Anda di halaman 1dari 9

A.

POTENSI KELAUTAN INDONESIA

Negara Indonesia memiliki wilayah laut sangat luas 5,8 juta km2 yang
merupakan tiga per empat dari keseluruhan wilayah Indonesia. Di dalam wilayah
laut tersebut terdapat sekitar 17.500 lebih dan dikelilingi garis pantai sepanjang
81.000 km, yang merupakan garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah
Kanada. Fakta fisik inilah yang membuat Indonesia dikenal sebagai negara
kepulauan dan maritim terbesar di dunia.
Selain peran geopolitik, wilayah laut kita juga memiliki peran geokonomi
yang sangat penting dan strategis bagi kejayaan dan kemakmuran bangsa
Indonesia. Sebagai negara kepulauan dan maritim terbesar di dunia, Indonesia
diberkahi Tuhan YME dengan kekayaan laut yang sangat besar dan beranekaragam, baik berupa sumberdaya alam terbarukan (seperti perikanan, terumbu
karang, hutan mangrove, rumputlaut, dan produk-produk bioteknologi);
sumberdaya alam yang takterbarukan (seperti minyak dan gas bumi, emas,
perak, timah, bijih besi, bauksit, dan mineral lainnya); energi kelautan
sepertipasang-surut, gelombang, angin, dan OTEC (Ocean Thermal Energy
Conversion); maupun jasa-jasa lingkungan kelautan seperti pariwisata bahari dan
transportasi laut.
Oleh karena itu, pada makalah ini dibahas mengenai pentingnya pengembangan
potensi kelautan yang optimal bagi peningkatan kesejahteraan bangsa
Indonesia. Pengembangan kelautan tersebut diawali dengan adanya isu-isu
permasalahan yang ada dan ditindaklanjuti dengan upaya pengelolaan kelautan
dengan menggunakan prinsip-prinsip pengelolaan yang berkelanjutan, terpadu,
desentralisasi pengelolaan, pemberdayaan masyarakat dan kerjasama
internasional.
A. Potensi Sumberdaya Kelautan
Potensi dan peluang pengembangan kelautan meliputi :
(1) perikanan tangkap,
(2) perikanan budidaya,
(3) industri pengolahan hasil perikanan,
(4) industri bioteknologi kelautan dan perikanan,
(5) pengembangan pulau-pulau kecil,
(6) pemanfaatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal Tenggelam,
(7) deep sea water,
(8) industri garam rakyat,
(9) pengelolaan pasir laut,

(10) industri penunjang,


(11) pengembangan kawasan industri perikanan terpadu, dan (12)
keanekaragaman hayati laut.
Perikanan
Laut Indonesia memiliki luas lebih kurang 5,8 juta km2 dengan garis
pantai sepanjang 81.000 km, dengan potensi sumberdaya ikan
diperkirakan sebesar 6,4 juta ton per tahun yang tersebar di perairan
wilayah Indonesia dan perairan ZEEI (Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia),
yang terbagi dalam sembilan wilayah perairan utama Indonesia.
Di samping itu terdapat potensi pengembangan untuk (a) budidaya laut
terdiri dari budidaya ikan (antara lain kakap, kerapu, dan gobia), budidaya
moluska (kerang-kerangan, mutiara, dan teripang), dan budidaya rumput
laut, dan (e) bioteknologi kelautan untuk pengembangan industri
bioteknologi kelautan seperti industri bahan baku untuk makanan, industri
bahan pakan alami, benih ikan dan udang, industri bahan pangan.
Pertambangan dan energi
Potensi sumberdaya mineral kelautan tersebar di seluruh perairan
Indonesia. Sumberdaya mineral tersebut diantaranya adalah minyak dan
gas bumi, timah, emas dan perak, pasir kuarsa, monazite dan zircon, pasir
besi, agregat bahan konstruksi, posporit, nodul dan kerak mangan, kromit,
gas biogenic kelautan, dan mineral hydrothermal.

Perhubungan Laut
Transportasi laut berperan penting dalam dunia perdagangan internasional
maupun domestik. Transportasi laut juga membuka akses dan
menghubungkan wilayah pulau, baik daerah sudah yang maju maupun
yang masih terisolasi. Sebagai negara kepulauan (archipelagic state),
Indonesia memang amat membutuhkan transportasi laut, namun,
Indonesia ternyata belum memiliki armada kapal yang memadai dari segi
jumlah maupun kapasitasnya. Data tahun 2001 menunjukkan, kapasitas
share armada nasional terhadap angkutan luar negeri yang mencapai 345
juta ton hanya mencapai 5,6 persen. Adapun share armada nasional
terhadap angkutan dalam negeri yang mencapai 170 juta ton hanya
mencapai 56,4 persen. Kondisi semacam ini tentu sangat
mengkhawatirkan terutama dalam menghadapi era perdagangan bebas.
Selain diperlukan suatu kebijakan yang kondusif untuk industri pelayaran,
maka Peningkatan kualitas SDM yang menangani transportasi sangatlah
diperlukan.
Karena negara Indonesia adalah negara kepulauan maka keperluan sarana
transportasi laut dan transportasi udara diperlukan. Mengingat jumlah
pulau kita yang 17 ribu buah lebih maka sangatlah diperlukan industri
maritim dan dirgantara yang bisa membantu memproduksi sarana yang

membantu kelancaran transportassi antar pulau tersebut. Potensi


pengembangan industri maritim Indonesia sangat besar, mengingat
secara geografis Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari
ribuan pulau. Untuk menjangkau dan meningkatkan assesbilitas pulau
dapat dihubungkan melalui peran dari sarana transportasi udara (pesawat
kecil) dan sarana transportasi laut (kapal, perahu, dan sebagainya).
Pariwisata Bahari
Indonesia memiliki potensi pariwisata bahari yang memiliki daya tarik bagi
wisatawan. Selain itu juga potensi tersebut didukung oleh kekayaan alam
yang indah dan keanekaragaman flora dan fauna. Misalnya, kawasan
terumbu karang di seluruh Indonesia yang luasnya mencapai 7.500 km2
dan umumnya terdapat di wilayah taman laut. Selain itu juga didukung
oleh 263 jenis ikan hias di sekitar terumbu karang, biota langka dan
dilindungi (ikan banggai cardinal fish, penyu, dugong, dll), serta migratory
species.
Potensi kekayaan maritim yang dapat dikembangkan menjadi komoditi
pariwisata di laut Indonesia antara lain: wisata bisnis (business tourism),
wisata pantai (seaside tourism), wisata budaya (culture tourism), wisata
pesiar (cruise tourism), wisata alam (eco tourism) dan wisata olah raga
(sport tourism).
B. Isu dan Masalah Pengelolaan
1. Isu Kerusakan Ekosistem
Kerusakan ekosistem yang sangat berpengaruh pada tingkat produktivitas
sumber daya kelautan meliputi: ekosistem terumbu karang, ekosistem
mangrove, padang lamun dan estuaria, serta ekosistem budidaya laut.
Kondisi terumbu karang saat ini mencapai kerusakan rata-rata 40%
dengan rincian : rusak berat 40,14%, rusak sedang 29,22%, dan baik 6,4124,23%. Di Indonesia Barat kondisi memuaskan tinggal 3,93%, di
Indonesia Tengah tinggal 7,09%, sedangkan di Indonesia Timur kondisi
memuaskan tinggal 9,80%.
Permasalahan kerusakan ekosistem juga terjadi akibat terjadi
pemanfaatan sumberdaya ikan yang berlebih (overfishing) di beberapa
wilayah perairan Indonesia. Masalah tersebut berdampak pada
ketidakberlanjutan pemanfaatan sumberdaya perikanan. Kerusakan
ekosistem juga terjadi akibat pencemaran ekosistem laut yang bersumber
dari dampak kegiatan-kegiatan manusia di darat dan di laut dan berakibat
pada penurunan kualitas dan daya dukung ekosistem laut. Kegiatan
manusia di laut yang dapat mencemari ekosistem laut diantaranya
kegiatan perkapalan dengan arus transportasi lautnya, kegiatan
pertambangan, penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan, wisata
pantai, dan lain sebagainya. Sedangkan kegiatan manusia di darat yang
mencemari ekosistem laut diantaranya adalah kegiatan pertanian,
pemukiman, industri, kegiatan pertambangan, dan lain-lain.

2. Isu Sosial Ekonomi


Laut sebagai media kontak sosial dan budaya memberikan gambaran
kepada kita bahwa dengan terbukanya akses perhubungan di laut akan
terjadi kemudahan interaksi secara sosial antar daerah bahkan antar
negara. Kemudian interaksi tersebut dapat berimplikasi positif dan dapat
juga sebaliknya yang menjadikan akses tindakan criminal seperti illegal
logging, perompakan, pencurian sumberdaya, perdagangan illegal dan
perdagangan manusia.
Selain itu, masalah ekonomi yang terjadi adalah kemiskinan nelayan yang
menggantungkan hidupnya pada sumberdaya di laut. Kemiskinan nelayan
ini menunjukkan bahwa pemanfaatan sumberdaya laut dan potensipotensi pendukungnya belum dimanfaatkan secara optimal dan bijaksana.
3. Isu Hukum dan Kelembagaan
Isu hukum yang terjadi baik di level nasional maupun daerah antar sektor
berkaitan dengan penanganan pengendalian sumberdaya seperti
pengawasan, MCS, pengendalian pencemaran lingkungan laut. Beberapa
instansi sudah memiliki peraturan mengenai penanganan ini, sedangkan
beberapa instansi yang lain belum ada dan masih mengacu pada
peraturan yang dikeluarkan oleh Kementerian LH yang masih bersifat
umum dan tidak mengatur secara teknis mengenai aktivitas kegiatan
yang merupakan instansi teknis. Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi
migas, perkapalan dan kepelabuhan serta pariwisata pantai dan laut
memerlukan peraturan perundangan detail dan teknis dari masing-masing
instansi tersebut.
Isu kelembagaan berkaitan dengan permasalahan koordinasi baik secara
horizontal maupun vertical. Koordinasi secara horizontal dimana
implementasi koordinasi yang terjadi pada instansi horizontal seperti antar
instansi teknis dalam satu level pemerintahan yang masing-masing masih
terdapat perbedaan persepsi dan pelaksanaan dalam pengelolaan
kelautan. Koordinasi secara vertical dimana implementasi koordinasi yang
terjadi pada instansi vertical yaitu pusat, propinsi dan kabupaten/kota
yang dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dapat diimplementasikan
sebagaimana diamanatkan UU No.32/2004.
4. Isu Pemanfaatan Ruang
Laut dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, misalnya area perikanan,
pertambangan, jalur transportasi, jalur kabel komunikasi dan pipa bawah
air, wisata bahari dan area konservasi. Artinya laut sebagai ruang
dimungkinkan adanya terdapat beberapa jenis pola pemanfaatan dalam
satu ruang yang sama. Konflik pemanfaatan ruang dapat saja terjadi
apabila penetapan pola-pola pemanfaatan pada ruang yang sama atau
berdekatan saling memberikan dampak yang negatif.
Ketidakselarasannya peraturan atau produk hokum dalam pola-pola
pemanfaatan laut antar sektor dapat meningkatkan kerentanan konflik
kepentingan. Selain itu, kepentingan pemerintah daerah saat ini yang
diberikan kewenangan untuk mengelola wilayah lautnya masing-masing

banyak disalah tafsirkan, sehingga laut dianggap milik sendiri dan tidak
boleh dimanfaatkan oleh orang lain atau pemanfaatan sumberdaya laut
dilakukan hanya sekedar untuk menambah devisa tanpa melihat berbagai
aspek keberlanjutannya.
C. Upaya Pengelolaan yang Optimal
1. Pembangunan Berkelanjutan
Pembangunan berkelanjutan merupakan salah satu amanat dari
pertemuan Bumi (Earth Summit) yang diselenggarakan tahun 1992 di Rio
de Janeiro, Brazil. Dalam forum global tersebut, pemahaman tentang
perlunya pembangunan berkelanjutan mulai disuarakan dengan
memberikan definisi sebagai pembangunan yang bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan generasi sekarang dengan tanpa mengabaikan
kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya.
Pengelolaan sumberdaya laut perlu diarahkan untuk mencapai tujuan
pendayagunaan potensi untuk meningkatkan kontribusi terhadap
pembangunan ekonomi nasional dan kesejahteraan pelaku pembangunan
kelautan khususnya, sertauntuk tetap menjaga kelestarian sumberdaya
kelautan khususnya sumberdaya pulih dan kelestarian lingkungan.
2. Keterpaduan
Sifat keterpaduan dalam pembangunan kelautan menghendaki koordinasi
yang mantap, mulai tahapan perencanaan sampai kepada pelaksanaan
dan pemantauan serta pengendaliannya. Untuk itu , dibutuhkan visi, misi,
strategi, kebijakan dan perencanaan program yang mantap dan dinamis.
Melalui koordinasi dan sinkronisasi dengan berbagai pihak baik lintas
sektor maupun subsektor, tentu dengan memperhatikan sasaran, tahapan
dan keserasian antara rencanan pembangunan kelautan nasional dengan
regional, diharapkan diperolah keserasian dan keterpaduan perencanaan
dari bawah (bottom up) yang bersifat mendasar dengan perencanaan dari
atas ( top down) yang bersifat policy, sebagai suatu kombinasi dan
sinkronisasi yang lebih mantap.
Keterpaduan dalam pengelolaan sumberdaya kelautan meliputi (1)
keterpaduan sektoral yang mensyaratkan adanya koordinasi antar sektor
dalam pemanfaatan sumberdaya kelautan, (2) keterpaduan pemerintahan
melalui integrasi antara penyelenggara pemerintahan antarlevel dalam
sebuah konteks pengelolaan kelautan tertentu, (3) keterpaduanspasial
yang memberikan arah pada integrasi ruang dalam sebuah pengelolaan
kawasan laut, (4) keterpaduan ilmu dan manajemen yang menitikberatkan
pada integrasi antarilmu dan pengetahuan yang terkait dengan
pengelolaan kelautan, dan (5) keterpaduan internasional yang
mensyaratkan adanya integrasi pengelolaan pesisir dan laut
yangmelibatkan dua atau lebih negara, seperti dalam konteks
Transboundary species, high migratory species maupun efek polusi antar
ekosistem.
3. Desentralisasi Pengelolaan

Dari 400-an lebih kabupaten dan kota di Indonesia, maka 240-an lebih
memiliki wilayah laut. Memperhatikan hal ini maka dalam bagian
kesungguhan mengelola kekayaan laut Diharapkan stabilitas politik di
negara kita dapat ditingkatkan, penegakan hukum dapat segera
dilaksanakan sehingga segala upaya dalam pembangunan SDM,
pembangunan ekonomi dapat memperoleh hasil yang optimal. Budaya
negeri kita paternalistik, sehingga perilaku pemimpin nasional dan daerah,
perilaku pejabat pusat dan daerah akan menjadi refleksi masyarakat luas.
Usaha pemberian otonomi yang nyata dan bertanggung jawab dalam
urusan pemerintahan dan pembangunan merupakan isu pemerintahan
yang lebih santer di masa-masa yang akan datang. Proses perencanaan
dan penentuan kebijaksanaan pembangunan yang sekarang masih
nampak sentralistis di pemerintahan pusat kiranya perlu didorong untuk
mendesentralisasikan ke daerahdaerah.
Selain itu, peranan daerah juga sangat besar dalam proses pemberdayaan
masyarakat untuk ikut serta secara aktif dalam proses pembangunan,
termasuk di dalamnya pembangunan wilayah pesisir dan lautan. Namun
peran tersebut masih perlu ditingkatkan di masa mendatang mengingat
peranan sumberdaya pesisir dan lautan dalam pembangunan di masa
mendatang makin penting. Peranan daerah juga makin penting, terutama
apabila dikaitkan dengan pembinaan kawasan, baik yang berkaitan
dengan pemanfaatan dan perlindungan sumberdaya alam maupun
masyarakat di daerah, terutama yang berada di kawasan pesisir, yang
kehidupannya sangat tergantung pada lingkungan di sekitarnya
(lingkungan pesisir dan lautan).
Daerah juga harus dapat meningkatkan peranannya melalui pembinaan
dunia usaha di daerah untuk mengembangkan usahanya di bidang
kelautan. Artinya proses pemberdayaan bukan hanya diperuntukkan bagi
masyarakat pesisir atau masyarakat yang menggantungkan hidupnya
pada sektor kelautan (nelayan), tetapi juga para usahawan (misalnya
perikanan) mengantisipasi potensi pasar dalam negeri maupun luar negeri
yang cenderung meningkat. Di sektor lain, misalnya budidaya laut juga
merupakan potensi untuk mendorong pembangunan baik secara nasional
maupun untuk kepentingan masyarakat pesisir.
Secara empiris, trend menuju otonomisasi pengelolaan sumberdaya
kelautan ini pun di beberapa negara sudah teruji dengan baik. Contoh
bagus dalam hal ini adalah Jepang. Dengan panjang pantai kurang lebih
34.590 km dan 6.200 pulau besar kecil, Jepang menerapkan pendekatan
otonomi melalui mekanisme coastal fishery right-nya yang terkenal itu.
Dalam konteks ini, pemerintah pusat hanya memberikan basic
guidelines dan kemudian kebijakan lapangan diserahkan kepada provinsi
atau kota melalui FCA (Fishebry Cooperative Association). Dengan
demikian, terdapat mozaik pengelolaan yang bersifat site-spesific menurut
kondisi lokasi di wilayah pengelolaan masing-masing.
4. Pengelolaan Berbasis Masyarakat
Pendekatan pembangunan termasuk dalam konteks sumberdaya kelautan,

seringkali meniadakan keberadaan organisasi lokal (local organization).


Meningkatnya perhatian terhadap berbagai variabel local menyebabkan
pendekatan pembangunan dan pengelolaan beralih dari sentralisasi ke
desentralisasi yang salah satu turunannya adalah konsep otonomi
pengelolaan sumberdaya kelautan.
Dalam konteks ini pula, kemudian konsep CBM (community based
management) dan CM (Co-Management) muncul sebagai policy badies
bagi semangat kebijakan dari bawah (bottom up policy) yang berkaitan
dengan pengelolaan sumberdaya alam. Hal ini diarahkan sesuai dengan
tujuan pengelolaan sumberdaya kelautan yang dilakukan untuk mencapai
kesejahteraan bersama sehingga orientasinya adalah pada kebutuhan dan
kepentingan masyarakat sehingga tidak hanya menjadi objek, melainkan
subjek pengelolaan.

5. Isu Global
Memasuki abad ke-21, Indonesia dihadapkan pada tantangan internasional
sehubungan dengan mulai diterapkannya pasar bebas, mulai dari AFTA
(pasar bebas ASEAN) hingga APEC (pasar bebas Asia Pasifik). Seiring
dengan itu, terjadi berbagai perkembangan lingkungan strategis
internasional, antara lain (1) proses globalisasi, (2) regionalisasi blok
perdagangan, (3) isu politik perdagangan yang menciptakan non-tariff
barier, dan (4) isu tarifikasi dan tariff escalation bagi produk agroindustri,
dan (5) perkembangan kelembagaan perdagangan internasional.
Terdapat dua aspek globalisasi yang terkait dengan sektor kelautan dan
perikanan, yakni aspek ekologi dan ekonomi. Secara ekologi, terdapat
berbagai kaidah internasional dalam pengelolaan sumberdaya perikanan
(fisheries management), seperti adanya Code of Conduct for Responsible
Fisheries yang dikeluarkan FAO (1995). Aturan ini menuntut adanya
praktek pemanfaatan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan,
dimana setiap negara dituntut untuk memenuhi kaidah-kaidah tersebut,
selanjutnya dijabarkan di tingkat regional melalui organisasi/komisi-komisi
regional (Regional Fisheries Management Organizations-RFMOs) seperti
IOTC (Indian Ocean Tuna Comission) yang mengatur penangkapan tuna di
perairan India, CCSBT, dll. Selain itu, Committee on Fisheries FAO telah
menyepakati tentang International Plan of Action on Illegal, Unreported
and Unregulated (IUU) Fishing yang mengatur mengenai (1) praktek ilegal
seperti pencurian ikan, (2) praktek perikanan yang tidak dilaporkan atau
laporannya salah, atau laporannya di bawah standar, dan (3) praktek
perikanan yang tidak diatur sehingga mengancam kelestarian stok ikan
global.
Sementara itu dalam aspek ekonomi, liberalisasi perdagangan merupakan
ciri utama globalisasi. Konsekuensinya adalah ketatnya persaingan
produk-produk perikanan pada masa datang. Oleh karenanya produkproduk perikanan akan sangat ditentukan oleh berbagai kriteria, seperti
(1) produk tersedia secara teratur dan berkesinambungan, (2) produk
harus memiliki kualitas yang baik dan seragam, dan (3) produk dapat

disediakan secara masal. Selain itu, produk-produk perikanan harus dapat


pula mengantisipasi dan mensiasati segenap isu perdagangan
internasional, termasuk: isu kualitas (ISO 9000), isu lingkungan (ISO
14000), isu property right, isu responsible fisheries, precauteonary
approach, isu hak asasi manusia (HAM), dan isu ketenagakerjaan.
Ancaman Bencana laut

Bencana dapat disebabkan oleh kejadian alam (natural disaster) maupun oleh
ulah manusia (man-made disaster). Faktor-faktor yang dapat menyebabkan
bencana antara lain:
Bahaya alam (natural hazards) dan bahaya karena ulah manusia (man-made
hazards) yang menurut United Nations International Strategy for Disaster
Reduction (UN-ISDR) dapat dikelompokkan menjadi bahaya geologi (geological
hazards), bahaya hidrometeorologi (hydrometeorological hazards), bahaya
biologi (biological hazards), bahaya teknologi (technological hazards) dan
penurunan kualitas lingkungan (environmental degradation)
Kerentanan (vulnerability) yang tinggi dari masyarakat, infrastruktur serta
elemen-elemen di dalam kota/ kawasan yang berisiko bencana
Kapasitas yang rendah dari berbagai komponen di dalam masyarakat
Secara geografi s Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada
pertemuan empat lempeng tektonik yaitu lempeng Benua Asia, Benua Australia,
lempeng Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Pada bagian selatan dan timur
Indonesia terdapat sabuk vulkanik (volcanic arc) yang memanjang dari Pulau
Sumatera ? Jawa - Nusa Tenggara ? Sulawesi, yang sisinya berupa pegunungan
vulkanik tua dan dataran rendah yang sebagian didominasi oleh rawa-rawa.
Kondisi tersebut sangat berpotensi sekaligus rawan bencana seperti letusan
gunung berapi, gempa bumi, tsunami, banjir dan tanah longsor. Data
menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki
tingkat kegempaan yang tinggi di dunia, lebih dari 10 kali lipat tingkat
kegempaan di Amerika Serikat (Arnold, 1986).
Gempa bumi yang disebabkan karena interaksi lempeng tektonik dapat
menimbulkan gelombang pasang apabila terjadi di samudera. Dengan wilayah
yang sangat dipengaruhi oleh pergerakan lempeng tektonik ini, Indonesia sering
mengalami tsunami. Tsunami yang terjadi di Indonesia sebagian besar
disebabkan oleh gempa-gempa tektonik di sepanjang daerah subduksi dan
daerah seismik aktif lainnya (Puspito, 1994). Selama kurun waktu 1600?2000
terdapat 105 kejadian tsunami yang 90 persen di antaranya disebabkan oleh
gempa tektonik, 9 persen oleh letusan gunung berapi dan 1 persen oleh tanah
longsor (Latief dkk., 2000). Wilayah pantai di Indonesia merupakan wilayah yang
rawan terjadi bencana tsunami terutama pantai barat Sumatera, pantai selatan
Pulau Jawa, pantai utara dan selatan pulau-pulau Nusa Tenggara, pulau-pulau di
Maluku, pantai utara Irian Jaya dan hampir seluruh pantai di Sulawesi. Laut
Maluku adalah daerah yang paling rawan tsunami. Dalam kurun waktu tahun

1600?2000, di daerah ini telah terjadi 32 tsunami yang 28 di antaranya


diakibatkan oleh gempa bumi dan 4 oleh meletusnya gunung berapi di bawah
laut.
Wilayah Indonesia terletak di daerah iklim tropis dengan dua musim yaitu panas
dan hujan dengan ciri-ciri adanya perubahan cuaca, suhu dan arah angin yang
cukup ekstrim. Kondisi iklim seperti ini digabungkan dengan kondisi topografi
permukaan dan batuan yang relatif beragam, baik secara fisik maupun kimiawi,
menghasilkan kondisi tanah yang subur. Sebaliknya, kondisi itu dapat
menimbulkan beberapa akibat buruk bagi manusia seperti terjadinya bencana
hidrometeorologi seperti banjir, tanah longsor, kebakaran hutan dan kekeringan.
Seiring dengan berkembangnya waktu dan meningkatnya aktivitas manusia,
kerusakan lingkungan hidup cenderung semakin parah dan memicu
meningkatnya jumlah kejadian dan intensitas bencana hidrometeorologi (banjir,
tanah longsor dan kekeringan) yang terjadi secara silih berganti di banyak
daerah di Indonesia. Pada tahun 2006 saja terjadi bencana tanah longsor dan
banjir bandang di Jember, Banjarnegara, Manado, Trenggalek dan beberapa
daerah lainnya. Meskipun pembangunan di Indonesia telah dirancang dan
didesain sedemikian rupa dengan dampak lingkungan yang minimal, proses
pembangunan tetap menimbulkan dampak kerusakan lingkungan dan ekosistem.
Pembangunan yang selama ini bertumpu pada eksploitasi sumber daya alam
(terutama dalam skala besar) menyebabkan hilangnya daya dukung sumber
daya ini terhadap kehidupan mayarakat. Dari tahun ke tahun sumber daya hutan
di Indonesia semakin berkurang, sementara itu pengusahaan sumber daya
mineral juga mengakibatkan kerusakan ekosistem yang secara fisik sering
menyebabkan peningkatan risiko bencana.
Pada sisi lain laju pembangunan mengakibatkan peningkatan akses masyarakat
terhadap ilmu dan teknologi. Namun, karena kurang tepatnya kebijakan
penerapan teknologi, sering terjadi kegagalan teknologi yang berakibat fatal
seperti kecelakaan transportasi, industri dan terjadinya wabah penyakit akibat
mobilisasi manusia yang semakin tinggi. Potensi bencana lain yang tidak kalah
seriusnya adalah faktor keragaman demografi di Indonesia. Jumlah penduduk
Indonesia pada tahun 2004 mencapai 220 juta jiwa yang terdiri dari beragam
etnis, kelompok, agama dan adat-istiadat. Keragaman tersebut merupakan
kekayaan bangsa Indonesia yang tidak dimiliki bangsa lain. Namun karena
pertumbuhan penduduk yang tinggi tidak diimbangi dengan kebijakan dan
pembangunan ekonomi, sosial dan infrastruktur yang merata dan memadai,
terjadi kesenjangan pada beberapa aspek dan terkadang muncul kecemburuan
sosial. Kondisi ini potensial menyebabkan terjadinya konfl ik dalam masyarakat
yang dapat berkembang menjadi bencana nasional.

Anda mungkin juga menyukai