Anda di halaman 1dari 6

TUGAS

PENGOLAHAN TERPADU LAUT DAN KEPULAUAN KECIL DALAM


PERSPEKTIF EKOLOGI ECONOMY DAN SOSIAL BUDAYA
Dosen Penggampuh
ILHAM MARASABESSY S.PI,M.SI

NAMA : LARAS NURHIDAYAH


NIM : 202151234012

FAKULTAS PERIKANAN
PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SORONG
2022
Dari Segi Dampak Ekologi Ekonomi
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan 17.504 pulau, di
antaranya 111 pulau kecil terluar yang terhubung melalui perairan laut dari Sabang sampai
Merauke. Perairan laut Indonesia sangat kaya sumber daya hayati, seperti mangrove, terumbu
karang, padang lamun, ikan karang, ataupun jasa-jasa kelautan, di antaranya garam, pasir
laut, air laut dalam, benda muatan kapal tenggelam, pulau-pulau kecil, dan pariwisata bahari.\

Kekayaan sumber daya hayati beserta jasa-jasa kelautan di perairan laut Indonesia
seluas 6,4 juta kilometer persegi hanya memberikan kontribusi sebesar 9,69 persen bagi
peningkatan PDB Indonesia, jauh dibandingkan dengan Thailand, Jepang, dan Korea Selatan
yang mampu memberikan kontribusi PDB mencapai 30 persen (Rokhmin Dahuri, 2021).

Kekayaan sumber daya alam dan ekosistemnya ataupun gejala keunikan alam dan
atau keindahan alam lainnya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia merupakan karunia Tuhan
Yang Maha Esa. Potensi sumber daya alam dan ekosistemnya tersebut perlu dikembangkan
dan dimanfaatkan bagi sebesarbesarnya kesejahteraan rakyat sehingga tercapai keseimbangan
antara perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan lestari. Pengelolaan atas sumber daya
alam di Indonesia secara konstitusional berpedoman ketentuan Pasal 33 ayat (3) dengan tetap
memperhatikan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menetapkan
bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara
dan dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat” sebagai bentuk pemenuhan
atas hak dasar warga Negara sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H ayat (1) bahwa
“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak mendapatkan layanan kesehatan”.

Tata  ruang  wilayah laut  daerah haruslah  diletakkan  dalam  sistem perencanaan tata
ruang yang berlaku.  Menurut ketentuan Pasal 6 ayat (4) Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2007, disebutkan bahwa  ”Penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota meliputi
ruang darat, ruang laut dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan”

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemanfaatan bumi, air dan kekayaan alam
yang terkandung didalamnya dilaksanakan secara seimbang tetap memperhatikan prinsip
kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian
serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Undang-
Undang Dasar 1945 dewasa ini telah mempertegas perannya, selain merupakan konstitusi
politik juga merupakan konstitusi ekonomi. Melalui gagasan demokrasi politik dan ekonomi,
maka seluruh sumberdaya politik dan ekonomi dikuasai oleh rakyat yang berdaulat yang
dalam hal-hal tertentu pengurusannya diwakilkan kepada negara

Pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil antara lain diprioritaskan untuk
kegiatan konservasi, pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengembangan, budidaya laut,
pariwisata, usaha perikanan dan kelautan serta industri perikanan lestari, pertanian organik,
peternakan dan kepentingan pertahanan dan keamanan negara. Pemanfaatan sumberdaya
pesisir dan pulaupulau kecil ini dilakukan dengan menggunakan mekanisme perijinan

Pemanfaatan wilayah laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil selalu berdampak pada
keberlangsungan mangrove. Data menunjukkan dari 64.746 ha mangrove di kawasan pesisir
yang menjadi kewenangan Kementerian kelautan dan Perikanan (KKP), terdapat 50 persen
mangrove tidak dapat pulih kembali karena alih fungsi lahan untuk permukiman,
pertambakan.

Selain rehabilitasi mangrove yang bertujuan untuk memperbaiki kualitas lingkungan


akibat eksploitasi sumber daya alam, abrasi, gelombang besar, dan bencana lainnya, inisiatif
pemerintah melakukan kegiatan bersih pantai dan pengumpulan sampah plastik akan
meningkatkan kesadaran masyarakat Indonesia untuk tidak membuang sampah plastik ke
laut, karena sampah plastik akan terurai menjadi mikro plastik yang mungkin termakan
hewan laut, dan membahayakan keberlanjutan hidupnya.

Pemanfaatan jasa-jasa kelautan baru bergeliat menghasilkan Penerimaan Negara


Bukan Pajak (PNBP), di antaranya pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan sekitarnya di
Pulau Nipa, Kota Batam, sejak 2014 selama 30 tahun akan menghasilkan PNBP mencapai Rp
1,52 triliun (kontribusi tetap Rp 120 miliar dan profit sharing Rp 1,4 triliun), dan
pemanfaatan 10 kawasan konservasi perairan nasional (KKPN) seluas 28,1 juta ha telah
menghasilkan PNBP dari wisata bahari sampai tahun 2020 mencapai Rp 3,5 miliar.

Untuk dapat memanfaatkan nilai dan manfaat dari sumber daya laut dan pesisir bagi
pengembangan wilayah nasional secara berkelanjutan serta menjamin kepentingan umum
secara luas (public interest), maka pengelolaan wilayah laut merupakan bagian terpenting
yang bertujuan agar wilayah laut dan seluruh kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dapat dikelola dan dimanfaatkan secara optimal

Kekayaan alam kelautan dan sumberdaya pesisir yang dimiliki Indonesia tersebut
antara lain berupa sumberdaya perikanan, sumberdaya hayati (biodiversity) seperti mangrove,
terumbu karang, padang lamun, serta sumberdaya mineral seperti minyak bumi dan gas alam
termasuk bahan tambang lainnya yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Lahan pesisir (coastal
land) yang landai seperti pantai Timur Sumatera, Pantai Utara Jawa dan Pantai Barat
Sulawesi Selatan pada umumnya secara geologis terbentuk oleh endapan alluvial yang subur
dan dapat menjadi lahan pertanian produktif. Di samping itu, kini banyak terungkap bahwa
wilayah lautan Indonesia memiliki harta karun yang banyak di dasar laut akibat kapal-kapal
pelayaran niaga yang karam pada masa lalu.

Namun demikian, sejauh ini pemanfaatan sumberdaya kelautan masih jauh dari
optimal. Pembangunan yang dilakukan selama PJP II yang ditekankan pada wilayah daratan
menyebabkan kurang berkembangnya wilayah pesisir sehingga pada umumnya masyarakat
pesisir merupakan masyarakat miskin. Selain itu, kegiatan pembangunan di wilayah daratan
juga menyisakan beragam permasalahan yang mengancam kesinambungan pembangunan,
seperti pencemaran, gejala penangkapan ikan berlebih (overfishing), penangkapan ikan
dengan bahan peledak, penambangan terumbu karang untuk baha bangunan, degradasi fisik
habitat pesisir, konflik pemanfaatan ruang, dan lain sebagainya.

Adapun pemanfaatan kabel bawah laut seperti palapa ring masih mengacu pada PP
No 75 Tahun 2015 sehingga PNBP yang dihasilkan belum signifikan. Dengan
diundangkannya PP Nomor 85 Tahun 2021 tentang jenis dan tarif atas jenis PNBP yang
berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), ke depan akan sangat
meningkatkan nilai PNBP, yang telah memasukkan perhitungan (tambahan biaya) faktor
lingkungan, jika pipa dan kabel bawah laut melintasi kawasan konservasi.
Pada akhirnya, keseimbangan ekologi dan ekonomi dalam memanfaatkan ruang laut
harus memiliki regulasi yang kuat, diimplementasikan berdasarkan rencana tata ruang darat
sampai ke laut (termasuk dasar perairan), yang pemanfaatannya menjamin keberlanjutan
ekologi sehingga kekayaan sumber daya alam hayati laut beserta jasa-jasa lingkungan di
dalamnya berkontribusi besar meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara, kesejahteraan
rakyat, serta dinikmati generasi mendatang.
Dari Segi Dampak Sosial Budaya
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terbesar di dunia yang terdiri dari
17.499 pulau dari Sabang hingga Merauke 1. Luas total wilayah Indonesia adalah 7,81 juta
km 2 yang terdiri dari 2,01 juta km 2 daratan, 3,25 juta km 2 lautan, dan 2,55 juta km Zona
Ekonomi Eksklusif (ZEE). Mengingat luas wilayah laut Indonesia lebih luas dari wilayah
daratan, menjadikan sumber daya pesisir dan lautan memiliki potensi yang sangat penting ,
karena di wilayah pesisir dan lautan menyediakan berbagai sumber daya alam, baik hayati
maupun non-hayati yang bernilai ekonomis dan ekologis yang tinggi. Wilayah pesisir
memiliki nilai ekonomi tinggi, namun terancam keberlanjutannya. Dengan potensi yang unik
dan bernilai ekonomi tadi maka wilayah pesisir dihadapkan pada ancaman yang tinggi pula,
maka hendaknya wilayah pesisir ditangani secara khusus agar wilayah ini dapat dikelola
secara berkelanjutan.
Wilayah pantai Indonesia memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa-jasa
lingkungan yang sangat penting untuk dikembangkan (ekosistem pantai). Diperkirakan 60%
atau 150 juta dari pendudu Indonesia bermukim di wilayah pesisir dan sekitar 80% lokasi
industri di Indonesia terletak di wilayah pesisir, karena akses transportasinya lebih mudah ke
pusat perdagangan. Pemanfaatan sumberdaya alam di wilayah pesisir telah menimbulkan
ancaman kelestarian ekosistem yang sangat kritis. Sebaliknya, ada beberapa wilayah, potensi
sumberdaya belum dimanfaatkan secara optimal.
Guna menjamin keberlanjutan dari sumber daya tersebut, pengelolaannya harus
dilakukan secara terencana dan terpadu serta memberikan manfaat yang besar kepada semua
stakeholders terutama masyarakat pesisir. Saat ini terdapat UU No. 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana telah diubah dengan UU
No. 1 Tahun 2014, dimana dalam Pasal 1 angka 2 UU tersebut mendefinisikan wilayah
pesisir sebagai daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh
perubahan di darat dan laut. Pasal 2 menyebutkan bahwa ruang lingkup pengaturan wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil meliputi daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang
dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut, ke arah darat mencakup wilayah administrasi
kecamatan dan ke arah laut sejauh 12 (dua belas) mil laut di ukur dari garis pantai. Dengan
demikian ruang lingkup Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil meliputi daerah pertemuan antara pengaruh perairan
dan daratan, ke arah daratan mencakup wilayah administrasi kecamatan dan ke arah perairan
laut sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah
perairan kepulauan.
Sumberdaya pesisir laut dan pulau-pulau kecil yang dimiliki Indonesia sangat
beragam baik jenis maupun potensinya. Potensi sumberdaya tersebut ada yang dapat
diperbaharui (renewable resources) seperti sumberdaya perikanan (perikanan tangkap,
budidaya), mangrove, energi gelombang, pasang surut, angin, dan OTEC (Ocean Thermal
Energy Conversion) dan energi yang tidak dapat diperbaharui (non-renewable resources)
seperti sumberdaya minyak dan gas bumi dan berbagai jenis mineral. Selain dua jenis
sumberdaya tersebut, juga terdapat berbagai macam jasa lingkungan kelautan yang dapat
dikembangkan untuk pembangunan kelautan seperti pariwisata bahari, industri maritim, jasa
angkutan, dan sebagainya.
Secara umum, jenis ekosistem di wilayah pesisir ditinjau dari penggenangan air dan
jenis komunitas yang menempatinya dapat dikategorikan menjadi 2 (dua) ekosistem, yaitu
ekosistem yang secara permanen atau berkala tergenang air dan ekosistem yang tidak pernah
tergenang air. Sedangkan jika ditinjau dari proses terbentuknya, ekosistem wilayah pesisir
dapat dikelompokkan menjadi ekosistem yang terbentuk secara alami dan ekosistem yang
sengaja dibentuk atau ekosistem buatan.
Jenis ekosistem wilayah pesisir yang secara permanen ataupun secara berkala
tertutupi air dan terbentuk melalui proses alami antara lain ekosistem terumbu karang (coral
reef), hutan mangrove (mangrove forest), padang lamun (sea grass beds), pantai berpasir
(sandy beach), pantai berbatu (rocky beach), pulau-pulau kecil dan laut terbuka, estuaria,
laguna dan delta. Sedangkan contoh dari ekosistem pesisir yang hampir tidak pernah
tergenang air, namun terbentuk secara alami adalah formasi pescaprae dan formasi
baringtonia. Di samping ekosistem yang terbentuk secara alami di atas, pada wilayah pesisir
juga dijumpai ekosistem buatan, seperti tambak, sawah pasang surut, kawasan pariwisata,
kawasan industri dan kawasan pemukiman.
Ekosistem hutan mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis termasuk
tertinggi di dunia, seluruhnya tercatat 89 jenis; 35 jenis berupa pohon, dan selebihnya berupa
terna (5jenis), perdu (9 jenis), liana (9 Jenis), epifit (29 jenis) dan parasit (2 jenis) (Nontji,
1987). Beberapa jenis pohon yang banyak dijumpai di wilayah pesisir Indonesia adalah
Bakau (Rhizophora spp), Api-api (Avicennia spp), Pedada (sonneratia spp), Tanjang
(Bruguiera spp), Nyirih (Xylocarpus spp), Tenger (Ceriops spp) dan Buta-buta (Exoecaria
spp).
Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan penting di
wilayah pesisir dan lautan. Selain mempunyai fungsi ekologi sebagai penyedia nutrien bagi
biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan berbagai macam biota, penahan abrasi pantai,
amukan angin taufan dan tsunami, penyerap limbah, pencegah intrusi air laut dan lain
sebagainya, hutan mangrove juga mempunyai fungsi ekonomis yang sangat tinggi, seperti
sebagai penyedaia kayu, obat-obatan, alat dan teknik penangkapan ikan, pupuk, bahan baku
kertas, bahan makanan, minuman, peralatan rumah tangga, bahan baku tekstil dan kulit,
madu, lilin, dan tempat rekreasi.
Dari sisi nilai strategis sumberdaya hayati laut, sektor kelautan sebenarnya juga
masih dipandang sebelah mata oleh pemerintah dan dunia swasta, karena dianggap nilai
strategisnya masih kurang menarik dibandingkan nilai ekonomi jangka pendek dan
menengah sektor industri, pertambangan dan pemukiman. Akibatnya, beberapa kawasan
pesisir harus direklamasi untuk kepentingan kegiatan pembangunan seperti di atas. Padahal
bila dihitung nilai ekonominya tidak kalah dengan nilai ekonomi sektor lainnya.
Sebagai contoh hasil studi penghitungan nilai ekonomi sumberdaya wilayah pesisir
dan lautan Indonesia, untuk hasil produksi hutan mangrove misalnya, didapatkan nilai
sebesar 10-20 US dollar per ha per tahun (pada tahun 1978) dan nilai hasil produk perikanan
dari kawasan ini (tahun 1978) sebesar 50 US dollar per ha pertahun (Hamilton dan Snedaker,
1984).
Berdasarkan data yang diambil oleh Asian Wetland Bureau (AWB) tahun 1992,
Indonesia memiliki 2,7 juta ha dengan menggunakan perhitungan kasar didapat nilai hasil
produksi hutan mangrove adalah sebesar 27-54 juta US dollar per tahun atau dengan nilai
kurs 5.000 Rupiah per dollar adalah sebesar 135 - 270 milyar rupiah, sementara nilai hasil
produk perikanan dari hutan mangrove didapat nilai sebesar 135 juta US dollar atau sebesar
675 milyar rupiah. Bandingkan dengan bantuan Singapura terhadap Indonesia ketika terjadi
krisis moneter hanya sebesar 10 juta US dollar atau 50 milyar rupiah saja, atau hampir sama
dengan nilai hasil produksi hutan mangrove saja, bahkan tidak sampai seper sepuluh dari
nilai hasil produk perikanan hutan mangrove. Sementara sumberdaya yang dimiliki oleh
sektor kelautan tidak hanya hutan mangrove saja, namun masih terdapat terumbu karang,
padang lamun dan rumput laut.

Anda mungkin juga menyukai