Anda di halaman 1dari 20

NAMA : IRMALIA UTAMI

NIM : 2110211120044

KELAS :D

MATA KULIAH : HUKUM ANTAR TATA HUKUM

BAHAN MATERI

A. Arti Penting HATAH Dalam Sistem Hukum Indonesia

Pohon ilmiah (science tree) hukum maupun pembidangan tata hukum Indonesia tidak secara konsisten mencantumkan
HATAH sebagai salah satu cabang ilmu hukum. Namun dalam sejarahnya HATAH adalah salah satu mata kuliah ter- tua
yang sudah diajarkan sejak pendidikan tinggi hukum diselenggarakan di Nusantara. Di masa Hindia Belanda, HATAH
mempunyai dua nama – Intergentiel Recht (Hukum Antargolongan) dan Internationaal Privaatrecht (Hukum Perdata In-
ternasional). Ketika Rechtshoogeschool (Sekolah Tinggi Hukum) beroperasi pada tahun 1924, ke- duanya menjadi mata
kuliah wajib. Yang bertanggung jawab akan adanya mata kuliah Intergentiel Recht adalah R. D. Kollewijn.
Dalam persiapan pembukaan Rechtshoogeschool, Kollewijn mengusulkan kepada Paul Scholten, yang mendapatkan tugas
khusus dari Menteri Wilayah Jajahan, agar Sekolah Tinggi Hukum di Hindia Belanda (baca: Indonesia) mempunyai mata
kuliah intergentiel recht.

Meski Cornelis van Vollenhoven sudah menggunakan istilah tersebut dalam disertasi dan pidato pengukuhan guru
besarnya, sebagai mata kuliah nama intergentiel recht masihlah asing bagi Scholten. Sebabnya, dalam mimbar mata kuliah
di universitas-universitas Eropa tidak ada mata kuliah Intergentiel Recht. Namun Kollewijn berhasil menyakinkan
mantan gurunya tersebut. Beliau pun dipercaya untuk menjadi guru besar untuk Intergentiel Recht, Internationaal
Privaatrecht, dan Inleiding tot de Rechtswetenschap (Pengantar Ilmu Hukum). Setelah Kollewijn terpaksa pulang ke
Belanda karena alasan kesehatan, J. H. A. Logemann menggantikannya sebagai guru besar secara ad interim untuk
Intergentiel Recht dan Internationaal Privaatrecht (1932-1936). Selanjutnya kursi tersebut secara berturut-turut diduduki
oleh W. F. Wertheim (1936-1942), W. L. G. Lemaire (1946-1950), dan G. J. Resink (1950-1958). Sudargo Gautama (terlahir
Gouw Giok Siong) menggantikan Resink pada tahun 1958, dan terus memegang jabatan guru besar sampai lima dekade
kemudian.

Meskipun Kollewijn sudah memaparkan secara ilmiah intergentiel recht (baca: HATAH Intern) sebagai suatu
cabang ilmu hukum,17 pengakuan dari dunia praktik baru terjadi kemudian. Hakim Landraad Malang dengan cermat
melihat permasalahan hukum antargolongan perkara utang-piutang antara kreditur dan debitur yang tunduk pada
hukum yang berbeda.19 Tepatlah kiranya sorakan yang dikumandangkan oleh Wertheim ketika memberikan anotasi
atas komentar tersebut, “Van Malang begint de victorie!” Dari Malang mulailah kemenangan! Semenjak itu,
pengadilan-pengadilan di Hindia Belanda, dan kemudian Indonesia, mengakui pluralisme hukum yang ada dalam
mengadili perkara.
HATAH, baik intern maupun ekstern, kemudian mendapatkan pembahasan khusus dalam ilmu hukum di
Indonesia.Mengingat pluralisme yang ada, ahli hukum asing menghadapi kesulitan untuk memasukkan hukum Indonesia
ke dalam keluarga hukum (legal family) yang ada, dan terpaksa melakukan simplifikasi. Pluralisme hukum di Indonesia
berakar pada pluralisme penduduk sejak masa lalu, yang ke- mudian dilembagakan secara formal oleh pen- gaturan
hukum di masa penjajahan yang demiki an kompleks.
Sejak abad XVIII William Marsden telah menunjukkan keragaman hukum di Su- matera. Kemudian, van
Vollenhoven, dengan menggunakan bahasa sebagai dasar penge- lompokkan, membagi Nusantara ke dalam 19 lingkungan
hukum adat (adat rechtskringen). Ia menentang upaya unifikasi hukum yang diusung oleh para sarjana yang dikenal
sebagai Mazhab Utrecht, dan mengadvokasi pluralisme hukum. Kollewijn kemudian mengadvokasi kesetaraan antarsistem
hukum – Barat dan adat – sebagai dasar dari pluralisme hukum Indonesia. Secara sederhana penduduk Nusantara terbagi
menjadi warganegara Belanda, kaulanegara Belanda, dan orang asing. Selain itu penduduk digolongkan menurut
pembedaan pokok: Belanda dan pribumi. Mereka yang bukan Belanda atau pribumi (inlanders) akan dipersamakan
sebagai salah satu dari kedua golongan tersebut.

Sumber utama dari pluralisme hukum di Indonesia adalah dua pasal dari Wet op de Staatsinrichting van
Nederlandsch-Indië (Peraturan Ketatanegaraan Indonesia di Zaman Pemerintahan Belanda, IS). Pasal 131:1 IS
mengatur tentang hukum perdata dan dagang berlaku bagi seluruh golongan rakyat (bevolkingsgroep), beberapa
golongan rakyat, atau sebagian dari golongan rakyat.32 Kecuali ada kebutuhan hukum khusus, bagi golongan Eropa
(Europeanen) berlaku hukum yang ada di Belanda. Hal ini dikenal sebagai asas konkordansi
(concordantiebeginsel). Untuk golongan Indonesia dan golongan Timur Asing (Vreemde Oosterlingen) dapat berlaku
hukum yang sama dengan golongan Eropa.Namun hukum yang utama bagi mereka adalah hukum adat. Pengaturan
yang demikian didasarkan pada asas penghormatan hukum adat. Kedua golongan ini dapat juga menundukkan diri
kepada hukum yang berlaku bagi golongan Eropa.

Siapa sajakah yang masuk ke dalam golongan- golongan rakyat yang ada? Berdasarkan dikotomi awal di atas, orang-
orang Arab, Moor, Tionghoa, dan pemeluk agama Islam lainnya dipersamakan dengan pribumi. Kemudian Pemerintah
Kolonial melakukan pemekaran. Golongan Timur Asing diadakan untuk memisahkan penduduk Tionghoa dari golongan
pribumi. Lebih lanjut, semua penduduk yang “asing” dipindahkan ke golongan Timur Asing. Sebagai akibatnya, ada
dua golongan Timur Asing yang tunduk pada hukum Eropa: Tionghoa (Chinezen Vreemde Osterlingen) dan non-
Tionghoa (Vreemde Oosterlingen niet- Chinezen).Namun perlu dicatat, berlakunya hukum Eropa telah terjadi secara
bertahap sebelum “golongan Timur Asing” menjadi suatu golongan rakyat terpisah.
Pasal 163 IS mengatur tentang golongan rakyat. Yang termasuk ke dalam golongan Eropa adalah (1) semua orang
Belanda, (2) semua orang Eropa, (3) semua orang Jepang dan mereka yang berasal dari negara yang hukum keluarga
sama dengan Belanda, dan (4) anak- anak yang sah atau yang diakui sah berdasarkan peraturan perundang-undangan dari
orang- orang yang termasuk dalam (1)-(3). Golongan Indonesia adalah orang Indonesia asli, yang belum masuk ke dalam
golongan lain atau tunduk pada ordonansi tertentu. Sementara golongan Timur Asing adalah mereka yang tidak
termasuk ke dalam golongan Eropa dan Indonesia.
Pluralisme hukum ini tidak hanya terbatas pada hukum perdata, namun juga hukum dagang serta bentuk badan
hukum. Untuk golongan Eropa dan Timur Aing, karena tunduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang, bentuk badan hukum yang tersedia adalah naamloze venootschap (NV, persekutuan
tanpa nama, yang kemudian diterjemahkan menjadi perseroan terbatas). Sedangkan Indonesische Maatschappij op
Aandeelen (IMA, maskapai andil Indonesia) adalah badan hukum yang hanya dapat didirikan oleh orang-orang yang
termasuk dalam golongan Indonesia.
Kemerdekaan Indonesia tidak mengakhiri pluralisme hukum ini. Aturan Peralihan dalam Undang-Undang Dasar,
yang berfungsi untuk menghindari kekosongan hukum, memastikan kesinambungan status quo.Meskipun pasca-
Proklamasi penduduk Indonesia digolongkan sebagai warga negara dan orang asing, hukum yang berlaku bagi pribadi
kodrati tetap bersifat plural. Dalam Lie Kwie Hien v. Tjin Tjheuw Jie, Hakim Lie Oen Hock memperhatikan aturan
peralihan dan menjatuhkan putusan setelah terlebih dahulu mempertimbangkan Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, hukum Islam, dan hukum nasional dari penggugat yang berkewarganegaraan Republik Rakyat Cina. Instruksi
Presidium Kabinet No. 31/U/ IN/12/1966, yang menginstruksikan Kantor Catatan Sipil untuk membuka pendaftaran
untuk semua penduduk tanpa mengindahkan golongan rakyat, tidak menghapuskan golongan rakyat dari zaman
kolonial. Menurut penulis, golongan rakyat, yang merupakan struktur sosial kolonialisme, demi hukum berakhir oleh
Proklamasi. Setelah itu, golongan rakyat berubah menjadi golongan hukum (groepsrecht), sehingga pluralisme tetap
berlangsung dan terhindarilah kekosongan hukum.

Sejak awal Kemerdekaan pembentukan hukum nasional sudah menyita perhatian banyak sarjana hukum. Tidak
kurang dari adisarjana Supomo, Notaris Mr. Suwandi, Hakim Agung Sutan Kali Malikul Adil,advokat- cum-yuris
Sudargo Gautama,Ko Tjay Sing, sampai Oey Pek Hong mencurahkan pikiran mereka untuk pembaharuan hukum
nasional. Analisis mereka semua berangkat dari titik yang sama: perlunya pembaharuan (sistem) hukum nasional
Indonesia. Namun upaya ini belum kunjung membuahkan hasil yang diharapkan. Tiadanya model rujukan yang dapat
disetujui bersama oleh para sarjana merupakan kendala abadi bagi pembentukan hukum nasional.

Awalnya wacana pembentukan hukum nasional berkutat pada dua jenis perdebatan yang saling
bersinggungan.Pertama adalah perdebatan antara unifikasi dan harmonisasi hukum. Jalan tengah dari perdebatan ini
adalah pendikotomian isu hukum. Harmonisasi hukum adalah pendekatan yang ditempuh isu hukum sensitif, terutama
terkait dengan hukum keluarga. Unifikasi hukum adalah pendekatan untuk isu hukum netral, seperti hukum perjanjian
dan dagang. Perdebatan kedua adalah hukum apakah yang akan menjadi dasar hukum nasional. Puak hukum adat
berpendapat bahwa hukum nasional haruslah berakar, berangkat dan diangkat dari hukum rakyat yang ada, yakni hukum
adat. Mereka yang oposan berpendapat bahwa hukum adat tidak saja menghambat upaya unifikasi hukum, tapi juga
perkembangan bangsa Indonesia. Terlepas dari pendapat oposan ini, dalam perjalanannya ketentuan-ketentuan hukum
adat tetap diperhatikan dalam upaya pembentukan hukum perjanjian nasional.

Melihat realita tersebut, Gautama dengan lantang menyatakan arah perkembangan hukum Indonesia tetap akan
berpijak pada pluralisme hukum.Seiring dengan gencarnya Indonesia menarik modal asing, Gautama kemudian
memprediksi perkembangan HATAH Ekstern (Hukum Perdata Internasional) akan lebih dominan ketimbang HATAH
Intern.Sunaryati Hartono juga melihat tren yang sama dalam perkembangan hukum nasional, namun berpijak pada
hukum antaradat.Meski kemudian beliau berubah pikiran, pandangannya tentang pluralisme hukum tidak berubah.

Terbukanya Indonesia untuk modal asing pasca terbitnya Undang-Undang Penanaman Modal Asing berdampak
besar pada perkembangan hukum nasional. Para investor asing berpendapat bahwa hukum Indonesia tidak kompatibel
perkembangan kebutuhan kegiatan ekonomi.Hal ini kemudian mendorong serangkaian reformasi hukum untuk menjawab
kebutuhan investor asing.Rangkaian ini diawali dengan Survey of Indonesian Economic Law pada awal dekade 1970-an
yang dilakukan oleh Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran.Dua puluh tahun kemudian usaha mereformasi hukum
Indonesia terus berlanjut antara lain lewat Economic Law and Improved Procurement System (ELIPS) Project yang
dilakukan oleh Fakultas Hukum Universitas Indonesia.Salah satu hasil dari ELIPS Project adalah Undang- Undang
Perseroan Terbatas (1995). Tekanan untuk terus mereformasi hukum nasional bertambah setelah Indonesia meratifikasi
Persetujuan Pendirian Organisasi Perdagangan Dunia.

Sebelum Krisis Moneter melanda, dibantu oleh Bank Dunia Badan Perancang Pembangunan Nasional telah
mengadakan Diagnostic Assessment of Legal Development in Indonesia untuk menyesuaikan lebih lanjut hukum
nasional dengan pembangunan ekonomi. Perkembangan di atas menunjukkan kebenaran prediksi Gautama tentang
dominannyaHATAHEksterndalampembangunan hukum nasional. Ironisnya, perkembangan tersebut tidak dipayungi
oleh undang-undang tentang hukum perdata internasional. Upaya untuk menyusun Rancangan Undang-Undang Hukum
Perdata Internasional telah dirintis sejak awal 1980-an dengan Gautama sebagai ketua. Rancangan Undang-Undang
tersebut telah direvisi seperlunya pada tahun 1997/1998.Namun Rancangan Undang-Undang tersebut tidak kunjung
mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Upaya terakhir terjadi pada tahun 2015, ketika Badan Pembinaan
Hukum Nasional kembali menyiapkan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Hukum Perdata Internasional.
Namun hingga saat ini, Indonesia tidak kunjung mempunyai suatu Undang-Undang Hukum Perdata Internasional.
Di sisi lain, kita menyaksikan bahwa HATAH Intern mengalami perkembangan signifikan pasca-Reformasi.
Di ujung Timur Nusantara, peran pengadilan adat mendapatkan pengakuan negara dalam penyelesaian sengketa.
Sementara itu, di ujung Barat, menyimpangi ketentuan prinsip nasionalitas, hukum yang berlaku bagi seorang
Muslim yang berada di Aceh adalah hukum Islam.Meski lebih dari empat dekade yang lalu Undang-Undang
Perkawinan berhasil menyatukan pengaturan dalam satu kitab, namun peraturan tentang perkawinan tetap bersifat
plural.

Bila pluralisme hukum tentang pribadi kodrati terus berlangsung, hukum yang berlaku untuk badan hukum
mengalami unifikasi. Penyederhanaan, pertama-tama, terjadi karena pada praktiknya WNI yang berasal dari golongan
hukum non-Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memilih untuk menundukkan diri dengan mendirikan NV (baca:
PT). Tidak jelas apa yang menjadi alasan pemilihan NV ketimbang IMA.Secara hukum, keberlakuan Undang-Undang
Perseroan Terbatas (1995) mengakhiri dualisme bentuk badan hukum. Berdasarkan sejarah dan perkembangan hukum
nasional yang ada, maka dapatlah ditarik kesimpulan bahwa pluralisme hukum merupakan conditio sine qua non bagi
bangsa Indonesia. Dengan demikian, benarlah pendapat Sunaryati Hartono yang mengidentifikasi bhineka tunggal ikal
sebagai asas hukum bagi pembangunan hukum nasional.

Hukum Antar Tata Hukum memiliki banyak istilah yang berbeda, yang memiliki makna dan tujuan yang sama,
antara lain bahasa Belanda Conflictenrecht, Intergentielrecht, Interrechtsordenrecht. dalam Bahasa Inggris Conflict of
Law, Pri1ate International Law, International Pri1ate Law, /arginal Law, dan Interlegal Law. Dalam bahasa Prancis
Conflicts des Lois dan Conflicts des Statuts. Dalam bahasa Jerman CrenDrecht. Sedangkan dalam Bahasa Indonesia
Hukum Antar Tata Hukum sering juga di sebut dalam istilah hukum perselisihan, Hukum pertikaian, dan Hukum
Perdata Internasional. Sekarang istilah untuk hukum perselisishan dan pertikaian kurang baik dipergunakan dan diganti
dengan istilah Hukum Antar Tata Hukum, Istilah Hukum.
Antar Tata Hukum memberi kesan tentang adanya suatu tata hukum di antara sistim-sistim hukum yang
bertemu pada satu ketika ini. Sudargo Cautama menyebutkan bahwa Hukum Perdata Internasional adalah Hukum
Antar 8ata Hukum Ekstern. Hukum Perdata Internasional bukanlah hukum Internasional, tetapi hukum nasional.
Pemakaian istilah Hukum Antar 8ata Hukum ini membawa keuntungan bahwa segi perselisihan tidak
dikedepankan, bahwa adalah mungkin untuk berhadapan dengan persoalan dilapangan hukum ini tanpa konflik.
Lebih lanjut, bahwa segi konflik tidak hanya terdapat pada hukum heterogen tetapi juga pada hukum homogen
intern. Istilah Hukum Antar 8ata Hukum ini bersifat menganut unsur atau elemen unsur asing. Isitilah ini
dianggap istilah yang paling tepat karena membahas hubungan hukum, yang dimaksud hubungan hukum disini
adalah yang menganut unsur asing.

B. ISTILAH HUKUM ANTAR TATA HUKUM (HATAH)


Istilah Indonesia yang paling banyak digunakan untuk lapangan ilmu hukum ini adalah “Hukum
Perselisihan”. Istilah ini merupakan terjemahan dari istilah “Conflictenrecht”. Variasi lain dari istilah
‘Conflictenrecht”, adalah “Collisierecht”, yang diterjemahkan sebagai “Hukum Collisie”. Istilah ini
diambil dari istilah “Collisieregels” . Dari istilah inilah berasal istilah “Hukum Pertikaian”.
Istilah-istilah tersebut dalam bahasa Inggris dikenal sebagai “Conflict of Law”.iSebagai variasi
dari istilah “Private International Law” atau “ International PrivateLaw”. Dalam bahasa Perancis,
istilah Hatah adalah “Conflicts de lois” atau “Conflicts des statuts”. Dalam perundang-undangan
Hindia Belanda (Huwelijksordonantie Christen-Indonesiers Java, Minahasa en Smboina, Ordonansi, S.1933),
dikenal dengan istilah “Botsingsbepalingen”.

Dari istilah-istilah tersebut di atas, kita lebih menggunakan istilah Hukum Antar Tata Hukum yang
diciptakan oleh S. Gautama yang mengikuti istilah Logemann, yaitu “Interrechtsordenrecht” , atau istilah
“Interlegal law” dari Ross, dan “Tussenrechts-ordening” dari Resink. Istilah Hukum Antar Tata Hukum
mempunyai arti adanya suatu Tata Hukum” diantara sistem-sistem hukum yang bertemu pada satu waktu tertentu.

C. SUMBER HUKUM ANTAR TATA HUKUM

a. Perjanjian Internasional: Perjanjian internasional adalah perjanjian yang dibuat antara negara-negara atau
organisasi internasional. Perjanjian ini dapat berbentuk traktat, konvensi, protokol, atau deklarasi.

b. Kebiasaan Internasional: Kebiasaan internasional terdiri dari praktik yang diterima sebagai hukum oleh
negara-negara dan dilakukan secara konsisten dengan keyakinan bahwa praktik tersebut diwajibkan oleh hukum.

c. Prinsip Umum Hukum: Prinsip-prinsip umum hukum mencakup prinsip-prinsip dasar yang diakui secara
umum oleh negara-negara, seperti larangan penggunaan kekerasan dan prinsip kesetaraan kedaulatan negara.

d. Keputusan Hukum Internasional: Keputusan pengadilan internasional, seperti International Court of Justice
(ICJ), menjadi sumber penting dalam mengembangkan hukum antar tata hukum.
D. SUBJEK HUKUM ANTAR TATA HUKUM

a. Negara-Negara: Negara-negara diakui sebagai subjek utama dalam hukum


antar tata hukum. Mereka memiliki kedaulatan yang diakui dan hak-hak serta
kewajiban-kewajiban tertentu.

b. Organisasi Internasional: Organisasi internasional, seperti Perserikatan


Bangsa-Bangsa (PBB), memiliki peran penting dalam hukum antar tata hukum.
Mereka dapat memiliki hak-hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum
internasional.

c. Individu: Meskipun kedaulatan negara mendominasi hukum antar tata hukum,


individu juga memiliki peran penting. Misalnya, kejahatan internasional seperti
genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dapat dikenakan tanggung jawab
individu di hadapan pengadilan internasional.

E. LANDASAN TEORI HUKUM ANTAR TATA HUKUM

a. Teori Logemann
Menurut Logemann jabatan merupakan pengertian yuridis dari fungsi,
sedangkan fungsi merupakan pengertian yang bersifat sosiologis. Oleh karena
negara merupakan organisasi yang terdiri atas fungsi-fungsi dalam hubungannya
satu dengan yang lain maupun dalam keseluruhannya maka dalam pengertian
yuridis negara merupakan organisasi jabatan atau yang disebutnya
ambtenorganisatie. Dalam Hukum Antar Tata Hukum yang dikembangkan oleh
Logemann tentang gebieden yaitu lingkungan kekuasaan hukum, bukan Ambten
atau jabatan-jabatan.
b. Teori Hans Kelsen
Hans Kelesen juga memakai istilah gebiedsler dan beliau
menggunakannya untuk norma-norma hukum. Oleh karena itu, Hukum Antar
Tata Hukum juga bekerja dengan norma-norma hukum. Dikemukakan bahwa tiap
norma hukum mempunyai 4 lingkungan kekuasaan, yaitu sebagai berikut :
1. Lingkungan kekuasaan waktu (the sphere of time or temporal sphere)
Hukum Antara Waktu
2. Lingkungan kekuasaan ruang atau tempat (territorial sphere) Hukum
Antara Tempat.
3. Lingkungan kekuasaan pribadi (personal sphere) Hukum Antar
Golongan.
4. Lingkungan kekuasaan soal (material sphere).

. Pembagian Hukum Antar Tata Hukum


F.
HATAH adalah nama ilmiah yang diciptakan Sudargo Gautama untuk
menggantikan, sekaligus mencakup, hukum perselisihan (collisierecht), hukum
pertikaian (conflictenrecht, conflict of laws), dan hukum perdata internasional
(private international law). Harapan beliau, nama ilmiah tersebut dapat memberikan
gambaran tentang lingkup permasalahan hukum yang menjadi bahasan. Secara
ilmiah, lingkup pembahasan HATAH di Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu :

a. Hukum Antar Tata Hukum Intern, yang menganalisis permasalahan di


lingkup nasional akibat adanya pluralisme hukum, mencakup hukum
antargolongan (intergentiel recht, interpersonal law, interracial law), hukum
antarwaktu (intertemporal law), dan hukum antartempat (interlocal law).
Gautama mendefinisikan HATAH Intern sebagai:
“Keseluruhan peraturan dan keputusan- hukum yang menunjukkan stelsel-
hukum manakah yang berlaku atau apakah yang merupakan hukum, jika
hubungan-hubungan dan peristiwa-peristiwa antara warga (warga) negara
dalam satu negara, memperlihatkan titik-titik pertalian dengan stelsel-
stelsel dan kaidah-kaidah hukum yang berbeda dalam lingkungan-kuasa-
waktu, tempat pribadi dan soal-soal.”

 Contoh dari HATAH Intern adalah Antar Tata Hukum Intern adalah
seorang pria dari Sumatera Barat yang keturunan Minangkabau
menikah dengan seorang wanita dari Sumatera Utara yang keturunan
Batak.

Hatah Intern ini terdiri atas :


a. Hukum Antar Waktu

“Keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang


menunjukkan hukum manakah yang berlaku atau apakah
yang merupakan hukum, jika hubungan- hubungan dan
peristiwa-peristiwa antara warga(warga) Negara dalam
satu negara dan satu tempat, memperlihatkan titik-titik
pertalian dengan stelsel- stelsel dan kaidah-kaidah hukum
yang berbeda dalam lingkungan kuasa waktu dan soal-soal”.

Hukum antar waktu terjadinya dalam suatu negara adalah


keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang
menunjukkan hukum manakah yang berlaku dan apakah yang
merupakan hukum jika hubungan dan peristiwa-peristiwa
antar warga negara dalam suatu negara atau tempat
memperlihatkan pertalian dan kaidah-kaidah hukum yang
berbeda dalam lingkungan-lingkungan kuasa waktu dan soal.
Jadi penyelesaian persoalan Hukum antar tata hukum ini tidak
terlepas dari titik pautnya.
Persoalan-persoalan dalam hukum antar waktu akan
dijelaskan sebagai berikut ini :
1.Peraturan Hukum dan Keputusan Hakim
Hukum bukan hanya apa yang diundang-undangkan secara
tertulis, tetapi juga apa yang hidup dalam keputusan-
keputusan pejabat hukum, terutama para hakim.
2.Menunjukkan Hukum Manakah yang Berlaku
Kata-kata ini memperlihatkan salah satu sifat dari apa yang
kita namakan kaidah penunjuk, yakni kaidah-kaidah yang
menunjuk kepada sistim hukum mana yang harus digunakan.
Kaidah ini tidak hanya menunjuk kepada hukum yang
berlaku. Tetapi, kaidah itu sendiri mengatur apakah yang
merupakan hukum itu.
3.Jika hubungan-hubungan dan peristiwa antar warga negara
dalam satu negara dan satu tempat.
4.Memperlihatkan titik pertalian
Titik pertalian atau titik paut inilah suatu yang harus
diperhatikan dalam hukum antar tata hukum. Persoalan-

persoalan HATAH mulai timbul dengan adanya titik pertalian


ini.
Contoh tahun 1964 ada UU lalu lintas devisa, penduduk
Indonesia dilarang mempunyai alat-alat pembayaran luar
negeri tanpa izin. Sekarang tidak berlaku lagi, dengan adanya
UU devisa baru thun 1976.

b. Hukum Antar Tempat

“Keseluruhan peraturan dan keputusan hukum, yang


menunjukkan stelsel hukum manakah yang berlaku atau
apakah yang merupakan hukum, jika hubungan-hubungan
dan peristiwa-
peristiwa antara warga(warga) negara dalam satu 8egara
dan satu waktu tertentu, memperlihatkan titik-titik pertalian
dengan stelsel-stelsel dan kaidah-kaidah hukum yang
berbeda dalam lingkungan-lingkungan kuasa tempat dan
soal-soal”.
Hukum antar tempat terjadi karena adanya hubungan hukum
yang dilakukan antara orang-orang yang berbeda
lingkungan hokum adatnya. Menurut Van Vollehoven di
Indonesia ada 19 Lingkungan Hukum Adat. Apabila
orang-orang dalam lingkungan hukum adat berbeda itu
mengadakan hubungan hukum satu dengan lainnya,
timbullah persoalan hukum adat manakah yang sebenarnya
berlaku. Contohnya seperti, seorang laki-laki dari Palembang
menikah dengan perempuan Sunda, ada adat yang berbeda,
Hukum adat apa yang berlaku untuk perkawinan mereka,
begitu juga untuk harta benda dalam perkawinan serta dalam
hal waris, apakah hukum Palembang atau hukum Sunda.
Kalau dilihat secara skema, maka Hukum Antar Tempat
memiliki kesamaan dengan Hukum Perdata Internasional
atau HATAH Ekstern. Perbedaannya hanyalah Hukum Antar
Tempat terjadi dalam lingkungan satu negara, Negara
Republik Indonesia, kedua kaidah yang bertemu adalah
kaidah dari satu negara. Hukum Antar Tempat lebih
menekankan pada tempat secara geografis

c. Hukum Antar Golongan

“Keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang


menunjukkan stelsel hukum manakah yang berlaku atau
apakah yang merupakan hukum, jika hubungan-hubungan
dan peristiwa-peristiwa antara warga(warga) 8egara dalam
satu 8egara, satu tempat dan satu waktu tertentu,
memperlihatkan titik pertalian dengan stelsel dan kaidah
hukum yang berbeda dalam lingkungan kuasa pribadi dan
soal-soal”.

Hukum antar golongan ini timbul sebagai politik dari


pemerintah Hindia Belanda yang tertuang dalam Pasal 163
IS yang membagi golongan penduduk Indonesia atas 3
golongan dan Pasal 131 IS yang mengatur hukum yang
berlaku bagi 3 golongan penduduk tersebut. Untuk golongan
Eropah, berlaku Hukum Perdata Barat, bagi golongan Timur
Asing, mereka tunduk pada Hukum Perdata Barat kecuali
dalam hal perkawinan, sedangkan bagi golongan Bumi
Putera berlaku Hukum adat. Contohnya adalah dalam masa
Hindia Belanda, terdapat golongan penduduk Indonesia; ada
perbedaan golongan penduduk dengan peraturan hukum yang
berbeda. Persoalan hukum antar golongan terjadi, apabila
diantara 3 golongan penduduk itu mengadakan hubungan
hokum, missal golongan Eropah mengadakan perjanjian
jual beli dengan golongan Bumi Putera, dalam hal ini
hukum mana yang akan

dipergunakan, apakah hukum Perdata Barat atau Hukum


adat. Berdasarkan SK Presedium Kabinet Ampera Pasal
163 IS dan Pasal 131 IS dianggap tidak berlaku
lagi, tetapi mengenai perkawinan, warisan dan lain-lain
ketentuan hokum perdata masih tetap berlaku bagi
golongan penduduk yang bersangkutan. Dengan demikian
persoalan Hukum Antar Golongan sekarang ini beralih
kepada hubungan antara penduduk asli dan penduduk
keturunan asing disatu pihak dan perbedaan dalam

lingkungan hukum adat (domiciliumoriginis) antara


penduduk asli dilain pihak.
Pada skema dari hukum antar golongan ini dilihat waktu dan
tempatnya tidak berbeda, tetapi yang jadi masalah
pernbedaannya adalah pribadi dari orang-orang atau
golongan rakyat
berbeda, serta soal-soalnya juga berbeda. Materinya berbeda
karena hukum untuk golongan rakyat berbeda pula. Misal
untuk Pak Harsono dan Tuan Lie ada perbedaan dalam
golongan hukum perdata oleh karena bagi yang terakhir
berlaku BW dan WVK, sedangkan bagi yang pertama
berlaku hukum adat yang tidak tertulis. Ada yang
mengatakan bahwa Hukum antar golongan dikembangkan
demi kepentingan mereka yang menjajah. Hukum antar
golongan ini pernah dinamakan sebagai “Conflict Colonial”
oleh sarjana-sarjana hukum prancis. Hukum antar golongan
justru khas dalam masa penjajahan seperti yang digambarkan
“droit interracial”. Hukum di antara bangsa-bangsa, etnis, ras
atau golongan-golongan dan sebagainya. Oleh karena itu,
hukum antar golongan dalam era kemerdekaan, menjadi
kurang populer. Persoalan-persoalan yang tadinya bersifat
hukum antar golongan berubah menjadi persoalan-persoalan
Hukum Perdata Internasional. Soalnya tetap ada, tetapi
digeserkan tarafnya yang nasional menjadi internasional.

b. Hukum Antar Tata Hukum Ekstern adalah nama ilmiah Indonesia


untuk menggantikan istilah hukum perdata internasional. Berbeda dengan
HATAH Intern yang berkutat dengan masalah-masalah hukum secara
nasional, HATAH Ekstern menganalisis permasalahan hukum yang
mempunyai unsur asing. Gautama mendefinisikannya sebagai:

“Keseluruhan peraturan dan keputusan- hukum yang menunjukkan stelsel-


hukum manakah yang berlaku atau apakah yang merupakan hukum, jika
hubungan-hubungan dan peristiwa-peristiwa antara warga (warga) negara pada
satu waktu tertentu memperlihatkan titik-titik pertalian dengan stelsel-stelsel
dan kaidah-kaidah hukum dari dua atau lebih negara, yang berbeda dalam
lingkungan-lingkungan-kuasa-tempat, (pribadi) dan soal-soal.”
Dari pengertian diatas maka dapat ditemukan ciri-ciri dari HATAH
ekstern, yaitu :

1. Terjadi pada waktu tertentu.

2. Terjadi antara dua Negara atau lebih.

3. Memiliki lingkungan kuasa, tempat, pribadi dan soal-soal


yang berbeda

Dari uraian diatas maka dapat kita simpulkan ruang lingkup dari
Hukum Antar Tata Hukum adalah sebagai berikut:
a. Terdapat dua atau lebih stelsel hukum yang bertemu.
b. Pertemuan-pertemuan stelsel-stelsel hukum tersebut ditandai oleh
adanya titik pertalian.
c. Hukum antar tata hukum menentukan stelsel hukum yang berlaku.
d. Hukum antar tata hukum intern tidak memiliki unsur asing, tetapi
Hukum antar tata hukum ekstern memiliki unsur asing.
e. Stelsel-stelsel hukum yang bertemu memiliki kedudukan yang sama satu
terhadap lainnya.
f. Keberlakuan stelsel hukum A, bukan karena stelsel-stelsel hukum
lainnya bersifat inferior, tetapi karena stelsel hukum A-lah stelsel hukum
yang tepat untuk diberlakukan.
g. Hukum Antar Tata Hukum Ekstern adalah Hukum Perdata Internasional.

G. Titik Pertalian

a. Pasal 131 dan 163 IS


Pemerintah Kolonial Belanda membagi penduduk ke dalam 3 golongan yaitu
sebagai berikut :
1. Golongan Eropa.
2. Golongan Timur Asing.
3. Golongan Bumiputera.
Dasar hukum penggolongan ketiga penduduk tersebut adalah Pasal 163 IS
(Indische Staatregelling). Tujuan penggolongan penduduk tersebut adalah
memberlakukan hukum masing-masing untuk memproteksi diri dengan aturan
hukum.Pemerintah Belanda membedakan berlakunya hukum bagi ketiga golongan
tersebut berdasarkan Pasal 131 IS (Indische Staatsregeling).
Dari ketentuan IS (Indische Staatsregeling) terdapat ketentuan-ketentuan yang
penting antara lain :

Pasal 131 IS
1. Pasal 131 ayat 1 IS berbunyi : “Hukum Perdata dan Hukum
Dagang serta Hukum Pidana demikian juga Hukum Acara Perdata dan
Hukum Acara Pidana diatur dengan Ordonat”.
2. Pasal 131 ayat 2 IS berbunyi : “ Dalam ordonantie yang mengatur
Hukum Perdata dan Hukum Dagang untuk orang-orang Eropa diikuti
dengan undang-undang yang berlaku di negeri Belanda”.

Pasal 163 IS
1. Apabila ketentuan-ketentuan undang-undang ini, peraturan-
peraturan umum lainnya, reglement-reglement, peraturan-peraturan
kepolisian dan ketentuan-ketentuan administratif membedakan antara
orang-orang Eropa, orang-orang pribumi dan Timur Asing, maka berlaku
pelaksanaannya aturan-aturan sebagai berikut  :
2. Tunduk kepada ketentuan-ketentuan bagi orang-orang Eropa
adalah :

a.      Semua orang Belanda.


b.     Semua orang yang berasal dari Eropa.
c.      Semua orang Jepang.
d.     Semua orang berasal dari tempat lain yang dinegaranya tunduk
kepada hukum keluarga yang pada pokoknya berdasarkan asas yang
sama seperti hukum Belanda.
e.      Anak sah atau diakui menurut undang-undang dan anak yang
dimaksud huruf b dan c yang lahir di India.
3. Tunduk kepada ketentuan-ketentuan bagi orang-orang pribumi
kecuali kedudukan bagi orang-orang Kristen pribumi yang harus diatur
dengan ordonantie, ialah semua orang yang termasuk penduduk Hindia
Belanada dan tidak pindah kedalam kelompok penduduk lain dari pada
kelompok pribumi, demikian pula mereka, demikian pula yang pernah
termasuk kelompok penduduk lain dari pada kelompok pribumi, namun
telah membaurkan dengan penduduk asli

4. Tunduk kepada ketentuan-ketentuan bagi orang-orang Timur


asing, kecuali kedudukan hukum yang harus diatur dengan ordonantie
bagi orang-orang diantara mereka yang yang menganut keyakinan
Kristen, ialah semua orang yang tidak terkena syarat-syarat yang disebuut
dalam ayat 2 dan 3 pasal ini.

Dengan singkatnya ketentuan dari Pasal 131 dan 163 IS (Indische


Staatsregeling), sebagai berikut :
a. Bagi golongan Eropa dan yang dipersamakan berlaku dengan
Hukum Perdata dan Hukum Dagang Barat yang diselaraskan dengan
Hukum Perdata dan Hukum Dagang Barat berdasar asas
konkordansi.
b. Bagi golongan Bumi Putera dan yang dipersamakan berlaku
Hukum Adat mereka.
c. Bagi golongan Timur Asing berlaku hukum mereka masing-
masing, dengan catatan bahwa golongan Bumi Putera dan Timur
Asing diperbolehkan untuk menundukkan diri kepada Hukum Eropa
atau Barat.

b. Titik Taut (Connecting Factor)


Dalam menyelesaikan perkara terkait dengan HATAH maka langkah awal yang
harus ditempuh adalah menentukan apakah suatu perkara memiliki unsur
internasional sehingga prinsip-prinsip HATAH dapat diterapkan. Hal ini dilakukan
dengan cara mengumpulkan fakta-fakta yang menunjukkan adanya hubungan atau
keterkaitan fakta tersebut dengan negara asing. Bilamana suatu perkara terdapat
fakta-fakta yang terkait dengan negara lain maka seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya terjadi perbenturan hukum antar negara. Fakta-fakta tersebut disebut
titik taut atau connecting factor. Dengan mengidentifikasi titik taut akan membantu
dalam penentuan choice of jurisdiction dan choice of law. Dalam HATAH dikenal
dua jenis titik taut, yaitu :
1. Titik Taut Primer
Titik pertalian primer adalah hal-hal dan keadaan-keadaan yang
menciptakan hubungan Hukum Perdata Internasional. Perincian titik
pertalian primer (TPP) adalah sebagai berikut:
a.      Kewarganegaraan
Kewarganegaraan para pihak dapat merupakan faktor TPP karena
mana timbul HPI. Dimana keewarganegaraan dari pada pihak dalam
suatu peristiwa hukum tertentu menjadi sebab lainnya hubungan-
hubungan HPI. Kewarganegaraan pihak-pihak bersangkutan yang
merupakan faktor bahwa stalsel-stalsel hukum Negara-negara tertentu
di pertautkan.

c. Bendera Kapal

Bendera dari suatu kapal dapat diibaratkan sebagai kewarganegaraan


pada seseorang. Bendera kapal menautkan kepada stelsel hukum
tertentu, karenanya timbul persoalan-persoalan hukum yang
memperlihatkan unsur-unsur asing, maka terciptalah HPI.
c.      Tempat Kediaman
Tempat kediaman merupakan pengertian de facto. Tempat ini adalah
diaman sehari-hari yang bersangkutan mempunyai kediaman, dimana
ada rumah, dimana ia bekerja sehari-hari disitu ada residence dari
orang itu. Dan tempat kediaman seseorang secara defacto juga bisa
menimbulkan soal-soal HPI.

d.     Domisili
Domisili ini merupakan suatu pengertian hukum yang baru lahir kalau
sudah terpenuhi syarat-syarat tertentu, misalnya kediaman yang
permanent di suatu tempat.
e.      Tempat Kedudukan
Persoalan-persoalan HPI timbul karena badan-badan hukum yang
bersangkutan dalam suatu peristiwa hukum tertentu berkedudukan
diluar negeri. Karena faktor tempat turut berbicara pada ”tempat
kedudukan” ini maka titik pertalian ini bersifat teritorial.

2. Titik Taut Skunder


Terdapatnya titik pertalian primer telah terciptalah suatu hubumgan
HPI,dimana HPI menurut konsepsi di Indonesia merupakan persoalan
tentang ”choice of law”. Dalam malaksanakan tugas ini, titik pertalian
sekunderlah yang memberi bantuan kepada si pelaksana hukum. Titik
pertalian sekunder ini karena sifatnya sebagai yang menentukan akan
hukum yang harus diperlukan, disebut pula dengantitik taut penentu.
Perincian mengenai Titik Pertalian Sekunder (TPS) adalah sebagai
berikut ini :
a.      Tempat terletaknya benda (Lex Situs = Lex rei sitae).
b.     Tempat dilangsungkannya perbuatan hukum (Lex Loci Actus).
c.      Tempat dilangsungkannya atau diresmikannya perkawinan (Lex
Loci Celebrationis).
d.     Tempat ditandatanganinya kontrak (Lex Loci Contractus).
e.      Tempat dilaksanakannya perjanjian (Lex Loci Solutionis = Lex
Loci Executionis).
f.      Tempat terjadinya perbuatan melawan hukum (Lex Loci Delicti
Commisi).
g.     Pilihan Hukum (Choice of Law).
SUMBER

MAKALAH :

1. Jurnal RechtVinding Vol.7 No.2, Agustus 2018, hlm. 147-168


2. Hukum Antar Tata Hukum, Joni Alizon, S.H, M.H. Dosen Fakultas
Syariah Dan Hukum Uin Suska Riau Advokat Pada Kantor Hukum
Wimar Riau
3. Makalah Hukum Perdata Internasional, Abraham Ethan M.SM 2018.

Anda mungkin juga menyukai