Anda di halaman 1dari 7

WETRI YANTI

1870212002

EKONOMI DUALISTIS : ACEH DAN PALEMBANG

A. Teori Dualistis Ekonomi Boeke

Kapitalisme Barat yang relatif modern, muda, dan agresif terutama dibangun di
kota-kota besar dalam menghadapi tradisi-tradisi pra kapitalis yang tua dan berakar di
desa-desa, dijumpai pada kekerabatan suku, adat dan agama. Kelompok kota
menganggap bahwa lawan-lawannya adalah kelompok yang terbelakang, kolot, buta dan
tidak dapat di tolong. Sebaliknya, kelompok kota menggambarkan diri sendiri sebagai
golongan muda, berpendidikan, menguasai teknik dan organisasi. Perselisihan dalam
konsepsi-konsepsi di antara dua golongan tidak terhindarkan dan terus berlanjut serta
gagal menghasilkan suatu pemecahan daam perpaduan.

Aspek ekonomi dari pemilahan sosial serta perbenturan antara dua prinsip hidup
ini dinamakan perekonomian dualistis. Dualistis dalam konteks ini berarti dua sisi,
bersifat heterogen. Ketika dualisme ini berkuasa, keselarasan sosial serta kesatuan
ekonomi tidak ada. Keberadaan dualisme ekonomi ini mengguncang keseimbangan
ekonomi dan tanpa dapat berhenti. Meskipun demikian, pengandaian bahwa pertikaian,
pergeseran, dapat berubah-ubah, serta segala jenis faktor dinamis yang hakikatnya
dimiliki oleh dimiliki masyarakat Barat yang homogen, masih berarti tenang dan
seimbang.

Kapitalisme Barat dalam langkah kemenangannya menaklukan dunia akan selalu


bertabrakan dengan masyarakat prakapitalistis yang tidak dapat dihancurkan maupun
dibaurkan sehingga masalah-masalah ekonomi dualistis berkembang. Masyarakat
dualistis terbagi dua : kota oriental (oriental down) dan pedesaan oriental (oriental
countryside).
Werne Sombart dalam Modern Capitalism-nya menggambarkan masyarakat desa
prakapitalis sebagai berikut: para bangsawan memimpin kehidupan feodal tanpa
mengerjakan pekerjaan ekonomi apapun mereka adalah pemimpin perang dan pemburu.
Orang awam berproduksi ialah rakyat dengan sedikit perbedaan kedudukan sosial, namun
memiliki semangat kelompok yang kuat. Mereka emosional, dengan kemampuan
intelektual yang kurang berkembang, tidak disiplin dan kurang memiliki ketepatan.
Mereka cenderung menganggap kerja sebagai kejahatan yang terpaksa harus dilakukan,
sedapat mungkin dijauhi dan dibatasi. Cara kerja mereka tradisional bahkan adat
menentukan corak produksi. Landasan eksisitensi prakapitalis adalah hemat, ingat, dan
istirahat.

Masyarakat pedesaan dengan sifat-sifat prakapitalistis mereka hidup dalam dunia


yang mereka ciptakan sendiri. Ikatan-ikatan sosial yang asli dan organis, sistem kesukuan
tradisional, kebutuhan-kebutuhan yang terbatas dan bersahaja, prinsip produksi pertanian
untuk swasembada oleh keuarga-keluarga mandiri, pengekangan pertukaran sebagai alat
untuk memuaskan kehendak, kekurangan semangat mengambil untung, bersaing, usaha
yang terorganisasikan, perdagangan profesional, modal, industri mekanis, dengan
ketidakseimbangan usaha, penundukan motif ekonomi yang dicampur dengan segala
macam motif sosial, keagamaan, etis, dan tradisional. Pada periode prakapitalistis, rumah
tangga desa secara ekonomis berdaulat. Sejauh kota memiliki kehidupan ekonomi
produktif sendiri, ia tidak terikat dengan desa-desa disekitarnya. Sehingga desa dalam arti
sempit adalah suatu masyarakat petani yang mencukupi kebutuhan hidup sendiri
(swasembada). Sedangkan kota dianggap sebagai antitesa desa yang diartikan sebagai
kumpulan orang yang subsistensinya tergantung pada produktivitas pertanian orang lain.

Sepanjang masa pembangunan kapitalistis, kota-kota oriental memiliki suatu


kegiatan, meskipun tidak untuk desa sekitar, tetapi lebih untuk manfaat penduduknnya
sendiri. Satu-satunya minat penguasa pada desa sekitar adalah pada desa sekitar adalah
pengambilan upeti dalam bentuk barang-barang dan manusia. Namun, sepanjang masa
pembangunan kapitalistis, kota-kota oriental memperoleh cirri-ciri baru. Barat
menjadikan desa sebagai bagian dari sistem pertukaran. Sehingga tercipta hubungan-
hubungan ekonomi swasta, yang mengikat kota dengan desa secara timbal-balik. Arus
barang dan jasa mengalir dari kota ke desa, sebagai arus tukar yang senilai dengan bahan
baku, bahan makanan, serta tenaga kerja yang ditawarkan dan diminta dalam suatu
pasaran bebas. Unsur-unsur prakapitalistis tidak hilang, tetapi sedikit melemah dan
memudar. Mentalitas yang dianut pusat-pusat kota menembus pedesaan. Apabila
sebelumnya produksi dilakukan secara swasembada kemudian bergerak menjadi industri
pedesaan. Para ahli pertanian meniru prinsp-prinsip ekonomi perkotaan seperti
mekanisme, standarisasi, konsentrasi, kapitalisasi. Konsep ini menjadi milik umum
masyarakat pedesaan.

Pada akhirnya, perpaduan lama dalam perngertian ekonomi antara ekonomi kota
dan desa terbentuk kembali pada tingkatan yang baru, namun atas beban struktur sosia
masyarakat pedesaan tradisional. Kota telah menaklukan desa yang menyerap konsepsi
baru meninggakan organisasi desa yang kuno.

B. Ekonomi Dualistis Aceh

Keberadaan dua jenis kegiatan ekonomi daerah yang ditaklukan yakni ekonomi
lokal dan ekonomi asing yang dimaksud Boeke dengan sistem ekonomi dualis di Aceh
bermula sejak datangnya penguasa kolonial ke Aceh. Pembukaan Aceh bagi modal
swasta Barat pada awal abad ke-20 menandakan munculnya suatu sistem ekonomi dualis
hingga tahun 1942. Kemajuan perdagangan di Aceh prakolonial diperoleh lewat
kekuasaan dan kekuatan militer yang dimiliki oleh penguasa lokal. Perdagangan dan
kekuatan bersenjata turut mendukung satu sama lain. Kekuatan ekonomi berpusat pada
penguasa Aceh pada masa itu.

1. Kebijakan Kolonial

Pembukaan Aceh bagi investasi swasta terkait erat dengan kebijaksanaan umum
administrasi kolonial di Aceh. Sejak awal abad ke-20 beberapa bagian Aceh secara
bertahap di buka bagi moda swasta. Pada tahun 1898 di distrik Aceh Timur, yakni: Idi
Reyeuk, Langsa dan Tamiang disediakan untuk pertanian. Sedangkan untuk eksplorasi
gas terdapat di Peureulak, Peudawa, Rayeuk, Sungai Raya, Idi Rayeuk, Langsa dan
Manyak Pact dan sebagian Aceh Raya. Pada tahun 1907 semua distrik Aceh terbuka
untuk investasi asing. Pada tahun 1898, daerah Tamiang di buka untuk perkebunan
tembakau. Perusahaan-perusahaan yang terlibat adalah Deli maatschapij, Tabak
Maatschapij, Arensburg, dan Rotterdam-Deli Maatschapij mendapat tanah di Tamiang.

Kebijakan ekonomi ini memuat unsur politis. Belanda berharap dapat


menghindari situasi perang dengan memperbaiki ekonomi lokal Aceh. Sehingga orang
Aceh dapat di control dengan sarana yang sama seperti sarana yang dilakukan tempat lain
di koloni.

2. Sektor Asing : Minyak

Pada akhir abad ke-19, sebanyak 44 orang mencari izin utuk mengeksporasi
minyak atau ekspoitasi di Aceh Timur. Sesudah 1895 beberapa di antara mereka telah
berhasil membuat perjanjian dengan para ketua suku Pereulak untuk eksploitasi minyak.
Salah satu di antara mereka adalah H. Persjin yang juga membuat perjanjian dengan
suku Peudawa Rayeuk dan ketua suku di Idi Rayeuk.

Jenderal Van Heutsz, gubernur militer Aceh mewajibkan para kepala suku
mempertahankan keamanan di daerah mereka sebelum dapat di buka untuk pertambangan
minyak. Para ketua suku di Aceh Timur antusias terhadap pertambangan minyak di
daerah mereka dan berusaha keras untuk menarik investor. Para ketua suku melakukan
sepenuhnya untuk mengamankan daerah-daerah mereka dari Muslim Aceh yang masih
menentang kekuasaan Kolonial Belanda. Mereka juga melakukan investasi dalam
infrastruktur jalan atau perbaikan untuk menunjang kegiatan pertambangan minyak.
Alasan di balik sikap kooperatif para ketua suku ini adalah bahwa mereka dapat
menerima keutungan yang sangat substansia dari ekspoitasi minyak di distrik-distrik
mereka.

Pertambangan minyak di Aceh Timur diatur menurut Ordonansi Pertambangan


1899. Peraturan-peraturan ini mengalami amandemen-amandemen pada tahun 1900,
1904, dan 1918. Perubahan yang terpenting adaah Pasal 5a tahun 1918 yang memberi
pemerintah partisipasi dan penghasian yang lebih besar dalam pertambangan minyak.
3. Sektor Asing: Karet dan Minyak Kelapa Sawit

Perkebunan karet pemerintah kolonial di Langsa merupakan perkebunan karet


pertama di Aceh. Tahun 1907 perekebunan ini di bukan dengan mendorong penguasa-
penguasa swasta masuk ke Aceh timur. Perkebunan kedua dibuka di Tamiang oleh A.
Hallet, seorang warga Negara Belgia.

Perkebunan-perkebunan di Aceh menunjukkan perkembangan terus menerus dan


bahkan ebih ekspansif sesudah 1909. Sebelum tahun ini hanya ada dua perkebunan karet
di Aceh Timur, perkebunan pemerintah di Langsa dan perkebunan swasta di Sungai
Liput. Perkebunan terakhir di buka dengan modal yang diberikan oleh sebuah perusahaan
Belgia.

4. Sektor Asing : Kopi

Pohon kopi di tanam sepanjang Dataran Tinggi Gayo di Aceh Tengah. Para
pemilik kebun baru membuka perkebunan kopi di daerah ini sesudah dekade pertama
abad ke 20. Permintaan pertama untuk tanah Dataran Tinggi Gayo untuk di tanami kopi
berasa dari Abraham van Laer. Seorang penasehat perkebunan yang bekerja di Sukabumi,
Jawa Barat. Tanah yang dimintanya seluas 7.000 ha.

5. Sektor Domestik

Sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah koonial untuk membuka Aceh bagi


investasi swasta Barat dalam pertambangan minyak dan pertanian perkebunan, usaha-
usaha juga dilakukan untuk memperbaiki pertanian pribumi. Pemerintah kolonial
mengembangkan pertanian pribumi dengan mendorong penanaman kembali tanaman
pangan seperti beras dan lada yang teah di tanam sebelum Perang Belanda Aceh.

Upaya yang diakukan oleh pemerintah koloni untuk memperbaiki pertanian


pribumi dapat dinilai telah cukup sukses. Hal ini dapat di lihat dari peningkatan hasil
pertanian pribumi. Masyarakat Aceh yang dikarakterisasi dengan sistem ekonomi
tradisional selama era prakolonial mengalami kedatangan para investor swasta Barat yang
membuka kegiatan ekonomi dalam pertambangan minyak, perkebunan karet dan kelapa
sawit. Para pemilik moda asing juga menanamkan moda dalam perkebunan kopi dan ubi
jalar di Aceh Tengah tetapi perusahaan ini berukuran menengah dan kecil. Pembukaan
bagi investor asing pada awal abad ke-20 terkait dengan kebijakan pasifikasi pemerintah
kolonial.

C. Ekonomi Dualistis di Palembang

Tahun 1870 mungkin dianggap sebagai titik balik dalam perkembangan ekonomi
Indonesia kolonial, yang melantik sebuah fase baru yang di dalamnya intervensi
pemerintah diterapkan semakin sistematis. Hal ini merupakan awal operasi ‘kapitalisme
negara’. Pada thahun 1870 pemerintah kolonial memperkenalkan dua undang-undang
yang berkenaan dengan eksploitasi ekonomi Hindia Belanda masa depan, yang
dinamakan undang-undang Gula, terutama relevan untuk Jawa dan yang dinamakan
Undang-Undang Agraria yang mengatur hak-hak properti di seluruh kepulauan. Pada
kasus Palembang, tahun 1887-1893 dapat di saksikan pendirian 21 perkebunan kopi pada
tanah-tanah erfpacth (yakni tanah yang tidak di tanami dengan sewa 75 tahun) di daratan
tinggi Pasemah.

Pembukaan Palembang bagi perusahaan-perusahaan Eropa terjadi hanya sesudah


reorganisasi administrasi lokal pada tahun 1913, yang membuat lebih mudah
mendapatkan konsesi-konsesi tanah fpacth. Pada waktu itu produk-produk pertanian baru
seperti teh dan kemudian karet yang ternyata lebih penting. Gelombang-gelombang
pembukaan pertanian perkebunan naik secara dramatis dari hanya 21 perkebunan pada
tahun 1905 menjadi 51 pada tahun 1916.

Pemerintah kolonial maupun perusahaan-perusahaan swasta Barat memainkan


peranan mendorong para petani setempat untuk memperoduksi tanaman ekspor yang
lebih menguntungkan. Fasilitas-fasilitas kota dan jaringan komunikasi yang dibangun
oleh pemerintah dan perusahaan swasta setidaknya secara kebetulan membantu
memperluas komoditas produksi pertanian dan pembagian kerja dalam sector pribumi
sendiri.

Krisis ekonomi (malaise) dalam skala dunia terjadi pada tahun 1929/1930 dan
titik terendah depresi pada tahun 1933 membawa kondisi-kondisi pertanian memburuk di
Indonesia ketika harga-harga dan perdagangan luar negeri terus merosot dan kredit
mengering.

Secara umum, dampak khusus perkembangan ekonomi kapitalis Barat bagi


penduduk setempat merujuk pada permasalahan seperti monetisasi, pemeliharaan elite
nasional, komoditisasi beberapa produk pertanian, mobilitas penduduk dan peluang-
peluang kerja. Namun, semua gejala ini secara bertahap dianggap kebanyakan orang
Indonesia sebagai simbol eksploitasi dan penindasan terhadap pribumi.

Anda mungkin juga menyukai