A. Latar Belakang
Pulau-pulau kecil terluar selanjutnya disingkat PPKT adalah pulau-pulau kecil yang
memiliki titik-titik dasar koordinat geografis yang menghubungkan garis pangkal kepulauan
sesuai dengan hukum internasional dan nasional. Sebagai Kawasan Strategis Nasional
Tertentu (KSNT) selain memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang tinggi,
pulau-pulau kecil juga mempunyai peran serta strategis dalam menjaga kedaulatan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kawasan ini di satu sisi menyediakan sumberdaya
alam yang produktif seperti terumbu karang padang lamun (seagrass), hutan mangrove,
perikanan dan kawasan Konservasi.
Wilayah PPKT juga memiliki peluang yang besar untuk dikembangkan sebagai wilayah
bisnis potensial yang berbasis pada sumberdaya (Resource Based) seperti industri Perikanan,
pariwisata, jasa transportasi, industri olahan, dan industri lainnya yang ramah lingkungan.
Selain itu, PPKT juga dapat dimanfaatkan dan dikembangkan sebagai pendukung
pertumbuhan wilayah. Namun, dalam pengelolaan PPKT harus memperhatikan aspek
lingkungan dan keterkaitan dengan wilayah lain dalam lingkup regional, karena secara
pemanfaatan yang salama ini dilakukan terhadap potensi pulau-pulau kecil masih belum
optimal. Hal ini terjadi akibat kurangnya perhatian dan keterlibatan pemerintah dalam
pengelolaan dan penyusunan regulasi kebijakan yang mengatur terkait pemanfaatan dan
pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil selama ini masih berorientasi ke darat.
Sedangkan pada wilayah perairan masih belum diatur secara sepenuhnya terkait pengelolaan
dan pemanfaatannya.
Salah satu pulau yang ada di Indonesia adalah Pulau Bunaken yang terletak di Kota
Manado, ProvinsI Sulawesi Utara. Secara geografis dan administrasi Pulau Bunaken
merupakan pulau yang berada di perairan Laut Sulawesi pada 1 35’ – 1 49’ LU dan 124 39’ -
124 35’ BT. Pulau Bunaken dapat di akses melalui 2 aksesibllitas yang mana terletak di
sekitar 5000 kaki atau 1,5 km dari Kota Manado dan dapat ditempuh dengan beberapa jenis
moda laut seperti perahu, speed boat, dan kapal pesiar. Berdasarkan Kecamatan Bunaken
Kepulauan Dalam Angka 2018, Pulau Bunaken memiliki luas wilayah sebesar 1.969,21 Ha
yang terbagi menjadi 4 desa yaitu Desa Bunaken, Desa Alung Banua, Desa Manado Tua Satu
dan Desa Manado Tua Dua. Karena Pulau Bunaken adalah daerah kepulauan, maka sebagian
besar wilayahnya merupakan perairan yang potensial akan sumber daya perikanan dan wisata
dasar lautnya. Sehingga berpotensi menjadi tujuan daya tarik wisata baik wisatawan dalam
negeri maupun mancanegara.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011 tentang Rencana Induk
Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010-2025, Pulau Bunaken ditetapkan sebagai
Daerah Tujuan Pariwisata atau Destinasi Pariwisata Nasional (DPN) atau Taman Nasional
Bunaken oleh UNESCO dan sebagai Citra Pariwisata Nasional yaitu sebagai Finest Diving
and Snorkelling in Asia dan Finest Under Water World dan juga biasa dikenal sebagai Taman
Laut Bunaken. Pulau Bunaken juga mempunyai sumber daya alam serta kebudayaan yang
sangat berpotensi dikembangkan menjadi destinasi pariwisata dan juga dijuluki. Sumber daya
alam yang ada memiliki keindahan bawah laut dengan segala macam keanekaragaman hayati
yang terkandung didalamnya dan pantai pasir putih serta pemandangan alam lain yang sangat
indah.
Melalui sektor pariwisata, Kepulauan Bunaken dapat berperan penting untuk
pertumbuhan ekonomi masyarakat baik di Pulau Bunaken maupun bagi Kota Manado dengan
potensi yang dimiliki maka Pulau Bunaken dapat digolongkan sebagai Kawasan Strategis
Pariwisata Nasional (KSPN). Sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011,
yang menyebutkan bahwa KSPN adalah kawasan yang memiliki fungsi utama pariwisata atau
memiliki potensi untuk pengembangan pariwisata nasional yang mempunyai pengaruh
penting dalam satu atau lebih aspek, seperti pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya,
pemberdayaan sumber daya alam, daya dukung lingkungan hidup serta pertahanan dan
keamanan. Kemudian berdasarkan Kebijakan dan Implementasi Pendayagunaan Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesi menyebutkan
bahwa Pulau Bunaken menjadi sektor pariwisata yang sangat strategis sehingga perlu adanya
pengelolaan lebih lanjut terhadap Pulau Bunaken.
Berdasarkan adanya potensi pariwisata yang dimiliki serta adanya isu dan permasalahan
nasional mengenai pemanfaatan pulau-pulau kecil. Maka diperlukannya suatu bentuk
pengelolaan pulau yang dapat mengembangkan potensi pariwisata dan mengendalikan
pemanfaatan sumber daya dengan mengeksploitasi secara berlebihan. Dengan menerapkan
konsep ekowisata melalui pengembangan pariwisata berkelanjutan dengan memadukan tiga
komponen penting yaitu aspek konservasi alam, memberdayakan masyarakat lokal dan
meningkatkan kesadaran lingkungan hidup. Sehingga konsep pengembangan pariwisata
melalui konsep ekowisata menjadi alternatif pilihan terhadap pengembangan Pulau Bunaken
Kota Manado.
B. Landasan Teori
a. Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil
Pengertian pulau-pulau kecil menurut Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah pulau dengan louas lebih kecil
atau sama degan 2.000 Km2 berserta kesatuan ekosistemnya. Potensi sumberdaya dan jasa
lingkungan kelautan yang terdapat di pulau-pulau kecil akan tergantung pada proses
terbentuknya pulau serta posisi atau letak pulau tersebut, sehingga secara gologis pulau-pilau
tersebut memiliki formasi struktur berbeda dan dalam proses selanjutnya pulau-pulau tersebut
juga akan memiliki kondisi lingkungan, sumberdaya lingkungan serta keanekaragaman yang
spesifik dan unik (Begen dan Retraubun, 2006). Berbagai permasalahan yang ada seperti
permasalahan lingkungan fisik perairan yang disebabkan oleh berbagai bentuk pencemaran,
permasalahan ekonomi masyarakat, permasalahan sosial dan budatya yang berimplikasi
kepada aktivitas yang bersifat menganggagu kelestarian sumberdaya serta terbatasnya sarana
dan prasarana penunjang merupakan faktor-faktor yang menghambat pengembangan aktivitas
perekonomian di kawasan pulau-pulau kecil (Hutabarat dan Rompas, 2007).
Secara umum sumberdaya alam yang terdapat di kawasan pulau-pulau kecil terbagi
menjadi tiga macam (Dahuri, 1998), yaitu sumberdaya yang dapat dipulihkan (renewable
resources) meliputi ikan, plankton, rumput laut, lamun, mangrove dan trumbu karang.
Sumberdata tidak dapat dipulihkan (non renewable resource), meliputi minyak bumi dan gas
serta bahan tambang lainnya. Jasa-jasa lingkungan (environmental resource), meliputi
periwisata dan perhubungan laut. Kemudian untuk kakteristik pulau-pulau kecil menurut
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil adalah sebagai berikut:
1. Terpisah dari pulau besar.
2. Sangat rentan terhadap perubahan yang disebabkan alam dan/atau disebabkan
manusia.
3. Memiliki keterbatasan daya dukung pulau.
4. Apabila berpenghuni, penduduknya mempunyai kondisi sosial dan budaya yang khas.
5. Ketergantungan ekonomi lokal pada perkembangan ekonomi luar pulau, baik pulau
induk maupun kontinen.
Dalam menentukan arah kebijakan pengelolaan pulau-pulau yang berkelanjutan dan
berbasis masyarakat terdapat beberapa pendekatan yang dikombinasikan yaitu hak, ekosistem
dalam alokasi ruang wilayah pulau dan gugusan pulau dan sesuai kondisi sosial budaya
setempat (Dahuri, 2003). Pengembangan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan laut
pulau-pulau kecil perlu mempertimbangkan berbagai faktor berdasarkan karakteristik yang
dimiliki sebuah pulau atau gugusan pulau dan diperlukan pendekatan yang lebih sistematik
serta lebih spesifik berdasarkan lokasi (Andrianto, 2005). Mengingat rentannya ekosistem
pulau dan gugusan pulau kecil, maka pemerintah melakukan pembatasan kegiatan yang
cenderung menimbulkan dampak negative yang sangat luas, baik secara ekologis maupun
sosial.
Keadaan ini menunjukan bahwa pengelolaan pembangunan pada kawasan tersebut
apabila tidak terencana dengan baik dapat mengakibatkan dampak eksternal yang cukup
nyata. Dengan kegiatan dalam bentuk apapun yang dilakukan akan berdampak pada fungsi
ekosistem pulau-pulau kecil. Oleh karena itu pengelolaan pulau-pulau kecil harus
memperhatikan persyaratan pengelolaan lingkungan yang serius. Konsep pengelolaan wisata
tidak hanya berorientasi pada berkelanjutan tetapi juga mempertahankan nilai sumberdaya
alam dan manusia. Oleh karena itu sifat sumberdaya dan ekosistem pesisir dan lautan alami
sering rentan dan dibatasi oleh daya dukung, maka pengembangan pasar yang dilakukan
menggunakan pendekatan product driven, yaitu disesuaikan dengan potensi, sifat, perilaku
objek daya tarik wisata alam dan budaya yang tersedia seperti tidak tahan lama (perishable),
tidak dapat pulih (non recoverable) dan tidak tergantikan (non substitutable) diusahakan
untuk menjaga kelestarian dan keberadaannya (Yulianda, 2007).
Secara umum kegagalan dalam mengatasi masalag pengelolaan memberikan implikasi
antara lain percepatan degradasi sumberdaya alam dan lingkungan hidupnya. Penyebab
utama terjadinya kegagalan tersebut antara lain yaitu pendekatan hak-hak (entelimen) yang
sangat mencolok antara berbagai lapisan masyarakat, sumberdaya alamnya mengalami
semacam akses terbuka (aquasi-open-acces resources) yang semua pihak cenderung
memaksimumkan keuntungan dalam pemanfaatanya, kekurangan dalam sistem penilaian
(undervaluation) terhadap sumberdaya alam terhadap sistem ekonomi pasar yang terjadi
dimana sangat erat kaitannya dengan aspek teknis finansial dan aspek sosial ekonomi budaya
masyarakat setempat.
Menurut Bengen (2002), pemanfaatan pulau-pulau kecil secara optimal dan lestari
terwujud apabila memenuhi tiga persyaratan ekologis, yaitu keharmonisan spasial, kapasitas
asimilasi dan dukung lingkungan, pemanfaatan potensi sesuai daya dukungnya.
Keharmonisan spasial berhubungan dengan bagaimana menata suatu kawasan pulau-pulau
kecil bagi peruntukan pembangunan (pemanfaatan sumberdaya) berdasarkan kesesuaian
(suitability) lahan (pesisir dan laut) dan keharmonisan antara pemanfataan. Keharmonisan
spasial mensyaratkan suatu kawasan pulau-pulau kecil tidak sepenuhnya diperuntukan bagi
zona pemanfaatan tetapi juga harus dialokasikan untuk zona preservasi dan konservasi.
Keharmonisan spasial, juga menuntut pengelolaan pembangunan zona pemanfaatan
dilakukan secara bijaksana. Artinya kegiatan pembangunan ditempatkan pada kawasan yang
secara biofisik sesuai dengan kebutuhan pembangunan yang dimaksud.
b. Pengembangan Pariwisata
Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, pariwisata
dalah berbagai macam kegiatan wisata yang didukung berbagai fasilitas serta layanan yang
disediakan oleh masyarakat, pengusaha dan pemerintah. Berdasarkan konsep
pemanfaatannya, wisata dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok (Yuliana, 2007), yaitu:
1. Wisata alam (nature tourism), merupakan aktivitas wisata yang ditujukan pada
pengelaman terhadap kondisi alam atau daya tarik panoramanya.
2. Wisata budaya (cultural tourism), merupakan wisata dengan kekayaan budaya sebagai
objek wisata dengan penekanan pada aspek pendidikan.
3. Ekowisata (ecotourism, green tourism atau alternative tourism), merupakan wisata
berorientasi pada lingkungan untuk menjembatani kepentingan perlindungan
sumberdaya alam/lingkungan dan industri kepariwisataan.
Ada beberapa kebijakan terkait pengembangan pariwisata diantaranya yaitu:
1. Kebijakan pokok:
a. Mewadahi, membangun dan juga mengembangkan manfaat potensi pariwisata
sebagai kegiatan ekonomi yang bisa menciptakan lapangan kerja.
b. Meningkatkan kemampuan dan juga keterampilan aparatur serta
pemberdayaan tugas dan fungsi organisasi daripada sebagai fasilitator
regulator yang bisa menjadi pengembangan pariwisata.
c. Mengantarkan kerjasama periwisata antara daerah dan juga dunia usaha.
2. Kebijakan spasial (keruangan) periwisata:
a. Memberikan arahan yang jelas agar bisa menjadi pengembangan pariwisata
berdasarkan karakteristik keruangan melalui zonasi pengembangan.
b. Untuk kemudahan pembangunan dan pengolahan yang perlu dilakukan adalah
pengelompokkan objek daya tarik wisata pada satuan kawasan wisata. Satuan
kawasan wisata tersebut merupakan kawasan yang memiliki pusat-pusat
kegiatan wisatawan agar mempunyai keterkaitan sirkuit atau jalur wisata.
c. Melakukan urutan prioritas pengembangan satuan kawasan wisata dengan
memperhatikan dampaknya terhadap perkembangan objek dan juga daya tarik
wisata.
3. Kebijakan pengembangan objek dan daya tarik wisata:
a. Pengembangan objek dan daya tarik wisata menyangkut aspek pemanfaatan
dan pengendalian yang satu dengan yang lainnya merupakan suatu kesatuan
yang terintegrasi oleh karenannya pembangunan objek dan daya tarik wisata
harus sesuai dengan dasar-dasar pada sistem perencanaan.
b. Pengembangan objek dan daya tarik wisata dilakukan dengan dasar
pendekatan pembangunan satuan kawasan wisata dengan nuasan nilai agama,
budaya estetika dan moral yang dianut oleh masyarakat.
c. Pengembangan objek dan daya tarik wisata dilakukan sesuia dengan
mekanisme pasar dan meliputi wisata alam, wisata budaya, wisata minat
khusus, wisata pantai dan juga wisata petualangan.
4. Kebijakan pengembangan sarana dan prasarana periwisata:
a. Menyiapkan sistem perencanaan tata ruang kawasan wisata.
b. Meningkatkan aksesibilitas ke kawasan wisata.
c. Pemenuhan fasilitas standar (fasilitas kesehatan, keamanan, kebersihan dan
komunikasi) di kawasan wisata sesuai dengan kebutuhan.
d. Menarik investor untuk membangun akomodasi dan jug afasilitas penunjang
lainnya.
Karateristik wilayah Pulau Bunaken yang ada tersebut, penulis mendapatkan melalui
beberapa jenis berita di internet, artikel-artikel dan jurnal penelitian orang lain. Berdasarkan
karakteristik wilayah yang ada di Pulau dapat diketahui bahwa peruntukan bagi ekowisata
dengan wisata pantai dan wisata snorkeling dan diving sudah cukup sesuai untuk
dikembangkan.
b. Analisis SWOT
Menurut Siagian (1995) menyebutkan bahwa dalam melakukan strategis pengembangan
pariwisata perlu dilakukan suatu analisis SWOT untuk memudahkan pelaksanaan strategi
tersebut. David (2006) menjelaskan matriks SWOT merupakan suatu alat yang digunakan
untuk mencocokkan beberapa faktor yang penting untuk membantu seorang manajer dalam
mengembangkan empat tipe strategi. Empat tipe strategi tersebut diperoleh dari pemetaan
faktor-faktor yang menjadi kekuatan (strength), kelemahan (weakness), peluang
(opportunity), serta ancaman (threat). Dari pemetaan faktor-faktor tersebut akan dapat
diperoleh empat rumusan tipe strategi yaitu SO (Strength-Opportunity), WO (Weakness-
Opportunity), ST (Strength-Threat), dan WT (Weakness-Threat). Untuk memperoleh empat
rumusan strategi tersebut, hal yang harus dilakukan adalah mencocokkan Antara faktor
internal dan eksternal yang ada di lapangan. Faktor internal dan eksternal tersebut adalah
faktor-faktor yang dapat dianalisis atau dikembangkan menjadi kekuatan, kelemahan,
peluang, maupun ancaman. Dari rumusan tersebut, maka rumusan SWOT harus dimasukkan
dalam suatu matriks untuk mencocokkan dan menghasilkan empat rumusan tipe strategi
tersebut. Matriks SWOT ditunjukkan dalam tabel berikut:
Tabel 2. Matriks SWOT
Kekuatan (strength) : Kelemahan (weakness):
Internal
Faktor-faktor yang menjadi Faktor-faktor yang menjadi
Eksternal kekuatan kelemahan
Peluang (opportunity): Strategi SO: Strategi WO:
Faktor-faktor yang menjadi Menggunakan kekuatan Mengatasi kelemahan
peluang untuk memanfaatkan dengan memanfaatkan
peluang peluang
Ancaman (threats): Strategi ST: Strategi WT:
Faktor-faktor yang menjadi Menggunakan kekuatan Meminimalkan kelemahan
ancaman untuk menghindari ancaman dan menghindari ancaman
Analsisi SWOT ini juga dapat dijakan rumusan dalam mengembangkan potensi dan
menangani permasalahan yang ada di Pulau Bunaken. Sehingga pengembangan dan
peningkatan terhadap konsep ekowisata dapat diterapkan dengan maksimal. Baik
pengambangan pada daerah perairan maupun pada daerah daratan yang semuanya akan saling
diintegrasikan manjadi suatu kawasan yang dapat mendukung dan menunjuang satu dengan
lainya. Baik berupa potensi sumberdaya alam maupun budaya masyarakat setempat. Dengan
memaksimalkan peranan masyarakat dan pihak pemerintah dalam pengelolaan Pulau
Bunaken, Kota Manado menjadi objek wisata konservasi alam yang berkelanjutan.