Anda di halaman 1dari 12

TUGAS REVIEW ATAU RESENSI BUKU

TENTANG

PERADILAN AGAMA DALAM POLITIK HUKUM DI INDONESIA


Dari Otoriter Konservatif menuju Konfigurasi Demokratis-Responsif

Oleh.

 RYAN SAPUTRA
 18.11.019781

PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA

MATA KULIAH SISTEM INFORMASI MANAJEMEN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALANGKARAYA TAHUN 2020

IDENTITAS BUKU

1
Judul Buku : Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia

Penulis : Abdul Halim

Cetakan : I ( pertama )

Penerbit : PT. Raja Grafindo Persada

Tahun Penerbitan : 2000

A. Sistematika
Buku karangan Abdul Halim ini didahului dengan satu tulisan yang diberi tema dengan
Politik Islam Penguasa sebuah Pengantar ke Politik Hukum Islam di Indonesia. Setelah itu
Pendahuluan yang mengetengahkan hubungan institusi keagamaan dengan dinamika politik, di
susul dengan teoritisasi politik hukum yang menjelaskan konfigurasi politik dan karakter produk
hukum. Uraian ini menjelaskan kerangka pikir dalam melihat konfigurasi politik dan produk
hukum. Diikuti pula dengan mengedepankan perkembangan studi politik hukum Islam di
Indonesia, pendekatan studi dan susunan buku. Adapun penulisan angka diatas kalimat adalah
deskripsi dari buku, peraturan dan lainya yang mungkin di buat penulis dengan sedemikian
rapinya.
Pada Bab II mengedepankan perkembangan Peradilan Agama yang ditulis dengan subbab
Peradilan Agama dalam masyarakat muslim Indonesia, istilah-istilah Peradilan Agama,
perkembangan Peradilan Agama di masa kesultanan Islam, Peradilan Agama masa kolonial
Belanda, Peradilan Agama masa pendudukan Jepang dan Peradilan Agama pasca kemerdekaan.
Bab III menjelaskan konfigurasi politik rezim Soeharto dengan menjelaskan selintas rezim
Orde Baru, perspektif pembangunan hukum, perkembangan konfigurasi politik dan identifikasi
perpolitikan Orde Baru.
Bab IV membahas pergumulan politik hukum rezim Orde Baru dengan sub bahasan
pergumulan mazhab pemikiran. Implementasi pergumulan dalam produk hukum, konfigurasi
politik hukum di Indonesia, Peradilan Agama Pasca UU Nomor 35 Tahun 1999. Sedangkan
sebagai penutup tulisan pada Bab V dikedepanan tema menuju konfigurasi politik demokratis-
responsif.

B. Pendahuluan
Hukum Islam dan politik adalah dua sisi yang tidak bisa dipisahkan dalam suatu masyarakat
Islam. Hukum Islam tanpa didukung oleh politik sulit digali (Ijtiihad istambathi) dan diterapkan
(Ijtihad Tathbiqy). Politik yang mengabaikan hukum Islam akan mengakibatkan kekacauan dalam
masyarakat. Semakin baik hubungan Islam dan politik semakin besar peluang hukum Islam
diaktualisasikan, dan semakin renggang hubungan Islam dan politik, maka semakin kecil peluang
hukum Islam diterapkan.

2
Saat umat Islam kuat secara politik, dengan City State Madinah1, hukum Islam dan politik
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, meski tanpa menyebut secara tegas hukum Islam
sebagai pedoman Negara. Negara Madinah dengan Piagam Madinah (Shahifah), malah tidak
disebut sebagai Negara Islam. Namun, konstitusi Negara tersebut, sanggup mengakomodasikan
seluruh kepentingan masyarakat majemuk. Konstitusi Madinah membangun etika kehidupan
masyarakat yang cukup modern dengan prinsip bertetangga baik, saling membantu, membela yang
tertindas, saling konsultasi / musyawarah dalam urusan bersama dan kebebasan beragama. Negara
Madinah membuktikan, kepentingan umat Islam dan non-Muslim terpenuhi oleh Negara tersebut
tanpa ada deskriminasi terhadap golongan tertentu. Keberhasilan Nabi Muhammad SAW ditopang
oleh tiga kata kunci, yaitu konstitusi yang baik dan pemerintahan legitimate serta pelaksanaan
hukum yang baik.
Suatu institusi keagamaan atau kemasyarakatan sulit dipahami tanpa mengaitkan dengan
perkembangan situasi social politikyang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Karena setting
social politk ikut memberikan bentuk dan warna bagi kelangsungan hidup suatu institute. Hal yang
sama juga ikut berlaku dan berpengaruh terhadap pranata social lainnya.
Perjalanan sejarah lembaga keagamaan, khususnya peradilan agama Islam di Indonesia
memperlihatkan bahwa setiap rangkaian historis secara terus-menerus ditandai dengan pergumulan
antara politik dan institusi hukum islam, yang terkadang memihak dan menguntungkan
kelangsungan institusi ini dan tidak jarangpula merugikannya.maka yang terjadi adalah gelombang
pasang surut institusi peradilan islam (al-Qadla fi al-Islam) di Indonesia, seiring dengan pasang
surut peran politik umat Islam.
Tarik menarik antara kepentingan politik penguasa dan kepentingan umat islam tercipta
disebabkan dua kepentingan yang berbeda. Di satu pihak motivasi politik pemerintah yang ada
menciptakan Legal Policy yang mengedepankan nilai-nilai sekularisme, dengan dalih hukum islam
tidak relevan dengan kondisi social serta pertimbangan pluralisme yang terdapat di tengah-tengah
masyarakat. Sehingga segala kebijakan politik hukum dibentuk dan diarahkan kepada pengurangan
peran hukum agama.

C. Deskripsi Buku
1. Bab I
Kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan:
1
Peradilan Umum, 2Peradilan Agama, 3Peradilan Militer, dan 4Peradilan Tata Usaha Negara2.
Peradilan Agama adalah kekuasaan Negara dalam menerima, memeriksa, mengadili,
memutus, dan menyeleseikan perkara-perkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam
untuk menegakkan hukum dan keadilan.3 Perkara-perkara tertentu ini adalah perkawinan,
kewarisan, wasiat, hibah, ekonomi syari’ah, wakaf dan sadaqah yang dilakukan berdasarkan
hukum islam.4

1
Muhammam Husain Haikal, Sejarah Hidup Muhammad, (Jakarta: Pustaka Jaya dan Tintamas, 1982), hlm. 218.
2
Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 Pasal 10 ayat (1).
3
Cik Hasan Bisri, Peradilan Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, (Bandung: Rosdakarya, 1997), hlm. 36.
4
UUPA Nomor 7 tahun 1989 Pasal 49 ayat (1).

3
Politik hukum adalah kebijakan pemerintah yang akan atau telah dilaksanakan secara
nasional oleh pemerintah Indonesia. Adapun konfigurasi politik dalam kajian ini adalah sebagai
susunan atau konstelasi kekuatan politik yang secara dikhotomis dibagi atas dua konsep, yaitu
konfigurasi politik demokratis dan konfigurasi politik otoriter.5
Dalam menentukan karakter produk hukum masa Orde Baru yang dijadikan sebagai
studi kasus pada kajian ini meminjam teori yang digunakan oleh Moh. Mahfud. Ada dua
karakter produk hukum:
a. Produk Hukum Responsif / Populistik
Produk hukum responsive / populistik adalah produk hukum yang mencerminkan
rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat.
b. Produk Hukum Konservatif / Ortodoks / Elitis
Produk hukum yang isinya lebih mencerminkan visi social elite politik, lebih
mencerminkan keinginan pemerintah, bersifat positivis instrumentalis, yakni
menjadi alat pelaksana ideology dan program Negara. Berlawanan dengan hukum
responsive, hukum ortodoks lebih tertutup terhadap tuntutan-tuntutan kelompok
maupun individu-individu dalam masyarakat. Dalam pembuatannya peranan dan
partisipasi relative kecil.

2. Bab II
Peradilan adalah salah satu pranata (institusi) dalam memenuhi hajat hidup anggota
masyarakat untuk menegakkan hukum dan keadilan. Sedang pengadilan merupakan satuan
organisasi (institute) yang menyelenggarakan penegak hukum dan keadilan tersebut.6
Peradilan dalam perkembangan khazanah hukum islam (fiqh) menggunakan istilah al-
qadla’ untuk peradilan, mahkamah al-qadla’ bagi pengadilan, dan qadli untuk hakim.
Kualifikasi tertentu dan syarat-syarat minimal yang harus ada pada seorang hakim
adalah; Pertama, memiliki pengetahuan tentang istimbath tathbiqy dan bagaimana menerapkan
produk hukum syar’i serta mengetahui adat kebiasaan masyarakat. Kedua, hakim harus bisa
mengambil sikap menentukan (tarjih), bukti mana dan argumentasi yang kuat diantara bukti-
bukti yang diajukan di muka persidangan oleh kedua belah pihak yang berperkara. Ketiga,
mengetahui dasar-dasar pertimbangan yang digunakan dalam menetapkan putusan.
Sebelum ada penyeragaman nama, peradilan agama sering pula disebut dengan
Mahkamah Syar’iyah, artinya pengadilan atau mahkamah yang menyeleseikan perselisihan
hukum agama atau syara’.7 Istilah Peradilan Agama secara tegas dinyatakan dalam Undang-
undang Nomor 7 tahun 1989; “bahwa Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang
yang beragama islam”.8
Untuk memberi gambaran tentang posisi lembaga peradilan agama di Indonesia orang
harus memperhatikan masalah hukum Islam di Indonesia, sedikitnya pada tiga masa penting

5
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1998), hlm. 9.
6
Cik Hasan Bisri, Peradilan Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, hlm. 36.
7
Zaini Ahmad Noeh, Sejarah Singkat Peradilan Agama Islam di Indonesia, (Surabaya: Bina Ilmu, 1983), hlm. 15.
8
Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 Pasal 1 ayat (1).

4
yaitu masa sebelum penjajahan yakni masa kesultanan Islam, masa penjajahan, dan masa
kemerdekaan .
Sebenarnya sebelum Islam dating ke Indonesia, di negeri ini telah dijumpai dua macam
peradilan, yakni Peradilan Pradata dan Peradilan Padu. Peradilan pradata mengurus masalah-
masalah perkara yang menjadi urusan raja sedangka peradilan padu mengurus masalah yang
tidak menjadi wewenang raja.9 Peradilan Agama dalam bentuk yang dikenal sekarang ini
merupakan mata rantai tidak terputus dari sejarah masuknya agama islam. 10
a. Masa Kesultanan Islam
Bersamaan dengan perkembangan masyarakat Islam, Indonesia terdiri dari sejumlah
kerajaan Islam. Maka dengan penerimaan Islam dalam kerajaan, otomatis para hakim yang
melaksanakan keadilan diangkat oleh sultan atau imam.
Pada periode ini pihak kerajaan Islam mempunyai pembantu jabatan agama dalam
system pemerintahannya. Misalnya di tingkat desa ada jabatan agama yang disebut Kaum,
Kayim, Modin, dan Amil. Ditingkat kecamatan disebut Penghulu Naib. Ditingkat kabupaten
ada Penghulu Seda dan tingkat kerajaan disebut Penghulu Agung yang berfungsi sebagai
hakim atau qadli yang dibantu beberapa penasihat yang kemudian disebut Pengadilan
Surambi.

b. Masa Kolonial Belanda


Sebelum Belanda melancarkan politik hukum (Islam Politiek) di Indonesia, Islam
mendapat tempat dalam berbagai kehidupan masyarakat muslim di belahan nusantara ini.
Islam menjadi pilihan bagi masyarakat karena secara teologis ajarannya memberikan
keyakinan dan kedamaian bagi penganutnya. Namun, keadaan ini kemudian menjadi
terganggu dengan munculnya kolonialisme Barat yang membawa misi tertentu, mulai dari
misi dagang, politik bahkan sampai misi kristenisasi.
Intervensi kolonial Belanda di akhir abad ke-16 ditandai dengan kedatangan
organisasi dagang Belanda VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) tahun 1596 di
Banten. Misi VOC sebagai perpanjangan tangan pemerintah Belanda mempunyai dua
fungsi, Pertama, sebagai pedagang dan kedua sebagai badan pemerintah. Sebagai upaya
pemantapan pelaksanaan kedua fungsi tersebut, VOC menggunakan hukum dan peraturan
perundang-undangan Belanda. Di daerah-daerah yang kemudian satu persatu dapat dikuasai
colonial akhirnya membentuk badan-badan peradilan. Upaya ini tidak secara mulus
berjalan, dan dalam penerapannya mengalami hambatan.
Atas dassar berbagai pertimbangan, VOC membiarkan lembaga-lembaga asli yang
ada dalam masyarakat untuk berjalan sebagaimana sebelimnya. Langkah ini diambil
sebagai upaya menghindari perlawanan dari masyarakat setempat. Konsekuensinya VOC
terpaksa memperhatikan hukum yang hidup dan diikuti oleh rakyat dalam kehidupan
sehari-hari. Belanda tetap mengakui apa yang telah berlaku sejak berdirinya kerajaan-

9
Tresna, Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad, (Pradnya Paramita, 1977), hlm. 17.
10
Sharon Shiddieque, Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, (Jakarta: LP3ES, 1989), hlm. 208.

5
kerajaan Islam di Nusantara, seperti Hukum Keluarga Islam, perkawinan, waris, dan
wakaf.11
c. Masa Jepang
Dalam aspek perkembangan hukum, masa penjajahan Jepang (1942-1945) tidak
terjadi perubahan yang mendasar tentang posisi pengadilan agama. Karena berdasarkan
peraturan yang dikeluarkan Pemerintah Bala Tentara Jepang melalui dekritnya No.1 tahun
1942 menyatakan, semua badan pemerintahan beserta wewenangnya, semua undang-
undang, tata hukum dan semua peraturan dari pemerintahan yang lama dianggap masih
berlaku dalam waktu yang tidak ditentukan selama tidak bertentangan dengan peraturan
Pemerintah Bala Tentara Jepang.
Pada masa pendudukan Jepang, meski belum sempat diterapkan, kedudukan peradilan
agama pernah terancam yaitu tatkala pada akhir Januari 1945 pemerintahan Bala Tentara
Jepang mengajukan pertanyaan kepada Dewan Pertimbangan Agung dalam rangka maksud
Jepang akan memberikan kemerdekaaan kepada bangsa Indonesia, yaitu bagaimana sikap
Dewan ini terhadap susunan penghulu dan cara mengurus kas masjid, dalam hubungannya
dengan kedudukan agama dalam Negara Indonesia Merdeka kelak. Pada 14 April 1945
Dewan memberi jawaban sebagai berikut; dalam Negara baru yang memisahkan urusan
Negara dengan urusan agama tidak perlu mengadakan pengadilan agama sebagai
pengadilan istimewa, untuk mengadili urusan seseorang yang bersangkut paut dengan
agamanya cukup segala perkara diserahkan kepada pengadilan biasa yang dapat minta
pertimbangan seorang ahli agama.12
Selain itu pada masa ini ahli-ahli hukum Indonesia memikirkan untuk menghapus
pengadilan agama. Pemikiran ini muncul dari Soepomo, penasihat departemen kehakiman
ketika itu dan ahli hukum adat. Tetapi usul Soepomo dalam suatu laporan tentang
pengadilan agama itu diabaikan oleh Jepang, karena khawatir akan menimbulkan protes
dari umat Islam.13 Jepang lebih memilih untuk tidak ikut campur soal urusan agama umat.
d. Masa Pasca Kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka 17 Agustus 1945, atas usul Menteri Agama yang disetujui
Menteri Kehakiman, pemerintah menetapkan bahwa Pengadilan Agama diserahkan dari
kekuasaan Kementerian Kehakiman kepada Kementerian Agama dengan ketetapan
pemerintah nomor 5/SD tanggal 25 Maret 1946.
Sebelum merdeka pegawai pengadilan agama dan hakim tidak mendapat gaji tetap
dan honorarium dari pemerintah, maka setelah merdeka anggaran belanja pengadilan
agama disediakan oleh pemerintah. Sejalan dengan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945,
dasar dari wewenang kekuasaan peradilan agama masih tetap berlaku sebagaimana sebelum
proklamasi.
Selama revolusi fisik, pada umumnya tidak ada perubahan tentang dasar peraturan
peradilan agama secara principal, selain usaha-usaha pelestarian peradilan agama itu

11
Mohammad Daud Ali, Kedudukan Islam, (Jakarta: LP3ES, 1988), hlm. 212.
12
Zuffran Sabrie, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Departemen Agama RI Direktorat Jendral Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1999), hlm. 19.
13
Deliar Noer, Administrasi Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 1983), hlm. 87.

6
sendiri. Akan tetapi terdapat beberapa hal yang perlu dicermati pada masa revolusi fisik ini,
yaitu :
- Pertama, keluarnya UU Nomor 22 tahun 1946 tentang pencatatan nikah, talak, dan
rujuk menggantikan ordonansi NTR dahulu.
- Kedua, keluarnya penetapan Menteri Agama Nomor 6 tahun 1947 tentang penetapan
formasi pengadilan agama terpisah dari penghulu Kabupaten, dengan kata lain
pemisahan tugas antara Penghulu Kabupaten sebagai kepala Pegawai Pencatat Nikah
dan urusan kepenghuluan lainnya, dengan penghulu hakim sebagai ketua pengadilan
agama, juga sebagai Qadi Hakim Syar’i.
- Ketiga, keluarnya UU Nomor 19 tahun 1948 yang tidak pernah dinyatakan berlaku.
Isinya antara lain dihapuskannya susunan pengadilan agama yang telah ada selama ini,
tetapi materi hukum yang menjadi wewenangnya ditampung dan dimasukkan di
pengadilan negeri yang secara istimewa diputus oleh dua orang hakim ahli agama
disamping hakim yang beragama islam sebagai ketua.
- Keempat, keputusan Recomba Jawa Barat NO. Rec. WJ 229/72 tanggal 2 April 1948
dan peraturan yang tercantum dalam Javaassche Courant 1946 No. 32 dan 39 tahun
1948 nomor 25, dan 1949 No. 29 dan 65 menentukan bahwa di daerah-daerah yang
dikuasai tentara sekutu dan Belanda, instansi yang dinamakan Priesterraad diubah
menjadi Penghulu Gerecht.

3. Bab III
Orde Baru adalah tatanan pemerintahan Negara Republik Indonesia yang berkuasa
sejak tahun 1966 sampai Mei 1998 di bawah pemerintahan Soeharto, setelah keruntuhan rezim
Soekarno dengan demikrasi terpimpinnya yang bercorak otoritarian. 14 Sebagai tonggak awal
kelahiran orde baru dapat dikatakan dimulai dengan adanya penyerahan Surat Perintah 11
Maret 1966 (supersemar) kepada Soeharto oleh Presiden pertama Soekarno.
Orde Baru muncul dengan mengibarkan semangat, melahirkan semngat baru dan tekad
yang baru pula. Pemerintahan ini menobatkan diri sebagai pengoreksi total terhadap kesalahan,
kegagalan, keburukan rezim orde lama yang telah melakukan penyelewengan dan melanggar
konstitusi UUD 1945 dan Pancasila. Tekad ini ditegaskan Soeharto selaku pejabat Presiden
dihadapan siding pleno Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DRD-GR) pada awal
lahirnya Orde Baru, yang berisi mempertahankan, memurnikan wujud dan pelaksanaan
Pancasila dan UUD 1945.
Pada awal masa Orde Baru merupakan masa-masa yang sangat sulit bagi umat Islam,
dimana Islam dianggap sebagai kekuatan yang membahayakan stabilitas dan keamanan
Negara. Meski pada paruh terakhir terjadi akomodasi antara Islam dan Negara.
Didalam penjelasan UUD 1945 digunakan istilah Rechsstaat, namun konsep
Rechtsstaat yang dianut oleh Negara Indonesia bukan konsep Negara Barat (Eropa
Continental) dan pula konsep rule of law dari Anglo-Saxon, melankan konsep yang bercirikan:
1
adanya hubungan yang erat antara agama dan Negara, 2bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha

14
Moh. Mahfud, Politik Hukum di Indonesia, hlm. 196.

7
Esa, 3kebebasan agama dalam arti positif, 4ateisme tidk dibenarkan dan komunisme dilarang,
serta 5asas kkeluargaan dan kerukunan. Sementara Negara hukum yang dimaksud mempunyai
unsur pokok yaitu Pancasila, MPR, system konstitusi, persamaan dan peradilan bebas.15
Adapun model-model perpilitikan yang ada pada masa rezim pemerintahan Orde Baru
adalah sebagai berikut:
a. Beamtenstaat dan Negara Pasca Kolonial
b. Politik Birokratis
c. Patrimonialisme Jawa
d. Korporatisme
e. Rezim Otoriter Birokrat
f. Paham Integralistik

4. Bab IV
Indonesia adalah wilayah yang dihuni berbagai kelompok etnik, social, agama, dan
kultur yang masing-masingnya mempunyai tanggung jawab moral untuk mempertahankan
norma dan pandangan hidup mereka (Bhineka Tunggal Ika). Ikatan dalam satu kesatuan yang
diikat oleh semboyan itu tidak berarti secara pemikiran dan ideologis mudah dipersatukan,
terutama persoalan pergumulan pemikiran hukum di Indonesia.
Pluralisme dan dualisme hukum adalah permasalahan yang sering menjadi ganjalan
bagi reformasi hukum. Masih kuatnya tingkat ketergantungan pada produk hukum terlihat dari
beberapa peraturan perundangan yang masih diambil dari warisan penjajahan Belanda.
Konsekuensi dari sikap ini dibuktikan dengan terjadinya pengelompokan hukum yakni: 1adanya
kelompok pembela hukum adat, 2kelompok pembela hukum Islam, dan 3kelompok pembela
warisan hukum Belanda.16
Upaya pencapaian konfigurasi politik yang demokratis dengan produk hukum yang
responsive, menjadi suatu keharusan untuk menciptakan situasi yang demokratis dengan
melibatkan banyak kelompok masyarakat, partai politik, dan kelompok lainnya dalam
masyarakat. Dalam kerangka politik hukum, maka perubahan konfigurasi politik yang
responsive terhadap urusan lembaga keagamaan seperti Peradilan Agama sangat tergantung
dari kemauan politik pemerintah serta peran akitif dari wakil-wakil rakyat di Dewan
Perwakilan Rakyat.
Adanya konsep Negara kesatuan mendorong para pemimpin Indonesia semenjak awal
kemerdekaan cenderung pada usaha unifikasi hukum. Dengan unifikasi mempermudah usaha
menuju modernisasi. Dalam realitasnya, berkaitan dengan kebutuhan lain, yakni ingin
menyingkirkan spirit hukum kolonial. Akan tetapi menyingkirkan secara total hukum warisan
kolonial merupakan pekerjaan yang berat, bagi suatu Negara yang majemuk, seperti Negara
Indonesia.
Di Indonesia, akomodasi antara Negara dan Islam dapat dilihat dalam kasus Pengadilan
Agama. Semenjak kemerdekaan, evolusi system pengadian ini sedikit banyak telah
15
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum,(Jakarta: Bulan Bintang, 1991), hlm. 38-44.
16
Subekti, Law in Indonesia, (Jakarta: Yayasan Proklamasi Center for Strategic and International Studies, 1982),
hlm. 6.

8
merefleksikan hasil pergumulan antara kelompok nasionalis, yang mewakili kekuatan Negara,
dan kelompok muslim. Melalui pemikiran intelektualisme Islam pada tahun 1970-an, akhirnya
muncul kesepahaman antara Negara dan Islam. Maka pada hubungan akomodatif inilah
kebijakan politik hukum Islam Orde Baru semakin aspiratif, dengan lahirnya Undang-undang
Nomor 7 tahun 1989.
Selama periode pemerintahan Orde Baru telah melahirkan beberapa produk hukum
dalam bentuk Undang-undang yang berhubungan dengan eksistensi Peradilan Agama di
Indonesia, diantaranya yaitu:
- Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman.
- Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
- Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Di bawah hirarki Undang-undang tersebut terdapat pula peraturan perundangan yang


mendukung, diantaranya adalah:

- Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977


- Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam

Dalam perspektif produk hukum, terdapat ada dua proses politik dalam suatu
masyarakat untuk pembangunan hukum17, yaitu: Pertama, produk hukum yang dihasilkan
melalui kerangka strategi pembangunan hukum yang dapat disebut ortodoks, dan demikian
hukum menjadi tanggap terhadap tuntutan-tuntutan kebutuhan masyarakat. Kedua, produk
hukum yang dihasilkan juga bersifat opresif karena secara sepihak hukum memantulkan
persepsi social para pengambil kebijakan.

Menurut Munawir Sjadzali setidaknya ada tiga mazhab pemahaman terhadap hubungan
antara agama dan Negara,18 yaitu:

- Pertama, aliran berpendirian bahwa agama serba sempurna dan tidak terpisah dari Negara.
- Kedua, berpendirian bahwa Islam adalah agama dalam pengertian barat, yang tidak ada
hubungannyadengan urusan agama.
- Ketiga, menolak pendapat bahwa Islam adalah suatu agama yang serba lengkap dan bahwa
dalam islam terdapat system ketatanegaraan. Aliran ini juga menolak pendapat mazhab
kedua diatas. Mazhab ini berpendirian bahwa dalam Islam terdapat seperangka tata nilai
etika bagi kehidupan bernegara.

Implikasi dari tiga mazhab pemikiran diatas, maka menurut Ahmad Fedyani Saufuddin,
ada tiga kemungkinan scenario politik keagamaan, yaitu19:

- Agama dan Negara terpisah satu sama lain.

17
Abdul Karim G. Nusantara, Politik Hukum Indonesia, (Jakarta: Yayasan LBM, 1988), hlm. 37-38.

18
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara Ajaran,Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI-Press, 1993), hlm. 1-2.
19
Achmad Fedyani Sifuddin, Agama dalam Politik Keseragaman: Suatu Refleksi Kebijakan Keamanan Orde Baru,
(Jakarta: Departemen Agama RI BAdan Penelitian dan Pengembangan Agama,2000), hlm. 5-6.

9
- Agama dan Negara terikat satu sama lain (Integralistik) dalam pengertian bahwa agama
memberi corak dominan atas Negara.
- Agama ditempatkan dalam suatu system Negara yang mengutamakan harmoni dan
keseimbangan.

5. Bab V
Studi ini berupaya membuktikan bahwa hubungan antara konfigurasi politik dan
karakter produk hukum menghasilakn tesis bahwa setiap produk hukum merupakan
pencerminan dari konfigurasi politik yang melahirkannya. Karakter produk hukum sangat
ditentukan oleh visi politik yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Semakin
demokratis suatu rezim, semakin responsive dan aspiratif produk hukum yang dihasilkan dan
sebaliknya. Karena itu, setiap perundangan dan hukum yang berkarakter responsive atau
populistik seirama dengan tingkat pelaksanaan demokratis dan penghargaan terhadap upaya
demokratisasi dalam kehidupan politik.
Sejarah konfigurasi politik di Indonesia memperlihatkan pasang surut dan pasang naik
secara bergantian antara demokratis dan otoriter atau demokratis dan otoriterisme muncul
secara bergantian dengan kecenderungan linear. Tarik menarik konfigurasi politik dengan
karakter produk hukum yang berkarakter responsive dan produk hukum yang berkarakter
konservatif dengan kecenderungan yang sama.

D. Sasaran Pembaca
Adapun yang menjadi segmentasi / sasaran pembaca dari buku ini secara khusus adalah
orang-orang Fakultas Hukum yang terdiri dari mahasiswa dan dosen, advokat, hakim, maupun
jaksa. Dan secara umum ditujkan kepada msyarakat umum guna menambah wawasan terkait
Peradilan Agama dalam politik Hukum di Indonesia.

E. Kelebihan Buku
Setelah membaca buku karangan Abdul Halim yang berjudul Peradilan Agama dalam Politik
Hukum di Indonesia ini, penyusun menemukan beberapa kelebihan dari buku ini, diantaranya
adalah sebagai berikut:
1. Telah tersusun secara sistematis
2. Bahasanya mudah dimengerti
3. Penjelasannya sangat rinci
4. Terdapat lampiran-lampiran terkait Undang-undang yang berhubungan dengan
pembahasan dalam buku.

F. Kekurangan Buku
Tiada gading yang tak retak, begitu pula tidak ada karya yang tidak memiliki kekurangan.
Maka kekurangan yang penyusun dapatkan dari buku karangan Abdul Halim ini diantaranya
adalah sebagai berikut:

10
1. Tidak adanya indeks terkait kata-kata yang tidak dapat dimengerti secara seketika.
2. Kurangnya memberikan pemahaman bagi pembaca khususnya para pemula sehingga
pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang tidak tersampaikan pada pembaca.

G. Kritik
Berdasarkan dari kekurangan diatas maka penyusun memberikan saran guna memberikan
dampak positif bagi kita semua di waktu yang akan datang, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Memberikan indeks dalam buku sehingga mempermudah pembaca dalam memahami
kata-kata yang sulit dimengerti
2. Dalam memberikan pemahaman sekiranya diperhatikan juga bahwa tidak semua yang
membaca buku ini adalah orang yang berwawasan melainkan orang awampun (pemula)
juga membaca buku ini.

H. Refrensi

Ali, Mohammad Daud, Kedudukan Islam, Jakarta: LP3ES, 1988.

Azhary, Muhammad Tahir, Negara Hukum,Jakarta: Bulan Bintang, 1991.

Bisri, Cik Hasan, Peradilan Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, Bandung: Rosdakarya,
1997.
Haikal, Muhammam Husain, Sejarah Hidup Muhammad, Jakarta: Pustaka Jaya dan Tintamas, 1982.
MD, Moh. Mahfud, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1998.
Noeh, Zaini Ahmad, Sejarah Singkat Peradilan Agama Islam di Indonesia, Surabaya: Bina Ilmu,
1983.
Noer, Deliar, Administrasi Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 1983.
Nusantara, Abdul Karim G, Politik Hukum Indonesia, Jakarta: Yayasan LBM, 1988.
Sabrie, Zuffran, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Departemen Agama RI Direktorat Jendral
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam,
1999.
Shiddieque, Sharon, Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, Jakarta: LP3ES, 1989.
Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara Ajaran,Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: UI-Press, 1993.
Subekti, Law in Indonesia, Jakarta: Yayasan Proklamasi Center for Strategic and International Studies,
1982.

Tresna, Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad, Pradnya Paramita, 1977.

Undang-undang Nomor 14 tahun 1970

UUPA Nomor 7 tahun 1989

11
12

Anda mungkin juga menyukai