Anda di halaman 1dari 22

HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL

PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL SECARA DAMAI SERTA PERANAN HUKUM


INTERNASIONAL DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL
KONFLIK ANTARA INDONESIA DAN MALAYSIA MENGENAI KEPULAUAN SIPADAN DAN
LIGITAN
Diajukan Kepada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Untuk Memenuhi Komponen Ujian
Tengah Semester (UTS) Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional

Oleh :
Nadia Yusna
110110130088

Nama Dosen :
Dr. Hj. Rika Ratna Permata, S.H., M.H
Prita Amalia, S.H., M.H

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PADJADJARAN

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Permasalahan kepulauan yang biasa terjadi antara Indonesia dan Malaysia merupakan
permasalahan yang selalu menyita perhatian bagi seluruh masyarakat Indonesia maupun Asia dan
dunia. Pasalnya, negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara sudah terbiasa dengan pernyataan
Malaysia tentang batas teritorial kawasan mau wilayah maritimnya. Terkadang hal ini menjadi
konflik yang cukup panjang, namun hingga saat ini belum pernah ada aksi seperti turunnya salah
satu pihak militer hingga menimbulkan perang perebutan wilayah seperti wilayah-wilayah di
kawasan Eropa. Tapi, tentu saja, bagi sebagian besar negara kawasan Asia Tenggara akan
membela negara lain yang diakui Malaysia sebagai bagian dari wilayah negara nya tersebut.
Wilayah atau pulau milik Indonesia yang pernah diakui sebagai bagian dari kedaulatan
Malaysia adalah Pulau Sipadan (saat masih menjadi bagian dari kedaulatan Negara Kesatuan
Republik Indonesia) merupakan pulau kecil yang terletak tidakjauh dari Pulau Kalimantan
(disebelah utara Pulau Tarakan, Kalimantan Timur), Pulau Sigitan (saat masih menjadi bagian dari
kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia) terletak diujung timur laut pulau Kalimantan yang
memiliki luas wilayah sekitar 7,9 hektare, Blok Ambalat yang hingga saat ini masih menjadi bahan
perdebatan antara Indonesia dan Malaysia yang terletak di Laut Sulawesi atau Selat Makassar dan
berada didekat perpanjangan perbasatan darat antara Sabah-Malaysia dan Kalimantan TimurIndonesia, kemudian yang terakhir adalah Perairan Sambas yang terletak di di Tanjung Datuk
kecamatan Paloh kabuten Sambas-Malaysia dan Kalimantan Barat-Indonesia itu diakui oleh
Malaysia sebagai bagian dari wilayah negara nya. 1 Malaysia dengan nekatnya, membangun
mercusuar di wilayah tersebut. Negara lain yang harus dongkol dengan Malaysia adalah Filipina.
Kesultanan Sulu, Filipina memperebutkan daerah Sabah dan Serawak. Untuk mempertahankan
wilayahnya, Malaysia mengerahkan pasukan elitenya dan jet tempur setelah beberapa kali
digempur pengikut Sultan Sulu.
Tidak hanya Indonesia saja yang merasa dongkol dengan ulah Malaysia, namun hal ini juga
berlaku bagi Thailand. Wilayah Teluk Thailand adalah konflik perbatasan yang paling mencolok
antara negeri gajah putih dan negeri jiran ini. Saat itu Thailand mengklaim bahwa wilayahnya
membentang hingga Kualat Tabar, Ko Lost Islet sampai ke Ko Kra yang didasarkan dari perjanjian
Anglo-Siamese Treaty tahun 1909. Namun Malaysia tidak terima, menurutnya daerah Ko Losin Islet
tidak dihitung menjadi wilayah Thailand jika dihitung dari batas terluar pantai. Sengeta ini berakhir
dengan damai lewat MoU bahkan keduanya berkomitmen melakukan pengembangan dan

1http://id.wikipedia.org/wiki/Sengketa_Sipadan_dan_Ligitan

eksplorasi terhadap daerah yang dulu mereka sengketakan. Namun, satu sengketa perbatasan
antara dua negara belum sepenuhnya tuntas. Pemerintah Malaysia menganggap bukit yang
terletak di antara dua negara dan merupakan hulu dari sungai Golok seyogianya milik Malaysia.
Alasannya sederhana, Malaysia berkilah bahwa sulit bernegosiasi dengan Thailand karena kondisi
geografis bukit Jeli telah berubah dari sebelumnya.
Kemudian, Malaysia dengan Brunei. Perselisihan perbatasan juga terjadi dengan Brunei
Darusalam. Salah satunya daerah Limbang, daerah ini pada mulanya dikendalikan oleh kerajaan
Serawak, kemudian diklaim oleh Brunei karena sebenarnya secara geografis wilayah merupakan
milik Brunei. Tak terima, akhirnya untuk menegaskan kepemilikan, Malaysia memasukkan daerah
ini ke petanya pada tahun 1979. Negosiasi pun berjalan alot sampai akhirnya Malaysia tetap
menganggap daerah ini sebagai miliknya, hal itu ditandai oleh penandatanganan the Exchange of
Letters pada 16 Maret 2009 oleh Sultan Hasan Bolkiah dan perdana menteri Abdullah Ahmad
Badawi. Sengketa lainnya datang dari perairan Brunei dan Malaysia. Berdasarkan zona ekonomi
ekslusif dalam keputusan Dewan Internasional 1958, wilayah zona ekonomi eksklusif (ZEE)
melingkupi selatan perairan selatan Borneo. Namun di tahun 1979 justru Malaysia mengeluarkan
batas teritorial yang merupakan wilayah ZEE milik Brunei. Tak terima, di tahun 2003 kapal perang
Brunei mengusir kapal pengolah minyak dari tempat ini. Sebagai balasan, Malaysia mengirim
angkatan laut untuk memblokade kapal perang Brunei. Brunei semakin sering melakukan patroli
hingga tidak ada lagi kapal menggali minyak.
Kemudian Singapura dan Malaysia. Hubungan bilateral antara Singapura dan Malaysia
terbilang rumit, salah satunya soal permasalahan perbatasan di Pedra Branca atau Pulau Batu
Puteh. Pada awalnya komplain datang dari Malaysia soal klaim Pedra Branca oleh Singapura.
Malaysia pun membawa bantahannya ke meja Mahkamah Internasional di Hamburg pada 4
September 2003. Batu Puteh yang terletak di Selat Singapura dan tenggara Johor, Malaysia
akhirnya jatuh ke tangan Singapura dengan dasar teritorial perairan pada tanggal 23 Mei 2008.
Sebenarnya bukan hanya Pulau saja yang diklaim oleh Malaysia. Namun, kekayaan warisan
budaya Indonesia juga sering diklaim oleh Malaysia. Seperti, makanan khas Indonesia yaitu
rendang, budaya kultural Indonesia seperti batik dan reog Ponorogo, namun, ini hanya sebagian
kecil. Karena, bukan permasalahan ini yang akan dibahas tapi saya akan membahas permasalahan
Pulau Sipadan dan Ligitan milik Indonesia yang akhirnya menjadi bagian dari negara Malaysia
berdasarkan atas keputusan Mahkamah Internasional.
Diketahui bahwa indonesia mempunya SDA yang cukup baik didalam perminyakan nya. Hampir
seluruh pualu-pulau di Indonesia memiliki kandungan minyak yang cukup berlimbah di bawah
kandungan tanah nya. Hal ini juga ditutupi dengan pemandangan alam nya yang cukup
menabjukan sehingga salah satu pulau yang pernah menjadi bagian dari wilayah Kesatuan Negara
Republik Indonesia yaitu, pulau Sipadan & Ligitan menjadi pulau terindah dan terbaik didunia
dengan menduduki peringkat ke 5 diatas kepulauan Costa Rica. Sehingga, bukan hanya pada

kandungan minyak nya saja yang bisa dimanfaatkan sebagai sumber ekonomi bagi Negara nya,
tapi pada bidang pariwisata nya juga bisa menjadi pilihan alternatif yang baik seiring berkurang
pasokan minyak bumi yang tidak bisa diperbaharui lagi keberadaanya dan hal ini sangat bagus
karena bisa menambah devisa nasional Negara itu sendiri.
B. IDENTIFIKASI MASALAH
1. Bagaimanah konflik antara Indonesia dan Malaysia mengenai Kepulauan Sipadan dan Ligitan
dapat terjadi ?
2. Bagaimana tahap dan proses penyelesaian sengketa yang dilakukan para pihak ?

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

Teori Terkait
Wilayah perbatasan merupakan kawasan tertentu yang mempunyai dampak penting dan
peran strategis bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pertahanan peningkatan
kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat di dalam ataupun di luar wilayah, memiliki keterkaitan
yang kuat dengan kegiatan di wilayah lain yang berbatasan, baik dalam lingkup nasional maupun
regional (antar negara), serta mempunyai dampak politis dan fungsi pertahanan keamanan
nasional. Oleh karena peran strategis tersebut, maka pengembangan wilayah perbatasan Indonesia
merupakan prioritas penting pembangunan nasional untuk menjamin keutuhan wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.2
Pada kenyataannya batas wilayah negara RI mengandung berbagai masalah, seperti garis
batas yang belum jelas, pelintas batas, pencurian sumber daya alam, dan kondisi geografi yang
merupakan sumber masalah yang dapat mengganggu hubungan antarnegara, terutama posisi
Indonesia di kawasan Asia Tenggara. Selama ini pula penyelesaian penetapan garis batas wilayah
darat dilakukan dengan perjanjian perbatasan yang masih menimbulkan masalah dengan negaranegara tetangga yang sampai sekarang belum tuntas sepenuhnya.3
Dalam kasus ini akan ada tiga teori yang digunakan,yaitu:

Territorial Dispute
National Insecurity
Sovereignity Theory.
Territorial Dispute yaitu perselisihan atas kepemilikan atau penguasaan tanah antara dua
atau lebih negara, atau lebih dari kepemilikan atau penguasaan tanah oleh negara baru dan
menduduki kekuasaan setelah itu telah menaklukkan tanah dari mantan negara tidak lagi saat ini
diakui oleh negara baru. Sengketa ini sering terkait dengan kepemilikan sumber daya alam seperti
sungai, lahan pertanian subur, mineral atau sumber daya minyak, meskipun sengketa juga dapat
didorong oleh budaya, agama dan nasionalisme etnis. Dalam banyak kasus sengketa teritorial hasil
dari bahasa samar dan tidak jelas dalam perjanjian yang mengatur batas asli tersebut. 4 Dalam
wilayah ini, jelas sekali bahwa sengketa yang terjadi adalah memperebutkan wilayah yang
mempunyai kandungan alamnya yang berharga.

2Boer, Mauna, Hukum Internasional Pengertian, Peranan, dan Fungsi Dalam Eradinamika Global, Alumni,
Bandung, 2002, hal 23
3Mochtar Kusumaatmadja, Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Cases & Materials dan
Lampiran-lampiran, Penerbit P.T. Alumni, Bandung, Edisi ke-dua cetakan ke-1 2003, hal 47

4http://en.wikipedia.org/wiki/Territorial_dispute diakses pada 19 November 2014


pukul 23:20 WIB

National Insecurity adalah masalah keamanan nasional sebuah negara yang disebabkan
oleh threat dan vulnerability. Threat adalah ancaman terhadap keamanan nasional yang berasal
dari luar negara tersebut. Sedangkan, vulnerability yaitu kerentanan yang juga berbahaya bagi
keamanan nasional yang berasal dari dalam negara tersebut. Jelas bahwa, ancaman bagi kedua
belah negara yang bersengketa terhadap pulau yang juga menajadi kedaulatan dan berada diposisi
yang tidak aman, merupakan sebuah ancaman dari luar. Untuk inilah, maka teori Naional Insecurity
merupakan kerangka teori yang dapat dipakai untuk menganalisis kasus pulau Sipadan & Ligitan.5
Dalam konteks sistem internasional maka keamanan adalah kemampuan negara dan
masyarakat untuk mempertahankan identitas kemerdekaan dan integritas fungsional mereka. Untuk
mencapai keamanan, kadang-kadang negara dan masyarakat berada dalam kondisi harmoni atau
sebaliknya. Dalam studi hubungan internasional dan politik internasional, keamanan merupakan
konsep penting yang selalu dipergunakan dan dipandang sebagai ciri eksklusif yang konstan dari
hubungan internasional (Buzan,1991: 2,12). Konteks anarki menentukan tiga kondisi utama dalam
konsep keamanan yaitu (Buzan, 1991:22) :6
1. Negara merupakan objek utama dalam keamanan karena kedua-duanya adalah kerangka
aturan dan sumber tertinggi otoritas pemerintah. Hal ini menjelaskan mengenai kebijakan utama
yaitu keamanan nasional.
2. Meskipun negara adalah objek utama keamanan tetapi dinamika keamanan nasional memiliki
hubungan yang tinggi dan adanya interdependensi antara negara. Ketidakamanan negara dapat
atau tidak dapat mendominasi agenda keamanan nasional tetapi ancaman eksternal akan
selalu terdiri dari elemen-elemen utama dalam masalah keamanan nasional. Oleh karena itu,
ide keamanan internasional dapat digunakan pada kondisi sistemik yang mempengaruhi usaha
negara untuk membuat negara lain merasa lebih aman atau sebaliknya.
3. Dengan adanya kondisi anarki, arti praktis keamanan hanya dapat dibentuk jika ada suatu
hubungan persaingan dalam lingkungan operasional yang tidak dapat dielakkan. Jika keamanan
bergantung pada hegemoni atau harmoni maka hal ini tidak dapat dicapai dalam kondisi anarki.
Dengan kata lain keamanan bersifar relatif bukan absolut.
Sovereignity Theory adalah teori yg menyebutkan bahwa negara memiliki otoritas
sepenuhnya untuk mengatur urusan domestiknya. Teori tentang Sovereignty juga menekankan
otoritas negara untuk berinteraksi dengan aktor lain dlm hubungan internasional. Sovereignty
memiliki tiga dimensi, yaitu eksternal, internal, dan teritorial. Dimensi eksternal yaitu hak negara

5http://ayuningtyasalfatih.blogspot.com/2009/06/konsep-keamanan-dalamkonteks-hubungan.html diakses pada 19 November pukul 23:37 WIB


6Barry Buzan, Critique of the chapter National Insecurity: Threats and
Vulnerabilities dalam Mantas Pupinis dikutip dari
https://www.academia.edu/2766413/Critique_of_the_chapter_National_Insecurity
_Threats_and_Vulnerabilities_from_Barry_Buzans_People_States_and_Fear_ pada
tanggal 20bNovember pukul 09:12 wib

untuk secara bebas menentukan hubungannya dengan aktor lain tanpa ada halangan atau kontrol
negara lain. Dimensi eksternal sovereignty identik dengan prinsip independence atau kemerdekaan.
Dimensi

internal

yaitu

hak

dan

kemampuan

negara

menetapkan

karakter

lembaga

pemerintahannya serta membuat dan menegakkan aturan. Dimensi teritorial yaitu otoritas negara
atas semua yang berada di wilayahnya. Dimensi eksternal sovereignty identik dengan prinsip
independence atau kemerdekaan. Dimensi internal yaitu hak dan kemampuan negara menetapkan
karakter lembaga pemerintahannya serta membuat dan menegakkan aturan. Dimensi teritorial yaitu
otoritas negara atas semua yang berada di wilayahnya.7

BAB III

7http://chirpstory.com/li/55525 diakses pada 14 April 2016

OBJEK/KASUS

Kronologi Persengketaan
Sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan bermula dari pertemuan kedua delegasi dalam
penetapan batas landas kontinen antara Indonesia dan Malaysia di Kuala Lumpur pada tanggal 22
September 1969. Pada saat pembicaraan mengenai landas kontinen di laut Sulawesi, masingmasing negara (Indonesia dan Malaysia) saling memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke
dalam batas-batas wilayahnya. Sejak saat itu berlangsung berbagai pertemuan dan perundingan
antara kedua negara bertetangga tersebut untuk menyelesaikan sengketa secara damai.
Pulau Sipadan terletak 15 mil laut sekitar 24 kilometer dari pantai daratan Sabah Malaysia
dan 40 mil laut sekitar 64 kilometer dari pantai timur Pulau Sebatik dimana bagian utara merupakan
wilayah Malaysia dan bagian timur selatan merupakan wilayah Indonesia. Posisi Pulau Ligitan
terletak 21 mil laut sekitar 34 kilometer dari pantai daratan Sabah Malaysia dan 57,6 mil laut sekitar
93 kilometer dari pantai timur Pulau Sebatik. Luas Pulau Sipadan adalah 10,4 hektar dan Pulau
Ligitan adalah 7,9 hektar. Hingga tahun 1980-an, Sipadan dan Ligitan tak berpenduduk.8
Titik awal klaim pemerintah Indonesia tampaknya lemah dan tidak mencantumkan kedua
pulau tersebut dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yakni, Perpu No. 4 tahun
1960 tentang Perairan Indonesia. Di pihak lain, kelemahan Malaysia tampak pada peta yang
diterbitkan hingga tahun 1970-an tidak pernah mencantumkan kedua pulau tersebut.
Selanjutnya dalam meja perundingan kedua belah pihak baik pemerintah Indonesia maupun
pemerintah Malaysia sepakat untuk menetapkan sebagai status quo atas kedua pulau tersebut.
Sehubungan dengan masalah ini, kedua negara pada tanggal 22 September 1969 menyetujui
Memorandum of Understanding (MOU) yang menetapkan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan dalam
status quo yang berarti tidak boleh ditempati, diduduki maupun dimanfaatkan baik oleh Indonesia
maupun Malaysia. Namun, mulai tahun 1979 Malaysia berubah sikap dan mengambil langkahlangkah secara unilateral dengan menerbitkan peta-peta yang menunjukkan kedua pulau sebagai
bagian dari Malaysia, memberikan sejumlah izin kepada sejumlah perusahaan swastanya untuk
menyelenggarakan kegiatan pariwisata di Pulau Sipadan dan mendirikan instalansi-instalansi listrik
di pulau tersebut. Indonesia menganggap bahwa kegiatan-kegiatan tersebut melanggar
kesepakatan yang telah dicapai dalam status quo.
Dalam upaya untuk menyelesaikan sengketa antara kedua negara, Indonesia dan Malaysia
mengadakan perundingan-perundingan pada berbagai tingkat, namun tidak berhasil mencapai
penyelesaian yang dapat diterima kedua pihak. Selanjutnya pada tahun 1996, Presiden Soeharto
dan Perdana Menteri Mahathir Muhammad sepakat untuk mengangkat utusan khusus dari masing-

8 Statistik Vital Kasus Sipadan-Ligitan. Dalam http://www.unisosdem.org

masing negara untuk mencari solusi alternatif. Setelah melakukan empat kali pertemuan JakartaKuala Lumpur secara bergantian, kedua wakil dari Pemerintah Indonesia dan pemerintah Malaysia
berhasil menemukan solusi, yakni merekomendasikan agar perlu adanya penyelesaian masalah ini
melalui Mahkamah Hukum Internasional (ICJ).9
Dijelaskan, keputusan Malaysia untuk membawa sengketa Sipadan dan Ligitan ke
Mahkamah Internasional dan tidak membawanya melalui penyelesaian di ASEAN, lebih disebabkan
oleh posisi Malaysia yang juga mempunyai masalah serupa dengan anggota ASEAN lain. Karena
itu, Malaysia memilih jalur Mahkamah Internasional. Selain itu, Malaysia pun tidak ingin mewariskan
masalah tersebut kepada generasi mendatang. Perdana Menteri sudah mengatakan, isu yang
berkaitan dengan tuntutan yang seperti ini bagi Malaysia adalah isu yang sudah melibaskan
Malaysia dengan negara-negara ASEAN lain. Indonesia ada masalah yang berkaitan dengan garis
batas itu dengan Brunei, dengan Filipina, Thailand, dengan Singapura jadi dalam posisi seperti ini,
karena itu diambil pihak ketiga yang paling netral, dan itu ialah ICJ. Dan oleh sebab itu kedua
pemimpin telah setuju untuk merujukkan masalah ini ke ICJ. 10

BAB IV

9 Kesepakatan Soeharto-Mahathir bawa Sipadan-Ligitan ke Mahkamah


Internasional. Dalam http://www.hamline.edu
10Op.Cit,

ANALISA
Hubungan Teori Terkait Dengan Sengketa
Dalam hal ini teori Territorial Dispute sangat diperlukan dalam menjelaskan sengketa yang
terjadi. Karena, masalah perebutan kepulauan dapat dikatakan pula sebagai suatu perebutan
wilayah. Terlebih wilayah tersebut berada di tengah-tengah perbatasan dan kedua pihak terkait
saling mengkalim wilayah tersebut. Dan teori National Insecurity juga mampu menjelaskan
mengapa kedua negara ini saling berselisih paham tentang pulau ini. Dan membawa masalah ini
melalui jalan yang damai, yaitu mahkamah internasional untuk mengantisipasi konflik yang tambah
meluas. Dalam hal ini teori Sovereignty juga dianggap mampu menjelaskan tentang kedaulatan
yang berlaku bagi pihak-pihak terkait.
Tahap Penyelesaian Sengketa
Pada tanggal 31 Mei 1997 kedua negara menyepakati Special Agreement for the
submission to the International Court of Justice the dispute between Indonesia and Malaysia
concerning the soverignty over Pulau Sipadan and Pulau Ligitan. Naskah tersebut telah diratifikasi
oleh Pemerintah Indonesia pada tanggal 29 Desember 1997 melalui Keputusan Presiden Nomor 49
tahun 1997 dan oleh pemerintah Malaysia pada tanggal 19 November 1997. Special Agreement ini
merupakan syarat prosedural yang memungkinkan ICJ memiliki kewenangan atau kompetensi
juridiksi atas sengketa ini.
Special

Agreement

tersebut

kemudian

disampaikan

kepada

Mahkamah

Hukum

Internasional pada tanggal 2 November 1998 melalui suatu Joint Letter atau Notifikasi Bersama.
Masalah pokok yang diajukan dan dimintakan dalam Special Agreement adalah agar Mahkamah
Hukum Internasional memutuskan siapakah yang berdaulat atas kepemilikan Pulau Sipadan dan
Pulau Ligitan berdasarkan perjanjian-perjanjian yang ada, bukti-bukti dan dokumen-dokumen yang
tersedia dari pemerintah Indonesia maupun dari pemerintah Malaysia. Special Agreement ini juga
mencantumkan putusan Mahkamah Hukum Internasional sebagai bersifat akhir dan mengikat (final
and binding).
Dalam penyampaian Notifikasi Bersama tersebut kepada Panitera Mahkamah Hukum
Internasional, maka proses litigasi masalah Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan diforum internasional
secara resmi mulai berlangsung dan untuk selanjutnya penyelesaian masalah ini sepenuhnya
terletak pada penelitian Mahkamah Hukum Internasional.
Dalam argumentasinya Indonesia tentang akar kepemilikan pulau yang terkait sengketa
didasarkan pada Perjanjian Belanda-Inggris tahun 1891, yang pada Pasal IV menyebutkan bahwa
garis batas kedua negara adalah garis lintang 4 10 di pantai timur Pulau Kalimantan terus ke

Timur memotong Pulau Sebatik dan menempatkan kedua pulau itu di bawah atau dibagian selatan
garis lintang tersebut yang pulau tersebut adalah milik Belanda. Sedangkan, pulau-pulau yang
terletak sebelah utara garis paralel sepenuhnya milik British North Borneo Company. Berdasarkan
kesepakatan itu, Pulau Sipadan dan Ligitan masuk ke wilayah Belanda dan di wariskan ke
Indonesia yang merdeka pada tahun 17 Agustus 1945. Selain itu Indonesia mengklaim kedua
wilayah tersebut adalah wilayah milik Sultan Bulungan dan menjadi wilayah dari kerajaan Kutai di
Kalimantan.
Negara Malaysia juga memiliki dasar yang kuat dalam argumentasinya untuk mendapatkan
klaim kedua pulau tersebut yaitu berdasarkan Traktat Paris tahun 1809 yang merupakan perjanjian
perbatasan Malaysia dan Filipina. Kemudian perjanjian Spanyol-Amerika pada tahun 1900 dan
perjanjian Inggris-Amerika Serikat pada tahun 1930. Selain dengan dasar perjanjian-perjanjian
tersebut Sipadan dan Ligitan merupakan hak turun temurun dari Sultan Sulu yang menyerahkan
kepada Spanyol, Amerika Serikat, Inggris dan kemudian kepada Malaysia setelah memperoleh
kemerdekaan dari Inggris pada tahun 1963.
Berbeda dengan Indonesia, selain secara historical malaysia dalam argumentasinya juga
menjelaskan masih adanya keberlangsungan kedaulatan atas wilayah terkait. Yaitu, didasari bahwa
Malaysia sejak tahun 1917 telah melakukan fungsi legislatif atas kedua pulau tersebut misalnya
dengan dikeluarkannya Peraturan Perlindungan Penyu, serta mengeluarkan Perizinan untuk
menangkap telur penyu. Malaysia juga telah membangun mercusuar di Pulau Sipadan dan Pulau
Ligitan pada tahun 1962 dan 1963 yang terus dipelihara sejak kemerdekaan Malaysia. Dan
kegiatan pengakuan kedaulatan yang dilakukan Malaysia ini menurut pengamatan Mahkamah tidak
pernah diprotes oleh Indonesia dalam rentan waktu tersebut.
Selanjutnya, pada tanggal 3 hingga 12 Juni 2002 Mahkamah Hukum Internasional telah
mendengarkan argumentasi lisan dari Indonesia dan Malaysia sehubungan dengan sengketa
wilayah (territorial dispute) Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Dalam persidangan Mahkamah
Internasional yang melibatkan argumentasi kontra argumentasi, berbagai dalil hukum, teori, bukti
sejarah, dokumen dan fakta pendukung dari kedua belah pihak yang masing-masing dilengkapi
oleh tim pengacara handal, serta Hakim yang bertindak pada kasus ini terdiri atas 15 Hakim tetap
Mahkamah Internasional, 1 Hakim pilihan Malaysia, dan 1 hakim pilihan Indonesia. 11 Yang pada
akhirnya pada tanggal 17 Desember 2002 Mahkamah Hukum Internasional memberikan kedaulatan
atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan kepada Malaysia.
Hal tersebut dikarenakan Mahkamah Hukum Internasional tidak terlalu tertarik dengan argumentasi
Indonesia tentang akar kepemilikan kedua pulau tersebut (Sipada dan Ligitan) yang didasarkan
pada Perjanjian Belanda-Inggris tahun 1891. Menurut Mahkamah, perjanjian itu adalah perjanjian

11 http://indira-a--fisip10.web.unair.ac.id/artikel_detail-59895-PrinsipPrinsip
%20Hukum%20Internasional-Penyelesaian%20Sengketa%20Internasional.html

darat dan sulit diinterpretasikan sebagai perjanjian wilayah laut. Dengan ditolaknya perjanjian ini
sebagai perjanjian alokasi laut, maka tidak ada lagi yang dapat diandalkan oleh Indonesia.
Mahkamah Hukum Internasional telah memberikan kedaulatan atas Pulau Sipadan dan
Pulau Ligitan kepada Malaysia didasari bahwa apabila perseteruan didasarkan pada kenyataan
bahwa pihak lainnya juga telah mengumumkan kedaulatan (dalam sengketa ini adalah Indonesia),
maka hal itu tidak cukup untuk membentuk alas hak, karena harus ditunjukkan pula bahwa
kedaulatan atas wilayah tersebut juga telah berlangsung dan tetap ada pada saat putusan untuk
perselisihan itu ditetapkan.
Kemenangan Malaysia, juga berdasarkan pertimbangan effectivitee, dalam Hukum
Internasional dikenal istilah Uti Possidetis Juris yang artinya negara baru akan memiliki wilayah
atau batas wilayah yang sama dengan bekas penjajahnya. Dalam sengketa Sipadan-Ligitan,
Indonesia dan Malaysia bersepakat istilah warisan penjajah itu berlaku untuk wilayah-wilayah
yang dikuasai sebelum tahun 1969. Jadi Mahkamah Internasional memenangkan Malaysia saat itu
bukan karena Malaysia pada tahun 1990-an telah membangun resort di kedua pulau itu. Tetap,
karena Inggris (penjajah Malaysia) sebelum tahun 1969 menununjukkan penguasaan yang efektif
atas kedua pulau itu berupa pungutan pajak atas pemungutan telur penyu, operasi mercusuar, dan
aturan perlindungan satwa. Di pihak yang lain, Mahkamah juga menolak argumentasi Indonesia
yang bersandar pada konvensi 1891, yang dinilai hanya mengatur perbatasan kedua negara di
Kalimantan. Garis paralel 14 derajat Lintang Utara ditafsirkan hanya menjorok ke laut sejauh 3 mil
dari titik pantai timur Pulau Sebatik, sesuai dengan ketentuan hukum laut internasional pada waktu
itu yang menetapkan laut wilayah sejauh 3 mil.
Sehingga, semua fakta sejarah ini cukup meyakinkan bahwa Malaysia telah menunjukkan
kegiatan berdaulatannya atas kedua pulau tersebut dan sudah cukup membuktikan adanya
keefektifan untuk syarat kedaulatan suatu negara atas kedua pulau itu. Dalam hal ini, apa pun yang
dilakukan oleh Indonesia sejak tahun 1969 seperti halnya menduduki kedua pulau tersebut, tetap
tidak akan dapat menghapus keefektifan Inggris atau Malaysia.
Ketentuan-ketentuan serta Teori terkait dengan Penyelesaian Sengketa Sipadan Ligitan
Pada saat ini, negara-negara anggota ASEAN tidak memilih untuk menggunakan kekuatan
senjata atau militer tetapi menggunakan bahasa sebagai suatu mekanisme untuk menyelesaikan
pertikaian diantaranya melalui perundingan diplomatik. Sehingga, terhadap sengketa ini pihak-pihak
terkait (Indonesia-Malaysia) memilih untuk menempuh penyelesaian sengketa secara damai
sebagai kesepakatan sesama negara anggota ASEAN.
Penyelesaian sengketa diatur dalam Bab XV tentang Settlement of Disputes, Pasal 279
pada intinya menyebutkan bahwa negara-negara pihak diberi kebebasan yang luas untuk memilih
prosedur yang diinginkan sepanjang itu disepakati bersama. Pada sengketa wilayah Pulau Sipadan

dan Pulau Ligitan, kedua pihak bersepakat untuk menempuh penyelesaian sengketa melalui cara
damai. Hal ini berdasarkan pada prosedural penyelesaian melalui Mahkamah Internasional sesuai
dengan Bab VI Pasal 33 Penyelesaian Pertikaian Secara Damai dalam Piagam Perserikatan
Bangsa-Bangsa dan Statuta Mahkamah Internasional serta Pasal 36 ayat 1 Statuta Mahkamah
Internasional.12
Secara lebih spesifik jalur penyelesaian sengketa secara damai yang ditempuh dalam penyelesaian
sengketa ini adalah melalui penyelesaian secara damai yang bersifat politik yang berdasarkan teori
meliputi

perundingan

(negotiation),

jasa-jasa

baik

(good-offices),

penyelidikan

(inquiry),

penengahan (mediation) dan konsiliasi (conciliation).


Hubungannya dengan persengketaan yang terjadi antara Indonesia dan Malaysia, kedua
negara memilih untuk menggunakan metode negosiasi atau perundingan diplomatis sebagai
langkah awal untuk menyelesaikan persengketaan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Pada
dasarnya metode penyelesaian sengketa melalui mekanisme perundingan ini adalah cara
konvensional yang selalu digunakan dalam rangka upaya penyelesaian sengketa oleh pihak
manapun yang bersengketa.
Hal ini terlihat dari pertemuan-pertemuan yang dilakukan oleh perwakilan kedua negara.
Melihat sejarah hubungan Indonesia dan Malaysia, cara negosiasi ini merupakan langkah yang
tepat dalam menyelesaikan sengketa. Indonesia dan Malaysia adalah dua negara besar di kawasan
Asia Tenggara yang bersahabat, dan persahabatan inilah yang bisa dijadikan dasar untuk
mengadakan sebuah perundingan negosiasi dalam rangka mencari solusi yang tepat.13
Terkait dengan ICJ atau Mahkamah Internasional, Mahkamah Internasional telah diaggap
sebagai salah satu cara utama untuk penyelesaian konflik antar negara di dunia. Sebagai salah
satu institusi hukum internasional, Mahkamah Internasional hanya menerima negara sebagai pihak
yang dapat beracara di dalamnya.14
Perjanjian khusus (special agreement) tentang penundukan (consent to be bound) kepada
juridiksi Mahkamah Internasional, harus terlebih dahulu dibuat oleh para pihak sebelum beracara.
Penundukan ini didasarkan pada prinsip kedaulatan negara. Lalu, pihak terkait atau Negara yang
akan menjadi pihak bersengketa pada umumnya menyerahkan perjanjian khusus yang berisikan
subjek sengketa dan pihak yang bersengketa. Salah satu kasus yang memakai cara pembuatan
perjanjian khusus antara para pihak untuk menerima juridiksi dari Mahkamah Internasional yaitu
Soverignty over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan (Indonesia-Malaysia).

12 Pasal 36 ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional


13 http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/131180-T%2027319-Penyelesaian
%20sengketa-Tinjauan%20literatur.pdf
14 Statuta MI, 1945, Pasal 34

Dasar Putusan Mahkamah Internasional dan Implikasi Teori cara Memperoleh Wilayah
Konflik yang terjadi antara Negara Malaysia dengan Indonesia pada dasarnya bukan
merupakan sebuah hal baru dalam berbagai perbincangan publik. Persoalan batas wilayah dan
batas kedaulatan Negara nyatanya turut mewarnai perdebatan public seputar konflik yang terjadi.
Berkaitan dengan hal tersebut keberadaan pulau Ligitan dan Sipadan turut menjadi obyek
terjadinya konflik dimana pada saat itu penyelesaiannya diserahkan kepada pihak mahkamah
Internasional, dimana pada saat itu sangat diharapkan akan menguntungkan kedua belah pihak.
Pulau Sipadan dan ligitan merupakan dua pulau dari rangkaian kepulauan yang terletak di Selat
Makasar, di perbatasan antar kalimantan timur dan Sabah (Malaysia Timur). Sipadan Memiliki luas
50000 m sementara Ligitan merupakan gugus pulau karang seluas 18.000 m. Pada hakikatnya
latar belakang munculnya konflik Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan mulai mencuat sejak tahun 1969
ketika Tim Teknis Landas Kontinen Indonesia dan Malaysia membicarakan batas dasar laut antar
kedua negara. Kedua pulau Sipadan dan Ligitan tertera di Peta Malaysia sebagai bagian dari
wilayah negara Republik Indonesia, padahal kedua pulau tersebut tidak tertera pada peta yang
menjadi lampiran Perpu No. 4 Tahun 1960 yang menjadi pedoman kerja Tim Teknis Indonesia.
Dengan temuan tersebut Indonesia merasa berkepentingan untuk mengukuhkan Pulau Sipadan
dan Pulau Ligitan. Maka dicarilah dasar hukum dan fakta historis serta bukti lain yang dapat
mendukung kepemilikan dua pulau tersebut. Di saat yang sama Malaysia mengklaim bahwa dua
pulau tersebut sebagai miliknya dengan mengemukakan sejumlah alasan, dalil hukum dan fakta.
Kedua belah pihak untuk sementara sepakat mengatakan dua pulau tersebut dalam status quo.
Dua puluh tahun kemudian (1989), masalah Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan baru dibicarakan
kembali oleh Presiden Soeharto dan Perdana Mentri Mahathir Muhamad.
Tiga tahun kemudian tepatnya pada tahun 1992, kedua negara sepakat menyelesaikan
masalah ini secara bilateral yang diawali dengan pertemuan pejabat tinggi kedua negara. Hasil
pertemuan pejabat tinggi menyepakati perlunya dibentuk Komisi Bersama dan kelompok Kerja
Bersama (Joint Commission/JC & Joint Working Groups/JWG). Namun dari serangkaian pertemuan
JC dan JWG yang dilaksanakan tidak membawa hasil, kedua pihak berpegang (comitted) pada
prinsipnya masing-masing yang berbeda untuk mengatasi kebutuan. Pemerintah Republik
Indonesia menunjuk Mensesneg Moerdiono dan dari Malaysia ditunjuk Wakil PM Datok Anwar
Ibrahim sebagai Wakil Khusus pemerintah untuk mencairkan kebuntuan forum JC/JWG. Namun
dari empat kali pertemuan di Jakarta dan di Kuala Lumpur tidak pernah mencapai hasil
kesepakatan.
Pada pertemuan tanggal 6-7 Oktober 1996 di Kuala Lumpur Presiden Soeharto dan
Perdana Menteri Mahathir menyetujui rekomendasi wakil khusus dan selanjutnya tanggal 31 Mei
1997 disepakati Special Agreement for the Submission to the International Court of Justice the
Dispute between Indonesia & Malaysia concerning the Sovereignty over P. Sipadan and P.

Ligitan. Special Agreement itu kemudian disampaikan secara resmi ke Mahkamah International
(MI) pada 2 Nopember 1998. Dengan itu proses ligitasi Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan di MI mulai
berlangsung. Selanjutnya penjelasan dua pulau tersebut sepenuhnya berada di tangan RI. Namun
demikian kedua negara masih memiliki kewajiban menyampaikan posisi masing-masing melalui
Written pleading kepada Mahkamah Memorial pada 2 Nopember 1999 diikuti, Counter Memorial
pada 2 Agustus 2000 dan reply pada 2 Maret 2001. Selanjutnya proses Oral hearing dari kedua
negara bersengketa pada 3-12 Juni 2002. Dalam menghadapi dan menyiapkan materi tersebut
diatas Indonesia membentuk satuan tugas khusus (SATGASSUS) yang terdiri dari berbagai institusi
terkait yaitu : Deplu, Depdagri, Dephan, Mabes TNI, Dep. Energi dan SDM, Dishidros TNI AL,
Bupati Nunukan, pakar kelautan dan pakar hukum laut International.
Indonesia mengangkat co agent RI di Mahkamah Internasional/ICJ yaitu Dirjen Pol Deplu,
dan Dubes RI untuk Belanda. Indonesia juga mengangkat Tim Penasehat Hukum International
(International Counsels). Hal yang sama juga dilakukan pihak Malaysia. Proses hukum di
Mahkamah Internasional/ICJ ini memakan waktu kurang lebih 3 tahun. Selain itu, cukup banyak
energi dan dana telah dikeluarkan. Menlu Hassas Wirayuda mengatakan kurang lebih Rp.
16.000.000.000,. dana telah dikeluarkan yang sebagian besar untuk membayar pengacara. Dalam
rangka mengambil atau menyampaikan putusannya Mahkamah Internasional dalam kasus ini
menolak argumentasi Malaysia bahwa kedua pulau sengketa pernah menjadi bagian dari wilayah
yang diperoleh Malaysia berdasarkan kontrak pengelolaan privat Sultan Sulu dengan SenOverbeck/BNBC/Inggris/Malaysia. Mahkamah juga menolak argumentasi Malaysia bahwa kedua
pulau termasuk dalam wilayah Sulu/Spanyol/AS/Inggris yang kemudian diserahkan kepada
Malaysia berdasarkan teori rantai kepemilikan (Chain of Title Theory). Menurut Mahkamah tidak
satupun dokumen hukum atau pembuktian yang diajukan Malaysia berdasarkan dalil penyerahan
kedaulatan secara estafet ini memuat referensi yang secara tegas merujuk kedua pulau sengketa.
Mahkamah Internasional juga menolak argumentasi Indonesia bahwa kedua pulau sengketa
merupakan wilayah berada di bawah kekuasaan Belanda berdasarkan penafsiran atas pasal IV
Konvensi 1891. Penafsiran Indonesia terhadap garis batas 4 10 LU yang memotong P. Sebatik
sebagai allocation line dan berlanjut terus ke arah timur hingga menyentuh kedua pulau sengketa
juga tidak dapat di terima Mahkamah. Kejelasan perihal status kepemilikan kedua pulau tersebut
juga tidak terdapat dalam Memori van Toelichting. Peta Memori van Toelichting yang memberikan
ilustrasi sebagaimana penafsiran Indonesia atas pasal IV tersebut dinilai tidak memiliki kekuatan
hukum karena tidak menjadi bagian dari konvensi 1891. Mahkamah juga menolak dalil alternatif
Indonesia mengingat kedua pulau sengketa tidak disebutkan di dalam perjanjian kontrak 1850 dan
1878 sebagai bagian dari wilayah Kesultanan Bulungan yang diserahkan kepada Pemerintah
Kolonial Belanda.

Penguasaan efektif dipertimbangkan sebagai masalah yang berdiri sendiri dengan tahun
1969 sebagai critical date mengingat argumentasi hukum RI maupun argumentasi hukum
Malaysia tidak dapat membuktikan klaim kepemilikan masing-masing atas kedua pula yang
bersengketa.
Sebagaimana putusan Mahkamah Internasional yang menyatakan bahwa :
Dasar Putusan Mahkamah Internasional
Mahkamah Internasional dalam persidangan-persidangannya guna mengambil putusan
akhir, mengenai status kedua pulau tersebut tidak menggunakan (menolak) materi hukum yang
disampaikan oleh kedua Negara, melainkan menggunakan kaidah kriteria pembuktian lain, yaitu
Continuous presence, effective occupation, maintenance dan ecology preservation. Dalam amar
keputusannya, Mahkamah Internasional memutuskan bahwa Indonesias argument that it was
successor to the Sultanate of Bulungan cannot be accepted. Sementara itu, Mahkamah
Internasional juga menegaskan bahwa Malaysias argument that it was successor to the Sultan of
Sulu cannot be upheld.
Mahkamah Internasional kemudian menyatakan bahwa ukuran yang obyektif dalam
menentukan kepemilikan pulau-pulau tersebut adalah dengan menerpakan doktrin effective
occupation. Dua aspek penting dalam penentuan effective occupation ini adalah keputusan
adannya cut-off date atau sering disebut critical date dan bukti-bukti hukum yang ada. Critical
date yang ditentukan oleh Mahkamah Internasional adalah 1969. Artinya adalah semua kegiatan
setelah tahun 1969 seperti pembangunan resort dianggap tidak berdampak hukum sama sekali.
Mahkamah hanya melihat bukti hukum sebelum 1969. Dalam kaitan ini perlu digaris bawahi bahwa
Federasi Malaysia baru terbentuk secara utuh dengan Sabah sebagai salah satu negara bagiannya
pada 16 September 1963. Sehingga dapat dimengerti bahwa Sebelum menilai bukti-bukti
Indonesia, Mahkamah Internasional menegaskan bahwa UU Perpu No. 4 Tahun 1960 tentang
negara kepulauan tidak mencantumkan Sipadan-Ligitan sebagai milik Indonesia. Mahkamah
berpandangan hal ini relevan terhadap kasus pulau Sipadan-Ligitan karena Indonesia tidak
memasukkannya dalam suatu perundang-undangan nasional. Terhadap patroli Angkatan Laut
Belanda yang dilakukan sebelum tahun 1969, Mahkamah berpendapat bahwa hal ini merupakan
bagian dari latihan bersama atau kesepakatan bersama dalam memerangi perompakan, sehingga
tidak bisa dijadikan dasar pengajuan klaim. Mahkamah berpandangan bahwa berbeda dengan
Indonesia yang mengajukan bukti berupa sejumlah kegiatan Belanda dan rakyat nelayan, Malaysia
mengajukan bukti berupa sejumlah ketentuan-ketentuan hukum. Mahkamah menyatakan bahwa
berbagai peraturan Inggris tersebut menunjukkan adanya suatu regulatory and administrative
assertions of authority over territory which is specified by name.

Hal tersebut dapat dimengerti dan semakin melambungkan Malaysia karena hampir semua
Juri Mahkamah Internasional yang terlibat sepakat menyatakan bahwa Pulau Sipadan dan Pulau
Ligitan jatuh kepada pihak Malaysia karena kedua pulau tersebut tidak begitu jauh dari Malaysia
dan faktanya Malaysia telah membangun beberapa prasarana pariwisata di pulau-pulau tersebut
sebelum tahun 1969. Mahkamah menyimpulkan bahwa sejumlah dokumen yang diajukan
menunjukkan adanya beragam tindakan pengelolaan yang berkesinambungan dan damai yang
dilakukan pemerintah kolonial Inggris sejak 1917. Serangkaian upaya Inggris tersebut terwujud
dalam bentuk tindakan legislasi, quasi yudisial, dan administrasi atas kedua pulau sengketa,
seperti:
1.

Pengutipan pajak terhadap kegiatan penangkapan penyu dan pengumpulan telur penyu sejak

2.

1917.
Penyelesaian sengketa dalam kegiatan pengumpulan telur penyu di Pulau Sipadan pada

3.
4.

tahun 1930-an.
Penetapan Pulau Sipadan sebagai cagar burung.
Pembangunan dan pemeliharaan mercusuar sejak tahun 1962 di Pulau Sipadan dan pada
tahun 1963 di Pulau Ligitan
Effective occupation sendiri adalah doktrin hukum internasional yang berasal dari hukum

Romawi

kuno.

Occupation berasal

dari

konsep

Romawi occupatio yang

berarti

tindakan

administratif dan bukan berarti tindakan pendudukan secara fisik. Effective occupation sebagai
suatu tindakan administratif penguasaan suatu wilayah hanya bisa diterapkan pada terra
nullius atau wilayah baru dan wilayah tak bertuan, atau wilayah yang dianggap tak bertuan dan
disengketakan oleh negara. Effective occupation tidak bisa diterapkan kepada wilayah yang diatur
oleh perjanjian, keputusan hakim, keputusan arbitrasi, atau registrasi kepemilikan dengan hukum
yang jelas. Jelas elemen kuncinya dalam aplikasi doktrin effective occupation adalah ada tidaknya
suatu perundang-undangan, peraturan hukum, atau regulasi terkait status wilayah tersebut. Hal ini
tentunya sejalan dengan makna dari occupatio yang berarti tindakan administratif dan bukan berarti
pendudukan secara fisik.
Karena temasuk doktrin internasional, effective occupation dikategorikan sebagai sumber
hukum materiil yang merujuk pada bahan-bahan atau materi yang membentuk atau
melahirkan kaidah atau norma yang mempunyai kekuatan mengikat, dan menjadi acuan bagi
terjadinya sebuah perbuatan hukum.
Berdasarkan beberapa argument yang dinyatakan diatas mengenai jatuhnya pulau Ligitan
dan Sipadan ke pangkuan Malaysia bahwa sesungguhnya bukti-bukti yang diajukan adalah
kegiatan Belanda dan Indonesia melawan bukti hukum Inggris. Jadi dari segi kacamata hukum
internasional, Malaysia mendapatkan pulau-pulau tersebut bukan atas kegiatannya sendiri tetapi
atas kegiatan hukum Inggris yang dilakukan pada tahun 1917, 1933, 1962 dan 1963 jauh sebelum

Federasi Malaysia dengan keanggotaan Sabah dibentuk pada 16 September 1963 dan perlu
disesali dalam mekanisme penyelesaian konflik Sipadan dan Ligitan adalah tidak dipergunakannya
mekanisme regional ASEAN. ASEAN sebagai satu forum kerja sama regional, sangat minimal
perannya dalam pemecahan perbatasan. Hal ini karena dipandang sebagai persoalan domestik
satu negara dan ASEAN tidak ikut campur tangan di atasnya. Sesungguhnya, ASEAN sendiri sudah
merancang terbentuknya sebuah Dewan Tinggi (High Council) untuk menyelesaikan masalahmasalah regional. Dewan ini bertugas untuk memutuskan persoalan-persoalan kawasan termasuk
masalah klaim teritorial. Namun keberatan beberapa anggota untuk membagi sebagian
kedaulatannya merupakan hambatan utama dari terbentuknya Dewan Tinggi ini.
Implikasinya terhadap Teori cara Memperoleh Wilayah Negara
Dengan jatuhnya pulau Ligitan dan Pulau Sipadan ke pangkuan Malaysia, tentu saja hal
tersebut menimbulkan polemik besar yang berkembang ditengah masyarakat Indonesia. Polemikpolemik ini timbul karena adanya rasa tidak puas atas putusan yang diberikan pihak Mahkamah
Internasional. Polemik ini mengakibadkan adanya rasa ketidakpercayaan atau dalam kata lain krisis
kepercayaan dari masyarakat bangsa Indonesia terhadap pemerintah yang ada. Krisis kepercayaan
ini timbul sebagai akibat dari lepasnya pulau demi pulau yang pelan-pelan melunturkan atau
bahkan secara tidak langsung mengikis integrasi nasional bangsa Indonesia.
Selanjutnya terdapat pula implikasi-implikasi yang ditimbulkan terhadap teori cara
memperoleh wilayah Negara, dalam hal ini tampak secara jelas bahwa dengan jatuhnya pulau
Ligitan dan Sipadan dengan menggunakan doktrin Effective Occupation semakin mempertegas dan
membuktikan adanya kedigdayaan dari salah satu teori penambahan wilayah yaitu teori Okupasi.
Hal ini dikarenakan, jika diperhatikan dengan seksama etikat serta usaha yang dilakukan oleh
masing-masing Negara yang terkait sangat sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam teori
Okupasi, yang merupakan penegakan keadulatan atas wilayah yang tidak berada di bawah
penguasaan negara manapun (hal ini sangat sesuai karena ketika Indonesia dan Malaysia
menyelenggarakan pertemuan teknis hukum laut pada tahun 1967, bahwa pulau Ligitan dan
Sipadan tidak masuk dalam kekuasaan Malaysia, dan disisi lain pulau Ligitan dan Sipadan tidak
tertera pada peta yang menjadi lampiran Perpu No. 4 Tahun 1960 yang menjadi pedoman kerja Tim
Teknis Indonesia), baik wilayah yang baru ditemukan ataupun suatu hal yang tidak mungkin yang
ditinggalkan oleh negara semula. Penguasaan tersebut harus dilakukan oleh negara dan bukan
oleh orang perorangan (hal ini juga sesuai dengan persengketaan yang ada, karena yang
mengusahakan kedaulatan atau kepemilikan daerah tersebut adalah negara-negara terkait dan
bukan perorangan dari masing-masing negara), secara efektif dan harus terbukti adanya kehendak
untuk menjadikan wilayah tersebut sebagai bagian dari kedaulatan negara. Hal itu harus
ditunjukkan misalnya dengan suatu tindakan simbolis yang menunjukkan adanya penguasaan

terhadap wilayah tersebut, misalnya dengan pemancangan bendera atau pembacaan proklamasi.
Penemuan saja tidak cukup kuat untuk menunjukkan kedaulatan negara, karena hal ini dianggap
hanya memiliki dampak sebagai suatu pengumuman. Agar penemuan tersebut mempunyai arti
yuridis, harus dilengkapi dengan penguasaan secara efektif untuk suatu jangka waktu tertentu.
Sehingga kesesuaian ini, menurut pendapat saya dapat dinilai sebagai implikasi yang ditimbulkan
dari lepasnya pulau Ligitan dan Sipadan melalui penerapan doktrin effective occupation, terhadap
teori cara memperoleh wilayah secara Okupasi. Sehingga secara implicit digunakannya doktrin
effective Occupation mampu menyuguhkan dampak atau implikasi bagi keberfungsian teori
Okupasi, sebagai salah satu teori yang legimate.

BAB V

PENUTUP

KESIMPULAN :
Dalam hal ini sebuah konflik yang dipicu oleh konflik sengketa kawasan merupakan konflik yang
mempunyai arti. Seperti pertahanan sebuah wilayah yang menjadi harga diri bagi sebuah negara.
Karena, sebuah kawasan bisa saja menjadi sumber SDA bagi sebuah negara dan bisa menjadi
sumber perekonomian bagi negara tersebut. Terlebih jika kawasan tersebut merupakan pusat dari
kandungan minyak bumi. Seperti kepulauan Sipadan & Ligitan. Pada kasus ini, kedua buah negara
akhirnya sepakat untuk membawa perkara ini ke Mahkamah Internasional untuk menyelesaikan
sengketa ini. Dan akhirnya keputusan terakhir jatuh pada Malaysia yang dapat memiliki Pulau
Sipadan & Ligitan. Karena, Malaysia terbukti lebih banyak melakukan konvervasi dan merawat
pulau Sipadan &Ligitan dibandingkan dengan pihak Indonesia, yang tidak sama sekali melakukan
konservasi dan perawatan untuk pulau tersebut.
Berdasarkan permasalah diatas dapat kita simpulkan bahwa Malaysia telah menguasai
Pulau Sipadan dan Ligitan. Pada tahun 1969 Malaysia mengklaim bahwa Sipadan dan Ligitan
adalah milik Malaysia, karena kedua pulau itu berdsarkan chain of title (rantai kepemilikan)
merupakan wilayah dibawah kekuasaan Inggris yang menjajah Malaysia sebelum Malaysia
menyatakan merdeka. Malaysia telah melakukan kecurangan terhadap Indonesia. Karena pada
saat Pulau Sipadan dan Ligitan menjadi sengketa, Indonesia dan Malaysia pun membuat perjanjian
yakni perjanjian status quo. Dimana kedua Negara ini tidak boleh melakukan aktivitas. Karena
masih dalam sengketa. Namun disini Malaysia malah melakukan kecurangan karena melakukan
aktivitas di tanah sengketa dengan membuka tempat wisata penangkaran penyu, pembuatan
risosrt, dan mengeksploitasi sumber daya alam yang ada di Pulau Sipadan dan Ligitan tersebut.
Maka Indonesia pun merasa di curangi. Masalah ini tidak dapat diselesaikan dengan cara yang
baik. Maka Dewan Tinggi Asean mencoba untuk melakukan perdamaian antara kedua Negara
tersebut. Namun pihak Malaysia menolak bantuan Dewan Tinggi Asean karena Malaysia
beranggapan bahwa dulu pernah terlibat sengketa pada Singapore untuk klaim pulau batu puteh.
Disini Indonesia mengambil sikap, masalah ini harus diselesaikan pada Dewan Tinggi ASEAN, dan
Indonesia menolak ksusus ini dibawa ICJ (Inteternational Court Justice). Namun pada akhirnya
masalah ini dibawa ke Mahkamah Internasionl dan kedua Negara ini siap menerima keputusan
yang diberikan oleh Mahkamah Internasional. Karena di setiap keputusan pasti ada yang kalah dan
ada yang menang. Keputusan Mahkamah Internasional pun telah memberi keputusan bahwa
Negara Malaysia berhak atas kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan karena Mahkamah
Internasional melihat siapa yang lebih dahulu melakukan aktivitas ditanah sengketa, maka Negara
itulah yang berhak menerima Pulau tersebut. Disini juga Indonesia tidak memiliki peta atas Pulau

Sipadan dan Ligitan. Maka jelaslah pihak Malaysia yang menang dalam kasus sengketa ini. Pada
tanggal 31 Mei 1997 Presiden Soeharto menyetujui kesepakatan Final and Binding berasama
dengan perdana mentri Muhatir Muhamad. Lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan adalah bentuk dari
kegagalan diplomasi Indonesia. Dan kegagalan Indonesia dalam mempertahan kan hak- haknya.
Malaysia kuat karena masih berstatus Negara yang bersemakmuran Inggris.
SARAN :
Dalam kasus Pulau Sipadan dan Ligitan penulis memberikan saran, apabila Pulau Sipadan
dan Ligitan milik Indonesia, maka Indonesia memiliki peta kepemilikan Pulau terebut. Namun disini
Indonesia tidak mempunyai peta Pulau Sipadan dan Ligitan. Akan tetapi Indonesia mengkomplain
bahwa Pulau tersebut adalah milik Indonesia. Kegagalan diplomasi yang telah terjadi karena
permasalah tidak dapat diselesaikan dengan cara yang baik., ini adalah sebagian dari pemicu untuk
Indonesia. Mengapa diplomasi bisa gagal? Maka Indonesia harus lebih belajar dan memahami lagi
diplomasi yang bagaimana yang dapat menyelesaikan pulau sengketa tersebut. Pihak Malaysia
dalam kasus ini sangat melakukan kecurangan atas perjanjian yang telah dibuat oleh kedua Negara
Indonesia dan Malaysia. Malaysia malah melakukan aktivitas ditanah sengketa. Padahal dalam
perjanjian status quo tidak ada yang melakukan aktivitas ditanah sengketa. Tetapi Malaysia malah
melakukan aktivitas ditanah sengketa. Yakni, membuat tempat wisata penangkaran penyu,
membuat risosrt, dan eksploitasi sumber daya alam yang ada dipulau tersebut. Dan disni juga pihak
Malaysia tidak mau memnyelesaikan masalah ini ke Dewan Tinggi Asean. Karena dengan alasan
yang tidak meyakinkan Indonesia. Yang penting kedepanya bagaimana membina pulau- pulau yang
dimiliki oleh Negara kepulauan sehingga tidak ada lagi permasalah yang terjadi seperti kehilangan
Pulau Sipadan dan Ligitan.

DAFTAR PUSTAKA

Adi Sumardiman, Ir, SH, Sipadan dan Ligitan, SK Kompas, Jakarta, 18 Desember 2002.
Boer, Mauna, Hukum Internasional Pengertian, Peranan, dan Fungsi Dalam Eradinamika Global,
Alumni, Bandung, 2002.
Mochtar Kusumaatmadja, Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Cases & Materials dan
Lampiran-lampiran, Penerbit P.T. Alumni, Bandung, Edisi ke-dua cetakan ke-1 2003.
Statuta Mahkamah Internasional.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1960.
Anonim. 2008. Dasar putusan Mahkamah Internasional mengenai Pulau Ligitan

dan Sipadan.

(online), (http://Google.com/2008/10/dasar-Putusan- Ligitan-Sipadan.html)


Anonim.

2003.

lepasnya

pulau

Ligitan

dan

Sipadan.(online),(

ambuaga.com/2003/04/19/sipadan-dan-ligitan-suatu-pelajaran-berharga/

blog.theos

.html),

Anonim. 2010. putusan Mahkamah Internasional tentang pulau Ligitan dan


(http://hukum.kompasiana.com/2010/10/17/keputusan-

http://

sipadan. (online),

mahkamah-internasional-tentang-

pulau-sipadan-dan-ligitan/.html)
http://www.academia.edu/10030118/Konflik_Indonesia_dan_Malaysia_tentang_Kepulauan_Sipadan
_dan_Ligitan
http://baradina-alhafizh.blogspot.com/2011/07/pengaruh-keputusan-icj-dalam-kasus.html
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/131180-T%2027319-Penyelesaian%20sengketa
http://indira-a--fisip10.web.unair.ac.id/artikel_detail-59895-PrinsipPrinsip%20Hukum
%20Internasional-Penyelesaian%20Sengketa%20Internasional.html
Wikipedia. 2011. Sengketa Sipadan dan Ligitan dalam kancah ketahanan RI. Online.
(http://id.wikipedia.org/wiki/).

Anda mungkin juga menyukai