di
Provinsi Kepulauan Riau, yang sebagian besar terletak di wilayah Natuna
dan Anambas.25 Mengingat dewasa ini permukaan laut Indonesia naik paling
rendah 3 mm per tahun, kenaikan ini dapat merusak kawasan pesisir dengan
ketinggian sampai 0,6 m, sehingga wilayah kawasan pesisir dan pulau-pulau
kecil yang terancam tenggelam, sangat luas. Patut diketahui, kehilangan
pulau juga berarti kerusakan ekosistem bagi kawasan sekitarnya, karena
kehilangan daya dukung bagi kawasan itu, yang sebelumnya ada. Untuk
wilayah perbatasan, tentu saja dampaknya menjadi lebih serius, karena akan
mengkibatkan lenyapnya titik perbatasan. Padahal diketahui banyak pulau
kecil yang terletak di gugusan terdepan garis perbatasan Indonesia dengan
negara lain.
Masalah serius yang juga dihadapi penduduk pulau-pulau pesisir dan
kecil adalah cuaca buruk yang belakangan kian sering terjadi akibat dampak
perubahan iklim global yang berdampak pada terjadinya cuaca ekstrim.
Hujan deras disertai angin kencang yang berlangsung selama seminggu
secara terus-menerus telah mengganggu pelayaran dari Pelabuhan Tanjung
Bira, Kabupaten Bulukumba, Sulsel menuju Sultra dan NTT, yang di perairan
Selayar telah menyebabkan terjadinya gelombang setinggi 3,5 meter.26
Akibatnya, pelayaran kapal ferry penghubung antar-pulau dihentikan.
Dilaporkan, ribuan warga yang bermukim di pulau-pulau kecil dan terpencil
di NTT terkurung cuaca buruk, karena kapal-kapal tidak bisa beroperasi.
Sebagai konsekuensinya, mereka tidak bisa melakukan aktifitas ekonomi.
Karena sulitnya pelayaran akibat cuaca buruk ini, harga-harga komoditas
“Abrasi, 120 Pulau Bisa Tenggelam,” Kompas, 11 Juni 2012, hal. 12.
25

“Pelayaran Terganggu: Warga Pulau Kecil Terkurung Cuaca Buruk,” Kompas, 7 Juli 2012, hal. 22.
26

163
Ancaman Keamanan yang Dihadapi Wilayah Pesisir

kebutuhan pokok pun melambung tinggi, sehingga kondisi perekonomian


pulau-pulau pesisir dan kecil, terutama penduduknya, sangat terganggu.
Akibat cuaca buruk ini, upaya memaksakan diri untuk berlayar, seringkali
berdampak fatal. Dalam beberapa kasus, cuaca buruk telah menyebabkan
terjadinya kecelakaan kapal. Dalam sebuah kasus, puluhan penumpang kapal
motor Putri Ayu tenggelam di perairan Pulau Tiga, Maluku Tengah, Provinsi
Maluku pada 17 Juni 2012. Kapal tersebut berangkat dari pelabuhan Kota
Ambon menuju Namrole, Pulau Buru. Gelombang yang tinggi, mencapai
3 meter, yang disertai angin kencang, selain telah menenggelamkan kapal
motor itu, juga telah menyulitkan pencarian korban yang tenggelam.27
Dampak pemanasan global dan perubahan iklim yang drastis dapat
dilihat pada kawasan Segitiga Terumbu Karang (The Coral Triangle region)
dunia, yang meliputi 6 negara, terutama Indonesia, di sebagian besar perairan
dan pesisir Indonesia Timur, termasuk pulau-pulau kecilnya. Dilaporkan,
lebih dari rata-rata 60%,28 bahkan mencapai hingga 90% seperti di Aceh dan
Wakatobi,29 kawasannya terancam kerusakan akibat aktifitas manusia, secara
langsung maupun tidak langsung yang berdampak pada pemanasan global
dan kondisi terumbu karang. Padahal kawasan “jantung terumbu karang
dunia” yang disebut “lautnya Amazon” itu merupakan tempat koleksi sekitar
30% terumbu karang dunia, dengan koleksi sekitar &5% ikan-ikan karang,
dan lebih 3.000 species ikan. Adapun kawasan ini mendukung kehidupan
sekitar 100 juta penduduk yang ada di sana.

27
“Data Penumpang Simpang Siur: Cuaca Buruk Menebar Ancaman,” Kompas, 19 Juni 2012,
hal. 21.
28
“Coral Triangle Threatened by Human Activites,” the Jakarta Post, July 10, 2012, hal. 4.
29
“Memulihkan Karang dari Pemutihan,” Media Indonesia, 28 Juli 2012, hal. 23.

164
BAB IV
KEJAHATAN TRANSNASIONAL

Masalah atau ancaman keamanan lebih luas berasal dari kejahatan


transnasional, yang memanfaatkan pulau-pulau pesisir dan kecil, apalagi
di (perbatasan) terluar, sebagai wilayah transit, dan bahkan basis kejahatan
mereka. Pulua-pulau pesisir dan kecil di Kepulauan Riau (Kepri), misalnya,
terdapat ratusan tempat pendaratan jaringan penyelundupan narkoba. Kasus
penyelundupn semakin sering, contohnya, selama Januari sampai Maret 2012,
terdapat 3 kasus penyelundupan narkoba asal Johor Baru, Malaysia. Pulau-
pulau di lepas pantai selatan Pulau Jawa belakangan ditengarai telah dijadikan
basis produksi dan transportasi narkoba, yang dibawa ke darat mellaui Ujung
Genteng, Jawa Barat. Di wilayah perairan tersebut, aparat kepolisian (Polisi
Air) telah menyita 100 kg narkoba dari tersangka warga Iran.30
Ancaman lainnya terhadap pulau-pulau kecil dan wilayah pesisir
berasal dari aksi perompakan dan pembajakan kapal. Laporan Biro Maritim
Internasional menunjukkan rawannya wilayah pulau-pulau kecil dan perairan
di Indonesia. Diketahui, jumlah perompakan di wilayah perairan Indoensia
meningkat dari 10 kasus pada tahun 2008, menjadi 15 kasus pada tahun 2009,
dan 40 kasus pada tahun 2010.31 Wilayah mereka rawan dipergunakan sebagai
basis perompak untuk menyiapkan, mengkordinasikan, dan menutupi aksi-
aksi mereka. Para perompak dapat menggunakan pulau-pulau kecil di wilayah
pesisir untuk bersembunyi dan melanjutkan aksi-aksi mereka lebih banyak lagi
di kemudian hari, jika masalah kemiskinan dan keterbelakangan penduduknya
tidak dibantu diatasi pemerintah pusat. Sekalipun belum diketahui seberapa
banyak dan sejauh mana keterlibatan penduduk di pulau-pulau kecil di wilayah
pesisir dalam berbagai aksi perompakan yang muncul selama ini, tetapi perlu
diantisipasi kemungkinan dimanfaatkannya kondisi kemiskinan mereka untuk
mendukung atau meneruskan aksi-aksi perompakan di masa depan. Karena
“Indonesia Desak Malaysia Perketat Penjagaan Perbatasan,” Kompas, 12 April 2012, hal. 4.
30

“Kiprah Indonesia Tidak Lagi Terdengar,” Kompas, 7 April 2012, hal. 22.
31

165
Ancaman Keamanan yang Dihadapi Wilayah Pesisir

tingginya angka kejahatan trans- nasional yang terjadi di laut, negara sulit
mencapai target melakukan 20% konservasi laut.32
Dari wawancara dengan Kadis Pariwisata dan Kebudayaan terungkap
bahwa wilayah perairan Wakatobi rawan dari upaya penyelundupan barang-
barang elektronik, sepeda motor, dan baju bekas (dikenal dengan istilah RB atau
rombengan). Kadis Pariwisata dan Kebudayaan berperan dalam pelestarian
budaya lokal, terutama Bajo, dengan membuka desa wisata, dimana turis bisa
tinggal di rumah-rumah tradisional mereka yang sudah direnovasi dengan
bantuan pusat (Menteri Kelautan Fadel Muhammad). Program pariwisata
yang dipromosikan di dunia internasional dikaitkan dengan upaya pelestarian
lingkungan dan budaya lokal, seperti memperkenalkan tarian setempat,
permainan tradisional rakyat dan lain-lain. Selain penting untuk konservasi,
upaya ini juga berguna untuk membantu Suku Bajo, suku tradisional yang
hidup dari biota laut di Wakatobi, keluar dari keterbelakangan.33

32
Wawancara dengan Drs. Laode Hajifu, M.Si, Kadis KKP Kabupaten Wakatobi, di Wakatobi,
Provinsi Sultra, pada 1 Juli 2012.
33
Wawancara dengan Drs. Tawakkal, Kadis Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Wakatobi,
di Wakatobi, Provinsi Sultra, pada 1 Juli 2012.

166
BAB V
KEAMANAN LINGKUNGAN

Sebagaimana dijelaskan oleh Direktorat Kawasan Konservasi dan Bina


Hutan Lindung Kementerian Kehutanan, keamanan lingkungan di pulau-pulau
kawasan pesisir dan kecil, jauh lebih sulit diawasi daripada kawasan konservasi
alam (hutan) yang terletak di sebuah pulau (daratan) yang luas, mengingat
luasnya wilayah kepulauan dan perairan yang harus diawasi.34 Kebijakan
pemekaran wilayah yang marak dan tidak mengikutsertakan mereka dalam
perencanaannya sejak awal semakin menyulitkan mereka dalam mengawasi
penyimpangan yang cenderung mudah dilakukan akibat kewenangan yang
tidak terkontrol. Padahal, aparat perlindungan konservasi hutan memiliki
keterbatasan sarana dan prasarana. Kesulitan semakin dirasakan dalam
pengamanan kawasan konservasi taman laut, terutama di wilayah Indonesia
Tmur, yang lebih luas cakupan wilayah pengawasannya, dengan kondisi personil
dan alat kerja yang jauh lebih terbatas, seperti di Kabupaten Kepulauan Sangir-
Talaud. Sementara biaya operasional di darat dan laut sama saja besarannya,
tidak ada SBK (Standar Biaya Khusus).35 Adapun kasus-kasus penyimpangan
yang sering dijumpai di kawasan konservasi adalah illegal logging, pemburuan
satwa liar, pemboman ikan, dan pencurian SDA alam (laut) lainnya.
Selanjutnya, masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil amat rentan atas
bencana alam karena tidak adanya adaptasi yang terencana dan manajemen
kondisi darurat yang komprehensif dari pemerintah pusat sejak awal,
termasuk dalam hal kesiapan dan respons terhadap pemulihan dan mitigasi
bencana. Terhadap bencana banjir, jumlah penduduk yang terkena dampak
meningkat drastis mengingat penduduk yang tinggal di kawasan pesisir
meningkat pesat, yaitu dari 7.000 desa pesisir menjadi 12.000 desa pesisir
yang ditempati.36 Mereka selama ini menjadi korban yang tragis dari kasus-
34
Wawancara dengan Sonny Partono, Direktur Kawasan Konservasi dan Bina Hutan Lindung
Kemenhut, di Jakarta, pada 13 Agustus 2012.
35
Wawancara dengan Nicko, Direktorat Kawasan Konservasi dan Bina Hutan Lindung
Kemenhut, di Jakarta, pada 13 Agustus 2012.
36
Dedi S. Adhuri,”Kerentanan Masyarakat Pesisir di Indonesia dan Masalah Perbatasan:
Identifikasi Konsen Pengelolaan Pesisir dan Pp Kecil,” makalah presentasi dalam FGD di

167
Ancaman Keamanan yang Dihadapi Wilayah Pesisir

kasus bencana alam seperti gempa bumi dan tsunami, dan akan menjadi
korban yang besar dari pemanasan global dan perubahan iklim yang ekstrim.
Naiknya permukaan air laut, penurunan permukaan tanah, perubahan
musim yang tidak menentu, dan meluasnya pemukiman penduduk sebagai
konsekuensi dari ledakan penduduk yang tidak terkontrol menyebabkan
terjadinya perubahan habitat dimana mereka tinggal dan terancam rusaknya
sumber-sumber kehidupan mereka seperti pertanian, perikanan, keberadaan
sumber air bersih, serta terganggunya aktifitas pencaharian mereka di
daratan dan laut. Ini artinya, ancaman terhadap keamanan lingkungan
(environmental security) dan keamanan insani (human security) penduduk
pesisir begitu tinggi.
Permasalahan besar yang dihadapi pulau-pulau kecil, pesisir dan terluar
juga adalah semakin berkurangnya SDA yang ada, terutama hutan dan ikan.
Hal ini disebabkan oleh eksploitasi SDA yang berlebihan, termasuk tambang
dan mineral, yang dampak eksploitasinya menambah tingkat degradasi
lingkungan yang terjadi. Kasus yang serius menimpa, misalnya, kawasan
Taman Wisata Perairan Pulau Pieh dan sekitarnya, di Kabupaten Padang
Pariaman, lokasi terdapatnya banyak ikan dan gurita.37 Eksploitasi kawasan
yang sudah berlangsung puluhan tahun itu dilaporkan tidak memberi
keuntungan bagi penduduk lokal. Karena itu, keterlibatan LSM asing, seperti
TNC, adalah membantu terpeliharanya keseimbangan dan kelestarian
lingkungan hidup, dengan kampanye, pendidikan, dan membantu program
pengelolaan SDA secara berkesinambungan, dengan memanfaatkan
pengetahuan, riset, dan teknologi yang berkembang.38
Program konservasi lingkungan hidup di kawasan perairan laut, terutama
yang kaya terumbu karang, yang diluncurkan negara asing, seperti AS, melalui
Coral Triangle Initiative (CTI), dalam kenyataannya, menimbulkan ancaman
ekonomi (economic security) terhadap masyarakat pesisir. Karena, agenda CTI
membuka luas pintu dan peluang bisnis bagi banyak sektor swasta multinasional.
Padatnya investasi asing yang ditawarkan melalui serbuan beragam MNCs yang
bergerak di sektor pertanian, kelautan dan pertambangan, terutama MNcs besar
milik negara tetangga dan AS, misalnya Exxon Mobil Exploration dan Anova
Food, LLC, yang berbasis di Tampa, Florida, memberikan ancaman yang masif
baik bagi dimensi keamanan ekonomi maupun keamanan lingkungan (hidup)
masyarakat pesisir Indonesia yang hidup di kawasan proyek multilateral

P3DI Setjen DPRRI pada 19 Maret 2012.


37
“127.024 Hektar di NTT Rusak,” Kompas, 6 Juli 2012, hal. 23.
38
Wawancara dengan Direktur The Nature Conservation (TNC) Abdul Hakim di Departemen
Pertanian, Jakarta, pada 8 Juni 2012.

168
Dr. phil. Poltak Partogi Nainggolan, M. A.

CTI dengan sponsor utamanya AS. Sementara itu, masih dalam kerangka CTI,
Regional Exchange Program-nya yang didukung pendanaannya oleh AS membuat
pwerkembangan wilayah pesisir dan pulau-pulau di kawasan proyek CTI itu
mudah dikontrol oleh kepentingan AS, mulai di Anambas, Natuna, Wakatobi,
Bird Head Seascape, Raja Ampat, Bali, dan seterusnya.39 Demikian pula dengan
proyek tambahannya, yaitu World Ocean Council (WCO), yang menggaungkan
akses swasta yang bebas ke ekosistem dan SDA laut sejak awal kampanyenya,
yang diketahui melibatkan Rio Tinto, dan MNCs Barat lainnya seperti Shell
dan BP.40 Padahal patut diketahui, proyek CTI dan WCO tidak melibatkan suara
masyarakat pesisir dan laut di lokasi tujuan yang hidupnya secara langsung
tergantung dari SDA di kawasan tersebut, yang sebesar 80% terletak di wilayah
terumbu karang perairan Indonesia. CTI dan WCO juga mengabaikan kebijakan
lokal (local wisdom) masyarakat pesisir dalam mnejaga kelestarian habitat
dimana dan dari mana mereka tinggal dan hidup. CTI sendiri selama ini tidak
memberikan perlindungan bagi aktifitas perikanan tangkap tradisional dan
hak-hak nelayan tradisional Indonesia. Secara kontras, proyek ini justru tidak
menawarkan upaya nyata untuk mengatasi dampak pemanasan dan perubahan
iklum global.41
Masyarakat pesisir mengalami kesulitan air bersih. Di Pulau Sebatik,
Kalimantan Timur, penduduk menghadapi kesulitan memperoleh air bersih,
selain karena kondisi lingkungan yang tidak mendukung, juga akibat tidak
berfungsinya fasilitas PDAM secara baik. Akses air bersih juga tidak ada sama
sekali di pulau-pulau terluar di provinsi Kepulauan Riau. Di sisi lain, meluasnya
krisis air bersih disebabkan oleh musim kemarau dan kekeringan yang melanda
banyak wilayah di Indonesia, terutama di pulau-pulau pesisir dan kecil di wilayah
Indonesia bagian Timur seperti Provinsi NTT. Negara melalui pemerintah tidak
menyediakan akses air bersih kepada warga pesisir dan pulau-pulau kecil. Ini
juga dinilai sebagai salah satu bentuk pelanggaran HAM terkait tanggung jawab
negara dalam memenuhi kebutuhan dasar warganya.42
Perkembangan environmental security semakin buruk, karena terus terjadi
penghancuran ekosistem pesisir, laut dan pulau-pulau kecil secara masif lewat
aktifitas eksploitasi pertambangan, reklamasi pantai untuk pembangunan
perumahan dan bisnis (pariwisata), serta pembukaan kebun kelapa sawit yang
menghnacurkan hutan bakau (mangrove). Untuk hutan bakau, misalnya, dalam
sebuah kasus yang menimpa Pulau Nusakambangan, hampir separuh, atau 4
39
Lihat pula, http://www.uscti.org/uscti/pip/Webpages/CTSPriorityMAP.aspx.
40
Lihat pula, http://www.oceancouncil.org/site/members.php/.
41
Lihat “Lima Cela CTI,” ibid.
42
“Warga di Pesisir pun Kesulitan Air Bersih,” Suara Pembaruan, 24 Maret 2012, hal. 6.

169
Ancaman Keamanan yang Dihadapi Wilayah Pesisir

ribu hektar dari total 8 ribu hektar, hutan bkaunya mengalami kerusakan yang
parah.43 Kondisi ini tentu saja berdampak pada kehidupan biota laut dan ikan yang
hidup dari ekosistem hutan bakau itu. Selanjutnya, kebijakan pemerintah dengan
membuka keran impor lebar-lebar menghancurkan penghasilan nelayan dari
kegiatan menjual ikan, dan di lain pihak, tidak melindungi mereka dari dampak
pemanasan global dan perubahan iklim, dan praktek korup dalam kebijakan
pemberdayaan nelayan menambah berat beban masyarakat pesisir secara
menyeluruh. Data-data berikut turut memberikan gambaran mengenai seberapa
jauh ancaman terhadap keamanan ekonomi dan lingkungan yang dihadapi
masyarakat pesisir di seluruh Indonesia.
Dalam perkembangan terakhir tercatat, 23.282.799 hektar perairan laut
negeri ini mengalami pencemaran, dengan 42 pulau teridentifikasi tengah
dan telah menghadapi resiko bencana akibat kegiatan pertambangan,
serta ditemukannya lebih dari 422.263 hektar hutan bakau di 6 provinsi
terkonversi menjadi perkebunan sawit, dan seluas 5.775 hektar wilayah
pesisir akan direklamasi menjadi kawasan perdagangan dan bisnis. Di luar
itu, 20 pulau kecil, baik di pedalaman maupun perbatasan, terancam di
bawah pengelolaan tangan-tangan swasta dana asing.44 Ancaman keamanan
ekonomi dan lingkungan ini secara langsung mengakibatkan semakin
sulitnya masyarakat pesisir, terutama nelayan tradisional, memperoleh hasil
tangkapan ikan, baik secara kuantitas maupun kualitas, dan beratnya beban
ekonomi yang ditanggung masyarakat pesisir pada umumnya, mengingat
perkembangan ini dalam jangka panjang berpengaruh pada aktifitas dan
kondisi pasar lokal, koperasi dan bentuk-bentuk usaha derivatif lainnya.
Dalam hal ini, dengan eksistensinya yang berpengaruh di dunia internasional,
TNC berperan dalam menekan pasar internasional agar tidak mendukung
eksploitasi SDA di pulau-pulau kecil, pesisir, atau terluar secara tidak terkontrol atau
melawan hukum (ilegal). Dengan aksi jaringannya dan kampanye globalnya, TNC
dapat menekan konsumen dan pasar internasional untuk tidak menerima impor
SDA yang tidak memperhatikan princip-prinsip keberlangsungan (sustainability)
atau melawan hukum. Dengan mempengaruhi perilaku konsumen dan pasar
internasional, produsen atau eksportir lokal dan internasional juga akan tunduk
pada keinginan pasar internasional, sehingga berbagai pengelolaan SDA di pulau-
pulau kecil, pesisir, dan terluar, yang sulit diawasi, yang melawan hukum, dapat
dihentikan.
TNC tidak melarang penduduk pulau-pulau kecil dan terluar untuk
mengeksploitasi SDA yang mereka miliki. TNC memberikan pendidikan
“Separuh Hutan Mangrove Nusakambangan Rusak,” Kompas, 17 Juli 2012, hal. 22.
43

Ibid.
44

170
Dr. phil. Poltak Partogi Nainggolan, M. A.

dan advokasi bagi penduduk untuk mengintroduksi manajemen SDA yang


berkesinambungan, mengingat Indonesia sebagai kawasan megabiodiversity.
Dalam hal ini, peran pemda sangat penting, agar kelestarian lingkungan hidup dan
keberadaan SDAnya terpelihara baik untuk mendukung kehidupan penduduk
pulau-pulau kecil dan terluar dalam jangka panjang (berkesinambungan).
Sementara, komitmen yang dijanjikan pemerintah di berbagi fora internasional,
khususnya terkait dengan masalah pelestarian lingkungan hidup, belum sesuai
dengan yang telah direalisasikan, atau kalah jauh dibandingkan dengan upaya
yang telah dilakukan LSM dalam dan luar negeri, termasuk dalam melindungi
SDA di pulau-pulau kecil, pesisir, dan terluar.
Upaya budidaya ikan merupakan upaya taktis untuk mengatasi kesulitan
hidup penduduk pesisir (nelayan), terutama di pulau-pulau kecil dan terluar,
untuk melaut pada waktu ombak besar dan cuaca tidak menentu. Demikian pula,
budidaya ikan juga merupakan salah satu upaya dan solusi untuk mencegah dan
mengakhiri eksploitasi SDA ikan. Upaya ini mulai populer diperkenalkan sejak
tahun 2000. Teknisnya bisa dilakukan dengan menggunakan keramba di danau,
sungai dan laut. Dengan demikian persediaan (stock) dapat dijaga, dan sisi
lain, perilaku konsumen dan eksportir, serta pasar dapat dikontrol. Sehingga,
monopoli pasar ataupun eksploitasi SDA ikan yang kian susut atau langka
persediaannya dapat diakhiri. Sebaliknya, kesejahteraan mayoritas penduduk
--nelayan-- yang hidup di pulau-pulau kecil, dan terluar dapat dilindungi
dan diperbaiki dari keterancaman SDA yang semakin habis. Dengan kultur
budidaya, kebutuhan pasar dan ketersediaan produksi ikan dapat disesuaikan.
Demikian pula, konsumen global semakin banyak yang dapat menikmati SDA
yang dibutuhkan, sedangkan harga dapat dikendalikan, karena monopoli pasar
tidak terjadi. Namun, perlu diketahui, kultur budidaya SDA, termasuk ikan,
membutuhkan pendidikan dan teknologi yang tinggi, sehingga adakalanya
membutuhkan biaya yang besar.45 Karena itu, dibutuhkan kehadiran organisasi
nelayan yang fokus pada aktifitas budidaya, dalam bentuk koperasi, dan juga
dukungan dan kerja sama dengan pemerintah daerah dan perusahaan swasta,
untuk pengembangan lebih luas ke pasar nasional dan internasional. Kegiatan
budidaya ikan juga membutuhkan dukungan pengamanan laut dari aparat
keamanan, terutama kepolisian air dan TNI AL. Di kawasan Laut Natuna dan
Morotai, misalnya, budidaya ikan kerapu dan rumput laut, sangat rawan dari
aksi kejahatan perompakan.

Wawancara dengan Kepala Program Pengembangan Budidaya Ikan di Dirjen Budidaya


45

Departemen Pertanian, Irianto Elyas, di Departemen Pertanian, Jakarta, pada 14 Juni 2012.

171
BAB VI
KETERBATASAN PENGAMANAN PULAU TERLUAR

Diketahui, luas wilayah laut kepulauan Nusantara yang harus diamankan


TNI AL seluas 5,9 juta kilometer persegi. Ironisnya, TNI AL hanya memiliki
sekitar 150 kapal perang.46 Karena keterbatasan alat pengamanan laut, TNI AL
kewalahan dalam mengawasi berbagai aksi pencurian ikan yang melibatkan
kapal berbendera asing. Berbagai kasus pencurian ikan meningkat akibat
maraknya penyalahgunaan ijin oleh kapal asing. Sementara, dari alat
pengamanan yang terbatas itu, terutama kapal-kapal, tingkat kesiapan
operasional tidak selalu 100%, karena terbatasnya anggaran operasional
dan suplai bahan bakar minyak. Pulau-pulau kecil di bagian terluar perairan
Indonesia yang kaya SDA ikan sulit diawasi dan menjadi terus rawan dari
aksi-aksi pencurian ikan. Di kawasan Laut Natuna yang berhadapan dengan
Laut Cina Selatan, misalnya, yang hanya dapat dijaga secara rutin oleh 4
kapal perang, terus terjadi pencurian ikan di kawasan lebih dari 250 ribu
kilometer persegi.47 Sedangkan Dirjen Pengawasan Sumberdaya Kelautan
dan Perikanan hanya memiliki 24 kapal pengawas, dari idealnya 90 kapal
yang dibutuhkan, dengan usia operasi 8-10 tahun. Pulau-pulau kecil di
sekitar perairan Laut Natuna Kepulauan Riau, Laut Bitung Sulawesi Utara,
Tanjung Keramat di Gorontalo, Selat Karimata, perairan Kalimantan Barat,
Morotai, Halmahera Tengah, Halmahera Selatan, dan lain-lain belakangan ini
sangat rawan dari berbagai aksi pencurian ikan nelayan Filipina, Viet Nam,
Malaysia, dan lain-lain yang menggunakan pump boat.48
Kehadiran siaran radio asing di pulau-pulau pesisir dan kecil di wilayah
perbatasan, menjadi ancaman baru terhadap integritas wilayah Indonesia.
Dilaporkan, sebagian besar frekuensi dari 30-an stasiun radio di, sebagai
contoh, Bengkalis,dikuasai oleh radio Malaysia.49 Sementara itu, hanya 2 radio
asal atau bersiaran (bahasa) Indonesia. Itupun keduanya bersuara tidak
46
“Di Laut Kita Kalah,” Kompas, 5 Juni 2012, hal. 1.
47
Ibid.
48
“Ikan Indonesia Terus Dicuri,” Kompas, 4 Juni 2012, hal. 1.
49
“KPI Desak Penguatan Frekuensi Siaran,” Koran Tempo, 18 Juni 2012, hal. A22.

173
Ancaman Keamanan yang Dihadapi Wilayah Pesisir

jernih. Dominasi kehadiran radio milik atau berbahasa asing dikuatirkan akan
menggangu kedaulatan negara. Karena itu, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
telah mendesak pemerintah melakukan penguatan frekuensi siaran radio di
wilayah perbatasan. Akumulasi kehadiran radio milik atau berbahasa asing
di pulau-pulau pesisir dan kecil di wilayah perbatasan yang melebihi 20%,
ataupun intervensi frekeunsi radio asal atau milik Indonesia, diantisipasi
sangat mengancam kedaulatan negara.

174
BAB VII
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Dalam pengusahaan perairan pesisir yang perlu dilakukan adalah


memadukan aspek lingkungan, ekonomi dan sosial. Harus dihindari pengelolaan
wilayah pesisir hanya dilihat dari satu aspek saja, namun juga ditinjau dari
keseluruhan aspek yang terkait, yaitu aspek lingkungan, ekonomi dan sosial.
Lingkungan pesisir sangat rentan terhadap kerusakan iklim. Apabila satu sumber
daya mengalami tekanan akan menimbulkan gangguan terhadap sumber daya
lain.
Dibatalkannya hak pengusahaan perairan pesisir oleh Mahkamah Konstitusi
membuat perlunya pengusahaan/pemanfaatan wilayah pesisir diberikan kepada
masyarakat lokal yang sudah menetap cukup lama melalui kelembagaan yang
sudah ada atau dibentuk baru, seperti koperasi atau kelompok nelayan. Koperasi
atau kelompok ini harus ditingkatkan keberadaannya melalui pemberdayaan
dan pendampingan.
Upaya pengendalian atas eksploitasi SDA kelautan mutlak harus segera
dilakukan untuk melindungi kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dari
ancaman kerusakan lingkungan lebih banyak lagi. Sementara, upaya menjual
pulau-pulau pesisir dan kecil untuk pariwisata harus memikirkan upaya
pengendaliannya, agar tidak dieksploitasi berlebihan. Harus diingat, bahwa
pulau-pulau kecil tidak cocok untuk pariwisata massal dan masif (besar-
besaran). Ekosistem di pulau-pulau pesisir dan kecil harus tetap dijaga
melaui pengendalian (kontrol) atas frekuensi kunjungan wisata.
Perlu pula perhatian seksama terhadap upaya reklamasi yang dilakukan
selama ini. Sebab, kebijakan reklamasi yang tidak terkontrol justru dapat
mengakibatkan pendangkalan dan tertutupnya terumbu karang. Selain,
itu, tanpa perhitungan yang hati-hati, penggunaan dana yang besar untuk
reklamasi menjadi terbuang percuma.
Pemakaian enerji terbarukan untuk nelayan, yang mulai diperkenalkan
baru-baru ini, perlu digalakkan. Dengan demikian, keperluan penerangan
dan motor penggerak perahu nelayan dengan pembangkit enerji angin skala
kecil --yaitu sistem konversi enerji angin dans el surya fotovoltaik—dapat

175
Ancaman Keamanan yang Dihadapi Wilayah Pesisir

ditingkatkan. Demikian pula, kebutuhan listrik untuk kapal-kapal nelayan,


paling tidak untuk yang memuat sampai 4 orang, dapat terpenuhi. Daya
listrik enerji terbarukan ini dapat dimanfaatkan untuk motor penggerak,
lampu penerangan, dan kotak pembeku atau pendingin (cold storage).
Penggunaan sel surya juga dapat dipakai untuk penerangan di rumah nelayan
dan menggerakkan kincir aerasi tambak.
Hak pengusahaan perairan pesisir sebaiknya dirubah menjadi
pemanfaatan perairan pesisir, dan dalam pemanfaatannya dapat diberikan
izin dengan mengutamakan pemberian izin kepada masyarakat lokal yang
bergabung dalam bentuk kelompok masyarakat atau koperasi. Patut dihindari
pemikiran adanya perbedaan rezim antara daratan dengan lautan, mengingat
konteks pesisir sendiri merupakan wilayah peralihan antara daratan dengan
lautan. Namun, berapapun jangka waktu yang diberikan sebenarnya tidak
menjadi masalah, karena yang terpenting adalah pelaksanaan terhadap
aturan tersebut dan tidak terjadi perbedaan dengan aturan pelaksana atau
aturan di daerah.

176
BIBLIOGRAFI

Abubakar, M. 2006. Menata Pulau-Pulau Kecil Perbatasan. Penerbit Buku


Kompas. Jakarta.

Ayu Arman, Lelaki Itu Hugua: Bertindak Lokal Berefek Global, Tangsel: Nala,
2011.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Alor. 2012. Alor dalam Angka 2012. Badan
Pusat Statistik Kabupaten Alor. Kalabahi.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Wakatobi. 2011. Wakatobi dalam Angka


2011. Kerjasama Badan Pusat Statistik Kabupaten Wakatobi dengan
Badan Perencanaan Pembangunan, Penanaman Modal, Penelitian dan
Pengembangan Daerah Kabupaten Wakatobi. Wangi-Wangi.

Beller, W. 1990. How to Sustain Small Island. In Beller, d’Ayala, and Hein (Eds.).
Sustainable Development and Environmental Management of Small
Islands. Unesco. France.

Brookefield, H.C. 1990. “An Approach to Islands,” W.P. d’Ayala and P. Hein
(Eds.). Sustainable Development and Environmental Management, Man
and Biosphere Series, Vol. 5.

Dahuri, R. 1998. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu.


Penerbit IPB Press. Bogor.

Fauzi, A. 2010. Ekonomi Perikanan: Teori, Kebijakan, dan Pengelolaan.


Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Holsti, K. J.1988. “International Politic:; A Framework for Analysis. Fifith


Edition”,. New Jersey: Prentice Hall.

Idris, I., S. P. Ginting, dan Budiman. 2007. Membangunkan Raksasa Ekonomi.


Penerbit PT Sarana Komunikasi Utama. Bogor.

177
Ancaman Keamanan yang Dihadapi Wilayah Pesisir

Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2011. Kelautan dan Perikanan dalam


Angka 2011. Pusat Data Statistik dan Informasi Kementerian Kelautan
dan Perikanan. Jakarta.

Nakajima, T. and M. Machida. 1990. “Island in Japan,” W.P. d’Ayala and P. Hein
(Eds.). Sustainable Development and Environmental Management. Man
and Biosphere Series, Vol. 5.

Saaty, T.L. 1988. Decision Making for Leaders:The Analytical Hierarchy Process
for Decisions in a Complex World. RWS Publication, Pittsburgh.

Suseno. 2007. Menuju Perikanan Berkelanjutan. Cetakan Pertama. Penerbit


Pustaka Cidesindo. Jakarta.

Teuku May Rudy. 2002. Studi Strategis dalam Transformasi Sistem


Internasional Pasca-Perang Dingin. Bandung: PT Refika Aditama.

Makalah:
Dedi S. Adhuri,”Kerentanan Masyarakat Pesisir di Indonesia dan Masalah
Perbatasan:Identifikasi Konsen Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil,”
makalah presentasi FGD di P3DI Setjen DPRRI pada 19 Maret 2012.

Laporan:
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), GIZ GmbH Good
Governance/Decentralisation Program, dan Provincial Governance
Strengthening Programme (PGSP). 2011. Analisis Perspektif, Permasalahan
dan Dampak Dana Alokasi Khusus (DAK): White Paper. November 2011.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), GIZ GmbH
Good Governance/Decentralisation Program, dan Provincial Governance
Strengthening Programme (PGSP). Jakarta.

Coral Reef Rehabilitation and Management Program (Coremap). 2009. Satker


Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi.

CV Wahana Bahari. 2009. Laporan Akhir Penelitian Tingkat Kabupaten.


Wakatobi. Sulawesi Tenggara.

Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi. 2011. Coral Reef


Rehabilitation and Management Program Phase II (Coremap II)
Kabupaten Wakatobi 2011. Wangi-Wangi. Kabupaten Wakatobi. Provinsi
Sulawesi Tenggara.

178
Dr. phil. Poltak Partogi Nainggolan, M. A.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010.

Skripsi
Baharudin, S. 2011. Pergeseran Nilai Tradisional Suku Bajo dalam Perlindungan
dan Pemanfaatan Sumberdaya Laut Taman Nasional Wakatobi. Skripsi.
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Fakultas
Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Tidak Diterbitkan.

Surat Kabar:
“Abrasi, 120 Pulau Bisa Tenggelam,” Kompas, 11 Juni 2012: 12.

Abdul Halim,”Mengelola Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Berdasarkan


Konstitusi,” makalah presentasi FGD di P3DI Setjen DPRRI pada 19
Maret 2012.

“Ambisi Melistriki 100 Pulau Terdepan,” Media Indonesia, 16 April 2012: 17.

”Anak-anak Pesisir Terancam Putus Sekolah,” Media Indonesia, 22 Maret 2012:


8.

“Coral Triangle Threatened by Human Activites,” the Jakarta Post, July 10, 2012:
4.

“Data Penumpang Simpang Siur: Cuaca Buruk Menebar Ancaman,” Kompas,


19 Juni 2012: 21.

“Dibuka Lagi Jalur ke Pulau-pulau Kecil,” Kompas, 26 Maret 2012: 21.

“Di Laut Kita Kalah,” Kompas, 5 Juni 2012: 1.

“Dua Pulau Dikuasai Asing,” Koran Tempo, 22 Juni 2012: A8.

“Gemala Mendadak Bergema Kembali,” Victory News, 26 Juli 2012: 1.

http://www.uscti.org/uscti/pip/Webpages/CTSPriorityMAP.aspx.

http://www.oceancouncil.org/site/members.php/.

“Ikan Indonesia Terus Dicuri,” Kompas, 4 Juni 2012: 1.

“Indonesia Desak Malaysia Perketat Penjagaan Perbatasan,” Kompas, 12


April 2012: 4.

179
Ancaman Keamanan yang Dihadapi Wilayah Pesisir

“Keindahan Terumbu Karang Alor Harus Dijaga,” Ombay News, Edisi 144,
Tahun II, Juli 2012: 3.“Kiprah Indonesia Tidak Lagi Terdengar,” Kompas,
7 April 2012: 22.

Koran Jurnal Nasional, edisi online, Jurnas.com, 10 Juli 2012.

“KPI Desak Penguatan Frekuensi Siaran,” Koran tempo, 18 Juni 2012: A22.

“Lebu Raya Tantang Kritik Demam,” Victory News, 23 Juli 2012: 1.

“Listrik jadi prioritas di Pulau Terluar,” Kompas, 18 Juli 2012: 23.

“Menggiring Lumba-lumba,” Kompas, 30 Juli 2012: 13.

“Memulihkan Karang dari Pemutihan,” Media Indonesia, 28 Juli 2012: 23.

“Pelabuhan Perikanan Belum Memadai,” Kompas, 7 Juli 2012: 18.

“Pelayaran Terganggu: Warga Pulau Kecil Terkurung Cuaca Buruk,” Kompas,


7 Juli 2012: 22.

“Penanganan Tumpahan Minyak Timor Telantarkan Hak Korban,” Victory


News, 27 Juli 2012: 11.

“SBY Kunjungi Nipah,” Kompas, 3 Juni 2012: 2..

“Separuh Hutan Mangrove Nusakambangan Rusak,” Kompas, 17 Juli 2012:


22.

“WALHI dan PMKRI Tolak Tambang,” Victory News, 23 Juli 2012: 2.

“Warga di Pesisir pun Kesulitan Air Bersih,” Suara Pembaruan, 24 Maret 2012:
6.

“127.024 Hektar di NTT Rusak,” Kompas, 6 Juli 2012: 23.

Wawancara
FGD dengan Direktur Perikanan dan Kelautan Bappenas, Sriyanti, dan
Direktur Pemberdayaan Pulau-pulau Kecil Kementerian Kelautan dan
Perikanan (KKP), Agus Dermawan di DPR, Jakarta, pada 6 Juni 2012.

Wawancara dengan Direktur The Nature Conservation (TNC), Abdul Hakim,


dan Deputi Direktur Operasi TNC, Dr. Arwan Drija, di Departemen
Pertanian, Jakarta, pada 8 Juni 2012.

180
Dr. phil. Poltak Partogi Nainggolan, M. A.

Wawancara dengan Kepala Program Pengembangan Budidaya Ikan di Dirjen


Budidaya Departemen Pertanian, Irianto Elyas, di Departemen Pertanian,
Jakarta, pada 14 Juni 2012.

Wawancara dengan, Kordinator Jaringan Pengembangan Kawasan Pesisir,


LSM Kiara, Arman, di Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sultra, pada 1 Juli
2012.

Wawancara dengan Ketua Kelompok Nelayan, Sultan, di Kabupaten Wakatobi,


Provinsi Sultra, pada 1 Juli 2012.

Wawancara dengan perwakilan LSM Perkumpulan Yayasan Cinta Alam,


Mirzan, di Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sultra, pada 1 Juli 2012.

Wawancara dengan perwakilan LSM Yayasan Bahari, Naslim Sarlito, di


Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sultra, pada 1 Juli 2012.

Wawancara dengan perwakilan LSM Jaringan untuk Hutan dan Lembaga


Kelestarian Lingkungan dan Pembangunan Masyarakat, La Ode Mangki,
di Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sultra, pada 1 Juli 2012.

Wawancara dengan Hagua, Bupati Wakatobi, di Wakatobi, pada 3 Juli 2011.

Wawancara dengan Drs. Tawakkal, Kadis Pariwisata dan Kebudayaan


Kabupaten Wakatobi, di Wakatobi, Provinsi Sultra, pada 3 Juli 2012.

Wawancara dengan Drs. Laode Hajifu, M.Si, Kadis KKP Kabupaten Wakatobi,
di Wakatobi, Provinsi Sultra, pada 3 Juli 2012.

Wawancara dengan Ir. Abdul Halim, M.Si, Sekretaris Bappeda Kabupaten


Wakatobi, di Wakatobi, Provinsi Sultra, pada 4 Juli 2012.

Wawancara dengan Ibrahim, SE, MM, Kepala BLH Kabupaten Wakatobi, di


Wakatobi, Provinsi Sultra, pada 4 Juli 2012.

Wawancara dengan Ibrahim, SE, MM, Kepala BLH Kabupaten Wakatobi, di


Wakatobi, Provinsi Sultra, pada 4 Juli 2012.

Wawancara dengan Sugiyanto, Project Officer WWF Waakatobi, di Wakatobi,


pada 4 Juli 2012.

Wawancara dengan Laode Ahyar Thamrin Mufti, Kasubag Pengelola Balai


Taman Nasional Wilayah I Wanci, di Wakatobi, pada 5 Juli 2012.

181
Ancaman Keamanan yang Dihadapi Wilayah Pesisir

Wawancara dengan Syamsuddin Makka, Kasat Pelayanan Masyarakat


Terpadu Polres Wakatobi, di Wakatobi, pada 5 Juli 2012.

Wawancara dengan Kompol Karjono LIwang, Kabagops Polres Wakatobi, di


Wakatobi, pada 5 Juli 2012.

Wawancara dengan Kombes Wayan Pinatih, Danpolair Wakatobi, di Kendari,


pada 6 Juli 2012.

Wawancara dengan AKP Mohammadong, Kabagops Polair Wakatobi, di


Kendari, pada 6 Juli 2012.

Wawancara dengan Ismail, Bagian Intel Polair Wakatobi, di Kendari, pada 6


Juli 2012.

Wawancara dengan Muhammad Syukril, Kasubbid Tata Ruang Provinsi


Sulawesi Tenggara, di Kendari, pada 6 Juli 2012.

Wawancara dengan Jotham Ninef, Ketua Tim P4KKP Laut Sawu,, di Kupang,
pada 22 Juli 2012.

Wawancara dengan Gaspar Enga, Kabid III Fisik dan Prasarana Seksi Tata
Ruang dan Lingkungan Hidup, Bappeda, Provinsi Nusa Tenggara Timur
(NTT), di Kupang, pada 22 Juli 2012.

Wawancara dengan Effer R. Lodoay, Direktorat Kepolisian Air Kupang, di


Kuipang, pada 22 Juli 2012.

Wawancara dengan Alexander S. Tanody, Project Leader TNC, Indonesian


Marine Program Sawu Sea Marine Protected Area, Development Project,
di Kupang, pada 22 Juli 2012.

Wawancara dengan Izaak Angwarmasse, Kaseksi Pengelolaan Pesisir dan Pulau


Kecil, Dinas Perikanan dan Kelautan (DKP) NTT, di Kupang, pada 23 Juli
2012.

Wawancara dengan Mesak Blegur, Kabid Perikanan Laut Pemkab Alor, di


Pulau Alor, pada 23 Juli 2012.

Wawancara dengan Obeth Bolang, Sekretaris Bappeda Pemkab Alor, di Pulau


Alor, pada 24 Juli 2012.

Wawancara dengan Melkisedek Beli, SH, MH, Kabid Litbang Pemkab Alor, di
Pulau Alor, pada 24 Juli 2012.

182
Dr. phil. Poltak Partogi Nainggolan, M. A.

Wawancara dengan Abdurrahman Sang, Kabid Pariwisata Pemkab Alor, di


Pulau Alor, pada 24 Juli 2012.

Wawancara dengan Marzuki Nampira, SH, Kepala BLHD Pemkab Alor, di


Pulau Alor, pada 24 Juli 2012.

Wawancara dengan Albert Ouepoly, Sekretaris BLHD, di Pulau Alor, pada 24


Juli 2012.

Wawancara dengan Briptu I Nyoman Wardhana, anggota petugas penjaga,


KP3L O Pelabuhan Pulau Alor, di Pulau Alor, pada 24 Juli 2012.

Wawancara dengan Drs. Dominicus S. Yempornase, Kapolres Alor, di Pulau


Alor, pada 25 Juli 2012.

Wawancara dengan Christ Bagaifu, Wakapolres Alor, di Pulau Alor, pada 25


Juli 2012.

Wawancara dengan Marcel Barbafo, Kepala Satuan Kepolisian Air,, di Pulau


Alor, pada 25 Juli 2012.

Wawancara dengan R.Pius, Kasat Perencanaan Polres Alor, di Pulau Alor,


pada 25 Juli 2012.

Wawancara dengan Drs. Simeon Th. Pally, Bupati Kabupaten Alor, di Pulau
Alor, pada 25 Juli 2012.

Wawancara dengan Hopni Bukang, Asisten II kantor Kabupaten Alor, di Pulau


Alor, pada 25 Juli 2012.

Wawancara dengan pejabat BKKBN Provinsi NTT di Pulau Alor, pada 26 Juli
2012.

Wawancara dengan Talo Thomas, Kabid Fisik dan Prasarana Bappeda NTT,
di Provinsi NTT, pada 28 Juli 2012.

Wawancara dengan Gaspar, Pejabat Fungsional Perencana Anggaran, di


Provinsi NTT, pada 28 Juli 2012.

Wawancara dengan Mayor Laut Habri, Pamen Potensi Maritim Lantamal VII,
di Provinsi NTT, pada 28 Juli 2012.

Wawancara dengan Kapten Laut Rusdi Rivai Mai, Pamen Ditpotmar Lantamal
VII, di Provinsi NTT, pada 28 Juli 2012.

183
Ancaman Keamanan yang Dihadapi Wilayah Pesisir

Wawancara dengan Letda Laut , Ribero Flavio, Kasintel Lantamal VII, di


Provinsi NTT, pada 28 Juli 2012.

Wawancara dengan Kolonel Laut Sunarno Adi, Asisten Operasi Lantamal VII,
di Provinsi NTT, pada 28 Juli 2012.

Wawancara dengan Sonny Partono, Direktur Kawasan Konservasi dan Bina


Hutan Lindung Kemenhut, di Jakarta, pada 13 Agustus 2012.

Wawancara dengan Nicko, Direktorat Kawasan Konservasi dan Bina Hutan


Lindung Kemenhut, di Jakarta, pada 13 Agustus 2012.

184
Lampiran:

DAFTAR PERTANYAAN

1. Menurut instansi/Bapak, apa masukan daerah bagi perbaikan UU


Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-
pulau Kecil?

2. Menurut instansi/Bapak, apa yang bisa dikembangkan dalam kerja sama


dengan negara lain untuk pembangunan wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil?

3. Menurut instansi/Bapak, apa hambatan selama ini yang dijumpai dalam


pengembangan kerja sama dengan negara lain dalam pembangunan
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil?

4. Menurut instansi/Bapak, adakah proyek kerja sama dengan negara lain


yang sudah berjalan dalam pembangunan wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil selama ini?

5. Menurut instansi/Bapak, bagaimana pengimplementasian dari kerja


sama luar negeri (CTI) di daerah ini?

6. Menurut instansi/Bapak, apa saja manfaat yang didapat oleh Indonesia


secara umum maupun daerah secara khusus dari kerja sama luar negeri
(CTI) ini?

7. Menurut instansi/Bapak, peluang kerja sama luar negeri apa sajakah


atau bagaimanakah yang cocok untuk daerah ini?

8. bagaimana proses awal kerjasama lingkungan di wilayah ini ?

9. bagaimana dampak lingkungan setelah adanya kerjasama tersebut?

10. apakah masyarakat dan pemda merasakan dampak positifnya /


negatifnya?

11. apakah kerjasama tertebut memiliki jangka waktu? apa tindak lanjut
bila jangka waktu kerjasama tersebut telah habis ?

185
12. Apakah ada pengawasan rutin dari pemerintah pusat berupa peninjauan
langsung ke lokasi  secara rutin? 

13. Bagaimana pemanfaatan yang ideal dari perspektif ekonomi terhadap


sumber daya di wilayah pesisir dengan memperhatikan aspek lingkungan,
sosial, dan budaya masyarakat lokal?

14. Bagaimana peran Pemda setempat dalam pemanfaatan Sumber Daya


Kelautan sebagai salah satu sumber PAD?

15. Bagaimanakah pembagian bagi hasil atas pengelolaan sumber daya alam
dibawah/didasar laut sesuai dengan peraturan perundang-undangan?

16. Bagaimanakah upaya pemerintah daerah untuk meningkatkan sumber


daya laut (perekonomian) sebagai mata pencarian masyarakat di wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil?

17. Bagaimanakah peran dan kinerja Pemda terhadap fasilitas pelayanan


kesehatan dan pendidikan, apakah ada peningkat dalam setiap
tahunnya?

18. Sejauhmanakah sikap pemerintah dalam menangani berbagai potensi


pencemaran dan perusakan terhadap wilayah pesisir, perairan dan
pulau-pulau kecil akibat pengelolaan wilayah berdasarkan kewenangan
daerah?

19. Bagaimanakah sikap Pemda dalam menangani isu tentang kerusakan


terumbu karang dan wilayah pesisir karena over fishing?

20. Bagaimana peran Pemda dalam menanggapi isu tentang penguasaan


dan penjualan pulau ke orang asing?

21. Bagaimanakah sikap Pemda dalam menanggapi isu ttg pulau lepas dari
Indonesia karena diambil negara lain?

22. Bagaimana sikap Pemerintah Daerah setempat terhadap penangan


konflik-konflik daerah dan sektoral yang terjadi di wilayah pesisir,
perairan dan pulau-pulau kecil?

23. Bagaimana upaya Pemda dalam menangani isu tentang pulau tenggelam
karena Global Warming?

186
KETERANGAN PENULIS

Adirini Pujayanti, Dra, M.Si adalah Peneliti Muda bidang Masalah-masalah


Hubungan Internasional di Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi
(P3DI) Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
(DPRRI). Menyelesaikan studi S1 di Fisip Universitas Nasional tahun 1999.
Selanjutnya menyelesaikan S2 di Kajian Wilayah Amerika di Universitas
Indonesia. Anggota tim penulis buku, yaitu Berbagai Perspektif Mengenai
Memorandum untuk Presiden Abdurrahman Wahid, Jakarta: Sekretariat Jenderal
DPR RI, 2000; Respons IPU Terhadap Masalah-Masalah Global Pasca-Perang
Dingin, Jakarta; Sekretariat Jenderal DPR RI, 2000; Terorisme dan Tata Dunia
Baru, Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR RI, 2002; Konflik Dan Perkembangan
Kawasan Pasca-Perang Dingin, Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR RI, 2004,
Batas Wilayah dan Situasi Perbatasan Indonesia: Ancaman Terhadap Integritas
Teritorial, Jakarta: Tiga Putra Utama, 2004; TKI dan Hubungan Indonesia –
Malaysia, Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR RI, 2005; Hubungan Bilateral dan
Masalah Perbatasan RI–Timor Leste, Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR RI, 2008.
Mengikuti program pelayanan informasi dan riset yang dilaksanakan di Australia
(1999) dan Amerika Serikat (2008).

Dedeh Haryati, S. Sos, M. Si. lahir di Jakarta pada tanggal 17 Maret 1974.
Masuk Sekretariat Jenderal DPR RI pada 1 Maret 1998 dan ditempatkan
Wakil Sekjen DPR-RI sampai tahun 2001, Panitia Anggaran DPR-RI tahun
2001-2004, Komisi IX DPR-RI tahun 2004-2006, Ketua DPR-RI tahun 2006-
2008 dan di P3DI tahun 2008 sampai sekarang dengan jabatan Pengumpul
dan Pengolah Data. Selanjutnya diangkat sebagai PNS pada 1 Maret 1999 dan
diangkat menjadi Peneliti pada bulan Agustus 2009 dengan jabatan Peneliti
Pertama bidang Politik Dalam Negeri bidang Ilmu Politik. Menyelesaikan
pendidikan S1 di Universitas Krisnadwipaya dengan jurusan Administrasi
Negara pada tahun 2001 dan S2 di Universitas Indonesia, Jakarta pada tahun
2004. Saat ini menjadi Peneliti Pertama di Pusat Pengkajian Pengolahan Data
dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI. Penelitian yang sudah
pernah dilakukan antara lain tentang Peran Panwas pada Pemilukada tahun

187
2010. Dapat dihubungi di nomor telepon 0813-17458573 atau lewat email:
keyshaghinacamila@yahoo.com

Lisbet, S.IP, M.Si adalah Peneliti Pertama untuk Masalah-masalah Hubungan


Internasional di Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI)
Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
(DPRRI). Bekerja di Bidang Pengkajian P3DI DPRRI sejak tanggal 8 Februari
2010. Menyelesaikan studi S1 di FISIP Jurusan Hubungan Internasional,
Universitas Indonesia pada tahun 2005. Kemudian, menyelesaikan studi S2
di Program Pasca Sarjana FISIP Jurusan Hubungan Internasional, Universitas
Indonesia pada tahun 2008. Penulis dapat dihubungi pada alamat email:
lisbet_310183@yahoo.com; lisbet.sihombing@dpr.go.id

Lukman Adam, S.Pi, M.Si adalah Peneliti Pertama untuk bidang Ekonomi dan
Kebijakan Publik di Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI)
Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPRRI).
Bekerja di Bidang Pengkajian P3DI DPRRI sejak tanggal 8 Februari 2010.
Menyelesaikan studi sarjana dan magister di Institut Pertanian Bogor. Sejak tahun
2007, aktif terlibat sebagai tim asistensi dalam penyusunan dan pembahasan
beberapa Rancangan Undang-Undang. Pada tahun 2006 pernah membawakan
makalah pada seminar nasional yang diselenggarakan oleh Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia dan Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Kementerian
Kelautan dan Perikanan. Dari tahun 2000 sampai saat ini terlibat dalam berbagai
penelitian bidang ekonomi, lingkungan hidup, pertanian, dan perikanan.

Dr. phil. Poltak Partogi Nainggolan, MA adalah Peneliti Utama/IV/e bidang


Masalah-Masalah Hubungan Internasional di Pusat Pengkajian dan Pengolahan
Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPRRI. Pada tahun 1986
menyelesaikan studi S-1 di Universitas Indonesia, Fakultas Ilmu Sosial (FIS),
Jurusan Hubungan Internasional, Program Studi Perbandingan Politik. Pada
tahun 1999 menyelesaikan studi pasca-sarjana (S-2) di Graduate School of
Political Science and International Relations di the University of Birmingham,
Inggris bidang Security Studies. Pada Pebruari tahun 2011 menuntaskan
program doktor ilmu politik Albert-Ludwigs-Universitaet Freiburg, Jerman
dengan tesis The Indonesian Military Response to Reform during Democratic
Transition: A Comparative Analysis of Three Civilian Regimes 1998-2004. Menulis
buku antara lain Reformasi Struktur Ekonomi RRC Era Deng Xiao-ping, Jakarta,
Pustaka Sinar Harapan, 1995; Co-penulis dan editor buku Panduan Parlemen
Indonesia, Jakarta, Yayasan API, 2001; dan Batas Wilayah dan Situasi Perbatasan
Indonesia: Ancaman terhadap Integritas Teritorial, Jakarta: Tiga Putra Utama,
2004. Dapat dihubungi di pptogin@yahoo.com.

188

Anda mungkin juga menyukai