Anda di halaman 1dari 3

Nama

: Muhammad Imansyah Dwi Satriawan

Nim

: 1302045202

Mata Kuliah : Hukum Humaniter

Genosida di Rwanda
Genosida Rwanda adalah sebuah pembantaian 800.000 suku Tutsi dan Hutu
moderat oleh sekelompok ekstremis Hutu yang dikenal sebagai Interahamwe
yang terjadi dalam periode 100 hari pada tahun 1994.
Rwanda sendiri adalah sebuah negeri berpenduduk 7,4 juta jiwa dan merupakan
negara terpadat di Afrika Tengah.
Peristiwa ini bermula pada tanggal 6 April 1994, ketika Presiden Rwanda, Juvenal
Habyarimana menjadi korban penembakan saat berada di dalam pesawat
terbang. Beberapa sumber menyebutkan Juvenal Habyarimana tengah berada di
dalam sebuah helikopter pemberian pemerintah Perancis. Saat itu, Habyarimana
yang berasal dari etnis Hutu berada dalam satu heli dengan presiden Burundi,
Cyprien Ntarymira. Mereka baru saja menghadiri pertemuan di Tanzania untuk
membahas masalah Burundi. Sebagian sumber menyebutkan pesawat yang
digunakan bukanlah helikopter melainkan pesawat jenis jet kecil Dassault Falcon.
Disinyalir, peristiwa penembakan keji itu dilakukan sebagai protes terhadap
rencana Presiden Habyarimana untuk masa depan Rwanda. Habyarimana
berencana melakukan persatuan etnis di Rwanda dan pembagian kekuasaan
kepada etnis-etnis itu. Rencana itu telah disusun setahun sebelumnya, seperti
tertuang dalam Piagam Arusha (Arusha Accord) pada tahun 1993. Untuk
diketahui, Habyarimana menjadi presiden Rwanda sejak tahun 1993.
Sebelumnya ia menempati posisi sebagai Menteri Pertahanan Rwanda.
Pada tahun 1990-an Habyarimana merintis suatu pemerintahan yang melibatkan
tiga etnis di Rwanda yakni Hutu (85%), Tutsi (14%) dan Twa (1%). Habyarimana
mengangkat perdana menteri Agathe Uwilingiyama dari suku Tutsi.
Pengangkatan dari suku berbeda jenis ini jelas tidak diterima oleh kelompok
militan yang ingin mempertahankan sistem pemerintahan satu suku.
Kekhawatiran sekaligus kekecewaan berlebihan inilah yang akhirnya memuncak
menjadi tindak pembunuhan terhadap presiden sendiri. Habyarimana akhirnya
dibunuh bersama presiden Burundi oleh kelompok militan penentangnya ketika
mereka berada di dalam pesawat (atau helikopter) pemberian Presiden Perancis
Francois Mitterand.
Peristiwa tragis penembakan Presiden Habyarimana kontan mengakhiri masa 2
tahun pemerintahannya. Lebih mengerikan lagi, peristiwa ini memicu
pembantaian etnis besar-besaran di Rwanda. Hanya dalam beberapa jam setelah
Habyarimana terbunuh, seluruh tempat di Rwanda langsung diblokade.

Pasukan khusus Pengawal Presiden dengan bantuan instruktur Perancis segera


beraksi. Mereka bekerja sama dengan kelompok militan Rwanda, Interahamwe
dan Impuzamugambi.
Dimulai dari ibu kota Rwanda, ketiga kelompok bersenjata itu mulai membunuh
siapa saja yang mendukung piagam Arusha tanpa memedulikan status dan
sebagainya. Perdana Menteri Rwanda yang berasal dari suku Tutsi tak lepas dari
pembunuhan kelompok bersenjata. Selain dia, masih ada nama-nama dari
kalangan menteri, pastor dan siapa saja yang mendukung maupun terlibat dalam
negosiasi piagam Arusha.
Sebagian besar korban digeletakkan begitu saja dan tidak dimakamkan secara
layak. Paling umum saat itu hanyalah ditimbun dengan tanah sekadarnya.
Pegunungan Gisozi disinyalir menjadi tempat pemakaman massal. Di tempat ini
diperkirakan terdapat 250.000 jasad warga tak berdosa korban konspirasi keji.
Dikatakan konspirasi, karena kemudian berkembang cerita bahwa kudeta ini
dilakukan pemimpin Front Patriotik Rwanda, RPF (Rwandan Patriotic Front) yaitu
Paul Kagame. Usai pembunuhan massal, Kagame tampil sebagai Presiden
mengantikan Habyarimana.
Dalam seratus hari pembantaian berbagai kalangan mencatat tidak kurang dari
800.000 jiwa atau paling banyak sekitar satu juta jiwa etnis Tutsi menjadi korban
pembantaian. Lalu setelah Kigali jatuh ke tangan oposisi RPF pada 4 Juli 1994,
sekitar 300 mayat masih saja terlihat di alam terbuka di kota Nyarubuye berjarak
100 km dari timur Kigali. Korban yang jatuh di etnis lain (Twa dan Hutu) tidak
diketahui, akan tetapi kemungkinan besar ada walaupun tidak banyak
jumlahnya.
Pembunuhan besar-besaran di Rwanda sayangnya tidak mendapatkan perhatian
besar dari dunia internasional khususnya Perancis, Inggris dan Amerika Serikat.
Salah satu penyebab paling dominan adalah karena negeri ini tidak memiliki nilai
kepentingan strategis di mata internasional.
Kenyataan ini sangat disayangkan oleh berbagai pihak. Ketika konfrensi tentang
pembantaian etnis dilaksanakan di Kigali tahun 2004, disebutkan secara jelas,
forum menunjuk Amerika Serikat, Belgia, Perancis dan Inggris berada di balik
tragedi pembantaian. Sekretaris Jendral PBB Kofi Annan yang waktu lalu
menjabat sebagai wakil komandan pasukan penjaga perdamaian di Rwanda tak
luput mendapat sorotan. Terutama setelah ia mendapat Penghargaan Nobel
untuk bidang perdamaian.
Juga disebutkan, veto dari Dewan Keamanan PBB yang akhirnya menurunkan
jumlah pasukan penjaga perdamaian dari 2500 personel menjadi 450 personel
tidak mampu mengatasi masalah. "Pihak luar gagal mencegah pembantaian
selama 100 hari di Rwanda" kata Presiden Paul Kagame sebelum memimpin
upacara mengheningkan cipta.

Mapping Conflict Genosida di Rwanda


International Criminal
Tribunal for Rwanda,
disingkat ICTR didirikan
pada November 1994 oleh
Dewan Keamanan
Perserikatan Bangsa-

Akayesu ditangkap di Zambia pada


bulan Oktober 1995, membuat
Zambia negara Afrika pertama yang
mengekstradisi penjahat ke
Pengadilan Kriminal Internasional
untuk Rwanda (ICTR). Dia diadili
selama 15 dakwaan genosida ,
kejahatan terhadap kemanusiaan ,
termasuk pemerkosaan selama
Genosida Rwanda dan pelanggaran

Sejauh ini, pengadilan ini telah


menyelesaikan 50 pengadilan dan
mendakwa 29 orang. Sebelas
pengadilan lain masih berlangsung.
Empat belas orang menunggu
pengadilan; namun 5 orang
direncanakan untuk ditransfer ke
pengadilan nasional. Tiga belas
orang lain masih dicari, beberapa
kemungkinan sudah meninggal.

Pada tahun 1995, menjadi


terletak di Arusha , Tanzania ,
di bawah Resolusi 977. Pada
tahun 1998 pengoperasian
pengadilan diperluas di
Resolusi 1165. Melalui
beberapa resolusi, Dewan
Keamanan meminta
pengadilan untuk
menyelesaikan penyelidikan
oleh akhir tahun 2004,
lengkap semua kegiatan uji
coba pada akhir tahun 2008,

Jean-Bosco Barayagwiza
didakwa oleh Pengadilan
Kriminal Internasional untuk
Rwanda pada 23 Oktober
2000 bersama dengan coleader Ferdinand Nahimana
dan Hassan Ngeze. Setelah
keyakinannya pada 3
Desember 2003 sampai 35
tahun penjara (ia dijatuhi
Menurut Strategi Penyelesaian
ICTR, berdasarkan Resolusi 1503,
semua kasus tingkat satu harus
diselesaikan pada akhir 2008
(kemudian diperpanjang menjadi
akhir 2009[6]) dan semua
pekerjaan harus selesai pada
tahun 2010. Rencana ini mungkin
tidak masuk akal dan perlu diubah.
Dewan Keamanan PBB telah
menyerukan agar pengadilan ini
menyelesaikan pekerjaannya pada
31 Desember 2014 dan
mempersiapkan penutupannya
dan penyerahan tanggung
jawabnya kepada Mekanisme
Residual Internasional untuk
Pengadilan Kriminal.

Anda mungkin juga menyukai