Anda di halaman 1dari 8

Sejarah Bantuan Hukum

Bantuan hukum telah dilaksanakan oleh masyarakat Barat sejak zaman Romawi dimana
pada waktu itu bantuan hukum didasarkan pada nilai-nilai moral dan lebih dianggap sebagai
suatu pekerjaan yang mulia, khususnya untuk menolong orang-orang tanpa mengharapkan
dan/atau menerima imbalan atau honorarium. Setelah meletusnya Revolusi Perancis, bantuan
hukum kemudian mulai menjadi bagian dari kegiatan hukum atau kegiatan yuridis dengan mulai
lebih menekankan pada hak yang sama bagi warga masyarakat untuk mempertahankan
kepentingan-kepentingannya di muka pengadilan dan hingga awal abad ke-20, bantuan hukum
ini lebih banyak dianggap sebagai pekerjaan memberi jasa di bidang hukum tanpa suatu
imbalan.1
Di Indonesia, bantuan hukum sebagai suatu legal institution (lembaga hukum) semula tidak
dikenal dalam sistem hukum tradisional. Bantuan hukum baru dikenal di Indonesia sejak
masuknya atau diberlakukannya sistem hukum Barat di Indonesia. Bermula pada tahun 1848
ketika di negeri Belanda terjadi perubahan besar dalam sejarah hukumnya. Berdasarkan asas
konkordansi, dengan Firman Raja tanggal 16 Mei 1848 No. 1, perundang-undangan baru di
negeri Belanda tersebut juga diberlakukan di Indonesia, antara lain peraturan tentang susunan
kehakiman dan kebijaksanaan peradilan (Reglement of de Regterlijke Organisaticen het beleid
der Justitie), yang lazim disingkat dengan R.O.2
Sejarah Bantuan Hukum di Indonesia:
a. Bantuan hukum pra-kemerdekaan.
Bantuan hukum pada zaman penjajahan Belanda tidak memberlakukan hukum yang baru,
akan tetapi Belanda menerapkan kebijaksanaan politik baru. Sejak permulaan, pihak
kompeni (VOC) berketetapan menghormati hukum lokal. Hal yang tidak mereka hormati
adalah hubungan-hubungan ekonomi dan politik yang selamanya merupakan sumber pokok
hukum lokal. Hubungan yang serupa juga terdapat di bidang peradilan dengan perbedaan
penting bahwa tapal batas etnis diterobos ke satu arah, ke pihak Belanda yang jenjang
peradilannya terdiri atas Residentiegerecht untuk tingkat pertama, Raad van justitie untuk
tingkat banding, dan Mahkamah Agung (Hooggerechtshof). Negara Eropa mempunyai dua
kitab undang-undang hukum acara, satu untuk perkara perdata (Burgelijk Rechtsvordering)

1
Bambang Sunggono dan Aries Harianto,2009, Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia,Mandar Maju, Bandung,
Hlm. 11
2
Abdurrahman,1983,Aspek-Aspek Bantuan Hukum di Indonesia,Cendara Press, Jakarta, hlm. 40
dan untuk perkara pidana (Strafvordering). Tahun 1950-an kedua kitab undang-undang ini
memuat ketentuan-ketentuan, termasuk jaminan hak-hak pribadi yang termaktub dalam kitab
undang-undang di Belanda. Untuk orang Indonesia cukup disediakan dalam kitab undang-
undang baik untuk perkara perdata dan pidana, yaitu: Herziene Inlandsch Reglement (H.I.R).
Dalam masa pendudukan Jepang, terhadap golongan Eropa dan Tionghoa diberlakukan
Burgerlijk Werboek (B.W.) dan Wetboek van Koophandel (W.v.K), sedang untuk golongan
Indonesia asli berlaku hukum adat. Selanjutnya bagi golongan-golongan lainnya berlaku
hukum yang diperlakukan bagi mereka menurut peraturan dahulu. Organisasi peradilan pada
masa pemerintah pendudukan Jepang tidak menunjukkan adanya suatu kesatuan. Ada 5
(lima) lingkungan peradilan yang dikenal pada waktu itu, yaitu Gunritukaigi (Mahkamah
Militer), Gunsei Hooin (Pengadilan Pemerintah Balatentara), Tihoo Hooin (Pengadilan
Negeri), Kootoo Hooin (Pengadilan Tinggi), Saikoo Hooin (Pengadilan Agung) dan
Peradilan Swapraja dan Peradilan Adat.3
Di Indonesia bantuan hukum sudah ada sejak tahun 1500 M, bersamaan dengan
datangnya bangsa Portugis, Spanyol Inggris dan Belanda ke Indonesia. Pada awal
perkembangannya bantuan hukum ini merupakan manifestasi dari sikap kedermawanan
(charity) yang umumnya dilakukan oleh patron kepada klien. Kemudian bantuan hukum
berkembang sejalan dengan perkembangan profesi hukum menjadi kedermawanan profesi,
yang selanjutnya profesi bantuan hukum menjadi professional responsibility (tanggungjawab
profesi). Dalam perkembangan selanjutnya menjadi tanggung jawab sosial yang diselesaikan
tidak hanya masalah hukum yang litigasi, tetapi juga non litigasi. 4
b. Bantuan hukum pasca kemerdekaan
Sejak Indonesia merdeka, pemerintahan RI telah mengeluarkan berbagai macam peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan bantuan hukum di muka persidangan. Peraturan
perundang-undangan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Undang-Undang No. 1 tahun 1946.
Pada tahun 1946, pemerintah RI mengeluarkan UU No 1 tahun 1946 tentang peraturan
Hukum Pidana. Dalam undang-undang tersebut diatur di dalamnya tentang kedudukan
advokat dan orang-orang yang memberikan bantuan hukum.

3
Frans Hendra Winarta,2007,Bantuan Hukum: Suatu Hak Asasi Bukan Belas Kasihan, PT Elex Media
Komputindo,Jakarta,hlm 7
4
Abdul Manan,2006, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Kencana,Jakarta,hlm 67.
2. Undang-Undang No. 1 tahun 1950 tentang Mahkamah Agung.
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal 9 mei 1950, mengatur tentang susunan
kekuasaan Mahkamah Agung yang mempunyai kedudukan tertinggi untuk mengawasi
jalannya peradilan. Dan dalam Pasal 42 terdapat istilah yang menerangkan “pemberi
bantuan hukum ” dengan kata “Pembela”.
3. Undang-Undang Darurat No. 1 tahun 1951
Undang-undang Darurat No. 1 tahun 1951 mengatur tentang tindakan-tindakan
sementara untuk menyelenggarkan kesatuan susunan kekuasaan dan acara pengadilan
sipil.
4. Herziene Inlandsch Reglement (HIR)
dalam hubungannya dengan tugas dan kewajiban advokat dan pemberi bantuan hukum di
muka persidangan diatur dalam beberapa pasal HIR, seperti: Pasal 83 h ayat 6, Pasal 120
Rsv, Pasal 250 ayat 5 HIR, Pasal 254 ayat 1 HIR, Pasal 123 HIR, Undang-undang No.19
tahun 1946 tentang ketentuan pokok Kekuasaan Kehakiman yang pada intinya seseorang
yang terkena masalah hukum berhak mendapatkan bantuan hukum dari seorang ahli
hukum.5
Suatu penelitian yang mendalam tentang sejarah pertumbuhan program bantuan hukum
atau advokat dilakukan oleh Mauro Cippelleti, yang dikutip oleh Adnan Buyung Nasution yang
mengatakan bahwa: “Program bantuan hukum kepada si miskim telah dimulai sejak zaman
Romawi. Juga ternyata bahwa pada tiap zaman, arti dan tujuan pemberian bantuan hukum
kepada si miskin erat hubungannya dengan nilai-nilai moral, pandangan politik dan falsafah
hukum yang berlaku ”.
Pada tahun 1892 di kota Amsterdam dibentuk suatu biro bantuan hukum dari organisasi
Toynbee, yang bernama Ons Huis. Biro-biro tersebut juga dibentuk di kota Leiden dan Den Hag.
Biro tersebut memberikan konsultasi hukum dengan biaya yang sangat rendah. Pada tahun 1905
kota Keulen Jerman didirikan biro kunsultasi hukum yang pertama dengan nama Rechtsaus
Kunfsteble Fur Minderbemittleden dengan mendapat subsidi dari kotapraja. Di Amerika Serikat
juga dibentuk organisasi bantuan hukum swasta pada tahun 1876, yang bertujuan untuk
melindungi kepentingan-kepentingan imigran Jerman, yang bernama Deutsche Rechtsschutz
Verein.

5
Frans Hendra Winarta, Op. Cit., hlm 16-22
Pemberian advokat khususnya bagi rakyat kecil yang tidak mampu dan buta hukum
tampaknya merupakan hal yang dapat dikatakan relatif baru di negara berkembang, demikian
juga di Indonesia. Bantuan hukum sebagai legal institution (lembaga hukum) semula tidak
dikenal dalam sistem hukum tradisional, dan baru dikenal di Indonesia sejak masuknya atau
diberlakukannya sistem hukum barat di Indonesia. Menurut Ali Yusuf Amir bahwa bantuan
hukum merupakan pelayanan hukum yang bersifat cuma-cuma. Semua warga negara memiliki
aksesbilitas yang sama dalam memperoleh pelayanan hukum, baik didalam maupun di luar
Pengadilan.
Kemudian Bambang Sunggono dan Aries Harianto menjelaskan bahwa bantuan hukum
sebagai kegiatan pelayanan hukum secara Cuma-cuma kepada masyarakat miskin dan buta
hukum dalam dekade terakhir ini tampak menunjukkan perkembangan yang amat pesat di
Indonesia, apalagi sejak Pelita ke III pemerintah mencanangkan program bantuan hukum sebagai
jalur untuk meratakan jalan menuju pemerataan keadilan di bidang hukum.
Bantuan hukum baru dikenal setelah hadirnya para advokat Bumiputera pada tahun 1910
yang memperoleh gelar meester in de rechten dari Belanda. Awalnya, pemerintah kolonial tidak
mengizinkan pendirian sekolah tinggi hukum di Indonesia karena ada kekhawatiran apabila
Penduduk Hindia Belanda belajar hukum, mereka akan memahami demokrasi, hak asasi
manusia, serta negara hukum, dan pada akhirnya akan menuntut kemerdekaan. Orang Indonesia
yang ingin menempuh pendidikan hukum harus mempelajarinya di Belanda seperti di
Universitas Utrecht dan Universitas Leiden. Barulah pada tahun 1924, Belanda mendirikan
Reschtschoogeschool di Batavia yang kemudian dikenal sebagai Fakultas Hukum Universitas
Indonesia.
Tamatan sekolah hukum di Belanda, antara lain Mr. Sartono, Mr. Sastro Moeljono, Mr.
Besar Mertokoesoemo, dan Mr. Ali Sastroamidjoyo. Di antara mereka, Mr. Besar
Mertokoesoemo merupakan advokat pertama bangsa Indonesia yang membuka kantornya di
Tegal dan Semarang pada sekitar tahun 1923. Para advokat Bumiputera tersebut, baik yang
menyelesaikan studinya di negeri Belanda maupun di Batavia, merupakan penggerak
pelaksanaan bantuan hukum di Indonesia walaupun pada awalnya motivasi para advokat tersebut
adalah sebagai bagian dari pergerakan nasional Indonesia terhadap penjajah. Menurut
Abdurrahman, berdasarkan motif yang demikian, walaupun pemberian bantuan hukum ini
berkaitan dengan jasa advokat yang bersifat komersiil, karena ia bertujuan khusus untuk
membantu rakyat Indonesia yang pada umumnya tidak mampu memakai advokat-advokat
Belanda, hal ini sudah dapat dipandang sebagai titik awal dari program bantuan hukum bagi
mereka yang tidak mampu di Indonesia.6
Menurut ketentuan dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1970, untuk pertama kalinya
secara eksplisit diberikan jaminan mengenai hak atas bantuan hukum. Dalam satu bab khusus
tentang bantuan hukum, terdapat ketentuan-ketentuan bahwa setiap orang yang berperkara
berhak memperoleh bantuan hukum. Juga ada ketentuan bahwa seorang tersangka dalam perkara
pidana berhak menghubungi dan meminta bantuan penasihat hukum sejak saat dilakukan
penangkapan atau penahanan.7
Munculnya Lembaga-lembaga Bantuan Hukum di negara-negara berkembang pada
dekade terakhir sedikit banyak memberi gambaran mengenai pembangunan yang dilaksanakan
oleh negara-negara tersebut. Gambaran yang segera nampak bahwa hukum dalam batas tertentu
belum memihak kepada kepentingan rakyat dan situasi ini telah berkembang sedemikian rupa,
sehingga rakyat tidak mampu menjadi subjek hukum yang mempunyai hak dan kewajiban.
Karena stereotip hukum yang demikian di mana hukum belum memihak kepentingan rakyat,
maka selalu ada konflik antara pembuat hukum di satu pihak dengan lapisan masyarakat yang
menjadi korban pelaksanaan hukum di lain pihak. Ketegangan antara pembuat hukum dan
lapisan masyarakat yang menjadi korban pelaksanaan hukum itu telah melahirkan kelompok-
kelompok atau lembaga Bantuan Hukum.
Bantuan hukum di Indonesia pada zaman Belanda yang dilakukan oleh para sarjana
hukum maupun bukan sarjana hukum namun memiliki keahlian dibidang hukum (disebut
pengacara paktek atau pokrol). Sejalan dengan perkembangan bantuan hukum, berkembanglah
suatu ide untuk mendirikan semacam biro konsultasi hukum sebagaimana yang pernah didirikan
di sekolah tinggi hukum (Rechtshogeschool) Jakarta pada tahun 1940 oleh Prof. Zeylemaker,
seorang Guru Besar Hukum Dagang dan Hukum Acara Perdata, yang melakukan kegiatannya
berupa pemberian nasihat hukum kepada rakyat yang tidak mampu, di samping juga untuk
memajukan kegiatan klinik hukum. Diawali pada tahun 1954, didirikan Biro Tjandra Naya yang
dipimpin oleh Prof. Ting Swan Tiong yang mana pada waktu itu lebih mengutamakan konsultasi
hukum bagi orang-orang Cina. Selanjutnya, atas usulan Prof. Ting Swan Tiong yang disetujui
oleh Prof. Sujono Hadibroto (Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia) pada tanggal 2 mei
6
Abdurrahman, Op. cit., hlm. 43.
7
Abdurrahman, Op. cit., hlm. 48
1963 didirikan Biro Konsultasi Hukum di Universitas Indonesia dengan Prof. Ting Swan Tiong
sebagai ketuanya. Kemudian pada tahun 1968 biro ini berganti nama menjadi Lembaga
Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH). Kemudian pada tahun 1967, Biro Konsultasi Hukum
juga didirikan di Fakultas Hukum Universitas Padjajaran.
Bertepatan dengan Seminar Hukum Nasional 1 pada tanggal 14 maret tahun 1963 di
Jakarta tokoh- tokoh advokat mencetuskan beridirnya suatu organisasi sebagai wadah advokat
yang dikenal dengan nama Persatuan Advokat Indonesia (PAI) yang diketuai oleh Loekman
Wiriadinata, yang memiliki tugas menyelenggaran dan mempersiapkan kongres nasional para
advokat di Indonesia.
Selanjutnya pada tanggal 29 agustus 1964 diselenggarkan Kongres 1/Musyawarah
Advokat yang berlangsung di Hotel Danau Solo yang dihadiri oleh perwakilan-perwakilan
advokat se-Indonesia dan kemudian pada tanggal 30 agustus 1964 diresmikan berdirinya
Persatuan Advokat Indonesia (PERADIN).
Adnan Buyung Nasution, S. H. Dalam Kongres Peradin III tahun 1969 mengajukan ide
tentang perlunya pembentukan Lembaga Bantuan Hukum yang kemudian menjadi cikal bakal
berdirinya lembaga bantuan hukum di Indonesia. Kemudian ditindaklanjuti dengan berdirinya
LBH Jakarta yang pada akhirnya diikuti berdirinya LBH-LBH lainnya di seluruh Indonesia.
Tidak ketinggalan pula organisasi- organisasi politik, buruh, dan perguruan tinggi juga ikut pula
mendirikan LBH-LBH seperti, LBH Trisula, LBH MKGR, LBH Kosgoro, dan sebagainya.
Dari sinilah, kemudian lahir Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) pada
tanggal 26 oktober 1970 yang berfungsi untuk mengatur dan mengorganisir dan merupakan
naungan bagi para lembaga bantuan hukum. YLBHI menyusun garis-garis program yang akan
dilaksanakan oleh lembaga bantuan hukum di bawah satu koordinasi sehingga diharapkan
kegiatan-kegiatan bantuan hukum dapat diimplementasikan secara menyeluruh dan efektif di
bawah satu koordinasi.8
Pada awalnya, konsepsi bantuan hukum YLBHI mengacu pada konsepsi bantuan hukum
konvensional. Namun, dalam perkembangannya, LBH mulai mempertanyakan dan menelaah
mengapa muncul ketidakadilan dalam proses peradilan, jawabannya adalah karena adanya
struktur sosial yang timpang, baik secara ekonomi, sosial, dan akses memperoleh keadilan secara
komprehensif. Hal inilah yang melatarbelangi munculnya konsepsi bantuan hukum struktural. Di
8
Pradikta Andi Alvat, 2022, Bantuan Hukum Konsep dan Praktiknya Dalam Tata Hukum Indonesia, GUEPEDIA, Semarang, hlm
159-163.
masa orde baru, boleh dikatakan implementasi bantuan hukum struktural mengalami banyak
kendala karena faktor politis dan kekuasan penguasa.
Menurut Todung Mulya Lubis perkembangan konsep bantuan hukum di Indonesia dalam
5 periodesasi:
1. Tahap I (1948-1971) konsep bantuan hukum merupakan sintesa antara kedermawanan
dan tanggungjawab profesi.
2. Tahap II (1971-1974) konsep bantuan hukum dengan jalur pembelaan dan konsultasi.
3. Tahap III (1974-1976) konsep bantuan hukum yang menitikberatkan pada penanganan
perkara yang didukung oleh penyuluhan hukum.
4. Tahap IV (1976-1979) tanggungjawab sosial, dengan memadukan bantuan hukum dalam
jalur litigasi maupun non litigasi.
5. Tahap V (1979-sekarang) bantuan hukum struktural yang memadukan pelayanan sosial,
pemberdayaan sosial, penelitian, dan tujuan khusus (merubah struktur sosial).
Bantuan hukum dalam perspektif hukum positif Indonesia dimaknai sebagai jasa hukum
gratis kepada masyarakat miskin yang mana bantuan hukum tersebut harus diberikan secara
Cuma-Cuma tanpa dipungut biaya, bahkan advokat atau pemberi bantuan hukum yang meminta
uang kepada penerima bantuan hukum dapat diancam dengan pidana. Hal ini menandakan bahwa
negara di sini berkedudukan sebagai pengayom dan pelindung terhadap hak-hak masyarakat
miskin yang sedang berhadapan dengan proses hukum.
Meskipun hak untuk memperoleh bantuan hukum tidak disebutkan secara jelas di dalam
konstitusi, namun hak atas bantuan hukum bisa dihubungkan dengan hak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum. Jika hak atas memperoleh bantuan hukum tidak dapat dipenuhi maka hak-hak tersebut
juga mustahil untuk dapat diwujudkan.
Selepas era reformasi, lahirnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat
menjadi sebuah angin segar bagi dinamika praktikal bantuan hukum. Hal tersebut secara umum
memberikan landasan yuridis kepada advokat untuk memberikan bantuan hukum baik dalam arti
bantuan hukum legal assistance maupun legal aids guna mendukung terwujudnya sistem
peradilan yang berkeadilan.9

9
Pradikta Andi Alvat, Op. Cit., hlm. 164-166.
Kemudian, lahirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum
merupakan jawaban dari sejarah panjang perkembangan dan dinamika bantuan hukum dalam
paradigma hukum Indonesia, kini makna bantuan hukum secara yuridis telah memiliki makna
yang jelas dan jaminan pasti dalam undang-undang, sehingga lebih menjamin kepastian hukum
bagi pemenuhan hak-hak asasi masyarakat untuk mendapatkan akses terhadap keadilan dan
persamaan kedudukan di dalam hukum. Sebagaimana diamanatkan dalam UUD NRI 1945 Pasal
28 D ayat (1).10

10
Pasal 28 D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.

Anda mungkin juga menyukai