Anda di halaman 1dari 4

Martin N.

Situmeang
2010117014
Hukum Perjanjian Internasioanl 3.2

EASTERN GRENLAND CASE

A) Kasus Posisi
Pihak yang bersengketa dalam kasus ini adalah Pemerintah Denmark dan
Norwegia.Diajukan oleh Pemerintah Denmark ke Permanent Court of International
Justice (PCIJ). Pemerintah Denmark mengajukan kasus ini pada tanggal 12 Juli 1931
dan diputuskan oleh PCIJ pada tanggal 5 April 1933 yang dimenangkan oleh
Pemerintah Denmark. Berikut ini adalah susunan Pejabat PCIJ yang menangani
perkara ini :
- Presiden : Mm. Adatci
- Wakil Presiden : Guerrero
- Hakim :
1. Baron Rolin-Jaequemyns
2. Rostworowski
3. Mm. Fromageot
4. Anzilotti
5. Urrutia
6. Sir Cecil Hurst
7. Mm. Schucking
8. Negulesco
9. Jhr. Van Eysinga
10. M. Wang
- Hakim Ad Hoc : Mm. Vogt dan Zahle

Berikut ini adalah para pihak yang bersengketa :

- Pemerintah Denmark, diwakili oleh M. de Scavenius, Menteri Denmark di Den


Haag, dan MK Steglich-Peterson, advokat di Mahkamah Agung Denmark.
- Pemerintah Norwegia, diwakili oleh M. Jens Bull, Kanselor dari kedutaan, dan
oleh MM. Arne Sunde dan Per Rygh, advokat di Mahkamah Agung Norwegia.

Menteri Luar Negeri Norwegia, M. Ihlen, pada 12 Juli 1919, mengeluarkan deklarasi
bahwa Pemerintah Denmark tidak mempersoalkan klaim Norwegia atas Spitzbergen
dan Pemerintah Denmark memiliki kedaulatan penuh atas Greenland untuk
menjalankan kepentingan politik dan ekonomi di seluruh Greenland dan tidak akan
memperoleh kesulitan apapun dari Pemerintah Norwegia untuk menjalankan
kepentingan tersebut. Deklarasi ini dikenal dengan Deklarasi Ihlen. Kemudian, pada
tahun 1920, jaminan atas pengakuan kedaulatan Denmark atas seluruh Greenland
berusaha untuk didapatkan oleh pemerintah Denmark. Dalam negosiasi yang terjadi
antara Pemerintah Denmark, Swedia dan Norwegia di London, Paris, Roma dan
Tokyo, negosiasi yang dilakukan dengan Pemerintah Norwegia terasa sulit, karena
Pemerintah Norwegia menuntut agar Pemerintah Denmark tidak boleh mengintervensi
kebebasan penduduk Norwegia. Pemerintah Denmark tidak bersedia mengabulkan
tuntutan Pemerintah Norwegia karena tuntutan ini bertentangan dengan kebijakan
Pemerintah Denmark atas Greenland. Sampai akhir 1921, hubungan diplomatik
Pemerintah Denmark dan Norwegia menyangkut Greenland terus dipertanyakan
karena status Greenland yang tidak jelas. Pada tanggal 13 Juli 1923, Pemerintah
Norwegia yang mengajak Pemerintah Denmark untuk melakukan negosiasi mengenai
Greenland. Pemerintah Denmark menerima resolusi yang dilakukan oleh Pemerintah
Norwegia untuk melakukan negosiasi mengenai Greenland. Negosiasi dimulai pada
bulan September 1923 dan membahas mengenai pertanyaan umum seputar Greenland,
akan tetapi tidak dicapai kesepakatan dalam negosiasi ini. Kemudian, pada tanggal 28
Januari 1924, negosiasi dilakukan lagi mengenai persetujuan konsep kesepakatan yang
direkomendasikan untuk diadopsi oleh masing-masing pihak. Konsep ini terbagi
menjadi dua, yaitu:

a. Dari Pemerintah Denmark: “Denmark memiliki kedaulatan penuh atas seluruh


Greenland yang harus diakui oleh Norwegia.”
b. Dari Pemerintah Norwegia: “Semua bagian Greenland yang tidak pernah
dipakai dalam
kondisi terra nulliuis, yaitu daerah yang secara efektif tidak berada di bawah
administrasi Pemerintah Denmark harus tunduk di bawah kedaulatan
Norwegia.

Pada 9 Juli 1924, terjadi penandatanganan konvensi yang berlaku untuk seluruh pantai
timur Greenland, kecuali di daerah Angmagssalik. Kemudian diadakan pertukaran dua
dokumen dokumen antara Norwegia dan Denmark. Dari adanva pertukaran dokumen
tersebut. Pemerintah Norwegia menyimpulkan bahwa Inggris dan Perancis mengetahui
bahwa Norwegia tidak mengakui kedaulatan Denmark atas seluruh Greenland.
Pemerintah Norwegia menjawab maklumat Pemerintah Denmark pada tanggal 6
Januari 1931 dan merasa bahwa Norwegia berhak sepenuhnya untuk berinventasi di
wilayah tersebut. Dibalas kembali oleh Denmark pada tanggal 3 Juli 1931, bahwa
Norwegia dianggap telah melewati batas yang ditentukan dalam konvensi 1924, dan
kemudian mengusulkan untuk diselesaikan permasalahan ini kepada PCIJ.

Pemerintah Norwegia setuju, dan pada tanggal 1 Juli 1931 meminta agar Mahkamah
harus mengadili berdasarkan situasi dan keadaan serta hukum yang selama ini berlaku.
Pengadilan harus memutuskan bahwa kedaulatan atas Greenland belum diperoleh
Denmark. Pada tanggal 10 Juli 1931, dalam kutipan catatannya Pemerintah Denmark
mengharapkan perkara diperiksa sesuai dengan situasi dan keadaan serta hukum yang
selama ini berlaku. Mengenai permintaan Pemerintah Norwegia pada tanggal 1 Juli
1931 kepada Mahkamah, menurut Pemerintah Denmark merupakan tindakan sepihak
Pemerintah Norwegia dan mengharap tindakan tersebut tidak akan mempengaruhi
keputusan yang dikeluarkan oleh pengadilan.

B) Pertimbangan Hakim dan Putusan Mahkamah Internasional


Dalam salah satu pertimbangannya mahkamah internasional permanen menyatakan
bahwa Norwegia terikat pada janji atau deklarasi yang dinyatakan oleh menteri luar
negerinya, yakni Mr. M Ihlen. Selain itu mahkamah juga menganggap adanya
perkaitan, atau interdependen di antara kedua belah pihak, sehingga pernyataan itu
melahirkan perjanjian internasional bilateral. Berdasarkan pertimbangan ini Permanent
Court of International Justice (PCIJ) pada akhirnya memenangkan Denmark.Di sini
Mahkamah memeriksa nota atau dukungan Pemerintah Denmark kepada Pemerintah
Norwegia mengenai kedaulatannya atas kepulauan Spitzbergen maupun juga diperiksa
pernyataan Pemerintah Denmark yang ditujukan kepada Norwegia yang menyatakan
bahwa Denmark telah sejak lama berdaulat atas Greenland yang telah memperoleh
pengakuan dari negara-negara lain seperti Amerika Serikat.

Antara Denmark dan Amerika Serikat pernah saling memberi imbalan di mana
AS mengakui kedaulatan Denmark atas Greenland dan sebagai imbalan Denmark
harus mengakui kedaulatan AS atas India Barat. Bukti lain, Denmark mengajukan
statement Mr. M Ihlen tanggal 14 Juli 1919 yang menyatakan akan
mempertimbangkan harapan Denmark serta pernyataan Mr. M. Ihline tanggal 22 Juli
1919 yang isinya menyatakan bahwa Pemerintah Norwegia tidak akan mempersulit
Denmark dalam soal Greenland itu. Adanya jawaban positif Mr. M. Ihlen dalam
posisinya sebagai Menteri Luar Negeri Norwegia, melaihrkan suatu ikatan perjanjian
bilateral yang harus ditaati oleh kedua belah pihak.

Atas pertimbangan tersebut, Pengadilan memutuskan:


a. memutuskan bahwa pernyataan pendudukan yang diumumkan oleh Pemerintah
Norwegia pada tanggal 1 Juli 1931, dan tindakan-tindakan yang berkaitan
dengan hal tersebut, merupakan pelanggaran terhadap hukum internasional dan
setiap langkah yang diambil dalam hal ini oleh Pemerintah tersebut, merupakan
pelanggaran terhadap hukum yang ada dan karenanya melanggar hukum dan
tidak sah;
b. menolak pengajuan yang berlawanan dari Pemerintah Norwegia;
c. menyatakan bahwa tidak perlu menyimpang dari aturan umum yang ditetapkan
dalam Pasal 64 Statuta bahwa setiap Pihak akan menanggung biayanya sendiri.

C) KESIMPULAN
Berdasarkan kasus tersebut, bahwa perjanjian tidak tertulis menimbulkan hubungan
consensus dan timbal balik yang mengakibatkan lahirnya hukum internasional yang
mengikat keduanya. Hubungan timbal balik ini muncul begitu terdapat janji yang
dideklarasikan, kecuali salah satu negara tersebut menolak dengan tegas deklarasi
tersebut, maka hubungan timbal balik tidak akan tercipta diantara keduanya. Dengan
adanya deklarasi dari kedua belah pihak tersebut, hubungan hukum antara kedua pihak
tersebut mengikat, seperti halnya terikat dengan suatu perjanjian tertulis.
Berdasarkan Pasal 47 Vienna Conventions 1969 yang menjelaskan bahwa jika
wakil dari suatu negara melaksanakan kewenangannya untuk menyatakan keterikatan
negaranya terhadap suatu perjanjian tertentu dengan membuat pembatasan-
pembatasan khusus maka pembatasan itu harus diberitahukan kepada pihak negara lain
yang terkait dalam perjanjian tersebut. Sehingga berdasarkan pasal tersebut tidak
mengherankan jika Mahkamah mengabulkan tuntutan Denmark terhadap Norwegia.
Berdasarkan putusan Mahkamah tersebut maka ada dua hal yang harus dipenuhi agar
suatu tindakan unilateral dapat memiliki kekuatan mengikat secara hukum yaitu
deklarasi tersebut harus diumumkan kepada publik dan dibuat dengan maksud untuk
mengikat. mengikat di antara keduanya.
Dalam hukum perjanjian internasional, terdapat dua bentuk perjanjian, yaitu
written agreement dan oral declaration. Perjanjian internasional tidak tertulis adalah
pernyataan secara bersama atau timbal balik yang diucapkan oleh kepala negara,
kepala pemerintahan ataupun menteri luar negeri, atas nama negaranya mengenai
masalah tertentu yang menyangkut kepentingan para pihak yang dalam pembuatannya
tidak melalui atau membutuhkan prosedur tertentu, dan dapat berupa pernyataan
sepihak yang dikemukakan oleh para pejabat sebagai persetujuannya.

Anda mungkin juga menyukai