Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

SEJARAH ADVOKAT DI INDONESIA

Dosen Pengampu : Dr. Abdul Hamid, S.H., M.H.

Di Susun Oleh :

Gilang Bijak Kurniawan (19810010)

Sefrian Arya Pratama (19810131)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM KALIMANTAN

MUHAMMAD ARSYAD AL BANJARI

BANJARMASIN

2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Dalam prefektif sejarah, disadari bahwa perjalanan profesi advokat di
Indonesia tidak bisa lepas dari keterkaitannya dengan perubahan sosial. Para
advokat Indonesia terseret dalam arus perubahan tersebut. Pada masa pra
kemerdekaan dan saat ini setelah Indonesia merdeka, secara individu banyak
advokat terlibat dalam perjuangan kemerdekaan, terutama perjuangan politik dan
diplomasi. Kala itu, kaum intelektual dan pemimpin politik Indonesia memang
terbatas pada mereka yang berasal dari kalangan advokat, dokter, insinyur dan
pamong peraja. Mereka terdidik dalam alam romantisme liberal dan etika berpikir
Eropa Barat termasuk Belanda. Karena kedudukan yang cukup terhormat itu,
maka perannya cukup signifikan dalam menentukan sikap politik para pemimpin
Indonesia pada masanya, seperti ikut merumuskan dasar-dasar konstitusi
Indonesaia.
Di era kemerdekaan, pada masa pemerintahan Sukarno dimana politik
menjadi panglima, para advokat diam tidak bisa ikut melakukan revolusi. Dimasa
itu pula kita mencatat sejarah peradilan yang relatif bersih dan berwibawa.
Bahkan dimasa pemerintahan Suharto yang represif menggunakan
kekuatan militer, Persatuan Advokat Indonesai (peradin) dengan berani dan
terbuka membela secara probono para politikus komunis dan simpatisannya
yang diadili dengan tuduhan makar tehadap Negara Republik Indonesia,
dihadapan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub).
Dari sekilas sejarah (peran) para advokat tersebut, menunjukkan bahwa
sumbangan pemikiran para advokat berkualitas, yang menjadi pemimpin politik
dan sosial sejak 1923, adalah sangat besar. Pada masa itu, advokat Indonesia
pertama Mr. Besar Martokoesoemo, membuka kantor advokat ditegal, selain pak
Besar sendiri, ada Sartono, Alisastroamidjojo, Wilopa, Muh Roem, Ko Tjang
Sing, Muh Yamin, Iskaq Tjokrohadisuryo, lukman Wiradinata, Suardi Tasrif, Ani
Abbas Manoppo, Yap Thiam Hien, dan lain-lain dan generasi yang aktif sebelum
dan sesudah kemerdekaan sampai 1960-an dan beberapa diantaranya sampai
1980-an. Hanya saja, akibat ombang-ambing politik, sebagai profesi para
advokat Indonesia mengalami perubahan yang membingungkan. Kalau mereka
bisa aktif dalam politik pada zaman parlementer, dan dihormati oleh hakim dan
jaksa sebagai unsur biasa dalam sistem peradilan. Pada zaman Demokrasi
Terpinpin sebaliknya, Mereka mulai dijauhkan dari lembaga formal, diisolasi
sebagai unsur swasta, dan sering diperlakukan seperti musuh oleh hakim dan
jaksa.
Pada permulaan 1960-an korupsi peradilan mulai menonjol yang dimulai
dari kantor kejaksaan, dari situ kepengadilan dan pada akhirnya meluas pada
advokat yang sulit membela kliennya kecuali ikut main dalam sistem birokrasi
peradilan yang korup. Kondisi demikian, hingga pasca lahirnya undang-undang
No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat masih belum berubah. Pada hal Pasal 5
undang-undang No. 18 Tahun 2003, ayat (1) menyatakan bahwa Advokat
berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum
dan peraturan perundang-undangan. Artinya kedudukan advokat sama dengan
penegak hukum lainnya yaitu polisi, jaksa dan hakim atau yang disebut dengan
catur wangsa.
Sebagai organisasi profesi, advokat melalui pasal 28 undang-undang No.
18 Tahun 2003 tentang Advokat diamanatkan untuk membentuk wadah tunggal
organisasi advokat, yang kemudian lahir PERADI (Perhimpunan Advokat
Indonesia), namun dalam perkembangannya di internal organisasi advokat itu
sendiri (PERADI) malahan terjadi perpecahan, sehingga muncul lagi organisasi
advokat lain yaitu KAI (Kongres Advokat Indonesia). Hal itu tentunya sangat
memprihatinkan dan patut menjadi bahan perenungan yang mendalam,
meskipun ada adagium yang sudah diketahui secara luas “Tegakkan hukum
walaupun langit runtuh” nampaknya harapan itu sangat jauh dari kenyataan yang
dihadapi.
Untuk itu, tulisan ini mencoba memberikan kajian dari aspek historis
yuridis perkembangan advokat di Indonesia dari masa pra kemerdekaan
sampai lahirnya undang-undang No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat, dari
berbagai literatur serta analisa ringkas terhadap aspek-aspek yang terkait
dengan obyek kajian ini.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Kedudukan Advokat Pra Kemerdekaan


Jika ditilik sejarahnya, fungsi advokat sebenarnya tidak lahir secara
genuine dari kultur hukum masyarakat Indonesia. Fungsi ini baru muncul sejalan
dengan ditransplantasikannya sistem hukum dan peradilan formal oleh
pemerintah Hindia Belanda. Sistem peradilan Hindia Belanda terbagi dalam
empat jenis peradilan yang berlainan. Pertama, pengadilan pemerintah untuk
orang Eropa meliputi pengadilan tingkat pertama residentiegerecht yang menjadi
wewenang residen Belanda; pengadilan banding raad van justitie di ibukota dan
pengadilan tertinggi, hoogerechtshof. Kedua, pengadilan pemerintah untuk
orang bukan golongan eropa, pengadilan agama Islam, dan pengadilan adat.
Pengadilan pemerintah bagi orang Indonesia juga memiliki tiga tingkatan yakni
districtsgerecht, regentschapsgerecht, dan landraad. Landraad inilah yang
menjadi cikal bakal pengadilan negeri Indonesia. Pada tahun 1938, putusan
landraad dapat dibanding pada raad van justitie Sebagian besar hakim landraad
adalah orang Belanda, namun sejak 1920-an dan 1930-an beberapa orang ahli
hukum Indonesia berpendidikan hukum diangkat sebagai hakim. Pengadilan
Indonesia menggunakan KUH Pidana dengan hukum acara yang dikenal
Herziene Inlandse Reglement (HIR).
Pemerintah kolonial tidak mendorong orang-orang Indonesia untuk
bekerja sebagai advokat. Pada 1909 pemerintah kolonial mendirikan
Rechtsschool di Batavia dan membuka kesempatan pendidikan hukum bagi
orang pribumi hingga tahun 1922, namun kesempatan hanya dimanfaatkan
kaum priyayi. Pada tahun 1928, Rechtsschool meluluskan hampir 150 orang
rechtskundigen (sarjana hukum). Namun mereka ini hanya menjadi panitera,
jaksa dan hakim tidak sebagai notaris dan advokat. Hingga pada tahun 1940
terdapat hampir tiga ratus orang Indonesia asli menjadi ahli hukum sampai pada
pendudukan Jepang. Para advokat Indonesia angkatan pertama menetap di
Belanda sebagai advokat. Diantara empat puluh orang Indonesia yang meraih
gelar sarjana hukum di Leiden, tidak kurang dari enam belas orang menjadi
advokat sepulang ke Indonesia.
Salah seorang tokoh yang mendorong perkembangan advokat Indonesia
adalah Mr. Besar Martokusumo. Pada saat itu tidak satupun kantor advokat yang
besar kecuali kantor Mr. Besar di Tegal dan Semarang, dan kantor advokat Mr.
Iskak di Batavia. Bagi advokat Indonesia asli memulai praktik adalah langkah
yang sulit. Hal ini terjadi karena advokat Belanda mengganggap mereka sebagai
ancaman dalam persaingan. Sebenarnya transplantasi sistem peradilan Barat
tidak otomatis mengintrodusir fungsi advokat di dalamnya. Sebagai bukti,
pemerintah Hindia Belanda sengaja memberlakukan Herziene Indonesisch
Reglement (HIR) sebagai hukum acara bagi kalangan pribumi yang tidak
mengenal fungsi advokat, bukannya Reglement op de Strafvordering (SV) dan
Reglement op de Rechtsvordering (RV) yang memang dikhususkan buat
masyarakat Eropa di Hindia Belanda.
HIR (Herziene Indonesisch Reglement) dibentuk dengan cara pandang
yang "menggampangkan" permasalahan hukum masyarakat pribumi, karena itu
aturannya dibuat sangat sederhana. Semua proses beracara juga dipusatkan
pada kewenangan (diskresi) hakim. Sebab selain berwenang mengadili, hakim
dalam HIR juga diberi kewenangan menyusun surat dakwaan (bukan jaksa),
serta memberi nasehat hukum kepada terdakwa atau pihak-pihak yang
berperkara (bukan advokat atau ahli hukum lain yang kompeten). Hal ini
diperburuk oleh kualifikasi para pelaku peradilan di HIR yang tidak ditentukan
secara memadai. Hanya hakim yang disyaratkan harus memiliki keahlian hukum
tertentu, sementara fungsi jaksa cukup dilakukan oleh pejabat pamong praja,
dan nasehat hukum (jika bukan hakim yang melaksanakan) bisa diberikan oleh
siapa saja selama disetujui pihak berperkara.
Sebagai perbandingan, pemberlakuan SV dan RV didasarkan pada
penghargaan akan kultur hukum masyarakat Eropa yang sudah maju. Kedua
ketentuan hukum acara tersebut cukup gamblang menjabarkan prinsip-prinsip
peradilan yang baik. Hakim, jaksa, dan advokat harus berasal dari mereka yang
menyandang status sarjana hukum, serta masing-masing diberi fungsi yang jelas
untuk saling mengawasi dan saling mengimbangi.
Akibatnya profesi advokat berkembang maju di pengadilan-pengadilan
yang menyelesaikan sengketa hukum masyarakat Eropa (Raad van Justitie), dan
secara kontras mengalami kemandegan di pengadilan-pengadilan pribumi
(Landraad). Jika bagi advokat Eropa dibuat pengaturan lanjutan berupa
Reglement op de Rechterlijk Organisatie (RO) yang tujuannya mengintegrasikan
fungsi advokat sebagai unsur penting dari administrasi peradilan secara
keseluruhan, maka orang-orang pribumi yang memberikan nasehat hukum
(lazim disebut "pokrol bambu") diatur dengan ketentuan seperti Stbl. 1927-496.
Dasar Stbl. 1927-496 adalah pemikiran negatif tentang pokrol bambu dan
bertujuan melindungi masyarakat dari penipuan yang mungkin dilakukan pokrol
bambu.
Adapun pengaturan advokat dapat ditemukan diberbagai peraturan pada
masa pra kemerdekaan adalah sebagai berikut:
a. Staatblad Tahun 1847 Nomor 23 dan Staatblad Tahun 1848 Nomor 57
tentang Reglement op de rechtelijk organisatie en het beleid de justitie in
Indonesie atau dikenal dengan RO, pada Pasal 185 s/d 192 mengatur
tentang “advocaten en procureurs” yaitu penasehat hukum yang bergelar
sarjana hukum.
b. Staatblad Tahun 1847 Nomor 40 tentang Reglement op de
Rechtsvordering (RV), dalam peradilan khusus golongan Eropa (Raad van
Justitie) ditentukan bahwa para pihak harus diwakili oleh seorang advokat
atau procureur.
c. Penetapan Raja tanggal 4 Mei 1926 Nomor 251 jo. 486 tentang Peraturan
Cara Melakukan Menjalankan Hukuman Bersyarat, pada Bab I Bagian II
Pasal 3 ayat 3 ditentukan bahwa orang yang dihukum dan orang yang
wajib memberikan bantuan hukum kepadanya sebelum permulaan
pemeriksaan.
d. Staatblad Tahun 1926 nomor 487 tentang Pengawasan Orang yang
Memberikan Bantuan Hukum, ditentukan bahwa pengawasan terhadap
orang-orang yang memberikan bantuan hukum atau orang yang
dikuasakan untuk menunjuk lembaga dan orang yang boleh diperintah
memberi bantuan.
e. Staatblad Tahun 1927 Nomor 496 tentang Regeling van de bijstaan en
vertegenwoordiging van partijen in burgerlijke zaken voor de landraden,
mengatur tentang penasehat hukum yang disebut “zaakwaarnemers’ atau
pada masa tersebut dikenal dengan “pokrol”.
f. Staatblad Tahun 1941 Nomor 44 tentang Herziene Inlandsch Reglement
(HIR), dalam Pasal 83 h ayat 6 ditentukan bahwa jika seseorang dituduh
bersalah melakukan sesuatu kejahatan yang dapat dihukum dengan
hukuman mati, maka magistraat hendak menanyakan kepadanya,
maukah ia dibantu di pengadilan oleh seorang penasehat hukum. Dan
Pasal 254 menentukan bahwa dalam persidangan tiap-tiap orang yang
dituduh berhak dibantu oleh pembela untuk mempertahankan dirinya.
g. Staatblad Tahun 1944 Nomor 44 tentang Het Herziene Inlandsch
Reglement atau RIB (Reglemen Indonesia yang diperbaharui), menurut
Pasal 123 dimungkinkan kepada pihak yang berperkara untuk diwakili
oleh orang lain.

Berbagai ketentuan hukum diatas mendasari profesi advokat pada masa


pra kemerdekaan, meski masih mengutamakan advokat Belanda. Akan
tetapi berbagai pengaturan itu sedikitnya telah mendasari perkembangan
advokat Indonesia pada masa selanjutnya.

B. Kedudukan Advokat Pasca Kemerdekaan


Perkembangan pengaturan profesi advokat di Indonesia dilanjutkan pada
masa pendudukan Jepang. Pemerintah kolonial Jepang tidak melakukan
perubahan yang berarti mengenai profesi ini. Hal ini terbukti pada UU Nomor 1
Tahun 1946 tentang Pemberlakuan Wetboek van strafrecht voor Nederlands
Indie tetapi digunakan istilah KUH Pidana. UU ini memuat pengaturan tentang
kedudukan advokat dan procureur dan orang-orang yang memberikan bantuan
hukum. Pengaturan profesi advokat secara sporadis tersebar dalam berbagai
ketentuan perundang-undangan termasuk didalamnya ketentuan pada masa
kolonial Belanda. Bahkan pengaturan profesi advokat sejak proklamasi 17
Agustus 1945 justru kurang mendapat perhatian. Hal ini ditunjukkan dengan
tidak ditemukannya istilah advokat atau istilah lain yang sepadan dimasukkan
dalam UUD 1945.
Demikian pula pada UUD RIS 1949 yang digantikan dengan UUDS 1950.
Memang pada pasca-kemerdekaan satu-persatu undang-undang organik di
bidang peradilan dan kekuasaan kehakiman diberlakukan, lengkap dengan
fluktuasinya. Kadang menunjukkan pergerakan positif, kadang justru berbalik
arah sesuai tarik-ulur kepentingan politik pemerintah di dalamnya. Mulai dari UU
No. 1 tahun 1950 tentang Susunan dan Kekuasaan Jalannya Mahkamah Agung
Indonesia yang mengakui hak pemohon kasasi untuk mendapatkan bantuan
hukum, hingga UU No. 13 tahun 1965 tentang hal sama yang membenarkan
intervensi langsung Presiden sebagai pemimpin besar revolusi ke dalam
jalannya peradilan. Padahal satu tahun sebelumnya, baru diberlakukan UU No.
19 tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman,
yang mengintroduksi hak untuk mendapatkan bantuan hukum bagi masyarakat
walau dengan batasan-batasan tertentu. Namun yang jelas, materi pengaturan
tentang bantuan hukum yang berarti juga menyinggung fungsi advokat pada
perundang-undangan di atas, hanya dilekatkan secara simbolis, dan tidak
pernah diturunkan dalam ketentuan yang lebih operasional. Sehingga tidak keliru
jika dikatakan bahwa pada masa tersebut, tidak ada kebijakan yang pasti tentang
bantuan hukum, maupun tentang profesi advokat yang bertugas
menyediakannya.
Sementara akibat sengketa hukumnya seringkali harus diselesaikan
secara formal lewat mekanisme peradilan, sesungguhnya masyarakat mulai
merasakan kebutuhan akan fungsi advokat. Kebutuhan ini diindikasikan dengan
meluasnya peran pokrol bambu yang makin terasa akrab dan terjangkau oleh
masyarakat. Pada prakteknya pun, profesi advokat di Indonesia terus
berkembang. Di banyak kota besar mulai bermunculan kantor-kantor hukum
advokat profesional, menggantikan advokat-advokat Belanda yang semakin
berkurang jumlahnya menjelang dan sesudah pembebasan Irian Barat. Berbagai
organisasi yang menaungi para advokat (Balie van Advocaten) pun banyak
berdiri, termasuk Persatuan Advokat Indonesia (Peradin) yang didirikan pada
tahun 1963.
Guna mengisi kekosongan hukum saat itu, akibat tidak kunjung
diperjelasnya fungsi advokat dalam perundang-undangan di bidang peradilan
sementara praktek pemberian bantuan hukum secara empirik terus dijalankan,
pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Kehakiman RI No. 1 tahun 1965
tentang Pokrol sebagai acuan awal. Pengaturan ini kemudian diikuti oleh
berbagai peraturan Mahkamah Agung dan Pengadilan-pengadilan Tinggi di
bawahnya tentang pendaftaran advokat dan pengacara. Memasuki pengadilan
Tinggi di bawahnya tentang pendaftaran advokat dan pengacara. Memasuki
tahun 1970, sebenarnya ada sebuah titik terang bagi kejelasan fungsi iadvokat.
Lewat pemberlakuan UU No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman, pemerintah membuka lebih luas pintu bagi advokat
untuk memasuki sistem kekuasaan kehakiman. Selain menjamin hak setiap
orang yang berperkara untuk mendapatkan bantuan hukum, Pasal 38 UU
tersebut juga mengamanatkan diaturnya undang-undang tersendiri mengenai
bantuan hukum.
Amanat UU itulah yang menjadi dasar dimulainya perjuangan advokat
Indonesia untuk menggolkan undang-undang khusus yang mengatur profesinya.
Pada kongres (Peradin) yang kedua tahun 1969, Peradin Jawa Tengah mulai
memperkenalkan naskah RUU Profesi Advokat. Tetapi upaya para advokat di
Peradin tersebut tidak “sepenuhnya” berhasil. Dikatakan tidak sepenuhnya
berhasil karena, walau RUU Profesi Advokat yang muatannya mengusung isu
kemandirian dan kejelasan fungsi profesi tidak kunjung diakomodasikan oleh
pemerintah dan DPR, namun lewat pemberlakuan KUHAP (UU No. 8 tahun
1981), sebagian materi bantuan hukum diatur secara cukup komprehensif. Di
dalamnya dimuat antara lain: hak advokat (penasehat hukum) untuk
menghubungi tersangka sejak saat ditangkap atau ditahan pada semua tingkat
pemeriksaan; hak untuk menghubungi dan berbicara dengan tersangka pada
setiap tingkat pemeriksaan dan setiap waktu dalam rangka pembelaan perkara;
serta hak untuk mengirimkan dan menerima surat dari tersangka setiap kali
dikehendaki.
Sayangnya, tidak begitu lama advokat menikmati dampak positif dari
ketentuan KUHAP, khususnya di lingkungan peradilan pidana, beberapa
undang-undang yang diberlakukan kemudian ternyata memberi pukulan telak
bagi kemandirian advokat secara lembaga. UU No. 14 tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung misalnya, semakin menguatkan fungsi pembinaan dan
pengawasan terhadap advokat oleh Mahkamah Agung dan pemerintah.
Ditambah dengan UU No. 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan
yang menundukkan organisasi-organisasi advokat yang ada saat itu ke dalam
wilayah pembinaan pemerintah, sehingga setiap saat dapat dibekukan jika dinilai
oleh penguasa telah “melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan dan
ketertiban umum.” Akibatnya Peradin yang pernah menandai masa kejayaan
advokat di Indonesia terus dilemahkan, sampai akhirnya tenggelam sama sekali.
Prosedur pengawasan terhadap advokat sendiri kemudian dirinci dalam
UU No. 2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Bahkan materi pengaturannya
diperluas hingga ke tingkat penindakan dengan melibatkan para Ketua
Pengadilan Negeri yang melaksanakan pengawasan secara operasional. Materi
pengaturan inilah yang kemudian menimbulkan tidak sedikit benturan antara
advokat dengan hakim di lapangan. Salah satunya benturan antara advokat
Adnan Buyung Nasution dengan majelis hakim dalam perkara HR Dharsono.
Kejadian tersebut memicu lahirnya SKB Ketua Mahkamah Agung RI No.
KMA/005/SKB/VII/1987, No. M.03-PR.08.95 tahun 1987 tentang Tata Cara
Pengawasan, Penindakan, dan Pembelaan Diri Penasehat Hukum, yang secara
signifikan mereduksi kemandirian advokat dengan mensub-ordinatkan advokat
berikut organisasinya terhadap pengadilan dan pemerintah. Malah SKB tersebut
secara sepihak dijadikan salah satu pranata hukum bagi contempt of court di
Indonesia.
Berbagai peraturan perundang-undangan yang lahir berikutnya, relatif
tidak membawa perubahan penting bagi kebutuhan advokat. UU No. 5 tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, UU No. 7 tahun 1989 tentang
Peradilan Agama, UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, UU No. 31
tahun 1997 tentang Peradilan Militer, dan UU No. 4 tahun 1998 tentang
Kepailitan, kesemuanya secara sporadis menyinggung fungsi advokat. Berbeda
dengan UU No. 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal yang berkontribusi penting
dalam menguatkan pelembagaan profesi advokat di bidang non-litigasi.
Sehingga ironi dalam pembangunan hukum di Indonesia, tidak mengatur secara
khusus profesi advokat sebagaimana profesi hukum lainnya, padahal profesi ini
sebagai salah satu unsur penegak hukum. Akibatnya menimbulkan berbagai
keprihatinan dan kesimpangsiuran menyangkut profesi tersebut. Seirama
dengan merosotnya wibawa hukum (authority of law) dan supremasi hukum
(supremacy of law), maka profesi hukum ini juga terbawa arus kemerosotan.
Meskipun demikian secara implisit, terdapat beberapa ketentuan yang
mengisyaratkan pengakuan terhadap profesi ini, antara lain sebagai berikut :
a. UU Nomor 20 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan untuk Jawa dan
Madura, dalam Pasal 7 ayat 1 menyebutkan bahwa peminta atau wakil
dalam arti orang yang diberi kuasa untuk itu yaitu pembela atau
penasehat hukum.
b. UU Nomor 1 Tahun 1950 tentang Mahkamah Agung dalam Pasal 42
memberikan istilah pemberi bantuan hukum dengan kata PEMBELA.
c. UU Drt. Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan Sementara
Penyelenggaraan Kekuasaan dan Acara Pengadilan sipil, memuat
ketentuan tentang bantuan hukum bagi tersangka atapun terdakwa.
d. UU Nomor 19 Tahun 1964 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman yang
kemudian diganti dengan UU Nomor 14 Tahun 1970, menyatakan bahwa
setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan
hukum.
e. UU Nomor 13 Tahun 1965 tentang Mahkamah Agung, diganti dengan UU
Nomor 14 Tahun 1985, pada Pasal 54 bahwa penasehat hukum adalah
mereka yang melakukan kegiatan memberikan nasehat hukum yang
berhubungan suatu proses di muka pengadilan.
f. UU Nomor 1 Tahun 1981 tentang KUHAP, dalam Pasal 54 s/d 57 dan 69
s/d 74 mengatur hak-hak tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan
penasehat hukum dan tata cara penasehat hukum berhubungan dengan
tersangka dan terdakwa.
g. UU Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, mengakui keberadaan
penasehat hukum dalam memberi bantuan hukum kepada tersangka atau
terdakwa.
h. Surat Edaran dan Surat Keputusan Bersama Mahkamah Agung dan
Menteri Kehakiman, dan sebagainya.

Bahkan sebenarnya Pasal 38 UU Nomor 14 Tahun 1970, telah


mengisyaratkan perlunya pengaturan profesi advokat dalam UU tersendiri.
Namun hal itupun tidak menjadi perhatian pemerintah hingga akhirnya tuntutan
pengaturan tersebut semakin besar di kalangan organisasi advokat. Setelah 33
tahun, barulah perjuangan itu berhasil melalui UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang
Advokat.

C. Lahirnya Undang-undang Advokat (Undang-undang No.18 Tahun 2003)


Lahirnya undang-undang advokat, merupakan hasil perjuangan yang
panjang sejak dulu, selama ini advokat selalu menjadi “anak bawang” dalam
sistem hukum dan sistem peradilan. Hampir seluruh peraturan perundang-
undangan yang dibuat tentang peradilan tidak mengakui secara tegas fungsi
advokat di dalamnya. Bahkan sebagian produk perundang-undangan tersebut
justru mendatangkan intervensi eksternal atas advokat oleh pemerintah dan
birokrasi peradilan. Penghargaan terhadap fungsi advokat dalam undang-undang
mengenai peradilan biasanya baru datang bersamaan dengan diintrodusirnya
prinsip-prinsip peradilan yang baik, seperti ketika dibentuknya UU Kekuasaan
Kehakiman dan KUHAP (yang umumnya lebih kuat disebabkan oleh desakan
internasional). Namun karena diatur secara simbolis, maka permasalahan
tentang fungsi advokat tidak secara nyata diselesaikan, sebagaimana tidak
nyatanya penyelesaian masalah-masalah yang menghambat terciptanya fair trial.
Oleh sebab itulah upaya mempertegas pengakuan negara terhadap fungsi
advokat dalam sistem peradilan harus sejalan dengan upaya
mengakomodasikan sebesar-besarnya kepentingan publik dalam pelaksanaan
peradilan.
Memang secara garis besar, perjuangan advokat Indonesia untuk
menggolkan undang-undang tentang profesi advokat dilatari oleh faktor bahwa
advokat dalam prakteknya sering mendapatkan perlakuan tidak seimbang dari
unsur peradilan formal (hakim, jaksa, polisi, panitera) saat menjalankan
profesinya. Namun ternyata dalam perkembangannya, bukan itu faktor utama.
Ketidakjelasan fungsi, ketidakpastian kebijakan baik tentang rekrutmen,
pengawasan, sampai ke penindakan, belakangan malah menjadi tambang emas
bagi sebagian advokat. Sebab sekalipun SKB tahun 1987 (yang sering dijadikan
simbol intervensi pemerintah dan peradilan terhadap urusan profesi) secara
formal, pada realisasinya para hakim di pengadilan-pengadilan tidak cukup
waktu (sebagian barangkali "tidak cukup moral") untuk menegakkan ketentuan
SKB tersebut. Hasilnya, advokat dapat leluasa menjalankan praktek profesinya
dengan cara-cara tidak etis, bahkan kadang melanggar kaedah hukum, tanpa
pengawasan yang berarti. Agaknya faktor yang paling menentukan perjuangan
mendapatkan undang-undang Advokat, adalah polarisasi di kalangan advokat
yang semakin kuat. Konflik internal di tubuh organisasi advokat menyeruak silih
berganti, bersamaan dengan terus bermainnya kepentingan pemerintah untuk
melemahkan organisasi advokat. Sehingga komunitas profesi yang kuat yang
mampu meletakkan fungsi profesi dalam kerangka sistem peradilan tidak pernah
terwujud di Indonesia. Dan akhirnya mereka mulai mencari bantuan pihak luar
untuk ikut menyelesaikan persoalannya, dalam hal ini pilihan jatuh pada negara.
Berawal dari Kongres Peradin tahun 1969, perjuangan advokat untuk
mengupayakan undang-undang profesinya terangkat kembali ke permukaan
pada Kongres Peradin tahun 1973. RUU Pokok Advokat yang dibicarakan dalam
Kongres tersebut merupakan hasil godokan Peradin-Peradin di Jawa Tengah,
dengan membandingkan undang-undang sejenis yang ada di negara-negara lain
seperti India, Jepang, RRC, dan Muangthai, termasuk juga Belanda. Namun
upaya ini terhenti sejalan dengan melemahnya Peradin di tahun-tahun
berikutnya. Apalagi saat itu tidak sedikit pimpinan dan anggota Peradin yang
menolak usulan tersebut. Diwakili oleh Yap Thiam Hien, mereka percaya bahwa
keberadaan undang-undang advokat malah potensial semakin membahayakan
kemandirian advokat sendiri.
Setelah terbentuknya Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) pada tahun 1985,
upaya mengusung RUU Advokat kembali dilakukan. Namun kala itu political will
pemerintah tidak cukup memadai untuk membawa gagasan tersebut secara
resmi dalam proses legislasi. RUU Advokat bahkan sempat beberapa kali
berubah, baik nama maupun konsep pengaturannya. Hingga akhirnya pada
tahun 2000, satu klausul dalam Letter of Intent antara pemerintah RI dengan
International Monetary Fund (IMF) menyerukan perlunya diajukan RUU tentang
Profesi Advokat ke DPR-RI, agar seluruh advokat yang berpraktek di Pengadilan
disyaratkan untuk memiliki izin praktek, dan mentaati ketentuan kode etik profesi
yang seragam. Dalam rangka melaksanakan klausul tersebut, pemerintah
akhirnya membentuk tim perumus RUU tentang Profesi Advokat yang dipimpin
oleh HAS Natabaya (mantan Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional)
sebagai ketua dan Adnan Buyung Nasution sebagai wakil ketua, dengan
merangkul perwakilan dari beberapa organisasi advokat yang ada, seperti Ikadin,
Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI),
dan Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI). Tim tersebut berhasil
menyelesaikan tugasnya pada bulan September 2000, dengan mengajukan RUU
yang dibuat kepada pimpinan DPR RI melalui surat No. R.19/PU/9/2000.
Sebenarnya sampai saat ini pun belum pernah dicapai kesepakatan bulat dan
tuntas di antara para advokat mengenai perlu tidaknya profesi mereka diatur
dalam undang-undang tersendiri. Selalu terdapat dua pandangan yang saling
berseberangan. Pandangan pertama, sebagai pandangan mayoritas di kalangan
advokat, menyatakan bahwa undang-undang profesi advokat mutlak diperlukan
untuk menyetarakan status antara profesi advokat dengan unsur-unsur peradilan
lainnya (seperti polisi, jaksa, dan hakim). Tanpa status yang setara, advokat
akan terus menjadi "anak bawang" dalam proses peradilan, dan selalu
dipandang sama swastanya dengan klien yang diwakili. Akibatnya, advokat tidak
dapat menjalankan perannya secara optimal karena rentan terhadap tindak
diskriminasi, intervensi, dan represi baik dari polisi, jaksa, maupun hakim.
1. Kronologi Lahirnya Undang-undang Advokat (Undang-undang No.18
Tahun 2003)
Berikut ini kami sajikan kronologis perjalanan Undang-undang No.18/2003
tentang Advokat. Untuk mengetahui lebih jauh sikap masing-masing fraksi
mengenai pembahasan undang-undang ini saat dibahas pada September
2000, sebagai berikut:
28 September 2000, Presiden Abdurrahman Wahid, lewat surat bernomor
R.19/Pu/9/2000, menyampaikan RUU tentang Profesi Advokat ke DPR.
Isinya berjumlah 35 pasal;
28 Oktober 2000 , Pemerintah, lewat Menteri Kehakiman Moh. Machfud
MD, menyampaikan keterangan pemerintah atas RUU Profesi Advokat di
depan Rapat Paripurna DPR;
15 November 2000, Fraksi-fraksi yang ada di DPR menyampaikan
pemandangan umum terhadap usulan Pemerintah
21 November 2000, Jawaban Pemerintah atas Pemandangan Umum
Fraksi-Fraksi terhadap RUU Profesi Advokat. Saat itu Pemerintah sudah
diwakili Menteri Kehakiman baru Prof. Yusril Ihza Mahendra.
27 Februari 2001, Badan Musyawarah DPR menugaskan Komisi II untuk
membahas RUU tentang Profesi Advokat.
05 Februari 2002, Rapat Kerja Komisi II dengan Menteri Kehakiman dan
HAM membahas materi RUU secara umum.
25-26 Februari 2002, Panja memulai pembahasan Daftar Inventarisasi
Masalah (DIM).
27 Februari 2002, Panja mengundang organisasi advokat yang tergabung
dalam KKAI untuk membahas organisasi profesi dan kode etik advokat.
23 Mei 2002, Tujuh organisasi advokat (Ikadin, AAI, IPHI, HAPI, SPI,
AKHI, HKHPM) menetapkan Kode Etik dan ketentuan tentang Dewan
Kehormatan Profesi Advokat.
17 Februari 2003, Rapat Panja memutuskan untuk membentuk dan
menugaskan Tim Perumus dan Tim Sinkronisasi untuk merumuskan
substansi RUU Profesi Advokat yang sebelumnya sudah disepakati Panja.
Tim langsung dipimpin oleh Ketua Komisi II DPR Agustin Teras Narang.
20-21 Februari 2003, Pembahasan di Tim Perumus.
25 Februari 2003, Laporan Tim Sinkronisasi RUU Advokat dalam Rapat
Panja Komisi II DPR.
05 Maret 2003, Rapat kerja kembali dengan Menteri Kehakiman untuk
mendengarkan laporan Panja dan kemudian disempurnakan untuk dibawa
ke pembicaraan tingkat dua.
06 Maret 2003, Laporan Komisi II yang kemudian dilanjutkan pendapat
akhir Fraksi-fraksi. Pada hari yang sama Rapat Paripurna DPR menyetujui
RUU Profesi Advokat untuk disahkan menjadi Undang-Undang.
05 April 2003, RUU Profesi Advokat diundangkan Mensesneg ke dalam
Lembaran Negara, tanpa tanda tangan Presiden Megawati.

2. Uji Materil Undang-undang Advokat ke Mahkamah Konstitusi


Menurut Ketua Mahkama Konstitusi saat itu, Prof. Dr. Jimly
Asshiddiqie SH, dapat disimpulkan bahwa undang-undang Advokat
bermasalah, baik itu dari segi isi maupun proses pembentukannya
(hukumonline.com, 1/12/06). Meski sejauh ini hanya satu permohonan
pengujian undang-undang Advokat yang dikabulkan Mahkamah
Konstitusi. Pada 2006 silam, ada tiga permohonan pengujian undang-
undang Advokat ke Mahkamah Konstitusi, sedang sisanya di tahun 2004
dan 2003. Satu-satunya permohonan judicial review undang-undang
Advokat yang dikabulkan Mahkamah Konstitusi pada 9 Desember 2004
adalah yang diajukan oleh Tongat dkk yang berakhir dengan Pasal 31
dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (No.
006/PUU-II/2004).
Putusan ini tergolong berat bagi profesi advokat karena Pasal 31
adalah satu-satunya ketentuan pidana dalam undang-undang Advokat
yang diharapkan dapat melindungi publik dari praktik advokat gadungan.
Meski pada akhirnya Mahkamah Konstitusi menolak permohonan-
permohonan tersebut di atas, namun Mahkamah Konstitusi membuat
sejumlah pendapat yang penting dalam sebagian putusan atas perkara-
perkara tersebut. Dalam perkara Sudjono cs misalnya, Mahkamah
Konstitusi menyatakan kedelapan organisasi pendiri PERADI tetap eksis
namun kewenangannya sebagai organisasi profesi advokat, yaitu dalam
hal kewenangan membuat kode etik, menguji, mengawasi, dan
memberhentikan Advokat, secara resmi kewenangan tersebut telah
menjadi kewenangan PERADI.
Mahkamah Konstitusi juga menyatakan bahwa kedelapan
Organisasi Advokat pendiri PERADI tetap memiliki kewenangan selain
kewenangan yang telah menjadi kewenangan PERADI, sehingga tidak
dapat dikatakan bahwa Pasal 28 Ayat (1) UU Advokat meniadakan
eksistensi kedelapan organisasi, yang karenanya melanggar prinsip
kebebasan berserikat dan berkumpul sebagaimana diatur UUD 1945.
Dalam putusan perkara No.014/PUU-IV/2006 itu, secara tegas
menyatakan PERADI sebagai satu-satunya wadah profesi Advokat pada
dasarnya adalah organ negara dalam arti luas yang bersifat mandiri yang
juga melaksanakan fungsi negara. Fungsi negara yang dimaksud oleh
Mahkamah Konstitusi , dengan merujuk pada putusan atas perkara No.
006/PUU-II/2004, adalah kewajiban para advokat pada umumnya untuk
memberikan akses pada keadilan bagi semua orang.
“…akses pada keadilan adalah bagian tak terpisahkan dari ciri lain
negara hukum yaitu bahwa hukum harus transparan dan dapat diakses
oleh semua orang (accessible to all), sebagaimana diakui dalam
perkembangan pemikiran kontemporer tentang negara hukum. Jika
seorang warga negara karena alasan finansial tidak memiliki akses
demikian maka adalah kewajiban negara, dan sesungguhnya juga
kewajiban para advokat untuk memfasilitasinya, bukan justru menutupnya
(vide Barry M. Hager, The Rule of Law, 2000, hal. 33).” Demikian bunyi
pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam perkara No. 006/PUU-
II/2004.
Maraknya judicial review yang mendera undang-undang Advokat
tidak sepenuhnya mencerminkan seluruh kritik yang ada terhadap
undang-undang Advokat. Advokat secara umum memiliki kritik tersendiri
terhadap isi undang-undang Advokat maupun pelaksanaannya. Dalam
berbagai kesempatan misalnya, PERADI kerap mengeluhkan belum
adanya pengakuan yang tulus akan status advokat sebagai penegak
hukum dari unsur penegak hukum lain. Peran advokat hingga kini
cenderung masih dianggap berada di luar sistem penegakan hukum.

D. Wadah Tunggal Advokat di Indonesia


Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menentukan secara tegas bahwa negara Indonesia adalah negara hukum.
Prinsip negara hukum menuntut antara lain adanya jaminan
kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality before the
law). Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar juga menentukan bahwa
setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum.Dalam usaha mewujudkan prinsip-prinsip Negara hukum dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara, peran dan fungsi Advokat
sebagai profesi yang bebas, mandiri dan bertanggung jawab merupakan
hal yang penting, di samping lembaga peradilan dan instansi penegak
hukum seperti kepolisian dan kejaksaan. Melalui jasa hukum yang
diberikan, Advokat menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan
berdasarkan hukum untuk kepentingan masyarakat pencari keadilan,
termasuk usaha memberdayakan masyarakat dalam menyadari hak-hak
fundamental mereka di depan hukum. Advokat sebagai salah satu unsur
sistem peradilan merupakan salah satu pilar dalam menegakkan
supremasi hukum dan hak asasi manusia.
Sebagai organisasi profesi, advokat melalui pasal 28 undang-
undang No. 18 Tahun 2003 diamanatkan untuk membentuk wadah
tunggal organisasi advokat, yang kemudian lahir PERADI (Perhimpunan
Advokat Indonesia). Namun dalam perkembangannya di internal
organisasi advokat itu sendiri (PERADI) malahan terjadi perpecahan,
sehingga muncul lagi organisasi advokat yaitu KAI (Kongres Advokat
Indonesia). Hal itu tentunya sangat memprihatinkan dan patut menjadi
bahan perenungan yang mendalam. Sebenarnya pada dua dasawarsa
1980 hingga 1990, justru sudah timbul berbagai macam pergeseran di
kalangan intern organisasi advokat. Fenomena yang dapat diajukan
adalah munculnya asosiasi pengacara baru sesudah era PERADIN
antara lain IKADIN Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat
Indonesia ( AAI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI) ,Ikatan Penasehat
Hukum Indonesia (IPHI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI),
Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM), Himpunan Advokat
dan Pengacara Indonesia (HAPI) dan Asosiasi Pengacara Syariah
Indonesia (APSI). Dalam putusan Mahkamah Konstitusi perkara
No.014/PUU-IV/2006 itu, secara tegas menyatakan PERADI sebagai
satu-satunya wadah profesi Advokat pada dasarnya adalah organ negara
dalam arti luas yang bersifat mandiri yang juga melaksanakan fungsi
negara. Fungsi negara yang dimaksud oleh MK, dengan merujuk pada
putusan atas perkara No. 006/PUU-II/2004, adalah kewajiban para
advokat pada umumnya untuk memberikan akses pada keadilan bagi
semua orang.
MK juga menyatakan bahwa kedelapan Organisasi Advokat pendiri
PERADI tetap memiliki kewenangan selain kewenangan yang telah
menjadi kewenangan PERADI, sehingga tidak dapat dikatakan bahwa
Pasal 28 Ayat (1) UU Advokat meniadakan eksistensi kedelapan
organisasi, yang karenanya melanggar prinsip kebebasan berserikat dan
berkumpul sebagaimana diatur UUD 1945.
Namun dalam perjalanannya organisasi advokat PERADI terpecah
oleh karena adanya ketidak puasan dari anggota PERADI itu sendiri yang
menganggap pendirian organisasi advokat Peradi sebagai wadah tunggal
organisasi advokat sebagaimana yang diamanatkan oleh undang-undang
Advokat tidak demokratis sehingga muncul gagasan untuk membentuk
organsasi advokat yang baru yang lebih demokratis yaitu KAI (Kongres
Advokat Indonesia), setelah sempat diwarnai beberapa interupsi, advokat
senior Adnan Buyung Nasution akhirnya menengahi dengan
memunculkan nama KAI (Kongres Advokat Indonesia).
Akhirnya muncul perseteruan diantara kedua organsasi advokat
tersebut. Reaksi PERADI menilai KAI merupakan upaya beberapa
advokat yang ingin menciderai, menentang dan atau menolak eksistensi
PERADI. Padahal, masih menurut iklan itu, para advokat yang dimaksud
adalah anggota PERADI. Sebagian diantaranya bahkan menjadi bidan
lahirnya PERADI dan sekarang duduk di kepengurusan. PERADI
mengklaim KAI tidak sah karena bertentangan dengan UU No. 18 Tahun
2003 tentang Advokat. KAI dinilai akan merugikan dan menafikan
eksistensi sekitar 19.000 advokat yang terdaftar sebagai anggota
PERADI. Soal keabsahan, PERADI menegaskan merekalah organisasi
profesi advokat yang diamanatkan UU Advokat. Pendiriannya pun sudah
sesuai mekanisme, delapan organisasi yang disebut UU Advokat
bersepakat mendirikan PERADI.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dari sekilas uraian sejarah para advokat tersebut di atas, ada beberapa hal yang
perlu dicatat yaitu sebagai berikut:

Pertama, pada awalnya secara perorangan para advokat pernah menjadi bagian
yang sangat penting dalam pembentukan negara ini, baik pembentukan institusi,
politik hukum, maupun etika profesi para penegak hukum;

Kedua, dalam keterbatasan represi, para advokat secara perorangan organisasi


masih mampu berperan di dalam gerakan penegakkan hak asasi manusia di
Indonesia;

Ketiga, pada masa jatuhnya Orde Baru sampai sekarang ini, para advokat
sebagai individu maupun organisasi menjadi sangat dilemahkan, hingga tidak
mampu menolong dirinya sendiri untuk berperan dalam menentukan politik
hukum dan reformasi hukum (termasuk institusi hukum), penegakkan hukum dan
keadilan, hak asasi manusia, serta pemberantasan korupsi, yang menjadi
agenda utama reformasi. Bahkan, ada beberapa memperlihatkan indikasi yang
jelas tentang keterlibatannya dalam praktek-praktek koruptif di badan peradilan;

Keempat, walaupun pada mulanya kedudukan advokat dipinggirkan baik oleh


pemerintah penjajahan maupan pemerintahan Indonesia setelah merdeka,
namun dalam perkembangannya karena peranan advokat sangat penting dan
dibutuhkan oleh masyarakat pencari keadilan maka diberbagai perundang-
undangan diatur tentang kedudukan advokat, puncaknya pengaturan advokat
diatur khusus dalam undang-undang yaitu undang-undang no 18 tahun 2003
tentang advokat. Namun sayangnya pasca lahirnya undang-undang no 18 tahun
2003 tentang advokat, terjadi perpecahan di internal organisasi advokat itu
sendiri yaitu PERADI dan KAI yang masing-masing mengklaim sebagai wadah
tunggal organisasi advokat, hal itu sangat disayangkan karena advokat dianggap
tidak dapat melaksanakan amanah sebagaimana ketentuan pasal 28 undang-
undang no.18 tahun 2003 tentang advokat, dan pada akhirnya akan merugikan
bagi kalangan profesi advokat itu sendiri dan juga masyarakat pada umumnya.

B. SARAN

Saran kami, agar tugas makalah yang membahas tentang Sejarah Hukum
Indonesia ini dapat diapahami dan dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh
pembaca. Sehingga pembaca dapat mengerti apa saja yang terkandung dalam
peristiwa – peristiwa yang terjadi pada sejarah hukum di Indonesia baik di fase
prakolonial hingga pada fase kemedekaan.
DAFTAR PUSTAKA

Najih, Muhammad dan Soimin, Pengantar Hukum Indonesia, Malang : Setara


Press,2012

Djamali , Abdoel, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta : PT. Raja Grafindo


Persada,1996

Samidjo, Pengantar Hukum Indonesia, Bandung: CV. Armico, 1993

Kansil, C.S.T, Latihan Ujian Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 1999

Kansil, C.S.T, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta : Balai
Pustaka, 1989

Anda mungkin juga menyukai