Anda di halaman 1dari 53

BAB II

ISI
PERALATAN DAN PERLENGKAPAN HIDUP
1.
Alat Produktif
Mata pencarian hidup orang Sulawesi Selatan adalah bertani bagi yang berdiam di
pedalaman dan daerah pegunungan dan berlayar atau menangkap ikan dengan
berperahu bagi yang berdiam di daerah-daerah pesisir/pantai. peralatan-peralatan
untuk melaksanakan mata pencarian hidup dalam dua lapangan ini,menjadi bendabenda kebudayaan yang sangat penting dikalangan orang Bugis-Makassar.
A. Alat-alat pencaharian di laut/air. seperti perahu untuk pengangkutan barangbarang niaga dan alat-alat penangkap ikan, sebagai nelayan, dapat disebutkan
antara lain jenis-jenisnya sebagai berikut:

Gambar 2.1 Perahu Pinisi


a. Penisi/Pinisi, Adalah jenis perahu dagang Bugis-Makassar dalam ukuran besar
(20 sampai 100 ton). Jenis perahu ini mengarungi laut-laut besar dalam abadabad lalu menghubungkan Makassar dengan kepulauan Nusantara baik di Timur
maupun di Barat. Jenis perahu ini mempunyai dua tiang agung dengan layar
berlapis-lapis di bagian depan, pada dua tiang agung, ditambah dua buah layar
kecil pada masing-masing puncak tiang agung. Kemudian yang terpasang di
belakang ada dua buah. Dahulu kala perahu jenis ini dipakai juga oleh armada-

armada perang orang Bugis-Makassar untuk mengangkut tenaga-tenaga perang


dan perlengkapannya, hanya saja jarang dipergunakan untuk perang laut, karena
untuk penyerangan dan peperangan di laut dipergunakan jenis lain yang lebih
lincah dan lebih cepat. Penisi, selaku perahu niaga, dipimpin oleh seorang
Ana'koda (nakhoda), juru mudi, juru batu dan awak perahu lainnya yang disebut
sawi. Perahu dagang jenis penisi, sampai sekarang masih dipergunakan untuk
pelayaran niaga interinsuler yang dapat dijumpai di semua pelabuhan di negeri
kita.

Gambar 2.2 Perahu Lambo


b. Lambo' (Palari), Adalah jenis perahu dagang Bugis-Makassar dalam ukuran
lebih kecil dari pinisi (10 sampai 50 ton). Sama halnya dengan pinisi, jenis ini
pun dapat mengarungi laut yang jauh-jauh untuk mengangkut barang-barang
niaga antarpulau. Bedanya dengan pinisi, lambo' palari, hanya mempunyai satu
tiang agung, dengan layar berlapis-lapis dibagian depan, layar utama dan layar
tambahan di puncak tiang agung.

Gambar 2.3 Perahu soppe


c. Soppe', Adalah juga jenis perahu dagang orang bugis makassar, dalam ukuran
kecil (1 sampai dengan 10 ton) dipergunakan untuk angkutan barang-barang
dagangan antar pulau sekitar pantai-pantai Sulawesi Selatan. Juga biasa
dipergunakan untuk mengangkut penumpang antarpulau.

B. Alat-alat pertanian
Alat-alat pertanian orang Bugis-Makassar, khususnya untuk pengolahan tanah
persawahan (padi) dipergunakan alat-alat yang pada umumnya sama dengan
alat-alat pertanian daerah-daerah lain di Indonesia seperti :

Gambar 2.4 Alat Bajak Sawah


a. Alat utama pada pembajakan sawah dipergunakan lukuh, (sakkala, pajjeko)
yang ditarik oleh kerbau. Sistem pengairan pun dikenal, walaupun masih
lebih dari separuh tanah persawahan di Sulawesi Selatan belum
mempergunakan pengairan teknis. Disamping mempergunakan lukuh atau
bajak, dibeberapa tempat tanah sawah yang berair itu untuk menjadikannya
baik bila ditanami padi, maka ke dalam petak-petak sawah dikerahkan
kerbau untuk menginjak-injaknya. setelah tanah menjadi lembut berlumpur,
maka dilakukanlah pembersihan kemudian ditanami.

Gambar 2.5 Pacul Dan Linggis


b. Pacul dan linggis juga dikenal sebagai alat-alat pertanian di Sulawesi
Selatan. Pada tanah-tanah tegalan untuk membongkar tanah dipergunakan
linggis kemudian menggemburkannya dengan pacul. Tanah demikian
ditanami jagung atau palawija.
2.

Senjata Tradisional

Gambar 2.6 Senjata Badik/Kawali

1. Badik yang berasal dari Makassar, Bugis, atau Patani masing-masing memiliki
bentuk dan sebutan yang berbeda yang menunjukkan perbedaan jenis badik di
setiap daerah tersebut. Di Makassar, badik dikenal dengan nama badik sari
yang memiliki kale (bilah) yang pipih, batang (perut) buncit dan tajam serta
cappa (ujung) yang runcing. Badik sari ini terdiri dari bagian pangulu (gagang
badik), sumpa kale (tubuh badik) dan banoang (sarung badik). Sementara itu,
badik Bugis disebut kawali, seperti kawali raja (Bone) dan kawali rangkong
(Luwu). Kawali Bone terdiri dari bessi (bilah) yang pipih, bagian ujung agak
melebar serta runcing. Sedangkan kawali Luwu terdiri dari bessi yang pipih
dan berbentuk lurus. Kawali memiliki bagian-bagian: pangulu (ulu), bessi
(bilah) dan wanoa (sarung).
Pada umumnya, badik digunakan untuk membela diri dalam mempertahankan
harga diri seseorang atau keluarga. Hal ini didasarkan pada budaya sirri
dengan makna untuk mempertahankan martabat suatu keluarga. Konsep sirri
ini sudah menyatu dalam tingkah laku, sistem sosial budaya dan cara berpikir
masyarakat Bugis, Makassar dan Mandar di Sulawesi Selatan. Selain itu, ada
pula badik yang berfungsi sebagai benda pusaka, seperti badik saroso, yang
memiliki nilai sejarah. Ada juga sebagian orang yang meyakini bahwa badik
berguna sebagai azimat yang berpengaruh pada nilai baik dan buruk

Gambar 2.7 Senjata Madakapeng Tungke


2. Madakapeng Tungke adalah : salah satu hasil karya panre baitullah, konon
badik ini pada saat penyepuhan di jepit pada kemaluanwanita, sehingga
dipercaya tidak ada orang kebal ketika berhadapan dengan badik ini

Gambar 2.8 Lagecong


3. Lagecong ada dua versi , yang pertama Gecong di ambil nama dari nama sang
pandre (empu) yang bernama la gecong, yang kedua diambil dari bahasa bugis

gecong atau geco, yang bisa diartikan sekali geco (sentuh) langsung mati,
sampai saat ini banyak yang percaya kalau gecong yang asli adalah gecong
yang terbuat dari daun nipah serta terapung di air dan melawan arus, wallahu
alam, panjang gecong biasanya sejengkalan orang dewasa, pamor lonjo,
bentuknya lebih pipih,tipis tapi kuat Pakaian Adat.

3.

Pakaian Adat
1. Pakaian Adat Pernikahan

Gambar 2.9 Pakaian Adat Pernikahan


a. Pengantin Wanita

Busana pengantin menjadi simbol budaya yang dimiliki suatu daerah.


Demikian pula dengan busana pengantin Bugis Makassar. Pengantin wanita
mengenakan busana yang disebut Baju Bodo yang berarti tanpa lengan,
dipadu dengan warna keemasan dari hiasan yang terbuat dari lempengan
berwarna emas. Lempengan emas tersebut dipasang sepanjang pinggiran
bagian bawah dan atas busana. Terkesan mewah dan elegan. Di bagian
bawah, pengantin wanita mengenakan sarung bermotif berhiaskan payet dan
lempengan emas. Tampilan busana semakin mewah dengan kehadiran
perhiasan seperti gelang dan kalung. Di masa lalu, perhiasan tersebut
biasanya terbuat dari emas murni atau perak yang menunjukkan status sosial
si pemakainya. Perhiasan seperti kalung berantai, kalung rantekote, kalung
besar. Sedangkan di tangan juga dpenuhi dengan beragam perhiasan seperti
gelang keroncong bersusun atau biasa disebut bossa, perhiasan lengan atas
(lola), perhiasan lengan bawah (paturu), perhiasan lengan baju sima-sima.
Pada bahu sebelah kiri diselempangkan selendang berwarna keemasan dan
dipindahkan ke bahu sebelah kanan jika selesai akad nikah.
b.

Pengantin Pria
Busana pengantin pria tak kalah elegan dan mewah dengan busana pengantin
wanita. Pengantin pria mengenakan belladada atau serupa dengan jas
berkerah yang dipadu dengan sarung bermotif (tope) dan warna yang sama
dengan yang dikenakan pengantin wanita. Busana ini dipadu dengan
perhiasan keemasan seperti gelang, rante sembang, salempang, kalung, sapu
tangan (passapu ambara), dan keris berbentuk ular naga. Keris yang biasa
digunakan oleh kalangan bangsawan adalah keris dengan kepala dan sarung
terbuat dari emas yang biasa disebut pasattimpo atau tatarapeng.

c. Tata rias yang digunakan


1. Pengantin Wanita
Tata rias pengantin Bugis-Makassar tergolong unik. Pengantin wanita
mengenakan sanggul yang bentuknya berdiri tegak di belakang kepala,
biasa dikenal dengan nama Simpolong Teppong. Sanggul tersebut dipadu
dengan berbagai aksesoris rambut berupa Pinang Goyang (mirip dengan
kembang goyang), Bunga Sibali dan Bunga Simpolong, Mahkota Saloko
(mirip dengan bando yang diletakan di bagian atas kepala). Selain itu,
tatanan rambut pengantin wanita Bugis-Makassar menggunakan hiasan

hitam pada dahi (mirip dengan paes pengantin Jawa) yang disebut Dadesa.
Selain Dadesa, pengantin wanita juga mengenakan anting yang disebut
Bangkara. Semua terkesan mewah dan elegan. Apalagi umumnya
perhiasan yang dikenakan terbuat dari emas.
2. Pengantin Pria :
Untuk pengantin pria, penggunaan Sigarak (penutup kepala) merupakan
sebuah kewajiban. Di bagian depan Sigarak terdapat sebuah hiasan yang
bentuknya mirip dengan kembang goyang. Perhiasan yang hadir hanyalah
Kalung Rante.

2. Pakaian Adat

Gambar 2.10 Pakaian Adat Bugis


Corak kain sarung Bugis ada beberapa macam, di antaranya adalah corak
kotak-kotak kecil yang disebut balo renni. Sementara itu, corak kotak-kotak
besar seperti kain tartan Skotlandia, diberi nama balo lobang. Selain corak
kotak-kotak, terdapat pula corak zig-zag yang diberi nama corak bombang.
Corak ini menggambarkan gelombang lautan. Pola zig-zag ini dapat
diterapkan di seluruh permukaan sarung atau di bagian kepala sarung saja,
adapun bagian kepala sarung justru terletak di area tengah sarung, dan sering
juga corak bombang ini digabungkan dengan corak kotak-kotak.
Selain corak-corak tersebut, ada pula pola kembang besar yang disebut sarung
Samarinda. Meskipun Samarinda berada di Kalimantan Timur, rupanya,

kebudayaan menenun sarung di Samarinda, dibawa oleh masyarakat Bugis


yang mencari suaka ke Kerajaan Kutai Kartanegara akibat perjanjian Bungaja
antara Kerajaan Gowa dan Belanda sekitar abad ke-16. Dan orang Bugis
pendatang itulah yang mengembangkan corak asli tenun Bugis, menjadi tenun
Samarinda, yang kemudian malah memperkaya seni kain tradisional Bugis.

4.

Wadah

Gambar 2.11 Wadah Air Gumbang,Bempa dan busu


a.

Gumbang
Gumbang dibuat dari bahan Batu Padat (Bugis : Batu Bulu) atau batuan sungai
/ kali (Bugis : Batu Salo), melalui proses pemahatan yang memakan waktu dan
tenaga. Bukan hanya saat membuatnya, untuk menemukan bahan bakunya saja
butuh waktu dan tenaga. Jika menggunakan bahan batu padat, maka para
pallangro batu (perajin/pemahat batu) akan mencarinya dipunggung-punggung
bukit. Tempat penggalian ini, disebut Abbatung (Tambang Batu).
Jika dengan batu kali, maka biasanya tidak dipotong lagi berbentuk kotak. Tapi
utuh, langsung diangkat. Batu terpilih tadi selanjutnya dipotong sesuai dengan

ukuran yang dibutuhkan. Rata-rata berukuran 100 Cm x 80 Cm. Kotak batu ini
selanjutnya dipikul oleh beberapa orang menuju tempat para perajin pahat
batu. Setelah melewati proses pemahatan yang rumit, lalu Gumbang berbentuk
tabung dengan tinggi sekitar 80 Cm daeng diameter sekitar 60 Cm pada bagian
bawah

dan

50

Cm

pada

mulut

gumbang

tadi.

Angka-angka tadi memiliki makna filosofis, 80 dengan angka pokok 8 dalam


bahasa Bugis disebut Aruwa. Sebuah kata yang memiliki kesamaan bunyi
dengan kata Ruwaa (Ramai). Angka 6 pada angka 60, berfilosofi dengan kata
Manenneng (Sedih), sementara angka 5 pada angka 50 berfilosofi dengan kata
Lima (Tangan). Secara utuh, dalam filosofi ini terangkum dalam bahasa Bugis
yang berbunyi. Ruwa-ruwasi lise gumbangmu, anengnengko narekko dee
maratte limai lisena.artinya: Penuhilah Gumbang-mu dengan air, bersedihlah
jika tanganmu tak lagi mampu menggapai permukaan airnya.
Dalam kesehariannya, gumbang ini dipakai untuk menampung air yang akan
digunakan untuk keperluan Mandi, Cuci dan Kakus. Saat anda melakukan
kegiatan tersebut tadi ,lalu anda harus melakukannya dengan posisi jongkok
disamping gumbang tadi. Runyamnya, saat persediaan air dalam gumbang tadi
menipis dengan tangan anda (dengan bantuan gayung),Jika tak mampu lagi
menimba airnya, anda harus berdiri atau setengahberdiri untuk mengambil air.
Disebut gumbang karena bentuknya yang menggembung pada bagian
pertunya. Ibarat perut manusia yang buncit begitulah rupa badan gumbang ini.
Perut buncit dalam bahasa Bugis adalah Maggumbang Babuana. Jadi buncit
sama dengan gumbang
b.

Bempa dan Busu


Untuk menyimpan air sebagai bahan baku memasak, masyarakat suku bugis
menggunakan Bempa. Sedangkan untuk menyimpan air minum yang telah
direbus,dipergunakanlah Busu. Meski ada yang terbuat dari bahan batu padat
atau batu kali, kebanyak Bempa dan Busu berupa hasil kerajinan tangan
berbahan tanahliat. Meski memiliki ukuran yang sama dengan Gumbang.
Bempa dapat dikenali dari bentuknya yang lebih langsing, tapi tidak merit.
Silinder serupa tabung dengan mulut lebih kecil. Sementara Busu, ukurannya
jauh lebih kecil, tak lebih dari tellu jakka x tellu jakka (Jangka) tangan dewasa.
Bentuk serupa dengan Gumbang,dengan perut buncitnya.Jika bertamu
kerumah karib kerabat, saya dapat membedakan mana air yang berasal dari

Busu atau berasal dari wadah ember apalagi dari galon. Air minum dari busu
akan terasa segar dengan hawa dingin yangunik.
Berbeda dengan rasa dingin dari lemari pendingin.Pernahkah anda disuguhi air
minum berwarna semburat merah, tapi tak menyertakan rasa manis ataupun
pahit. Inilah yang disebut wai seppang, sesungguhnya ia adalah air minum
biasa yang dipewarna, hasil dari penguraian warna alami yang terkadung
dalam aju seppang (Kayu Secang / Latin : Sappan lignum). Cara membuatnya
mudah, serpihan-serpihan aju seppang cukup dimasukkan dalam busu, biarkan
ia disana sepanjang waktu. Kandungan warna alami pada sekerat aju seppang
seberat 1 ons, akan mampu mewarnai 10 liter air minum. Bila anda sedang di
kota Yogyakarta atau Solo, carilah minuman Wedang Uwuh, didalamnya ada
aroma dan warna aju seppang tadi.
c.

Si Labu Pahit
wadah untuk membawa air wudhu yang terbuat dari Kaddaro Bila (Pohon
Maja / Latin : Aegle marmelo). Atau yang terbuat dari Buah Lawo Pai (Labu
Pahit/Latin), di Tanah Bugis disebut Tarompang. Masih adalagi Bira Awo,
wadah yang dari bambu.Kaddaro Bila.
Membuat kaddaro bila sangatlah sulit dan memakan waktu setidaknya 1 Bulan.
Dimulai dengan memilih buah maja yang sudah tua, dengan batok yang keras
dan mengeluar bunyi nyaring bila diketuk. Buah maja selanjut diberi 4 lubang
pada bagian atas. Dua lubang berdiameter 3-4 Cm dibuat sejajar. Lubang
sebagai lubang saluran memasukkan air, satu lubang lagi untuk jalur keluarnya
udara, yang tertekan akibat tekanan massa air yang masuk. Dua lubang lainnya
dengan diameter 0,5 cm dibuat berjajar pula tepat diatas 2 lubang besar tadi.
Berfungsi sebagai lubang untuk memasukkan tali pengait bagi wadah air ini
ketika dijinjing atau dipikul. Ingat, lubang ini harus dibuat tepat ditengah dan
presisi. Jika tidak, dipastikan air anda akan terbuang akibat guncangan saat
dijinjing atau dipikul.Setelah lubang dibuat, selanjutnya isi dari buah maja tadi
dikeluarkan semua dengan cara dikerok, lalu dibersihkan. Batok buah maja tadi,
kemudian di keringkan, bukan dijemur dibawah terik matahari. Agar lebih awet
dan tidak gampang pecah. Setelah kering, sebelum digunakan batok tadi
dipendam dilumpur sawah, setidaknya 5 7 hari.

4. Makanan Dan Minuman


1. Makanan

Gambar 2.12 Makanan Coto Makasar


a. Coto Makassar atau Coto Mangkasara adalah makanan tradisional
Makassar, Sulawesi Selatan. Makanan ini terbuat dari jeroan
(isi perut) sapi yang direbus dalam waktu yang lama.
Rebusan jeroan bercampur daging sapi ini kemudian diirisiris lalu dibumbui dengan bumbu yang diracik secara
khusus. Coto dihidangkan dalam mangkuk dan dimakan
dengan ketupat dan "burasa". Saat ini Coto Mangkasara
sudah menyebar ke berbagai daerah di Indonesia, mulai di
warung pinggir jalan hingga restoran. Dan direncanakan
mulai bulan November 2008 Coto Makassar akan menjadi
salah satu menu pada penerbangan domestik Garuda
Indonesia dari dan ke Makassar. Makanan ini mirip dengan
sop sodara.

Gambar 2.13 Makanan Pallubasa


b. Pallubasa adalah makanan tradisional Makassar, Sulawesi Selatan. Seperti

Coto Mangkasara (Coto Makassar), Pallubasa juga terbuat dari jeroan (isi
dalam perut) sapi atau kerbau. Proses memasak pun hampir sama dengan
Coto Makassar, yakni jeroan direbus dalam saktu lama. Setelah matang,
jeroan

ditambah

dengan

daging

itu

diiris-iris,

kemudian

ditaruh/dihidangkan dalam mangkuk.Yang membedakan dengan Coto


Makassar adalah bumbunya yang diracik khusus. Kemudian kalau Coto
Makassar dimakan bersama ketupat, sementara Pallubasa dimakan
bersama nasi putih.

Gambar 2.14 Makanan Pisang Epe


c. Pisang Epe adalah Menu makanan yang terbuat dari pisang kepok yang
masih mengkal,di panggang sejenak dan di sajikan dengan siraman cairan
gula merah,dan sedikit taburan kelapa atau kacang tumbuk ini, dapat anda
jumpai di beberapa caf seperti Caf Gigi atau di sepanjang pinggiran
pantai Losari. Jajanan ini memang cocok disantap sambil menikmati
indahnya sunset di Pantai Losari, makanya tempat ini selalu ramai di
kunjungi oleh muda-mudi.

Gambar 2.15 Makanan Kanro


d. Kanro adalah masakan khas daerah yang disajikan berupa sop berkuah
maupun dibakar dengan bahan-bahan dasar seperti tulang rusuk sapi atau
kerbau, dimasak/dibakar dengan bumbu ketumbar, jintan, sereh, kaloa,
bawang merah, bawang putih, garam, vitsin yang sudah dihaluskan. Sop
Konro pada umumnya disajikan/dimakan bersama nasi putih dan sambal.

Gambar 2.16 Makanan Songkolo


e.

Songkolo adalah makanan yang terbuat dari beras ketan yang dikukus.
Beras ketan bisa yang hitam atau yang biasa atau
selera.

Penganan

Songkolo,

bisa

dimasak

putih, tergantung
bersama

santan.

Di beberapa daerah di Sulawesi Selatan, penyajian Songkolo bisa


berbeda, ada yang toping kelapanya segar berwarna putih, ada yang
kelapanya sudah di sangrai seperti serundeng ada juga yang penyajiannya

memakai santan kental yang sudah didihkan dan menjadi sari pati . Atau
gula merah kental campur kuning telur yang disebut Palopo.

Gambar 2.17 Makanan Barongko


f. Barongko adalah makanan penutup khas daerah Bugis Makassar yang
dibuat dari buah Pisang Kepok matang yang dikukus dengan daun pisang.
Dahulu paada masa pemerintahan kerajaan di Sulawesi Selatan,
Barongko merupakan makanan penutup yang mewah, dan hanya
disajikan untuk Raja-raja, dan disajikan pada moment-moment tertentu,
seperti acara perkawinan, ulang tahun, dan lain. lain. Untuk menambah
cita rasa dan selera, bahan dasar Barongko biasanya ditambah dengan
irisan buah Nangka atau Kelapa muda.

Gambar 2.18 Makanan Bebek Cincang Bumbu Pedas


g. Bebek Cincang Bumbu Pedas
Nasu Palakko, masakan khas bugis, kususnya di daerah Sidrap dan
Pinrang, Sulawesi Selatan. Penggemar bebek pasti akan menyukai
masakan ini. Daging bebeknya empuk, tidak amis dan kaya bumbu. Yang
istimewa lagi dari bebek ini adalah, rasanya yang luar biasa pedas.
Bebek yang dimasak bumbu pedas ini, dipotong kecil-kecil, isinya terdiri
dari leher, kepala dan jeroan bebek. Kaya bumbu khas bugis, super pedas,
lebih pedas dari bebek goreng yang ada di Bukan Bebek Biasa.
Makan Bebek ini kepala rasanya berasap, keringat bercucuran dan mata
memerah. Sebagai penawar pedas, siapkan Pisang Belanda yang manis
meresap.

2. Minuman

Gambar 2.19 Minuman Es Pisang Ijo


a. Es pisang ijo
adalah hidangan khas dari Ujung Pandang, hidangan ini paling enak jika
dinikmati pada saat cuaca panas. Es pisang ijo terbuat dari pisang raja atau
kepok, dibungkus dengan tepung terigu yang sudah diberi santan dan air
daun pandan atau pasta pandan sebagai pewarna dan pengharum sehingga
berwarna hijau, disajikan dengan saus yang diberi es serut, kacang
goreng/sangrai yang ditumbuk kasar dan sirup. Jadi kata ijo itu bukan
menunjukkan bahwa jajanan ini terbuat dari pisang hijau tetapi dari
tepung pembungkusnya yang berwarna hijau dari daun pandan.

Gambar 2.20 Minuman Ballo/Alkohol


b. Ballo (Minuman Alkohol)
Jenis minuman permentasi beralkohol ditemukan hampir di berbagai
daerah dengan nama yang berbeda. Di Maluku dikenal dengan nama Sofi,
Ciu di Jawa Tengah sedang di Sulawesi Selatan dalam bentuk Tuak yang
akrab dikenal dengan nama Ballo.Minuman keras tradisional Bugis
Makassar bentuk Tuak yang dikenal dengan nama Ballo ini terdiri dari
beberapa macam bahan sesuai dengan jenis pohonnya yaitu Palem, Nipa
dan Tala / Lontara. Jenis pohon yang menjadi bahan bakunya ditanam
sesuai dengan kondisi setempat antara lain Pohon Palem banyak tumbuh
di wilayah yang dekat dengan perairan sungai dan pegunungan. Pohon
Nipa sebagian besar ditemukan di wilayah pesisir pantai dan Pohon
Lontara banyak ditemukan didaerah dataran tanah kering batuan.
Produksi paling populer dari pohon-pohon palem hasil penyadapannya
sebenarnya untuk Gula Merah. Jenis pohon ini dapat dengan mudah
ditemukan hampir ditemukan disetiap wilayah utara wilayah Toraja.
Sementara pohon Tala yang dikenal sebagai pohon Lontara lebih banyak
ditemukan di seluruh wilayah Gowa dan bagian wilayah selatan.

Di Tana Toraja, minuman permentasi tradisional ini telah menjadi


minuman standar, terutama untuk pelengkap di tengah acara besar. Ballo
menjadi salah satu perioritas yang harus ada dalam ritual tradisional
budaya Tana Toraja yang dalam bahasa Toraja disebut inruk . Dalam
ritual tradisional atau adat pesta Toraja, Ballo selalu ada, baik sebagai
kelengkapan upacara, serta minuman untuk para tamu. Masyarakat yang
tinggal di pegunungan ini memiliki sudut pandang lain tentang Ballo.
Minum Ballo, dijadikan sebagai media menghangatkan tubuh dalam
udara dingin selain itu diyakini pula dapat menambah energi.
Pohon Lontar pun menjadi tanaman khas Gowa, Pohon Lontar kemudian
digunakan sebagai simbol maskulinitas bagi pria. Hampir seluruh bagian
pohon ini berguna untuk kehidupan manusia. Misalnya, batang yang
digunakan sebagai tiang rumah atau bidang bajak. Sementara seratnya
dibuat topi atau anyaman lainnya. Buahnya bisa dimakan langsung dan
dapat digunakan sebagai makanan ringan. Selain itu buah Tala dapat
diolah menjadi gula dan dari fermentasi minuman buah Tala itulah
kemudian muncul racikan permentasi tradisional Makassar yang disebut
Ballo. Ballo ini berupa tuak yang diyakini adalah jenis minuman yang
dapat memaksimalkan energi untuk bekerja dan beraktifitas.

Gambar 2.21 Minuman Es Pallubutung


c. Es Pallubutung adalah Paduan Pisang Raja dan Kuah putih makanan
penutup sangat populer dari Makassar, Sulawesi Selatan. Es ini biasa
tersaji di warung-warung atau rumah makan yang menu utamanya Coto
Makassar, karena memang dua hidangan berasal dari daerah yang sama.

6.

Alat Transportasi

Gambar 2.22 Perahu Pinisi


1.

Perahu Penisi/Pinisi,
Adalah jenis perahu dagang Bugis-Makassar dalam ukuran besar (20 sampai
100 ton). Jenis perahu ini mengarungi laut-laut besar dalam abad-abad lalu
menghubungkan Makassar dengan kepulauan Nusantara baik di Timur
maupun di Barat. Jenis perahu ini mempunyai dua tiang agung dengan layar
berlapis-lapis di bagian depan, pada dua tiang agung, ditambah dua buah
layar kecil pada masing-masing puncak tiang agung. Kemudian yang
terpasang di belakang ada dua buah. Dahulu kala perahu jenis ini dipakai
juga oleh armada-armada perang orang Bugis-Makassar untuk mengangkut
tenaga-tenaga perang dan perlengkapannya, hanya saja jarang dipergunakan
untuk perang laut, karena untuk penyerangan dan peperangan di laut
dipergunakan jenis lain yang lebih lincah dan lebih cepat. Penisi, selaku
perahu niaga, dipimpin oleh seorang Ana'koda (nakhoda), juru mudi, juru
batu dan awak perahu lainnya yang disebut sawi. Perahu dagang jenis penisi,
sampai sekarang masih dipergunakan untuk pelayaran niaga interinsuler yang
dapat dijumpai di semua pelabuhan di negeri kita.

Gambar 2.23 Perahu Lambo (Palari)


2. Perahu Lambo' (Palari)
Adalah jenis perahu dagang Bugis-Makassar dalam ukuran lebih kecil dari
pinisi (10 sampai 50 ton). Sama halnya dengan pinisi, jenis ini pun dapat
mengarungi laut yang jauh-jauh untuk mengangkut barang-barang niaga
antarpulau. Bedanya dengan pinisi, lambo' palari, hanya mempunyai satu
tiang agung, dengan layar berlapis-lapis dibagian depan, layar utama dan
layar tambahan di puncak tiang agung.

Gambar 2.24 Perahu soppe

3. Perahu Soppe',
Adalah juga jenis perahu dagang orang bugis makassar, dalam ukuran kecil
( 1 sampai dengan 10 ton) dipergunakan untuk angkutan barang-barang
dagangan antar pulau sekitar pantai-pantai Sulawesi Selatan. Juga biasa
dipergunakan untuk mengangkut penumpang antar pulau.
7. Rumah Adat

Gambar 2.25 Rumah Adat Suku Bugis


Rumah bugis memiliki keunikan tersendiri, dibandingkan dengan rumah
panggung dari suku yang lain ( Sumatera dan Kalimantan ). Bentuknya
biasanya memanjang ke belakang, dengan tanbahan disamping bangunan
utama dan bagian depan [ orang bugis menyebutnya lego lego]. Karena
rumah suku bugis Berbentuk panggung maka terdiri atas tingkat atas, tengah,
dan bawah.Tingkat atas digunakan untuk menyimpan padi dan bendabenda pusaka. Tingkat tengah, yang digunakan sebagai tempat tinggal,
terbagi atas ruang-ruang untuk menerima tamu, tidur,makan dan dapur.
Tingkat dasar yang berada di lantai bawah diggunakan untuk menyimpan
alat-alat pertanian, dan kandang ternak.Rumah tradisional bugis
dapat juga digolongkan berdasarkan status pemiliknya atau berdasarkan
pelapisan sosial yang berlaku.Berikut adalah bagian - bagiannya utamanya :

1. Tiang utama ( alliri ).Biasanya terdiri dari 4 batang setiap barisnya.


jumlahnya tergantung jumlah ruangan yang akan dibuat. tetapi pada
umumnya, terdiri dari 3 / 4 baris alliri. Jadi totalnya ada 12 batang alliri.
2. Fadongko, yaitu bagian yang bertugas sebagai penyambung dari alliri di
setiap barisnya.
3. Fattoppo, yaitu bagian yang bertugas sebagai pengait paling atas dari alliri
paling tengah tiap barisnya.
MATA PENCAHARIAN
Karena masyarakat Bugis tersebar di dataran rendah yang subur dan pesisir, maka
kebanyakan dari masyarakat Bugis hidup sebagai petani dan nelayan. Mata
pencaharian lain yang diminati orang Bugis adalah pedagang. Selain itu masyarakat
Bugis juga mengisi birokrasi pemerintahan dan menekuni bidang pendidikan.
C. SISTEM KEKERABATAN DAN KEMASYARAKATAN
1. Sistem Kekerabatan
Di daerah Sulawesi Selatan sangat menonjol perasaan kekeluargaan. Hal ini
mungkin didasarkan pada anggapan bahwa masyarakat Sulawesi Selatan berasal
dari satu rumpun. Raja-raja di Sulawesi Selatan telah saling terikat dalam
perkawinan, sehingga ikatan hubungan kekeluargaan semakin erat. Menurut Sure
Lagaligo (catatan surat Lagaligo dari Luwu) bahwa keturunan raja berasal dari
Batara Guru yang kemudian beranak cucu. Keturunan Barata Guru kemudian
tersebar ke daerah lain. Oleh karena itu perasaan kekeluargaan tumbuh dan
mengakar di kalangan raja di Sulawesi Selatan.
Dalam masyarakat Sulawesi Selatan ditemukan sistem kekerabatan. Sistem
kekerabatan tersebut adalah sebagai berikut:
a. Keluarga inti atau keluarga batih. Keluarga ini merupakan yang terkecil. Dalam
bahasa Bugis keluarga ini dikenal dengan istilah Sianang , di Mandar Saruang
Moyang, di Makassar Sipaanakang/sianakang, sedangkan orang Toraja
menyebutnya Sangrurangan. Keluarga ini biasanya terdiri atas bapak, ibu,
anak, saudara laki-laki bapak atau ibu yang belum kawin.
b. Sepupu, Kekerabatan ini terjadi karena hubungan darah. Hubungan darah
tersebut dilihat dari keturunan pihak ibu dan pihak bapak. Bagi orang Bugis
kekerabatan

ini

mengistilkannya

disebut
dengan

dengan

istilah

Sipamanakang.

Sompulolo,
Mandar

orang

Sangan

Makassar

dan

Toraja

menyebutkan Sirampaenna. Kekerabatan tersebut biasanya terdiri atas dua

macam, yaitu sepupu dekat dan sepupu jauh. Yang tergolong sepupu dekat
adalah sepupu satu kali sampai dengan sepupu tiga kali, sedangkan yang
termasuk sepupu jauh adalah sepupu empat kali sampai lima kali.
c. Keturunan, Kekerabatan yang terjadi berdasarkan garis keturunan baik dari
garis ayah maupun garis ibu. Mereka itu biasanya menempati satu kampung.
Terkadang pula terdapat keluarga yang bertempat tinggal di daerah lain. Hal ini
bisanya disebabkan oleh karena mereka telah menjalin hubungan ikatan
perkawinan dengan seseorang yang bermukim di daerah tersebut. Bagi
masyarakat Bugis, kekerabatan ini disebut dengan Siwija orang Mandar Siwija,
Makassar menyebutnya dengan istilah Sibali dan Toraja Sangrara Buku.
d.
Pertalian sepupu/persambungan keluarga, Kekerabatan ini muncul setelah
adanya hubungan kawin antara rumpun keluarga yang satu dengan yang lain.
Kedua rumpun keluarga tersebut biasanya tidak memiliki pertalian keluarga
sebelumnya. Keluraga kedua pihak tersebut sudah saling menganggap keluarga
sendiri. Orang-orang Bugis mengistilakan kekerabatan ini dengan Siteppangteppang, Makassar Sikalu-kaluki, Mandar Sisambung sangana dan Toraja
Sirampe-rampeang.
e. Sikampung, Sistem kekerabatan yang terbangun karena bermukim dalam satu
kampung, sekalipun dalam kelompok ini terdapat orang-orang yang sama
sekali tidak ada hubungan darahnya/keluarga. Perasaan akrab dan saling
menganggap saudara/ keluarga muncul karena mereka sama-sama bermukim
dalam satu kampung. Biasanya jika mereka berada itu kebetulan berada di
perantauan, mereka saling topang-menopang, bantu-membantu dalam segala
hal karena mereka saling menganggap saudara senasib dan sepenaggungan.
Orang Bugis menyebut jenis kekerabatan ini dengan Sikampong, Makassar
Sambori, suku Mandar mengistilakan Sikkampung dan Toraja menyebutkan
Sangbanua.
Kesemua kekerabatan yang disebut di atas terjalin erat antar satu dengan yang lain.
Mereka merasa senasib dan sepenanggungan. Oleh karena jika seorang
membutuhkan yang lain, bantuan dan harapannya akan terpenuhi, bahkan mereka
bersedia untuk segalanya.
Dalam sistem perkawinan adat Bugis terdapat perkawinan ideal :
a. Assialang maolaIalah perkawinan antara saudara sepupu derajat kesatu, baik dari
pihak ayah maupun ibu.

b.

assialanna memangialah perkawinan antara saudara sepupu derajat kedua, baik


dari pihak ayah maupun ibu.

c.

ripaddeppe abelaeialah perkawinan antara saudara sepupu derajat ketiga, baik


dari pihak ayah maupun ibu atau masih mempunyai hubungan keluarga Adapun
perkawinan perkawinan yang dilarang dan dianggap sumbang (salimara):
1. perkawinan antara anak dengan ibu / ayah
2. perkawinan antara saudara sekandung
3. perkawinan antara menantu dan mertua
4. perkawinan antara paman / bibi dengan kemenakan
5. perkawinan antara kakek / nenek dengan cucu

2. Sistem Kemasyarakatan
a.Organisasi

Pemberdayaan

dan

Kemasyarakatan

Tingkat

Kelurahan

1. Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPM) Kelurahan Kampung Bugis


2. TP-PKK Kelurahan Kampung Bugis
3. Karang Taruna Alam Bahari Kelurahan Kampung Bugis
4. Lembaga Usaha Simpan Pinjam Masyarakat mKelurahan Kampung Bugis.
5. Forum Kemitraan Polisi Masyarakat (FKPM) Kelurahan Kampung Bugis
6. Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) PNPM Mandiri Perkotaan
.
b.Organisasi Profesi :
1. Persatuan Pedagang Kaki Lima (PKL) Pelabuhan Buleleng
2. Kelompok nelayan Mina BahariKelurahan kampung bugis
3. Gabungan Kelompok Tani Gapoktan Bugis Indah Kel.kampung Bugis.

c. Organisasi Keagamaan :
1. Kelompok Rukun Kematian (Fardlu Kipayah)
d. Organisasi Kesenian :
1. Seni Hadrah/Qosidah Nurul Muslimin Kampung Bugis
2. Seni Barong Sai Bahana Surya Dharma
e. TITD
1. Organisasi Olah Raga :
2. Persatuan Bulutangkis YUS PUTRA Kampung Bugis
3. Persatuan Sepak Bola MKS Singaraja
4. Persatuan Tenis Meja (PTM) PANTURA Kampung bugis.
D. BAHASA

Gambar 2.26 Bahasa Aksara Suku Bugis


Bahasa Bugis adalah bahasa yang digunakan etnik Bugis di Sulawesi Selatan, yang
tersebar di kabupaten sebahagian Kabupaten Maros, sebahagian Kabupaten Pangkep,
Kabupaten Barru, Kota Pare-pare, Kabupaten Pinrang, sebahagian kabupaten
Enrekang,

sebahagian

Sidenrengrappang,

kabupaten

Kabupaten

Majene,

Kabupaten

Soppeng,Kabupaten

Wajo,

Luwu,

Kabupaten

Kabupaten

Bone,

Kabupaten Sinjai, Kabupaten Bulukumba, dan Kabupaten Bantaeng. Masyarakat


Bugis memiliki penulisan tradisional memakai aksara Lontara. Pada dasarnya, suku
kaum ini kebanyakannya beragama Islam Dari segi aspek budaya, suku kaum Bugis
menggunakan dialek sendiri dikenali sebagai Bahasa Ugi dan mempunyai tulisan

huruf Bugis yang dipanggil aksara Bugis. Aksara ini telah wujud sejak abad ke-12
lagi sewaktu melebarnya pengaruh Hindu di Kepulauan Indonesia.

E.KESENIAN DAN UPACARA ADAT


a) Kesenian
1. Sastra

Gambar 2.27 Legenda"I La Galigo"


a. Legenda"I La Galigo" Buang Sauh Di Makassar
Lakon

La

Galigo

buang

sauh

di

Makassar.

Sebagian

orang

Bugis

menyambutnya seperti menyambut pengembara yang baru pulang kampung.


Buat mereka, ini bukan sekadar soal pertunjukan, melainkan soal legenda
yang sempat memudar dalam ingatan.Puang Matoa Saidi duduk di panggung yang
hening.Tiba-tiba dari mulutnya keluar suara serupa mantra. Kisah I La Galigo pun
mengalir mulai turunnya Batara Guru dari langit ke bumi dan penciptaan seisi
dunia.Kemudian lahirlah Sawerigading dan saudara kembarnya (perempuan),We
Tenriabeng.Kisah berlanjut, Sawerigadingjatuh cinta kepada Tenriabeng.
Namun,cintanya tidak direstui semesta.Cucu Batara Guru itu lantas mengembara
ke langit, keliling dunia, hingga pammasareng (akhirat). Dia bersumpah

tidak akan kembali ke Luwu meski sumpah itu akhirnya ia langgar.Pementasan I La


Galigo dalam bentuk teater kontemporer itu tiba-tiba seperti memutar kembali ingatan
orang Bugis tentang legenda nenek moyangnya."Pementasan itu menyadarkan tentang
siapa kita sebenarnya,"ujar Riri Riza, sutradara film berdarah Bugis yang
menyaksikanpementasan teater I La Galigo, akhir April lalu di Benteng
Rotterdam,Makassar, Sulawesi Selatan."Pementasan ini menghadirkan kembali
kebanggaan kami sebagai keturunan Sawerigading meski kami tidak bisa menuturkan
legenda itu karena kami sudah lupa," kata Yayath Pangerang, tokoh masyarakat dari
Luwu Timur.Legenda I La Galigo memang seperti kisah asing di negerinya sendiri.
Tidak banyak yang memahaminya kecuali para peneliti danpembaca naskah tua
Bugis.Penjaga Toko Indonesia di Jalan Sombu Opu,Makassar, misalnya, gagap ketika
ditanya apa itu I La Galigo."Dia mungkin bangsawan," kata penjaga toko yang
satu."Bukan bangsawan. I La Galigo itu nama alat musik," timpal penjaga tokoh.
Begitulah

kenyataannya.

Karena

itu,

banyak

orang

berterima

kasih

kepada Rhoda Grauer, Bali Purnati, dan Robert Wilson yang mengangkat
legenda

LaGaligo

dalam

pementasan

teater

kontemporer. Legenda

itu

kemudian dibawa ke panggung teater prestisius di sejumlah negara.Terlepas dari


adanya

sejumlah

kritik,

La Galigo dikenal luas di dunia.

b.Legenda goa mampu

pementasan

itu

membuat

legenda

Gambar 2.28 Legenda Goa Mampu


Goa Mampu adalah gua terluas di Sulawesi Selatan, legenda gua Mampu ini jauhnya
kira-kira 140 km dari kota Makassar. dalam penambahan untuk stalagmites dan
stalagtites terdapat susunan batu yang mirip dengan sosok manusia dan binatang,
semuanya memiliki legenda yang nyata.
Gua yang terletak di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan ini, tidak hanya sekedar gua.
Terlebih buat masyarakat di sekitar Gua Mampu, demikian nama gua ini. Gua
Mampu, sarat dengan cerita legenda yang begitu dipercaya. Gua Mampu yang luasnya
sekitar 2000 meter persegi, terletak di Desa Cabbeng, Kecamatan Dua Boccoe, yang
berjarak 34 kilometer dari Watampone, ibukota Kabupaten Bone.
Legenda Alleborenge Ri Mampu, yang berkembang seputar gua, diyakini secara
turun-temurun, sebagai suatu kebenaran. Konon, di Gua Mampu ini pernah berdiri
Kerajaan Mampu. Namun karena kutukan dewa, penghuni kerajaan ini, termasuk
binatang dan benda-benda lainnya berubah menjadi batu.
Bongkahan batu yang mirip manusia, binatang, dan lainnya, memang banyak ditemui
di dalam gua ini. Gambaran ini bak diorama kehidupan manusia di jaman dulu, di
masa-masa Kerajaan Mampu.
Legenda yang berkembang tentang Gua Mampu ini, juga ditemui dalam lontar Bugis
kuno, yang berkisah tentang perkampungan yang terkena kutukan sang dewata. Di
dalam Gua Mampu, juga ditemui stalagtit dan stalagmit yang menambah keindahan
interiornya.
Gua yang terbentuk dari proses alam, selama ratusan tahun ini, belum seluruhnya
berhasil ditelusuri. Bahkan belum separuhnya. Baru 700 dari 2000-an meter persegi
yang berhasil dilihat. Namun demikian, cerita legenda yang berkembang pada
masyarakat tentang Gua Mampu, telah membuat gua ini dikunjungi banyak orang.
Motivasinya macam-macam. ada yang sekedar melihat-lihat, ada pula yang mencari
berkah, yang rela bermalam di dalam gua. Para pengunjung, tidak bisa langsung
begitu saja memasuki gua. Mereka harus melengkapi dirinya dengan alat penerangan.

Sejumlah bocah kecil dengan obor bambu di tangan, telah siap mengantar pengunjung
menelusuri gua.
Bocah-bocah ini selain menyewakan obor bambunya, juga mampu menjadi pemandu
gua yang baik. Mereka paham cerita seputar gua, lengkap dengan bumbu-bumbunya.
Hari Minggu, dan hari besar keagamaan, menjadi hari-hari yang ditunggu anak-anak
ini.
Pada saat-saat itu pengunjungnya membludak, yang artinya mendatangkan rezeki
lebih banyak buat mereka. Selama 2 jam mendampingi pengunjung gua, biasanya
anak-anak kecil seperti ini, mendapat tips lima ribu rupiah.
Sayangnya, obor bambu yang banyak dipakai ini, asapnya menyisakan arang hitam
yang menempel di atap dan dinding gua. Sehingga kesan kotor, sulit dihindari. Namun
meski demikian, kawanan kalelawar yang bersarang di gua ini, masih setia mendiami
Gua Mampu. Bahkan kehadirannya yang telah puluhan tahun ini, mewarnai Gua
Mampu.
Kesakralan Gua Mampu, masih terjaga hingga kini. Tinggal bagaimana masyarakat
sekitar gua, menjaga cerita legenda yang menghiasi gua ini. (sumber: Teluk Bone).

c.Dongeng I laurang

Gambar 2.29 Dongeng I laurang


Di kalangan masyarakat Bugis Sulawesi Selatan, Indonesia, beredar sebuah cerita
rakyat tentang seorang pemuda bernama I Laurang. I laurang dalam bahasa Bugis
terdiri dari tiga suku kata, yaitu I, la dan urang. I berarti si (menunjuk kepada
seseorang), la berarti dia laki-laki, dan urang berarti udang. Jadi, I laurang berarti si
laki-laki udang atau manusia udang. Dalam cerita itu, I Laurang dikisahkan menjadi
rebutan tujuh orang putri raja. Mengapa pemuda itu dinamakan I Laurang dan
menjadi rebutan para putri raja? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita I Laurang
berikut ini. Alkisah, di sebuah daerah di Sulawesi Selatan, Indonesia, ada sepasang
suami-istri yang sudah lama menikah, namun belum juga dikaruniai anak.
Mereka sangat menginginkan kehadiran seorang anak agar hidup mereka tidak
kesepian. Oleh karena itu, setiap malam mereka senantiasa berdoa kepada Tuhan.
Namun, hingga berusia paruh baya, mereka belum juga dikaruniai anak. Akhirnya,
mereka pun mulai putus asa. Pada suatu malam, kedua suami-istri itu berdoa kepada
Tuhan dengan berkata : Ya Tuhan, karuniakanlah kepada kami seorang anak,
walaupun hanya berupa seekor udang!Beberapa lama kemudian, sang Istri pun hamil
dan melahirkan. Namun, alangkah terkejutnya sang Istri saat melihat bayi yang keluar
dari rahimnya adalah seorang bayi laki-laki yang berbentuk dan berkulit udang. Ia
dapat hidup di darat maupun dalam air. Oleh karena itu, ia diberi nama I Laurang
(Manusia Udang).

sekilas cerita I Laurang tai dari daerah Sulawesi Selatan, Indonesia. Cerita di atas
termasuk dongeng yang mengandung nilai-nilai moral. Salah satu nilai moral yang
dapat diambil dari cerita di atas adalah akibat yang ditimbulkan dari sifat iri hati dan
dengki. Sifat ini tergambar pada sikap dan perilaku keenam putri raja yang iri hati dan
dengki kepada adiknya dan mencoba untuk membunuhnya. Pelajaran yang dapat
diambil dari cerita ini adalah bahwa sifat iri hati dan dengki dapat menimbulkan
kebencian yang mengarah pada suatu tindakan kekerasan terhadap orang lain dan
bahkan terhadap keluarga sendiri.Dari cerita ini juga dapat diambil sebuah pelajaran
bahwa orang-orang yang teraniaya akan selalu dilindungi oleh Tuhan Yang
Mahakuasa. Sebaliknya, orang yang suka iri hati dan dengki akan dibenci oleh Tuhan.
Dikatakan dalam ungkapan Melayu: kalau suka dengki mendengki, orang muak
Tuhan pun benciPelajaran lain yang dapat dipetik dari cerita di atas bahwa jika kita
berdoa kepada Tuhan, hendaknya lebih berhati-hati. Di samping itu juga, sebaiknya
kita harus berlapang dada menerima semua pemberian Tuhan apapun bentuknya,
karena terkadang di balik pemberian itu terdapat sebuah hikmah yang bermanfaat
yang tidak pernah kita duga sebelumnya.

2.Seni Rupa

Gambar 2.30 Songket Makassar

a. Songket Makassar
Keberadaan kain songket menunjukan sebuah tingkat kebudayaan yang tinggi, sebab
dalam kain ini tersimpan berbagai hal seperti bahan yang digunakan, cara pengerjaan,
makna yang terkandung didalamnya sekaligus cara penggunaanya dan tingkatan
orang yang memakainya. motif untuk kain tenun ini memiliki berwarna-warni serta
benang berwarna keemasan sehingga menampilkan kemewahan. Rangkaian benang
yang tersusun dan teranyam rapih lewat pola simetris menunjukan bahwa kain ini
dibuat dengan keterampilan masyarakat yang memahami berbagai cara untuk
membuat kain bermutu yang sekaligus mampu menghias kain dengan beragam desain
Masyarakat Bugis Makassar dan Mandar, menggunakan peralatan tradisional mereka
secara turun temurun untuk memproduksi kain sutra mereka. Peralan tersebut mereka
buat sendiri dalam komunitas. Baik peralatan pemeliharaan ulat sutra, memintal
benang, pewarnaan benang, sampai pada peralan tenunan. Bahan-bahannya mereka
ambil dari alam yang ada disekitar mereka, seperti kayu dari berbagai jenis pohon,
bambu, buah-buahan dan daun-daunan yang digunakan sebagai bahan pewarna.
Dalam waktu yang cukup lama masyarakat Nusantara khususnya yang ada di daerah
Bugis, Makassar dan Mandar tetap mempertahankan alat tenun tradisionl mereka.

Selajan dengan itu tenunan tradisional khususnya kain sutra terus diproduksi oleh
masyarakat. Kegiatan menenun menjadi salah satu mata pencarian masyarakat
khususnya kaum perempuan di daerah-daerah Bugis, Makassar, dan Mandar. Kain
songket digunakan setiap upacara keagamaan, perkawinan, ataupun upacara adat
lainya dan tidak untuk dipakai untuk sehari-hari. Ini semua menandakan kalau kain
songket tidak bias dipakai sembarangan karena didalamnya menganung makna-makna
tertentu.
b.Miniatur

Gambar 2.31 Miniatur Perahu Pinisi


Pada Koleksi etnografi terdapat atas berbagai jenis hasil teknologi, kesenian, peralatan
hidup, serta benda lain yang dibuat dan digunakan oleh suku Bugis, Makassar,
Mandar, dan Toraja. Seperti Miniatur Perahu Phinisi yang terbuat dari Bahan kayu
dan kain, yang merupakan perahu khas Bugis Makassar. Berfungsi Sebagai alat
transportasi, sarana untuk penangkapan ikan di laut dan sebagai wisata bahari.

c.Lukisan Perahu Phinisi

Gambar 2.32 Seni Rupa Pada Lukisan Perahu Pinisi


Pada Koleksi Seni Rupa terdapat lukisan Perahu Phinisi yang terbuat dari Bahan kain
kanvas dan cat minyak, lukisan tersebut menggambarkan perahu pinisi yang sedang
berlayar ditengah laut. Lukisan Petani Toraja yang mengunakan bahan dari kain
kanvas dan cat minyak, lukisan tersebut menggambarkan suasana alam dan petani
Toraja. Berfungsi sebagai hiasan dinding dan dilukis oleh seorang pelukis Belanda
bernama Bonnet.
d.Keramik

Gambar 2.33 Seni Rupa Pada Keramik

Pada Koleksi Keramologika terdapat keramik Eropa abad 19-20 yang terbuat dari
bahan porselin bentuk bundar dan berglasir. Memiliki ragam hias kaligrafi berwarna
hitam, tulisan menceritakan tentang Nabi Muhammad Ya Rahman , para sahabatnya
dan malaikat antara lain: Abubakar, Mikhail, Umar, Israil, Usman, Israfil, Ali, Jibril.
Ada pula Keramik Jepang abad 17-19 yang terbuat dari bahan porselin berbentuk
bundar dan berglasir. Memiliki ragam hias bunga, pohon dan binatang laut
menyerupai siput berwarna biru dan merah. Berfungsi sebagai wadah makanan.
3. Musik

Gambar 2.34 Alat Musik Kecapi


1. Kecapi
Adalah alat musik petik tradisional Sulawesi selatan khususnya suku
bugis,bugis makasar dan bugis mandar. Menurut sejarah kecapi diciptakan
oleh seorang pelaut,sehingga bentuknya menyerupai perahu yang memiliki
dua dawai,diambil karena penemuannya dari tali layar perahu.biasanya
ditampilkan pada acara penjemputan para tamu,perkawinan,hajatan ,bahkan
hiburan ulang tahun.

Gambar 2.35Alat Musik Sinrili


2. Sinrili
Adalah alat musik yang mernyerupai biaola cuman kalau biola di mainkan
dengan membaringkan di pundak sedang singrili di mainkan dalam keedaan
pemain duduk dan alat diletakkan tegak di depan pemainnya.

Gambar 2.36 Alat Musik Gendang


3. Gendang
Adalah Musik perkusi yang mempunyai dua bentuk dasar yani bulat panjang
dan bundar seperti rebana

Gambar 2.37 Alat Musik Suling


4. Suling
Suling bambu/buluh,terdiri dari 3 jenis,yaitu :
b. Suling panjang (suling lampe),memiliki 5 lubang nada . suling jenis ini

a.

telah punah
c. Suling calabai(suling ponco),sering dipadukan dengan piola(biola)kecapi
dan dimainkan bersama penyanyi
d. Suling dupa samping (music bamboo),music babu masih terpelihara di
daerah kecamatan Lembang.Biasanya digunakan pada acara karnaval
(baris-berbaris)atau acara penjemputan tamu

4.Tari

Gambar 2.38 Tari Pajoge Biasa


a. Tari Pajoge
Asal mulanya Pajoge, timbul semasa kerajaan Bone dahulu. Ada yang mengatakan
sejak abad ke VII, tetapi hal itu belum jelas, karena belum ada diketemukan tulisantulisan yang dapat memberikan keterangan pasti tentang hal itu, tetapi yang jelas

bahwa raja Bone ke 31 Lapawawoi Karaeng Sigeri sangat gemar akan tari Pajoge dan
semua anaknya memelihara tari Pajoge.Jadi dengan demikian bahwa Pajoge lahir di
istana raja untuk menghibur raja dan keluarganya, juga untuk menghibur rakyat pada
pesta-pesta. Penari-penari pada umumnya diambil dari rakyat biasa saja. Perbedaan
dengan tari Pakarena dengan tari Pajoge yang biasa hidup diistana raja yang penaripenarinya dipilih dari keturunan bangsawan atau anak anggota adat. Tetapi Pajoge
adalah merupakan tarian rakyat yang dipertontonkan pada pesta raja dan umum.
Tarian Sulawesi SelatanDemikian Pajoge berfungsi sebagai tarian hiburan, juga
merupakan alat penghubung antara raja dan rakyat, untuk mendekatkan hubungan
agar supaya rakyat tetap cinta kepada rajanya dan sebaliknya.Pajoge yang lahir di
istana raja itu penari-penarinya dipilih yang cantik-cantik saja serta mempunyai
kelebihan-kelebihan agar supaya dapat menarik perhatian para penonton, baik rajaraja maupun rakyat dengan maksud disamping ia berfungsi sebagai hiburan juga dapat
menarik keuntungan atau hasil yang berupa materi, karena para penonton diberi
kesempatan untuk Mappasompe pada salah seorang Pajoge yang diingininya. Dan
telah menjadi ketentuan bahwa setiap laki-laki yang mau Mappasompe harus
menyediakan uang atau benda lain.
Macam-macam Tari Pajoge :
1. Pajoge biasa (penari-penarinya dari wanita)
2.Pajoge Angkong (penari-penarinya orang-orang banci) tarian sulawesi selatan.

Gambar 2.39 Tari Paduppa Bosara


b. Tari Paduppa Bosara
Tarian yang mengambarkan bahwa orang Bugis jika kedatangan tamu senantiasa
menghidangkan

bosara, sebagai tanda kesyukuran dan kehormatan.

Gambar 2.40 Tari Pattennung


c. Tari Pattennung
tarian adat yang menggambarkan perempuan-perempuan yang sedang menenun
benang menjadi kain. Melambangkan kesabaran dan ketekunan perempuanperempuan Bugis.

5.Drama
1. Drama Klasik Bugis We Sangiang I Mangkawani

Gambar 2.41 Drama We Sangiang I Mangkawani


Arung Mangkau berdiri angkuh dalam kemurkaannya, sementara
anak lelakinya, Tonrawali, berlutut memohon ampunan sang ayah
bagi adik perempuannya, I Mangkawani. Pesseku, Puang, seru
Tonrawali di antara tangisan tertahannya. Arung Mangkau terenyak.
Dipandanginya tengkuk Tonrawali yang bersujud dengan mata
nanar. Apakah pessemu bukan pesseku? tanya sang ayah Drama
We Sangiang I Mangkawani membangkitkan kesadaran bahwa universalitas
manusia adalah hidup dengan nilai. Pilihan jalan hidup menjadi bernilai ketika ia
disandarkan kepada nilai. Pilihan I Mangkawani untuk kawin lari adalah keberpihakan
kepada nilai kesetiaan kepada kekasih, setia kepada janji. Di pihak lain, Arung
Mangkau mempertahankan sirinya atau harga dirinya.
Iatopa lise atikku. Tetapi, adikmu We Sangiang I Mangkawani telah memilih
jalannya sendiri. Ia memilih melepaskan adat kemuliaannya yang dipercayakan rakyat
kepadanya. Masirika, anakku. Ia atamari padatta rupatau tonra. Karena itu,
hukumlah mereka yang sudah menginjak-injak adat kemuliaannya, titah sang
penguasa Tanah Ogi.
Sang ayah menyodorkan badik pusaka Mana Arajang kepada Tonrawali. Si anak pun
mencabut badik dari sarung yang masih dipegang ayahnya. Sebagian orang tercekat,
beberapa menghela napas panjang merenungi cinta terlarang I Mangkawani.
Arung Mangkau telah menekankan siri di atas pesse-nya, kehormatan di atas kasih
sayangnya kepada I Mangkawani, karena si anak memilih lari bersama kekasihnya, La
Fadomai.
Dalam budaya Bugis, nilai siri (harga diri) berpasangan dengan nilai pesse (nilai nilai
tenggang rasa, empati, ikut merasakan penderitaan orang lain). Ketika anaknya kawin
lari, Arung Mangkau menyikapi perbuatan anaknya sebagai sesuatu yang mematikan
sirinya. Tonrawali memohon ampunan dengan membangkitkan pesse sang ayah,
tetapi Arung Mangkau menolak. Dalam duel badik di dalam kain sarung, Tonrawali
membunuh La Fadomai.

Tonrawali menyesal, mengapa bukan ia yang mati di tangan La Fadomai. Namun, hati
I Mangkawani lebih hancur lagi sehingga ia memilih bunuh diri. Bak kisah RomeoJuliet karya sastrawan Inggris, William Shakespeare, cinta terlarang We Sangiang
berujung maut. Mungkin akhir yang mirip, tetapi We Sangiang I Mangkawani tidak
ada hubungannya dengan karya Shakespeare itu. We Sangiang I Mangkawani
adalah naskah drama adaptasi sastra lisan klasik Bugis, Tolopessena La Fadomai.
Tragedi cinta terlarang memang universal.
2. Drama "PUANG UPE Bissu Penjaga Rakkeang Kuning"

Gambar 2.42 Drama"PUANG UPE


Kendati telah surut, peran bissu masih ada di masyarakat Bugis.
Mereka menjadi tempat berlindung bagi para wadam agar dapat
diterima dalam kehidupan. Warga masih kerap datang untuk
memohon agar keinginannya terkabul.
Si pria langsing menghunus pelan alameng dari sarungnya yang
berlapis kuningan dan berbalut kain putih. Sebilah pedang berlapis
serbuk putih yang tipis muncul. Lelaki berdada rata yang tampak
doyong itu segera mencium pedang tersebut seraya memejamkan
mata kemudian memasukkannya lagi ke sarungnya.
Lelaki itu bernama Puang Upe. Umurnya sekisar 50 tahun. Ketika
mendiang Puang Matoa Saidi memimpin komunitas Bissu Dewatae,
Puang

Upe

menjadi

Puang

Lolobahasa

Bugis

yang

berarti

pemimpin mudasebutan untuk jabatan wakil Puang Matoa. Ia

mengemban tugas ini sejak 2001, bersamaan dengan saat Puang


Saidi dilantik menjadi Puang Matoa.
Tadi, yang putih itu adalah bedak, untuk mencegah karat, Nak,
kata Puang Upe dalam bahasa Bugis yang cepat di kediamannya
pada akhir Februari 2012. Nak merupakan panggilan yang sering
meluncur dari bibir Puang Upe ketika bercakap dengan siapa saja.
Alameng, pedang pusaka pemimpin komunitas Bissu Dewatae, kini
tersimpan di rumah panggung sederhana Puang Upe di Bonto Tene,
Kecamatan Segeri, Pangkajene Kepulauan, sekitar 60 kilometer
sebelah utara Kota Makassar. Kendati Puang Upe kini sebagai
pemegang

alameng,

tetapi

kenyataannya

ia

belum

resmi

menyandang gelar Puang Matoa karena belum melalui upacara


pelantikan.
Selain alameng, di rumah Puang Upe juga ada tanda kebesaran dan
perlengkapan upacara bissu lainnya:
[1] Paccoda, sebatang kayu bersegi delapan yang terbungkus kain
kuning cerah yang dibawa oleh Puang Lolo
[2] Tolousu dan arumpigi berupa kayu berongga atau bambu
berujung kepala ayam berisi butiran dan mengeluarkan bunyi bila
diguncang yang dibalut kain merahkeduanya dibawa oleh anak
bissumengingatkan pada hewan peliharaan sang pencipta jagat I
La Galigo, Patotoe (Sang Penentu Nasib).
[3] Lellu Patara, pemayung dari kain cinde segi empat yang setiap
sudutnya berbatang penunjang.
Pergantian kepemimpinan bissu Segeri terjadi bila sang pemimpin
meninggal. Ketika Puang Saidi meninggal pada 28 Juni 2011, terjadi
pro dan kontra tentang pergantian kepemimpinan ini. Menurut
antropolog Universitas Negeri Makassar, Halilintar Lathief, penyigi
yang telah 30 tahunan meneliti bissu, pergantian itu dilakukan di

depan jasad Puang Matoa sebelum dikuburkan. Entah mengapa hal


itu lalu diurungkan
3. Drama To Malebbi

. Gambar 2.43 Drama To Malebbi


Pentas yang berkelakar dengan tajuk To Malebbi (orang terhormat)
ini mencoba menampik gaya kekinian para pelajar yang cenderung
lupa terhadap kearifan lokalnya.
Aktor bernama Dg Parani tampil sebagai puang yang kerjanya hanya
mengayom masyarakat. Dg Parani meniti peran untuk sebuah pesan
moral ala Bugis Makassar yang peka terhadap etika sopan santun
Aktor antagonis bernama Dg Dullah Tampil sebagai bapak yang
hanya mengalir seperti air dan lupa hulu.
Secuil pesan dalam drama ini telah mengukir karakter bahasa tabu
anak Atma Jaya yang selama ini didominasi oleh mahasiswa
Tionghoa namun mencoba menggali kearifan lokal bugis makassar
dengan menggal pestival megah ini.
b) Upacara Adat Dalam Perkawinan
Upacara perkawinan di daerah Sulawesi Selatan banyak dipengaruhi oleh ritual-ritual
sakral dengan tujuan agar perkawinan berjalan dengan lancar dan kedua mempelai

mendapat berkah dari Tuhan. Tata cara upacara pernikahan adat Bugis Makassar
melalui berberapa tahapan yaitu:
a. A'jagang-jagang/Ma'manu-manu
Penyelidikan secara diam-diam oleh pihak calon mempelai pria untuk mengetahui
latar belakang pihak calon mempelai wanita.
b. A'suro/Massuro
Acara ini merupakan acara pinangan secara resmi pihak calon mempelai pria
kepada calon mempelai wanita. Dahulu, proses meminang bisa dilakukan
beberapa fase dan bisa berlangsung berbulan-bulan untuk mencapai kesepakatan.
c. Appa'nasa/PatenreAda
Usai acara pinangan, dilakukan appa'nasa/patenre ada yaitu menentukan hari
pernikahan. Selain penentuan hari pernikahan, juga disepakati besarnya mas
kawin dan uang belanja. Besarnya mas kawin dan uang belanja ditentukan
menurut golongan atau strata sosial sang gadis dan kesanggupan pihak keluarga
pria.
d. Appanai Leko Lompo (erang-erang)
Setelah pinangan diterima secara resmi, maka dilakukan pertunangan yang
disebut A'bayuang yaitu ketika pihak keluarga lelaki mengantarkan
passio/passiko atau Pattere ada (Bugis). Hal ini dianggap sebagai pengikat dan
biasanya berupa cincin. Prosesi mengantarkan passio diiringi dengan mengantar
daun sirih pinang yang disebut Leko Caddi. Namun karena pertimbangan waktu,
sekarang acara ini dilakukan bersamaan dengan acara Patenre Ada atau
Appa'nasa.
e. A'barumbung(mappesau)
Acara mandi uap yang dilakukan oleh calon mempelai wanita.
f. AppasiliBunting(CemmeMapepaccing)
Kegiatan tata upacara ini terdiri dari appasili bunting, a'bubu, dan appakanre
bunting. Prosesi appasili bunting ini hampir mirip dengan siraman dalam tradisi
pernikahan Jawa. Acara ini dimaksudkan sebagai pembersihan diri lahir dan batin

sehingga saat kedua mempelai mengarungi bahtera rumah tangga, mereka akan
mendapat perlindungan dari Yang Kuasa dan dihindarkan dari segala macam
mara bahaya. Acara ini dilanjutkan dengan Macceko/A'bubu atau mencukur
rambut halus di sekitar dahi yang dilakukan oleh Anrong Bunting (penata rias).
Tujuannya agar dadasa atau hiasan hitam pada dahi yang dikenakan calon
mempelai wanita dapat melekat dengan baik. Setelah usai, dilanjutkan dengan
acara Appakanre Bunting atau suapan calon mempelai yang dilakukan oleh
anrong bunting dan orang tua calon mempelai. Suapan dari orang tua kepada
calon mempelai merupakan simbol bahwa tanggung jawab orang tua kepada si
anak sudah berakhir dan dialihkan ke calon suami si calon mempelai wanita.

Gambar 2.44 Tradisi Upacara Adat Perkawinan


g. Akkorongtigi/Mappaci
Upacara ini merupakan ritual pemakaian daun pacar ke tangan si calon mempelai.
Daun pacar memiliki sifat magis dan melambangkan kesucian. Menjelang
pernikahan biasanya diadakan malam pacar atau Wenni Mappaci (Bugis) atau
Akkorontigi (Makassar) yang artinya malam mensucikan diri dengan meletakan
tumbukan daun pacar ke tangan calon mempelai. Orang-orang yang diminta
meletakkan daun pacar adalah orang-orang yang punya kedudukan sosial yang
baik serta memiliki rumah tangga langgeng dan bahagia. Malam mappaci
dilakukan menjelang upacara pernikahan dan diadakan di rumah masing-masing
calon mempelai.

Gambar 2.45 Tradisi Adat Mappaci


h. Assimorong/Menre'kawing
Acara ini merupakan acara akad nikah dan menjadi puncak dari rangkaian
upacara pernikahan adat Bugis-Makassar. Calon mempelai pria diantar ke rumah
calon mempelai wanita yang disebut Simorong (Makasar) atau Menre'kawing
(Bugis). Di masa sekarang, dilakukan bersamaan dengan prosesi Appanai Leko
Lompo (seserahan). Karena dilakukan bersamaan, maka rombongan terdiri dari
dua rombongan, yaitu rombongan pembawa Leko Lompo (seserahan) dan
rombongan calon mempelai pria bersama keluarga dan undangan.

Gambar 2.46 Tradisi Adat Assimorong


i. Appabajikang,Bunting
Prosesi ini merupakan prosesi menyatukan kedua mempelai. Setelah akad nikah
selesai, mempelai pria diantar ke kamar mempelai wanita. Dalam tradisi Bugis-

Makasar, pintu menuju kamar mempelai wanita biasanya terkunci rapat. Kemudian
terjadi dialog singkat antara pengantar mempelai pria dengan penjaga pintu kamar
mempelai wanita. Setelah mempelai pria diizinkan masuk, kemudian diadakan
acara Mappasikarawa (saling menyentuh). Sesudah itu, kedua mempelai
bersanding di atas tempat tidur untuk mengikuti beberapa acara seperti
pemasangan sarung sebanyak tujuh lembar yang dipandu oleh indo botting
(pemandu adat). Hal ini mengandung makna mempelai pria sudah diterima oleh
keluarga mempelai wanita.

Gambar 2.47 Tradisi Adat Saat Alleka bunting


j. Allekabunting(marolla)
Acara ini sering disebut sebagai acara ngunduh mantu. Sehari sesudah pesta
pernikahan, mempelai wanita ditemani beberapa orang anggota keluarga diantar ke
rumah orang tua mempelai pria. Rombongan ini membawa beberapa hadiah
sebagia balasan untuk mempelai pria. Mempelai wanita membawa sarung untuk
orang tua mempelai pria dan saudara-saudaranya. Acara ini disebut Makkasiwiang.
F. Religi
Suku Bugis terkenal sebagai penganut agama Islam yang taat (Islam Sunni) dalam
norma-norma dan aturan-aturan kehidupannya. Mereka juga masih banyak terikat

dengan aturan-aturan adatnya yang dianggap keramat dan sakral yang


keseluruhannya mereka sebut panngaderreng (atau pangadakkang dalam bahasa
Makassar). Bugis karena dilatarbelakangi oleh nilai kepercayaan yang mengandung
nilai religius.

G. Ilmu Pengetahuan
Suku bugis (ilmu) merupakan Suku dengan gelar suku "Berdarah Panas" karena
1.

emosi mereka yang sangat tinggi,dan banyak ilmu-ilmu mereka yang terkenal :
Rantai Babi, rantai yang dapat membuat si pemakai menjadi kuat.
2. Pelet (konon kalau ke pedesaan di sulawesi dilarang melihat mata orang-orang

3.

pedalaman karna dapat membuat agan-agan terkena pelet tersebut)


Ilmu Kebal (tarzan indonesia yang di tembak ratusan peluru tidak mati-mati)
4. Konon suku bugis kajang dapat merubah butiran padi menjadi tawon untuk
menyerang hama perusak tanaman dan musuh mereka saat perang
5. Suku bugis kajang dapat mengumpulkan musuh menjadi satu hanya dengan
mengayunkan jari membentuk lingkaran.
6. Minyak Bintang Minyak yang dapat menyembuhkan luka dalam seketika ,
disebut minyak bintang karena minyak ini diminum saat malam hari dan saat
terdapat banyak bintang , dan masih banyak ilmu-ilmu dari suku bugis

Anda mungkin juga menyukai