Potensi Kearifan Lokal Masyarakat Kabupaten Lembata memiliki cukup banyak potensi
kearifan lolal yang berhubungan erat dengan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut
(pemanfaatan dan konservasi). Hasil inventarisasi kearifan lokal pada lokasi penelitian adalah
Badu, Muro, Kolo Umen Bale Lamaq, Poan Kemer Puru Larang, Toto, Bito Berue, Lepa Nua
Dewe, Bruhu Bito dan Leffa Nuang.Penjelasan manfaat dan makna dari masing-masing
keraifan lokal adalah sebagai berikut:
Badu;
merupakan suatu tradisi adat
masyarakat Watodiri dan Dulitukan
yang bersifat larangan untuk
mengambil/menangkap hasil-hasil laut
pada suatu wilayah perairan selama
periode waktu tertentu. Masyarakat
dapat menangkap atau mengambil
PDF created with pdfFactory Pro trial version
www.pdffactory.com
Stefanus Stanis, Supriharyono, Azis Nur Bambang, Pengelolaan Sumberdaya Pesisir
...
78
setelah mendapat restu dari penguasa
ulayat dan melalui upacara ritual.
Muro;
merupakan suatu kesepakatan
dan tradisi adat yang bersifat larangan
kepada masyarakat dan nelayan di
Lamatokan untuk tidak menangkap
ikan di wilayah perairan tertentu.
Toto;
merupakan tradisi adat/acara
ritual yang dilakukan oleh masyarakat
nelayan sebelum melepas sampan/juku
baru dan pukat baru. Bermakna
terhadap hasil tangkapan,
kebersamaan, keselamatan nelayan dan
alat tangkap itu sendiri.
Bito Berue;
tradisi adat/acara ritual
yang dilakukan oleh masyarakat
nelayan sebelum melepas sampan/juku
baru. Bermakna terhadap hasil
tangkapan, keselamatan nelayan dan
alat tangkap itu sendiri.
Bruhu Bito;
merupakan tradisi
adat/acara ritual yang dilakukan oleh
masyarakat nelayan sebelum melepas
pukat baru untuk menangkap jenis
ikan-ikan yang lebih besar, selain ikan
serdin dan tembang. Bermakna
terhadap hasil tangkapan, keselamatan
nelayan dan alat tangkap itu sendiri.
Tulalou Wate;
merupakan tradisi adat
dalam memberi makan kepada
arwah/roh leluhur yang meninggal di
laut dengan makna agar ikan-ikan
berkumpul pada suatu tempat sehingga
mudah ditangkap.
Leffa Nuang;
merupakan
budaya
perburuan ikan paus yang dimiliki oleh
PDF created with pdfFactory Pro trial version
www.pdffactory.com
Jurnal Pasir Laut, Vol.2, No.2, Januari 2007 : 67-82
79
masyarakat nelayan Lamalera pada
setiap bulan Mei sampai Oktober dan
dilaksanakan dengan melalui berbagai
acara ritual baik secara adat maupun
secara religius.
Leffa Nuang
dilaksanakan melalui tahapan-tahapan:
Tobu Nama Fatta, Misa Arwah, Misa
Leffa dan Tena Fulle.
Hal yang menarik dari macam-
macam kearifan lokal yang dimiliki
masyarakat pesisir adalah bahwa mereka
begitu menyadari akan betapa pentingnya
sumberdaya pesisir dan laut dalam
menopang kehidupan mereka. Tindakan
yang bersifat destruktif terhadap kekayaan
sumberdaya alam pesisir dan sistem
penangkapan yang tidak ramah lingkungan
hampir tidak pernah terjadi. Semacam ada
rasa takut, mereka percaya jika tindakan
mereka tidak sesuai dengan kehendak
alam, bersifat merusak, lambat laun cepat
atau lambat mereka akan mengalami
resiko. Resiko yang dihadapi dapat berupa
sakit yang tidak dapat diobati, jatuh dari
pohon, tenggelam di laut, digigit ular atau
ikan besar (hiu, paus).
Makna lain yang dapat disimak
dari kearifan lokal/tradisional yang
dimiliki oleh masyarakat pesisir di lokasi
penelitian yakni selalu tercipta suasana
kekerabatan dan kegotong royongan di
antara masyarakat nelayan. Selalu tercipta
hubungan sosial yang harmonis, saling
membantu, karena itu perilaku curi,
bersaing yang tidak sehat dan saling
merusak perlengkapan penangkapan
nelayan tidak pernah terjadi. Dengan
demikkian dalam memanfaatkan
sumberdaya tidaklah bersifat serakah.
Semacam ada pesan moral bagi mereka
bahwa mereka hanya boleh menangkap
untuk kepentingan hidup mereka
(konsumsi), atau dijual untuk keperluan
yang lain. Penangkapan dalam jumlah
yang banyak dan besar-besaran tidak
terjadi.
Mereka mempersepsikan kearifan
lokal sebagai suatu yang dapat menata
kehidupan baik antar mereka sebagai
komintas sosial maupun dengan alam
sebagai komunitas ekologis. Mereka
menyadari pula bahwa eksistensi
kehidupan mereka tidak terlepas dari
eksistensi kehidupan makhluk lain dalam
bumi yang satu sama ini. Oleh karena itu
bagi nelayan lokal, ketaatan dan kepatuhan
terhadap aturan adat, kearifan dan tradisi
yang ada sangat dijunjung tinggi. Di lain
pihak, masyarakat pesisir mempunyai
respons yang pesimistis terhadap
implementasi dan penegakan hukum-
hukum formal yang berlaku sekarang.
Banyak kenyataan penerapan dan
penegakan hukum terhadap pelaku
pengrusakan lingkungan penyelesaiannya
tidak jelas dan tidak membuat jera
terhadap pelaku.
PDF created with pdfFactory Pro trial version
www.pdffactory.com
Latar Belakang
Di Indonesia, sumberdaya dan keanekaragaman hayati sangat penting dan strategis artinya
bagi keberlangsungan kehidupannya sebagai bangsa. Hal ini bukan semata-mata karena
posisinya sebagai salah satu negara terkaya di dunia dalam keanekaragaman hayati (mega-
biodiversity), tetapi justru karena keterkaitannya yang erat dengan kekayaan keanekaragaman
budaya lokal yang dimiliki bangsa ini (mega-cultural diversity). Para pendiri negara-bangsa
(nation-state) Indonesia sejak semula sudah menyadari bahwa negara ini adalah negara
kepulauan yang majemuk sistem politik, sistem hukum dan sosial-budayanya. Semboyan
Bhinneka Tunggal Ika secara filosofis menunjukkan penghormatan bangsa Indonesia atas
kemajemukan atau keberagaman sistem sosial yang dimilikinya.
Ketergantungan dan tidak-terpisahan antara pengelolaan sumberdaya dan keanekaragaman
hayati ini dengan sistem-sistem sosial lokal yang hidup di tengah masyarakat bisa secara
gamblang dilihat dalam kehidupan sehari-hari di daerah pedesaan, baik dalam komunitas-
komunitas masyarakat adat yang saat ini populasinya diperkirakan antara 50 70 juta orang,
maupun dalam komunitas-komunitas lokal lainnya yang masih menerapkan sebagian dari
sistem sosial berlandaskan pengetahuan dan cara-cara kehidupan tradisional. Yang
dimaksudkan dengan masyarakat adat di sini adalah mereka yang secara tradisional
tergantung dan memiliki ikatan sosio-kultural dan religius yang erat dengan lingkungan
lokalnya. Batasan ini mengacu pada Pandangan Dasar dari Kongres I Masyarakat Adat
Nusantara tahun 1999 yang menyatakan bahwa masyarakat adat adalah komunitas-komunitas
yang hidup berdasarkan asal-usul secara turun-temurun di atas satu wilayah adat, yang
memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh
hukum adat, dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakat.
Sudah banyak studi yang menunjukkan bahwa masyarakat adat di Indonesia secara
tradisional berhasil menjaga dan memperkaya keanekaan hayati alami. Adalah suatu realitas
bahwa sebagian besar masyarakat adat masih memiliki kearifan adat dalam pengelolaan
sumberdaya alam. Sistem-sistem lokal ini berbeda satu sama lain sesuai kondisi sosial budaya
dan tipe ekosistem setempat. Mereka umumnya memiliki sistem pengetahuan dan
pengelolaan sumberdaya lokal yang diwariskan dan ditumbuh-kembangkan terus-menerus
secara turun temurun. Sampai saat ini hanya sebagian yang sangat kecil saja yang dikenal
dunia ilmu pengetahuan modern tentang sistem-sistem lokal ini. Contoh di antaranya adalah
pranata adat sasi yang ditemukan disebagian besar Maluku yang mengatur keberlanjutan
pemanfaatan atas suatu kawasan dan jenis-jenis hayati tertentu. Contoh lainnya yang sudah
banyak dikenal adalah perladangan berotasi komunitas-komunitas adat Orang Dayak di
Kalimantan berhasil mengatasi permasalahan lahan yang tidak subur.
Komunitas-komunitas lokal di pedesaan yang tidak lagi mendefenisikan dan menyebut
dirinya sebagai masyarakat adat, juga secara berkelanjutan menerapkan kearifan
(pengetahuan dan tata cara) tradisional ini dalam kehidupannya, termasuk dalam
memanfaatkan sumberdaya dan keanekaragaman hayati untuk memenuhi kebutuhannya
seperti pengobatan, penyediaan pangan, dan sebagainya. Masa depan keberlanjutan
kehidupan kita sebagai bangsa, termasuk kekayaan sumberdaya dan keanekaragaman hayati
yang dimilikinya, berada di tangan masyarakat adat yang berdaulat memelihara kearifan adat
dan praktek-praktek pengelolaan sumberdaya alam yang sudah terbukti mampu menyangga
kehidupan dan keselamatan mereka sebagai komunitas dan sekaligus menyangga fungsi
layanan ekologis alam untuk kebutuhan mahluk lainnya secara lebih luas. Keberpihakan
terhadap kearifan tradisional dengan segala pranata sosial yang mendukungnya merupakan
modal awal yang utama bagi pengabdian kita terhadap keberlanjutan kehidupan kita di
Indonesia.
II. PEMBAHASAN
Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berbasis Masyarakat (PSPBM) yang merupakan proses
pemberian wewenang, tanggungjawab dan kesempatan kepada masyarakat untuk mengelola
sumberdaya perikanannya sendiri telah menjadi populer pada saat ini. Namun pengelolaan
sumberdaya ini masih memiliki kelemahan yang bila tidak diselesaikan dapat membuat rezim
ini tidak efektif pelaksanaannya. Beberapa kelemahan ini adalah bahwa PSPBM ini tidak
mampu mengatasi masalah-masalah inter-komunitas. bersifat spesifik lokal, sangat rentan
terhadap perubahan eksternal, sulit mencapai skala ekonomi, serta tingginya biaya
institusionalisasinya. Meskipun kerja sama merupakan sifat interaksi antara masyarakat,
namun pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan cenderung makin berkurang,
interaksi antara masyarakat lebih banyak terekspresi dalam bentuk saling kompetisi. Saling
kompetisi dalam memanfaatkan sumberdaya ikan adalah alasan terjadinya kegagalan
pengelolaan perikanan yang ditunjukkan dengan rusaknya sumberdaya serta adanya
kemiskinan.
Meskipun demikian, saling berinteraksi antara masyarakat dapat dipandang juga sebagai
potensi yang dapat dikembangkan untuk merumuskan suatu mekanisme pengelolaan
sumberdaya perikanan yang efektif. Keinginan masyarakat yang saling bertentangan atau
berkompetisi merupakan salah satu alamiah masyarakat. Namun, sifat ini juga merupakan
alasan perlunya dikembangkan mekanisme pengelolaan sumberdaya perikanan yang dapat
mengatasi konflik. Mekanisme tersebut adalah dengan membiarkan masyarakat sendiri
menentukan cara-cara pengelolaan sumberdaya perikanan yang ditujukan untuk mencapai
tujuan yang juga ditetapkan mereka sendiri.
Kerarifan Lokal/Tradisional
Kearifan lokal atau tradisional sesungguhnya merupakan bagian dari etika dan morolitas yang
membantu manusia untuk menjawab pertanyaan moral apa yang harus dilakukan, bagaimana
harus bertindak khususnya dibidang pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam. Bahasan
ini sangat membantu kita dalam hal mengembangkan perilaku, baik secara individu maupun
secara kelompok dalam kaitan dengan lingkungan dan upaya pengelolaan sumberdaya alam.
Selain itu membantu kita untuk mengembangkan sistem sosial politik yang ramah terhadap
lingkungan serta mengambil keputusan dan kebijakan yang berdampak terhadap lingkungan
atau sumberdaya alam termasuk sumberdaya alam pesisir dan laut. Etika yang berarti adat
istiadat atau kebiasaan, dalam arti kebiasaan hidup yang baik, tata cara hidup yang baik, baik
pada diri seseorang atau pada kelompok masyarakat. Kebiasaan hidup yang baik ini dianut
dan diwariskan dari satu generasi ke generasi yang lain(Keraf, 2002). Kebiasaan hidup yang
baik ini kemudian dibakukan dalam bentuk kaidah,a aturan, norma yang disebarluaskan,
dikenal, dipahami dan diajarkan dalam masyarakat. Oleh karena itu etika dipahami sebagai
ajaran yang berisikan aturan tentang bagaimana manusia harus hidup baik sebagai manusia
dan juga etika dipahami sebagai ajaran yang berisikan perintah dan larangan tentang baik-
buruknya perilaku manusia yaitu perintah yang harus dipatuhi dan larangan yang harus
dihindari.
Pengertian keraifan lokal (tradisional) menurut Keraf (2002) adalah semua bentuk
pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang
menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Dijelaskan pula
bahwa kearifan lokal/tradisional bukan hanya menyangkut pengetahuan dan pemahaman
masyarakat tentang manusia dan bagaimana relasi yang baik di antara manusia, melainkan
juga menyangkut pengetahuan, pemahaman dan adat kebiasaan tentang manusia, alam dan
bagaimana relasi di antara penghuni komunitas ekologis ini harus dibangun.
Pengertian di atas memberikan cara pandang bahwa manusia sebagai makhlukintegral dan
merupakan satu kesatuan dari alam semesta serta perilaku penuh tanggung jawab, penuh
sikap hormat dan peduli terhadap kelangsungan semua kehidupan di alam semesta serta
mengubah cara pandang antroposentrisme ke cara pandang biosentrisme dan ekosentrisme.
Nilai-nilai kerarifan lokal yang terkandung dalam suatu sistem sosial masyarakat, dapat
dihayati, dipraktekkan, diajarkan dan diwariskan dari satu generasi ke genarasi lainnya yang
sekaligus membentuk dan menuntun pola perilaku manusia sehari-hari, baik terhadap alam
maupun terhadap alam. Menurut Nababan (2003), mengatakan bahwa masyarakat adat
umumnya memiliki sistem pengetahuan dan pengelolaan lokal yang diwariskan dan
ditumbuh-kembangkan terus-menerus secara turun temurun. Pengertian masyarakat adat
disini adalah mereka yang secara tradisional tergantung dan memiliki ikatan sosio-kultural
dan religius yang erat dengan lingkungan lokalnya.
Karakteristik Sosial dan Sistem Pengetahuan Masyarakat Pesisir
Karakteristik masyarakat pesisir berbeda dengan karakteristik masyarakat agraris karena
perbedaan sumberdaya yang mereka hadapi atau miliki. Masyarakat agraris menghadapi
sumberdaya yang terkontrol yakni lahan untuk memproduksi suatu jenis komoditas dengan
hasil yang dapat diprediksi. Dengan sifat yang demikian memungkinkan tetapnya lokasi
produksi sehingga menyebabkan mobilitas usaha yang relatif rendah dan faktor resiko pun
relatif kecil. Tohir (2001), mengemukakan bahwa terdapat fenomena yang menarik mengenai
melimpahnya sumberdaya alam laut dengan masih rendahnya minat masyarakat pesisir untuk
mengeksplorasi kekayaan laut. Lebih lanjut, Tohir (2001), mengatakan fenomena ini jika
dicermati secara mendalam maka sebenarnya terdapat fakta bahwa masyarakat pesisir yang
bermatapencaharian sebagai nelayan maupun melakukan aktivitas hidup di laut jumlahnya
relatif kecil dibanding dengan yang beberja sebagai petani sawah, maupun jasa. Hal ini
berarti jenis-jenis matapencaharian masyarakat pesisir heterogen dan warga masyarakat yang
memilih sebagai nelayan atau melakukan aktivitas di pesisir pada dasarnya masih merupakan
kelompok kecil saja. Dari jumlah yang relatif kecil itu, dilihat dari tingkat kesejahteraan
hidupnya rata-rata masih belum menggembirakan karena sebagai nelayan kecil mereka
menghadapi berbagai keterbatasan.
Namaban (2003) mengatakan bahwa sudah banyak studi yang menunjukkan bahwa
masyarakat adat di Indonesia secara tradisional berhasil menjaga dan memperkaya
keanekaragaman hayati. Adalah suatu realitas bahwa sebagian besar masyarakat adat masih
memiliki kearifan adat dalam pengelolaan sumberdaya alam.
Aturan-atuaran/tradisi masyarakat ini diwarisi secara turun temurun yang disebut juga
sebagai hukum adat dan berlaku bagi masyarakat pesisir. Kenyataannya, nilai-nilai kearifan
lokal dan hukum adat tersebut cukup efektif dalam pengelolaan sumberdaya alam kelautan
dan perikanan, dan menjaga pelestarian ekosistem laut dari berbagai aktivitas yang bersifat
destruktif dan merusak.
Dalam kaitan dengan rujukan regulasi adat maupun kearifan lokal yang dapat dipergunakan
di beberapa daerah dan sudah diakui eksistensinya serta memiliki nilai strategis dalam
pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut, dibeberapa daerah sebagai berikut:
Tradisi/Hukum Adat Laot Lembaga Adat Laot di Propinsi Nangroe Aceh Darusalam.
Hukum Adat Laot merupakan hukum-hukum adat yang diperlukan masyarakat nelayan dalam
menjaga ketertiban yang meliputi penangkapan ikan, pemeliharaan sumberdaya ikan dan
biota laut lainnya, dan menjaga kehidupan masyarakat nelayan yang hidup di wilayah pantai.
Secara hukum, Hukum Adat Laot bersifat tertutup, artinya tidak dapat dihilangkan dalam
struktur pemerintahan di Aceh sehingga memiliki kekuatan dan kewenangan tertentu dalam
pelaksanaannya. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya, Hukum Adat Laot di Aceh dapat
bersifat terbuka, artinya, dalam menerapkan Hukum Adat Laot tersebut senantiasa
menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Hukum Adat Laot dari segi Adat
Pemeliharaan Lingkungan meliputi:
Lebak lebung adalah suatu areal yang terdiri dari lebak lebung, teluk, rawa dan atau sungai
yang secara berkala atau terus menerus digenangi air dan secara alami merupakan tempat
bibit ikan atau biota perairan lainnya. Lelang Lebak Lebung adalah sistem penentuan akan
hak pengelolaan perairan umum (lebak lebung).
Ponggawa adalah orang yang mampu menyediakan modal (sosial dan ekonomi) bagi
kelompok masyarakat dalam menjalankan suatu usaha (biasa berorientasi pada skala usaha
perikanan); sedangkan Sawi, bekerja pada Ponggawa dengan memakai hubungan norma
sosial dan kesepakatan kerja. Pada sistem Ponggawa Sawi terdapat kesepakatan untuk
menyerahkan atau menjual hasil tangkapannya pada Ponggawa, dan bagian ini merupakan
mekanisme pembayaran pinjaman dari sawi kepada ponggawa jika sebelumnya sawi
mempunyai pinjaman.
Sistem pengelolaan berbasis masyarakat untuk kedua sumber daya darat dan laut umum
ditemukan di Kepulauan Maluku Tengah dan Tenggara yang dikenal dengan istilah sasi.
Secara umum sasi merupakan ketentuan hukum adat tentang larangan memasuki, mengambil
atau melakukan sesuatu dalam suatu kawasan tertentu dan dalam jangka waktu tertentu pula.
Sasi dapat diartikan sebagai larangan untuk mengambil hasil sumberdaya alam tertentu
sebagai upaya pelestarian demi menjaga mutu dan populasi sumberdaya hayati (hewani
maupun nabati) alam tersebut. Karena peraturan-peraturan dalam pelaksanaan larangan ini
juga menyangkut pengaturan hubungan manusia dengan alam dan antar manusia dalam
wilayah yang dikenakan larangan tersebut, maka sasi, pada hakekatnya, juga merupakan
suatu upaya untuk memelihara tata-krama hidup bermasyarakat, termasuk upaya ke arah
pemerataan pembagian atau pendapatan dari hasil sumberdaya alam sekitar kepada seluruh
warga/penduduk setempat.
Siapa yang tak kenal Lamalera. Budaya dan tradisi penangkapan ikan pausnya
sudahm e n g g e m a k e s e l u r u h p e l o s o k n u s a n t a r a b a h k a n d u n i a .
K o n d i s i a l a m y a n g t i d a k memungkinkan untuk bercocok tanam, membuat mereka
menggantungkan hidupnya pada hasillaut. Hasil laut akan dibarter dengan hasil perkebunan seperti
jagung, padi dan kopi ke desa-desa di pegunungan. Salah satu buruan laut yang sudah
menjadi tradisi turun temurun adalahberburu ikan paus. Bagi masyarakat umumnya, berburu
mamalia terbesar ini merupakan halyang biasa, andai saja menggunakan peralatan yang canggih dan
kapal yang besar.Namun tidak demikian dengan nelayan di Lamalera. Hanya dengan
menggunakanperalatan yang sederhana, monster laut itu takhluk di tangan
mereka. Modalnya adalahkeberanian. Keberanian untuk menghadapi mamalia terbesar ini
bukan tanpa alasan. Hal iniberkaitan erat dengan perjuangan masyarakat untuk
memenuhi kebutuhan hidup merekasebagai nelayan.Menurut cerita, tradisi berburu ikan
paus di Lamalera sudah dimulai sejak abad !" danterus berlangsung hingga kini. Laut
Sa#u yang berada di antara $ulau %imor dan $ulauL e m b a t a m e n j a d i t e m p a t
p a r a n e l a ya n m e n a n g k a p i k a n p a u s . S u m b e r m a k a n a n ya n g berlimpah yaitu
plankton menjadikan laut Sa#u sebagai tempat singgah gerombolan ikan pausyang datang dari
kutub Selatan ke Samudera $asi&ik.%radisi menangkap ikan paus ala Lamalera adalah atraksi yang luar biasa
terutama bagiorang yang berasal dari luar daerah. %radisi ini bisa dikatakan sebagai satu-satunya tradisi
yangada di #ilayah Nusantara bahkan dunia. Hanya dengan peralatan yang sangat
sederhanaseperti tempuling atau harpoon tradisional dan tali, ikan seberat '(-)* ton bahkan
lebih dapatditakhlukan oleh sekelompok nelayan dengan ) atau + perahu
tradisional yang relati& kecildibandingkan dengan ikan yang mereka tangkap.
Keberanian dan pengalaman yang matangdari orang-orang pilihan atau yang sudah me#arisi keahlian
dari orang tua merekalah yang bisamelakukan tradisi menangkap ikan raksasa ini.Menurut %okoh Muda
Lamalera, regorius B., kegiatan menangkap ikan paus didahuluidengan upacara ritual.
Malam sebelum musim le&a sekelompok pemilik perahu mengadakandoa bersama di rumah
adat masing-masing. Hari pertama musim le&a ini disebut dengan namaupacara tebu nama
&atta. Seluruh masyarakat kampung Lamalera berkumpul di pantai berpasir di depan Kapel
gereja kecil Santo $etrus kapel ini terletak di tengah-tengah rumah peledangyang
dibangun sejajar dengan pantai untuk bermusya#arah mengenai penangkapan
ikanpaus.
Namun, kini atraksi budaya yang sangat mengagumkan ini kini harus
berhadapandengan lembaga atau pihak-pihak tertentu yang berusaha untuk melarangnya.
/engan dalihp e r l i n d u n g a n t e r h a d a p m a m a l i a l a u t ya n g h a m p i r p u n a h i n i ,
r e n c a n a n ya m e r e k a a k a n mendeklarasikan ka#asan laut Sa#u sebagai ka#asan
konser0asi nasional. Hal ini telahmenimbulkan keresahan di masyarakat Lamalera, baik
yang berada di Lamalera maupun diperantauan.
KEARI4AN L*KAL
Masyarakat pesisir sekitar perairan Laut Sa#u memiliki sejumlah keari&an lokal
dalampeman&aatan sumberdaya perikanan. Keari&an lokal masyarakat pesisir di
N%% dalampeman&aatan sumberdaya perikanan dapat dijumpai pada masyarakat
Helong Kupang ,Sumba, 1lor, Solor, 2ote, %imor dan Lamalera Lembata .
Beberapa dari keari&an lokal inisudah mengalami degradasi, namun ada yang masih
tetap bertahan hingga saat ini. %radisipenangkapan paus secara tradisional oleh
masyarakat Lamalera di kabupaten Lembatamerupakan salah satu keari&an lokal
yang masih berlaku sampai dengan saat ini. %radisiperburuan paus oleh
masyarakat Lamalera sudah berlangsung ratusan tahun sejak nenek moyang mereka
dan tetap mempertahankan tradisinya hingga saat ini. Lamalera, dulunya desa terpencil dan miskin di
pantai selatan Kecamatan 3ulandoni,Kabupaten Lembata, kini berubah jadi daerah #isata digandrungi
#isata#an mancanegara dandomestik. Kampung Lamalera, meliputi /esa Lamalera 1 dan Lamalera B,
sejatinya merupakandesa pantai. Bernaung di ba#ah kaki bukit tandus dan kering. Ke
selatan berhadapan lautsa#u, utara dengan bukit batu, di timur ada %anjung 1tadei dan di
barat ada %anjung Naga.Separuh #ilayah desa ini terdiri dari dari batu-batuan gunung. 2umah-rumah
#arga dibangun diatas bebatuan. Kondisi alam yang tidak memungkinkan untuk
bercocok tanam, membuatmereka menggantungkan hidupnya pada hasil laut.
Hasil laut akan dibarter dengan hasil perkebunan seperti jagung, padi dan kopi ke desa-desa di
pegunungan.M a s ya r a k a t L a m a l e r a d a l a m m e m b u r u i k a n p a u s m e n g g u n a k a n
p e r a l a t a n s e r b a sederhana dengan menggunakan perahu kayu peledang, dalam
bahasa setempat yangdidayung atau pakai layar, dan sebilah 4tempuling4 tombak .
!kan $aus yang biasa merekatangkap adalah koteklema, atau paus jenis sperm #hale./ahulu, kaum
janda, yatim piatu atau orang yang secara ekonomis kurang beruntung didesanya,
didahulukan menerima bagian. $emberian secara iklas ini berlangsung tur un-
temurun, tetapi saat ini tak terlihat lagi. 5ang dapat bagian terbesar, paling bagus dan utama
adalah tuan tanah atau mereka yang paling berperan dalam perburuan itu. 6ntahlah
kepalasuku, lama0a juru tikam , tukang perahu atau siapa saja menurut tradisi berhak atas
porsinya.2esiko berburu ikan paus bukan hanya sampai sebatas diseret dan terombang-ambing berhari-hari
di laut lepas. $uluhan korban nya#a nelayan Lamalera, telah jatuh di lautan.
Merekasemua mati ketika mencari ikan, tetapi semangat terus memburu ikan tak pernah
pudar.Sebenarnya penangkapan ikan $aus sudah dibatasi karena jumlahnya yang
semakinsedikit. Namun karena mereka melakukan hal tersebut untuk memenuhi kehidupan
sehari-haridan hanya menggunakan peralatan tradisional, maka penangkapan ikan $aus tidak
dilarang.Selain itu, menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Benyamin Khan dari
Belanda, kegiatanpenangkapan paus yang dilakukan para nelayan Lamalera tidak mempengaruhi habitat
merekakarena jumlah tangkapannya sangat sedikit
Namun, kini atraksi budaya yang sangat mengagumkan ini kini harus
berhadapandengan lembaga atau pihak-pihak tertentu yang berusaha untuk melarangnya.
/engan dalihp e r l i n d u n g a n t e r h a d a p m a m a l i a l a u t ya n g h a m p i r p u n a h i n i ,
r e n c a n a n ya m e r e k a a k a n mendeklarasikan ka#asan laut Sa#u sebagai ka#asan
konser0asi nasional. Hal ini telahmenimbulkan keresahan di masyarakat Lamalera, baik
yang berada di Lamalera maupun diperantauan.
KEARI4AN L*KAL
Masyarakat pesisir sekitar perairan Laut Sa#u memiliki sejumlah keari&an lokal
dalampeman&aatan sumberdaya perikanan. Keari&an lokal masyarakat pesisir di
N%% dalampeman&aatan sumberdaya perikanan dapat dijumpai pada masyarakat
Helong Kupang ,Sumba, 1lor, Solor, 2ote, %imor dan Lamalera Lembata .
Beberapa dari keari&an lokal inisudah mengalami degradasi, namun ada yang masih
tetap bertahan hingga saat ini. %radisipenangkapan paus secara tradisional oleh
masyarakat Lamalera di kabupaten Lembatamerupakan salah satu keari&an lokal
yang masih berlaku sampai dengan saat ini. %radi siperburuan paus oleh
masyarakat Lamalera sudah berlangsung ratusan tahun sejak nenek moyang mereka
dan tetap mempertahankan tradisinya hingga saat ini. Lamalera, dulunya desa terpencil dan miskin di
pantai selatan Kecamatan 3ulandoni,Kabupaten Lembata, kini berubah jadi daerah #isata digandrungi
#isata#an mancanegara dandomestik. Kampung Lamalera, meliputi /esa Lamalera 1 dan Lamalera B,
sejatinya merupakandesa pantai. Bernaung di ba#ah kaki bukit tandus dan kering. Ke
selatan berhadapan lautsa#u, utara dengan bukit batu, di timur ada %anjung 1tadei dan di
barat ada %anjung Naga.Separuh #ilayah desa ini terdiri dari dari batu-batuan gunung. 2umah-rumah
#arga dibangun diatas bebatuan. Kondisi alam yang tidak memungkinkan untuk
bercocok tanam, membuatmereka menggantungkan hidupnya pada hasil laut.
Hasil laut akan dibarter dengan hasil perkebunan seperti jagung, padi dan kopi ke desa-desa di
pegunungan.M a s ya r a k a t L a m a l e r a d a l a m m e m b u r u i k a n p a u s m e n g g u n a k a n
p e r a l a t a n s e r b a sederhana dengan menggunakan perahu kayu peledang, dalam
bahasa setempat yangdidayung atau pakai layar, dan sebilah 4tempuling4 tombak .
!kan $aus yang biasa merekatangkap adalah koteklema, atau paus jenis sperm #hale./ahulu, kaum
janda, yatim piatu atau orang yang secara ekonomis kurang beruntung didesanya,
didahulukan menerima bagian. $emberian secara iklas ini berlangsung turun -
temurun, tetapi saat ini tak terlihat lagi. 5ang dapat bagian terbesar, paling bagus dan utama
adalah tuan tanah atau mereka yang paling berperan dalam perburuan itu. 6ntahlah
kepalasuku, lama0a juru tikam , tukang perahu atau siapa saja menurut tradisi berhak atas
porsinya.2esiko berburu ikan paus bukan hanya sampai sebatas diseret dan terombang-ambing berhari-hari
di laut lepas. $uluhan korban nya#a nelayan Lamal era, telah jatuh di lautan.
Merekasemua mati ketika mencari ikan, tetapi semangat terus memburu ikan tak pernah
pudar.Sebenarnya penangkapan ikan $aus sudah dibatasi karena jumlahnya yang
semakinsedikit. Namun karena mereka melakukan hal tersebut untuk memenuhi kehidupan
sehari-haridan hanya menggunakan peralatan tradisional, maka penangkapan ikan $aus tidak
dilarang.Selain itu, menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Benyamin Khan dari
Belanda, kegiatanpenangkapan paus yang dilakukan para nelayan Lamalera tidak mempengaruhi habitat
merekakarena jumlah tangkapannya sangat sedikit.
Desa Wailolong merupakan salah satu desa pesisir di Kecamatan Omesuri dan
memiliki kearifan atau tradisi adat dalam hal pemanfaatan sumberdaya laut maupun di darat.
Di desa ini, terdapat sistem kepercayaan tradisional, yakni menurut mereka bahwa di laut ada
penguasanya yang disebut hari dan penguasa di darat yang disebut neda . Adanya sistem
kepercayaan ini mendorong pemangku adat lemaq untuk melakukan ritual kolo umen bale
lamaq yakni upacara memberi makan kepada penguasa di laut sebelum mereka melakukan
penangkapan, budidaya rumput laut maupun pengelolaan sumberdaya pesisir seperti
penanaman bakau. Namun demikian tradisi ini hanya dilakukan oleh orang tertentu dan
sifatnya perorangan, belum merupakan suatu kesepakatan bersama.
Dari informasi yang diperoleh bahwa hasil-hasil usaha nelayan saat ini mengalami
penurunan, sebagai akibat dari banyaknya hasil-hasil laut yang sudah hilang seperti agar-
agar, bakau dan teripang. Terdapat aspirasi masyarakat desa ini khususnya masyarakat
nelayan yang hidupnya sangat bergantung pada hasil-hasil laut, menghendaki agar ritual
semacam ini perlu dilakukan secara bersama dan terus menerus sehingga merupakan aturan
atau norma serta tradisi yang mempunyai makna dapat mengatur tindakan-tindakan manusia
terhadap pemanfaatan sumberdaya alam pesirsir dan laut di tempat itu.