Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH

TEKNIK PENANGKARAN PENYU

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Penangkaran dan
Restocking Biota Laut

Disusun oleh:

Kelompok 1

Alya Farah Qonitah 230210150029


Cici Hemas Wulandari 230210150005
Febria Hasna Zahra 230210150041
Lesta Krismawati B. 230210157001
Widhianto Harsono 230210150045

UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN
JATINANGOR

2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadiran Allah SWT atas segala rahmat
dan karuniaNYA penulis dapat menyelesaikan tugas Penangkaran dan Restocking
Biota Laut pada waktu yang ditentukan.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai Teknik Penangkaran Penyu. Kami juga
menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh
dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan
demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang,
mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Penulis sadar bahwa dalam penulisan tugas ini masih terdapat banyak
kekurangan untuk itu penulis berharap kritik dan saran yang membangun dalam
tercapainya perbaikan dimasa mendatang.

Jatinangor, 6 Maret 2018

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i


DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN .........................................Error! Bookmark not defined.
1.1. Latar Belakang ................................................... Error! Bookmark not defined.
1.2. Tujuan ................................................................. Error! Bookmark not defined.
1.3. Manfaat ............................................................... Error! Bookmark not defined.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................... 3
2.1. Biologi Taksonomi Penyu ........................................................................ 3
2.1.1 Klasifikasi dan Identifikasi Penyu ................................................................. 3
2.1.2 Pengamatan bentuk luar (morfometri) ........................................................... 8
2.1.3 Jejak, Ukuran Sarang, dan Kebiasaan Penyu................................................ 9
2.1.4 Habitat dan Penyebaran ................................................................................. 10
2.2.1 Karakteristik Habitat Penyu dan Kebiasaan .. Error! Bookmark not defined.
2.2.2 Makanan Penyu Laut ..................................................................................... 12
2.2.3 Interaksi Penyu Laut ...................................................................................... 13
2.2.4 Penyebaran Penyu Laut ................................................................................. 13
2.3. Teknik Penangkaran Penyu ........................................................................... 15
BAB III PENUTUP ............................................................................................. 29
DAFTAR PUSTAKA ...............................................Error! Bookmark not defined.

ii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Taksonomi Penyu ............................................................................ 3
Gambar 2. Penyu Belimbing ............................................................................. 4
Gambar 3. Penyu Sisik ...................................................................................... 5
Gambar 4. Penyu Hijau ..................................................................................... 5
Gambar 5. Penyu Lekang .................................................................................. 6
Gambar 6. Penyu Pipih ...................................................................................... 7
Gambar 7. Penyu Tempayan ............................................................................. 7
Gambar 8. Morfometri ....................................................................................... 8
Gambar 9. Jenis, Jejak dan Ukuran Sarang ....................................................... 9
Gambar 10. Klasifikasi pasir ............................................................................. 11
Gambar 11. Telur Penyu.................................................................................... 17
Gambar 12. Lokasi Penetasan Penyu ................................................................ 18
Gambar 13. Bahan dan Media Proses Penetasan Buatan ................................. 19
Gambar 14. Tata cara pemeliharan tukik dalam bak pemeliharaan ................. 21
Gambar 5. Pengukuran CCL dan CCW pada saat Monitoring Penyu yang
Bertelur
..................................................................................................... 24

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyu ditemukan di semua samudra di dunia. Menurut data para ilmuwan,


penyu sudah ada sejak akhir zaman Jura (145 – 208 juta tahun yang lalu) atau
seusia dengan dinosaurus.
Penyu memiliki sepasang Tungkai depan yang berupa kaki pendayung
yang memberinya ketangkasan berenang di dalam air. Walaupun seumur
hidupnya berkelana di dalam air, sesekali hewan kelompok vertebrata, kelas
reptilia itu tetap harus sesekali naik ke permukaan air untuk mengambil napas. Itu
karena penyu bernapas dengan paru-paru. Penyu pada umumnya bermigrasi
dengan jarak yang cukup jauh dengan waktu yang tidak terlalu lama. Jarak 3.000
kilometer dapat ditempuh 58 – 73 hari.
Penyu mengalami siklus bertelur yang beragam, dari 2 – 8 tahun sekali.
Sementara penyu jantan menghabiskan seluruh hidupnya di laut, betina sesekali
mampir ke daratan untuk bertelur. Penyu betina menyukai pantai berpasir yang
sepi dari manusia dan sumber bising dan cahaya sebagai tempat bertelur yang
berjumlah ratusan itu, dalam lubang yang digali dengan sepasang tungkai
belakangnya. Pada saat mendarat untuk bertelur, gangguan berupa cahaya ataupun
suara dapat membuat penyu mengurungkan niatnya dan kembali ke laut.
Hampir semua jenis penyu termasuk ke dalam daftar hewan yang
dilindungi oleh undang-undang nasional maupun internasional karena
dikhawatirkan akan punah disebabkan oleh jumlahnya makin sedikit. Di samping
penyu belimbing, dua spesies lain, penyu Kemp’s Ridley dan penyu sisik juga
diklasifikasikan sebagai sangat terancam punah oleh The World Conservation
Union (IUCN). Penyu hijau (Chelonia mydas), penyu lekang atau penyu abu-abu
(Lepidochelys olivacea), dan penyu tempayan atau loggerhead (Caretta caretta)
digolongkan sebagai terancam punah. Hanya penyu pipih (Natator depressus)
yang diperkirakan tidak terancam.

1
2

Oleh sebab itu keberadaannya harus dilestarikan, salah satunya dengan membuat
tempat penangkaran (hatchery dan nursery) agar dapat dilestarikan dengan
melepas kembali anakan penyu (tukik) ke alam.

1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah:
1. Mengetahui biologi taksonomi penyu
2. Mengetahui dan memahami teknik penangkaran penyu
3. Membantu dan mendukung upaya konservasi penyu

1.3 Manfaat
Berdasarkan tujuan diatas didapatkan manfaat yaitu:
Mengetahui teknik penangkaran penyu sehingga penyu dapat
berkembangbiak dengan baik.
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Biologi Taksonomi Penyu

2.1.1 Klasifikasi dan Identifikasi Penyu


Di dunia ada 7 jenis penyu dan 6 diantaranya terdapat di Indonesia. Jenis
penyu yang ada di Indonesia adalah Penyu hijau (Chelonia mydas), Penyu sisik
(Eretmochelys imbricata), Penyu lekang (Lepidochelys olivacea), Penyu
belimbing (Dermochelys coriacea), Penyu pipih (Natator depressus) dan Penyu
tempayan (Caretta caretta). Penyu belimbing adalah penyu yang terbesar dengan
ukuran panjang badan mencapai 2,75 meter dan bobot 600 - 900 kilogram.
Sedangkan penyu terkecil adalah penyu lekang, dengan bobot sekitar 50
kilogram.

Gambar 1. Taksonomi Penyu

3
4

Berikut adalah 6 jenis penyu yang dapat ditemukan di Indonesia :

Gambar 2. Penyu Belimbing

Penyu belimbing telah bertahan hidup selama lebih dari ratusan juta tahun,
kini spesies ini menghadapi kepunahan. Selama dua puluh tahun terakhir jumlah
spesies ini menurun dengan cepat, khususnya di kawasan pasifik, hanya sekitar
2.300 betina dewasa yang tersisa. Hal ini menempatkan penyu belimbing pasifik
menjadi penyu laut yang paling terancam populasinya di dunia. Di kawasan
Pasifik, seperti di Indonesia, populasinya hanya tersisa sedikit dari sebelumnya
(2.983 sarang pada 1999 dari 13000 sarang pada tahun 1984). Untuk mengatasi
hal tersebut, pada tanggal 28 Agustus 2006 tiga Negara yaitu Indonesia, Papua
New Guinea dan Kepulauan Solomon telah sepakat untuk melindungi habitat
penyu belimbing melalui MoU Tri National Partnership Agreement (WWF,
2008). Penyu belimbing memiliki karapas berwarna gelap dengan bintik putih.
Ukuran penyu belimbing dapat mencapai 180 cm dan berat mencapai 500 kg.
Penyu belimbing dapat ditemukan dari perairan tropis hingga ke lautan
kawasan sub kutub dan biasa bertelur di pantai-pantai di kawasan tropis. Spesies
ini menghabiskan sebagian besar hidupnya di lautan terbuka dan hanya muncul ke
daratan pada saat bertelur. Penyu belimbing betina dapat bertelur empat sampai
lima kali per musim, setiap kali sebanyak 60 sampai 129 telur. Penyu belimbing
bertelur setiap dua atau tiga tahun dengan masa inkubasi sekitar 60 hari (WWF,
2008).
5

Gambar 3. Penyu Sisik

Penyu sisik atau dikenal sebagai hawksbill turtle karena paruhnya tajam
dan menyempit/meruncing dengan rahang yang agak besar mirip paruh burung
elang. Demikian pula karena sisiknya yang tumpang tindih/over lapping
(imbricate) seperti sisik ikan maka orang menamainya penyu sisik. Ciriciri umum
adalah warna karapasnya bervariasi kuning, hitam dan coklat bersih, plastron
berwarna kekuningkuningan. Terdapat dua pasang sisik prefrontal. Sisiknya
(disebut bekko dalam bahasa Jepang) banyak digunakan sebagai bahan baku
dalam industri kerajinan tangan terutama di Jepang untuk membuat pin, sisir,
bingkai kacamata dll. Sebagian besar bertelur di pulau-pulau terpencil. Penyu
sisik selalu memilih kawasan pantai yang gelap, sunyi dan berpasir untuk bertelur.
Paruh penyu sisik agak runcing sehingga memungkinkan mampu
menjangkau makanan yang berada di celah-celah karang seperti sponge dan
anemon. Mereka juga memakan udang dan cumi-cumi.

Gambar 4. Penyu Hijau

Penyu hijau merupakan jenis penyu yang paling sering ditemukan dan
hidup di laut tropis. Dapat dikenali dari bentuk kepalanya yang kecil dan
paruhnya yang tumpul. Dinamai penyu hijau bukan karena sisiknya berwarna
hijau, tapi warna lemak yang terdapat di bawah sisiknya berwarna hijau.
6

Tubuhnya bisa berwarna abu-abu, kehitam- hitaman atau kecoklat-coklatan.


Daging jenis penyu inilah yang paling banyak dikonsumsi di seluruh dunia
terutama di Bali. Mungkin karena orang memburu dagingnya maka penyu ini
kadang-kadang pula disebut penyu daging. Penyu hijau dewasa hidup di
hamparan padang rumput dan ganggang. Berat penyu hijau dapat mencapai 400
kg, namun di Asia Tenggara yang tumbuh paling besar sekitar separuh ukuran ini.
Penyu hijau di Barat Daya kepulauan Hawai kadang kala ditemukan mendarat
pada waktu siang untuk berjemur panas. Anak-anak penyu hijau (tukik), setelah
menetas, akan menghabiskan waktu di pantai untuk mencari makanan. Tukik
penyu hijau yang berada di sekitar Teluk California hanya memakan alga merah.
Penyu hijau akan kembali ke pantai asal ia dilahirkan untuk bertelur setiap 3
hingga 4 tahun sekali. Ketika penyu hijau masih muda mereka makan berbagai
jenis biota laut seperti cacing laut, udang remis, rumput laut juga alga. Ketika
tubuhnya mencapai ukuran sekitar 20-30 cm, mereka berubah menjadi herbivora
dan makanan utamanya adalah rumput laut.

Gambar 5. Penyu Lekang


Dalam bahasa Inggris, penyu ini dikenal dengan nama olive ridley turtle.
Penampilan penyu lekang ini adalah serupa dengan penyu hijau tetapi kepalanya
secara komparatif lebih besar dan bentuk karapasnya lebih langsing dan bersudut.
Tubuhnya berwarna hijau pudar, mempunyai lima buah atau lebih sisik lateral di
sisi sampingnya dan merupakan penyu terkecil di antara semua jenis penyu yang
ada saat ini. Seperti halnya penyu tempayan, penyu lekang juga karnivora. Mereka
juga memakan kepiting, kerang, udang dan kerang remis.
7

Gambar 6. Penyu Pipih

Penyu pipih dalam bahasa Inggris bernama flatback turtle. Pemberian


nama flatback turtle karena sisik marginal sangat rata (flat) dan sedikit
melengkung di sisi luarnya. Di awal abad 20, spesies ini sempat agak ramai
diperdebatkan oleh para ahli. Sebagian orang memasukkannya ke dalam genus
Chelonia, namun setelah diteliti dengan seksama para ahli sepakat
memasukkannya ke dalam genus Natator, satusatunya yang tersisa hingga saat ini.
Jenis ini karnivora sekaligus herbivora. Mereka memakan timun laut, ubur-ubur,
kerang-kerangan, udang, dan invertebrata lainnya.

Gambar 7. Penyu Tempayan

Penyu ini dalam bahasa Inggris bernama loggerhead turtle. Warna


karapasnya coklat kemerahan, kepalanya yang besar dan paruh yang bertumpuk
(overlap) salah satu ciri mengenali penyu tempayan. Disamping itu, terdapat lima
buah sisik di kepala bagian depan (prefrontal), umumnya terdapat empat pasang
sisik coastal. Lima buah sisik vertebral. Plastron berwarna coklat muda sampai
kuning. Penyu tempayan termasuk jenis karnivora yang umumnya memakan
8

kerang-kerangan yang hidup di dasar laut seperti kerang remis, mimi dan
invertebrata lain. Penyu tempayan memiliki rahang yang sangat kuat untuk
menghancurkan kulit kerrang. Penyu tempayan dapat dijumpai hampir di semua
lautan di dunia. Hewan ini memiliki panjang 70 cm -210 cm dengan berat 135 kg
– 400 kg. Penyu tempayan memiliki kebiasaan akan kembali ke pantai tempat asal
ia menetas untuk bertelur. Penyu tempayan mulai bertelur setelah berumur 20 –
30 tahun dan mempunyai masa penetasan telur selama 60 hari.

2.1.2 Pengamatan bentuk luar (morfometri)

Gambar 8. Morfometri
Pengenalan dari bentuk luar dapat dilakukan dengan mengamati karapas, sisik
pada kepala dan bentuk mulut.
9

2.1.3 Jejak, Ukuran Sarang dan Kebiasaan Bertelur

Gambar 9. Jenis, Jejak dan Ukuran Sarang

2.1.4 Habitat dan Penyebaran


Menurut klasifikasi hewan, penyu termasuk sekelas dengan reptil jadi
penyu akan bertelur dimana hewan ini ditetaskan. Penyu sisik biasanya bertelur di
pantai yang berpasir dan berbatu kerikil dibawah naungan pohon sedangkan
penyu hijau, penyu lekang dan penyu belimbing biasanya bertelur di pantai yang
lebar dan terbuka tanpa naungan pohon. Biasanya penyu-penyu ini lebih
menyukai tempat yang sepi untuk bertelur.
Penyu laut merupakan hewan yang penyebarannya sangat luas, hewan ini
bisa bermigrasi hingga bermil-mil jauhnya. Berdasarkan survey pantai peneluran
penyu yang telah kami lakukan sejak 1997-2010 di beberapa lokasi di perairan
Kep. Riau (Pulau-pulau sekitar Kijang, Dabo Singkep, Sebangka, Natuna,
Tarempa, Serasan, Tambelan), Kalimantan Barat (Paloh, Penambun), Kalimantan
Selatan (Denawan, Bira-Birahan, Samber Gelap), Bangka Belitung (Pesemut,
Momperang, Kimar, P. Lima), Sulawesi Selatan (Takabonerate) dan Papua Barat
(Jamursba Medi, Wermon, Mubrani, Ayau, Waigeo), penyu sisik dan hijau
banyak dijumpai di Kep. Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan Bangka
Belitung dan Sulawesi Selatan sedangkan penyu belimbing dan lekang hanya
10

ditemukan di Kalimantan Barat dan Papua Barat. Dari semua jenis penyu yang
ada di Indonesia jenis penyu hijau adalah yang terbanyak populasinya.

2.2 Karakteristik Habitat Penyu

2.2.1 Tempat Berlindung dan Berkembangbiak Penyu


Daerah yang cocok untuk ditempati oleh makhluk hidup disebut habitat
(Garis, 2005). Habitat sangat menunjang populasi penyu mencakup komponen
ruang, pakan, air dan lingkungan. Habitat penyu sesuai dengan jenisnya, penyu
sisik bertelur di pantai yang berpasir dan berbatu kerikil di bawah naungan pohon
sedangkan penyu hijau, penyu lekang dan penyu belimbing bertelur di pantai yang
lebar dan terbuka tanpa naungan pohon. Penyu lebih menyukai tempat yang sepi
untuk bertelur dikarenakan penyu termasuk hewan yang sangat peka terhadap
gangguan pergerakan maupun pnyinaran, jika terancam penyu akan segera
kembali ke laut. Komponen habitat penyu mencakup berbagai aspek seperti
tempat berlindung dan berkembang biak, makanan, interaksi dengan satwa lain.
Penyu hidup di dua habitat yang berbeda yaitu laut sebagai habitat utama
bagi keseluruhan hidupnya dan habitat darat yang digunakan penyu pada waktu
bertelur dan penetasan telur. Umumnya tempat pilihan bertelur yaitu daratan luas
dan landau yang terletak di atas bagian pantai yang memiliki tipe pasir berbatu
halus dan terdapat fraksi konkresi besi sedikit yang mudah digali oleh penyu,
sehingga secara naluriah dianggap aman oleh penyu untuk bertelur di lokasi
tersebut (Noitji,2005).
Nuitja (1992) menyatakan susunan tekstur daerah peneluruhan penyu
berupa pasir tidak kurang dari 90 % yang berdiameter antara 0,18 – 0,21 mm dan
sisanya debu maupun liat dengan diameter butiran berbentuk halus dan sedang.
Adanya pohon tertinggi yang memiliki tajuk lebar sangat memberikan rasa aman
dan sebagai pertanda khusus bagi penyu untuk bertelur, sedangkan kondisi pasir
yang berkerikil kasar ( Tabel 1) dan pantai yang curam dapat menmpersulit penyu
melihat objek yang ada di depannya karena mata penyu mampu berakomodasi dan
melihat dengan baik pada sudut 150° ke arah depan.
11

Gambar 10. Klasifikasi pasir


(Dikutip dari Bustard (1972)).
Keadaan pantai peneluran harus dalam keadaan tenang, tidak ada badai
ataupun angin yang kencang dan dalam keadaan gelap. Widiastuti (1998),
intensitas cahaya yang diukur pada malam hari berkisar 0 – 1 luks, yang berarti
bahwa kondisi ini dikatakan gelap. Kondisi tersebut sangat aman untuk penyu
naik ke darat dan membuat sarang telur. Sarang alami merupakan sarang yang
memiliki kondisi temeperatur dan kelembaban yang tepat. Salah satu fungsi
penting dari sarang adalah menjaga telur dan tukik dari kekeringan, pasang air laut
dan fluktuasi suhu yang tinggi (Limpus, 1984).
Masa inkubasi telur penyu sangat dipengaruhi oleh suhu dalam sarang dan
suhu pada permukaan. Fluktuasi suhu terjadi pada kedalaman pasir 15 cm di
bawah permukaan, fluktuasi suhu semakin berkurang dengan bertambahnya
kedalaman pasir. Tahap pertama perkembangan embrio dimulai sejak proses
peneluran. Suhu yang diperlukan agar pertumbuhan embrio dapat berjalan dengan
baik yaitu antara 24℃ - 33℃. Jenis kelamin seekor tukik ditentukan juga oleh
suhu dalam pasir. Bila suhu kurang dari 29℃ maka kemungkinan besar yang
akan menetas sebagian besar adalah penyu jantan, sebaliknya bila suhu lebuh dari
29℃ maka yang akan menetas sebagian besar adalah tukik betina (Yusuf, 2000).
Menurur Widiastuti (1998), keterkaitan antar parameter berdasarkan analisis
komponen utama adalah sebagai berikut :
12

1. Suhu udara, suhu substrat dan kadar air substrat mempengaruhi laji inkubasi
telur penyu. Semakin tinggi suhu semakin cepat laju inkubasi
2. Ukuran butiran pasir menentukan tingkat kemudahan penyu untuk menggali
substrat. Ukuran pasir yang terlalu besar menyulitkan penyu untuk menggali
3. Suhu udara dan suhu substrat berkorelasi negative terhadap kadar air substrat.
Semakin besae suhu udara dan suhu substrat menyebabkan kadar air semakin
rendah dan sebaliknya.
4. Jarak sarang ke vegetasi berkorelasi negative terhadap komposisi debu dan
suhu udara. Semakin besar jarak sarang ke vegetasi terluar maka komposisi
debu pada substrat sarang dan suhu udara semakin rendah.
5. Semakin tinggi curah hujan dan semakin rendah jarak sarang ke batas pasang,
maka semakin tinggi pula kadar air substrat.
6. Kemiringan pantai berkorelasi positif terhadap kadar air dan jarak sarang ke
vegetasi. Jika kemiringan pantai landau, maka kadar air substrat dan jarak
sarang ke vegetasi semakin besar.

2.2.2 Makanan Penyu Laut


Penyu laut biasanya mencari makan di daerah yang ditumbuhi oleh
tanaman laut atau alga laut. Setiap jenis penyu mempunyai kesukaan makan
berbagai jenis alga laut, tetapi pada umumnya menyukai alga jenis rumput laut
(Erwanto, 2008).
Masa tukik sampai berumur 1 tahun, penyu laut bersifat karnivora. Tetapi
setelah berumur lebih dari 1 tahun, sifatnya tergantung dari jenis penyu itu sendiri.
Chelonia mydas yang tergolong herbivora, mencari makan pada daerah yang
dangkal, dimana alga laut masih bisa tumbuh dengan baik.
Anak penyu (tukik), sangat menyukai tumbuhan alga coklat, rumput laut,
moluska dan udang-udangan (Crustacea). Anakan penyu sisik berbeda dari tukik
yang lain dikarenakan sifat utama adalah omnivore dan paling banyak memakan
binatang – binatang kecil (invertebrata) yang hidup di daerah koaral (Agus, 2007).
Makanan penyu berbeda-beda, penyu belimbing, penyu sisik dan penyu hijau
lebih menyukai makanan berupa zooplankton seperti kepiting, udang, kerang,
13

sponges, ubur – ubur, ganggang hijau, dan rumput laut. Penyu lekang dan penyu
pipih menyukai jenis rumput laut, ganggang dan udang-udangan. Penyu tempayan
menyukai makanan jenis sargassum, kepiting, moluska, bulu babi dan nematoda
(Sani, 2000).

2.2.3 Interaksi Penyu dengan Satwa Lain


Penyu merupakan satwa yang memiliki tingkat sensifitas yang tinggi
(Agus, 2007). Adanya getaran di bawah maupun di permukaanpasir penyu sangat
tanggap dan merasa terancam dengan adanya gangguan di sekitarnya. Alat peraba
dan alat penciuman penyu sangat tajam dan merupakan dasar bagi perkembangan
susunan syaraf pada otaknya. Di antara kelas reptile lain, susunan syaraf penyu
bekerja dengan baik, sehingga adanya angin, bau, cahaya dan pergerakan secara
mudah diketahu oleh penyu.
Penyu merupakan satwa yang rentan terhadap pemangsa seperti babi
hutan, luak, anjing hutan, burung elang, ikan cucut dan monyet. Selain penyu,
sarang penyu yang berisi telur juga menjadi sasaran bagi pemangsa seperti
manusia, kepiting, monyet, biawak, anjing dan ular (Soesilo, 2006). Parasite jenis
teritip hidup berkoloni di tubuh penyu, jika dibiarkan makin lama akan bertambah
banyak dan menyebabkan kematian.

2.2.4 Penyebaran Penyu Laut

Dari tujuh jenis penyu yang ada di dunia hanya enam yang diketahui hidup
di perairan Indonesia yaitu penyu belimbing, penyu hijau, penyu sisik, penyu
lekang sedangkan penyu tempayan dan penyu pipih tidak diketahui habitat
penelurannya.
Nuitja (1992) menyatakan penyu hidup di perairan laut tropis dan
subtropis, konsentrasi utama penyebaran penyu di perairan dunia dapat
digolongkan dalam wilayah-wilayah sabagai berikut :
1. Penyu hijau dan penyu sisik terdapat di Kepulauan Karibia, Nikaragua, Kosta
Rika, Suriname dan Indonesia serta Filipina
14

2. Penyu lekang kempii hanya terdapat di Samudera Atlantik terutama di Teluk


Meksiko
3. Penyu tempayan terdapat di daerah Afrika Selatan, Australia TImur dan Jepang
4. Penyu pipih, hanya ditemukan di Australia Barat yang berbatasan dengan
perairan Timor.
5. Penyu belimbing dan penyu lekang ditemukan di Indonesia, Malaysia dan
Kosta Rika

Di Indonesia, penyu laut menyebar mulai dari Aceh hingga Irian Jaya.
Penyu laut melakukan migrasi jarak jauh dari lokasi sumber makanan menuju
lokasi penelurannya, umumnya mencari makan di perairan yang ditumbuhi
tanaman atau alga laut. Penyu dewasa bermigrasi ke daerah pantai peneluran pada
periode musim kawin (Nuitja, 1992). Penyu jantan melakukan kopulasi dengan
penyu betina di sekitar pantai peneluran. Penyu jantan bermigrasi kembali ke
daerah semula atau ke tempat lain untuk mencari makan sedangkan penyu betina
tetap berada di sekitar pantai peneluran selama kurang lebih 2 minggu, kemudian
menuju daratan untuk bertelur. Setelah bertelur, penyu betina akan kembali ke
tempat semula atau tempat lain untuk mencari makan (Nuitja, 1992).
Indonesia memiliki enam spesies penyu yaitu penyu hijau, penyu sisik,
penyu tempayan, penyu pipih, penyu lekang dan penyu belimbing. Menurut IUCN
(2013), status jenis penyu ini secara berurutan adalah penyu belimbing
endangered (terancam punah), penyu sisik critically endangered (kritis), penyu
pipih dan penyu lekang endangered (terancam punah) dan penyu hijau vulnerable
(rentan punah).
Penyebaran penyu laut di Indonesia mencakup daerah yang sangat luas.
Spesifikasi laut yang dihuni oleh jenis penyu laut yang hidup di perairan
Indonesia yaitu :
1. Penyu sisik menghuni perairan karang pada pulau-pulau kecil di Laut Jawa
seperti Kepulauan Karimata, Kepulauan Seribu, Kepulauan Karimun Jawa,
Pulau Manjangan, pulau kecil di selat Flores dan selat Makasar.
15

2. Penyu hijau dan penyu belimbing menghuni pantai yang landau dan luas,
terutama pantai yang langsung berhadapan dengan laut seperti Pulau Penyu di
Sumatera Barat, Pantai Ujung Kulon, Pantai Pangumbahan (Jawa Barat),
Pantai Sukamade, Pulau Barung (Jawa Timur), Pulau Penyu di Laut Banda dan
Pantai Lunyuk di Sumbawa Selatan.
3. Penyu pipih menghuni laut yang dalam seperti di perairan Timor dan Irian Jaya
4. Penyu lekang menghuni pantai yang luas dan berkarang seperti di pulau
Sumatera dan Kalimantan

2.3 Teknik Penangkaran Penyu

Penangkaran penyu pada hakikatnya mempunyai tujuan yang mulia


yaitu sebagai pengembangbiakan jenis biota laut langka seperti penyu dan
merupakan salah satu upaya untuk menyelamatkan populasi penyu dari
ancaman kepunahan, terutama oleh aktivitas manusia, dengan
meningkatkan peluang hidup penyu. Pada kenyataannya, kegiatan
penangkaran penyu sulit diwujudkan, karena untuk menghasilkan penyu
yang dapat dikomersilkan, yaitu penyu keturunan kedua (F2) membutuhkan
waktu puluhan tahun. Untuk menghasilkan keturunan pertama saja
membutuhkan waktu sekitar 30 tahun, apalagi untuk menghasilkan
keturunan kedua, belum besarnya biaya yang akan dikeluarkan sehingga
penangkaran penyu tersebut sulit terwujud dan tidak ekonomis.

Namun demikian, penangkaran penyu bukan tidak boleh dilakukan.


Hanya saja, dalam pelaksanaannya tujuan penangkaran dimodifikasi untuk
membantu dan mendukung upaya konservasi penyu, yaitu dengan
meningkatkan peluang hidup penyu sebelum dilepas ke alam. Oleh karena
itu, begitu telur penyu menetas, maka tukik harus langsung ditebar dan
dilepas ke laut. Selain untuk kepentingan mendukung upaya konservasi
penyu, kegiatan penangkaran penyu juga dapat diadakan untuk beberapa
kepentingan khusus, seperti pendidikan, penelitian dan wisata, sehingga
sejumlah tukik hasil penetasan semi alami dapat disisihkan untuk dibesarkan.
16

Jumlah tukik yang dibesarkan tersebut hanya sebagian kecil saja dan
tergantung tujuan dan dukungan fasilitas penangkaran yang menjamin tukik
tersebut dapat tumbuh dan berkembang dengan optimal.
Secara teknis, kegiatan penangkaran meliputi kegiatan penetasan telur (pada
habitat semi alami atau inkubasi), pemeliharaan tukik, dan pelepasan tukik ke
laut. Tahapan kegiatan teknis penangkaran penyu secara rinci meliputi:
Pemindahan telur, Penetasan semi alami, Pemeliharaan tukik dan Pelepasan tukik.
a. Pemindahan Telur

Relokasi atau pemindahan telur dilakukan dari penetasan alami ke


penetasan semi alami. Pemindahan telur dilakukan setelah induk penyu kembali
ke laut. Pemindahan telur penyu dari sarang alami ke sarang semi alami harus
dilakukan dengan hati-hati karena sedikit kesalahan dalam prosedur akan
menyebabkan gagalnya penetasan.
Cara-cara pemindahan telur penyu ke penetasan semi alami adalah sebagai
berikut:
1) Pembersihan pantai/lokasi penetasan baru.
2) Membran atau selaput embrio telur penyu sangat mudah robek jika
telur penyu dirotasi atau mengalami guncangan. Oleh karena itu
sebelum pemindahan telur penyu, pastikan bagian atas telur ditandai
kecuali pemindahan telur penyu tersebut dilakukan sebelum 2 jam
setelah induk penyu bertelur.
3) Telur penyu yang akan dipindah dimasukkan ke wadah secara hati-hati.
Pemindahan dengan ember lebih baik dibanding dengan karung/tas.
4) Telur penyu tidak boleh dicuci dan harus ditempatkan atau ditanam segera
dengan kedalaman yang sama dengan kondisi sarang aslinya, biasanya
sekitar 60-100 cm.
5) Ukuran dan bentuk lubang juga harus dibuat menyerupai ukuran dan
bentuk sarang aslinya. Ukuran diameter mulut sarang penyu biasanya
sekitar 20 cm.
6) Jarak penanaman sarang telur satu dengan lainnya sebaiknya diatur.
17

7) Ketika ditanam, telur penyu ditutupi dengan pasir lembab.


8) Peletakkan telur penyu ke sarang penetasan semi alami harus dilakukan
dengan hati-hati, dengan posisi telur penyu, yaitu posisi bagian atas dan
bawah. Hal ini dilakukan untuk meminimalisasi kegagalan penetasan.

Gambar 11. Telur Penyu


Gambaran cara dan proses pemindahan telur penyu dari sarang alami ke sarang
semi alami (buatan) menggunakan ember.

b. Penetasan Telur Penyu Semi Alami


Proses penetasan telur penyu secara semi alami dilakukan dengan cara sebagai
berikut:
1) Telur penyu yang diambil dari sarang alami dipindahkan ke lokasi penetasan
semi alami.
2) Masukkan telur penyu kedalam media penetasan, dimana kapasitas media
dalam menampung telur disesuaikan dengan besar kecilnya media.
3) Lama penetasan telur penyu sampai telur penyu menetas menjadi tukik ±
45-60 hari.
4) Lepaskan segera tukik yang baru menetas ke laut.
5) Untuk kepentingan pendidikan, penelitian dan wisata, sisihkan sebagian
tukik yang baru menetas ke dalam bak pemeliharaan untuk dibesarkan.
Lokasi penetasan telur penyu secara semi alami biasanya berada pada di atas
daerah supratidal, yaitu daerah dimana sudah tidak ada pengaruh pasang
tertinggi. Pada lokasi tersebut, dapat dibuat beberapa lubang-lubang telur penyu
buatan sebagai tempat penetasan telur semi alami. Kawasan lubang-lubang telur
penyu buatan tersebut dapat diberi pagar pada sekelilingnya, baik pagar
18

permanen maupun semi permanen, dan dapat juga dikelilingi dengan pohon.
Gambaran lokasi penetasan telur penyu secara alami dapat dilihat pada Gambar

Gambar 12. Lokasi Penetasan Penyu


Gambaran disain lokasi penetasan telur penyu secara semi alami
Penyu secara semi alami dapat juga dilakukan dalam suatu wadah. Proses
penetasan telur penyu secara semi alami dalam suatu wadah dapat dijelaskan
sebagai berikut:

1. Siapkan kotak dari gabus berukuran besar


2. Masukkan 2 (dua) wadah kecil yang terbuat dari fiber glass atau plastik ke
dalam kotak gabus tadi
3. Wadah fiber glass/plastik pertama diisi telur penyu, lalu timbun dengan
pasir. Bila tidak ada pasir dapat menggunakan kompos atau gambut.
Kompos atau gambut baik digunakan karena memiliki kelembaban sedang
4. Wadah fiber glass/plastik kedua diisi dengan air. Untuk menjaga kestabilan
suhu air, masukkan heater yang dihubungkan dengan thermostat ke dalam
wadah tersebut. Uap yang timbul di dalam kotak berfungsi untuk menjaga
kelebaban
5. Wadah berisi telur penyu harus memiliki lubang pembuangan air. Telur penyu
yang tergenang air akan mati karena udara tidak dapat diserap oleh telur
penyu.
19

Hal yang perlu diperhatikan bahwa penetasan telur penyu secara semi
alami dalam suatu wadah buatan juga mempunyai kelemahan, yaitu apabila
dilakukan secara terus-menerus dapat menimbulkan ketidakseimbangan populasi
di alam, karena perlakuan suhu dalam proses penetasan telur penyu dalam wadah
buatan tersebut dapat mempengaruhi jenis kelamin tukik. Sebutir telur yang
menetas secara alami semestinya jantan, akan tetapi karena perlakukan suhu
dalam proses penetasan telur penyu dalam wadah buatan justru menjadi betina
dan sebaliknya. Gambar 45 berikut ini menyajikan bahan dan media untuk proses
penetasan telur penyu dalam wadah buatan.

Gambar 13. Bahan dan Media Proses Penetasan Buatan


(Sumber : Yayasan Alam Lestari, 2000)
C. Pembesaran Tukik
Pembesaran tukik dilakukan dengan sistem rearing di pantai, pembesaran
tukikmenjadi penyu muda atau sampai dewasa, termasuk tukik yang cacat fisik
sejak lahir. Lokasi pembesaran tukik harus berada pada daerah supratidal (di atas
daerah pasang surut) untuk menghindari siklus gelombang laut pada bulan mati
dan bulan purnama.

Langkah-langkah pembesaran tukik adalah sebagai berikut:


1) Setelah telur penyu menetas, pindahkan tukik-tukik ke bak-bak
pemeliharaan. Bak-bak pemeliharaan dapat berbentuk lingkaran atau
empat persegi panjang dengan bahan dapat dari fiber atau keramik.
20

Ketingian air dalam bakpemeliharaan dibuat berkisar antara 5–10 cm,


mengingat tukik yang baru menetas tidak mampu menyelam
Jumlah dan ukuran bak pemeliharaan tukik disesuaikan dengan luas
lahan yang tersedia dan estimasi jumlah tukik yang akan ditangkarkan.
2) Suhu air yang cocok untuk tukik adalah sekitar 25 0C
3) Selama pemeliharaan tukik diberi makan secara rutin dan jika ada yang
sakitdipisahkan agar tidak menular kepada tukik yang lain. Pemberian
pakan tukikdilakukan dalam wadah bak/ember dalam ukuran besar.
Langkah-langkah pemberian pakan adalah sebagai berikut :
a. Setiap ember diisi sebanyak 25 ekor tukik.
b. Jenis pakan yang digunakan adalah ebi (udang kering/geragu) dan
sekali-kali diberi pakan daging ikan rucah/cacah. Sesekali dapat
diberikansayuran seperti selada atau kol.
c. Umumnya tukik belum mau makan 2 – 3 hari setelah penetasan.
Nafsumakan tukik sangat besar pada umur lebih dari 1 tahun, akan
tetapi janganterus diberi makan.
d. Pakan diberikan 2 kali sehari sebanyak 10-20% dari berat tubuh tukik
dengancara menyebarkan ebi secara merata.
e. Waktu pemberian pakan adalah pagi dan sore hari.

4) Kondisi air dalam bak pemeliharaan harus diperhatikan, baik kuantitas


maupun kualitasnya.
a. Air dalam bak pemeliharaan dapat kotor akibat dari sisa-sisa makanan
ataukotoran tukik. Air yang kotor dapat menimbulkan berbagai
penyakit yangbiasa menyerang bagian mata dan kulit tukik
b. Lakukan pergantian air sebanyak 2 kali dalam sehari sesudah
waktumakan. Air dalam bak pemeliharaan harus selalu mengalir
atau gunakan alat penyaring ke dalam pipa air bak pemeliharaan.
c. Standar kualitas air mengacu pada Kepmen LH No. 51 Tahun
2004tentang Baku Mutu Kualitas
d. b. Air untuk Biota laut.
4) Perawatan tukik
21

Tukik-tukik di dalam bak pemeliharaan seringkali saling gigit sehingga


terluka. Pisahkan dan pindahkan segera tukik yang terluka dari
bakpemeliharaan, bersihkan lukanya dengan larutan KMnO4 (kalium
permanganat)di bak tersendiri.

Gambar 14. Tata cara pemeliharan tukik dalam bak pemeliharaan (Sumber :
YayasanAlam Lestari, 2000)
Keterangan:
 Bak dibuat berukuran kecil, bahan dari plastik karena ringan dan
mudah dipindah-pindah.Apabila bak yang dibuat berukuran besar,
sebaiknya terbuat dari kayu yang dibungkus plastikuntuk menghemat
biaya
 Buatkan over flow dalam bak untuk membuang minyak atau sampah-
sampah berukuran kecil yangterapung di permukaan air yang keluar
bersama air buangan
 Pasang jaring pada pipa pembuangan agar tukik tidak masuk ke dalam
pipa pembuangan

D. Pelepasan Tukik
Pelepasan yang dimaksud adalah pelepasan tukik ke laut hasil
pemeliharaan yang dilakukan dalam bak-bak penampungan. Tukik-tukik ini dapat
berasal daripenetasan secara alami maupun hasil penetasan buatan. Tujuan
pelepasan adalahuntuk memperbanyak populasi penyu di laut.
22

Pelepasan tukik dilakukan pada waktu malam hari sekitar jam 19.00-05.30 WIB.
Hal ini dimaksudkan untuk menjaga agar tukik tidak mudah dimangsa oleh
predator.

E. Pemantauan Penetasan Tukik


Di suatu penangkaran penyu, dilakukan penghitungan angka penetasan
tukik untuk mengetahui keberhasilan penangkaran. Selain penghitungan
penetasan, dilakukan pula tagging dan monitoring. Monitoring atau pemantauan
terhadap penyu merupakan salah satu langkah penting untuk mengevaluasi tingkat
keberhasilan upaya pengelolaan konservasi penyu. Kegiatan monitoing dari sisi
waktu ada yang dilakukan secara rutin, periodik dan insidental, tergantung pada
kondisi populasi penyu dan intensitas kehadiran penyu pada suatu kawasan
konservasi penyu. Kegiatan monitoring rutin dapat dilakukan di stasiun
penangkaran penyu, kegiatan monitoring periodik dapat dilakukan dalam periode
tertentu, misalkan setiap minggu atau setiap bulan, sedangkan monitoring
insidental dilakukan jika terjadi kasus-kasus tertentu diluar kebiasaan, misalkan
adanya pencemaran, bencana alam atau kematian massal. Kegiatan monitoring
juga dapat dilakukan secara langsung maupun dengan bantuan alat, seperti untuk
memantau intensitas peneluran dan pertumbuhan dengan bantuan metal tag, dan
untuk memantau pola migrasi penyu dengan bantuan tagging satelit. Aspek-aspek
yang akan dimonitor dalam pengelolaan konservasi penyu meliputi :
- Monitoring telur dan sarang telur (pantai peneluran, dimensi sarang penyu
bertelur dan lubang telur, dimensi telur, jumlah telur, tingkat penetasan),
- Monitoring terhadap tukik
- Monitoring terhadap penyu yang bertelur

 Telur dan Sarang Telur

Monitoring terhadap telur dan sarang telur penyu dilakukan sejak awal penyu
mulai bertelur hingga telur-telur tersebut menetas menjadi tukik. Monitoring ini
harus dilakukan rutin setiap hari hingga telur-telur menetas menjadi tukik.
23

Beberapa aktivitas yang harus dilakukan selama monitoring telur dan sarang telur
diantaranya sebagai berikut:
a. Mengukur diameter dan lubang sarang telur.
b. Menghitung jumlah telur yang dilepaskan oleh penyu pada setiap sarangnya.
c. Mengukur diameter dan berat telur penyu.
d. Melakukan penandaan pada sarang telur dan pemagaran di sekitar sarang
telur (baik pada pembinaan habitat peneluran secara alami maupun semi
alami), terutama agar terlindung dari predator.
e. Memindahkan telur-telur penyu jika sarang telur berada pada daerah intertidal
(daerah yang terpengaruh pasang surut) ke daerah supratidal (di atas daerah
intertidal dimana tidak terpengaruh pasang surut).
f. Menghitung jumlah dan persentase telur yang menetas menjadi tukik.
g. Melakukan pemantauan terhadap kondisi sarang telur secara rutin hingga
telur-telur menetas menjadi tukik.

 Tukik

Monitoring terhadap tukik dilakukan mulai setelah tukik baru menetas.


Pemantauan terhadap tukik tersebut meliputi:
a. Jumlah dan persentase tukik yang menetas terhadap jumlah telur penyu.
b. Jumlah dan persentase tukik hidup terhadap tukik yang menetas.
c. Rasio kelamin tukik yang menetas dan yang hidup.
d. Pengukuran berat dan parameter morfometri tukik yang hidup (panjang
lengkung karapas dan lebar lengkung karapas).
 Selain itu, dalam monitoring tukik ini juga harus diarahkan agar tukik dapat
menuju laut secara sendiri atau alami
 Penyu yang Bertelur

Monitoring terhadap penyu yang bertelur dilakukan setelah penyu tersebut


mengeluarkan telurnya atau pada saat penyu akan kembali ke laut setelah bertelur.
Pada kondisi tersebut, aktivitas-aktivitas yang dilakukan pada penyu tersebut tidak
akan mengganggu penyu.
24

Kegiatan-kegiatan monitoring yang dilakukan pada penyu yang bertelur


diantaranya:
1) Pengukuran berat dan morfometri penyu (panjang lengkung karapas atau
curve carapace length/ CCL dan lebar lengkung karapas atau curve carapace
width/CCW).

Gambar 15. Pengukuran CCL dan CCW pada saat Monitoring Penyu yang
Bertelur (Sumber: Pedoman Teknis Pengelolaan Konservasi Penyu hal. 89)

2) Monitoring track penyu (lebar dan pola track penyu ketika datang dan
kembali ke laut).
3) Jika diperlukan, pemasangan tag (tagging), untuk mengetahui pola migrasi,
intensitas peneluran penyu, perkembangan penyu (CCL, CCW dan bobot)
dan ada tidaknya rekrutmen atau penambahan populasi penyu.
4) Pencatatan suhu pasir dalam sarang.

F. Teknis Pembinaan Habitat


Pembinaan habitat peneluran penyu pada prinsipnya bertujuan untuk untuk
melindungi habitat peneluran penyu (nesting site) dari segala macam gangguan
(baik gangguan predator maupun pengunjung) agar penyu dapat berkembang biak
dengan baik.
Pembinaan atau pengelolaan habitat peneluran penyu secara umum dapat
dilakukan dengan cara:
25

1) Menyediakan area atau lokasi untuk stasiun penangkaran penyu yang tersebar
di seluruh Indonesia, minimal setiap provinsi memiliki satu stasiun
penangkaran penyu
2) Menetapkan kawasan tersebut sebagai kawasan konservasi penyu
3) Melarang siapapun memasuki dan melakukan kegiatan di kawasan konservasi
penyu tersebut, kecuali dengan izin khusus untuk tujuan pendidikan dan
penelitian.
Teknis pembinaan habitat, secara umum terdiri dari teknis pembinaan habitat
alami dan teknis
pembinaan habitat semi-alami.

G. Teknis Pembinaan Habitat Alami


Teknis pembinaan habitat alami dilakukan langsung pada habitat asli dari
penyu tersebut, baik habitat untuk peneluran, perkawinan, jalur migrasi maupun
habitat untuk tempat makan penyu. Kegiatan pembinaan habitat alami dalam
upaya melindungi habitat mencakup 2 (dua) sasaran habitat, yaitu:
a. Habitat Daerah Peneluran, meliputi :
1) Terkosentrasi pada daerah peneluran (concentrated nesting beaches )
Pembinaan habitat penyu secara alami bertujuan melindungi habitat
peneluran penyu. Perlindungan habitat peneluran penyu meliputi
perlindungan penyu dari gangguan manusia, perlindungan telur dari predator
dan manusia, perlindungan sarang telur dari gangguan manusia serta
gangguan alami, seperti pasang dan arus.
2) Daerah penjemuran diri (basking site), khusus untuk Lepidochelys olivacea.
Selain untuk bertelur, ada jenis penyu yang mendarat ke pantai untuk
melakukan penjemuran, yaitu jenis penyu abu-abu/penyu Abu-abu
(Lepidochelys olivacea). Perlindungan habitat penyu untuk penjemuran ini
dilakukan agar penyu secara rutin dapat melakukan penjemuran di daerah
tersebut dan untuk memantau keberadaan penyu.

b. Habitat Perairan (Aquatic habitat), meliputi :


1) Antar daerah peneluran (Internesting areas)
26

Pembinaan habitat penyu juga harus dilakukan pada antar daerah peneluran.
Hal tersebut terutama apabila di satu kawasan terdapat beberapa daerah
peneluran. Pembinaan dapat dilakukan dengan menciptakan kondisi perairan
diantara daerah-daerah peneluran agar tetap sehat dan menjaga dari hal-hal
yang dapat membuat perairan tercemar.
2) Jalur pergerakan (Migration routes)
Penyu merupakan salah satu hewan yang selalu melakukan migrasi, baik
migrasi untuk mencari makanan, migrasi untuk mencari daerah peneluran
maupun migrasi untuk perkawinan. Oleh karena itu, agar pembinaan jalur
migrasi penyu dapat dilakukan dengan efektif, harus diketahui atau dikaji
terlebih dahulu mana saja jalur-jalur migrasi penyu, sehingga penyu dapat
melakukan migrasi dengan aman dan nyaman.
3) Daerah sumber makanan (Feeding Grounds)
Salah satu faktor yang mempengaruhi keberadaan penyu di alam adalah
tersedianya makanan yang cukup dan terus menerus bagi penyu. Beberapa
daerah yang dapat menjadi sumber makanan bagi penyu adalah daerah sekitar
terumbu karang dan padang lamun. Oleh karena itu, pembinaan dan
pengelolaan daerah-daerah sumber makanan bagi penyu menjadi hal yang
penting untuk dilakukan. Aktivitas-aktivitas yang dapat merusak daerah
sumber makanan tersebut harus dicegah dan dihindari, seperti penggunaan
bahan peledak dan potassium untuk menangkap ikan di kedua habitat
tersebut.
4) Daerah berdiam selama musim hibernacula
Dalam siklus hidupnya, ada masa-masa penyu berdiam diri tidak melakukan
aktivitas (hibernacula). Selama musim hibernacula, tetap ada ancaman-
ancaman yang mengganggu eksistensi penyu di alam, terutama oleh ulah
manusia. Oleh karena itu, pembinaan dan pengelolaan serta perlindungan juga
harus dilakukan pada habitat hibernacula penyu. Apabila habitat hibernacula
penyu terlindungi dan tetap dalam keadaan baik, maka penyu dapat
melakukan hibernacula dengan aman dan nyaman sehingga aktivitas-aktivitas
penyu pasca hibernacula dapat lebih optimal.
27

H. Teknis Pembinaan Habitat Semi Alami


Pembinaan habitat semi alami adalah pembinaan daerah peneluran yang
dibuat khusus bagi populasi penyu akibat daerah aslinya sudah rusak (terjadi
degradasi) atau mengalami ancaman terus-menerus yang tidak bisa dihindarkan
(misal daerah peneluran yang terkena tsunami) serta apabila habitat aslinya sudah
tidak aman untuk peneluran secara alami (misal terdapat predator atau pencurian
telur penyu). Pada habitat semi alami ini dilakukan penanganan secara semi alami
terhadap sisa-sisa telur yang ditemukan di sepanjang pantai agar telur dapat
menetas. Pembinaan habitat semi alami ini dilakukan dengan memindahkan
sarang telur dari habitat aslinya ke daerah yang terlindung dan terjaga, tetapi
dengan kondisi substrat dan lingkungan seperti pada habitat aslinya. Habitat semi
alami ini biasanya berada di sekitar stasiun penangkaran penyu, dimana habitat
semi alami tersebut akan terawasi dan terjaga dari faktor-faktor eksternal yang
mengancam kegagalan penetasan telur.

I. Teknis Pengelolaan Wisata Berbasis Penyu

Teknis pengelolaan wisata berbasir penyu adalah sebagai berikut:


1) Membuat atau mendisain tata ruang wilayah atau area yang akan menjadi
obyek wisata berbasis penyu. Beberapa ruang minimal yang harus ada adalah
kantor pengelolaan dan pusat informasi penyu, lokasi peneluran (dapat di
wilayah lain, tapi dengan sistem satu paket wisata), lokasi penetasan semi
alami, lokasi pemeliharaan tukik, dan lokasi pelepasan tukik. Termasuk di
dalamnya disainvegetasi-vegetasi yang sesuai dengan habitat penyu.
2) Konstruksi daerah wisata berbasis penyu sesuai dengan desain atau tata ruang
yang telah disusunpada poin 1), termasuk penanaman vegetasi-vegetasi yang
sesuai dengan habitat penyu. Bahanbahan untuk bangunan diupayakan dari
bahan-bahan alami dengan tetap memperhatikan kekuatan bangunan, seperti
kayu, batang pohon, atap jerami, jalan batu, dll. Pemakaian bahan bangunan
dari pabrik digunakan seminimal mungkin, misal bak pemeliharaan dari fiber
atau keramik.
3) Membuat bahan-bahan untuk promosi, seperti leaflet, poster, dan booklet.
28

4) Melakukan promosi dan sosialisasi, misal melalui media cetak, media


elektronik, presentasi kelembaga-lembaga pendidikan.
5) Menggabungkan paket wisata berbasis penyu dengan paket-paket wisata yang
ada di sekitarnya, misal menjalin kerjasama dengan pemerintah daerah,
pengelola daerah/pulau wisata atau agen-agen perjalanan wisata, wisata
tradisional atau bentuk-bentuk wisata lain yang ada di sekitarnya.
6) Pengembangan wisata berbasis penyu harus tetap memperhatikan kondisi dan
kenyamanan bagi penyu untuk bertelur, mengingat sifat penyu yang sangat
sensitif terhadap gangguan cahaya, suara, dan habitat.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

2. Menurut klasifikasi hewan, penyu termasuk sekelas dengan reptil sehingga


penyu akan bertelur dimana hewan ini ditetaskan. Penyu sisik biasanya
bertelur di pantai yang berpasir dan berbatu kerikil dibawah naungan
pohon sedangkan penyu hijau, penyu lekang dan penyu belimbing
biasanya bertelur di pantai yang lebar dan terbuka tanpa naungan pohon.
3. Penyu hidup di dua habitat yang berbeda yaitu laut sebagai habitat utama
bagi keseluruhan hidupnya dan habitat darat yang digunakan penyu pada
waktu bertelur dan penetasan telur. Umumnya tempat pilihan bertelur
yaitu daratan luas dan landau yang terletak di atas bagian pantai yang
memiliki tipe pasir berbatu halus dan terdapat fraksi konkresi besi sedikit
yang mudah digali oleh penyu, sehingga secara naluriah dianggap aman
oleh penyu untuk bertelur di lokasi tersebut (Noitji,2005).
4. Kegiatan penangkaran meliputi kegiatan penetasan telur (pada habitat
semi alami atau inkubasi), pemeliharaan tukik, dan pelepasan tukik ke
laut. Tahapan kegiatan teknis penangkaran penyu secara rinci meliputi:
Pemindahan telur, Penetasan semi alami, Pemeliharaan tukik dan
Pelepasan tukik.

29
DAFTAR PUSTAKA

Agus. 2007. Penangkaran Penyu. Buku. Angkasa. Bandung. 68 p.

Erwanto, B. 2008. Kajian Pengelolaan Penangkaran Penyu Di Kecamatan


Ngambur Lampung Barat. Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas
Lampung Press. Bandar Lampung. 71 p.

Garis. 2005. Metode Survey Vegetasi. Buku. Institut Pertanian Bogor Press.
Bogor. 126 p.

Limpus, C.J. 1984. Laporan Diskusi/Seminar Penyu. PHPA, WWF Indonesia,


Marine Conservation Project, WWF Australia. BKSDA III. Bogor. 81-83
p.

Noitji, Dr. A. 2005. Laut Nusantara. Buku. Djambatan. Jakarta. 368 p.

Nuitja. I.N.S. 1992. Biologi dan Ekologi Pelestarian Penyu Laut. Buku. Institut
Pertanian Bogor Press. Bogor. 157-160 p.

Sani, A. A. 2000. Karakteristik Biofisik Habitat Peneluran Dan Hubungannya


Dengan Sarang Peneluran Penyu Hijau (Chelonia mydas) Di Pantai
Sindang Kerta, Cipatujah, Tasikmalaya, Jawa Barat. Skripsi. Institut
Pertanian Bogor. Bogor. 68 p.

Kementerian Kelautan dan Perikanan. Klassifikasi dan Identifiaksi Penyu.


http://bpsplpadang.kkp.go.id/klasifikasi-dan-identifikasi-penyu
Diakses pada tanggal 5 Maret 2018, pada pukul 17.00

Karimela, Ely John. 2015. Jenis Karakter Morfologi species penyu yang terdapat
di Indonesia.
http://www.academia.edu/22415436/Jenis_Karakter_Morfologi_species_pe
nyu_yang_terdapat_di_indonesia
Diakses pada tanggal 5 Maret 2018 pada pukul 20.00

Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut, Direktorat Jenderal Kelautan,


Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan RI.
Pedoman Teknis Pengelolaan Konservasi Penyu. Jl. Medan Merdeka Timur
No.16 Jakarta Pusat – Indonesia

30

Anda mungkin juga menyukai