Anda di halaman 1dari 1

Dalam sejarah perkembangan arsitektur Eropa, fungsionalisme diyakini beranjak dari sebuah perubahan yang intens di berbagai lini

kehidupan pada pertengahan abad ke-19 dan puncak beberapa pemikiran yang sudah bergulir sejak masa Pencerahan. Berbagai pengalaman material ini juga telah dimulai sejak bergulirnya Revolusi Industri pada abad ke-18, menghasilkan berbagai teknologi dan material baru.

Bahan seperti besi tempa dan kaca mulai menggantikan peran batu, beton, dan kayu sebagai material pokok struktur utama bangunan. Besi sebelumnya hanya berfungsi sebagai elemen-elemen sambungan konstruksi saja, sementara kaca penggunaannya terbatas pada pengisi daun jendela. Namun berkat produksi massal dan perkembangan teknologi, kedua bahan bangunan itu dapat diproduksi dengan jumlah dan ukuran besar. Cukup besar untuk dapat menggantikan peran-peran material konvensional, sehingga memungkinkan bangunan seperti Crystal Palace (1851) dibuat.

Pada akhir abad ke-19, berkat pengaruh Ecole des Beaux-Arts, pengaruh keberadaan material kaca dan besi hanya sebatas sebagai substitusi material batu dan beton maupun kayu. Hal ini menyiratkan bahwa secara sistem struktur, besi dan kaca belum memberikan dampak signifikan pada sistem membangun, hal ini juga berarti kedua material baru ini belum memanfaatkan potensi-potensi ruang yang dapat dihasilkan. Gereja yang dibuat Louis-Auguste Boulieau, St. Eugene di Paris, baru melakukan substitusi material atas sebuah rancangan Gotik. Konstruksi geometri yang dirancang masih merupakan konstruksi geometri Abad Pertengahan Akhir, sedangkan pada tampilan luar gereja ini, bangunan ini nampak tidak berbeda dengan buatan 2 abad sebelumnya. Estetika di Eropa pada abad ke-19 juga pada umumnya diliputi kegandrungan orang pada bentuk-bentuk lampau dan eksotis. Berbagai bangunan dihias dengan ornamentasi dan dekorasi dari berbagai langgam digabung dengan material dan teknik membangun terkini. Selera ini tidak berlangsung tanpa tak tertandingi. Selera orang Eropa tergugah akan ruang-ruang arsitektural baru yang dihasilkan oleh material dan teknologi baru. Terutama setelah didemonstrasikan oleh Crystal Palace dan Menara Eiffel (1889). Sebagai seseorang yang dijuluki teoritisi arsitektur modern pertama, Eugene Viollet-le-Duc (1814-1879), telah menginspirasikan banyak arsitek setelahnya untuk mengerahkan potensi material-material baru dalam membentuk ruang-ruang arsitektur yang baru dan berbagai kemungkinannya. Berbekal pengalaman melakukan restorasi sebuah kastil dan benteng di Carcasonne dan sengaja memposisikan dirinya berseberangan dengan Ecole des Beaux-Arts, Viollet-le-Duc mengembangkan pemikiran yang menganalogikan sebuah bangunan seperti layaknya seperti sebuah bangunan anatomi mahkluk hidup. Pemikiran-pemikirannya tidak dalam bentuk terbangun, namun lebih banyak berupa analisa anatomis dan gambar rancangan yang dipublikasikan, terumata lewat dua karyanya terpentingnya: Dictionnaire raisonn de larchitecture franaise du XIe au XVe sicle(1868) dan Entretiens sur larchitecture (1864). Viollet-le-Duc menelaah katedral-katedral Gotik dan membedahnya, dan menjelaskan elemen-elemennya hingga yang terkecil sebagai sebuah satu kesatuan sistem struktur. Perbedaan yang mencolok antara kajian Viollet-leDuc dan berbagai pemikir lain sejamannya adalah, Viollet-le-Duc tidak menekankan pentingnya rasionalisasi order, sebaliknya mengamati katedral Gotik sebagai sebuah produk pemahaman teknologi struktur dan metode membangun yang melampaui batasan penciptaan ruang arsitektur pada era sebelumnya. Elemen-elemen pada gereja-gereja Gotik bekerja seperti layaknya sebuah anatomi kerangka tubuh makhluk hidup; setiap bagian memiliki bentuk tersendiri yang mendukung perannya dalam keseluruhan sistem. Pemahaman pada sistem inilah yang memberikan kontribusi pada wacana teori arsitektur pada abad ke-19. Hal ini jelas bertentangan dengan teori arsitektur yang lazim pada zamannya yang lebih pada wacana mengenai order/ aturan gramatikal dari komponen-komponen arsitektural. Arsitektur digambarkan sebagai sebuah instrumen ketimbang sebuah perangkat ritual. Arsitektur sebagai sebuah ritual hanya dapat dijelaskan lewat relasi puitik: asosiasi, metafora, alegori dan simbol. Arsitektur yang dipandang seperti ini sulit diperdebatkan sebagai sebuah subyek ilmiah, sehingga hanya menyisakan sedikit ruang untuk ditelaah lebih lanjut. Sebagai sebuah instrumen, arsitektur dijelaskan dalam hubungan antar komponenkomponennya dan dapat ditelaah sebagaimana sebuah instrumen dirancang.

Anda mungkin juga menyukai