Perang diponegoro adalah perang besar yang terjadi selama 5 tahun yaitu pada tahun 1825
sampai 1830 di pulau Jawa, Hindia Belanda. Perang diponegoro juga dikenal dengan perang
jawa.
Perang ini salah satu pertempuran terbesar yang terjadi di Indonesia yaitu antara Belanda dan
penduduk Nusantara. Pada saat itu pasukan dari Belanda dipimpin oleh Hendrick Merkus De
kock dan penduduk Jawa dibawah pimpinan Pangeran Diponegoro.
Pada saat masa peperangan terjadi banyak penduduk jawa yang tewas yang mencapai
200.000 jiwa dan dari pihak Belanda 8.000 dan serdadu Pribumi sebanyak 7.000.
1. Timbulnya rasa kekecewaan di kalangan para ulama, karena masuknya budaya barat
yang tidak sesuai dengan ajaran agama Islam.
2. Wilayah kesultanan Mataram yang semakin sempit dan para raja sebagai pengusaha
Pribumi yang mulai kehilangan kedaulatan.
3. Belanda ikut campur tangan dalam masalah kesultanan
4. Sebagian dari bangsawan merasa kecewa karena Belanda tidak mau mengikuti adat
istiadat dari keraton.
5. Para bangsawan juga merasa kecewa karena Belanda telah menghapus sistem
penyewaan tanah oleh para bangsawan kepada petani yang mulai terjadi pada tahun
1824.
6. Kehidupan rakyat yang semakin menderita dan juga disuruh kerja paksa dan harus
membayar berbagai macam pajak.
-Pajak tanah
-Pajak jumlah pintu
-Pajak ternak
-Pajak pindah rumah
-Pajak pindah nama
-Pajak menyewa tanah atau menerima jabatan
7. Sebab khusus ialah provokasi yang dilakukan oleh pihak Belanda untuk
merencanakan pembuatan jalan menerobos tanah pangeran Diponegoro dan juga
membongkar makam keramat.
PROSES TERJADINYA PERANG DIPONEGORO
Di samping berbagai pajak itu masih ada pajak yang ditarik di tempat pabean atau tol.
Semua lalu lintas pengangkutan barang juga dikenai pajak. Bahkan seorang ibu yang
menggendong anak di jalan umum juga harus membayar pajak. Penderitaan rakyat ini
semakin bertambah setelah terjadi wabah kolera di berbagai daerah. Sementara itu dalam
kehidupan sosial kemasyarakatan terdapat jurang pemisah antara rakyat dengan punggawa
kerajaan dan perbedaan status sosial antara rakyat pribumi dengan kaum kolonial. Adanya
jurang pemisah antara si kaya dan si miskin, antara rakyat dan kaum kolonial, sering
menimbulkan kelompok-kelompok yang tidak puas sehingga sering menimbulkan kekacauan.
Dalam suasana penderitaan rakyat dan kekacauan itu tampil seorang bangsawan,
putera Sultan Hamengkubuwana III yang bernama Raden Mas Ontowiryo atau lebih terkenal
dengan nama Pangeran Diponegoro. Pangeran Diponegoro merasa tidak puas dengan
melihat penderitaan rakyat dan kekejaman serta kelicikan Belanda.
Pangeran Diponegoro merasa sedih menyaksikan masuknya budaya Barat yang tidak
sesuai dengan budaya Timur. Oleh karena itu, Pangeran Diponegoro berusaha menentang
dominasi Belanda yang kejam dan tidak mengenal perikemanusiaan.
Meletusnya Perang Diponegoro
Pada tanggal 20 Juli 1825 meletuslah Perang Diponegoro. Meletusnya perang ini
didasarkan pada visi dan cita-cita Pangeran Diponegoro yakni untuk membentuk Kesultanan
Yogyakarta yang memuliakan agama yang berada dalam wadah negara Islam. Oleh karena
itu, Pangeran Diponegoro disebut telah melakukan “hijrah kultural”
Sejak tahun 1823, Jonkheer Anthonie Hendrik Smissaert diangkat sebagai residen di
Yogyakarta. Tokoh Belanda ini dikenal sebagai tokoh yang sangat anti terhadap Pangeran
Diponegoro. Oleh karena itu, Smissaert bekerja sama dengan Patih Danurejo untuk
menyingkirkan Pangeran Diponegoro dari istana Yogyakarta. Pada suatu hari di tahun 1825
Smissaert dan Patih Danurejo memerintahkan anak buahnya untuk memasang anjir (pancang/
patok) dalam rangka membuat jalan baru. Pemasangan anjir ini secara sengaja melewati
pekarangan milik Pangeran Diponegoro di Tegalrejo tanpa izin. Pangeran Diponegoro
memerintahkan rakyat untuk mencabuti anjir tersebut. Kemudian Patih Danurejo
memerintahkan memasang kembali anjir-anjir itu dengan dijaga pasukan Macanan (pasukan
pengawal kepatihan). Dengan keberaniannya pengikut Pangeran Diponegoro mencabuti
anjir/patok-patok itu dan digantikannya dengan tombak-tombak mereka. Berawal dari insiden
anjir inilah meletus Perang Diponegoro.
Pada tanggal 20 Juli 1825 sore hari, rakyat Tegalreja berduyun-duyun berkumpul di
ndalem Tegalreja. Mereka membawa berbagai senjata seperti pedang, tombak, dan lembing.
Mereka menyatakan setia kepada Pangeran Diponegoro dan mendukung perang melawan
Belanda. Belanda datang dan mengepung kediaman Pangeran Diponegoro di Tegalreja.
Pertempuran sengit antara pasukan Diponegoro dengan serdadu Belanda tidak dapat
dihindarkan. Tegalreja dibumihanguskan. Dengan berbagai pertimbangan, Pangeran
Diponegoro dan pasukannya menyingkir ke arah selatan ke Bukit Selarong.
(1) merencanakan serangan ke keraton Yogyakarta dengan mengisolasi pasukan Belanda dan
mencegah masuknya bantuan dari luar.
(2) mengirim kurir kepada para bupati atau ulama agar mempersiapkan peperangan melawan
Belanda.
(3) menyusun daftar nama bangsawan, siapa yang sekiranya kawan dan siapa lawan.
(4) membagi kawasan Kesultanan Yogyakarta menjadi beberapa mandala perang, dan
mengangkat para pemimpinnya. Pangeran Diponegoro telah membagi menjadi 16 mandala
perang, Yaitu :
Nyi Ageng Serang yang sudah berusia 73 tahun bersama cucunya R.M. Papak
bergabung bersama pasukan Pangeran Diponegoro. Nyi Ageng Serang (nama aslinya R.A.
Kustiah Retno Edi), sejak remaja sudah anti terhadap Belanda dan pernah membantu ayahnya
(Panembahan Serang) untuk melawan Belanda. Tiga minggu setelah penyerbuan Tegalrejo,
pasukan Diponegoro balik menyerang Keraton Yogyakarta. Serangan ke keraton ini
mendapatkan hasil. Pasukan Pangeran Diponegoro di desa Kejiwan berhasil memporak
porandakan pasukan Belanda yang di pimpin Sollewijn. Pasukan Diponegoro berhasil
menduduki keraton.
Dengan strategi Benteng Stelsel sedikit demi sedikit perlawanan Diponegoro dapat
diatasi. Dalam tahun 1827 perlawanan Diponegoro di beberapa tempat misalnya di Tegal,
Pekalongan, Semarang, dan Magelang berhasil dipukul mundur oleh pasukan Belanda. Setiap
tempat dihubungkan dengan benteng pertahanan. Selain itu, Magelang dijadikan pusat
kekuatan militer Belanda.
Dengan sistem Benteng Stelsel ruang gerak pasukan Diponegoro dari waktu ke waktu
semakin sempit. Para pemimpin yang membantu Diponegoro mulai banyak yang tertangkap,
tetapi perlawanan rakyat masih terjadi di beberapa tempat. Pasukan Diponegoro di
Banyumeneng harus bertahan dari serangan Belanda. Di Rembang di bawah pimpinan Raden
Tumenggung Ario Sosrodilogo, rakyat mengadakan perlawanan di daerah Rajegwesi.
Namun, perlawanan di Rembang dapat dipatahkan oleh Belanda pada bulan Maret 1828.
Sementara itu, pasukan Diponegoro di bawah Sentot Prawirodirjo justru berhasil menyerang
benteng Belanda di Nanggulan (daerah di Kulon Progo sekarang). Penyerangan ini berhasil
menewaskan Kapten Ingen. Peristiwa penyerangan benteng di Nanggulan ini mendapat
perhatian para pemimpin perang Belanda. Pasukan Belanda dikonsentrasikan untuk
mendesak dan mempersempitkan ruang gerak pasukan Sentot Prawirodirjo dan kemudian
mencoba untuk didekati agar mau berunding. Ajakan Belanda ini berkali-kali ditolaknya.
Belanda kemudian meminta bantuan kepada Aria Prawirodiningrat untuk membujuk Sentot
Prawirodirjo. Pertahanan hati Sentot Prawirodirjo pun luluh, dan menerima ajakan untuk
berunding.
4) Sebagai kelanjutan perjanjian itu, maka pada tanggal 24 Oktober 1829 Sentot Prawirodirjo
dengan pasukannya memasuki ibu kota negeri Yogyakarta untuk secara resmi menyerahkan
diri.
Tidak terhitung berapa kerugian yang diderita oleh Belanda akibat perlawanan
pasukan Pangeran Diponegoro. Kekalahan demi kekalahan dialami oleh pasukan Belanda
dalam menghadapi perang gerilya. Akhirnya pada tahun 1827, Jenderal De Kock
menggunakan siasat Benteng Stelsel. Siasat ini untuk mempersempit ruang gerak pasukan
Diponegoro dengan jalan membangun benteng-benteng sebagai pusat pertahanan dan untuk
memutuskan hubungan pasukan Diponegoro dengan daerah lain.
Belanda juga mendatangkan bala bantuan dari Sumatra Barat untuk menghadapi perlawanan
pasukan Diponegoro. Taktik lain yang digunakan Belanda untuk melemahkan pasukan
Pangeran Diponegoro adalah mendekati para pimpinan pasukan agar mau menyerah dan
memihak Belanda. Siasat ini berhasil, Pangeran Notodiningrat putra Pangeran Mangkubumi
menyerah pada tanggal 18 April 1828. Pangeran Aria Papak menyerah pada bulan Mei 1828.
Selanjutnya pada tanggal 31 Oktober 1828, Kiai Mojo berunding dengan Belanda.
Perundingan dilakukan di desa Mlangi. Perundingan gagal dan Kiai Mojo ditangkap
kemudian diasingkan ke Minahasa hingga akhirnya wafat pada tahun 1849.
Pemimpin lainnya yang masih gigih berjuang adalah Alibasha Sentot Prawirodirdjo. Pada
tanggal 20 Desember 1828 berhasil menyerang benteng Belanda di daerah Nanggulan. Untuk
menghadapi perlawanan Sentot, Jenderal De Kock melakukan pendekatan agar ia mau
berunding. Belanda kemudian minta bantuan dari Pangeran Ario Prawirodiningrat, bupati
Madiun untuk membujuk Sentot. Usaha tersebut berhasil, pada tanggal 17 Oktober 1829
diadakan perundingan perdamaian dengan syarat yaitu Sentot tetap menjadi pemimpin
pasukan dan pasukannya tidak dibubarkan, selain itu ia dan pasukannya tetap diperbolehkan
mengenakan sorban. Pada tanggal 24 Oktober 1829, Sentot dan pasukannya memasuki kota
Jogjakarta. Kemudian oleh Belanda dikirim ke Sumatra Barat. Karena ia kemudian
bergabung dengan kaum Padri, Sentot ditangkap dan dibuang ke Cianjur lalu dipindahkan ke
Bengkulu sampai akhirnya meninggal tahun 1855.
Namun, Pangeran Diponegoro minta perundingan diundur karena bertepatan dengan bulan
Ramadhan. Pertemuan pertama antara Pangeran Diponegoro dengan pihak Belanda yang
diwakili Kolonel Cleerens dilakukan pada 16 Februari 1830 di desa Remo Kamal, ditetapkan
jika perundingan mengalami kegagalan, Pangeran Diponegoro diperkenankan kembali ke
markasnya.
Pada tanggal 28 Maret 183, dilakukan perundingan berikutnya di rumah Residen Kedu.
Perundingan tidak mencapai kata sepakat. Jenderal De Kock ternyata mengingkari janjinya
karena pada saat Pangeran Diponegoro hendak meninggalkan meja perundingan, beliau
ditangkap oleh pasukan Belanda. Hari itu juga Pangeran Diponegoro diasingkan ke Ungaran
lalu dibawa ke Gedung Karesidenan Semarang, dan langsung ke Batavia menggunakan kapal
Pollux pada 5 April.
Pada tanggal 11 April 1830, kapal sampai di Batavia dan ditawan di Stadhuis. Sambil
menunggu keputusan penyelesaian dari Gubernur Jenderal Van den Bosch. Pada 30 April
1830 keputusan pun keluar, Pangeran Diponegoro, Raden Ayu Retnoningsih, Tumenggung
Diposono dan istri, serta para pengikut lainnya seperti Mertoleksono, Banteng Wereng, dan
Nyai Sotaruno akan dibuang ke Manado. Pada 3 Mei 1830, Pangeran Diponegoro dan
rombongan diberangkatkan dengan kapal Pollux ke Manado dan ditawan di benteng
Amsterdam. Pada tahun 1834, mereka dipindahkan ke benteng Rotterdam di Makassar,
Sulawesi Selatan. Pada tanggal 8 Januari 1855, Pangeran Diponegoro wafat dan dimakamkan
di Makassar.
Akibat perang diponegoro, Belanda mengalami kerugian yang sangat besar dari tenaga dan
biaya. Tercatat setidaknya 8000 prajurit belanda tewas dan sekitar 7000 penduduk pribumi
menjadi korban serta biaya perang diponegoro ini menghabiskan sekitar 20 ribu gulden lebih.