Kebijakan VOC
Kebijakan-kebijakan VOC selama berkuasa di Indonesia sejak tahun 1602 – 1799 antara lain
dapat dirangkum sebagai berikut :
1. Hak monopoli untuk berdagang dan berlayar di wilayah sebelah timur Tanjung
Harapan dan sebelah barat Selat Magelhaens serta menguasai perdagangan untuk
kepentingan sendiri.
2. Hak kedaulatan (soevereiniteit) sehingga dapat bertindak layaknya suatu negara untuk
:
Untuk mengerjakan tugas utamanya, Daendels mempunyai banyak kebijakan. Berikut adalah
kebijakan yang dibuat oleh Daendels,
1. Membuat jalan dari Anyer (daerah di Banten) hingga Panarukan (daerah di Jawa
Timur), yang biasanya disebut Jalan Raya Pos. Pembangunan jalan ini memakan
banyak biaya, dan tentunya pembangunan jalan ini memakan banyak korban jiwa.
Dikarenakan rakyat Indonesia dipaksa membuat Jalan Raya Pos non-stop.
2. Membangun dermaga di Surabaya.
3. Membangun pabrik senjata di Semarang, untuk produksi senjata.
4. Membangun benteng di Jakarta dan Surabaya, untuk pertahanan.
Semua kebijakan Daendels tersebut dilakukan untuk usahanya menghindari serangan Inggris.
Namun, raja-raja yang berkuasa di Jawa dan beberapa orang Belanda, menganggap Daendels
bersikap otoriter. Sehingga pada tahun 1811, Daendels dipanggil pulang ke Belanda.
Meskipun pada akhirnya Jalan Raya Pos selesai pembuatannya, namun Inggris berhasil
masuk ke Indonesia.
o BIDANG BUDAYA
Pengaruh Westernisasi
Westernisasi (Pembaratan) merupakan proses pemasukkan pengaruh budaya Barat bagi
rakyat.Masuknya pengaruh budaya Barat tersebut tentu saja berbeda dengan nilai-nilai dari
kebudayan asli bangsa Indonesia. Westernisasi masuk melalui jalur pemerintahan dan
pendidikan. Pengaruh Westernisasi bagi bangsa Indonesia tampak pada:
Penggunaan bahas Belanda dalam pergaulan sehari-hari di kalangan rakyat
Indonesia.
Gaya berpakaian rakyat Indonesia meniru cara berpakaian model barat, tampak
dengan dikenalnya rok, jas, dasi, topi,dsb.
Tata cara pergaulan dan lingkungan pergaulan yang meniru cara barat dimana telah
lebih terbuka dan bebas.
Sistem jabatan dan kepangkatan, dimana orang Indonesia mulai menduduki jabatan
tertentu dan menyandang pangkat tertentu.
Adanya Pendidikan model Eropa/Barat menjadi prioritas utama bagi rakyat Indonesia
yang ingin mengenyam pendidikan.
Model bangunan dan arsitektur serta sarana penunjang kehidupan meniru model
Eropa sehingga lebih modern bahkan tata kotapun meniru model barat.
Perkembangan Pendidikan
Sebelum masuknya kolonialisme Barat di Indonesia :
Sistem pendidikan masih bersifat tradisional yang hanya bisa dinikmati oleh
beberapa orang dan biasanya kangan elite tertentu dalam masyarakat.
Pusat pendidikan terbatas di lingkungan keraton dan tempat-tempat penyebaran
agama , seperti pondok pesantren.
Berkembangnya Politik Etis menyebabkan berdirinya sekolah-sekolah untuk kaum
pribumi. Tujuan didirikan sekolah-sekolah tersebut awalnya untuk mendidik calon-
calon birokrat pemerintah bangsa Indonesia.
Jenis-jenis sekolah yang didirikan:
Sekolah Calon Birokrat bernama OSVIA (Opleidingschool Voor Inlandische
Ambtenaren) yang didirikan di Bandung, Magelang, dan Probolinggo, untuk kalangan
elite tertentu.
Pada tahun 1848, dibuka sekolah secara massal disetiap kabupaten, meskipun masih
terbatas untuk kalangan tertentu, seperti:
HIS (Hollandsch Inlandsche School)
MULO (Meer Ultgebreid Lager Onderwijs)
AMS (Algemeene Middelbare School)
HBS (Hoogere Burgerschool)
Pada tahun 1851 dibuka sekolah guru Kweekschool dan Hogere Kweekschool.
Dibuka sekolah dokter STOVIA.
BIDANG AGAMA
Masyarakat Indonesia mayoritas memeluk agama Islam, kegiatan keagamaan
dikontrol dan dibatasi oleh pemerintah kolonial.
Hal tersebut didasarkan pada ketakutan pemerintah Belanda akan munculnya
gerakan yang dapat menghambat kepentingan perdagangan dan politiknya.
Cara pengontrolan pemerintah kolonial dilakukan dengan :
1. Orang Muslim yang naik haji juga dibatasi karena dianggap sebagai cikal bakal
munculnya tokoh-tokoh Muslim yang radikal. Kebijakan tersebut menyebabkan
munculnya perlawanan dari masyarakat Muslim Indonesia.
Untuk meneliti dan mempelajari seluk beluk masyarakat Muslim Indonesia,
Belanda mengirim Snouck Hurgronje ke Aceh.
2. Belanda juga membatasi kelompok-kelompok agama Katolik, dan Protestan.
Belanda melihat kegiatan keagamaan yang dilakukan para missionaris, pastor,
dan pendeta melalui lembaga pendidikan sebagai penghalang bagi kepentingan
perdagangan dan kekuasaan pemerintah Belanda.
3. Pemerintah membuat laporan bahwa setiap kegiatan keagamaan harus
dilaporkan dan mendapat perizinan dari pemerintah Belanda.
BIDANG POLITIK
Perkembangan Struktur Birokrasi, Sistem Pemerintahan dan Sistem Hukum pada masa
Kolonial
A. Sistem Pemerintahan
Sebelum tahun 1900 (sebelum sistem politik Etis) sistem pemerintahan untuk daerah jajahan
(Hindia Belanda) masih bersifat sentralistis. Dimana:
v Tidak ada partisipasi dari perangkat lokal segala sesuatu diatur oleh pemerintah pusat.
v Tidak ada sama sekali otonomi untuk mengatur sendiri rumah tangga daerah sesuai dengan
kepentingan daerah.
Mengapa menerapkan sentralisasi?
· Sentralisasi dipandang sebagai cara terbaik oleh pemerintah Belanda untuk memperoleh
keuntungan sebesar-besarnya. Oleh karena itu, dengan sentralisasi Belanda dapat
mempertahankan tanah jajahannya. Sentralisasi sebagai bentuk ketakutan Belanda untuk
kehilangan tanah jajahannya sebagai “daerah keuntungan”.
·Bagi Belanda “kehilangan Indonesia berarti sebuah malapetaka”.
Pada perkembangannya muncul tuntutan adanya desentralisasi sejak tahun 1854 dimana
parlemen Belanda berhak mengawasi pelaksanaan pemerintahan di Hindia Belanda. Tuntutan
tersebut secara perlahan terwujud diawali dengan adanya desentralisasi keuangan (1903),
kemudian baru adanya pemerintahan daerah baru (1922). Berdasarkan Undang-undang
Perubahan tahun 1922 Hindia Belanda dibagi dalam provinsi dan wilayah (gewest)
1. Provinsi
Provinsi memiliki otonomi.Tiap provinsi dikepalai oleh seorang gubernur.
Ada 3 provinsi yaitu Jawa Barat (1926),Jawa Timur (1929), dan Jawa Tengah(1930).
2. Gewest (wilayah)
Gewest tidak memiliki otonomi. Sampai tahun 1938 Hindia Belanda terbagi menjadi 8
gewest yang terdiri dari:
3 Provinsi : Jawa Barat,Jawa Timur, dan Jawa Tengah.
5 Gewesten : Kesultanan Yogyakarta, Kasunanan Surakarta, Gewest Sumatera, Gewest
Kalimantan (Borneo), Gewest Timur Besar (Grote Oost) yang terdiri dari Sulawesi,
Kepulauan Sunda Kecil, Maluku, dan Irian Barat.
Untuk Surakarta dan Yogyakarta termasuk Gubernemen yaitu wilayah yang langsung
diperintah oleh pejabat-pejabat gubernemen.
Desentralisasi adalah pembagian wewenang atau urusan penyelenggaraan pemerintahan.
Dengan adanya keinginan desentralisasi maka Belanda membutuhkan orang-orang pribumi
bukan hanya sebagai penguasaan daerah tetapi juga untuk mengerjakan keperluan
administrasi pemerintah. Belanda juga membutuhkan tenaga terlatih (tenaga kesehatan,
kehutanan, kemiliteran, kepolisian). Orang-orang pribumi tersebut akan dijadikan pelaksana,
pelayan pemerintah, serta perantara antara Belanda dan penguasa daerah. Tetapi untuk dapat
bekerja di pemerintah maka mereka harus sekolah.
Keinginan desentralisasi menyebabkan adanya desentralisasi antara negara induk (Belanda)
dengan Hindia Belanda, antara pemerintah Batavia dengan daerah, dan antara Belanda
dengan pribumi.Dengan adanya keinginan desentralisasi tersebut maka memerlukan adanya
daerah otonom.
Akibat adanya desentralisasi:
· Munculnya kebebasan yang semakin besar dari penguasa kolonial.
· Memunculkan proses Indonesianisasi (sistem kepengurusan Indonesia, sejauh mungkin
dilakusanakan oleh orang Indonesia. Hingga lahirlah Volksraad (Dewan Rakyat).
Struktur Birokrasi Pemerintah Kolonial
Pemerintah VOC:
1. Gubernur Jenderal
Merupakan penguasa tertinggi di Hindia. Kekuasaannya menjadi sangat tak terbatas karena
ada undang-undang yang khusus mengatur hak-hak dan kewajibannya.
2. Raad van Indie (Dewan Hindia)
Merupakan pendampingan gubernur jenderal dalam melaksanakan pemerintahannya. (terdiri
dari 6 orang anggota dan 2 orang anggota luar biasa dimana gubernur jenderal merangkap
sebagai ketua).
Setiap laporan dikirim pada Heeren XVII sebagai pimpinan pusat VOC yang berkedudukan
di Amsterdam.
VOC lebih banyak melakukan pemerintahan tidak langsung, dimana kaum bumiputera tidak
terlibat dalam struktur kepegawaian VOC. Meskipun terkadang mereka terlibat dalam
pemerintahan tetapi stasus mereka bukan pegawai VOC dan tidak digaji secara tetap. Mereka
hanya mitra dalam bekerja demi kepentingan VOC.
Setelah VOC bubar maka pemerintahan Indonesia di pegang oleh pemerintah Belanda.
Belanda lebih cenderung melakukan kolonialisme (negara menguasai rakyat dan sumber daya
negara lainnya/pendudukan suatu wilayah oleh suatu negara lain dimana daerah koloni masih
berhubungan dengan negara induk dan memberi upekti kepadanya.
Pemerintahan Kolonial :
1. Gubernur Jenderal didampingi oleh Raad van Indie (beranggota 4 orang) yang disebut
sebagai Pemerintah Agung di Hindia Belanda.
2. Dibantu oleh :
· Sekretaris Umum (Generale Secretarie) untuk membantu Commisaris General
· Sekretaris Pemerintah (Gouvernement Secretarie) untuk membantu Gubernur Jenderal.
Pada tahun 1819 keduanya diganti oleh Algemene Secretarie yang bertugas membantu
Gubernur Jenderal (terutama memberikan pertimbangan keputusan).
Pemerintahan kolonial pada dasarnya sama dengan masa VOC perbedaanya terletak pada:
a. Kewenangan gubernur jenderal.
oVOC :tidak ada aturan khusus yang mengatur kewenangan gubernur jenderal
oHindia Belanda :terdapat peraturan yang mengatur kewenangan gubernur jenderal yang
tertuang dalam Regeering Reglement (RR)
b. Laporan Peranggungjawaban.
VOC :Gubernur Jenderal memberikan laporan pada Heeren XVII Hindia
Belanda:bertanggungjawab langsung pada raja melalui menteri jajahan. Laporan
diberikan pada parlemen Belanda (Staten Generaal).
Menurut Undang-undang Hindia Belanda sebagai bagian kerajaan Belanda, maka:
1. Pemerintahan tertinggi berada di tangan Raja yang dilaksanakan oleh menteri jajahan atas
nama raja. Bertanggung jawab pada Parlemen Belanda (staten general).
2. Pemerintahan Umum diselenggarakan oleh Gubernur Jenderal atas nama Raja yang dalam
prakteknya atas nama menteri jajahan.
Raja bertugas :
Mengawasi pelaksanaan/ penyelenggaraan pemerintahan Gubernur Jenderal
Pengangkatan pejabat penting, memberikan petunjuk kepada Gubernur Jenderal
dalam mengambil keputusan apabila terjadi perselisihan antara Gubernur jenderal
dengan Dewan Hindia Belanda.
Urusan dalam negeri Hindia Belanda diserahkan pada Gubernur Jenderal dan Dewan Rakyat.
Hindia Belanda disubordinasikan kepada kerajaan Belanda di Eropa tetapi diberi otonomi
yang cukup luas. Pemerintah Belanda yang mengurus Indonesia adalah kementrian Jajahan
yang kemudian pada perkembangannya diubah namanya menjadi kementrian urusan
seberang lautan. Pemegang pemerintahan atas wilayah Indonesia adalah Gubernur Jenderal.
Dia adalah pemegang kekuasan tertinggi. Dia menguasai kerajaan-kerajaan dan meminta
mereka bekerja sama, sehingga peran raja tidak dapat lagi memerintah secara turun temurun
tetapi dikendalikan Belanda. Kerajaan harus menyesuaikan dengan sistem pemerintahan
Belanda.
Struktur Birokrasi Kolonial masa sentralisasi:
Raja Belanda (pemerintahan tertinggi) dilaksanakan oleh Menteri Jajahan,Gubernur Jenderal
(penyelenggara pemerintahan umum) didampingi raad van indie
(dewan hindia)
Kerajaan
Gubernur Jenderal pada perkembangan di dampingi oleh departemen (direksi) yang masing-
masing berdiri sendiri. Pada tahun 1933, terdapat 6 departemen, sebagai berikut:
a. Departemen van Justitie (kehakiman)
b. Departemen van Financiean (keuangan)
c. Departemen van Binenland Bestuur (dalam negeri)
d. Departemen van Onerwijs en Eredeinst (pendidikan dan kebudayaan)
e. Departemen Economische Zaken (ekonomi)
f. Departemen Verkeer en waterstaat (pekerjaan umum)
Selain 6 departemen sipil, terdapat 2 departemen militer :
a. Departemen angkatan perang (Oorlog)
b. Departemen angkatan laut (Marine)
Direktur dari departemen-departemen sipil diangkat oleh gubernur jenderal sedang panglima
angkatan darat dan laut diangkat oleh raja (Kroon).
Tahun 1903 diberlakukan Undang-undang Desentralisasi dimana dengan Undang-undang
tersebut dibentuklah Dewan Lokal yang memiliki otonomi. Dengan adanya dewan lokal
maka pemerintah lokal perlu dibentuk dan disesuaikan. Maka terbentuklah: Provinsi,
kabupaten, kotamadya, dan kecamatan serta desa.
Meskipun ada upaya untuk modernisasi struktur birokrasi tetapi tetap saja masih
mempertahankan beberapa bagian struktur politik sebelumnya. Hal ini dilakukan demi
kepentingan praktis dan untuk mempertahankan loyalitas, khususnya loyalitas elit bumi putra.
Untuk jabatan teritorial diatas tingkat kabupaten dipegang oleh orang-orang Belanda/ Eropa.
Pada perkembangannya, karena semakin luas Hindia Belanda maka dibutuhkan tenaga kerja
untuk mengelola administrasi negara semakin meningkat. Sehingga ada pendamping pejabat
teritorial yang disebut pejabat non teritorial yang setingkat kabupaten (asisten residen),
kawedanan (asisten wedono).
Struktur Birokrasi Kolonial setelah desentralisasi:Raja Belanda (pemerintahan tertinggi)
dilaksanakan oleh Menteri Jajahan,Gubernur Jenderal (penyelenggara emerintahan umum),
Dewan Rakyat (volsraad),Badan PerwakilanDewan HindiaBadanPenasehat,Departemen-
Departemen,Provinsi (Gubernur),Karisidenan/afdeling (Residen) dibantu asisten residen +
controleur (pengawas),Kabupaten (bupati/regent) jabatan tertinggi, dibantu oleh seorang
patih,Kawedanan (wedana)/Distrik asisten wedana,Kecamatan (camat),Desa (kepala desa)
jabatan ini tidak termasuk dalam struktur birokrasi pemerintah kolonial/ bukan anggota korp
pegawai dalam negeri Hindia Belanda (Departemen Dalam Negeri).Kepala desa dibantu
pejabat desa (pamong desa),Pejabat pribumi (inland bestuur) yang termasuk dalam binenland
bestuur (departemen dalam negeri) disebut Pangreh Praja (pemangku Kerajaan) yang dikenal
dengan sebutan Priyayi.Kepala desa tidak diangkat maupun digaji oleh pemerintah. Mereka
dipilih langsung oleh rakyat dan digaji oleh rakyat pula melalui tanah desa (tanah bengkok)
yang diserahkan kepadanya selama menjadi kepala desa.
Sistem Hukum pada Masa Kolonial
Di Hindia Belanda diterapkan 2 jenis hukum, yaitu:
1. Hukum Pidana dan acara pidana
2. Hukum Perdata dan acara perdata
Hukum Pidana (Strafrecht)
Seluruh penduduk Hindia Belanda mesti tunduk pada hukum pidana seperti termuat dalam
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht).
Kitab Undang-undang Hukum Pidana memuat semua fakta yang dapat dikenakan pidana.
Tindak Pidana mencakup kejahatan dan pelanggaran.
Hukum Acara Pidana (Strafprocesrecht) Mengatur :
a. Bagaimana atau apa yang harus diperbuat polisi yang bertugas menyidik dan menerangkan
kejahatan.
b. Kepala hakim mana terdakwa dihadapkan
c. Bagaimana berlangsungnya acara pidana
d. Bagaimana keputusan pengadilan harus dilaksanakan
Hukum Perdata
Kitab Undang-undang Hukum Perdata memuat hukum kekayaan, harta benda dan perjanjian.
Pada masa kolonial dibuat disebabkan karena kegiatan perdagangan sebagian besar dilakukan
dengan perantaraan orang-orang Cina.
Tujuan dibuat Kitab Undang-undang Hukum Perdata pada masa kolonial adalah untuk:
1. Mempermudah pembuatan kontrak
2. Menjamin kepastian hukum bagi perdagangan orang-orang Belanda
3. Menundudukkan orang Cina terhadap hukum Eropa.
Selain KUH Perdata terdapat pula Kitab Undang-undang Hukum Dagang (yang dibuat
khusus untuk orang-orang Cina)
Untuk orang Indonesia awalnya berlaku Hukum Adat setempat tetapi setelah terjadi kontak
dengan Belanda melalui perkebunan-perkebunan Belanda maka dibuat Kitab Undang-undang
Hukum untuk orang pribumi tanpa memperhatikan hukum adat yang berlaku di masyarakat.
Tujuan di buat Undang-undang tersebut adalah:
a. Menundukkan orang-orang Indonesia kepada hukum Eropa.
b. Membuat kitab Undang-undang tersendiri untuk orang Indonesia.
Untuk selanjutnya ketika pemerintah kolonial Belanda membentuk kitab undang-undang
untuk orang Indonesia maka hukum adat selalu menjadi bahan pertibangan dalam mengambil
sebuah keputusan.
Pada perkembangannya berdiri sekolah-sekolah sebagai berikut:
· Sekolah Hakim (Rechtsschool) tahun 1908 di Jakarta
· Sekolah Tinggi Hukum (Rechtsshoge School) tahun 1924 di Jakarta.
D. Sistem Peradilan pada masa Kolonial
Peradilan dibedakan antara:
1. Pengadilan Gubernemen :
a. Pengadilan Eropa, dilaksanakan oleh Pengadilan Karisidenan, Dewan Yustisi, Hakim
Polisi dan Pengadilan Tinggi.
b. Pengadilan Pribumi, dilaksanakan oleh Landraad (pengadilan negeri)
c. Pengadilan untuk segala bangsa dilaksanakan oleh landgerecht
2. Pengadilan Eropa :
a. Pengadilan Karisidenan, terdapat di kota yang ada Pengadilan Negeri (Landraad)
b. Raad van Justitie hanya ada 6 buah (Jakarta, Semarang, Surabaya, Makasar, Medan dan
Padang).
c. Hakim Polisi (Politierecht) dibentuk dibeberapa tempat dan merupakan pengganti Raad
van Justitie.
d. Pengadilan Tinggi (Hoogsgerechtshof ) hanya ada di Jakarta.
3. Pengadilan Pribumi
Pengadilan pribumi (landraad) terdapat di kota atau kota yang agak besar, misalnya di ibu
kota kabupaten.
4. Pengadilan untuk semua bangsa (Landgerecht)
Pengadilan ini dimaksudkan untuk menangani perkara bangsa Eropa, pribumi maupun orang
Timur Asing.
BIDANG EKONOMI
A. KOMERSIALISME, dan INDUSTRIALISASI
Komersialisme yang terjadi di Indonesia awalnya disebabkan karena Kemerosotan VOC,
kekosongan kas negara Belanda serta hutang yang sangat besar dengan saldo kerugian
sebesar 134,7 juta Gulden. Untuk mengatasi masalah tersebut maka diberlakukanlah tanam
paksa dibawah pimpinan Van den Bosh pada 1830-1870.
1). MASA TANAM PAKSA
Pada masa Tanam Paksa yang dikomersilkan dari Indonesia oleh Belanda adalah :
Tanah rakyat yang awalnya milik pribadi diambil dan dikuasai oleh pemerintah Belanda
untuk dijadikan sebagai lahan tanam paksa. Dimana tanah rakyat tersebut wajib ditanami
tanaman yang laku dipasaran Eropa (Ekspor) yang jenisnya telah ditentukan oleh pemerintah
Belanda, seperti kopi, gula, teh, tembakau, kapas, nila (indigo).
Hasil dari tanam paksa tersebut diserahkan lepada pemerintah Belanda dan hanya dihargai
sangat rendah sehingga segala hasil keuntungan sepenuhnya dimiliki oleh pemerintah.
Tanah rakyat yang bebas dari tanam paksa hanya 1/5 itupun rakyat masih dibebankan
membayar pajak perorangan.
Selain tanahnya diambil, rakyat masih harus bekerja di lahan tanam paksa tersebut dengan
jangka waktu yang tidak terbatas bahkan hampir seluruh waktu digunakan untuk bekerja
dilahan tanam paksa. Sehingga rakyat tidak sempat untuk mengerjakan tanahnya sendiri.
Akibat dari tanam paksa tersebut:
· Tanah rakyat dieksploitasi
· Rakyat harus menanggung beban berat akibat tanam paksa.
· Selain itu rakyat masih dibebankan kerja rodi/ kerja paksa untuk pemerintah. Yang terberat
adalah rodi untuk membangun dan memelihara benteng pertahanan.
· Kemiskinan dan daya tahan rakyat dalam menghadapi berbagai bencana yang terlalu kecil
menyebabkan ketika terjadi musim kekeringan berarti bencana yang besar bagi rakyat.
Akibatnya terjadi kelaparan dimana-mana dan kematian, sehingga jumlah penduduk
mengalami penurunan yang tajam. · Tanam Paksa memang membawa keuntungan bagi
Belanda tetapi rakyat Indonesia benar-benar tenderita. Oleh karena itu dilakukan upaya
penghapusan tanam paksa diawali dengan penghapusan tanam paksa lada (1860) .Tahun
1870, secara resma tanam paksa dihapuskan di Indonesia dengan dikeluarkan Undang-
undang Gula, tetapi baru pada 1917 tanam paksa kopi dapat dihapuskan.
· Saldo untung untuk Belanda mulai mengalami penurunan Sejas tahun 1867, dan pada 1870
benar-benar lenyap. Saldo keuntungan tersebut disebabkan karena pemerintah terlalu
berhemat.
2). MASA LIBERALISME (1870-1900)
Penghapusan tanam paksa menyebabkan munculnya sistem ekonomi liberal, dimana
Indonesia dijadikan sebagai tempat untuk menanamkan modal mereka. Pada masa
Liberalisme, komersialisme terhadap bangsa Indonesia tampak dengan:
Indonesia dijadikan tempat untuk mencari bahan mentah untuk kepentingan Industri orang-
orang Eropa
Indonesia dijadikan sebagai tempat untuk menanamkan modal bagi para pengusaha swasta
asing. Dengan cara menyewa tanah rakyat untuk dijadikan perkebunan-perkebuan besar.
Indonesia juga dijadikan sebagai tempat untuk memasarkan hasil-hasil Industri Eropa.Pada
masa Liberalisme ini pulalah merupakan awal munculnya industrialisasi di Indonesia.
Munculnya Industrialisasi ditandai dengan:
Dikeluarkannya Undang-undang Agraria (Agrarische Wet) tahun 1870 ,yang memberikan
peluang bagi pengusaha asing (pengusaha dari Inggris, Belgia, Perancis, Amerika Serikat,
Cina, dan Jepang) untuk menyewa tanah dari rakyat Indonesia tetapi tidak boleh menjualnya.
Mereka mulai datang ke Indonesia untuk menanamkan modal dan untuk memperoleh
keuntungan yang besar.
Tanah penduduk Indonesia yang awalnya merupakan milik pribadi tersebut harus disewa
untuk jangka waktu tertentu (25 tahun untuk tanah pertanian, 75 tahun untuk tanah ladang)
oleh para pemilik modal swasta asing. Penduduk hanya mendapatkan uang sebagai uang
sewa tanah tersebut.
Tanah yang disewa kemudian dijadikan `perkebunan-perkebunan besar yang dilengkapi
dengan pabrik-pabrik untuk mengolah hasil perkebunan tersebut. Perkebunan-perkebunan
tersebut diantaranya Perkebunan Kopi, Teh, Gula, Kina dan Tembakau. Di Deli, Sumatra
Timar.
Industri di Indonesia awalnya memang hanya industri perkebunan tetapi perkembangannya di
Indonesia terdapat industri mesin, industri tambang, dsb. Para pengusaha Indonesia tidak
mampu mengalah pengusaha swasta asing.Pelaksanaan Industrialisasi di Indonesia
berkembang pesat didukung dengan:
1. Dibukanya Terusan Suez(1869) yang berfungsi untuk memperpendek jarak tempuh antara
Eropa ke Indonesia.
2. Di Indonesia dibangun pelabuhan, seperti Tanjung Prior (1886),dilengkapi dengan jalan
raya, jalan kereta api, jembatan, serta sarana telekomonilasi.
Dengan sarana transportasi tersebut proses industrialisasi di Indonesia berjalan semakin
pesat.
3. Selain itu dibangun saluran irigasi dan waduk-waduk.Selama masa Industrialisasi selain
perkebunan besar di Indonesia berkembang pula:
Nederlandsch Handels Maatschappij (NHM)
Bank Perkebunan (Cultuur Banker), Pusat perkreditan, dan Kantor pegadaian.
Perkembangan tanaman perkebunan mulai mengalami kemunduran karena jatuhnya harga
kopi dan gula di dunia pada 1885 dikarenakan di Eropa mulai ditanam Gula Bit. Selain itu
pada 1891 harga tembakau mengalami penuruan. Krisis 1885 mengakibatkan perubahan yang
cukup besar bagi kehidupan ekonomi Hindia Belanda.
Dalam perkembangan selanjutnya, VOC tidak memiliki pemasukan sehingga hutang kepada
pemerintah Belanda semakin menumpuk dan tidak mungkin sanggup untuk membayarnya.
Setelah melihat ketidakberesan dalam kongsi dagang tersebut, pemerintah Belanda segera
mengambil keputusan untuk membubarkan VOC pada 31 Desember 1799.
Berikut alasan kemunduran dan pembubaran VOC :
1. Korupsi di semua tingkatan, dari pegawai rendah sampai pejabat tinggi VOC.
2. Pergadangan gelap merajalela, yang menerobos monopoli perdagangan VOC.
3. Sebagian pegawai dan pejabat ikut serta dalam kegiatan pergadangan rempah-rempah
demi kepentingannya sendiri, sesuatu yang ilegal dan merugikan VOC.
4. Anggaran untuk para pegawai sangat besar karena meluasnya kekuasaan.
5. Adanya persaingan dari perserikatan dagang lainnya seperi East Indian Company
(Inggris) dan Compagnie des Indes (Perancis)
6. Pemasukan yang kecil disertai hutang yang menumpuk.
Faktor Eksternal
Pada tahun 1795, Perancis di bawah Napoleon Bonaparte menguasai Belanda dan mendirikan
Rupiblik Bataaf (1795-1806). Sebelumnya pada tahun yang sama, atas dukungan Perancis,
Raja Belanda Willem V digulingkan oleh kaum republikan.
Belanda pun kembali menjadi republik. Sementara itu, Raja Belanda, Willem V menyingkir
ke Inggris (1795). Republik baru ini menjadi semacam negara bawahan dari Perancis.
Sebagai republik, Belanda menjadi sekutu Prancis dalam gerakan anti monarki untuk
melawan Inggris.
Perubahan politik ini ikut memengaruhi kebijakan Belanda terhadap VOC. Pemerintahan
Republik Bataaf memandang apa yang dilakukan VOC bertentangan dengan semangat
kesetaran dan kebebasan, termasuk untuk berusaha, dan karena itu harus dibubarkan. VOC
pun dibubarkan tahun 1799. Selanjutnya pemerintahan di Indonesia diambil alih oleh
Pemerintah Kerajaan Bataaf.
Berdasarkan alasan di atas VOC dibubarkan pada tanggal 31 Desember 1799 dengan hutang
136,7 juta gulden dan kekayaan yang ditinggalkan berupa kantor dagang, gudang, benteng,
kapal serta daerah kekuasaan di Indonesia.