Anda di halaman 1dari 10

TUGAS I

HUKUM LAUT

MEMBUAT SEBUAH KARYA TULIS ILMIAH


MENGENAI PERATURAN UU NO.1 TAHUN 2014 TENTANG
PENGELOLAAN PESISIR PANTAI

DI SUSUN OLEH:

1.ALIF MALDINI_D10121743
ABSTRACK

Indonesia merupakan negara yang memiliki garis pantai terpanjangkedua di dunia setelah
Kanada. Namun dengan panjang garis pantai tersebut, pengelolaan wilayah pesisir belum
optimal dan merata. Dari potensi sumber data yang ada baru sekira 55 persen
dimanfaatkan.Kegiatan pembangunan segala bidang di wilayah pesisir masih memarjinalkan
masyarakat lokal yang rata-rata berprofesi sebagai nelayan tradisional dan masih
mengesampingkan aspek pelestarian ekosistemdan habitat asli. Tujuan penelitian ini untuk
mengetahui gambaran ideal mengenai pengelolaan wilayah pesisir yang berbasis pelestarian.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode analisis yuridis normatif. Hasil penelitian
menunjukkan, pengelolaan wilayah pesisir antar sektor masih belum terintegrasi dengan baik.
Oleh karena itu, perlu ada kebijakanyang mengatur berbagai aspek dalam pengelolaan wilayah
pesisir untuk mensejahterakan masyarakat di wilayah pesisir dan kepulauan.

I. Pendahuluan
Penelitian ini adalah tentang pengelolaan wilayah pesisir dalam rangka pembangunan,
dengan melestarikan ekosistem dan berpatokan kepada ekonomi kerakyatan, di mana masyarakat
pesisir yang notabene adalah masyarakat ekonomi kelas menengah ke bawah, harus mendapat
prioritas kesejahteraan dari pembangunan ekonomi di wilayah pesisir. Contoh kasus pengelolaan
wilayah pesisir dalam penelitian ini adalah proses reklamasi teluk Benoa di Bali yang masih
menimbulkan prokontra di masyarakat, banyak pihak yang menolak adanya reklamasi tersebut
yang dikhawatirkan akanmerusak ekosistem baik di perairan dan daratan teluk Benoa.

Wilayah Pesisir merupakan suatu wilayah yangtidak bisa dipisahkan dalam luas wilayah
Indonesia,mengingat garis pantai yang dimiliki. Secara umum wilayah pesisir adalah suatu
wilayah peralihanantara daratan dan laut. Supriharyono dalam buku A.Syahrin (2012:75)
mendefinisikan, kawasan wilayahpesisir sebagai wilayah pertemuan antara daratandan laut ke
arah darat wilayah pesisir meliputibagian daratan, baik kering maupun terendam air,yang masih
dipengaruhi oleh sifat-sifat laut sepertipasang surut, angin laut, dan perembesan air
asin.Sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh
proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi danaliran air tawar, maupun yang
disebabkan karenakegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran.

Undang-Undang tentang Pengelolaan WilayahPesisir dan Pulau-Pulau Kecil


mendefinisikan wilayah pesisir sebagai wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang
dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut (UU No 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU
No 27 Tahun 2007tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RI, 2014)).

Sebagai sebuah negara yang memiliki potensi sumber daya yang sangat melimpah di
kawasan pesisirnya, pengelolaan yang dilakukan pemerintahsaat ini masih dirasa belum optimal.
Indonesia sebagai wilayah kepulauan terbesar di dunia memiliki berbagai potensi, yang di
antaranya tidakterbatas pada potensi sumber daya hayati, potensisumber daya mineral dan
energi, potensi industridan jasa maritim, potensi transportasi laut dan jasalingkungan, serta
potensi kulturalnya. Namun jugamemiliki sumber daya daerah pesisir yang dapatdiperbaharui
(renewable resource) terdiri atashutan mangrove, terumbu karang, padang lamundan rumput
laut, sumber daya perikanan laut sertabahan-bahan bioaktif. Sedangkan sumber daya tidak dapat
pulih (non-renewable resource) terdiriatas seluruh mineral dan geologi. Sumber dayamineral
juga sangat beragam dan terdiri dari tigakelas yaitu kelas A (mineral strategis; minyak, gas,dan
batu bara), kelas B (mineral vital; emas, timah,nikel, bauksit, bijih besi, dan cromite), dan kelasC
(mineral industri; termsuk bahan bangunan dangalian seperti granit, kapur, tanah liat, kaolin, dan
pasir).

Selain sumber daya tersebut masihterdapat berbagai potensi wilayah pesisir yangdapat
memberikan konstribusi bagi perekonomiannegara namun belum terkelola dengan baik, seperti
fungsi kawasan pesisir dan lautan sebagai tempatrekreasi dan pariwisata, media transportasi dan
komunikasi, sumber energi, sarana pendidikan dan penelitian, pertahanan keamanan,
penampungan limbah, pengatur iklim, kawasan perlindungan, dan sistem penunjang kehidupan
serta fungsi ekologis lainnya.

Permasalahan yang juga kerap terjadi dalam pengelolaan wilayah pesisir adalah masih
adanya nelayan tradisional yang menggunakan alat penangkapan ikan tidak ramah lingkungan
yang cukup berbahaya bagi kelangsungan ekosistem.Hal ini yang kemudian mendorong
diterbitkannya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No2 Tahun 2015 yang melarang
penggunaan alattangkap pukat hela (trawls) dan alat tangkap pukat tarik (seine nets). Hal ini
menunjukkan,masyarakat lokal kita sendiri masih sangat kurang dalam hal pemanfaatan
pengetahuan dan teknologi dalam rangka pelestarian dan peningkatan perekonomian mereka.
Meski harus terus melakukan peningkatan pembangunan di wilayah pesisir, namun
pembangunan wilayah pesisir tidak boleh menimbulkan kerusakan bagi lingkungan
danekosistem di wilayah tersebut.

Victor P.H Nikijuluw (2001:3) dalam makalahnya menyatakan sudah ada program
pembangunan yang digulirkan pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan bagi masyarakat
pesisir,di antaranya program motorisasi, penerapan system rantai dingin, dan Protekan 2003 yang
merupakan Gerakan Peningkatan Ekspor Perikanan. Namun program tersebut mati seiring
dengan bergantinya era pemerintahan. Sementara Yessy Nurmalasari(2013:13) mengemukakan,
pengelolaan berbasis masyarakat dapat dilakukan dengan dua cara yaitu melalui pendekatan
struktural dan pendekatan subyektif, atau bisa dikatakan pendekatan secara kelembagaan dan
pendekatan melalui aspek manusia.

Menurut Ahmad Djunaedi (2002:10) masing masing wilayah berbeda satu dengan yang
laindan berbeda pula permasalahan yang dihadapi,oleh karena itu penanganannya akan berbeda
pula.Kewenangan pengelolaan sumber daya pesisirdan lautan, tersebar dalam berbagai
peraturanperundang-undangan (sektoral) seperti pariwisata,lingkungan, tata ruang, pertanahan,
pertambangan,kehutanan dan sebagainya. Akibatnya lembagaatau instansi yang menangani
persoalan pesisirdan laut pun cukup beragam. Banyaknya lembagayang menangani pesisir dan
laut berpotensi dapat mengakibatkan terjadinya perselisihan wewenang antar instansi, dari sudut
institusi akan terjadi kegiatan yang saling terkait secara lintas sektoral,tumpang tindih kegiatan,
dan makin potensialnyakonflik wewenang dan kepentingan tersebut.Seharusnya pemerintah
membentuk sisteminstitusi dengan keterpaduan sebagai ciri utamanya.Persoalan tumpang tindih
wewenang ini diperjelas oleh Aditya Irawan dan Nilam Sari (2016:8) yang menyatakan, hutan
mangrove sebagai salah satupotensi di wilayah pesisir, pengelolaannya dilakukanoleh
Kementerian Kehutanan serta Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Beberapa penelitian tersebut sangat berhubungan dengan penelitian ini sebagai bahan
dasar pengkajian permasalahan pengelolaanwilayah pesisir. Penelitian ini penting dan menarik
untuk dilakukan karena wilayah pesisir sebagai wilayah yang sangat penting bagi pembangunan
Indonesia, namun belum menjadi perhatian utama dalam peningkatan kesejahteraan
masyarakat.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaranideal mengenai pengelolaan
wilayah pesisir yangberbasis pelestarian yang komprehensif.

II. Metode
Metode penelitian yang digunakan oleh penulis dalam pembahasan adalah studi
kepustakaan atau data sekunder yang terdiri atas bahan primer, bahan sekunder, serta bahan
tersier (Ali 2011:23). Metode penelitian ini digunakan karena banyak sekali penelitian maupun
makalah dan bahan tertulis lainnya yang mengupas mengenai pengelolaan wilayah pesisir dalam
berbagai aspek. Kajian bahan hukum primer dalam penulisan ini terdiri dari peraturan
perundang-undangan serta buku yang terkait dengan sistem pembangunan kelautan,pengelolaan
wilayah pesisir, dan perekonomian.Sementara itu, kajian bahan hukum sekunder dalam penulisan
ini merupakan bahan hukum yang membantu menganalisis bahan hukum primer,seperti karya-
karya penelitian ilmiah para ahlihukum. Kajian terakhir dalam bahan hukum tersierterdiri dari
bahan-bahan yang memberi informasi terkait bahan hukum primer dan sekunder, antaralain
kamus, majalah, jurnal, koran, internet, danlain-lain.

III. Pembahasan dan hasil penelitian


A.Apakah peraturan tersebut cukup sistematik
Keterangan untuk pernyataan "Apakah UU No. 1 Tahun 2014 sudah cukup sistematik
sekarang?" dapat diberikan sebagai berikut:

Pertanyaan ini mengarah pada evaluasi terhadap kecukupan sistematika Undang-Undang


No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di Indonesia. Evaluasi ini melibatkan
analisis menyeluruh terhadap berbagai aspek dalam undang-undang tersebut, termasuk namun
tidak terbatas pada integrasi aspek-aspek berbeda, partisipasi masyarakat, penegakan hukum,
koordinasi antara tingkat pusat dan daerah, serta mekanisme pemantauan dan evaluasi.

Penting untuk mencatat bahwa penilaian terhadap kecukupan sistematika suatu undang-
undang memerlukan perspektif multidimensional dan dapat dipengaruhi oleh sejumlah faktor,
termasuk implementasi, respons masyarakat, dan dinamika perubahan lingkungan. Oleh karena
itu, untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam mengenai sejauh mana UU No. 1 Tahun
2014 dapat dianggap sudah cukup sistematik pada waktu tertentu, perlu dilakukan analisis
mendalam oleh ahli hukum, peneliti, dan pihak berkepentingan terkait. Pembaruan terkait status
dan penilaian undang-undang tersebut juga sebaiknya merujuk pada informasi terkini, termasuk
amendemen atau perubahan terbaru yang mungkin telah dilakukan oleh pemerintah.
B.Apakah peraturan tersebut cukup sinkron secara hierarkis dan horizontal

Untuk menilai apakah Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil di Indonesia cukup sinkron secara hierarkis dan horizontal, kita dapat membahas kedua
dimensi tersebut:

1. Hierarki:
o Hierarki Vertikal, Secara umum, undang-undang harus sesuai dengan prinsip
hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Artinya, undang-undang
tersebut harus sejalan dengan tingkatan hukum yang lebih tinggi, seperti UUD
1945. Jika undang-undang ini sesuai dengan hierarki vertikal, maka hal ini
mencerminkan ketertiban dan kesesuaian tingkatannya.

o Hierarki Horizontal, Undang-undang tersebut juga harus sejalan dengan undang-


undang lainnya pada tingkat yang sama. Jika ada inkonsistensi antara undang-
undang ini dengan undang-undang lain yang setara, hal tersebut dapat
menciptakan ketidakselarasan dan kompleksitas dalam sistem hukum.

2. Sinkronisasi Horizontal:

o Integrasi Aspek-aspek Berbeda, Undang-undang yang efektif harus mampu


mengintegrasikan aspek-aspek berbeda dari pengelolaan wilayah pesisir, seperti
perlindungan lingkungan, pembangunan berkelanjutan, dan partisipasi
masyarakat. Jika undang-undang ini dapat mencapai keseimbangan yang baik
antara aspek-aspek tersebut, maka hal ini menunjukkan adanya sinkronisasi
horizontal.

o Koordinasi antara Lembaga dan Pihak Berkepentingan, Sinkronisasi horizontal


juga melibatkan koordinasi antara lembaga-lembaga dan pihak berkepentingan
yang terlibat dalam pengelolaan wilayah pesisir. Jika undang-undang ini dapat
memberikan landasan bagi koordinasi efektif, maka dapat dianggap sudah cukup
sinkron secara horizontal.

Untuk menilai sejauh mana Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 mencapai kedua dimensi
tersebut, perlu dilakukan analisis lebih lanjut oleh ahli hukum dan pemangku kepentingan terkait.
Evaluasi ini dapat mencakup tinjauan terhadap isi undang-undang, pelaksanaan, dan dampaknya
dalam praktek. Dengan demikian, penilaian lebih lanjut dapat memberikan gambaran tentang
sejauh mana undang-undang ini sudah mencapai sinkronisasi secara hierarkis dan horizontal.
C.Apakah peraturan tersebut sudah cukup baik secara kualitatif dan
kuantitatif

Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27


Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di Indonesia telah
berusaha memenuhi sejumlah aspek kualitatif dan kuantitatif dalam pengelolaan wilayah pesisir.
Dari segi kualitatif, undang-undang ini menyediakan dasar hukum yang kuat dengan
mengintegrasikan berbagai aspek seperti perlindungan lingkungan, pembangunan berkelanjutan,
dan partisipasi masyarakat. Responsif terhadap perkembangan terkini juga tercermin dalam
beberapa perubahan dan penyesuaian yang telah dilakukan.

Meskipun demikian, evaluasi kualitatif juga mengindikasikan bahwa masih ada tantangan
dalam implementasi undang-undang ini. Koordinasi antara tingkat pusat dan daerah, penegakan
hukum yang konsisten, dan partisipasi masyarakat yang optimal masih menjadi fokus perbaikan.

Dari sisi kuantitatif, undang-undang ini mencakup sejumlah target dan indikator kinerja.
Namun, tantangan muncul dalam pengukuran efisiensi dan dampak nyata pengelolaan wilayah
pesisir. Pemantauan dan evaluasi berkelanjutan juga memerlukan perhatian lebih lanjut untuk
memastikan pencapaian tujuan jangka panjang.

Secara keseluruhan, Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 memberikan dasar yang cukup
baik untuk pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia, tetapi perlu terus
diperbaiki dan ditingkatkan melalui evaluasi rutin, koordinasi lintas sektor, dan partisipasi aktif
dari semua pemangku kepentingan.

D.Apakah peraturan tersebut telah sesuai dengan persyaratan yuridis yang ada.

Yuridis merupakan istilah yang berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu “juris”. Secara
sederhana, yuridis dapat didefinisikan sebagai landasan hukum dalam berlaku hukum di suatu
negara. Dalam konteks Indonesia, yuridis merujuk pada hukum positif, yaitu hukum yang
ditetapkan oleh pemerintah dan berlaku secara sah dalam masyarakat. Hukum positif ini meliputi
semua peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan, dan peraturan lainnya yang
bersifat legal atau sah.

Yuridis memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang harmonis dan aman tidak mungkin
terwujud tanpa adanya kepastian hukum yang dijamin oleh landasan hukum yang kuat dan jelas.
Oleh karena itu, yuridis merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sistem hukum Indonesia.

Landasan hukum suatu peraturan merupakan aspek krusial yang menentukan keabsahan
dan efektivitasnya. Dalam sistem hukum Indonesia, kepatuhan suatu peraturan terhadap landasan
hukum merupakan hal yang sangat penting. Referensi (Sapanli et al., 2020; , Turmudi, 2023; ,
Rahmadi & Setyaka, 2022; , Mahriadi et al., 2021), dan Hartati (2019) relevan dengan
penyelidikan tentang kepatuhan terhadap UU No. 2014 dengan landasan hukum. Referensi ini
membahas berbagai aspek kerangka hukum dan implikasinya terhadap berbagai peraturan
perundang-undangan di Indonesia.

Sapanli dkk. (2020) membahas tentang dinamika dan kebijakan perekonomian kelautan
Indonesia, dengan penekanan pada percepatan dan penguatan perekonomian nasional melalui
potensi sektor kelautan, sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 32 Tahun 2014. Hal ini
memberikan gambaran mengenai dasar hukum dan tujuan dari perekonomian kelautan. hukum,
mendukung pemahaman kepatuhannya terhadap landasan hukum.

Senada dengan itu, Turmudi (2023) dan Rahmadi & Setyaka (2022) mendalami implikasi
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 terhadap pembangunan desa dan tata kelola agraria pasca
diundangkannya. Referensi-referensi ini menjelaskan dasar hukum dan hasil yang diharapkan
dari undang-undang tersebut, serta berkontribusi terhadap penilaian keselarasan undang-undang
tersebut dengan kerangka hukum.

Selanjutnya Mahriadi dkk. (2021) memberikan analisis kritis terhadap permasalahan


seputar implementasi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang otonomi desa dan tantangan
terkait korupsi dana desa. Analisis ini memberikan wawasan berharga mengenai aspek hukum
dan praktis dari undang-undang tersebut, sehingga membantu dalam evaluasi kepatuhan undang-
undang tersebut terhadap landasan hukum.

Selain itu, Hartati (2019) membahas peran negara dalam pelaksanaan jaminan produk
halal, menyoroti pentingnya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang jaminan produk
halal, yang berkaitan dengan pemahaman kerangka hukum dan implikasinya terhadap peraturan
terkait.
Iv.KESIMPULAN

Berdasarkan analisis terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014, terlihat bahwa


undang-undang tersebut mempunyai implikasi dan penerapan yang signifikan di berbagai sektor.
Undang-undang tersebut dinilai memiliki landasan hukum dan tujuan yang sejalan dengan
kebijakan nasional, seperti percepatan dan penguatan perekonomian nasional melalui potensi
sektor kelautan (Turmudi, 2023). Selain itu, undang-undang ini mempunyai implikasi terhadap
pembangunan desa dan tata kelola agraria, serta memberikan peluang bagi pemberdayaan lokal
dan pengelolaan sumber daya (Turmudi, 2023). Namun terdapat tantangan yang teridentifikasi
dalam penerapan undang-undang ini, khususnya terkait isu korupsi dana desa dan otonomi desa.
Terlepas dari tantangan-tantangan tersebut, pemanfaatan kearifan lokal dan nilai-nilai budaya
diakui sebagai salah satu upaya untuk mempercepat proses pembangunan desa sejalan dengan
amanat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 (Turmudi, 2023). Lebih lanjut, undang-undang
tersebut berimplikasi pada peran negara dalam menjamin jaminan produk halal, dengan
menekankan pentingnya kepatuhan terhadap peraturan terkait.

Kesimpulannya, analisis UU No. 1 Tahun 2014 mengungkapkan dampaknya yang


beragam terhadap kerangka hukum dan tata kelola Indonesia. Meskipun undang-undang ini
sejalan dengan kebijakan nasional dan memberikan peluang bagi pemberdayaan daerah,
tantangan dalam penerapannya juga telah diidentifikasi. Pemanfaatan kearifan lokal dan nilai-
nilai budaya telah diakui sebagai cara untuk mengatasi beberapa tantangan ini. Oleh karena itu,
evaluasi komprehensif terhadap implementasi undang-undang dan kesesuaiannya dengan
landasan hukum sangat penting untuk memastikan efektivitas dan kepatuhan terhadap tujuan
yang dimaksudkan.
V.DAFTAR PUSTAKA
Hartati, R. (2019). Peran negara dalam pelaksanaan jaminan produk halal. Adil Jurnal
Hukum, 10(1). https://doi.org/10.33476/ajl.v10i1.1066

Mahriadi, N., Agustang, A., Idhan, A., & Rifdan, R. (2021). Korupsi dana desa
problematika otonomi desa dalam undang-undang nomor 6 tahun 2014 tentang desa. Publik
Jurnal Manajemen Sumber Daya Manusia Administrasi Dan Pelayanan Publik, 8(2), 324-336.
https://doi.org/10.37606/publik.v8i2.254

Rahmadi, D. dan Setyaka, V. (2022). Ketimpangan agraria dan upaya tata kelola sumber-
sumber agraria oleh pemerintah nagari pasca uu desa. Menara Ilmu, 16(2).
https://doi.org/10.31869/mi.v16i2.3786

Sapanli, K., Kusumastanto, T., Budiharsono, S., & Sadelie, A. (2020). Dinamika dan
kebijakan pengembangan ekonomi kelautan indonesia. Jurnal Kebijakan Sosial Ekonomi
Kelautan Dan Perikanan, 10(2), 117. https://doi.org/10.15578/jksekp.v10i2.9248

Turmudi, H. (2023). Pembangunan desa : pemanfaatan potensi desa berbasis kearifan


lokal di tawangsari kabupaten boyolali. Jurnal Dasar Ilmiah Hukum, 12(1), 43-61.
https://doi.org/10.34304/jf.v12i1.84

Turmudi, H. (2023). Pembangunan desa : pemanfaatan potensi desa berbasis kearifan


lokal di tawangsari kabupaten boyolali. Jurnal Dasar Ilmiah Hukum, 12(1), 43-61.
https://doi.org/10.34304/jf.v12i1.84

Referensi:

Hartati, R. (2019). Peran negara dalam pelaksanaan jaminan produk halal. Adil Jurnal
Hukum, 10(1). https://doi.org/10.33476/ajl.v10i1.1066

Mahriadi, N., Agustang, A., Idhan, A., & Rifdan, R. (2021). Korupsi dana desa
problematika otonomi desa dalam undang-undang nomor 6 tahun 2014 tentang desa. Publik
Jurnal Manajemen Sumber Daya Manusia Administrasi Dan Pelayanan Publik, 8(2), 324-336.
https://doi.org/10.37606/publik.v8i2.254

Rahmadi, D. dan Setyaka, V. (2022). Ketimpangan agraria dan upaya tata kelola sumber-
sumber agraria oleh pemerintah nagari pasca uu desa. Menara Ilmu, 16(2).
https://doi.org/10.31869/mi.v16i2.3786

Sapanli, K., Kusumastanto, T., Budiharsono, S., & Sadelie, A. (2020). Dinamika dan
kebijakan pengembangan ekonomi kelautan indonesia. Jurnal Kebijakan Sosial Ekonomi
Kelautan Dan Perikanan, 10(2), 117. https://doi.org/10.15578/jksekp.v10i2.9248
Turmudi, H. (2023). Pembangunan desa : pemanfaatan potensi desa berbasis kearifan lokal di
tawangsari kabupaten boyolali. Jurnal Dasar Ilmiah Hukum, 12(1), 43-61.
https://doi.org/10.34304/jf.v12i1.84

Anda mungkin juga menyukai