ISLAM NUSANTARA
Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Politik Hukum Keluarga di Indonesia
Dosen Pengampu :
Prof. Dr. Masykuri Abdillah, M.A.
Dr. Khamami Zada, M.A.
Oleh :
Firman Ahmad Baihaqqi (21200435000016)
A. Latar Belakang
Penerapan hukum Islam di Indonesia sebenarnya sudah lama diterapkan
sebelum adanya masa colonial. Bahkan kemungkinan besar sudah diterapkan di
beberapa daerah sebelummasa berdirinya kerajaan Islam di Indonesia. Sebelum
kerajaan Islam berdiri di Indonesia, para pedagang Muslim sudah mendirikan
beberapa pemukiman. Di pemukiman-pemukiman inilah umat Islam kemudian mulai
taat menjalankan agama Allah dan berusaha menerapkan dalam kehidupan mereka.
Bahkan sebelum Islam merata, hukum Islam diduga sudah diterapkan di pelabuhan-
pelabuhan bukan muslim. Namun penerapan hukum Islam ditiap daerah dan kerajaan
berbeda-beda menurut waktu dan tempat.
Hukum Islam dan politik adalah dua sisi yang tidak bisa dipisahkan dalam
suatu masyarakat Islam. Hukum Islam tanpa dukungan politik sulit digali dan
diterapkan. Politik yang mengabaikan hukum Islam akan mengakibatkan kekacauan
dalam masyarakat. Semakin baik hubungan Islam dan politik, semakin besar peluang
hukum Islam diaktualisasikan, dan semakin renggang hubungan Islam dan politik,
semakin kecil peluang hukum Islam diterapkan1
Hukum Islam untuk menjadi hukum formal di Indonesia, tidak sepi dari
polemik, Perseteruan antara politik dan hukum sangat kuat dalam supremasinya. Jika
dilihat dari perkembangannya, terdapat tiga persimpangan dalam hukum Islam di
Indonesia. Pertama, berasal dari kelompok yang menghendaki pemberlakuan hukum
Islam di Indonesia untuk mengatur pemeluknya, disebut kelompok tradisional yakni,
kelompok yang beranggapan bahwa agama mengatur semua aspek kehidupan, maka
umat Islam harus mempraktekan aturan-aturan hukum Islam termasuk dalam
kehidupan bernegara sekalipun. Kedua, kelompok moderat berasal dari golongan
yang menginginkan adanya keseragaman dan kesatuan hukum. Ketiga, kelompok
sekuler
1
Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2000), hlm. xii-xiv.
1
yang menginginkan tidak berlakunya hukum Islam secara melembaga, 2 kelompok ini
beralasan bahwa agama hanya mengatur urusan individu dengan tuhannya yang
berupa ibadah ritual, sama sekali tidak mengatur aspek sosial konkret, termasuk
aturan hukum. Hubungan yang anta gonistik tersebut sangat kuat mempengaruhi
kebijakan pemerintah, baik dalam penerapan maupun penyerapan hukum Islam.
2
Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia (Jakarta: PT. Grasindo
Persada, 2000), hal. XXII.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Marzuki Wahid & Rumadi,Fiqh Madzhab Negara: Kritik Atas Politik Hukum di Indonesia
3
7
Abdul Wahab Khallaf, Politik Hukum Islam, alih bahasa Zainudin Adnan. ,hal. 10.
8
Siti Mahmud ah, “Politik Penerapan Syari’at Islam Dalam Hukum Positif Di Indonesia
(Pemikiran Mahfud MD)”, AL-’ADALAH, Volume X, No. 4, Juli 2012, hlm. 408.
9
Moh Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo, 2009), hlm.3-4.
4
7 M.11 Simpulan ini didukung oleh kenyataan dengan adanya makam, yang
merupakan tradisi dan ciri khas umat Islam dalam memelihara mayat, yang
sebelumnya tidak pernak dikenal dalam tradisi masyarakat Hindu-Budha.10
Pada saat Islam datang, secara perlahan-lahan ajaran Islam diterima oleh
masyarakat dan menggeser ajaran-ajaran agama HinduBudha sebagai agama yang
telah ada dan dianut masyarakan Indonesia sebelumnya. Ajaran Islam juga secara
berangsur- angsur diterapkan dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.
Penerapan hukum Islam ini bukan hanya pada pelaksanaan ibadah-ibadah tertentu
melainkan juga diterapkan pula dalam masalah-masalah muamalat, munakahat dan
uqubat (jinayah/hudud).
Sebelum belanda melancarkan politik hukumnya di Indonesia, hukum Islam
merupakan hukum yang berdiri sendiri dan mempunyai kedudukan yang kuat, baik
pada tataran masyarakat maupun dalam perundang-undangan negara. Penerimaan dan
penerapan hukum Islam ini dapat dilihat pada masa-masa awal kerajaan Islam. Pada
masa kesultanan Islam, hukum Islam sudah diberlakukan secara resmi sebagai hukum
negara (hukum positif). Kerajaan-kerajaan Islam yang pernah berdiri di Indonesia
melaksanakan hukum Islam dalam wilayah kekuasaannya masing-masing. Seperti
Kerajaan Islam Samudera Pasai yang berdiri di Aceh pada akhir abad ke-13,
dilanjutkan dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam lainnya, seperti Demak,
Jepara, Tuban, Gresik, Ngampel dan Banten. Di bagian timur Indonesia berdiri pula
Kerajaan Tidore dan Makassar. Dan selanjutnya pada pertengahan abad ke-16, berdiri
sebuah dinasti baru yakni Kerajaan Mataram.11
10
Oyo Sunaryo Mukhlas, Perkembangan Peradilan Islam, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011),
hlm. 119.
5
11
Aliddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011),hlm. 197-
198.
6
kesultanan, telah merubah secara mendalam sistem politik yang telah dikenal hingga
saat itu di kepulauan nusantara. Setelah perpindahan agama baru oleh raja dan
penduduknya, Islam memainkan peran penting.12
Seperti yang telah ditulis oleh Ibn Batutah, seorang pelancong Maroko, ketika
mengisahkan perjalanannya di Samudera Pasai, ia juga menulis perihal praktik
hukum Islam di Samudera Pasai, bahwa mazhab hukum Islam yang diikuti oleh
sultan dan penduduk di Samudera Pasai adalah mazhab Syafi’i. Di Samudera Pasai
juga diberlakukan lembaga-lembaga keagaamaan seperti qadhi dan mufti.
Pelaksanaan jihad, jizyah, dan pemisahan wilayah Islam dan bukan-Islam di
Kesultanan Samudera Pasai berkait dengan pemikiran dan aturan hukum Islam.13
12
Ayang Utriza Yakin, “Islamisasi dan Syariatisasi Samudera-Pasai Abad Ke-14 Masehi”,
ISLAMICA, Volume 9, No. 1, September 2014, hlm. 278.
13
Ayang Utriza Yakin, “Islamisasi dan Syariatisasi Samudera-Pasai Abad Ke-14 Masehi”,
ISLAMICA, Volume 9, No. 1, September 2014, hlm. 281-288.
14
Tresna, Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1978), hlm.
17.
15
Warkum Sumitro, Perkembangan Hukum Islam di tengah Kehidupan Sosial Politik di
Indonesia, (Malang: Bayumedia Publishing, 2005), hlm. 21.
7
Di Cirebon atau Priangan terdapat 3 bentuk peradilan yang berjalan yaitu:
Peradilan Agama, Peradilan Drigama, Peradilan Cilaga. Masing-masing peradilan
memiliki kewenangan yang berbeda-beda. Peradilan Agama mempunyai wewenang
terhadap perkara-perkara yang dapat dijatuhi hukuman mati. Pada awalnya perkara
ini mer upakan perkara yang harus dikirim ke Mataram. Tetapi karena kekuasaan
Mataram sudah merosot maka perkara-perkara tersebut tidak lagi dikirim ke
Mataram. Untuk kewenangan absolut Peradilan Drigama adalah perkara-perkara
perkawinan dan waris. Peradilan Drigama bekerja dengan pedoman hukum Jawa
Kuno dan diselesaikan menurut hukum adat setempat. Sementara Peradilan Cilega
adalah peradilan khusus masalah niaga. Peradilan Cilega juga dikenal dengan istilah
Peradilan Wasit.16
Istilah Agama dan Drigama terdapat dalam Pepakem Cirebon yang digunakan
untuk mengadakan pemisahan menurut sifatnya diantara perkara-perkara yang harus
diadili. Igama adalah perkara-perkara keagamaan dan harus diselesaikan berdasarkan
hukum adat. Toya Gamaadalah perkara-perkara yang diselesaikan berdasarkan
percobaan hukum yang berat.17 Pepakem sendiri merupakan kompilasi dari hukum
perundang-undangan Jawa Kuno yang memuat kitab hukum Raja Niscaya, Undang-
undang Mataram, Jaya Lengkara, Kontra Menawa dan Adilulah. Dalam sistemnya,
pengadilan dilaksanakan oleh tujuh orang menteri yang mewakili tiga sultan, yaitu
Sultan Sepuh, Sultan Anom, dan Panembahan Cirebon. Segala acara yang menjadi
sidang menteri itu diputuskan menurut undang-undang Pepakem.18
16
Ahmad R, “Peradilan Agama di Indonesia”, Yudisia, Volume. 6, No. 2, Desember 2015, hlm.
315
Aliddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011),hlm. 106.
17
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, Edisi Revisi, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
18
19
Amran Suadi, Mardi Candra, Politik Hukum: Perspektif Hukum Perdata dan Pidana Islam
serta Ekonomi Syariah, (Jakarta: Prenadamedia Group: 2016), hlm. 345-346.
20
M. Yahya Harun, Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI dan Abad XVII, (Yogyakarta: Karunia
Kalam Sejahtera, 1995), hlm. 11-12.
21
Amran Suadi, Mardi Candra, Politik Hukum: Perspektif Hukum Perdata dan Pidana Islam
serta Ekonomi Syariah, (Jakarta: Prenadamedia Group: 2016), hlm. 341.
9
Di kerajaan Aceh Darussalam, peran keagamaan dipimpin oleh seorang ulama
yang disebut syaikhul islam. Dialah yang menjadi patron berbagai kebijakan
pemerintahan berkaitan dengan agama. Pada masa syaikhul Islam dipegang oleh
Nuruddin ar-Raniry (1637-1641), ia mengarang beberapa kitab yang kemudian
menjadi pegangan para hakim di seluruh wilayah kekuasaan Aceh dalam
memutuskan perkara. Hal yang sama juga dilakukan pada masa pemerintahan
Sultanah Safiatuddin (1641-1675) dengan syaikhul Islam Abdurrauf Syiah Kuala
(1642-1693).22
Pelaksanaan hukum Islam di kerajaan Aceh ini menyatu dengan peradilan negara
dan dilakukan secara bertingkat mulai dari kampung yang dipimpin oleh Keucik,
untuk perkaraperkara ringan saja. Sedangkan perkara-perkara berat diselesaikan oleh
Balai Hukum Muhkim. Peradilan tingkat kedua yang merupakan peradilan banding
adalah Oeloebalang. Jika keputusan Oeloebalang tidak memuaskan, dapat dimintakan
banding di peradilan ketiga yaitu Panglima Sagi. Keputusan Panglima Sagi bisa
dimintakan banding kepada sultan pengadilan tertinggi. Pelaksanaannya dilakukan
oleh Mahkamah Agung yang terdiri dari Malikul Adil, Orang Kaya, Sri Paduka Tuan,
Orang Kaya Raja Bandahara, dan Faqih (Ulama). 23
22
Amran Suadi, Mardi Candra, Politik Hukum: Perspektif Hukum Perdata dan Pidana Islam
serta Ekonomi Syariah, (Jakarta: Prenadamedia Group: 2016), hlm. 343.
23
Aliddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,2011), hlm. 204.
24
Warkum Sumitro, Perkembangan Hukum Islam di tengah Kehidupan Sosial Politik di
Indonesia, (Malang: Bayumedia Publishing, 2005), hlm. 23
10
Qadhi memainkan peran penting dalam pemerintahan kesultanan Banten. Selain
bertanggungjawab dalam penyelesaian sengketa rakyat di pengadilan agama, ia juga
berperan dalam penegakan hukum Islam seperti hudud.25 Pada tahun 1651-1680 M
dibawah kekuasaan Sultan Ageng, diberlakukan hukuman terhadap pencuri dengan
memotong tangan kanan, kaki kiri, tangan kiri dan seterusnya untuk pencurian harta
secara berturut-turut senilai 1 gr emas.26 Disana selain melaksanakan hukum potong
tangan terhadap pencuri juga menghukum orang yang menggunakan opium dan
tembakau. Hukuman berat juga dilakukan terhadap pelanggaran seksual.27
Peradilan Banten disusun menurut hukum Islam yang memang pada masa Sultan
Hasanuddin tidak ada bekas pengadilan yang berdasar pada hukum Hindu. Pada abad
ke 17 M, hanya ada satu pengadilan yang dipimpin oleh Qadhi. Satusatunya peraturan
yang masih mengingatkan pada pengaruh Hindu ialah hukuman mati yang dijatuhkan
oleh Qadhi yang memerlukan pengesahan oleh Raja.28
25
Amran Suadi, Mardi Candra, Politik Hukum: Perspektif Hukum Perdata dan Pidana Islam
serta Ekonomi Syariah, (Jakarta: Prenadamedia Group: 2016), hlm. 356.
26
Anthony Reid, AsiaTenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1992), hlm. 163.
27
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan
XVIII, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 69.
28
Ahmad R, “Peradilan Agama di Indonesia”, Yudisia, Volume. 6, No. 2, Desember
2015,hlm. 316.
29
Yahya Harun, Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI dan Abad XVII, (Yogyakarta: Karunia
Kalam Sejahtera, 1995),hlm. 65.
11
kota tengah, Minangkabau. Raja pertama yang menerima Islam pada hari itu juga
ialah raja Tallo yang bernama I Malingkaang Daeng Mannyonri.
Disamping sebagai raja, Baginda Tallo merangkap sebagai Tumabbicara Butta
atau Mangkubumi Kerajaan Gowa. Setelah memeluk Islam, raja mengganti namanya
menjadi Sultan Abdullah Awwalul Islam. Menyusul kemudian raja Gowa XIV I
Mangngerengi Daeng Manrabbia memeluk Islam dan berganti nama menjadi Sultan
Alauddin.30 Dengan datangnya Islam yang disetujui oleh kedua kerajaan tersebut
kemudian keduanya menjadi kerajaan terkuat.
Hal tersebut dikuatkan kembali dengan terjadinya konversi ke dalam Islam secara
besar-besaran yang ditandai dengan keluarnya dekrit oleh Sultan Alauddin pada 9
November 1607 M. dekrit tersebut berbunyi: “Kerajaan Gowa-Tallo menjadikan
Islam sebagai agama kerajaan dan seluruh rakyat yang bernaung dibawah kerajaan
harus menerima Islam sebagai agamanya”.31
Setelah menjadi kerajaan Islam, raja Gowa menempatkan Parewa Syara’
(Pejabat Syari’at/Pengadilan tingkat II) yang berkedudukan sama dengan Parewa
Adek (Pejabat Adek) yang sudah ada sebelum datangnya Islam. Parewa Syara’
dipimpin oleh kali (Qadhi) yaitu pejabat tinggi dalam syariat Islam yang
berkedudukan dipusat kerajaan (Pengadilan tingkat III).
Di masing-masing Paleli diangkat pejabat bawahan yang disebut Imam serta
dibantu oleh seorang Khatib dan seorang Bilal (Pengadilan Tingkat I). Para qhadi dan
pejabat urusan tersebut diberikan gaji yang diambilkan dari zakat fitrah, zakat harta,
sedekah Idul Fitri dan Idul Adha, kendurui kerajaan, penyelenggaraan mayat dan
penyelenggaraan pernikahan. Hal ini terjadi pada saat pemerintah raja Gowa XV
(1637-1653) ketika Malikus Said berkuasa. Sebelumnya raja Gowa sendiri yang
menjadi hakim agama Islam.32
30
Nelmawarni dan Idawati Djohar, Laporan Penelitian Tiga Tokoh Minangkabau Pembawa
Islam ke Sulawesi Selatan, (Padang: Institut Agama Islam Negeri ImamBonjol Padang, 2013), hlm. 1.
31
Nidia Zuraya, “Masuknya Islam di Pulau Sulawesi”, Republika, B6 (Januari 2011).
32
Ahmad R, “Peradilan Agama di Indonesia”, Yudisia, Volume. 6, No. 2, Desember 2015.hlm.
316.
12
BAB III
KESIMPULAN
Hukum Islam untuk menjadi hukum formal di Indonesia, tidak sepi dari
polemik, Perseteruan antara politik dan hukum sangat kuat dalam supremasinya. Jika
dilihat dari perkembangannya, terdapat tiga persimpangan dalam hukum Islam di
Indonesia. Pertama, berasal dari kelompok yang menghendaki pemberlakuan hukum
Islam di Indonesia untuk mengatur pemeluknya, disebut kelompok tradisional yakni,
kelompok yang beranggapan bahwa agama mengatur semua aspek kehidupan, maka
umat Islam harus mempraktekan aturan-aturan hukum Islam termasuk dalam
kehidupan bernegara sekalipun. Kedua, kelompok moderat berasal dari golongan
yang menginginkan adanya keseragaman dan kesatuan hukum. Ketiga, kelompok
sekuler yang menginginkan tidak berlakunya hukum Islam secara melembaga,
kelompok ini beralasan bahwa agama hanya mengatur urusan individu dengan
tuhannya yang berupa ibadah ritual, sama sekali tidak mengatur aspek sosial konkret,
termasuk aturan hukum. Hubungan yang anta gonistik tersebut sangat kuat
mempengaruhi kebijakan pemerintah, baik dalam penerapan maupun penyerapan
hukum Islam.
Dalam Islam, istilah politik hukum disebut dengan as-Siyasah as-Syar’iyyah
yang merupakan aplikasi dari al-maslahah al-mursalah, yaitu mengatur kesejahteraan
manusia dengan hukum yang ketentuanketentuannya tidak termuat dalam syara’.
Politik hukum Islam pada masa kesultanan terkonfigurasi dalam kebijakan-kebijakan.
Pada masa kesultanan, Islam dijadikan sebagai agama resmi kerajaan dengan
cara memberlakuan segala aspek keagamaan pada seluruh sistem kerajaan,
pengangkatan beberapa jabatan dalam kerajaan yang berwenang dalam bidang
agama, memberlakukan beberapa buku pedoman sejenis undang-undang yang
berasaskan syariah Islam untuk dijadikan pedoman dalam penyelesaian suatu
masalah, seperti Papakeum Cirebon di Kerajaan Cirebon dan kitab Jugul Muda di
Kerajaan Demak, serta segala pemberlakuan hukum perdata maupun hukum pidana
dengan melihat pada praktek yang telah berjalan di dalam kerajaan.
13
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia, Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada, 2000.
Abdul Wahab Khallaf, Politik Hukum Islam, alih bahasa Zainudin Adnan,
Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005.
Ahmad R, “Peradilan Agama di Indonesia”, Yudisia, Volume. 6, No. 2, Desember
2015.
Aliddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2011.
Amran Suadi, Mardi Candra, Politik Hukum: Perspektif Hukum Perdata dan Pidana
Islam serta Ekonomi Syariah, Jakarta : Prenadamedia Group, 2016.
Anthony Reid, AsiaTenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680, Jakarta : Yayasan Obor
Indonesia, 1992.
Ayang Utriza Yakin, “Islamisasi dan Syariatisasi Samudera-Pasai Abad Ke-14
Masehi”, ISLAMICA, Volume 9, No. 1, September 2014.
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad
XVII dan XVIII, Bandung : Mizan, 1995.
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2003.
Marzuki Wahid & Rumadi,Fiqh Madzhab Negara: Kritik Atas Politik Hukum di
Indonesia, Yogyakarta : LKiS, 2001.
Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, cet.III, Jakarta : LP3ES, 2006.
M. Yah
ya Harun, Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI dan Abad XVII, (Yogyakarta:
Karunia Kalam Sejahtera, 1995.
Nelmawarni dan Idawati Djohar, Laporan Penelitian Tiga Tokoh Minangkabau
Pembawa Islam ke Sulawesi Selatan, Padang : Institut Agama Islam Negeri
Imam Bonjol Padang, 2013.
Nidia Zuraya, “Masuknya Islam di Pulau Sulawesi”, Republika, B6, Januari 2011.
Oyo Sunaryo Mukhlas, Perkembangan Peradilan Islam, Bogor: Ghalia Indonesia,
2011.
14
Siti Mahmud, “Politik Penerapan Syari’at Islam Dalam Hukum Positif Di Indonesia
(Pemikiran Mahfud MD)”, AL-’ADALAH, Volume X, No. 4, Juli 2012.
Tresna, Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad, Jakarta : Pradnya Paramita, 1978.
Warkum Sumitro, Perkembangan Hukum Islam di tengah Kehidupan Sosial Politik di
Indonesia, Malang : Bayumedia Publishing, 2005.
15