Anda di halaman 1dari 31

ANALISIS KUALITAS AIR SUNGAI BRANTAS AKIBAT

PEMBUANGAN LIMBAH DOMESTIK

Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Manajemen Tata Lingkungan


yang dibina oleh Bapak Prof. Ir. Marsoedi Ph, D.

Oleh Kelompok 1:
Imam Rosidi

135080500111017

M. Bimo Satiyanto

135080500111032

Yuni Setyaningrum Wijayanti

135080500111038

Hanifah Dwi Rahmawati

135080500111039

Rory Sera Ayudya

135080500111040

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN


UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2015

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena hanya berkat
rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul
Analisis Kualitas Air Sungai Brantas Akibat Pembuangan Limbah Domestik.
Makalah ini disusun sebagai salah satu tugas matakuliah Manajemen Tata
Lingkungan di program studi Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Universitas Brawijaya Malang.
Pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesarbesarnya kepada Bapak Prof. Ir. Marsoedi Ph, D. selaku dosen
pembimbing matakuliah Manajemen Tata Lingkungan. Tidak lupa pihak-pihak
yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari ketidaksempurnaan penulisan makalah ini. Sehingga
kritik dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak sangat kami
harapkan sehingga hasil makalah ini dapat memberikan manfaat. Akhir kata,
besar harapan kami terhadap karya kecil ini agar dapat bermanfaat bagi
semuanya.
Malang, Oktober 2015

Penulis

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................. 1
KATA PENGANTAR.............................................................................................2
DAFTAR ISI.........................................................................................................3
1. PENDAHULUAN...........................................................................................4
1.1 Latar Belakang.......................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah..................................................................................5
1.3 Tujuan....................................................................................................5
2. TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................6
2.1 Sungai....................................................................................................6
2.1.1 Zonasi Sungai..............................................................................7
2.1.2 Bagian-bagian Sungai dan Ciri-cirinya.........................................7
2.2 Pemanfaatan Sungai untuk Kegiatan Budidaya......................................8
2.3 Parameter Kualitas Air............................................................................9
2.3.1 Faktor Abiotik...............................................................................9
2.3.2 Faktor Biotik...............................................................................10
2.3 Limbah Domestik..................................................................................11
3. METODE PENULISAN................................................................................14
3.1 Tahap Persiapan...................................................................................14
3.2 Tahap Pengumpulan Data....................................................................14
3.3 Tahap Analisis Data..............................................................................14
4. PEMBAHASAN............................................................................................15
4.1 Gambaran Umum Lokasi......................................................................15
4.2 Kondisi Kualitas Air di Sungai Brantas..................................................16
4.3 Analisa Data.........................................................................................19
4.5 Manajemen Pengelolaan Sungai Brantas.............................................24
5. PENUTUP...................................................................................................27
5.1 Kesimpulan...........................................................................................27
5.2 Saran....................................................................................................28
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................29
LAMPIRAN........................................................................................................31

1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ekosistem sungai merupakan habitat bagi biota air yang keberadaannya
sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya. Sungai juga merupakan sumber
air bagi masyarakat yang dimanfaatkan untuk berbagai keperluan dan kegiatan,
seperti kebutuhan rumah tangga, pertanian, industri, sumber mineral, dan
pemanfaatan lainnya. Kegiatan-kegiatan tersebut bila tidak dikelola dengan baik
akan berdampak negatif terhadap sumberdaya air, diantaranya adalah
menurunnya kualitas air. Kondisi ini dapat menimbulkan gangguan, kerusakan,
dan bahaya bagi mahkluk hidup yang bergantung pada sumberdaya air.
Pencemaran air sungai sangat ditentukan oleh kegiatan serta manfaat
sumber daya air oleh manusia yang berada di perairan tersebut. Pasal 1 ayat 11
PP. No 82 Tahun 2001 mendefinisikan Pencemaran air adalah masuknya atau
dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam air
oleh kegiatan manusia, sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu
yang menyebabkan air tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya.
Pendugaan pencemaran sungai dapat dilakukan dengan melihat pengaruh
polutan terhadap kehidupan organisme perairan dan lingkungan. Unit penduga
adanya pencemaran tersebut diklasifikasikan dalam parameter fisika, kimia dan
biologi.
Berdasarkan pemanfaatannya, Sungai Brantas digunakan untuk keperluan
rumah tangga, usaha perikanan, pertanian, peternakan, industri, Perusahaan
Daerah Air Minum (PDAM), pembangkit listrik, penampung air serta di beberapa
tempat digunakan sebagai tempat pembuangan sampah rumah tangga dan
industri. Secara langsung maupun tidak langsung Sungai Brantas mempunyai
fungsi ganda yaitu untuk keperluan hidup dan sebagai tempat pembuangan
bahan-bahan sisa. Berdasarkan fakta yang ada, selama sepuluh tahun terakhir,
kualitas air Sungai Brantas menurun dikarenakan pencemaran yang bersumber
dari limbah domestik rumah tangga dan limbah beracun dari industri di
sepanjang Sungai Brantas mulai Mojokerto hingga Surabaya. Hal ini akan
berakibat buruk bagi penduduk di sekitar Sungai Brantas karena air sungai ini
menjadi bahan baku air minum penduduk di sekitar sungai tersebut. Selain itu
juga berdampak pada kepunahan sejumlah ikan endemik atau ikan asli di Sungai
Brantas.

Dengan mengetahui pentingnya sungai Brantas baik secara ekonomi dan


ekologi, kami tertarik untuk membahas kualitas air pada sungai Brantas akibat
limbah domestik sebagai topik makalah kami. Sehingga kita dapat mengetahui
kelayakan sungai Brantas untuk suatu kegiatan budidaya serta dapat melakukan
pengelolaan yang baik.
1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang diatas, maka didapat rumusan masalah yakni
sebagai berikut.
1. Bagaimana peran sungai Brantas baik secara ekologis dan ekonomi?
2. Bagaimana limbah domestik dapat mencemari sungai Brantas?
3. Bagaimana kondisi kualitas air sungai Brantas saat ini?
4. Bagaimana cara mempertahankan kualitas air sungai Brantas?
5. Bagaimana cara mengelola sungai Brantas?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan penulisan ini yakni sebagai berikut.
1. Mengetahui pentingnya peran sungai Brantas baik secara ekologis dan
2.
3.
4.
5.

ekonomi.
Mengetahui limbah domestik dapat mencemari sungai Brantas.
Mengetahui kondisi kualitas air sungai Brantas saat ini.
Mengetahui cara mempertahankan kualitas air sungai Brantas.
Mengetahui cara mengelola sungai Brantas.

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sungai
Menurut Lensun dan Tumembouw (2013), sungai adalah salah satu sumber
daya alam yang bersifat mengalir (flowing resource), sehingga pemanfaatan di
hulu dapat menurunkan kualitas air, pencemaran dan biaya sosial bagi
pelestariannya dan juga merupakan perairan umum dengan pergerakan air satu
arah yang terus menerus. Ekosistem sungai merupakan habitat bagi biota air
yang keberadaannya sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya.
Terbentuknya sungai menurut Sosrodarsono et al. (1985) yaitu, saat air
hujan yang turun ke permukaan bumi ini akan mengalir ke tempat-tempat yang
rendah seperti danau dan laut. Dari jalannya air ke daerah yang lebih rendah ini
terbentuklah aliran-aliran air. Tempat mengalirnya air yang berasal dari hujan
disebut alur sungai. Dan perpaduan antara alur sungai dan aliran air didalamnya
ini membentuk suatu cekungan yang disebut sungai.
Menurut Dinas Pekerjaan Umum (PU), sungai adalah salah satu sumber air
yang mempunyai fungsi penting bagi kehidupan dan penghidupan masyarakat di
sekitarnya. Sedangkan menurut PP No. 35 Tahun 1991 tentang Sungai
dijelaskan bahwa sungai merupakan tenpat-tempat dan wadah-wadah serta
jaringan pengaliran air mulai dari mata air sampai muara dengan dibatasi kanan
dan kirinya serta sepanjang pengalirannya oleh garis sempadan. Sungai adalah
bagian permukaan bumi yang letaknya lebih rendah dari tanah di sekitarnya dan
menjadi tempat mengalirnya air tawar menuju ke laut, danau, rawa, atau ke
sungai yang lain.
Sungai merupakan sumber air bagi masyarakat yang dimanfaatkan untuk
berbagai keperluan dan kegiatan, seperti kebutuhan rumah tangga, pertanian,
industri, sumber mineral, dan pemanfaatan lainnya. Kegiatan-kegiatan tersebut
bila tidak dikelola dengan baik akan berdampak negatif terhadap sumberdaya air,
diantaranya adalah menurunnya kualitas air. Kondisi ini dapat menimbulkan
gangguan, kerusakan, dan bahaya bagi mahkluk hidup yang bergantung pada
sumberdaya air. Penurunan kualitas air akibat pencemaran tentu sangat
merugikan bagi kegiatan budidaya. Selain dapat mengakibatkan kematian pada
ikan, bahan pencemar yang masuk ke dalam ikan akan terakumulasi di
dalamnya dan akan membahayakan bagi kesehatan manusia.

2.1.1

Zonasi Sungai
Menurut Barus (2004), Ekosistem lotik/sungai dibagi menjadi beberapa

zona dimulai dengan zona krenal (mata air) yang umumnya terdapat di daerah
hulu.

Zona krenal dibagi menjadi rheokrenal, yaitu mata air yang berbentuk air
terjun biasanya terdapat pada tebing-tebing yang curam, limnokrenal, yaitu
mata air yang membentuk genangan air yang selanjutnya membentuk
aliran sungai yang kecil dan helokrenal, yaitu mata air yang membentuk

rawa-rawa.
Zona rithral merupakan aliran dari beberapa mata air akan membentuk
aliran sungai di daerah pegunungan yang disebut zona rithral, ditandai
dengan relief sungai yang terjal. Zona rithral dibagi menjadi tiga bagian,
yaitu epirithral (bagian yang paling hulu), metarithral (bagian tengah dari
zona rithral), dan hyporithral (bagian paling akhir dari zona rithral). Setelah
melewati zona hyporithral, aliran sungai akan memasuki zona potamal,
yaitu aliran sungai pada daerah-daerah yang relatif lebih landai
dibandingkan dengan zona rithral. Zona potamal juga dibagi menjadi tiga
bagian yaitu epipotamal (bagian atas dari zona potamal), metapotamal
(bagian tengah) dan hypopotamal (akhir dari zona potamal).

2.1.2

Bagian-bagian Sungai dan Ciri-cirinya


Menurut Barus (2004), bagian-bagian dari sungai bisa dikategorikan

menjadi tiga, yaitu bagian hulu, bagian tengah dan bagian hilir.

Bagian Hulu
Bagian hulu memiliki ciri-ciri: arusnya deras, daya erosinya besar, arah
erosinya (terutama bagian dasar sungai) vertikal. Palung sungai berbentuk
V dan lerengnya cembung (convecs), kadang-kadang terdapat air terjun

atau jeram dan tidak terjadi pengendapan.


Bagian Tengah
Bagian tengah mempunyai ciri-ciri: arusnya tidak begitu deras, daya
erosinya mulai berkurang, arah erosi ke bagian dasar dan samping
(vertikal dan horizontal), palung sungai berbentuk U (konkaf), mulai terjadi
pengendapan (sedimentasi) dan sering terjadi meander yaitu kelokan
sungai yang mencapai 180 atau lebih.

Bagian Hilir

Bagian hilir memiliki ciri-ciri: arusnya tenang, daya erosi kecil dengan arah
ke samping (horizontal), banyak terjadi pengendapan, di bagian muara
kadang-kadang terjadi delta serta palungnya lebar.
2.2 Pemanfaatan Sungai untuk Kegiatan Budidaya
Menurut Heddy dan Kurniati (1994), beberapa kelebihan sungai yang bisa
dimanfaatkan untuk lahan budidaya ikan, antara lain:
1. Pertukaran antara air dengan dasar lebih intensif karena adanya arus
2. Pada air mengalir, kadar oksigen lebih tinggi dibandingkan dengan perairan
tenang
Pencampuran kandungan zat hara lebih merata, juga temperaturnya
Sungai memiliki sumberdaya yang bisa dimanfaatkan untuk budidaya,
seperti ikan-ikannya. Jenis ikan yang berhabitat di sungai yaitu: lele, Mujair, nila,
patin, ikan baung, bawal, dan gurami. Ikan tersebut bisa dipelihara disungai
dalam sistem karamba. Menurut Cahyono (2001), pemanfaatan sumberdaya
perairan umum sebagai lahan untuk usaha budidaya ikan memerlukan teknik
budidaya yang sesuai dengan sumber perairannya (danau, waduk, sungai,
saluran irigasi, rawa). Metode jala apung, metode keramba, dan metode
hampang adalah metode budidaya ikan yang cocok untuk diterapkan di perairan
umum. Metode yang biasa digunakan untuk budidaya perairan disungai yaitu
dengan metode keramba. Keramba dapat dipasang terapung (terendam
sebagian) atau tidak terapung (terendam keseluruhan) tergantung pada
kedalaman sungai.
Selain itu menurut Afrianto dan Liviawaty (2005), ada metode kurungan
apung, yaitu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam lokasi untuk
budidaya di sungai antara lain:
1. Kondisi lingkungan perairan di sekitar kurungan terapung yang dipilih
sebaiknya yang agak jernih, agar sinar matahari dapat menembus dalam
perairan
2. Kondisi air sebaiknya yang banyak mengandung organisme makanan
alami bagi ikan
3. Perairan dengan arus yang tidak terlalu deras, sebab memungkinkan
pertukaran air trerjadi setiap saat sehingga kebutuhan oksigen terpenuhi
dan sisa makanan dan kotoran hasil metabolisme dapat segera terbuang.
4. Dasar perairan sebaiknya dipilih yang agak berlumpur, untuk memudahkan
menancapkan bambu atau penyangga kurungan apung.

Jenis ikan yang biasa dipelihara di sistem kurungan terapung antara lain;
ikan bandeng (Chanos chanos), catfish, ikan mas (Ciprinus carpio), ikan nila
(Oreochromis niloticus), ikan mujair (Oreochromis mossambica).
2.3 Parameter Kualitas Air
2.3.1

Faktor Abiotik
Menurut Purnami et al. (2010), masuknya bahan pencemar baik dari limbah

rumah tangga, pertanian, perikanan, dan/atau industri ke dalam perairan dapat


mempengaruhi kualitas perairan. Parameter lingkungan abiotik yang umum di
jadikan perwakilan diantaranya seperti yang diukur dalam penelitian ini, yakni
parameter suhu, kejernihan, dan substrat sebagai perwakilan parameter fisik
serta pH, DO, Nitrat, Kalsium, Phospat, dan Magnesium sebagai perwakilan
parameter kimia. Perbedaan kualitas perairan pada tiap stasiun membentuk
karakter habitat tersendiri serta dapat mempengaruhi jumlah dan distribusi dari
organisme akuatik di dalamnya.
Menurut Siahaan et al. (2011) kualitas air sungai diketahui berdasarkan
faktor kimia sebagai berikut:
1. pH
pH air sungai berkisar 4-9. Kisaran pH yang cocok buat organisme akuatik
tidak sama tergantung pada jenis organisma tersebut. Perubahan pH menjadi hal
yang peka bagi sebagian besar biota akuatik. Organisme akuatik lebih menyukai
pH mendekati pH netral. Apabila nilai pH suatu perairan kurang dari 5 atau
melebihi 9, perairan itu sudah tercemar berat (Manik, 2003 dalam Rudiyanti et
al., 2009). pH yang sangat rendah, menyebabkan kelarutan logam-logam dalam
air makin besar, yang bersifat toksik bagi organisme air, sebaliknya pH yang
tinggi dapat meningkatkan konsentrasi amoniak dalam air yang juga bersifat
toksik bagi organisme air.
2. DO (Disolved Oksigen)
Oksigen yang terlarut/DO dalam air sangat dibutuhkan untuk mendukung
kehidupan organisme akuatik. Sumber utama DO yaitu fotosintesis dan reareasi
atmosfir. Secara umum, DO berfluktuasi yang menurun ke arah hilir. Menurut Lee
et al., (1978) dalam Rudiyanti et al. (2009), berikut ini merupakan klasifikasi
tingkat pencemaran berdasarkan kandungan oksigen terlarut pada suatu
perairan: tidak tercemar sampai tercemar sangat ringan (> 6,5 mg/l), tercemar
ringan (4,4-6,4 mg/l), tercemar sedang (2,0-4,4 mg/l) dan tercemar berat (< 2,0
mg/l).
9

3. BOD dan COD


Nilai BOD dan COD air sungai dapat menunjukan banyaknya pencemar
organik yang ada didalam air sungai. Nilai BOD dan COD air berfluktuasi
semakin meningkat ke hilir. BOD dan COD lebih tinggi pada musim kemarau
dibandingkan

musim

hujan. Air

hujan

yang

masuk

ke

sungai

dapat

mengencerkan pencemar bahan organik sehingga menurunkan BOD dan COD.


Menurut standar bakumutu kualitas air PP No. 82 Tahun 2001 (kelas II), nilai
BOD untuk kegiatan budidaya kurang dari 3 mg/L. BOD tinggi menunjukkan
bahwa

jumlah

oksigen

yang

dibutuhkan

oleh

mikroorganisme

untuk

mengoksidasi bahan organik dalam air tersebut tinggi, hal berarti dalam air
sudah terjadi defisit oksigen. Banyaknya mikroorganisme yang tumbuh dalam air
disebabkan banyaknya makanan yang tersedia (bahan organik), oleh karena itu
secara tidak langsung BOD selalu dikaitkan dengan kadar bahan organik dalam
air.
Menurut Effendi (2003) dalam Jukri et al. (2013), Salah satu faktor fisika
ekosistem sungai adalah kekeruhan. bahwa kecerahan air tergantung pada
warna dan kekeruhan. Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan
berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahanbahan yang terdapat di dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan
organik dan anorganik yang tersuspensi dan larut (misalnya lumpur dan pasir
halus), maupun bahan organik dan anorganik yang berupa plankton dan
mikroorganisme lain.
2.3.2

Faktor Biotik
Kualitas air secara biologis juga perlu diperhatikan karena kehidupan

biologis yang berlangsung terkena dampak dari pencemaran yang terjadi. Selain
itu dibandingkan dengan menggunakan parameter fisika dan kimia, indikator
biologi dapat memantau secara berkelanjutan. Kelompok organisme yang umum
digunakan dalam pendugaan kualitas air adalah plankton, benthos, dan nekton
(ikan). Kelompok tersebut digunakan sebagai parameter kualitas air karena
dapat mencerminkan pengaruh perubahan kondisi fisik dan kimia yang terjadi
diperairan dalam selang waktu tertentu. Selain itu, bioindikator juga dipilih karena
merupakan indikator kualitas ekologis sungai Brantas yang semakin terancam
kehidupannya akibat pencemaran oleh limbah.
Menurut Pratiwi et al. (2015), menyataan bahwa salah satu biota yang
dapat digunakan sebagai parameter biologi dalam menentukan kualitas suatu
10

perairan adalah makrozoobenthos. Makrozoobenthos lebih banyak digunakan


karena keanekaragaman yang terdapat di lingkungan perairan dapat digunakan
sebagai indikator pencemaran. Setiap spesies makrozoobenthos akan memilliki
sensitifitas yang berbeda pada perubahan lingkungan. Makrozoobenthos sebagai
organisme dasar perairan, mempunyai habitat yang relatif tetap. Sungai yang
berkualitas baik akan memiliki keanekaragaman makrozoobentos yang tinggi dan
tidak ditemukan taksa yang memiliki kepadatan yang tinggi.
Menurut Usman (1989) dalam Aprisanti et al. (2013), Organisme diatom di
perairan sungai sebagian besar hidup menempel baik pada bebatuan, tumbuhan,
permukaan sedimen maupun hewan. menyatakan bahwa diatom epilitik
menempati porsi terbesar pada perairan sungai. Diantara keistimewaan diatom
epilitik adalah memiliki respon yang sangat cepat terhadap perubahan
lingkungan dan memiliki waktu siklus hidup yang pendek dibandingkan dengan
ikan dan mikro invertebrata lainnya. Maka dengan demikian, perubahan
lingkungan sangat berpengaruh terhadap komposisi dan distribusinya. Tingginya
beban pencemaran pada sungai Senapelan dan sungai Sail diperkirakan akan
berdampak pada kehidupan diatom epilitik.
2.3

Limbah Domestik
Berdasar pada sumbernya, bahan pencemar dapat dibedakan atas

pencemaran yang disebabkan oleh alam dan pencemaran oleh kegiatan


manusia. Bahan pencemar di perairan dapat berasal dari sumber buangan yang
dapat diklasifikasikan sebagai sumber titik (point source discharge) dan sumber
menyebar (diffuse source). Sumber titik adalah sumber pencemaran terpusat
seperti yang berasal dari air buangan industri maupun domestik dan saluran
drainase. Sedangkan sumber menyebar polutan yang masuk ke perairan seperti
run offatau limpasan dari permukaan tanah permukiman atau pertanian
(Hendrawan, 2005).
Pasal 1 ayat 11 PP. No 82 Tahun 2001 mendefinisikan pencemaran air
adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau
komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia, sehingga kualitas air turun
sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak dapat berfungsi sesuai
dengan peruntukannya. Definisi pencemaran air tersebut dapat diuraikan sesuai
makna pokoknya menjadi tiga (3) aspek penyebab atau pelaku dan aspek akibat.
Pendugaan pencemaran sungai dapat dilakukan dengan melihat pengaruh

11

polutan terhadap kehidupan organisme perairan dan lingkungan. Unit penduga


adanya pencemaran tersebut diklasifikasikan dalam parameter fisika, kimia dan
biologi (Lensun dan Tumembouw, 2013).
Kepadatan penduduk dapat mempengaruhi pencemaran lingkungan
Sungai Brantas. Hal ini dikaitkan dengan tingkat kesadaran penduduk dalam
memelihara lingkungan yang sehat dan bersih. Limbah domestik yang dapat
berupa buangan air rumah tangga, padatan berupa sampah yang dibuang ke
sungai, air cucian kamar mandi maupun buangan tinja akan mempengaruhi
tingkat kandungan BOD, COD serta bakteri E. Coli dalam sungai. Sedangkan
limbah

industri

baik

yang

bersifat

organik

dan

anorganik

juga

akan

mempengaruhi kualitas air permukaan. Limbah domestik, industri, maupun


pertanian

akan

memberikan

pengaruh

terhadap

keberadaan

komponen

lingkungan sungai. Apabila pengaruh itu telah mengubah kondisi perairan


sehingga tidak dapat digunakan kembali dengan baik, maka perairan tersebut
dikatakan tercemar. Semakin padat penduduk suatu lingkungan semakin banyak
limbah yang harus dikendalikan.
Di WS Brantas terdapat 483 industri yang berpotensi membuang limbahnya
yang berpengaruh langsung pada kualitas air sungai. Berdasarkan Surabaya
River Pollution Control Action Plan Study yang dilakukan pada tahun 1999
diperoleh hasil beban BOD netto sebesar 125 ton BOD/hari. Limbah domestik
(rumah tangga, hotel, restoran, dan lain-lain) adalah sumber yang paling besar
memberikan kontribusi limbah pada WS Brantas yaitu sebesar 205 ton BOD/hari
(Berdasarkan Surabaya River Pollution Control Action Plan Study, 1999 dalam
data Menteri Pekerjaan Umum, 2010). Sumber pencemar dari pertanian berasal
dari sisa pestisida dan pupuk anorganik dan yang mengalir ke sungai bersama
dengan sisa air irigasi. Pencemaran ini umumnya terjadi pada saat musim hujan.
Dampak yang terjadi akibat limbah pertanian tersebut adalah terjadinya
eutrofikasi perairan di waduk (terutama di Waduk Sutami).
Kualitas air sungai juga dipengaruhi oleh lingkungan sekitar aliran sungai.
Secara umum, kualitas air sungai didaerah hilir (muara) lebih rendah
dibandingkan di daerah hulu (mata air). Hal ini terjadi akibat limbah industri dan
rumah tangga yang dibuang langsung ke sungai tanpa melalui proses
pengolahan terlebih dulu terkumpul di muara sungai.
Dalam suatu usaha budidaya perikanan, sangat penting untuk dipelajari
kondisi kualitas suatu perairan untuk dijadikan indikasi kelayakan suatu perairan

12

untuk budidaya perikanan. Untuk mengelola sumberdaya perikanan yang baik


maka salah satu persyaratan yang harus diperhatikan adalah kualitas perairan.
Boyd (1982), menyatakan bahwa untuk tumbuhan dan organisme perairan dapat
tumbuh dan berkembang dengan baik, organisme tersebut memerlukan
persyaratan tertentu dalam habitat hidupnya yaitu kondisi perairan itu sendiri.

13

3. METODE PENULISAN

3.1 Tahap Persiapan


Tahap persiapan penulisan makalah ini yakni meliputi perancangan garis
besar pembahasan makalah dengan menelaah penelitian sebelumnya serta
mengumpulkan berbagai pustaka yang mungkin akan menunjang penulisan
makalah.
3.2 Tahap Pengumpulan Data
Adapun metode pengumpulan data dalam penulisan makalah ini adalah
dengan metode studi pustaka. Studi pustaka yakni dengan meninjau berbagai
literatur sebagai perbandingan pustaka dan beberapa data penelitian terbaru
untuk dijadikan data kualitas air Sungai Brantas.

3.3 Tahap Analisis Data


Data penelitian kualitas air sungai Brantas yang terbaru akan dijadikan
sebagai data penulisan. Kemudian data dianalisis dan dibandingkan dengan
beberapa literatur untuk menentukan tingkat pencemaran air sungai Brantas.
Setelah mengetahui tingkat pencemaran air sungai Brantas, maka penentuan
manajemen pengelolaan sungai Brantas dapat ditentukan.

14

4. PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Lokasi

Gambar 1. Peta DAS Brantas Jawa Timur


(Sumber: Perum Jasa Tirta I)
Sungai Brantas adalah sebuah sungai di Jawa Timur yang merupakan
sungai terpanjang kedua di Pulau Jawa setelah Bengawan Solo. Secara
geografis sungai Brantas terletak di Jawa Timur pada 11030 BT sampai 11255
BT dan 701 LS sampai 815 LS. Sungai Brantas bermata air di Desa Sumber
Brantas (Kota Batu) yang berasal dari simpangan air Gunung Arjuno, lalu
mengalir ke Malang, Blitar, Tulungagung, Kediri, Jombang, Mojokerto hingga
bermuara di Kali Surabaya dan delta sungai Porong.
Sungai Brantas mengalir 70 km ke arah barat, mulai dari daerah Kepanjen,
sungai ini memasuki bagian hilir tengah yang mengalir ke arah barat kemudian
menuju utara, melalui daerah Blitar, Tulungagung, Kediri dan Kertosono, pada
masa dahulu hilir ini daerah Daha (gelang-gelang). Selanjutnya adalah pada
bagian hilir bawah, sungai Brantas melewati Jombang, Mojokerto, Surabaya dan
Porong.
Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas merupakan DAS yang terpadat
penduduknya di Indonesia. Sungai Brantas bercabang menjadi dua, ke arah
timur laut mengalir Sungai Wonokromo dan ke arah timur mengalir Sungai

15

Porong di sekitar 40 km sebelum Kota Surabaya. Curah hujan sekitar 1.860


mm/tahun dengan sekitar 25 mm/bulan pada musim kemarau dan puncaknya
sampai 350 mm/bulan selama Januari dan Februari. Selama musim hujan ketika
hampir 80% air yang disuplai dari Brantas dialihkan ke Porong rata-rata alirannya
sekitar 600 m3/s dan dapat mencapai 1.200 m3/s pada musim hujan yang ekstrim
(Schroeder et al., 2004 dalam Rahman, 2009).
Sungai Brantas memiliki pola melingkar, mata airnya ada di lereng selatan
kompleks gunung Arjuno-Anjasmoro. Pola melingkar panjang ini yang melahirkan
bagian hulu, tengah dan hilir Brantas yang panjang yang masing-masing melatar
belakangi kegiatan-kegiatan politik ekonomi di daerahnya. Selain itu, dibagian
hulu sungai Brantas terdapat beberapa gunung aktif seperti gunung Kelud,
Arjuna, Welirang dan Wilis menyebabkan banyak material vulkanik yang mengalir
ke sungai ini. Hal ini menyebabkan tingkat sedimentasi lumpur dan pasir yang
ada di aliran sungai ini sangat tinggi.

4.2 Kondisi Kualitas Air di Sungai Brantas


Diantara ruas-ruas sungai di DAS Brantas yang mendapatkan beban
pencemaran paling berat adalah Kali Surabaya, yang daerah pengalirannya
meliputi Dati II Kabupaten/ Kotamadya Mojokerto, Kabupaten Sidoarjo,
Kabupaten Gresik dan Kotamadya Surabaya. Peningkatan berbagai aktivitas di
wilayah Kali Surabaya yang tidak memperhatikan pentaan wilayah akan
mengakibatkan dampak negatif berupa menurunnya kualitas air sungai.
Degradasi lingkungan tersebut terkait dengan pola penggunaan lahan di sekitar
yang tidak memperhatikan kaidah-kaidah penataan ruang, yang secara tidak
langsung akan berpengaruh terhadap tingkat pencemaran di wilayah tersebut
(Sukojo dan Susilowati, 2003).
Dengan berkembangnya kota-kota besar yang dilalui aliran sungai
Brantas, mengakibatkan meningkatnya kebutuhan akan air bersih dan air baku.
Di samping itu, semakin tingginya konsentrasi penduduk dan industri di daerah
perkotaan menimbulkan masalah antara lain timbulnya daerah kumuh di tepi
sungai, menurunnya kualitas air sungai dan bencana banjir akibat terganggunya
aliran air, baik karena banyaknya sampah, pendangkalan maupun berkurangnya
lebar sungai. Sumber pencemar dominan yang mencemari sungai Brantas
adalah sebagai berikut :

16

Limbah industri Di WS Brantas terdapat 483 industri yang berpotensi


membuang limbahnya yang berpengaruh langsung pada kualitas air
sungai. Berdasarkan Surabaya River Pollution Control Action Plan Study
yang dilakukan pada tahun 1999 diperoleh hasil beban BOD netto

sebesar 125 ton BOD/hari.


Limbah domestik Limbah domestik (rumah tangga, hotel, restoran, dan
lain-lain) adalah sumber yang paling besar memberikan kontribusi limbah
pada WS Brantas yaitu sebesar 205 ton BOD/hari (Berdasarkan

Surabaya River Pollution Control Action Plan Study, 1999).


Limbah pertanian Sumber pencemar dari pertanian berasal dari sisa
pestisida dan pupuk an-organik dan yang mengalir ke sungai bersama
dengan sisa air irigasi. Pencemaran ini umumnya terjadi pada saat musim
hujan. Dampak yang terjadi akibat limbah pertanian tersebut adalah
terjadinya eutrofikasi perairan di waduk.

Permasalahan yang dihadapi dalam upaya pengendalian pencemaran di Sungai


Brantas, antara lain:

Sejak dilaksanakan Program Kali Bersih, pengendalian pada sumber


pencemar hanya dilaksanakan pada limbah industri. Pengendalian limbah
domestik belum dilaksanakan, padahal berdasarkan penelitian beban
pencemaran limbah domestik mencapai 62% dari total beban yang masuk

sungai.
Penegakan hukum terhadap pencemar masih lemah, karena masih
mempertimbangan aspek sosial, ekonomi, kesempatan kerja dan lain

sebagainya.
Banyak industri yang kapasitas Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL)nya lebih kecil dari limbah yang diproduksi, sehingga buangan limbahnya

tidak memenuhi baku mutu yang ditetapkan.


Pengendalian pencemaran air merupakan masalah yang kompleks,
memerlukan dana besar dan waktu panjang serta memerlukan komitmen

semua pihak yang berkepentingan.


Banyaknya permukiman yang didirikan di daerah sempadan sungai
mengakibatkan banyak sampah dan limbah domestik langsung dibuang

ke sungai.
Kurangnya kesadaran masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam
memberikan kontrol sosial yang positif (aktif-konstruktif).

17

Gambar 2. Sungai Brantas


Sejak 2006 berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 11
A/PRT/M/2006 tentang Kriteria dan Penetapan Wilayah Sungai memasukkan Kali
Brantas menjadi sungai strategis nasional, maka tanggung jawab pengelolaan
Kali Brantas berada di tangan Presiden dan menteri terkait, dalam hal ini, Menteri
PU dan Menteri Negara Lingkungan Hidup. Menjadi sungai Strategis nasional
tidak banyak mengubah nasib Kali Brantas, kondisi kualitas airnya mengalami
tekanan dari aktivitas manusia terutama dari 4000 industri yang berdiri di Kali
Brantas. Kondisi air Kali Brantas terkini menunjukkan adanya kontaminasi
senyawa esterogenik yang jauh diatas standar Perlindungan lingkungan Sungai.
Berikut ini adalah hasil pengukuran 4 senyawa kimia yang bersifat
mutagenik (menyebabkan mutasi), karsinogenik (menyebabkan kanker):
Parameter Uji

Sumber

BPA (Bisfenol A)

Coating agent

PE (Ptalat Ester)

Defoaming agent

PCB (Polychlorinated
bisphenyl)

Carbonless copy
paper

PBDE

Flame retardant

Dampak
Diabetes,
osteoporosis,
obesitas
Testikel turun,
hipospadia
(uretra berada di
bagian bawah
penis),
penurunan
testosteron,
penundaan
pubertas dan
malformasi pada
janin
Kanker, iritasi
paru dan hidung,
IQ rendah, lemah
kontrol motoric
Tumor hati,

Konsentrasi
0,1 - 0,33
mg/kg

0,1-2,255
mg/kg

1,8-3,0 ng/gr
6,6 - 7,6

18

kanker,
gangguan
ng/gr
reproduksi
Gangguan
HBCD
perkembangan,
0,79-5,4
(Hexabromocyclodod Flame retardant
reproduksi, dan
ng/gr
ecance)
saraf
Tabel 1. Data pengukuran 4 senyawa kimia yang bersifat mutagenik dan
karsinogenik
(Polybrominated
Diphenyl Ether)

Pencemaran lingkungan khususnya pencemaran air wilayah Kali Surabaya


diasumsikan terjadi karena penurunan kualitas air sungai yang meliputi
parameter fisika dan kimia. Dari data penelitian yang dilakukan oleh Pratiwi et al.
(2015), diperoleh data kualitas air baik fisika maupun kimia bulan Maret tahun
2015 yakni sebagai berikut.
Kualitas Air

Besar Nilai

Kedalaman Air
15-40 m
Suhu
28,6C
Fisika
Kecepatan Arus
0,15 m/s
Kecerahan
22,2 cm
pH
7,2-8,1
DO
3,05-3,09 mg/l
Kimia
BOD
7,2-129,3 mg/l
COD
12-764,5 mg/l
Tabel 2. Data Kualitas Air Sungai Brantas bulan Maret 2015
(Pratiwi et al., 2015)
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Syamsuri (2006) dalam
(Krisnawati et al., 2014) diketahui bahwa hulu hingga hilir Kali Brantas telah
terdeteksi konsentrasi senyawa estradiol 42-220 ng/L. Konsentrasi estradiol di
Kali Brantas dibandingkan dengan di Eropa (0,1-88 ng/L) jauh lebih tinggi.
Konsentrasi estradiol di Kali Brantas dalam kondisi yang membahayakan karena
dapat memacu terjadinya feminisasi ikan yang berujung kepunahan ikan.
Sedangkan pada DAS Brantas bagian hulu sumber pencemaran yang utama
berasal dari limbah domestik (rumah tangga dan pertanian/alami).
4.3 Analisa Data
Pada data pengukuran 4 senyawa kimia yang bersifat mutagenik dan
karsinogenik di Tabel 1, bahwa Kadar PE pada sedimen berkisar antara tidak
terdeteksi hingga 19.258 g/kg, air berkisar antara 0,09-2,35 g/L, dan padatan
terlarut berkisar antara tidak terdeteksi hingga 4,96 g/L. Karena sifatnya yang
estrogenik, menyebabkan 5 senyawa ini sangat berpengaruh terhadap
19

kesehatan pria. Pengaruh PE terhadap kesehatan diantaranya testikel turun,


hipospadia (uretra berada di bagian bawah penis), penurunan testosteron,
penundaan pubertas, dan malformasi pada janin. BPA, PCB, HBCD, PBDE, dan
PE digunakan dalam berbagai proses produksi. Tiga senyawa kimia yang
konsentrasinya jauh lebih tinggi dari negara lainnya adalah BPA, PCB, dan PE.
Ketiga senyawa ini banyak digunakan pada proses produksi kertas.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Pratiwi et al. (2015), suhu pada
sungai brantas memiliki rata-rata sebesar 28,6C. Suhu pada DAS Brantas
memiliki kisaran yang optimal bagi pertumbuhan organisme budidaya. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Tatangidatu et al. (2013), bahwa suhu mempunyai
peranan penting dalam menentukan pertumbuhan ikan yang dibudidaya, kisaran
yang baik untuk menunjang pertumbuhan optimal adalah 28C 32C.
Dari hasil pengamatan di DAS Brantas didapati bahwa kadar oksigen
terlarut berkisar antara 3,05 mg/l 3,09 mg/l. Berdasarkan kadar oksigen terlarut
pada DAS Brantas menurut Lee at al., (1987) dan Shimtz (1971) dalam Pratiwi et
al. (2015), sungai Brantas kualitas air merupakan kritis (tercemar). Konsentrasi
oksigen terlarut yang terlalu rendah akan mengakibatkan ikan-ikan dan hewan air
lain yang membutuhkan oksigen akan mati. Sebaliknya konsentrasi oksigen
terlarut yang terlalu tinggi juga mengakibatkan proses korosi yang semakin cepat
karena oksigen akan mengikat hidrogen yang melapisi permukaan logam. DO
dapat digunakan sebagai indiksi seberapa besar jumlah pengotoran limbah.
Semakin tinggi oksigen terlarut, semakin kecil tingkat pencemarannya.
DO memegang peran vital dalam kehidupan organisme akuatik. DO yang
seimbang untuk hewan budidaya adalah lebih dari 5mg/l. Jika oksigen terlarut
tidak seimbang akan menyebabkan stress pada ikan karena otak tidak mendapat
suplai oksigen yang cukup, serta kematian akibat kekurangan oksigen (anoxia)
yang disebabkan jaringan tubuh ikan tidak dapat mengikat oksigen yang terlarut
dalam darah (Tatangidatu et al., 2013).
pH pada sungai brantas memiliki kisaran 7,2-8,1. pH ini dinilai cukup baik
bagi kehidupan organisme akuatik karena organisme akuatik lebih menyukai pH
mendekati pH yang netral. Menurut Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1990
Tentang Pengendalian Pencemaran Air pH baku mutu air untuk golongan C yakni
berkisar 6-9. Apabila nilai pH suatu perairan kurang dari 5 atau melebihi 9,
perairan itu sudah tercemar berat (Manik, 2003).

20

Selain pada DAS Brantas memiliki kisaran BOD sebesar 7,2-129,3 mg/l.
Nilai ini menunjukkan angka yang relatif tinggi dan telah terjadi defisit oksigen.
Menurut standar baku mutu kualitas air PP No. 82 Tahun 2001 (kelas II), nilai
BOD untuk kegiatan budidaya kurang dari 3 mg/L. BOD tinggi menunjukkan
bahwa

jumlah

oksigen

yang

dibutuhkan

oleh

mikroorganisme

untuk

mengoksidasi bahan organik dalam air tersebut tinggi, hal berarti dalam air
sudah terjadi defisit oksigen (Tatangidatu et al., 2013).
Dengan demikian dapat kita ketahui bahwa DAS Brantas telah mengalami
pencemaran, sehingga DAS Brantas tidak direkomendasikan sebagai tempat
pembudidayaan ikan. Mengingat 50% keberhasilan suatu kegiatan budidaya
adalah faktor lokasi maka pemilihan lokasi kegiatan budidaya harus benar-benar
diperhatikan. Hal ini bertujuan untuk menghindari terjadinya kematian ikan yang
tentu sangat merugikan bagi pembudidaya. Menurut Salmin (2005), Kondisi
sungai yang tercemar tidak dapat digunakan untuk kegiatan perikanan.
4.4 Pengelolaan Air Sungai Brantas untuk Kegiatan Budidaya
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Pratiwi et al. (2015), kita dapat
mengetahui bahwa air sungai Brantas tidak sesuai untuk kegiatan perikanan.
Untuk itu diperlukan adanya usaha untuk meningkatkan kualitas air agar air
sungai Brantas dapat dijadikan sumber air bagi kegiatan budidaya. Pengelolaan
kualitas air meliputi program kegiatan yang mengarahkan perairan budidaya
pada keseimbangan ekosistem perairan dalam suatu wadah yang terbatas, agar
tercipta suatu kondisi perairan yang menyerupai habitat alami biota air yang
dibudidayakan, baik dari segi sifat, tingkah laku, maupun secara ekologinya.
Metode keramba yang dapat digunakan untuk kegiatan budidaya di
perairan sungai sangat tidak disarankan. Hal ini dikarenakan pada metode
tersebut sangat menggantungkan kualitas air dari sungai itu sendiri. Apabila
metode ini diterapkan di sungai Brantas maka akan memiliki resiko kerugian
yang sangat besar, mengingat tingginya tingkat pencemaran yang masuk ke
dalam badan sungai Brantas. Untuk itu diperlukan suatu bak-bak pemeliharaan
sebagai wadah organisme budidaya untuk hidup. Namun sebelum digunakan
untuk pemeliharaan, sumber air harus melalui beberapa proses untuk
meningkatkan kualitas air sehingga dapat mendukung kehidupan organisme
budidaya.
Adapun beberapa cara yang telah dilakukan untuk meningkatkan kualitas
air sungai secara fisika yakni:

21

a. Proses pengendapan dapat menyebabkan zat tersuspensi dalam air


berkurang sehingga air sungai menjadi lebih jernih dan kualitasnya
membaik. Pada proses pengendapan selain zat tersuspensi yang
mengendap biasa juga diikuti dengan proses pengendapan bahan
pencemar lain seperti bahan pencemar organik, logam berat, dan bahan
pencemar lainnya.
b. Proses reaerasi merupakan proses merupakan masuknya oksigen dari
udara ke medium air. Proses reaerasi dapat terjadi melalui terjunan air dan
juga melalui aliran air sungai, terutama aliran yang bergejolak. Proses
reaerasi dapat menyebabkan kadar oksigen dalam air sungai sangat
berpengaruh terhadap perbaikan kualitas air karena oksigen dapat
menyebabkan terjadinya proses dekomposisi bahan pencemar, terutama
terjadi pada bahan pencemarorganik. Terdapatnya unsur oksigen dalam air
juga memungkinkan terjadinya proses oksidasi dan reaksi-reaksi tertentu
tersebut antara lain: bahan pencemar organik, ammonia, nitrit dan
sebagainya.
c. Pada proses penyaringan,selain kadar zat tersuspensinya berkurang kadar
bahan pencemar

lainnya umumnya juga ikut berkurang karena bahan

pencemar ini dapat terserap oleh medium filternya. Proses penyerapan


bahan pencemar pada sistem filtrasi ini dipengaruhi oleh beberapa faktor
misalnya jenis bahan pencemarnya, jenis bahan filternya, diameter butiran
filternya serta lamanya kontak antara bahan pencemar dengan medium
filternya. Pada proses filtrasi kemungkinan juga terjadinya proses
penyerapan atau penguraian bahan pencemar oleh mikroorganisme yang
tumbuh dalam medium filternya.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Sofia et al. (2010), menunjukkan
bahwa sistem saluran reaerasi tipe dinding penghalang merupakan sistem yang
paling baik dibandingkan dengan sistem bak pengendap dan sistem filtrasi.
Dengan efisiensi pengelohannya yakni oksigen terlarut mengalami kenaikan ratarata 300%, bahan pencemar organik (nilai KmnO 4) turun rata-rata sebesar 11%,
bahan pencemar organik (BOD) mengalami rata-rata penurunan sebesar 20%,
bahan pencemar organik (COD) mengalami rata-rata penurunan sebesar 12%,
zat tersuspensi mengalami penurunan sebesar 33%, kekeruhan mengalami
penurunan sebesar 30%, dan kadar amonia total mengalami penurunan rata-rata
sebesar 33%.
Selain itu pengelolaan air sungai dapat dilakukan secara kimia untuk
menghilangkan partikel-partikel yang tidak mudah mengendap (koloid), logam22

logam berat, senyawa fosfor, dan zat organik beracun; dengan membubuhkan
bahan kimia tertentu yang diperlukan. Penyisihan bahan-bahan tersebut pada
prinsipnya berlangsung melalui perubahan sifat bahan-bahan tersebut, yaitu dari
tak dapat diendapkan menjadi mudah diendapkan (flokulasi-koagulasi), baik
dengan atau tanpa reaksi oksidasi-reduksi, dan juga berlangsung sebagai hasil
reaksi oksidasi.
Pengendapan bahan tersuspensi yang tak mudah larut dilakukan dengan
membubuhkan elektrolit yang mempunyai muatan yang berlawanan dengan
muatan koloidnya agar terjadi netralisasi muatan koloid tersebut, sehingga
akhirnya dapat diendapkan. Penyisihan logam berat dan senyawa fosfor
dilakukan dengan membubuhkan larutan alkali (air kapur misalnya) sehingga
terbentuk endapan hidroksida logam-logam tersebut atau endapan hidroksiapatit.
Endapan logam tersebut akan lebih stabil jika pH air > 10,5 dan untuk
hidroksiapatit pada pH > 9,5.
Menurut Eckenfelder (1986), koagulasi adalah proses kimia yang
digunakan untuk menghilangkan bahan cemaran yang tersuspensi atau dalam
bentuk koloid. Partikel-partikel koloid ini tidak dapat mengendap sendiri dan sulit
ditangani oleh perlakuan fisik. Melalui proses koagulasi, kekokohan partikel
koloid ditiadakan sehingga terbentuk flok-flok lembut yang kemudian dapat
disatukan melalui proses flokulasi. Penggoyahan partikel koloid ini akan terjadi
apabila elektrolit yang ditambahkan dapat diserap oleh partikel koloid sehingga
muatan partikel menjadi netral. Penetralan muatan partikel oleh koagulan hanya
mungkin terjadi jika muatan partikel mempunyai konsentrasi yang cukup kuat
untuk mengadakan gaya tarik menarik antar partikel koloid. Penyisihan bahanbahan organik beracun seperti fenol dan sianida pada konsentrasi rendah dapat
dilakukan dengan mengoksidasinya dengan klor (Cl2), kalsium permanganat,
aerasi, ozon hidrogen peroksida. Pada dasarnya untuk memperoleh efisiensi
tinggi dengan pengolahan secara kimia, akan tetapi biaya pengolahan menjadi
mahal karena memerlukan bahan kimia.
4.5 Manajemen Pengelolaan Sungai Brantas
Menurut Sari dan Zulkaidi (2011), beberapa karakteristik sungai yang
dipertimbangkan dalam pengelolaannya yaitu karakter fisik yang mencakup
keadaan alam dan lingkungan, citra, akses, bangunan, penataan lanskap,
ketersediaan sarana dan prasarana kota, serta kemajuan teknologi dan
karakteristik non fisik meliputi pemanfaatan air, aktivitas penduduk, keadaan
sosial, budaya dan ekonomi, aturan dan pengelolaan kota/kawasan. Selain

23

karakteristik tersebut kawasan tepi sungai mempunyai karakteristik khusus yang


harus diakomodasikan dalam pengaturan zonasi seperti adanya zona/kawasan
banjir, fungsi navigasi, orientasi bangunan dan pelestarian kawasan yang
memerlukan kriteria khusus untuk mengatur tata guna dan kegiatan pada
kawasan tepi sungai. Pada umumnya karakteristik tersebut tidak terjaga dan
tidak difungsikan dengan baik. Pengendalian kawasan tepian sungai diperlukan
untuk mengendalikan pemanfaatan ruang baik dari segi fungsi dan aktivitas
kegiatan dari kawasan tersebut, maupun pelestarian karakter dan fungsi sungai.
Pengelolaan

sumber

daya

air

secara

menyeluruh,

terpadu

dan

berwawasan lingkungan hidup dan melibatkan semua pihak, baik sebagai


pengguna, pemanfaat maupun pengelola, memerlukan manajemen pengelolaan
dengan pendekatan one river basin, one plan and one integrated management.
Integrated Water Resourches Management dapat dicapai melalui peningkatan
koordinasi, pemberdayaan masyarakat dan membangun networking.
Maka dari itu dalam rangka untuk mendapatkan manfaat yang optimal,
pengembangan DAS Brantas dilakukan secara menyeluruh dari hulu sampai ke
hilir, terpadu, seimbang, berkelanjutan serta berwawasan lingkungan. Konsep
dasar pembangunan adalah satu sungai, satu rencana, satu manajemen
terkoordinasi melalui: sistim perijinan penggunaan air, alokasi air yang tepat dan
adil untuk pemanfaatan air yang efisien, pengelolaan terpadu atas sumberdaya
air dan sumberdaya alam lainnya, penerapan prinsip-prinsip ekonomi dalam
pengelolaan,

peningkatan

peranserta

swasta

(kemitraan),

peningkatan

koordinasi antar pemanfaat air untuk menghindari konflik


Kondisi ideal sungai Brantas tercermin pada Perda Kota Malang Nomor
17 Tahun 2001 tentang konservasi air. Dalam peraturan daerah tersebut,
disebutkan bahwa segala jenis kegiatan yang menimbulkan limbah (cair maupun
padat) harus memiliki instalasi pengolahan air limbah (minimal pengolahan
sederhana seperti sumur resapan) (Perda Kota Malang Nomor 17 Tahun 2001,
2012). Hal ini dilakukan agar kualitas air sungai Brantas tetap terjaga. Namun,
peraturan dan kenyataan di lapangan sangatlah tidak sesuai. Ketidaksesuaian ini
mendasari pentingnya pengukuran kualitas air sungai Brantas secara berkala
agar dapat diketahui kondisi terkini air sungai Brantas. Pengukuran kualitas air
dapat dilakukan dengan menggunakan banyak indikator yaitu fisik, kimia, dan
biologi.

24

Kualitas fisik-kimia dapat diukur dengan mengukur kuantitas dan kualitas


parameter-parameternya. Pengukuran fisik dilakukan dengan mengukur kondisi
fisik sungai yang ditunjukkan oleh parameter kekeruhan, suhu, dan pH.
Sedangkan kualitas secara kimia dapat diukur dengan menggunakan parameter
BOD (Biochemical Oxygen Demand), oksigen terlarut atau DO (Dissolved
Oxygen), kandungan fosfat, dan kandungan amonium. Pemilihan parameterparameter ini didasarkan pada analisis kondisi sungai Brantas. Banyaknya
limbah domestik dan industri rumah tangga yang dibuang ke sungai Brantas
menjadi pertimbangan dalam pemilihan tersebut.
Parameter fisik (kekeruhan, pH, dan suhu) diukur sebagai dasar analisis
pencemaran secara fisik yang diakibatkan oleh zat pencemar (baik dari aktifitas
industri maupun rumah tangga) yang masuk ke dalam air. Parameter kimia
(BOD, DO, fosfat, dan amonium) dipilih berdasarkan aktifitas pembuangan
limbah yang sebagian besar karena limbah domestik, pertanian, maupun industri
rumah tangga. Berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 82 tahun 2001,
dijelaskan bahwa parameter-parameter tersebut memiliki baku mutu atau batas
minimal konsentrasi untuk dibuang ke badan air (PP Nomor 82 Tahun 2001,
2012).

Sedangkan

mengkhawatirkan,

kondisi
sehingga

di

lapangan

diperlukan

memperlihatkan
pengukuran

keadaan

dengan

yang

parameter-

parameter tersebut.
Kualitas air secara biologis juga perlu diperhatikan karena kehidupan
biologis yang langsung terkena dampak dari pencemaran yang terjadi. Kualitas
biologis

dapat

diukur

dengan

menggunakan

metode

biomonitoring

(bioassessment). Biomonitoring adalah monitoring kualitas air secara biologi


yang dilakukan dengan melihat keberadaan kelompok organisme petunjuk
(bioindikator) yang hidup di dalam air. Kelompok organisme petunjuk yang umum
digunakan dalam pendugaan kualitas air adalah plankton, bentos, dan nekton
(ikan). Kelompok tersebut digunakan dalam pendugaan kualitas air karena dapat
mencerminkan pengaruh perubahan kondisi fisik dan kimia yang terjadi di
perairan dalam selang waktu tertentu (Rahayu et al., 2009). Selain itu,
bioindikator juga dipilih karena merupakan indikator kualitas ekologis sungai
Brantas yang semakin terancam kehidupannya akibat pencemaran oleh limbah
(padat maupun cair).
Bioassessment
bioindikator.

Namun,

dapat

dilakukan

makroinvertebrata

dengan
lebih

menggunakan
banyak

banyak

digunakan.

25

Makroinvertebrata

lebih

banyak

digunakan

karena

keanekaragaman

makroinvertebrata akan dapat merepresentasikan kualitas air suatu tempat


dengan lebih spesifik, dimana tiap spesiesnya akan memiliki sensitifitas yang
berbeda pada perubahan lingkungan. Selain itu, makroinvertebrata juga menetap
pada lingkungan tersebut (mobilisasi rendah), sehingga sangat dapat mewakili
imbas perubahan lingkungan secara ekologis (Burden et al., 2002).
Kegiatan pengelolaan mencakup seluruh aspek sumberdaya alam, yakni:
pengelolaan daerah tangkapan hujan, pengelolaan kuantitas dan kualitas air,
pengendalian banjir, dan pengelolaan lingkungan sungai. Adapun konsep
kebijakan operasional pada aspek konservasi SDA di Sungai Brantas yakni

Melakukan penghijauan yang dilakukan di awal musim hujan


Memberikan sangsi bagi pelanggar konservasi
Mengikutsertakan masyarakat dalam konservasi, menjalin koordinasi
antar lembaga/instansi pengelola SDA dalam pengelolaan SDA serta

meningkatkan peran serta masyarakat dalam usaha konservasi


Memberi penyuluhan kepada masyarakat dan industri tentang pentingnya
konservasi, pemakaian pupuk yang sesuai dengan aturan, serta tata cara

pengolahan tanah yang tidak mengganggu konservasi .


Memberikan IMB (Ijin Mendirikan Bangunan) serta memberi fasilitas

pelayanan umum lainnya lebih selektif .


Sosialisasi akan pentingnya menjaga lingkungan agar tetap baik melalui

berbagai media.
Memantau kualitas air secara rutin, mengembangkan sistem perizinan

pembuangan limbah, meningkatkan komunal.


Menebar bibit ikan setiap awal musim kemarau (predator) pada waduk

dan sungai yang mengalami eutrofikasi.


Mengeruk dan mengambil sampah secara rutin serta melarang
pembuangan limbah/sampah dan memberi sangsi bagi yang melanggar
5. PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Dari uraian di atas, maka didapat kesimpulan sebagai berikut:

Sungai adalah bagian permukaan bumi yang letaknya lebih rendah dari
tanah di sekitarnya dan menjadi tempat mengalirnya air tawar menuju ke
laut, danau, rawa, atau ke sungai yang lain.

26

Masuknya bahan pencemar baik dari limbah rumah tangga, pertanian,


perikanan, dan/atau industri ke dalam perairan dapat mempengaruhi

kualitas perairan.
Kualitas air sungai diketahui berdasarkan faktor kimia yakni: pH, DO, BOD

dan COD.
Kelompok organisme yang umum digunakan dalam pendugaan kualitas air
adalah plankton, benthos, dan nekton (ikan). Kelompok tersebut digunakan
sebagai parameter kualitas air karena dapat mencerminkan pengaruh
perubahan kondisi fisik dan kimia yang terjadi diperairan dalam selang

waktu tertentu.
Bahan pencemar di perairan dapat berasal dari sumber buangan yang
dapat diklasifikasikan sebagai sumber titik (point source discharge) dan

sumber menyebar (diffuse source).


Sumber titik adalah sumber pencemaran terpusat seperti yang berasal dari

air buangan industri maupun domestik dan saluran drainase.


Kegiatan pengelolaan mencakup seluruh aspek sumberdaya alam, yakni:
pengelolaan daerah tangkapan hujan, pengelolaan kuantitas dan kualitas

air, pengendalian banjir, dan pengelolaan lingkungan sungai.


Sumber menyebar polutan yang masuk ke perairan seperti run off atau

limpasan dari permukaan tanah permukiman atau pertanian.


Nilai kecenderungan meningkatnya nilai parameter BOD, COD, dan TSS
yang hampir merata pada tiap segmen, dengan kenaikan BOD, COD, dan
TSS rata-rata 50-70%.

27

5.2 Saran
Sebaiknya warga sekitar sungai Brantas lebih bisa memelihara ekosistem
sungai Brantas agar sungai Brantas tingkat pencemarannya dapat berkurang.
Dan juga warga sekitar yang tinggal di sekitar sungai lebih meminimkan
pembuangan limbah sisa rumah tangga ke sungai. Ada penanganan cepat dari
masyarakat

dan

pemerintah

untuk

bersama-sama

meningkatkan

atau

memulihkan sungai yang tercemar serta pemberian sanksi dan denda kepada
pihak industri, pabrik, maupun masyarakat apabila limbah yang dibuang ke
Sungai Brantas belum memenuhi standart. Dengan demikian diharapkan kualitas
air sungai Brantas dapat dipertahankan serta dapat dimanfaatkan secara
langsung untuk kegiatan perikanan budidaya.

28

DAFTAR PUSTAKA

Aprisanti, R., Mulyadi, A., Dan Siregar. 2013. Struktur Komunitas Diatom Epilitik
Perairan Sungai Senapelan Dan Sungai Sail, Kota Pekanbaru. Jurnal Ilmu
Lingkungan. 7(2): 241-252.
Arisandi, P. 2014. Sikat Pelaku Pencemaran Kali Brantas. Press Release.
Koordinator Lapangan Aksi SIKAT BRANTAS 2014. Wringinanom: Gresik
Jawa Timur
Barus, A.D.H. 2004. Wilayah Konservasi DAS Serta Penyebaran Dari Hulu
Hilir. Yogyakarta: PT Agromedia Pustaka.
Fauzi, Ahmad, N. 2015. Study Komparatif Bengawan Solo dan Sungai Brantas
dalam Perkembangan Ekonomi Abad Ke-10 M -15M di Jawa Timur.
Avatara e-Journal Pendidikan Sejarah. 3(3): 274: 285.
Hendrawan, D. 2005. Kualitas Air Sungai dan Situ di DKI Jakarta. MAKARA
Teknologi. 9(1): 13-19.
Krisnawati, Tri Yulian Widya, Amalia Nurasih, Agus Muji Santoso. 2015.
Perancangan Moolief Bioreactor untuk Remediasi Air Sungai Brantas
Kediri Tercemar Limbah Domestik dan Industri. Prosiding Seminar
Nasional Pendidikan Biologi 2015. Universitas Muhammadiyah Malang.
Lensun, M., dan S. Tumembouw. 2013. Tingkat Pencemaran Air sungai Tondano
di Kelurahan Ternate Baru Kota Manado. Budidaya Perairan. 1(2): 4348.
Manik, K. 2003. Pengelolaan Lingkungan Hidup. Penerbit Djambatan: Jakarta.
Pratiwi, I. R., W. Prihanta, Rr. E. Susetyarini. 2015. Inventarisasi
Keanekaragaman Makrozoobentos Di Daerah Aliran Sungai Brantas
Kecamatan Ngoro Mojokerto Sebagai Sumber Belajar Biologi Sma Kelas X.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Biologi 2015. FPIK UMM
Purnami, A. T., Sunarto, Dan P. Setyono. 2010. Study Of Bentos Community
Based On Diversity And Similarity Index In Cengklik Dam. Jurnal
Ekosains. 2 (2):60-65
Rahman, F. A. 2009. Struktur Komunitas Makrozoobentos di Perairan Estuaria
Sungai Brantas (Sungai Porong Dan Wonokromo), Jawa Timur. Skripsi.
Institust Pertanian Bogor.
Salmin. 2005. Oksigen Terlarut (DO) dan Kebutuhan Oksigen Biologi (BOD)
Sebagai Salah Satu Indikator Untuk Menentukan Kualiatas Perairan.
Bidang Dinamika Laut Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI. Jakarta.
Sari, F. R dan Zulkaidi, D. 2011. Prinsip Pengaturan Zonasi Untuk
Pengembangan Kawasan Tepi Sungai. Studi Kasus: Sungai Siak, Kota
Pekanbaru. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK. 2(2): 211219.
29

Siahaan, R., A. Indrawan., D. Soedharman Dan Lilik B. P. 2011. Kualitas Air


Sungai Cisadane, Jawa Barat-Banten. Jurnal Ilmiah Sains. 11 (2) :268273
Sofia, Y., Tontowi, dan Sukmawati, R. 2010. Penelitian Pengolahan Air Sungai
yang Tercemar oleh Bahan Organik. Jurnal Sumber Daya Air. 6(2): 103204.
Sosrodarsono, S., M. Tominaga, Y. Gayo. 1985. Perbaikan dan Pengaturan
Sungai. Jakarta: PT Pradnya Paramita
Sukojo, B. M. Dan Susilowati, D. 2003. Penerapan Metode Penginderaan Jauh
dan Sistem Informasi Geografis untuk Analisa Perubahan Penggunaan
Lahan (Studi Kasus: Wilayah Kali Surabaya). Makara Teknologi 7(1): 1-9.
Tatangindatu, F., Ockstan Kalesaran, dan Robert Rompas. 2013. Studi
Parameter Fisika Kimia Air pada Areal Budidaya Ikan di Danau Tondano,
Desa Paleloan, Kabupaten Minahasa. Budidaya Perairan. 1(2):8-19.

30

LAMPIRAN
Lampiran 1. Tabel 1. Data pengukuran 4 senyawa kimia yang bersifat
mutagenik (menyebabkan mutasi), karsinogenik (menyebabkan kanker).
Parameter Uji
BPA (Bisfenol A)

Sumber
Coating agent

PE (Ptalat Ester)

Defoaming
agent

PCB (Polychlorinated
bisphenyl)

Carbonless
copy paper

PBDE (Polybrominated
Diphenyl Ether)

Flame
retardant

HBCD
(Hexabromocyclododecance
)

Flame
retardant

Dampak
Diabetes,
osteoporosis,
obesitas
Testikel turun,
hipospadia (uretra
berada di bagian
bawah penis),
penurunan
testosteron,
penundaan
pubertas dan
malformasi pada
janin
Kanker, iritasi paru
dan hidung, IQ
rendah, lemah
kontrol motoric
Tumor hati, kanker,
gangguan
reproduksi
Gangguan
perkembangan,
reproduksi, dan
saraf

Konsentrasi
0,1 - 0,33
mg/kg
0,1-2,255
mg/kg

1,8-3,0 ng/gr

6,6 - 7,6 ng/gr

0,79-5,4 ng/gr

Sumber : Arisandi (2014)


Lampiran 2. Tabel 2. Data Parameter Kualitas Air di Sungai Brantas
Kualitas Air
Kedalaman Air
Suhu
Fisika
Kecepatan Arus
Kecerahan
pH
DO
Kimia
BOD
COD
Sumber: Pratiwi et al., (2015)

Besar Nilai
15-40 m
28,6C
0,15 m/s
22,2 cm
7,2-8,1
3,05-3,09 mg/l
7,2-129,3 mg/l
12-764,5 mg/l

31

Anda mungkin juga menyukai