Anda di halaman 1dari 24

TUGAS MAKALAH

PERENCANAAN USAHA PERIKANAN


PERENCANAAN USAHA PENGOLAHAN TEPUNG IKAN

Disusun oleh:
Arina Febianca (17/409602/PN/14990)
Diah Puspitasari (17/409662/PN/15050)
Evan Favian (17/4141753/PN/15334)
Josua Pardamean S. (17/412908/PN/15230)
Muhammad Adryan Hakim (17/412841/PN/15163)

DEPARTEMEN PERIKANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2020
KATA PENGANTAR
 
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang bertemakan Perencanaan Usaha
Pengolahan Tepung Ikan ini tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari penulisan dari makalah
ini adalah untuk memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah Perencanaan Usaha Perikanan
Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang pengolahan dan
aspek-aspeknya  bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Kami mengucapkan terima kasih kepada bapak Dr. Ir. Latif Sahubawa, M. Si., selaku
dosen mata kuliah Perencanaan Usaha Perikanan yang telah memberikan tugas ini sehingga
dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni dan
semua pihak yang telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari, makalah yang ditulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.
 
Yogyakarta, 14 Maret 2020
 
 
Penulis

 
BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Ikan merupakan bahan makanan yang mudah busuk (perishable food) karena daging
ikan merupakan substrat yang baik untuk pertumbuhan mikroba terutama bakteri. Oleh karena
itu, diperlukan penanganan yang tepat agar nilai guna dan daya simpan produk meningkat.
Penanganan tersebut dapat dilakukan dengan cara pengolahan (Arfianto dan Liviawati, 2010).
Pengolahan ikan akan menghasilkan produk-produk perikanan dan pasar permintaan semakin
meningkat dikarenakan harga ikan yang relatiF murah jika dibanding dengan harga daging
ayam, kambing, dan sapi, serta karena adanya pergeseran selera konsumen dari red meat ke
white meat. Dengan semakin meningkatnya permintaan akan produk pengolahan perikanan,
maka seharusnya usaha pengolahan ikan dapat tumbuh dengan pesat.

Tepung ikan (fish meal) adalah salah satu produk ikan awetan dalam bentuk kering
yang berupa tepung. Produk tersebut mengandung protein hewani yang tinggi dan merupakan
bahan baku yang diperlukan dalam penyusunan formulasi pakan ternak, ikan, pembuatan
biskuit maupun pembuatan mie yang ditinjau dari kualitasnya. Menurut Adawiyah (2007)
Bahan baku tepung ikan mengandung protein yang tinggi dan asam amino esensial yang
diperlukan oleh tubuh. Selain itu, nilai biologisnya mencapai 90% dengan jaringan pengikat
sedikit sehingga mudah dicerna.

Tepung ikan umumnya diolah dari ikan-ikan yang bernilai ekonomi rendah, hasil
samping penangkapan (bycatch) atau persediaan ikan saat produksi hasil tangkapan nelayan
melimpah. Untuk membuat tepung ikan sebenarnya dapat digunakan semua jenis ikan, namun
hanya ikan pelagis dan demersal saja yang banyak digunakan sebagai bahan baku. Oleh karena
itu, selama ikan masih mungkin dikonsumsi segar oleh masyarakat, tidaklah layak bila ikan
dijadikan tepung ikan karena akan terjadi persaingan harga pembelian bahan baku.

1.2  Tujuan
1. Mengetahui perencanaan usaha pengolahan tepung ikan
2. Menyediakan informasi mengenai aspek-aspek usaha dalam pengolahan tepung ikan
3. Menentukan kelayakan finansial industri pengolahan tepung ikan
1.3 Manfaat
1. Mampu memberikan informasi mengenai tingkat kelayakan finansial dari usaha
pengolahan tepung ikan.
2. Mampu menjadi alternatif solusi untuk membandingkan usaha-usaha dibidang
pengolahan.
3.  Mampu meningkatkan kualitas kebutuhan protein dari pangan masyarakat
Indonesia.
4. Memberikan peluang bagi nelayan untuk mengembangkan pendapatan melalui usaha
pengolahan tepung ikan sebagai home industry secara legal.
5. Sebagai usaha alternatif yang berpenghasilan ketika nelayan sedang tidak melaut.

1.4   Metode Penulisan

Makalah ini dibuat menggunakan metode penelitian yaitu metode deskriptif. Selain itu
pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan.

 
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Tuna 
Ikan tuna memiliki tubuh seperti torpedo dengan kepala yang lancip. Tubuhnya licin,
sirip dada melengkung dan sirip ekor bercagak dengan celah yang lebar. Ikan tuna juga
memiliki warna biru kehitaman pada bagian punggung dan berwarna keputih-putihan pada
bagian perut. Ikan tuna pada umumnya memiliki Panjang 40-200 cm dengan berat antara 3-
130 kg.  Menurut saanin (1986) klasifikasi ikan tuna yaitu sebagai berikut :
Filum              : Chordata 
Subfilum         : Vertebrata
Kelas               : Telostei            
Subkelas          : Actinopterygii
Ordo                : Perciformes
Famili              : Scombridae 
Genus              : Thunnus
Spesies            : Thunnus sp.

Gambar 1. Ikan tuna (Thunnus sp.)

            Ikan tuna merupakan ikan dari family scombridae yang memiliki kandungan protein
yang kalsium yang tinggi. Kandungan kalsium pada ikan tuna yaitu sebesar 39-40%. Tulang
ikan tuna tidak mengandung bahan atau zat-zat yang berbaya serta menghambat penyerapan
kalsium seperti serat, filtrat, dan oksalat, sehingga kalsium yang terkandung dalam tulang ikan
dapat lebih mudah diserap oleh tubuh serta murah dan mudah didapat (Wijayanti et al., 2018).

2.2 Tulang Ikan 

      Tulang ikan merupakan salah satu limbah perikanan yang memiliki nilai ekonomi. Akan
tetapi, pemanfaatan limbah perikanan tersebut masih belum diperhatikan dan dimanfaatkan
dengan baik. Pengolahan limbah tulang ikan bertujuan untuk mengurangi resiko pencemaran
terhadap lingkungan (Sulistiyani et al., 2016). Menurut ibrahim (2009) tulang ikan merupakan
hasil samping dari industri pengolahan fillet. Rendemen fillet yang dihasilkan dari pengolahan
fillet yaitu 36% dan sebanyak 64% merupakan hasil samping yang terutama tulang ikan.
Tulang ikan juga merupakan limbah industri pengolahan yang memiliki kandungan kalsium
tertinggi dibandingkan dengan bagian tubuh yang lain, karena unsur utama dari tulang ikan
adalah kalsium, fosfor dan karbonat. Kalsium yang terkandung dalam hewan termasuk tulang
ikan merupakan salah satu sumber kalsium yang masih belum banyak dimanfaatkan
(Kusumaningrum,  et al., 2016). 

    Pembuatan tepung tulang ikan dilakukan dengan diawali dengan membersihkan tulang,
kemudian dilanjutkan dengan mengeringkan tulang yang sudah dibersihkan. Tulang tersebut
kemudian dihancurkan hingga menjadi tepung kasar, serpihan-serpihan tulang tadi direndam
dalam air kapur 10% selama semalam, kemudian dicuci dengan air tawar. Hasil perendaman
dikeringkan sampai kadar air 5% sehingga menghasilkan tepung tulang yang berkualitas
(Sinaga, 2018). Hasil samping limbah industri pengolahan juga memiliki ikan yang
mengandung tipe limbah organik dengan komponen utamanya tulang. Tulang ikan memiliki
porsi 10% dari total berat tubuh ikan, merupakan salah satu limbah pengolahan ikan. Dalam
tepung tulang ikan mengandung kalsium sebesar 23.72% hingga 39.24% dan fosfor sebesar
11.34% hingga 14.25%. (Handayani et al., 2012).
2.3 Tepung Tulang
      Tepung tulang ikan mengandung nano kalsium dan kalsium fosfor yang tinggi. Tepung
tulang merupakan sumber kalsium dan fosfor yang menyediakan sumber pangan yang kaya zat
gizi dan ditujukan untuk mengurangi kadar pencemaran lingkungan. Tepung tulang ikan juga
mengandung nitrogen seperti asam amino. Penggunaan tepung tulang biasanya digunakan
untuk campuran pada pembuatan makanan. Dimana penggunaan tepung tersebut memiliki
hubungan dengan kadar abu yaitu semakin tinggi penggunaan tepung tulang, maka semakin
tinggi kadar abunya. Salah satu aspek Pemanfaatan tepung tulang ikan tuna yaitu dengan
memfortifikasi atau menambahkan tepung tulang ikan tuna dalam pembuatan produk pangan
fungsional untuk menambahkan zat gizi dalam makanan, salah satu produk pangan yang dapat
ditambahkan kalsium serta dapat diterima oleh masyarakat adalah biskuit (Handayani et al.,
2012).
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Izin Usaha Perikanan


Dalam menjalankan kegiatan usaha pengolahan tepung tulang ikan, UMKM Fish Food
telah menggajukan izin usaha sesuai dengan izin Usaha Industri: UU No. 5 Tahun 1984
tentang Perindustrian dan peraturan menteri kelautan dan perikanan Republik Indonesia
Nomor/Permen-KP/2016 tentang usaha pengolahan ikan. Selain Sudah UMKM Fish Food
telah memperoleh Ijin, SIUP dan TDU-PI, UMKM harus lulus dalam SIUP (Surat Ijin Usaha
Perdagangan) dan juga izin TDU-PI yang diterbitkan oleh dinas. Syarat dalam pembuatan
pengajuan SIUP yaitu:
a. Rencana usaha pengolahan 
1. Jenis usaha
2. Sumber dan nilai investasi
3. Jenis dan asal bahan baku
4. Sarana produksi yang digunakan 
5. Wilayah pemasaran
b. Fotokopi dokumen identitas penanggung jawab perusahaan dengan menunjukkan
aslinya
c. Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) Perusahaan dengan menunjukkan
aslinya
d. Fotokopi akta notaris pendirian Perusahaan
e. Izin prinsip penanaman modal asing dari lembaga yang menangani penanaman
modal, bagi perusahaan penanaman modal asing
f. Rekomendasi dari pemerintah daerah kabupaten/kota dimana lokasi usaha akan
didirikan yang menyatakan bahwa lokasi usaha sesuai dengan Rencana Tata Ruang
Wilayah
g. Memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)
h. Surat pernyataan bermeterai cukup dari pemohon yang menyatakan kebenaran
data dan informasi yang disampaikan
Kemudian persyaratan untuk izin TDU-PI yaitu :
a. Rencana Usaha Pengolahan Ikan paling sedikit memuat:
1. jenis usaha
2. sumber dan nilai investasi
3. jenis dan asal Bahan Baku
4. wilayah pemasaran. 
b. Fotokopi kartu identitas pemilik usaha atau penanggung jawab perusahaan dengan
menunjukkan aslinya
c. Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pemilik usaha atau perusahaan
dengan menunjukkan aslinya
d. Surat keterangan domisili Usaha Pengolahan Ikan.
3.2 Persyaratan Lokasi Usaha
“Pemilihan lokasi suatu organisasi (perusahaan) akan mempengaruhi risiko dan
keuntungan perusahaan tersebut secara keseluruhan, mengingat lokasi sangat mempengaruhi
biaya tetap maupun biaya variabel, baik dalam jangka menengah maupun jangka panjang.
Sebagai contoh, biaya transportasi saja bisa mencapai 25% harga jual produk (tergantung
kepada produk dan tipe produksi atau jasa yang diberikan). Hal ini berarti bahwa seperempat
total pendapatan perusahaan mungkin dibutuhkan hanya untuk menutup biaya pengangkutan
bahan mentah yang masuk dan produk jasa yang keluar dari perusahaan.” (Heizer & Render,
2006).
Pemilihan lokasi usaha secara efektif berarti menghindari resiko negatif seminimal
mungkin atau dengan kata lain mendapatkan lokasi yang memiliki risiko positif paling
maksimal. Pemilihan lokasi juga akan berdampak pada biaya-biaya yang muncul di kemudian
hari akibat telah dipilihnya suatu daerah/ lokasi sebagai tempat usaha. Pertimbangan pemilihan
lokasi usaha akan berbeda ketika tipe bisnis yang akan dijalankan juga berbeda. Perusahaan
industri biasanya menggunakan cost minimizing strategy (strategi minimalisasi biaya). Dilain
pihak, usaha jasa biasanya menggunakan revenue maximizing strategy (strategi maksimalisasi
pendapatan). Sedangkan untuk pemilihan lokasi gudang, biasanya ditentukan dengan
mengkombinasikan faktor biaya dan kecepatan pengiriman. Dari berbagai strategi pemilihan
lokasi, semua bertujuan memaksimalkan keuntungan perusahaan. Setiap perusahaan
mempunyai prioritas tersendiri dalam mempertimbangkan faktor-faktor yang mempengaruhi
pemilihan lokasi usaha. Sebagian perusahaan mengutamakan lokasi yang berdekatan dengan
pasar, tapi sebagian yang lain lebih memilih berdekatan dengan penyedia bahan dan
komponen produknya.
Beberapa perusahaan lain lebih mementingkan ketersediaan tenaga kerja yang dibutuhkan
sehingga memilih lokasi usaha dimana para pekerjanya bertempat tinggal. Bisa dijelaskan
bahwa setiap perusahaan mempunyai alasan masing-masing dalam memilih lokasi usaha, akan
tetapi semua bermuara pada tujuan yang sama yaitu untuk memaksimalkan laba. Lokasi usaha
yang strategis bersifat individual perusahaan, dimana persoalan tersebut sering disebut
pendekatan “situasional” atau “contingency” dalam membuat keputusan, bila dinyatakan
secara sederhana, “semuanya bergantung”. “Faktor-faktor yang secara umum perlu
dipertimbangkan dalam pemilihan lokasi perusahaan, adalah: lingkungan masyarakat,
kedekatan dengan pasar, ketersediaan tenaga kerja, kedekatan dengan bahan mentah dan
supplier, fasilitas dan biaya transportasi, sumber daya alam lain. Selain faktor-faktor tersebut,
berbagai faktor lainnya berikut ini perlu dipertimbangkan dalam pemilihan lokasi: harga tanah,
dominasi masyarakat, peraturan-peraturan tenaga kerja (labor laws) dan relokasi, kedekatan
dengan pabrik-pabrik dan gudang-gudang lain perusahaan maupun para pesaing, tingkat pajak,
kebutuhan untuk ekspansi, cuaca atau iklim, keamanan, serta konsekuensi pelaksanaan
peraturan tentang lingkungan hidup.” (Handoko T. H., 2000).
Penelitian mengenai penentuan atau pemilihan lokasi usaha banyak dilakukan dalam
memilih lokasi pabrik, bisnis ritel dan gudang. Analisis pemilihan lokasi usaha tidak hanya
dilakukan perusahaan berskala besar saja, akan tetapi usaha berskala mikro/ kecil juga
memerlukan strategi pemilihan lokasi yang tepat agar usaha dapat terus dijalankan.
Kesuksesan usaha dipengaruhi banyak sekali faktor, salah satunya penentuan lokasi yang tepat
sebelum usaha dijalankan. Hal tersebut juga berlaku bagi usaha berskala mikro/ kecil.
Berdasarkan penelitian yang ada, usaha mikro/ kecil lebih mudah mencapai kesuksesan jika
memilih lokasi yang lebih dekat dengan pelanggan, sehingga bisa memberikan pelayanan yang
maksimal.
Bagi usaha mikro/kecil, lokasi yang strategis merupakan faktor yang menduduki prioritas
utama jika dibandingkan dengan faktor-faktor yang lain. Hal tersebut berimplikasi terhadap
kesediaan para pengusaha untuk membayar biaya yang lebih tinggi demi mendapatkan lokasi
usaha yang strategis dengan harapan memperoleh pendapatan yang lebih besar. Selain faktor
biaya, kedekatan lokasi usaha dengan infrastruktur dan kondisi lingkungan merupakan faktor-
faktor yang wajib dipertimbangkan pengusaha sebelum memulai usaha. Dewasa ini, usaha
mikro / kecil mengalami peningkatan yang signifikan dibanding dekade sebelumnya. Berbagai
macam usaha baru ataupun jenis usaha lama yang sudah dilengkapi dengan peralatan modern
banyak bermunculan. Jenis-jenis usaha tersebut diantaranya usaha foto copy, laundry, bengkel,
counter HP lengkap dengan jasa service, café lengkap dengan hot spot area, jasa perawatan
tubuh, warnet, jasa pencucian motor, dan banyak lagi jenis usaha. Salah satu strategi bisnis
adalah pemilihan lokasi usaha dimana dalam pelaksanaannya pemilik usaha harus
mempertimbangkan beberapa faktor. Strategi pemilihan lokasi usaha yang berdekatan dengan
sasaran/ target pasar bertujuan memudahkan konsumen dalam mengkonsumsi produk yang
ditawarkan. Disamping dekat dengan target pasar, pemilihan lokasi usaha juga perlu
mempertimbangkan keberadaan infrastruktur yang dibutuhkan dalam menjalankan usaha.
“Pemilihan lokasi usaha merupakan salah satu keputusan bisnis yang harus dibuat secara
hati-hati. Penelitian-penelitian terdahulu menemukan bahwa lokasi usaha berhubungan dengan
kesuksesan usaha tersebut.” (Indarti, 2004). Akan tetapi penelitian tentang pemilihan lokasi
usaha sektor manufaktur, perusahaan besar, serta industri teknologi tinggi, dimana pemilihan
lokasi didasarkan pada pertimbangan biaya transportasi bahan produksi masih sangat
dominan. Lokasi usaha merupakan faktor pemicu munculnya biaya yang signifikan, sehingga
hal tersebut dapat digunakan untuk menyusun strategi bisnis atau sebaliknya menghancurkan
sebuah usaha. Ketika usaha sudah diputuskan akan beroperasi di suatu lokasi tertentu, maka
konsekuensinya biaya-biaya yang muncul akibat dipilihnya lokasi tersebut harus ditanggung
pemilik usaha. Lokasi usaha yang berdekatan dengan target pasar akan memungkinkan sebuah
usaha dapat memberikan pelayanan yang memuaskan pelanggan dan keunggulan lainnya
dapat menghemat biaya pengiriman. Akan tetapi ketika seorang pemilik usaha dihadapkan
untuk memilih salah satu dari kedua keunggulan tersebut, biasanya pengusaha akan lebih
mementingkan pemberian pelayanan terbaik kepada konsumen. “Faktor-faktor yang
mempengaruhi pemilihan lokasi antara lain: lingkungan masyarakat, ketersediaan sumber
alam, tenaga kerja, kedekatan dengan pasar, ketersediaan transportasi, pembangkit tenaga serta
ketersediaan tanah untuk perluasan usaha. Lingkungan masyarakat adalah kesediaan dari
masyarakat di suatu daerah untuk menerima segala konsekuensi baik konsekuensi positif
maupun konsekuensi negatif didirikannya suatu tempat usaha di daerah tersebut merupakan
suatu syarat untuk dapat atau tidaknya didirikannya usaha di daerah tersebut. Tingkat
kepadatan penduduk dan karakteristik masyarakat menjadi faktor penting dalam
mempertimbangkan lokasi usaha. Basis perekonomian yang tersedia seperti: potensi
pertumbuhan, industri daerah setempat, fasilitas keuangan dan fluktuasi karena faktor
musiman di daerah sekitar harus diperhatikan juga dalam pemilihan lokasi usaha.” (Harding,
1978) “Suatu perusahaan juga senang berdekatan dengan pesaingnya. Kecenderungan ini
disebut dengan clustering, hal tersebut terjadi ketika sumber daya utama ditemukan di suatu
wilayah. Sumber daya ini meliputi sumber daya alam, informasi dan juga bakat. Lokasi usaha
yang berdekatan dengan pesaing, memungkinkan perusahaan melakukan strategi kompetisi
baik dalam kepemimpinan harga ataupun jasa lain yang diberikan kepada konsumen.
Pengusaha harus mengenali jumlah dan ukuran usaha pesaing serta situasi persaingan yang
ada di wilayah tersebut.” (Alcacer, 2006) Biaya tanah serta pajak lokal merupakan faktor yang
dipertimbangkan dalam pemilihan lokasi usaha, meskipun sebagian orang menganggap relatif
tidak penting. Biaya tempat berikut pajaknya, mungkin hanya kisaran 3% atau kurang dari
10% dari keseluruhan biaya fasilitas. Pemilihan lokasi usaha juga mempertimbangkan jarak
dari para pemasok/ supplier. Semakin jauh lokasi suatu perusahaan dari supplier-nya, maka
semakin tinggi pula biaya distribusi dimana hal tersebut akan berdampak pada harga jual
produk tidak dapat bersaing di pasar. Supplier mempunyai pengaruh terhadap perusahaan
dalam berbagai aspek seperti kecepatan penyediaan, kualitas barang yang tetap terjaga, biaya
pengiriman, sehingga lokasi yang dekat dengan supplier menjadi hal yang perlu dijadikan
pertimbangan sebelum menentukan lokasi usaha. Ketersediaan tenaga kerja baik yang terdidik
maupun terlatih merupakan faktor tak kalah penting. Jika suatu usaha lebih banyak
memerlukan tenaga kerja unskilled, maka akan lebih baik jika penentuan lokasi usaha
mendekati kantong-kantong tenaga kerja yang dibutuhkan tersebut. Hampir keseluruhan jenis
usaha membutuhkan tenaga listrik dimana hal ini akan berpengaruh pula pada proses
pemilihan lokasi usaha. Ketersediaan sumber tenaga listrik, saluran air bersih, kondisi jalan
serta sarana transportasi yang ada menjadi faktor penting dalam pemilihan lokasi usaha.
Ketersediaan tanah yang luas juga menjadi pertimbangan pengusaha untuk menentukan
lokasi usaha jika di masa mendatang direncanakan melakukan ekspansi usaha. Berikut adalah
faktor-faktor yang dapat dipergunakan sebagai pertimbangan dalam pemilihan lokasi usaha:
1.      Kedekatan dengan konsumen (Schmenner, 1994);
2.      Kedekatan dengan sekolah/ universitas (O'Mara, 1999);
3.      Kedekatan dengan perumahan/ permukiman (Schmenner, 1994);
4.      Kedekatan dengan pesaing (Schmenner, 1994), (Alcacer, 2006), (Tjiptono, 2007),
(Handoko T. H., 2000);
5.      Kemampuan peralatan/ perlengkapan usaha (Schmenner, 1994);
6.      Adanya lahan parkir yang memadai (Schmenner, 1994), (Tjiptono, 2007);
7.      Infrastruktur yang lengkap (O'Mara, 1999);
8.      Kedekatan dengan supplier (Handoko T. H., 2000);
9.      Besarnya pajak (Handoko T. H., 2000);
10.  Kedekatan dengan jalan (Schmenner, 1994);
11.  Tingkat keamanan (Handoko T. H., 2000);
12.  Harga sewa tempat usaha (Schmenner, 1994), (Handoko T. H., 2000).
Berdasarkan banyak penelitian yang telah dilakukan terdapat banyak sekali faktor yang
dapat mempengaruhi keputusan pemilihan lokasi usaha, tentunya disesuaikan dengan jenis
usaha yang akan dijalankan. “Dalam pengukuran kesuksesan bisnis dapat berbeda antara satu
usaha dengan yang lain atau antara satu pemilik dengan pemilik usaha yang lainnya. Namun,
kesuksesan suatu usaha dapat dilihat dari data subjektif maupun objektif atas berbagai aspek,
misalnya pertumbuhan penjualan, pangsa pasar yang dimiliki, dan tingkat keuntungan yang
dicapai.” (Indarti, 2004). Dua metode pengukuran kesuksesan usaha yang biasa digunakan
adalah metode finansial dan non-finansial. Metode finansial biasa dikaitkan dengan tingkat
profitabilitas usaha/ Return on Investment (ROI) dengan jalan membuat perbandingan antara
biaya operasional dengan keuntungan. Sedangkan metode non finansial dilakukan dengan
melakukan penilaian kualitas produk yang dihasilkan, produktivitas, tingkat persediaan,
fleksibilitas, tingkat kecepatan pengiriman, serta kesejahteraan pegawai. Selain kedua metode
yang telah disebut sebelumnya, kesuksesan usaha dapat diukur dengan melihat tingkat
kecepatan pencapaian titik impas usaha/ Break Event Point (BEP). Metode ini dilakukan
dengan cara mengidentifikasikan biaya-biaya yang mungkin muncul dari tiap-tiap alternatif
lokasi yang akan dipilih.
“Penelitian tentang pemilihan lokasi usaha telah banyak dilakukan. Pemilihan lokasi usaha
dianggap sebagai sebuah keputusan investasi yang mempunyai tujuan strategis, sebagai contoh
untuk mempermudah akses pelanggan.” (Schmenner, 1994) Bagi usaha mikro / kecil, lokasi
yang strategis seringkali lebih mempengaruhi pendapatan daripada mempengaruhi biaya. Hal
ini berarti bahwa fokus lokasi bagi usaha mikro/ kecil seharusnya adalah pada volume bisnis
dan pendapatan. Pemilihan lokasi usaha mikro/ kecil lebih memilih lokasi yang dekat dengan
konsumen dengan mempertimbangkan adanya akses jalan, tempat parkir, dan lokasi usaha
yang aman. Usaha mikro/kecil memilih lokasi usaha yang sestrategis mungkin karena lokasi
merupakan penentu utama pendapatan. Lain halnya dengan strategi pemilihan lokasi usaha
manufaktur dimana lokasi sebagai penentu utama biaya, sebab pemilihan lokasi usaha akan
berpengaruh besar kecilnya biaya transportasi bahan mentah maupun produk jadi.
“Keputusan pemilihan lokasi usaha manufaktur dan usaha mikro/ kecil dipengaruhi oleh
berbagai macam kriteria pemilihan yang mendasarkan pada kepentingan kompetitif. Kriteria
pemilihan lokasi usaha tersebut diantaranya adalah iklim bisnis, lingkungan masyarakat, jarak
ke pelanggan, infrastruktur, total biaya yang harus dikeluarkan, kualitas tenaga kerja, supplier,
dan besar kecilnya pengaruh pajak.” (Chase, Aquilano, & Jacobs, 2004) “Dalam mempelajari
pemilihan lokasi usaha dikembangkan suatu pendekatan, dimana terdiri atas dua tahap,
pertama pemilihan area yang akan dijadikan tempat usaha secara umum, dan kedua memilih
lokasi usaha dengan pertimbangan tertentu. Pertimbangan dimaksud dibedakan menjadi dua
yaitu “Musts” dan “Wants”, dimana pemilik usaha menentukan lokasi usaha yang memenuhi
kriteria “Musts”, baru kemudian mempertimbangkan kriteria “Wants” dari lokasi usaha
tersebut.” (Schmenner, 1994).
Kemungkinan masalah yang muncul tersebut antara lain peraturan tempat usaha,
peraturan pajak, penerimaan masyarakat sekitar, supply tenaga kerja, ketersediaan air,
pembuangan limbah, biaya transportasi. “Beberapa faktor berikut perlu dipertimbangkan
secara cermat dalam pemilihan lokasi usaha:
1. Akses Lokasi yang mudah dijangkau atau dilalui sarana transportasi umum;
2. Visibilitas Lokasi yang dapat dilihat dengan jelas dari tepi jalan;
3.  Lalu lintas (traffic), dimana terdapat dua hal yang perlu dipertimbangkan, yaitu
3.a. Banyaknya orang yang melintasi daerah tersebut bisa memberikan besar
terjadinya impulse buying.
3.b. Kepadatan dan kemacetan lalu lintas bisa juga menjadi hambatan, misalnya
terhadap pelayanan kepolisian, pemadam kebakaran dan ambulans.
4. Tempat parkir yang luas dan aman;
5. Ekspansi, yaitu tersedia tanah/ tempat yang cukup luas untuk keperluan perluasan
usaha di kemudian hari;
6. Lingkungan, yaitu kondisi lingkungan sekitar yang mendukung produk yang
ditawarkan. Misalnya usaha fotocopy yang berdekatan dengan sekolah, kampus atau
perkantoran;
7. Persaingan, yaitu lokasi pesaing. Misalnya dalam menentukan lokasi warnet, perlu
dipertimbangkan apakah daerah yang sama sudah banyak berdiri warnet;
8. Peraturan pemerintah, misalnya adanya larangan untuk berjualan produk makanan di
kawasan tertentu, larangan usaha reparasi (bengkel) kendaraan bermotor di daerah
pemukiman penduduk, dsb.” (Tjiptono, 2007).
3.3  Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia dapat diperoleh dengan mempekerjakan masyarakat setempat dan
luar daerah yang memenuhi kualifikasi sebagai pekerja usaha pengolahan tepung ikan
tersebut. Aspek lokasi usaha yang dekat dengan rumah pekerja akan sangat menguntungkan,
dimana biaya transportasi pekerja dapat ditekan. Terkhusus pekerja yang dibutuhkan untuk
menangani masalah mesin dan sanitasi atau keterampilan khusus dapat diperoleh dengan
melakukan kualifikasi berdasarkan pendidikan formal maupun non formal (pengalaman kerja).
Sumber daya manusia atau rumah pekerja yang dekat dengan lokasi produksi menambah
pendapat, keuntungan usaha tersebut. Informasi kebutuhan usaha tersebut dapat diperoleh dari
karyawan setempat, sebagai contoh: biaya tempat, dan bahan di sekitar, dan lainnya.

3.4 Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat


Sektor industri di Sidoarjo berkembang cukup pesat karena lokasi yang berdekatan dengan
pusat bisnis Jawa Timur (Surabaya), dekat dengan Pelabuhan Tanjung Perak maupun Bandara
Juanda. Banyak sekali masyarakat yang memiliki tambak dan juga ternak yang mana sangat
membutuhkan pakan. Masyarakat di Sidoarjo juga menggantungkan hidupnya menjadi buruh
pabrik industri yang kebanyakan didominasi oleh perusahaan ikan beku. Sidoarjo memiliki
sumber daya manusia yang produktif serta kondisi sosial politik dan keamanan yang relatif
stabil menarik minat investor untuk menanamkan modalnya di Sidoarjo. Sektor industri kecil
juga berkembang cukup baik, diantaranya sentra industri kerajinan tas dan koper di
Tanggulangin, sentra industri sandal dan sepatu di Wedoro - Waru dan Tebel - Gedangan,
sentra industri kerupuk di Telasih - Tulangan.
Pertumbuhan ekonomi berbasis UKM yang semakin bergeliat juga membuka peluang
tenaga kerja bagi masyarakat bertumbuh. Akibatnya, terjadilah mobilitas horizontal dalam
masyarakat desa ke kota yang juga menuntut dibutuhkannya pembangunan infrastrukur hunian
dan layanan publik baru bagi masyarakat di Sidoarjo. Umumnya kita dapat melihat mobilitas
tersebut dari semakin banyaknya warga pendatang di Sidoarjo yang kemudian tinggal di
perumahan atau komplek-komplek yang baru dibangun di Sidoarjo demi alasan pekerjaan.
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan Nur Fahmi (2013) yang membahas tentang ruang
lingkup masalah sosial atas dampak pembangunan di Sidoarjo; terdapat interaksi yang berjalan
kurang baik antara masyarakat pendatang dengan masyarakat asli Sidoarjo yang juga
menggeser pola pikir dan perilaku masyarakat dari yang sebelumnya terdapat budaya gotong
royong membangun rumah menjadi lebih individualistik. Hal tersebut bisa berdampak lebih
tidak kondusif lagi apabila tidak ditopang melalui aktivitas masyarakat yang melibatkan
interaksi massal secara positif antara pendatang dan masyarakat asli Sidoarjo.

3.5 Pemasaran Produk


Pesatnya perkembangan usaha budidaya peternakan, baik ternak ruminansia, ternak
unggas maupun budidaya perikanan saat ini, menyebabkan semakin meningkatnya permintaan
pakan ternak dan ikan. Tepung ikan masih diimpor, maka harganya masih cukup tinggi, yaitu
sekitar Rp.12.000,- s/d 15.000/kg untuk mutu I (Hasil survey pasar, 2012). Melihat
perkembangan potensi permintaan yang semakin berkembang, masih terbuka peluang yang
cukup besar dengan memanfaatkan bahan baku limbah dari industri ikan beku di Sidoarjo dan
bersaing dengan produk tepung ikan yang telah ada di pasaran saat ini. Pasar yang sudah pasti
saat ini adalah para peternak ayam pedaging dan petelur di daerah Jawa Timur yang setiap
harinya membutuhkan puluhan ton tepung ikan sebagai bahan baku dalam pembuatan ransum
pakan ternak mereka. Selain itu, industri pakan ikan membutuhkan tepung ikan untuk bahan
baku pembuatan pelet ikan yang sedang dikembangkan. Dilihat dari potensi pasar yang sudah
siap menampung tepung ikan yang akan dihasilkan, masalah pemasaran produk bukan menjadi
kendala yang berarti lagi, dengan catatan perlu dijaga kualitas, kuantitas dan kontinuitas
produksi tepung ikan yang akan dihasilkan.
3.6 Operasional
Bahan yang digunakan dalam kegiatan ini adalah limbah ikan yang berasal dari perusahaan
industri ikan beku di dekat lokasi usaha, plastik bening dan karung berlabel. Peralatan yang
digunakan adalah ember, alat pengukus, alat penepung, oven, blender basah dan kering,
timbangan digital, hand sealer, kompor gas, nampan, dan peralatan pembantu lainnya. Adanya
kerja sama dengan perusahaan industri ikan beku, ketersediaan bahan baku tidak menjadi
persoalan lagi.
Proses pembuatan tepung ikan dari limbah pengolahan hasil perikanan yang telah , dapat
dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Bagan alir proses pembuatan tepung ikan.

Untuk melaksanakan proses produksi pembuatan tepung ikan dari limbah pengolahan hasil
perikanan ini, dibutuhkan beberapa peralatan yang harus disiapkan, antara lain : 
a. Mesin penghancur/penggiling kapasitas 100 kg per jam. 
b. Mesin press hidrolik. 
c. Oven pengering kapasitas 1 ton per satu kali pengeringan.  
d. Mesin penepung kapasitas 100 kg per jam. 
e. Mesin penutup karung manual. 
f. Timbangan duduk kapasitas 100 kg 
Diantara peralatan tersebut memang ada beberapa alat yang harus dimodifikasi, diantaranya
mesin press, oven, dan disain kemasan, sedangkan untuk mesin penghancur, mesin penepung,
mesin penutup karung dan timbangan duduk, sudah ada dan layak pakai.

Gambar 2. Rencana Lay Out Pabrik Pengolahan Tepung Ikan Skala Home Industri
(Sumber : Harris et al. 2012)
Keterangan : 
1. Bahan Baku masuk 
2. Penyortiran 
3. Pencucian 
4. Pengukusan
5. Pengepresan 
6. Pengeringan 
7. Penepungan 
8. Tepung ikan
9. Pengemasan   
10. Penggudangan dan Pemasaran   

3.7 AMDAL
    Analisis Mengenai Dampak Usaha Pengolahan Tepung Tulang Ikan Tuna Terhadap
Lingkungan
Dampak Positif Dari Pembangunan Usaha Pengolahan Tepung Tulang Ikan Tuna:
a. Pemanfaatan limbah tulang ikan tuna sebagai sumber kalsium merupakan salah satu
alternatif dalam rangka menyediakan sumber pangan kaya kalsium sekaligus mengurangi
dampak buruk pencemaran lingkungan akibat dari pembuangan limbah industri
pengolahan tuna.
b. Membuka lapangan kerja bagi masyarakat sekitar tempat didirikan usaha tersebut
sehingga dapat mengurangi jumlah pengangguran di sekitar tempat usaha tersebut.
Usaha pengolahan tepung tulang ini juga meningkatkan pendapatan pengusaha lokal
disekitar, seperti toko kemasan dan usaha perparasi mesin.
c. Memberi pembelajaran kepada masyarakat tentang pengolahan limbah tulang ikan guna
dijadikan sebagai tepung tulang ikan dan mentransfer pengetahuan kepada masyarakat
tentang pentingnya pemakaian tepung tulang yang berasal dari limbah tulang ikan untuk
dikonsumsi karena kandungan gizi yang tinggi, yaitu kalsium, fosfor, dan karbonat.
Dampak Negatif Dari Pembangunan Usaha Pengolahan Tepung Tulang Ikan Tuna:
a. Perubahan Fungsi dan Tata Guna Lahan. Pendirian usaha tepung tulang ikan pada lahan
kosong atau sawah dapat merugikan beberapa pihak. Perubahan fungsi dan tata guna
lahan dapat mengakibatkan terjadinya perubahan mata pencaharian dan pendapatan
penduduk. Semisal, pada awalnya wilayah tersebut merupakan wilayah pertanian.
Setelah adanya usaha tersebut, para penduduk setempat beralih menjadi profesi.
Otomatis, pendapatan mereka juga berubah.
b. Penurunan Kualitas udara dapat disebabkan bahan baku dari tepung tulang ikan tuna
yang berbau kurang sedap. Udara disekitar UMKM menjadi kotor dan berimbas pada
kesehatan masyarakat sekitar. Peningkatan kebisingan pada kegiatan proses produksi
yang menganggu ketenangan masyarakat sekitar.
c. limbah sisa hasil produksi seperti air cucian tulang dapat mencemari lingkungan sekitar
apabila tidak ditangani dengan benar, serta dapat menurunkan kualitas air sumur di
sekitar daerah yang digunakan untuk mendirikan usaha tersebut.

3.8 Keuangan

Biaya Tetap
No Nama barang Jumlah Harga
.
1. Kompor 2 buah Rp. 1.000.000
2. Mesin penepung 1 buah Rp. 3.500.000
3. Sewa bangunan Per bulan Rp. 5.000.000
4. Gaji karyawan 2 orang Rp. 4.000.000
5. Oven 3 buah Rp. 500.000
6. Timbangan 2 buah 2 buah Rp. 200.000
7. Panci 4 buah Rp. 200.000
8. Peralatan dapur Rp. 100.000
9. Ember 2 buah Rp. 100.000
Total Rp. 14.600.000
Biaya Variabel
1. Tulang ikan tuna 650kg/bulan Rp. 3.250.000
2. NaOH 2 sacks Rp. 170.000
3. Air PAM Rp. 200.000
Total Rp. 3.620.000

Total Biaya Produksi


 (Biaya tetap + biaya variabel)             : Rp. 14.600.000 + Rp. 3.620.000
                                                              : Rp. 18.440.000
Penerimaan
Harga Penjualan tepung tulang ikan tuna : Rp. 35.000/kg

Pendapatan : Kapasitas produksi per bulan (kg) x harga jual =  600 x 35.000 =  Rp. 21.000.000

Keuntungan    = Pendapatan – Biaya produksi


                  = Rp. 21.000.000 – Rp. 18.440.000
= Rp. 2.560.000
DAFTAR PUSTAKA

Adawiyah. 2007. Pengolahan dan Pengendalian Ikan. Bumi Aksara. Jakarta.


Alcacer, J. (2006). Location Choices Across the Value Chain: How Activity and Capability
Influence Collocation. Management Science , 52, 1457-1471.
Chase, R. B., Aquilano, N. J., & Jacobs, F. R. (2004). Operations Management for
Competitive Advantage. China: McGraw-Hill.
Handayani, A., Giat, S.S., dan Deswita. 2012. Preparasi Dan Karakterisasi Hidroksiapatit
Berpori Dari Tulang Ikan. Jurnal Sains Materi Indonesia. 14(1):47-50.
Handoko, T. H. (2000). Dasar-dasar Manajemen Produksi dan Operasi. Yogyakarta: BPFE.
Handoko, T. H. (2000). Dasar-dasar Manajemen Produksi dan Operasi. Yogyakarta: BPFE.
Harding, H. A. (1978). Manajemen Produksi. Jakarta: Balai Aksara.
Harris, Dandy Efreza dan Ikromatun Nafsiyah. 2012. Potensi pengembangan tepung ikan dari
limbah pengolahan ikan makanan khas Palembang. Jjurnal Pengembangan Manusia.
Heizer, J., & Render, B. (2006). Manajemen Produksi. Jakarta: Salemba Empat.
Indarti, N. (2004). Business Location and Success: The Case of Internet Café Business in
Indonesia. Gadjah Mada International Journal of Business , 6, 171-192.
Kusumaningrum, I., Sutono, D., dan Pamungkas, B.F. 2016. Pemanfaatan Tulang Ikan Belida
Sebagai Tepung Sumber Kalsium Dengan Metode Alkali. JPHPI. 19(2): 148-155.
O'Mara, M. A. (1999). Strategic Drivers of Location Decisoins for InformationAge
Companies. Journal of Real Estate Research , 365-386.
Saanin H. 1968. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Bogor : Binacipta.
Schmenner, R. W. (1994). Service Firm Location Decisions: Some Midwestern Evidence.
International Journal of Service Industry , 35-56.
Sinaga, I.B., Harahap, L.A., dan Ichwan, Nazif. 2018. Karakteristik Tepung Tulang Yang
Dihasilkan Berbagai Bahan Baku Yang Diolah Dengan Alat Penggiling Tulang.
Keteknikan Pertanian. 6(1):181-185.
Sulistiyani, A.T., Aisyah, D., Mamat, I., dan Sontang. M. 2016. Pemberdayaan Masyarakat
Pemanfaatan Limbah Tulang Ikan untuk Produk Hidroksiapatit (Hydroxyapatite/HA)
Kajian di Pabrik Pengolahan Kerupuk Lekor Kuala Terengganu-Malaysia.
Indonesian Journal of Community Engagement. 2(1): 14-29.
Tjiptono, F. (2007). Pemasaran Jasa. Malang: Bayumedia Publishing.
Wijayanti, Supriyana, Bahiyatun. 2016. Perbandingan Pengaruh Pemberian Ekstrak Tulang
Ikan Tuna Dengan Suplemen Kalk Terhadap Kadar Kalsium Darah Ibu Hamil Pasien
Puskesmas. Jurnal KesMaDasKa. 2(1):12-16.

Anda mungkin juga menyukai