Nim : 6311171002
Matakuliah : Hubungan Militer Internasional
Pulau Natuna berada di Provinsi Kepulauan Riau dan berada dekat dengan Laut China
Selatan. Kawasan tersebut sampai saat ini menjadi sumber konflik antara kedaulatan
Indonesia dengan China, terdiri dari tujuh pulau dengan Ibu Kota di Ranai. Pada 1957,
Kepulauan Natuna masuk dalam wilayah Kerajaan Pattani dan Kerajaan Johor di Malaysia.
Natuna yang terdiri dari beberapa pulau ini sempat jadi perebutan sengit antara dua
kekuatan besar saat itu, Belanda dan Inggris, di tahun-tahun awal kedatangan bangsa Eropa
ke Nusantara.
Konflik yang tak berkesudahan dan menimbulkan banyak kerugian di antara Inggris
dan Belanda, mendorong keduanya melakukan perjanjian Anglo-Dutch Treaty pada tahun
1824 untuk membagi batas wilayah kekuasaan kolonialnya masing-masing.
Dalam perjanjian tertulis tersebut, batas-batas laut di Selat Malaka dan Laut China
Selatan yang sebelumnya kabur ditetapkan secara tegas di antara kedua negara, Inggris
mendapatkan wilayah di Utara dan Timur Selat Malaka yang meliputi Semenanjung Malaya
dan Singapura. Sementara bagian Selatan dan Barat selat jatuh ke tangan Belanda.
Kawasan yang dimiliki Belanda antara lain Pulau Sumatera, Kepulauan Lingga dan
Riau. Sebagai gantinya, Inggris juga hengkang dari Bengkulu. Saat perjanjian itu dilakukan,
bagian Utara Pulau Borneo masih dikuasai oleh Kesultanan Brunai. Saat kerajaan tersebut
mengalami kemunduran, Inggris mengambil alih wilayah tersebut.
Alasan ini yang dikemudian hari membuat Natuna yang jatuh ke Indonesia diapit dua
wilayah utama Negeri Jiran. Yang di kemudian hari setelah kemerdekaan Malaysia dari
Inggris, wilayah tersebut terbagi menjadi dua yakni Sabah dan Sarawak. Sementara di sisi
Selatan Kalimantan masuk Indonesia setelah merdeka, sebagai konsekuensi warisan semua
wilayah Hindia Belanda, termasuk Kepulauan Natuna.
Selama Perang Dunia II, meski periodenya singkat, semua wilayah di Malaya dan Laut
China Selatan dikuasai oleh militer Jepang. Natuna sampai saat ini masih menjadi jalur
strategis dari pelayaran internasional, delegasi dari Riau ikut menyerahkan kedaulatan pada
Republik Indonesia yang berpusat di Pulau Jawa. Pada 18 Mei 1956, pemerintah Indonesia
resmi mendaftarkan Kepulauan Natuna sebagai wilayah kedaulatan ke Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB).
Konflik Natuna
Konflik Indonesia dan China terkait Natuna ini sudah timbul tenggelam sejak tahun 2016,
berikut adalah penjelasannya:
1. Maret, 2016
Pada Maret 2016, konflik antara pemerintah Indonesia dengan China terjadi lantaran
ada kapal ikan ilegal asal China yang masuk ke Perairan Natuna. Pemerintah Indonesia
berencana untuk menangkap kapal tersebut.
Tetapi, proses penangkapan tidak berjalan mulus, lantaran ada campur tangan dari
kapal Coast Guard China yang sengaja menabrak KM Kway Fey 10078. Hal itu diduga untuk
mempersulit KP HIU 11 menangkap KM Kway Fey 10078. Susi Pudjiastuti yang waktu itu
menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan (MKP) meminta Menteri Luar Negeri,
Retno Marsudi untuk melayangkan nota protes kepada China.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyampaikan, dalam pertemuan dengan Sun
Weide, Kuasa Usaha Sementara China di Indonesia, pihak Indonesia menyampaikan protes
keras terhadap China atas dua hal. Pertama, terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh kapal
Coast Guard China terhadap kedaulatan dan yurisdiksi di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan
landas kontinen.
Kedua, pelanggaran oleh Coast Guard China dalam upaya penegakkan hukum oleh
otoritas Indonesia di ZEE dan landas kontinen. Sebulan setelah konflik tersebut, Pemerintah
Indonesia menganggap persoalan antara Kementerian Kelautan dan Perikanan RI dengan
Coast Guard China di Perairan Natuna sudah selesai.
2. Juli, 2017
Saat ini, Indonesia tetap menyebut laut China Selatan yang berada di wilayah NKRI
sebagai Laut Natuna Utara. Tetapi, nama tersebut belum disahkan di International
Hydrographic Organization (IHO).
3. Desember, 2019
Konflik terbaru antara China dengan Indonesia di Laut Natuna adalah ketika sejumlah
kapal asing penangkap ikan milik China diketahui memasuki Perairan Natuna, Kepulauan
Riau. Kapal-kapal tersebut masuk perairan Indonesia pada 19 Desember 2019.
Kapal-kapal China yang masuk dinyatakan telah melanggar exclusive economic zone
(ZEE) Indonesia dan melakukan kegiatan Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing
(IUUF). Selain itu, Coast Guard China juga dinyatakan melanggar kedaulatan di perairan
Natuna.
Masuknya kapal ikan asing di perairan Natuna dinilai menjadi peringatan bagi
Indonesia untuk lebih memperketat pertahanan serta pengawasan.kita juga kekurangan
kemampuan kapal untuk melakukan patroli di ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif).
Ketegangan antara Indonesia dan China kembali meningkat setelah sebuah kapal
patroli Kementerian Kelautan dan Perikanan menangkap kapal nelayan China KM Kway Fey.
Kapal itu diduga melakukan penangkapan ikan ilegal di wilayah perairan Indonesia. Kapal
pengawas Hiu 11 sempat melepaskan tembakan peringatan ketika kapal ikan China yang
berusaha melarikan diri. Tiga pengawas Indonesia sempat masuk ke kapal ikan itu, namun
kapal penjaga pantai China datang dan malah menabrak kapal ikan itu sehingga rusak dan
tidak bisa ditarik.
Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi sempat memanggil seorang diplomat
Cina untuk mengajukan protes, karena perahu motor penjaga pantai Cina telah melanggar
kedaulatan Indonesia. Retno Marsudi menyerukan agar Cina menghormati hukum
internasional yang ada. Akan tetapi Kementerian Luar Negeri Cina mengelak dan
mengatakan jika insiden tersebut terjadi di wilayah perikanan tradisional Cina dan kapal
penjaga pantai Cina sedang membantu nelayannya. Cina justru mendesak Indonesia untuk
segera membebaskan para nelayannya.
2. Selain itu, pemerintah juga berencana membangun pelabuhan serta melebarkan akses-
akses jalan di wilayah Natuna. Hal ini dilakukan demi percepatan pertumbuhan ekonomi di
salah satu kabupaten terluar di Nusantara itu. Dia mengibaratkan jika Natuna itu adalah pintu
depan. Sehingga membutuhkan penjagaan, kendati tak memiliki konflik di Laut China
Selatan namun penjagaan tetap harus dioptimalkan.
4. Mengencarkan patroli sekaligus memberi ancaman terhadap nelayan dan kapal RRT
yang telah menyerobot wilayah Natuna.
Ke depan kedua negara sepakat untuk saling menghormati satu sama lain dan tidak
melibatkan pihak di luar kawasan dalam penyelesaian konflik. Dengan demikian insiden di Laut
Natuna dianggap sudah selesai.