1870212002
Kapitalisme Barat yang relatif modern, muda, dan agresif terutama dibangun di
kota-kota besar dalam menghadapi tradisi-tradisi pra kapitalis yang tua dan berakar di
desa-desa, dijumpai pada kekerabatan suku, adat dan agama. Kelompok kota
menganggap bahwa lawan-lawannya adalah kelompok yang terbelakang, kolot, buta dan
tidak dapat di tolong. Sebaliknya, kelompok kota menggambarkan diri sendiri sebagai
golongan muda, berpendidikan, menguasai teknik dan organisasi. Perselisihan dalam
konsepsi-konsepsi di antara dua golongan tidak terhindarkan dan terus berlanjut serta
gagal menghasilkan suatu pemecahan daam perpaduan.
Aspek ekonomi dari pemilahan sosial serta perbenturan antara dua prinsip hidup
ini dinamakan perekonomian dualistis. Dualistis dalam konteks ini berarti dua sisi,
bersifat heterogen. Ketika dualisme ini berkuasa, keselarasan sosial serta kesatuan
ekonomi tidak ada. Keberadaan dualisme ekonomi ini mengguncang keseimbangan
ekonomi dan tanpa dapat berhenti. Meskipun demikian, pengandaian bahwa pertikaian,
pergeseran, dapat berubah-ubah, serta segala jenis faktor dinamis yang hakikatnya
dimiliki oleh dimiliki masyarakat Barat yang homogen, masih berarti tenang dan
seimbang.
Pada akhirnya, perpaduan lama dalam perngertian ekonomi antara ekonomi kota
dan desa terbentuk kembali pada tingkatan yang baru, namun atas beban struktur sosia
masyarakat pedesaan tradisional. Kota telah menaklukan desa yang menyerap konsepsi
baru meninggakan organisasi desa yang kuno.
Keberadaan dua jenis kegiatan ekonomi daerah yang ditaklukan yakni ekonomi
lokal dan ekonomi asing yang dimaksud Boeke dengan sistem ekonomi dualis di Aceh
bermula sejak datangnya penguasa kolonial ke Aceh. Pembukaan Aceh bagi modal
swasta Barat pada awal abad ke-20 menandakan munculnya suatu sistem ekonomi dualis
hingga tahun 1942. Kemajuan perdagangan di Aceh prakolonial diperoleh lewat
kekuasaan dan kekuatan militer yang dimiliki oleh penguasa lokal. Perdagangan dan
kekuatan bersenjata turut mendukung satu sama lain. Kekuatan ekonomi berpusat pada
penguasa Aceh pada masa itu.
1. Kebijakan Kolonial
Pembukaan Aceh bagi investasi swasta terkait erat dengan kebijaksanaan umum
administrasi kolonial di Aceh. Sejak awal abad ke-20 beberapa bagian Aceh secara
bertahap di buka bagi moda swasta. Pada tahun 1898 di distrik Aceh Timur, yakni: Idi
Reyeuk, Langsa dan Tamiang disediakan untuk pertanian. Sedangkan untuk eksplorasi
gas terdapat di Peureulak, Peudawa, Rayeuk, Sungai Raya, Idi Rayeuk, Langsa dan
Manyak Pact dan sebagian Aceh Raya. Pada tahun 1907 semua distrik Aceh terbuka
untuk investasi asing. Pada tahun 1898, daerah Tamiang di buka untuk perkebunan
tembakau. Perusahaan-perusahaan yang terlibat adalah Deli maatschapij, Tabak
Maatschapij, Arensburg, dan Rotterdam-Deli Maatschapij mendapat tanah di Tamiang.
Pada akhir abad ke-19, sebanyak 44 orang mencari izin utuk mengeksporasi
minyak atau ekspoitasi di Aceh Timur. Sesudah 1895 beberapa di antara mereka telah
berhasil membuat perjanjian dengan para ketua suku Pereulak untuk eksploitasi minyak.
Salah satu di antara mereka adalah H. Persjin yang juga membuat perjanjian dengan
suku Peudawa Rayeuk dan ketua suku di Idi Rayeuk.
Jenderal Van Heutsz, gubernur militer Aceh mewajibkan para kepala suku
mempertahankan keamanan di daerah mereka sebelum dapat di buka untuk pertambangan
minyak. Para ketua suku di Aceh Timur antusias terhadap pertambangan minyak di
daerah mereka dan berusaha keras untuk menarik investor. Para ketua suku melakukan
sepenuhnya untuk mengamankan daerah-daerah mereka dari Muslim Aceh yang masih
menentang kekuasaan Kolonial Belanda. Mereka juga melakukan investasi dalam
infrastruktur jalan atau perbaikan untuk menunjang kegiatan pertambangan minyak.
Alasan di balik sikap kooperatif para ketua suku ini adalah bahwa mereka dapat
menerima keutungan yang sangat substansia dari ekspoitasi minyak di distrik-distrik
mereka.
Pohon kopi di tanam sepanjang Dataran Tinggi Gayo di Aceh Tengah. Para
pemilik kebun baru membuka perkebunan kopi di daerah ini sesudah dekade pertama
abad ke 20. Permintaan pertama untuk tanah Dataran Tinggi Gayo untuk di tanami kopi
berasa dari Abraham van Laer. Seorang penasehat perkebunan yang bekerja di Sukabumi,
Jawa Barat. Tanah yang dimintanya seluas 7.000 ha.
5. Sektor Domestik
Tahun 1870 mungkin dianggap sebagai titik balik dalam perkembangan ekonomi
Indonesia kolonial, yang melantik sebuah fase baru yang di dalamnya intervensi
pemerintah diterapkan semakin sistematis. Hal ini merupakan awal operasi ‘kapitalisme
negara’. Pada thahun 1870 pemerintah kolonial memperkenalkan dua undang-undang
yang berkenaan dengan eksploitasi ekonomi Hindia Belanda masa depan, yang
dinamakan undang-undang Gula, terutama relevan untuk Jawa dan yang dinamakan
Undang-Undang Agraria yang mengatur hak-hak properti di seluruh kepulauan. Pada
kasus Palembang, tahun 1887-1893 dapat di saksikan pendirian 21 perkebunan kopi pada
tanah-tanah erfpacth (yakni tanah yang tidak di tanami dengan sewa 75 tahun) di daratan
tinggi Pasemah.
Krisis ekonomi (malaise) dalam skala dunia terjadi pada tahun 1929/1930 dan
titik terendah depresi pada tahun 1933 membawa kondisi-kondisi pertanian memburuk di
Indonesia ketika harga-harga dan perdagangan luar negeri terus merosot dan kredit
mengering.