Anda di halaman 1dari 23

Politik Hukum Kolonial

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah


Politik Hukum Keluarga Islam di Indonesia

Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Masykuri Abdillah, M.A.
Dr. Khamami, M.A.

Disusun Oleh:

Dzulhikam Masyfuqil Ibad : 21200435000018

PROGRAM MAGISTER HUKUM KELUARGA


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2021
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sebagaimana sudah diketahui, sebelum kedatangan Belanda dan


Jepang, bangsa Indonesia sudah mengenal kelembagaan hukum yang
diperkenalkan oleh kerajaan yang hidup di Indonesia. Dikarenakan
banyak kerajaan yang tumbuh di Indonesia, maka beragam juga
pelaksaan hukum yang ada. Termasuk hukum Islam yang dijalankan oleh
kerajaan Islam

Pelaksanaan hukum Islam di Indonesia mulai mengalami


dinamika yang cukup menarik pada abad 16 M, tepatnya setelah bangsa
Belanda mulai berinteraksi dengan Indonesia. Belanda yang awalnya
hanya membawa misi perdagangan, pada akhirnya merubah haluannya
untuk menguasai semua sektor di Indonesia. Sehingga, pelaksanaan
hukum Islam juga mendapatkan imbas darinya.

Tidak hanya berhenti di Belanda saja, Indonesia dengan segala


“pesona” kekayaan sumber dayannya memikat Jepang untuk menjajah
Indonesia. Ketika Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang, di
situlah momen di mana pelaksanaan hukum Islam di Indonesia menjalani
babak baru. Oleh karenanya, menarik untuk melihat secara seksama
Dinamika Politik Hukum Islam Masa Kolonial Belanda dan Jepang,
untuk memperluas horizon ilmu pengetahuan kita.

B. Rumusan Masalah

1
Pada makalah ini, penulis memfokuskan pada permasalahan:

- Bagaimana posisi hukum Islam dalam politik hukum kolonial?


- Bagaiman modernisasi hukum Islam di masa kolonial?
- Bagaimana posisi peradilan agama dalam politik kolonial?
- Bagaimana arah kebijakan hukum kolonial?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian makalah ini adalah:

- Memahami posisi hukum Islam dalam politik hukum kolonial.


- Menjelaskan modernisasi hukum Islam di masa kolonial.
- Mengetahui posisi peradilan agama dalam politik kolonial.
- Memahami arah kebijakan hukum kolonial.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Politik Hukum Islam Masa Kolonial Belanda

1. Proses Masuknya Belanda Ke Indonesia

Kejatuhan Kostantinopel ke tangan kekhilafahan Turki Usmani


membuat pihak barat “kalang kabut”. Dengan jatuhnya kota penting itu,
hubungan antara dunia Barat dan dunia Timur terputus. Sehingga, jalan
perdagangan antar mereka juga terputus. Oleh karenannya, orang Eropa
mencari jalan lain untuk menuju dunia timur. Dalam konteks
keindonesiaan, orang Eropa tersebut adalah Belanda yang menjajah
Indonesia.

Orang-orang Belanda pertama kali datang pada tahun 1596,


dibawah kepemimpinan Cornelis De Houtman. Namun, mereka diusir
oleh para penduduk pesisir Banten karena sikap mereka yang kasar dan
Sombong. Belanda kemudian datang kembali di bawah kepemimpinan
Jacob Van Neck dan Wybercht Van Waerwck pada bulan Maret 1598.
Tiba di pulau Maluku pada bulan Maret 1599. Keberhasilan mereka
memicu kedatangan berbagai perusahaan Belanda ke Indonesia1.

Akan tetapi, saking banyak perusahaan Belada yang bertengger di


Indonesia, mengakibatkan tingginya persaingan dagang di antara mereka.
Selain itu, mereka juga harus bersaing dengan Protugis, Spanyol, dan
Inggris. Melihat kenyataan seperti itu, para pedagang Belanda

1
Ulil Absiroh, dkk, “Sejarah Pemahaman 350 Tahun di Indonesia Dijajah
Belanda”, artikel diakses pada 14 April 2021 dari
https://media.neliti.com/media/publications/205480-sejarah-pemahaman-350-tahun-
indonesia-di.pdf

3
mendirikan Verenidge Osst Indische Compgnie atau yang disingkat VOC,
atas inisiasi Maurits dan Johan Van Olden Barnavelt. VOC pertama kali
membuka kantor dagangnya di Banten pada tahun 1602 dan dikepalai
oleh Francois Wittert2.

VOC diberi hak istimewa oleh pemerintahan Belanda, yang


disebut dengan octrooi yang meliputi monopoli pelayaran dan
perdagangan, mengumumkan perang, mengadakan perdamaian, dan
mencetak uang. Dengan hak itu, VOC melakukan ekspansi penjajahan di
daerah-daerah kepulauan Nusantara, dan berusaha untuk menanamkan
hukum mereka kepada pribumi3. Yang pada akhirnya, awal kedatangan
Belanda untuk berdagang, berujung kepada penjajahan.

Setelah kehancuran VOC dan kekuasaanya dikembalikan kepada


pemirintahan Belanda, ternyata nasib bangsa Indonesia tidak jauh
berbeda dengan sebelumnya. Hal ini disebabkan karena karakter
pimpinan kolonial di Indonesia yang kurang bersahabat dengan rakyat
dan tujuan Belanda menguasai Indonesia yang tidak jauh berbeda4.

2. Posisi Hukum Islam dalam Politik Kolonial Belanda

a. Posisi Hukum Islam dalam Teori Receptio in Complexu

Tidak bisa dipungkiri, hukum Islam di Indonesia hidup


bersamaan dengan tegaknya agama tersebut di negeri itu. Hukum Islam
dijadikan hukum positif oleh kerajaan-kerajaan Islam saat itu. Para
2
Ulil Absiroh, dkk, “Sejarah Pemahaman 350 Tahun di Indonesia Dijajah
Belanda”.
3
Ishaq, Pengantar Hukum Indonesia, (Depok: PT. RajaGrafindo Persada,
2019), Cet.ke-6, h. 7.
4
A. Kardiyat Wiharayanto, “Masa Kolonial Belanda”, artikel diakses pada 14
April 2021 dari http://eprints.dinus.ac.id/14367/1/[Materi]_A._Kardiyat_Wiharyanto_-
_MASA_KOLONIAL_BELANDA.pdf

4
pemangku kebijakan kerajaan Islam menempatkan hukum Islam sebagai
hukum negara. Sebagai contoh, untuk menyelesaikan perkara perkawinan
dan warisan, para raja mengangkat ulama-ulama untuk menyelesaikan
permasalah itu.

Akan tetapi, penerapan hukum Islam di Indonesia harus


mengalami dinamika perubahan, yaitu saat Belanda datang menjajah
Indonesia. Perlu ditegaskan kembali, kehadiran Belanda pertama kali di
Indonesia sebagai sosok penjajah, diwakili oleh Verendge Oostindshe
Compagnie (VOC), sebuah badan perdangan milik Belanda, yang juga
mempunyai fungsi pemerintahan bagi kawasan Hindia Timur. Dalam
usaha menguasai Indonesia secara penuh, VOC berupaya menerapkan
politik hukum Belanda di Indonesia. Akan tetapi, usaha ini sulit
direalisasikan, mengingat hukum tersebut dianggap ganjil dan aneh oleh
masyarakat Indonesia saat itu5.

Melihat kenyataan itu, VOC pada akhirnya membuat kebijakan,


yaitu memberikan kebebasan kepada masyarakat pribumi untuk
menjalankan apa yang mereka telah jalani sebelumnya. Pada konteks ini,
mereka bisa mengamalkan hukum Islam sebagaiman sebelumnya,
walapun dibawah kekuasaan VOC. Kondisi ini oleh Prof. Mr. Lodewijk
Willem Cristian Van den Berg disebut sebagai teori receptio in
complexu.

Lalu, apa yang dimaksud dengan receptio in complexu?.


Ungkapan ini mempunyai arti bahwa bagi setiap penduduk berlaku
hukum agamanya masing-masing. Bagi orang Islam berlaku hukum
Islam. Jika maknanya dipersempit, arti receptio in complexu adalah
5
Andi Herawati, “Perkembangan Hukum Islam di Indonesia (Belanda, Jepang,
dan Indonesia Merdeka sampai Sekarang”, dalam Ash-Shabah, h. 51.

5
penerimaan hukum Islam secara menyeluruh oleh umat Islam. Teori ini
memperlihatkan kepada kita, sebuah proses negoisasi yang dilakukan
oleh Belanda terhadap penduduk pribumi, yang dipengaruhi sosio-
historis saat itu6.

Jika melihat penjelasan di atas, maka kita akan berkesimpulan,


Hukum Islam masih mempunyai kedudukan yang penuh bagi masyarakat
pribumi, dengan sokongan dari pemerintahan kolonial. Pemerintah
kolonial Belanda dengan politik hukumnya tidak ingin mengambil resiko
yang lebih jauh, yang disebabkan dari pemaksaan penerapan hukum
Belanda kepada penduduk pribumi. Akan tetapi, dinamika politik hukum
Islam masih terus beregerak. Ia memasuki tahap selanjutnya, setelah
Christiaan Snouck Hurgronje datang membawa ide pemikirannya.

b. Posisi Hukum Islam dalam Teori Receptie

Oleh pemerintahan kolonial Belanda, Christiaan Snouck Hurgronje


diangkat sebagai Officieel Adviseur voor Oostersche Talenen
Mohammedaans Rechts (Penasehat Resmi Bahasa Timur dan Hukum
Islam)7. Berkat pengalamannya dalam menangani perlawana rakyat
Aceh, ia diminta untuk memecahkakan permasalahan penerapan hukum
Islam di Indonesia. Snouck membuat sebuah antitesis dari teori receptio
in complexu, yaitu teori receptie.

Teori receptie menjelaskan bahwa hukum Islam itu baru mempunyai


kekuatan berlaku kalau sudah diterima (direcipier) sebagai hukum adat.
6
Zaelani, “Hukum Islam di Indonesia Pada Masa Penajajahan Belanda:
Kebijakan Pemerintahan Kolonial, Teori Receptie in Complexu, Teori Receptie dan
Teori Receptio A Contrario atau Teori Receptio Exit”, dalam Komunike, vol. 9, No. 1,
Juni 2019, h. 153
7
Imadul Auwalin, “Kehidupan Snouck Hurgronje”, artikel diakses pada 10
April 2021 dari https://www.researchgate.net/publication/343415299.

6
Akibatnya, hukum Islam baru bisa diakui dan diterapkan, jika hukum
tersebut sudah dikehendaki dan diterima oleh hukum adat. Snouck
membangun paradigma ini dengan dalih, bahwa hukum yang berlaku di
Nusantara bukanlah hukum Islam, akan tetapi hukum adat yang bisa
mempengaruhi hukum Islam itu sendiri8.

Pemikiran Snouck tentang teori receptie juga berangkat dari


tanggapan bahwa umat Islam di Indonesia pada saat itu lebih menghargai
mistik daripada hukum Islam yang rigid. Menurutnya, Islam masih
bercampur dengan-dengan sisa peninggalan Hindu. Mistik masih sangat
mendominasi hampir seluruh masyarakat Nusantara. Berdasarkan hal itu,
Snouck beranggapan bahwa Islam belum sepenuhnya diterima oleh
masyarakat, sehingga adat harus dibela dan dipertahankan dari
propaganda kelompok agama yang ingin mengubahnya dan tetap berada
di bawah pengawasan pemerintah9.

Tentunya, teori receptie yang dibangun oleh Snouck dan kemudian


didukung oleh pemerintahan kolonial Belanda, mempunyai siasat
tersembunyi di dalamnya. Kebijakan itu berhasil mereduksi kewenangan
Peradilan Agama serta memarginalkan posisi hukum Islam dalam sistem
hukum kolonial lewat “politik hukum adat”. Hal itu berdampak pada
penghambatan dan penghentian agama Islam, yang dimana agama ini
mengajarkan perlawanan terhadap kolonialisme. Selain itu, teori receptie
juga dianggap sebagai perpanjangan tangan dari implementasi politik
divide-at-impera (politik pecah belah). Dengan adanya hal itu,

8
Fitra Mulyawan dan Dora Tiara, “Karakteristik Hukum Islam Pada Zaman
Penjajahan Belanda dan Jepang”, dalam Unes Law Review, vol.3, No. 2, Desember
2020, h. 119.
9
Rohidin, Pengantar Hukum Islam: Dari Semenanjung Arabia hingga
Indonesia, (Yogyakarta: Lintang Rasi Aksara Books, 2016) h. 173

7
pemerintah kolinal Belanda berusuaha menghidupkan kembali lembaga-
lembaga adat kuno, sehingga bisa menyaingi dan menekan Peradilan
Agama10.

Hukum Islam mengalami dinamika cukup menarik pada masa


pemerintahan kolonial Belanda. Pada awalnya hukum Islam dibiarkan
seperti pada mulanya (receptio in complexu), kemudian dipersempit
gerakanya, dengan cara mengakomodir hukum Islam yang sudah diterima
oleh adat (receptie). Ini juga menunjukkan kehati-hatian pemerintahan
Kolonial Belanda dalam menangani umat Islam yang mempunyai daya
juang yang tinggi.

3. Regulasi Hukum Islam Masa Kolonial Belanda

Boleh diakui, kedatangan Belanda ke Indonesia bak dua sisi mata


uang. Ia bisa membawa kerugian bagi Indonesia seperti eksploitasi
sumber daya alam, atau juga membawa “keuntungan” di dalamnya
seperti, modernisasi hukum Islam bagi masyarakat Indonesia.

Sikap VOC dalam mengakui hukum Islam secara penuh memiliki


konsenkuensi tersendiri. Untuk menciptakan kepastian hukum, VOC
berusah mengkodifikasi hukum Islam untuk dijadikan hukum yang
sejajar dengan hukum Belanda yang berlaku untuk masyarakat Eropa di
Nusantara. Oleh karenanya, pada tahun 1754, Gubernul Jenderal J.
Mossel memerintahkan para residen, di bawah pimpinan Freijr, untuk
melakukan kompilasi hukum pribumi guna dijadikan kompendium
sehingga dapat dipakai sebagai hukum postif, pegangan bagi lembaga
peradilan pribumi. Dibantu oleh penghulu dan ulama (Mohammedance

10
Fitra Mulyawan dan Dora Tiara, “Karakteristik Hukum Islam Pada
Zaman...”, h. 120.

8
priesters), pada tahun 1760, lahirlah sebuah kompendium yang biasanya
disebut sebagai Kompendium Freijr, dan diberi judul Compendium der
voornaamste Mohammedannshe wetten en gewoonten nopens erfenisen,
huwelijken en echtscheidingen (Undang-Undang Pokok Hukum Islam
dan Adat tentang Kewarisan, Perkawinan, dan Perceraian

Beberapa tahun sebelumnya juga, pada tahun 1750, VOC kembali


memerintahkan menyusun kompendium, yang dilakukan melalui
konsultasi dengan para penghulu dan ulama. Kompendium yang
berhasisil disusun berisi ajaran-ajaran Islam sebagaimana yang termaktub
dalam kitab terkenal Muharrar karya al-Rafii. Kompendium tersebut
dinamai dengan Mugharrer, sesuai nama judul kitab yang dirujuk. Sama
seperti Kompendium Freijr, kompendium ini menegaskan praktik-praktik
dan lembaga hukum Islam yang sudah berlaku di tengah kaum pribumi
Muslim.

4. Modernisasi Hukum Islam dalam Teori Receptie

Pada tanggal 1 Januari 1938, berdasarkan Stb. 1937 No. 610,


dibentuklah Mahkamah Islam Tinggi atau Hof Voof Islamietische Zaken.
Kekuasaan Mahkamah Islam Tinggi pada pokoknya sebagai hakim
tertinggi dalam dua bidang, yaitu: (1) memutuskan perselisihan tentang
kekuasaan antara pengadilan agama yang dimintakan banding oleh orang
yang bersangkuta; dan (2) Mahkamah Islam Tinggi berkewajiban untuk
memberikan saran dan pertimbangan masalah agama Islam apabila
diminta oleh Gubernur Jenderal atau pembesar lain atas perintahnya11.

11
Abd. Somad, Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum
Indonesia, (Jakarta: Prenadamedia, 2017), h. 224

9
Mahkamah Islam Tinggi dalam sidangnya yang pertama secara
terbuka pada 7 Maret 1938 di Jl. Cikini 8 Jakata, yang diketuai oleh KRH
Muhammad Isa dari Serang. Mahkamah tidak dapat mendatangkan
pihak-pihak atau saksi-saki tetapi berkuasa memerintahkan Pengadilan
Agama yang bersangkutan untuk memeriksa lagi pihak-pihak dan saksi-
saksi menurut petunjuk dari mahkamah.

5. Posisi Peradilan Agama dalam Politik Kolonial

a. Posisi Peradilan Agama dalam Teori Receptio in Complexu

Pada tahun 1808, saat di mana perkara perkara antara orang Islam
masih di selesaikan oleh pengadilan negeri, gubernur Jenderal Daendels
mengeluarkan peraturan terhadap hukum Islam di daerah Jawa tertentu.
Peraturan tersebut mengaskan bahwa kepala masjid (penghulu) wajib
bertindak sebagai penasehat pengadilan negeri dalam perkara antara
orang Islam. selain itu, kedudukan para penghulu sebagai tenaga ahli
hukum Islam dalam susunan pengadilan yang dibentuk, ditetapkan
sebagai penasehat dalam menyelasikan masalah12.

Masuk pada abad ke 19, Belanda memulai kebijakan politik hukum


yang sadar terhadap Indonesia. Politik ini hendak untuk menata dan
mengubah kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda. Hal
ini berangkat dari anggapan bahwa hukum Eropa jauh lebih baik dari
hukum yang telah ada di Indonesia.

Untuk merealisasikan tujuan tersebut, pemerintahan kolonial Belanda


membentuk sebuah komisi yang dipimpin oleh Mr. Scholten van Oud
Haarlem, yang bertugas untuk untuk menyesuaikan hukum Belanda
12
Sahid, Legislasi Hukum Islam di Indonesia, (Surabaya: Pustaka Idea, 2016),
h. 34

10
dengan situasi Hindia Belanda. Akan tetapi, Scholten justru mendapati
pribumi Islam yang sangat teguh dengan hukum Islam. Akhirnya, komisi
ini memberikan rekomendasi kepada pemeritahan kolonial Belanda, agar
para pribumi dibiarkan menggunakan hukum agama dan istiadat
mereka13.

Berangkat dari pendapat Mr. Scholten van Oud Haarlem jugalah,


pemerintah kolonial Belanda mendirikan Pengadilan Agama
(Priesterrad)di Jawa dan Madura pada tahun 1882. Hal ini berangkat dari
pasal 78 ayat 2 R.R bahwa dalam hal terjadi perkara perdata antara
sesama orang bumi putera atau dengan mereka disamakan dengan
mereka, maka mereka itu tunduk pada putusan hakim agama atau kepala
masyarakat yang menyelesaikan perkara itu menurut undang-undang
agama atau ketentuan-ketentuan lama mereka14. Hal ini juga dikuatkan
dengan penerbitan Staatblasd tahun 1882 No. 152 yang mengakui
kewenangan badan-badan peradilan agama yang berbeda-beda namanya
di setiap tempat untuk menjalankan yuridiksi hukumnya berdasarkan
hukum Islam.

Adapun wewenang pengadilan agama, dengan ketidakjelasan


Staatsblaad 1882 No. 152, pengadilan agama sendirilah yang
menentukan perkara-perkara yang dipandangnya termasuk dalam
lingkungan peradilan agama. Dalam hal ini, wewenang yang dimasukkan
adalah hukum perkawinan dan kewarisan. Kebijakan ini adalah
kelanjutan dari praktik peradilan dalam masayarakat bumi putra yang

13
Ahmad Azhar Basyir, “Hukum Islam di Indonesia dari Masa ke Masa”.
14
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Islam di Indonesia, cet. Ke.XXIII, (Depok: PT Raja Grafindo Persada, 2019), h.
240.

11
beragam Islam yang telah berlangsung sejak zaman pemerintahan
kerajaan-kerajaan Islam.

Dengan semakin diakuinya lembaga peradilan agama, para


penghulu berubah menjadi bagian dari sitem hukum kolonial. Akibatnya,
mereka bekerja sebagai pegawai pemerintah Belanda, dan
menghubungkan administrasi kolonial dengan penduduk Muslim. Meski
berakar kuat dalam tradisi pesantren, dan menguasai kitab-kitab hukum
Islam, penghulu tetap menjadi bagian dari dan dihubungkan secara erat
dengan lingkaran birokrasi pribumi. Lebih dari itu, disebabkan sebagian
karena ketergantungan mereka kepada residen Belanda yang sejak tahun
1919 menggaji mereka, dan kepada bupati yang memaikan peranan
penting atas pencalonan mereka dalam posisi tersebut, penghulu menjadi
tunduk pada Belanda dan para penguasa pribumi15.

Melihat dari penjabaran di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa


peradilan agama diakui eksistensinya, bahkan diakomodir oleh
pemerintah kolonial Belanda, walaupun hanya berkutat pada
permasalahan hukum perkawinan dan kewarisan. Pembentukan
pengadilan agama itu sesungguhnya adalah pengakuan resmi dan
pengukuhan sesuatu yang telah ada, tumbuh, dan berkembang dalam
masyarakat.

b. Posisi Peradilan Agama dalam Teori Receptie

Jika sebelumnya peradilan agama yang dibentuk pada tahun 1882


oleh pemerintahan kolonial Belanda memiliki kompetensi absolutu
terhadap hukum perkawinan dan kewarisan, maka pada tahun 1937 lewat

15
Jajat Burhanudin, Islam dan Arus Sejarah Indonesia, (Jakarta: Prenada
Media, 2017), h. 257

12
pemberlakuan Staatsblasd 1937 No. 116, kewenangan pengadilan agama
di wilayaha Jawa dan Madura terhadap kewarisan dicabut dan dialihkan
ke pengadilan negeri16.

Pembatasan yang terjadi Jawa dan Madura dianggap sebagai


langkah awal untuk menundukkan wilayah lain. Pada akhirnya,
Staatsblad 1937 No. 638 dan 639 memuat kebijakan tentang membentuk
kerapatan Qadi dan kerapatan Qadi besar untuk wilayah Kalimantan
Selatan, kewenangannya diabatasi sebagaiman peradilan agama di Jawa
dan Madura17.

Walaupun demikian, dialog tetap dilakukan oleh pemerintahan


kolonial Belanda dengan para Ulama Indonesia. hal itu menghasilkan
keputusan bersama bahwa pengadilan agama diberi wewenang
memberikan fatwa yang berkaitan dengan waris. Fatwa tersebut tidak
bersifat final, tetapi sekedar rekomendasi. Pelaksanaan fatwa waris di
dalam masyarakat berjalan efektif, sehingga pengadilan agama tetap
eksis18.

6. Arah Kebijakan Hukum Kolonial Belanda

a. Arah Kebijakan Hukum Kolonial dalam Teori Recetio in


Complexu

Berikut ini beberapa kebijakan hukum dengan penerapa receptio


in complexu dalam masa kolonial belanda adalah:

16
Marzuki, Pengantar Studi Hukum Islam: Prinsip Dasar Memahami
Berbagai Konsep dan Permasalahn Hukum Islam di Indonesia, cet. Ke. II, (Yogyakarta:
Penerbit Ombak, 2017), h. 307
17
Sahid, Legislasi Hukum..., h. 45
18
Sahid, Legislasi Hukum..., h. 45

13
a) VOC mengeluarkan Statuta Batavia pada tahun tahun 1642.
Ketetapan itu menyatakan bahwa sengketa waris antara orang
pribumi yang bergama Islam, harus diselesaikan dengan
mempergunakan hukum Islam. Untuk menunjang hal tersebut,
VOC memperintahkan D.W. Freijer untuk menyusun
Compendium (buku ringkasan). Buku itu berisi pedoman hukum
perkawinan dan kewarisan Islam, yang telah mengalami revisi
dan penyempurnaan. Panduan ini dinamakan dengan
Compendium Frijier.
b) Penggunaan kitab hukum Mogharraer di Semarang, yang memuat
kaidah-kaidah hukum pidana Islam (Jinayah), pada tahun 1760.
Selain itu, juga dibuat Pepakem Cirebon yang mengatur perkara
perdata dan pidana di wilayah Kesultanan Cirebon, atas usulan
residen Cirebon, Mr P.C. Hosselar.
c) Belanda melalui VOC pada tanggal 25 Mei 1670, mengeluarkan
Resolutie der Indishe Regeering, yang memuat pemberlakuan
hukum waris dan perkawinan Islam pada pengadilan VOC bagi
orang Indonesia19.
d) Gubernur Jendral Herman (1808-1811) menegeluarkan kebijakan
bahwa hukum pribumi Jawa tidak boleh diganggu. Ia juga
meneguhkan hak dan kewajiban penghulu sebagai tenaga ahli
hukum Islam dalam susunan peradilan yang dibentuknya. Mereka
dijadika peasihata dalam suatu perkara20.

b. Arah Kebijakan Hukum Kolonial dalam Teori Receptie

19
Andi Herawati, “Perkembangan Hukum Islam..”, h. 52.
20
John Bell, Indonesia Legal History 1602-1848¸ (Syedney: Oughter Press.
1982), h. 97

14
Sebagaimana penjelasan di atas, teori receptie memiliki
karakteristik yang berbeda dengan teori receptio in complexu, sehingga
memengaruhi kebijakan hukum kolonial di dalamnya. Beberapa di
antaranya seperti:

a) Dalam pasal 134 ayat (2) Indesche Staatsrgeling (IS) berbunyi:


“Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Islam
akan diselesaikan oleh hakim agama Islam apabila hukum adat
mereka menghendakinya dan sejauh itu tidak ditentukan lain
dengan suatu ordonansi”.
b) Pada tahun 1937 di pengadilan agama Jawa-Madura,
pemerintahan Kolonial Belanda mengeluarkan kebijakan
pemindahan wewenag pengaturan waris, dari pengadilan agama
kepada pengadilan negeri (landraad) lewat pemberlakuan
Staatsblasd (lembar negara) 1937 No. 116.
c) Pemberlakuan executoire verklaring (pernyataan dapat
dilaksanakan). Dengan penerapan hal itu, keputusan Pengadilan
Agama hanya dapat dijalankan jika sudah mendapatkan
persetujuan dari Pengadilan Negeri.
d) Staatsblasd 1937 No. 116. Menuai kecaman dari kalangan
pribumi Muslim. Mereka memohon agar ketentuan itu dicabut.
Untuk menenagkan gejolak yang terjadi di antara mereka,
pemerintahan Kolonial Belanda mendirikan Hof Voor
Islamietische Zaken atau Mahkamah Islam Tinggi (MIT), sebagai
pengadilan tingkat banding terhadap keputusan-keputusan
pengadilan agama.

B. Politik Hukum Islam Masa Kolonial Jepang

15
1. Proses Masuknya Jepang Ke Indonesia

Jepang, sebuah negara di benua Asia yang juga terjun langsung


dalam pentas perang dunia kedua. Kehadirannya mewarnai dinamika
geo-politik dunia. Jepang mempunyai alasan tersendiri untuk melakukan
ekspansi, termasuk ke Indonesia. Beberapa faktor internal adalah
persoalan kepadatan penduduk, keterbatasan pemasaran hasil industri
dalam negeri, dan adanya pembatasan imigran ke Amerika dan
Australia21.

Bulan Oktober 1941, Jenderal Hideki Tojo menggantikan Konoe


sebagai Perdana menteri Jepang. Sebenarnya, sampai akhir tahun 1940,
pimpinan militer Jepang tidak menghendaki melawan beberapa negara
sekaligus. Namun, sejak pertengahan tahun 1941 mereka melihat bahwa
Amerika Serikat, Inggris, dan Belanda harus dihadapi sekaligus, jika
Jepang ingin menguasai sumber daya alam di Asia Tenggara. Apalagi,
setelah Amerika Serikat melancarkan embargo minya bumi, sumber daya
alam yang sangat dibutuhkan oleh Jepang, baik untuk industri maupun
militer22.

Secara resmi, Jepang menguasai Indonesia sejak tanggal 8 Maret


1942, ketika pemerintahan Kolonial Belanda menyerah tanpa syarat di
Kalijati, Bandung. Jepang tanpa banyak menemui perlawanan yang
berarti berhasil menduduki Indonesia. Bahkan, bangsa Indonesia
menyambut kedatangan balatentara Jepang dengan perasaaan senang,

21
Muhammad Ishak, “Sistem Penjajahan Jepang di Indonesia”, dalam Inovasi,
Vol. 9, No. 1, Maret 2012., h. 3.
22
“Sejarah Pendudukan Jepang (1942-1945)”, artikel diakses pada 12 April
dari
https://sumberbelajar.seamolec.org/Media/Dokumen/59c4c574865eac963be3cd30/31dc
8140a48da99cb0ff0574b04052d7.pdf

16
karena mereka dianggap akan membebaskan bangsa Indonesia dari
belenggu penjajahan bangsa Indonesia23.

2. Posisi Hukum Islam dalam Politik Kolonial Jepang

Ketika Jepang mulai menduduki Indonesia, diberlakukan tata


pemerintahan di Indonesia, yang berpedoman dengan Gunseirei (undang-
undang), melalui Osamu Seirei. Osamu Seirei itu mengatur segala hal
yang diperlukan untuk melaksanakan pemerintahan, melalui peraturan
pelaksanaan yang disebut Osamu Kanrei. Peraturan Osamu Kanrei
sebagai peraturan pelaksana isinya juga mengatur hal-hal yang
diperlukan untuk menajaga keamanan dan ketertiban umum24.

Dalam bidang hukum, pemerintahan Jepang melalui Osamu


Seirei Pasal 3 No. 1 tahun 1942 menyebutkan, semua badan
pemerintahan dan kekuasaanya, hukum dan undang-undang dari
pemerintahan yang dahulu tetap diakui sah untuk sementara waktu, asal
tidak bertentangan dengan peraturan pemerintahan militer. Dari
ketentuan Pasal 3 Osamu Seirei No. 1 tahun 1942 tersebut dapat
diketahui bahwa hukum yang mengatur pemerintahan dan lain-lain tetap
menggunakan IS25.

Imbasnya terhadap hukum Islam di Indonesia adalah kewenangan


dan Pengadilan Agama di masa Jepang tidak mengalami perubahan.
Hanya saja nama-nama dari lembaga yang sudah ada dari masa
pemerintahan Kolonial Belanda, diganti dengan bahasa Jepang, tanpa

23
“Pendudukan Jepang di Indonesia”, artikel diakses pada 12 April 2021 dari
http://eprints.dinus.ac.id/14415/1/[Materi]_pendudukan_jepang_di_indonesia.pdf
24
Rahman Syamsuddin, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta: Prenadamedia
Group, 2019), Cet-ke 1, h.55
25
Rahman Syamsuddin, Pengantar Hukum Indonesia, h. 56.

17
mengurangi fungsi dan wewenang. Contohnya adalah penggantian nama
Pengadilan Agama menjadi Suuryo Hooin dan Mahkama Islam Tinggi
diganti menjadi Kai Koyo Koota Hooin.

Abikusno Tjokrosujoso, seorang pemimpin Islam kala itu,


berpendapat bahwa Jepang sesungguhnya tidak melakukan upaya politik
hukum apapun terhadap hukum Islam, selain menjaga agar suasana tetap
kondusif dan mendukung usaha-usaha peperangan terhadap sekutu yang
tengah mereka lakukan dan tengah menjadi konsentrasi mereka ketika
itu. Oleh karena itu, mengenai posisi hukum Islam dalam sistem hukum
nasional pada masa kolonial Jepang tidak ada perubahan yang berarti dari
periode sebelumnya26.

Akan tetapi, Pemenrintahan Pendudukan Jepang tetap


mengeluarkan kebijakan yang bisa memikat hati umat Islam di Indonesia,
di anataranya:

a) Mendirikan Shumubu (Kantor Urusan Agama Islam) yang


dipimpin oleh bangsa Indonesia sendiri;
b) Mengizinkan berdirinya ormas Islam seperti Muhammadiyah dan
Nahdlatul Ulama;
c) Menyetuji berdirinya Majelis Syura Muslimin Indonesia
(Masyumi) pada bulan Oktober 1943.
d) Menyetujui berdirinya Hizbullah sebagai pasukan cadangan yang
mendampingi berdirinya PETA27.

26
Fitra Mulyawan dan Dora Tiara, “Karakteristik Hukum Islam Pada
Zaman...”, h. 122.
27
Fitra Mulyawan dan Dora Tiara, “Karakteristik Hukum Islam Pada
Zaman...”, h. 123.

18
Untuk menggaet dukungan dari masyarakat Islam Indonesia,
pemerintaha kolonial Jepang berusaha menerapkan kebijakan yang
menguntungkan hukum Islam. Salah satunya adalah permasalah
uleebalang (kepala teritorial). Di Aceh dan terutama Sumatera Utara di
mana pengadilan adat dikontrol secara penuh oleh uleebalang dukungan
Belanda sejak perang Aceh 1870-1900. Kelompok ulama dan para
oponen otoritas uleebalang menjadi tulang punggung pendukung
kolompok sentimen pro-Jepang. Prinsip umum yang diterapkan oleh
pemerintahan militer Jepang ini membuat lembaga eksekutif dan
peradilan harus dipisahkan, maka otoritas uleebalang pada pengadilan
adat pun diruntuhkan, walaupun integritas dari otoritas administratif
mereke tetap dipertanahankan.

3. Posisi Peradilan Agama dalam Politik Kolonial Jepang

Perlu dikemukakan di sini, bahwa pada bulan Juni 1944,


Soepomo mengajukan saran kepada pemerintahan untuk menghapuskan
lembaga peradilan agama. Hal ini senada dengan saran dari Jepang pada
14 April 1945 yang berisi bahwa antara agama dan negara hendaknya
dipisahkan di Indonesia, dan semua perkara yang berhubungan dengan
keimana orang Islam, termasuk di dalamnya mengenai pengadilan
agama, diserahkan kepada masyarakat Islam dan beroperasi secara privat
tanpa ada intervensi dari pemerintah. Namun pada akhirnya, rekomendasi
itu tidak pernah diimplementasikan, sampai Jepang meninggalkan
Indonesia.28

28
Rohidin, Pengantar..., h, 180.

19
BAB III

PENUTUP

A. Penutup

Hukum Islam di Indonesia mengalami dinamika perubahan


semenjak kedatangan Belanda. Pada awalnya hukum Islam diterima
seutuhnya (receptio in complexu), pada akhrinya dikerucutkan, bahwa
hukum Islam yang diterima hanyalah yang diakomodir oleh hukum adat
(receptie). Hal ini diakibatkan oleh politih hukum kolonial yang
dijalankan oleh Belanda

Setelah kedatangan Jepang, hukum yang diberlakukan


sebelumnya juga tidak berubah, sebagaimana yang diamanatkan oleh
Pasal 3 Osamu Seirei No. 1/1942. Sehingga, tidak ada dinamika yang
signifikan pada masa ini

20
DAFTAR PUSTAKA

Auwalin, Imadul. “Kehidupan Snouck Hurgronje”.


https://www.researchgate.net/publication/343415299.
Basyir, Ahmad Azhar. “Hukum Islam di Indonesia dari Masa ke Masa”.
https://journal.uii.ac.id/Unisia/article/view/5599/5023.
Fitra Mulyawan dan Dora Tiara, “Karakteristik Hukum Islam Pada
Zaman Penjajahan Belanda dan Jepang”. Unes Law Review.
vol.3. No. 2. Desember 2020.
Herawati, Andi. “Perkembangan Hukum Islam di Indonesia (Belanda,
Jepang, dan Indonesia Merdeka sampai Sekarang”. Ash-
Shabah.
Ishaq. Pengantar Hukum Indonesia. Cet-ke-6. Depok: PT. RajaGrafindo
Persada. 2019.
Ishak, Muhammad. “Sistem Penjajahan Jepang di Indonesia”. Inovasi.
Vol. 9 No. 1. Maret 2012.
“Pendudukan Jepang di Indonesia”.
http://eprints.dinus.ac.id/14415/1/[Materi]_pendudukan_jepang
_di_indonesia.pdf
Sejarah Pendudukan Jepang (1942-1945)”.
://sumberbelajar.seamolec.org/Media/Dokumen/59c4c574865e
ac963be3cd30/31dc8140a48da99cb0ff0574b04052d7.pdf
Ulil Absiroh, dkk, “Sejarah Pemahaman 350 Tahun di Indonesia Dijajah
Belanda”. https://media.neliti.com/media/publications/205480-
sejarah-pemahaman-350-tahun-indonesia-di.pdf
Wiharayanto ,A. Kardiyat. “Masa Kolonial Belanda”.
http://eprints.dinus.ac.id/14367/1/[Materi]_A._Kardiyat_Wihar
yanto_-_MASA_KOLONIAL_BELANDA.pdf

21
Zaelani “Hukum Islam di Indonesia Pada Masa Penajajahan Belanda:
Kebijakan Pemerintahan Kolonial, Teori Receptie in
Complexu, Teori Receptie dan Teori Receptio A Contrario atau
Teori Receptio Exit”. Komunike. vol. 9, No. 1, Juni 2019.
Syamsuddin, Rahman. Pengantar Hukum Indonesia.Cet.ke-1. Jakarta:
Prenadamedia Group. 2019.

22

Anda mungkin juga menyukai