Anda di halaman 1dari 11

Nama : Sukmawati

Kelas : D1

NPM : 2040401033

PENGELOLAAN RUANG WILAYAH PESISIR DAN


LAUTAN SEIRING DENGAN PELAKSANAAN
OTONOMI DAERAH

1. PENDAHULUAN

Kekayaan alam kelautan dan sumberdaya pesisir yang dimiliki


Indonesia tersebut antara lain berupa sumberdaya perikanan, sumberdaya
hayati (biodiversity) seperti mangrove, terumbu karang, padang lamun,
serta sumberdaya mineral seperti minyak bumi dan gas alam termasuk
bahan tambang lainnya yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Lahan pesisir
(coastal land) yang landai seperti pantai Timur Sumatera, Pantai Utara
Jawa dan Pantai Barat Sulawesi Selatan pada umumnya secara geologis
terbentuk oleh endapan alluvial yang subur dan dapat menjadi lahan
pertanian produktif. Di samping itu, kini banyak terungkap bahwa wilayah
lautan Indonesia memiliki harta karun yang banyak di dasar laut akibat
kapal-kapal pelayaran niaga yang karam pada masa lalu.

Namun demikian, sejauh ini pemanfaatan sumberdaya kelautan


masih jauh dari optimal. Pembangunan yang dilakukan selama PJP II yang
ditekankan pada wilayah daratan menyebabkan kurang berkembangnya
wilayah pesisir sehingga pada umumnya masyarakat pesisir merupakan
masyarakat miskin. Selain itu, kegiatan pemba- ngunan di wilayah daratan
juga menyisakan beragam permasalahan yang mengancam kesinambungan
pembangunan, seperti pencemaran, gejala penangkapan ikan berlebih
(overfishing), penangkapan ikan dengan bahan peledak, penambangan
terumbu karang untuk bahan bangunan, degradasi fisik habitat pesisir,
konflik pemanfaatan ruang, dan lain sebagainya.

2. PENATAAN RUANG DAN OTONOMI DAERAH

Perihal penataan ruang wilayah negara diatur di dalam UU No.


24/1992 tentang Penataan Ruang. Di dalam penjelasan disebutkan bahwa
Wilayah Negara Republik Indonesia adalah seluruh wilayah negara
meliputi daratan, lautan, dan udara berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, termasuk laut dan landas kontinen di sekitarnya,
dimana Republik Indonesia memiliki hak berdaulat atau kewenangan
hukum sesuai dengan ketentuan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
tahun 1982 tentang Hukum Laut.

Otonomi daerah dimaksudkan untuk membatasi kewenangan


Pemerintah (Pusat) dan Propinsi sebagai daerah otonom, karena
Pemerintah dan Propinsi hanya diperkenankan menyelenggarakan kegiatan
otonomi sebatas sebagaimana yang diatur dalam PP No. 25/2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah
Otonom. Ditegaskan dalam Peraturan Pemerintah tersebut bahwa
kewenangan Pemerintah hanya mencakup kewenangan pada lima bidang
(politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan
fiskal, serta agama) dan kewenangan bidang lain. Kini, peran Pemerintah
lebih ditekankan dalam memberikan kebijaksanaan yang bersifat
makro/umum khususnya dalam kerangka penyelenggaraan negara
kesatuan. Kewenangan Pemerintah pada bidang lain antara lain adalah
dalam hal kebijakan tentang perenca- naan nasional dan pengendalian
pembangunan nasional secara makro, pendayagunaan sumberdaya alam
serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi dan standarisasi nasional.

3.POTENSI PEMBANGUNAN KELAUTAN INDONESIA

Di wilayah pesisir dan laut Indonesia terkandung kekayaan alam


yang sangat besar dan beragam, baik berupa SDA terbarukan (seperti
perikanan, terumbu karang, hutan mangrove, rumput laut, dan produk-
produk bioteknologi); SDA tak terbarukan (seperti minyak dan gas bumi,
timah, bijih besi, bauksit, dan mineral lainnya); energi kelautan (seperti
pasang-surut, gelombang, angin, dan OTEC atau Ocean Thermal Energy
Conversion); maupun jasa-jasa lingkungan kelautan untuk pariwisata
bahari, transportasi laut, dan sumber keragaman hayati serta plasma nutfah.

Kekayaan SDA dan jasa-jasa lingkungan kelautan tersebut dapat


kita dayagunakan untuk kemajuan dan kemakmuran bangsa melalui
sedikitnya 11 sektor ekonomi kelautan: (1) perikanan tangkap, (2)
perikanan budidaya, (3) industri pengolahan hasil perikanan, (4) industri
bioteknologi kelautan, (5) pertambangan dan energi, (6) pariwisata bahari,
(7) hutan mangrove, (8) perhubungan laut, (9) sumberdaya wilayah pulau-
pulau kecil, (10) industri dan jasa maritim, dan (11) SDA non-
konvensional. Total nilai ekonomi dari kesebelas sektor ekonomi kelautan
itu diperkirakan mencapai 1,2 trilyun dolar AS/tahun, dan dapat
menyediakan lapangan kerja untuk 40 juta orang.  Sampai sekarang,
potensi ekonomi yang luar biasa besar, ibarat ‘Raksasa Yang Tertidur’ itu
belum dimanfaatkan secara produktif dan optimal.

Dari 11 sektor ekonomi kelautan tersebut, yang menjadi domain


tanggung jawab, kewenangan atau tupoksi (tugas pokok dan fungsi)
ekonomi KKP selama ini  adalah: (1) perikanan tangkap; (2) perikanan
budidaya; (3) industri pengolahan hasil perikanan; (4) industri bioteknologi
kelautan; (5) garam; (6) pembangunan pulau-pulau kecil; dan (7) sumber
daya kelautan non-konvensional yakni SDA dan jasa-jasa lingkungan
(environmental services) yang terdapat di wilayah pesisir dan laut
Indonesia, namun karena alasan teknis maupun ekonomis belum bisa kita
manfaatkan, seperti industri air dari laut dalam (deep sea water industry),
deep sea mining, industri farmasi dan kosmetik dari laut, dan sebagainya.
Perlu dicatat, bahwa perikanan tangkap bukan hanya mencakup usaha
perikanan tangkap di laut, tetapi juga di Perairan Umum Darat (PUD)
seperti sungai, danau, waduk (bendungan), dan perairan rawa.  Demikian
juga perikanan budidaya (aquaculture) dan industri bioteknologi, bukan
hanya di laut, tetapi juga di perairan payau (tambak, coastal aquaculture),
PUD, sawah (minapadi), saluran irigasi, kolam air tawar, dan akuarium.
4. PERMASALAHAN YANG DIHADAPI WILAYAH PESISIR

Pemanfaatan sumber daya pesisir di satu sisi berdampak pada


kesejahteraan masyarakat, yaitu dengan penyediaan lapangan pekerjaan
seperti penangkapan ikan secara tradisional, budi daya tambak,
penambangan terumbu karang , dan lain sebagainya. Namun di sisi lain,
pemanfaatan sumber daya alam secara terus menerus dan berlebihan akan
menimbulkan dampak negatif terhadap kelangsungan ekosistem pesisir.

Ada beberapa masalah yang terjadi dalam pembangunan di kawasan


pesisir dan lautan di Indonesia antara lain:

(1)   Pencemaran

Pencemaran laut adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk


hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh
kegiatan manusia sehingga kualitasnya menurun sampai ke tingkat tertentu
yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu
dan/atau fungsinya.

(2)    Kerusakan Fisik Habitat

Kerusakan fisik habitat ekosistem wilayah pesisir di Indonesia


umumnya terjadi pada ekosistem mangrove, terumbu karang dan rumput
laut. Terumbu karang di Indonesia yang masih berada dalam kondisi sangat
baik hanya 6,20 %, kondisi rusak 41,78 % , kondisi sedang 28,30%, dan
kondisi baik 23,72 % (Moosa et.al. 1996). Kerusakan terumbu karang
umumnya disebabkan oleh kegiatan- kegiatan perikanan yang bersifat
destruktif seperti penggunaan bahan peledak dan beracun, penambangan
karang, reklamasi pantai, pariwisata, dan sedimentasi akibat erosi dari
lahan atas.

(3)   Eksploitasi sumber daya secara berlebihan

Ada beberapa sumber daya perikanan yang telah dieksploitir secara


berlebihan (overfishing), termasuk udang, ikan demersal, palagis kecil, dan
ikan karang.  Menipisnya stok sumber daya tersebut, selain
karena overfishing juga dipicu oleh aktivitas ekonomi yang baik secara
langsung atau tidak merusak ekosistem dan lingkungan sehingga
perkembangan sumber daya perikanan terganggu.  Disamping itu,
kurangnya apresiasi dan pengetahuan manusia untuk melakukan konservasi
sumber daya perikanan, seperti udang, mangrove, terumbu karang, dan
lain-lain.

(4) Abrasi Pantai

Ada 2 faktor yang menyebabkan terjadinya abrasi pantai, yaitu : (1)


proses alami (karena gerakan gelombang pada pantai terbuka),  (2)
aktivitas manusia.  Kegiatan manusia tersebut misalnya kegiatan
penebangan hutan (HPH) atau pertanian di lahan atas yang tidak
mengindahkan konsep konservasi telah menyebabkan erosi tanah dan
kemudian sedimen tersebut dibawa ke aliran sungai serta diendapkan di
kawasan pesisir.  Aktivitas manusia lainya adalah menebang atau merusak
ekosistem mangrove di garis pantai baik untuk keperluan kayu, bahan baku
arang, maupun dalam rangka pembuatan tambak.

(5)  Konversi Kawasan Lindung ke Penggunaan Lainnya


Dewasa ini banyak sekali terjadi pergeseran penggunaan lahan, 
misalnya dari lahan pertanian menjadi lahan industri, property,
perkantoran, dan lain sebagainya yang terkadang kebijakan persegeran
tersebut tanpa mempertimbangkan efek ekologi, tetapi hanya
mempertimbangkan keuntungan ekonomi jangka pendek.  Demikian juga
halnya yang terjadi di kawasan pesisir, banyak terjadi pergeseran lahan
pesisir dan bahkan kawasan lindung sekalipun menjadi lahan pemukiman,
industri, pelabuhan, perikanan tambak, dan parawisata.  Akibatnya terjadi
kerusakan ekosistem di sekitar pesisir, terutama ekosistem mangrove. 

5.PENTING NYA MENGELOLA WILAYAH PESISIR

Pada hakekatnya terdapat beberapa alasan yang melatar- belakangi


pentingnya pengelolaan wilayah pesisir, yaitu :

Pertama, wilayah pesisir merupakan salah satu kawasan yang


memiliki produktivitas hayati yang tinggi. Perairan (coastal waters) daerah
tropis seperti Indonesia, mendapatkan masukan unsur hara (nutrients) dari
daratan melalui aliran sungai dan aliran air permukaan (run off) ketika
hujan, serta siraman sinar matahari sepanjang tahun. Dengan demikian,
apabila kita ingin mendukung kelestarian (sustainability) dan produktivitas
usaha perikanan, baik penangkapan maupun budidaya, maka kita harus
memelihara daya dukung dan kualitas lingkungan wilayah pesisir.

Kedua, wilayah pesisir memiliki potensi keindahan dan kenya-


manan sebagai tempat rekreasi dan pariwisata. Selain itu karena adanya
kemudahan transportasi dan distribusi barang dan jasa, sumber air
pendingin bagi industri, dan tempat pembuangan limbah; maka wilayah
pesisir berfungsi sebagai pusat permukiman, pelabuhan, kegiatan bisnis,
dll. Oleh sebab itu, wajar bila lebih dari separuh jumlah penduduk dunia
bermukim di wilayah pesisir dan dua pertiga dari kota-kota besar dunia
juga terletak di wilayah ini (World Bank, 1994 ; Cicin-Sain and Knecht,
1998).

Ketiga, karena tingkat kepadatan penduduk dan intensitas


pembangunan yang tinggi di wilayah pesisir, maka wilayah pesisir pada
umumnya mengalami tekanan lingkungan (environmental stresses) yang
tinggi pula. Selain dampak lingkungan yang berasal dari kegiatan-kegiatan
pembangunan di wilayah pesisir.

Keempat, wilayah pesisir biasanya merupakan sumberdaya milik


bersama (common property resources), sehingga berlaku rejim open access
(siapa saja boleh memanfaatkan wilayah ini untuk berbagai kepentingan).
Pada rejim open access ini, setiap pengguna ingin memanfaatkan
sumberdaya pesisir semaksimal mungkin sehingga sulit dilakukan
pengendalian, dan sering kali terjadi kehancuran ekosistem sebagai akibat
tragedi bersama (tragedy of the common).

6.Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Di Masa Yang


Akan Datang

(a) Visi Pembangunan Sumberdaya Pesisir dan Laut

Bertitik tolak dari potensi, kendala dan permasalahan, dan tujuan


pembangunan kelautan di Indonesia serta semangat desentralisasi, maka
visi pembangunan sumberdaya pesisir dan lautan di Indonesia dapat
dirumuskan sebagai berikut : Wilayah pesisir dan laut beserta segenap
sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terkandung di dalamnya,
merupakan sumber penghidupan dan sumber pemba- ngunan yang harus
dimanfaatkan secara berkelanjutan, guna mening- katkan kemakmuran
rakyat menuju terwujudnya bangsa Indonesia yang sejahtera, maju dan
mandiri.

(b) Kebijakan

Departemen Kelautan dan Perikanan melalui Ditjen Pesisir dan


Pulau-Pulau Kecil sesuai dengan kewenangan pemerintah pusat di bidang
kelautan, telah menetapkan 5 (lima) pedoman pelaksanaan kebijakan
pembangunan pesisir dan laut sebagai berikut :

1. Kebijakan pembangunan pesisir dan laut harus berorientasi


kepada kepentingan umum, bukan kepentingan perorangan
atau golongan, apalagi untuk kepentingan pejabat birokrasi.
2. Kebijakan pembangunan kelautan harus bersifat “constraint-
based development”, dengan pengertian bahwa setiap kegiatan
pemba- ngunan di wilayah pesisir, harus memenuhi segenap
kriteria pem- bangunan berkelanjutan (sustainable
development),
3. Kebijakan pembangunan pesisir dan laut harus merupakan
milik umum (public domain).
4. Kebijakan pembangunan pesisir dan laut semaksimal mungkin
diusahakan untuk tidak menciptakan beban anggaran negara.
5. Kebijakan pembangunan pesisir dan laut harus berorientasi
kepada pemberdayaan masyarakat (seluruh stakeholder
kelautan).
(c) Program Kerja Ditjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Sebagai penjabaran dari kebijakan Departemen tersebut, maka


Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil telah merencanakan
Program Kerja lima tahunan periode tahun 2000 – 2004 mencakup 8
(delapan) program utama, yaitu :

1. Penyusunan kebijakan umum pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil


2. Program Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu
3. Program Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil
4. Program Penyusunan Tata Ruang Pesisir, Pantai dan Pulau-Pulau Kecil.
5. Program Pemberdayaan Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir
6. Program Perlindungan dan Konsevasi Taman Nasional Laut
7. Program Rehabilitasi Kerusakan dan Pengkayaan Lingkungan Pesisir
8. Program Mitigasi Bencana dan Pengendalian Pencemaran dari darat.\

Anda mungkin juga menyukai