Anda di halaman 1dari 16

Formalisasi Agama di Ruang Publik (Perda Syariah): Kebijakan,

Konten, dan Kontestasi1


Tati Rohayati
tati.rohayati@uinjkt.ac.id

Pendahuluan
Munculnya gerakan syari’at Islam di berbagai daerah pasca Reformasi Tahun 1998
merupakan fenomena penting untuk diteliti. Pasca ambruknya rezim Orde Baru, Indonesia
berada dalam krisis ekonomi dan stabilitas sosial-politik yang rapuh. Di tengah kehidupan
bangsa yang sedang tidak menentu, muncul gerakan untuk kembali kepada syariat sebagai
landasan hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kembali kepada syariat Islam
dipandang sebagai solusi dalam memecahkan berbagai krisis yang sedang terjadi dengan cara
menciptakan tatanan kehidupan yang religius dengan menerapkan syariat Islam dalam
seluruh aspek kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara.
Kemunculan gerakan syariat ini ditandai dengan demonstrasi massa secara besar-
besaran menuntut dimasukkannya tujuh kata “dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam
bagi pemeluk-pemeluknya” pada Piagam Jakarta ke dalam UUD 45. Mereka menuntut agar
pemerintah melaksanakan syariat Islam dalam berbagai pelaksanaan kehidupan berbangsa
dan bernegara. Mereka menyuarakan “amar ma’ruf nahyi mungkar”, menentang bentuk-
bentuk perilaku sosial yang menyimpang dari ajaran Islam. Dalam berbagai aksinya, dengan
membawa senjata tajam, mereka menghancurkan tempat-tampat yang dianggap sarang
maksiat seperti bar, cafe, diskotik, pub, karaoke, dan lain sebagainya. Di antara Organisasi
Gerakan Islam yang melakukan gerakan turun ke jalan tersebut misalnya Front Pembela
Islam (FPI), Laskar Jihad, Hizbut at-Tahrir Indonesia, Forum Komunikasi Ahlusunnah
Waljamaah (FK-ASWJ), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Komite Indonesia untuk
Solidaritas Dunia Islam (KISDI), dan Jamaah Islamiyah (JI), Laskar Jihad, Ikwanul
Muslimin, dan kelompok-kelompok pengajian masjid-masjid kampus, dan lainnya.
Pada konteks politik, keinginan untuk melembagakan syariat Islam juga datang dari
partai politik yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Bulan Bintang (PBB) dan
Partai Keadilan (PK). Ketiga partai ini mendukung syariat Islam dengan alasan bahwa
penduduk Indonesia mayoritas Muslim, untuk menjamin ketenangan hidup umat Muslim
perlu diberlakukan ajaran Islam yang didukung dengan konstitusi negara. Namun demikian,

1
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas UAS Mata Kuliah Islamic Intelectual History and Social
Movement, yang diampu oleh Prof. Jajat Burhanuddin, M.A, dan Dr. Abdul Wahid Hasyim, M.A pada Prodi
Magister Sejarah dan Kebudayaan Islam (MSKI) FAH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

1
apa yang dimaksudkan dengan syariat Islam yang digulirkan oleh beberapa partai politik
tersebut, tidak begitu jelas konsep dan aturan main pelaksanannya. Apakah negeri ini seperti
Iran yang dipimpin oleh para Mullah atau seperti Arab Saudi yang dipimpin oleh seorang
Raja. Menurut beberapa kalangan, tuntutan tersebut tampaknya hanya untuk menjaga
hubungan dengan konstituen, dan karenanya sangat bersifat politis.2
Di lain pihak, gerakan syariat ini menimbulkan kontra di tengah masyarakat. Mulai
tokoh ulama, cendikiwana, sampai organisasi Islam terbesar NU dan Muhammadiyah. Tokoh
NU cenderung melihat pemberlakuan syariat Islam secara formal di Indonesia tidak
mempunyai dasar yang kokoh karena itu usulan pencatuman tujuh kata pada Piagam Jakarta
berpotensi menimbulkan disintegrasi bangsa, “Islam bukanlah ideologi melainkan
pendidikan, gerakan moral, dan akhlak”.3 Bagi Muhammadiyah menekankan perlunya
meningkatkan sumber daya manusia (SDM) Muslim Indonesia jauh lebih penting dari pada
berangan-angan mendirikan negara Islam. Sementara ahli politik melihat, tuntutan syariat
Islam tampaknya hanya untuk menjaga hubungan dengan konstituen, dan karenanya sangat
bersifat politis.
Di tingkat pusat, perubahan pengelolaan pemerintahan dari sentralisasi ke
desentralisasi melalui Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah No 25
tahun 2000 tetang otonomi daerah, telah memberi peluang kepada daerah untuk menerapkan
syariat Islam. Yang menarik adalah, kebijakan otonomi daerah (otda) dijadikan momentum
yang tepat untuk melegitimasi pelaksanaan syariat Islam di daerah. Awalnya, hanya Aceh
yang diberikan otonomi khusus oleh pemerintah RI, menyusul beberapa daerah-daerah
lainnya di Indonesia. Jika kita melihat isi dari otda tersebut, maka akan terlihat peluang besar
bagi daerah-daerah untuk mengatur wilayahnya, tidak terkecuali urusan agama: “Otonomi
daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia”
Pengaturan mengenai urusan pemerintah juga diatur dalam pasal 9 UU Pemerintah
Daerah yang dibagi menjadi tiga: “Usuan pemerintah absolute yaitu urusan pemerintah
yang sepenuhnya menjadi kewenangan pusat; urusan pemerintah konkuren yaitu urusan
pemerintah yang dibagi antara pemerintah pusat dan daerah provinsi dan daerah
kabupaten/kota, urusan pemerintah konkuren yang diserahkan ke daerah menjadi dasar

2
Mohammad Kodari, Syariat Islam Dalam Aras Wacana Publik: Tanggapan untuk Alfan dan Khamami
dalam Syariat Islam Yes Syariat Islam No: Dilema piagam Jakarta dalam Amandemen UUD 1945. Pen.
Yayasan Paramadina ed. Kurniawan Zen, cet. I, hal. 87.
3
Harian Pelita, Soal Formalisasi Syariat Islam, 21 September 2015, hal. 4

2
pelaksanaan otonomi daerah; dan urusan pemerintah umum yaitu urusan pemerintah yang
menjadi kewenangan presiden sebagai kepala pemerintah”.
Urusan pemerintah absolut inilah yang meliputi: politik luar negeri, pertahanan,
keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama (pasal 10 ayat 1 Undangn-undang
Pemerintah Daerah). Persoalan agama yang dimaksud seperti menetapkan hari libur
keagamaan yang berlaku secara nasional, memberikan pengakuan terhadap keberadaan
suatu agama, menetapkan kebijakan dalam penyelenggaraan kehidupan keagamaann, dan
sebagainya (penjelasan pasal 10 ayat 1 huruf f, UU Pemerintah Daerah).
Oleh karena itu tulisan ini akan membahas perda syariah di Indonesia, dengan
menelusuri kebijakan di masing-masing daerah di Indonesia, bagaimana maping perda
syariah di Indonesia, konten perda syariah apa saja yang ditawarka, serta bagaimana respon
masayarakat.

Tinjauan Singkat Perda Bernuansa Islam di Indonesia


Hubungan politik Islam dan Negara di Indonesia, memang memiliki sejarah yang kuat, 4 dan
kemungkinan warisan ideologi maupun gerakan perjuangannya masih tampil dipermukaan,
tidak terlalu mengherankan. Munculnya regulasi benuansa Islam di beberapa daerah, telah
menstimulasi berbagai macam respon, dan memunculkan banyak spekulasi mengenai tanda-
tanda menguatnya cita-cita politik lama yang terjadi pada perdebatan mengenai perumusan
negara Republik Indonesia.
Apa yang terjadi antara Islam dan politik di daerah, menjadi salah satu sorotan
penting dalam perkembangan politik di Indonesia paska reformasi dan munculnya undang-
undang otonomi daerah. Regulasi Islami, dalam hal ini perda syariah tampil kepermukaan
sebagai sebuah produk kebijakan lokal dengan legitimasi identitas kedaerahan. Perda syariah
itu sendiri bisa kita pahami sebagai sebuah aturan daerah bernuansa Islam yang berusaha
mengatur beberapa aspek seperti: ketertiban, pendidikan hingga kesejahteraan.
Regulasi ini menjadi sorotas kritis, karena bermasalah pada dirinya sendiri.
Penyelidikan Deny Indrayana mengenai perda syariah misalnya, banyak menunjukan bahwa
peraturan daerah bernuansa Islam yang sudah diproduksi di beberapa daerah sudah
bertentangan dengan konstitusi.5 Respon lain juga muncul atas sifatnya yang diskriminatif,

4
Bachtiar, Efendy. Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia.
Jakarta: Paramadina, 2009.
5
Deni, Indrayana. Komplesitas Peraturan Daerah Bernuansa Syarita: Persepktif Hukum Tata Negara.
Yusitisia Edisi 81. 95-102, 2010

3
terutama terhadap kaum perempuan seperti regulasi mengenai diwajibkannya menggunakan
busana muslim bagi para pelajar dan mahasiswa.6
Spekulasi mengenai kemunculan regulasi syariah sebagai pertanda bahwa politik
Islam menguat kembali dan mulai menyemaikan benih-benihnya melalui kekuasaan daerah,
telah terbukti jauh dari akurat. Beberapa temuan menunjukan bahwa aspek politis menjadi
motif dasar dalam mendorong munculnya berbagai bentuk regulasi Islami. Kompetisi politik
para elite lokal dalam memenangkan kekuasaan, telah menjadikan wacana produk kebijakan
bernuansa Islam sebagai salah satu cara memikat dan meraih suara.7 Selain itu, upaya
pengalihan isu korupsi dari masyarakat oleh elit lokal, terdeteksi juga sebagai motif di balik
munculnnya regulasi ini.8 Artinya, sisi pragmatis dari kemunculan regulasi Islami lebih kuat
dibandingkan dengan upaya serius memperjuangkan sebuah ideologi.
Beberapa literatur mengatakan bahwa lahirnya regulasi bernuansa agama di tingkat
lokal lekat dipengaruhi oleh motif kepentingan politik, dan cenderung menyampingkan
faktor-faktor ideologis. Faktor pendorongnya berbeda-beda, mulai dari politisi yang
menggunakan jaringan gerakan pendirian Negara Islam, sejarah dan budaya lokal dalam
konteks kepentingan politik elektoral, pengalihan isu-isu korupsi, sampai rendahnya kapasitas
negara. Penjelasan tersebut lebih melihat pada motif-motif dibalik dikeluarkannya regulasi
tersebut dan implikasinya terhadap masyarakat. Mereka cenderung kurang memberikan porsi
yang cukup terhadap dinamika dan mekanisme sosial ketika regulasi tersebut
dipermasalahkan. Dengan melihat yang terakhir ini, kajian terhadap perda syariah dapat
dijelaskan dengan lebih utuh dan tidak spekulatif.
Beberapa studi yang menyatakan keberadaan perda syariah berkaitan dengan motif
kepentingan politik, misalnya Robin Bush (2008) menjelaskan, meskipun para pemilih pada
tingkat nasional di Indonesia tidak mengehendaki agenda Islamis9 untuk mendirikan negara

6
Candraningrum, D. Perda sharia and the Indonesian women's critical perspectives, Paper presented at the
conference on "neue willkuer gegen frauen in indonesien: kontroversen um die umsetzung der regionale scharia-
gesetze", Bremen, Germany, 2006, November 11.
7
Buehler, M. The rise of shari’a by -laws in Indonesian districts: An indication for changing patterns of
power accumulation and political corruption. Southeast Asia Research, 16 (2), 255-285, (2008). Lihat juga
Jamhari Makruf, Shari’a and Regional Goverment in Indonesia: A Study of Four Provinces. Asian Journal of
Asian Law, Vol 15 No 1, Article 4: 1-5, 2014
8
Bush, R. Regional ‘shari’a’ regulations in Indonesia: Anomaly or symptom? In G. Fealy & S. White
(Eds.), Expressing Islam: Religious life and politics in Indonesia (pp. 174-191). Singapore: Institute of
Southeast Asian Studies, 2008.
9
Islamisme yaitu sebuah gerakan politik atas nama Islam yang membawa misi mendirikan negara Islam
(khalifah), atau setidaknya berusaha mengimplentasikan syariat Islam dalam sebuah negara (Salwa Ismail 2003;
Oliver Roy 1994). Islamisme dibagi menjadi dua: Islamisme ektremis, yang biasanya berbentuk terorisme
maupun gerakan vigilante (main hakim sendiri); dan Islamisme moderat, berbentuk partai politik (Islamist
party) (Moghadam 2009).

4
Islam, namun pada level regional nampak dukungan yang kuat terhadap agenda tersebut –
penerapan syariat Islam – yang datang dari pimpinan elit lokal. Di sisi lain, dia juga
menyebut absennya ideologi partai/elit yang mendukung perda-perda syariah itu. Terdapat
empat kunci dalam menjelaskan faktor-faktor terkait fenomena munculnya perda syariah
diberbagai daerah berdasarkan lokalitasnya, (1) faktor sejarah dan budaya lokal, (2) korupsi
dan kebutuhan untuk mengalihkan dari isu ini, (3) politik elektoral, (4) rendahnya kapasitas
pemerintahan lokal.
Penjelasan serupa disampaikan oleh Michael Buehler (2013), 10 bahwa lahirnya
regulasi syariah merupakan sebagai alat politik dan erat hubungannya dengan akar sejarah
gerakan pendirian negara Islam di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Temuan penting Buehler
menyatakan bahwa sebagian besar regulasi syariah di kedua provinsi tersebut justru paling
sering diusung oleh partai-partai sekuler, khususnya Partai Golkar dan PDIP. Para politisi
lokal di kedua daerah tersebut kerap menggunakan jaringan-jaringan Islam dalam rangka
mencapai kemenangan politik elektoral.11 Misalnya, di Jawa Barat, tokoh Golkar seperti Siti
Hadijati dan Jusuf Kalla menggunakan jaringan Islamis yang mempunyai alur ke Panji
Gumilar, yang merupakan tokoh Darul Islam. Sedangakan di Sulawesi Selatan, Syahrul Yasin
Limpo, yang saat itu merupakan kader PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan)
berusaha mendapatkan dukungan dari KPPSI (Komisi Persiapan Penegakan Syariat Islam) 12
pada pemilu 2007.
Lebih jauh ditegaskan oleh studinya Jamhari Makruf dan Iim Halimatussa’diyah
(2014) yang juga menguji faktor sosial dan politik yang menjadi latar belakang menjamurnya
regulasi syariah. Penelitiannya dilakukan di empat provinsi: Aceh, Padang di Sumatera Barat,
Cianjur di Jawa Barat, dan Makasar di Sulawesi Selatan. Temuan penting Jamhari dan Iim
adalah, pertama bahwa dukungan ideologi partai politik (platform) tidak mempunyai
signifikansi terhadap wiilayah di mana regulasi syariah dibuat dan diundangkan. Kedua,
menjamurnya regulasi syariah merupakan hasil dari desakan beragam elit Muslim tingkat
lokal. Ketiga, karena regulasi syariah merupakan hasil dari kepentingan – elektoral – elit

10
Buehler, M, The rise of shari’a by -laws in Indonesian districts: An indication for changing patterns of
power accumulation and political corruption. Southeast Asia Research, 16 (2), 255-285, (2008).
11
Jaringan-jaringan keislaman tersebut berakar dari gerakan pemberontakan dan pendirikan negara Islam
pada tahun 1950-an, yaitu Darul Islam di Jawa Barat dan PRRI/Permesta di Sulawesi Selatan.
12
KPPSI (Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam) didirikan pada 19-21 Oktober 2000 di Sudiang
Makassar dalam forum kongres umat Islam. KPPSI didirikan dengan tujuan sebagai wadah umat Islam dalam
rangka menuntut otonomi khusus pemberlakuan syariat Islam di Sulawesi Selatan. Salah satu pendiri KPPSI
adalah Abdul Aziz Kahar Muzakkar, anak dari Kahar Muzakkar pimpinan DI/TII Sulawesi Selatan yang
memberontak pada tahun 1950an dan 1960an.

5
politik lokal, maka implementasinya mengalami stagnasi ketika sang elit politik tersebut tidak
lagi mempunyai kekuasaan.
Adapun dalam tulisan ini, akan melihat permasalahan regulasi bernuansa agama di
daerah-daerah di Indonesia dengan menggunakan teori framing (pembingkaian) sebagai
salah satu cabang dari teori gerakan sosial (social movement theory). Pendekatan ini dinilai
tepat untuk melihat dinamika dan mekanisme sosial ketika regulasi tersebut dipermasalahkan.
Teori framing digunakan untuk menjelaskan bagaimana simbol-simbol agama – yang dalam
konteks daerah-daerah di Indonesia diatribusikan pada regulasi negara, ditafsirkan ulang
secara berbeda oleh berbagai kelompok kepentingan untuk tujuan mereka. Menurut Quintan
Wiktotowicz (2012, 71-71)13 framing merupakan skema-skema yang memberikan sebuah
bahasa dan sarana kognitif untuk memahami pengalaman-pengalaman dan peristiwa-
peristiwa “di dunia luar”, yang skema-skema ini digunakan untuk menghasilkan dan
menyebarkan penafsiran-penafsiran subjektif yang digunakan untuk memobilisasi dukungan
khalayak untuk melakukan aksi-aksi kolektif.
Sebuah framing biasanya berbentuk simbol-simbol, identitas budaya, maupun
ideologi yang berfungsi memperkuat mobilisasi. Dengan memberikan arti dan makna pada
setiap kejadian atau peristiwa, framing berfungsi untuk mengorganisasi pengalaman dan
pemandu tindakan, apakah pada level individu atau kolektif. Hal ini bertujuan agar para
anggota, simpatisan atau khalayak terlibat langsung dalam aksi-aksi untuk tujuan dan cita-cita
gerakan (Karl-Dieter Opp: 2009, 235).14
Bert Klandermans (2004) memberikan tiga tipe transaksi mengenai unsur-unsur
yang memaksimalkan proses framing, yaitu: perantara (instrumentality), identitas (identity),
dan ideologi (ideology). Instrumentality merujuk pada tuntutan untuk perubahan dimulai
dengan ketidakpuasan, perasaan deprivasi relatif, perasaan ketidakadilan, kemarahan moral
tentang beberapa urusan negara, atau menentukan segala keluhan. Dalam instrumentality,
aspek pertama yang harus dibangun adalah perasaan “keluhan” terhadap fenomena sosial.
Kemudian Identity mengacu pada partisipasi dalam gerakan merupakan bentuk manifestasi
dan identifikasi dengan kelompok mereka. Terakhir ideology, merujuk bahwa partisipasi
dalam gerakan sebagai pengejaran untuk memaknai dan mengekspresikan perasaan dan
keyakinan mereka. Sehingga mereka menganggap bahwa keterlibatannya dalam gerakan akan

13
Quintan, Wiktorowicz (ed.). 2012. Aktivisme Islam: Pendekatan Teori Gerakan Sosial. Jakarta: Demokrasi
Project dan Yayasan Abad Demokrasi
14
Karl-Dieter, Opp. 2009. Theoris of Political Protest and Social Movements: A Multidisciplinary
introduction, critique, and synthesis. New York: Routledge

6
mengangkat derajat mereka – dalam konteks agama di hadapan Tuhan – karena bersifat
sacred (suci).

Analisis Konten Perda Syariah di Indonesia


Produksi Peraturan Daerah (perda)15 Syariah (selanjutnya diistilahkan sebagai
regulasi16 bernuansa agama) di Indonesia tak kunjung usai. Beberapa daerah di Indonesia
tercatat telah mengeluarkan banyak regulasi. Baik yang bentuknya peraturan daerah (perda),
peraturan walikota (perwalkot), peraturan bupati (perbup), instruksi, surat edaran, maupun
surat keputusan.
Michael Buehler dalam bukunya “The Politics of Shari’a Law: Islamist Activist and
the State in Democratizing Indonesia”, dari 34 provinsi di Indonesia menunjuan bahwa
sebagian besar dari 443 Perda Syariah diadopsi antara tahun 1998 dan 2013 di beberapa
kabupaten di sejumlah provinsi yang relatif kecil. Perda Syariah terbanyak yaitu Jawa Barat
(103), Sumatera Barat (54), Sulawesi Selatan (47), Kalimantan Selatan (38), Jawa Timur
(32), dan Aceh (25). Artinya, 67,7% (300/443) dari Perda Syariah terkonsentrasi di enam
provinsi (Michael Buchler, h. 174).
Namun, kini perda-perda tersebut tengah mengalami perubahan, sesuai dengan situasi
dan kondisi setiap daerah, ada perda yang dicabut, di batalkan, dan lainnya. Berikut terlihat
pada tabel, daftar perda syariah di Indonesia dari tahun 2004 hingga tahun 2008. Perda-perda
di bawah ini dibagi menjadi tiga kategori dengan meminjam pembagian dari Arskal Salim
dalam Muslim Politics in Indonesia's Democratisation membagi menjadi tiga kategori yakni:
(1) regulasi yang mengurus soal keteraturan sosial dan masalah sosial (public order and social
problem), seperti judi, prostitusi, konsumsi alkohol, dan khalwat17; (2) regulasi yang
berdasarkan kewajiban dalam agama dan pendidikan keagaamaan (religious obligation and
religious education), seperti wajib melakukan Shalat Jumat, baca Qur’an dan membayar
zakat; dan (3) regulasi yang berkaitan dengan simbol-simbol agama (religious symbolism),

15
Peraturan Daerah Provinsi adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi dengan persetujuan bersama Gubuernut (pasal 1 No.7, UU No 12 Tahun
2011). Sedangkan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota (Pasal 1 No 8
Undang-Undangan No 12 Tahun 2011)
16
Menurut Barak Orbach, regulasi adalah bentuk intervensi negara terhadap domain privat sekaligus
merupakan bentuk dari ketidaksempurnaan realitas dan juga keterbatasan pada manusia. Lebih jauh Orbach
mengatakan bahwa regulasi ada karena ketidakteraturan yang muncul di dunia ini (diistilahkan oleh Orbach
sebagai ‘poisons’) dan regulasi juga mempunyai efek mematikan (poisonous effects) ketika disalahgunakan.
Lihat Barak Orbach, What is Regulation? (New Haven: Yale Journal on Regulation, 2012). Dalam studi ini,
regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah (negara) disebut sebagai regulasi Negara (state regulation) dan
regulasi yang dikeluarkan oleh MUI disebut sebagai regulasi sosial (social regulation).
17
Khalwat merupakan istilah yang menjelaskan tentang kedekatan antara laki-laki dan perempuan yang
bukan suami-istri tanpa ada anggota keluarganya (muhrim) di tempat yang sunyi atau tersembunyi.

7
seperti menggunakan pakaian muslim, khususnya jilbab atau kerudung bagi perempuan dan
peci bagi laki-laki (Salim 2007, 126; Makruf dan Halimatussa’diyah 2014, 3).
Lebih jauh, menurut Bush (2008, 175-176), hanya kategori dua dan tiga yang dapat
dikatakan secara langsung berhubungan dengan ajaran Islam, kategori pertama berhubungan
dengan ‘isu moralitas’ yang bisa dikatakan merefleksikan ajaran moral dalam kebanyakan
agama dan budaya masyarakat Indonesia pada umumnya. Kategorisasi Bush inilah yang
kemudian dimaksud dengan “regulasi syariat.”

Perda Syariah di Berbagai Daerah di Indonesia


Data dioleh dari: https://jdihn.go.id/search/daerah?
instantion=158&page=1&type=58&page=2

N Wilayah Thn Peraturan Daerah Tentang Keterangan /


o Kategori
1 Aceh 200 Perda NAD No. 7/2004 Pengelolaan Zakat Religious
4 obligation and
religious education
2 Sumatera 200 Peraturan daerah Pencegahan, Penindakan Public order and
Barat 4 Kabupaten Padang dan Pemberantasan social problem
Pariaman nomor 02 Tahun Maksiat
2004
Peraturan Daerah Padang Pencegahan Public order and
Panjang No.3 Tahun 2004 Pemberantasan dan social problem
Penindakan Penyakit
Masyarakat.
Perda Kab. Bukit Tinggi Pengelolaan Zakat, Infaq, Religious
No. 29/2004 dan Shadaqoh obligation and
religious education
Perda Kab. Pesisir Selatan Pandai Baca Tulis Al- Religious
No. 8/2004 Quran Provinsi Bengkulu obligation and
religious education
Instruksi Wali Kota Program Kegiatan Religious
Bengkulu No. 3/2004 Peningkatan Keimanan Symbolism
200 Perda Kabupaten Pesisir Berpakaian Muslim dan Religious
5 Selatan No. 4/2005 Muslimah Symbolism
Perda Kabupaten Agam Berpakaian Muslim Religious
nomor 6 Tahun 2005 Symbolism
Perda Kab. Agam No. Pandai baca Tulis Al- Religious
5/2005 Qur'an obligation and
religious education
Perda Prov. Sumatra barat Pandai baca Tulis Al- Religious
No. 7/2005 Qur'an obligation and
religious education
Surat Himbauan Gubernur Religious
Menghimbau Bersikap dan
Sumatra Barat Nomor Symbolism
Memakai Busana
260/421/X/PPr-05

8
Muslimah Kepada Kepala
Dinas/Badan
/Kantor/Biro/Instansi/Wali
Kota sumatera Barat
Instruksi wali kota Padang Pelaksanaan Wirid Remaja Religious
nomor 451.422/Binsos- didikan subuh dan Anti obligation and
III/2005 Togel / Narkoba serta religious
Berpakaian Muslim / education, and
Muslimah bagi Religious
Murid/Siswa SD/MI, symbolism
SLTP/MTS dan
SLTA/SMK/SMA di Kota
Padang
Instruksi wali kota Pemakaian busana Religious
padangpada tanggal 7 Muslimah Symbolism
Maret2
200 Peraturan Daerah Pencegahan Dan Public order and
6 Kabupaten Penanggulangan Maksiat social problem
Sawahlunto/Sijunjung
nomor 19 Tahun 2006
200 Perda Kab. Padang Zakat Religious
8 Panjang no. 7/2008 obligation and
religious education
3 Lampung Peraturan Daerah Larangan Pebuatan Public order and
Kabupaten Lampung Prostitusi, Tuna Susila, social problem
Selatan No. 4 Tahun 2004 dan Perjudian serta
pencegahan perbuatan
masksiat dalam Wilayah
Kabupaten Lampung
Selatan
4 Banten 200 Perda No. 4/2004 Pengelolaan Zakat Religious
4 obligation and
religious education
SK Bupati Kab Pandeglang Seragam sekolah SD,SMP, Religious
No. 09 Tahun 2004 SMU Symbolism

200 Perda Tenggerang No. Menjual, mengecer, dan Public order and
5 7/2005 menyimpan minuman social problem
keras, mabuk-mabukan.
Peraturan Daerah Kota Pelarangan Pelacuran Public order and
Tenggerang nomor 8 social problem
Tahun 2005
200 Perda Kota Serang Madrasah diniyah Religious
6 No.1/2006 Awwaliyah obligation and
religious education
200 Surat Edaran Wali Kota Penutupan Sementara Public order and
8 Tangerang (Agustus 2008) Usaha Jasa Hiburan selama social problem
Bulan Suci Ramadan dan
Idul Fitri 1429 H

9
5 Jawa 200 Instruksi Bupati Sukabumi Pemakaian Busana Muslim Religious
Barat 4 Nomor 4 Tahun 2004 bagi Siswa dan Mahasiswa Symbolism
di Kabupaten Sukabumi
Perda Kab. Cirebon No. Pendidikan Madrasah Religious
77/2004 Diniyah Awaliyah obligation and
religious education
200 Perda Kab. Bandung No. Zakat, Infaq, dan Religious
5 9/2005 Shadaqoh. obligation and
religious education
Peraturan Daerah Penertiban Minuman Public order and
Kabupaten Sukabumi No. Beralkohol social problem
11/2005
Peraturan Daerah Pengelolaan Zakat Religious
Kabupaten Sukabumi No. obligation and
12/2005 religious education
200 Perda Bupati Cianjur No. Pemakaian Dinas Harian Religious
6 15/2006 Pegawai di Lingkungan Symbolism
Pemerintahan Kabupaten
Cianjur
200 Perda Kabupaten Prostitusi (14 Maret 2009) Public order and
9 social problem
6 Kalimanta 200 Perda Kota Banjarmasin Pengelolaan Zakat Religious
n Selatan 4 No. 31/2004 obligation and
religious education
Perda Kab. Banjar No. Ramadan (Perubahan Public order and
5/2004 tentang Perda Ramadan No. 10 social problem
tahun 2001)
Surat Edaran Bupati Pemakaian Jilbab bagi Religious
Kabupaten Banjarmasin PNS Perempuan di Symbolism
No. 065.2/00023/ORG Lingkungan Pemerintah
Kabupaten Banjarmasin
Tertanggal 12 Januari
2004
Perda Kab. Banjar No. Khatam Al-Qur'an bagi Religious
4/2004 tentang Peserta Didik pada obligation and
Pendidikan Dasar dan religious education
Menengah
200 Perda Kab. Banjar No. Jum'at Khusyu' Religious
5 8/2005 (Banjarmasin) obligation and
religious education
Perda Kab. Hulu Sungai Zakat, Infaq, dan Religious
Utara No. 19/2005 Shadaqoh obligation and
religious education
Perda No. 4/2005 tentang Larangan Kegiatan Pada Public order and
Perubahan Atas Peraturan Bulan Ramadan social problem
Daerah Kota Banjarmasin
No. 13/2003
200 Perda Kab. Banjar No. Penulisan Identitas dengan Religious
6 5/2006 Huruf Arab Melayu (LD Symbolism

10
Nomor 5 tahun 2006 Seri
E Nomor 3)
Perda Kab. Banjarbaru No. Larangan Minuman Public order and
5/2006 Beralkohol social problem
200 Perda kabupaten Bankar Keteriban sosial Public order and
7 No. 10 / 2007 social problem
7 NTB SK. Bupati Dompu No Isinya menyebutkan
Kd.19.05./HM.00/1330/20 tentang: (1) Kewajiban
04, Tentang membaca Alquran (ngaji) Religious
Pengembangan Perda No. bagi PNS yang akan obligation and
1 Tahun 2002. mengambil SK/Kenaikan religious education
pangkat, Calon pengantin,
Calon siswa SMP dan
SMU, dan bagi siswa yang
akan mengambil ijazah ;
(2) Kewajiban memakai Religious
busana Muslim (Jilbab); Symbolism
(3) Kewajiban
mengembangkan budaya
Islam (MTQ, qosidah dll)
SK BUpati Dompu Kewajiban Membaca Al- Religious
Kd.19./HM.00/527/2004, Qur'an oleh seluruh PNS obligation and
tanggal 8 Mei 2004 dan Tamu yang menemui religious education
Bupati.
Perda Kab. Dompu No. Tata Cara Pemilihan Religious
11/2004. Kades (materi muatannya obligation and
mengatur keharusan calon religious education
dan keluarganya bisa
membaca Al-Qur'an yang
dibuktikan dengan
rekomendasi KUA)
SK Bupati Dompu No. Kewajiban Membaca Al- Religious
140/2005 tanggal 25 Juni Qur'an bagi PNS Muslim obligation and
2005 religious education
8 Jawa 200 Perda No. 5 Tahun 2005 Pemberantasan Pelacuran Public order and
Timur 5 di Kabupaten Probolinggo social problem
Peraturan Daerah Kota Larangan Tempat Public order and
Malang No. 8 Tahun 2005 Pelacuran dan perbuatan social problem
Cabul
Perda. Kab. Sidoarjo No. Pengelolaan Zakat, Infaq, Religious
4/2005 tentang dan Shadaqoh obligation and
religious education
200 Perda Kab. Pasuruan No. Pengaturan Membuka Public order and
6 4/2006 Rumah Makan, Rombong social problem
dan sejenisnya pada Bulan 
200 Peraturan Daerah Pemberantasan Pelacuran Public order and
7 Kabupaten Lamongan di Kabupaten Lamongan social problem
No.5 Tahun 2007
9 Sulawesi 200 Perda Kabupaten Maros Berpakaian muslim dan Religious

11
Selatan 5 No. 16 / 2005 muslimah Symbolism

Perda Kab. Maros Gerakan Buta Aksara dan Religious


No.15/2005 pandai Baca Al-Qur'an obligation and
dalam Wilayah Kabupaten religious education
Maros
Perda Kab. Maros No. Pengelolaan Zakat Religious
17/2005 obligation and
religious education
Perda Kabupaten Enrekang Busana Muslim Religious
No. 6 /2005 Symbolism
200 Perda Kota Makassar No. Zakat Religious
6 5/2006 obligation and
religious education
Perda Kab. (Pangkajene Larangan Pengedaran Public order and
dan Kepulauan) Pangkep Minuman Beralkohol social problem
No. 11/2006
Perda Kab. Polewali Gerakan Masyarakat Islam Religious
Mandar no. 14/2006 Baca Al-Qur'an obligation and
religious education
Perda Prov. Sulawesi Pendidikan Al-Qur'an Religious
Selatan No. 4/2006 obligation and
religious education
Peraturan Desa Muslim Pelaksanaan Hukuman Public order and
Padang Kecamatan Cambuk social problem
Gantarang Kabupaten
Bulukumba No. 05 Tahun
2006
200 Surat Edaran No. Larangan di Bulan Public order and
8 44/1857/VIII, Humas Ramadan (antara lain social problem
Infokom Bone tertanggal meminta rumah makan,
22 Agustus 2008 restoran, cafe, dan warung
tidak beroperasi selama
Bulan Ramadan dan
menghimbau hotel-hotel
dan tempat penginapan
agar tidak menerima tamu
berpasangan yang bukan
muhrim)
10 Gorontalo 200 Perda Prov. Gorontalo No. Wajib Baca Tulis Al- Religious
5 22/2005 Quran bagi siswa yang obligation and
beragama Islam religious education
11 Sulawesi 200 Perda Kota Kendari No. Bebas Buta Aksara Al- Religious
Tenggara 5 17/2005 Qur'an pada Usia Sekolah obligation and
dan Bagi masyarakat Islam religious education
di Kota Kendari
12 Riau 200 Perda Kab. Kampar No. Pengelolaan Zakat, Infaq, Religious
6 2/2006 dan Shadaqoh (Kampar) obligation and
religious education
200 SK Gubernur Riau No. Penggunaan nama Arab Religious
12
8 003.1/UM/08.1 Melayu Symbolism
13 Bangka 200 Perda Kab. Bangka No. Pengelolaan Zakat, Infaq, Religious
Belitung 6 4/2006 dan Shadaqoh obligation and
religious education
14 Yogyakart 200 Peraturan Daerah Larangan Pelacuran di Public order and
a 7 Kabupaten Bantul No. 5 Kabupaten Bantul social problem
tahun 2007
15 Jawa 200 Surat Edaran Wali Kota Memuat materi tempat Public order and
Tengah 8 Semarang No.435/4687 hiburan seperti bar, pub, social problem
tertanggal 27 Agustus 2008 mandi uap, biliar, karaoke,
diskotik, panti pijat, klub
malam, kafe, dan
sejenisnya harus
membatasi jam
pengelolaannya

Jumlah: Data tahun 2004-2008, terdapat 65 perda syariah dari 15 wilayah di Indonesia.

Berdasarkan data di atas dari tahun 2004 hingga 2007 maka terdapat 22 perda syariah
yang masuk kategori Public order and social problem; 30 perda syariah yang masuk kategori
religious obligation/education; dan 13 religious symbol. Seperti terlihat pada tabel di bawah
ini:
Tipe Jumlah
Public order and social 22
problem
Religious Obligation/ 30
Religious Education
Religious Symbolis 13
TOTAL 65

Belajar dari Kasus Perda Syariah: Sesi Diskusi

Serang-Banten [Kompas, 12 Juni 2016] pemberitaan Saeni menjadi trending topic di


berbagai media. Saeni seorang pemilik warteg di Kota Serang-Banten
(Perda No 2 Tahun terpaksa dirazia oleh Satpol PP. Alasan razia itu sederhana, karena
2020 tentang melanggar perda No. 2 tahun 2010 tentang Penyakit Masyarakat (Pekat).
Penyakit Saeni melanggar perda Pekat, karena membuka warung makan pada siang
Masyarakat) hari di bulan Ramadhan. Tindakan Saeni dinilai tidak menghormati umat
Islam yang menjalankan puasa Ramadhan. Namun sayangnya, Satpol PP
saat itu tidak hanya merazia, tapi menyita barang dagangan Saeni, sehingga
tindakan Satpol PP juga dinilai menyalahi prosedur. Saeni yang menangis
saat dirazia, telah mencuri banyak perhatian, hingga muncul aksi
penggalangan dana “sumbangan untuk Saeni”. Kelanjutan kasus ini akhirnya
menuai konflik dan kecaman dari berbagai pihak hingga berimbas pada

13
pencabutan perda syari’ah karena dinilai intoleransi dan deskriminasi.
Keterangan dari Wali Kota Serang, Tb Haerul Jaman bahwa lahirnya
perda No. 2 tahun 2010 adalah buah dari aspirasi warga Kota Serang, yang
terdiri dari para ulama, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan ormas Islam.
Hal ini tidak lain, supaya ada perda yang mengatur tata tertib dibulan
Ramadhan, dengan harapan adanya saling menghomati dan menghargai
kemajemukan antar umat beragama di Kota Serang, Banten. Selama ini,
upaya yang dilakukan pemerintah Kota Serang menjelang Ramadhan tiba
yaitu menyebarkan selebaran berupa himbauan untuk tidak membuka
warung makanan sebelum jam 16.00 WIB, selain itu mengadakan rapat
dengan para aparat dan penegak hukum untuk tataran pelaksanaannya,
supaya tidak terjadi tindakan anarkis, namun prakteknya hal itu masih saja
terjadi.

Pandeglang-Banten Pemerintah daerah kabupaten Pandeglang mengeluarkan regulasi berupa


intruksi bupati nomor 1 tahun 201718 tentang pelaksanaan salat zhuhur dan
Instruksi Bupati No ashar berjamaah bagi Pegawai Aparatur Sipil Negara yang sedang
1 Tahun 2017 melaksanakan dinas khusus seperti Rumah Sakit yang menangani kegawat-
tentang Pelaksanan daruratan. Aturan tersebut ditetapkan pada 17 Januari 2017 di Pandeglang.
Salat dzuhur dan Intruksi tersebut semakin menguatkan bahwa religious skill dan religious
asar berjamaah bagi obligation, yakni aturan-aturan yang berisi muatan keagamaan seperti
Pegawai ASN. membayar zakat, membaca al-Qur’an dan kewajiban sekolah agama.
Praktik-praktik keagamaan tersebut dirumuskan dalam sebuah konsensus
dan diejawantahkan dalam ruang pubik (Arskal: 2007)19.
Pandeglang-Banten Regulasi santunan kematian ini termaktub dalam Perda (Peraturan
Daerah) nomor 13 tahun 2010. Berangkat dari kultur masyarakat yang
Perda No 13 Tahun agamis, aturan ini dibuat sebagai bentuk keperihatinan terhadap masyarakat
2010 tentang yang tidak mampu secara ekonomi.
Santunan Kematian Tradisi menarik dalam masyarakat Pandeglang ketika ada diantara
mereka yang meninggal dunia, tradisi ini sejatinya—secara ideologis—
dipraktikan oleh kalangan NU (Nahdlatul Ulama) yang berpandangan bahwa
harus diadakan tahlil dan doa untuk orang meninggal yang diharapkan
mampu meringankan bebannya di alam kubur, maka kemudian keluarga
yang ditinggalkan harus bersedekah pada yang warga yang telah bersedia
mensalatkan dan men-tahlil-kan yang wafat tersebut. Sedekah ini kaprah
disebut dengan salawat. Menurut kebiasaan warga Pandeglang—Banten
secara umum—satu orang yang mensolatkan dikasih imbalan dua puluh
sampai tiga puluh ribu rupiah, imbalan warga biasa (kelas sosial yang bukan
elite agama atau kyai) tidak sama dengan elite agama (kyai) apalagi yang
bertugas sebagai imamnya, imbalannya jauh lebih besar. Ongkos orang yang
mensalatkan belum termasuk ongkos tahlil dan baca al-Qur’an di rumahnya
selama tujuh hari. Bisa dibayangkan berapa uang yang harus dikeluarkan
oleh keluarga yang ditingglakannya. Fakta menarik ketika orang meninggal

18
Lihat versi lengkapnya di bagian lampiran: Bupati Pandeglang, Intruksi Bupati Pandeglang Nomor 1 tahun
2017 tentang Pelaksanaan Salat Zhuhur dan Ashar Berjama’ah. Tujuan dari intruksi ini adalah dalam rangka
meningkatkan keimanan dan ketkwaan kepada Allah SWT serta untuk mendukung efektivitas kerja di
ingkungan pemerintah kabupaten Pandeglang.
19
Bush melihat lebih jauh bahwa regulasi religious obligation merupakan regulasi yang besentuhan dengan
syari’at Islam. Lihat: Robin Bush, Expressing Islam: Religious Life and Politics in Indonesia, Greg Fealy dan
Sally White (ed) Singapura; ISAS 2008.

14
tersebut berasal dari kelas menengah ke atas atau orang kaya maka
ongkosnya akan lebih mahal.
Berangkat dari realitas tersebut, pemerintah Pandeglang menginisiasi
adanya Perda santunan kematian tersebut. Bantuan yang digelontorkan
senilai satu juta rupiah perindividu yang meninggal. Tujuan dari regulasi ini
adalah untuk membantu warga yang tidak mampu secara ekonomi. Tetapi,
berdasarkan pengamatan di lapangan, Perda ini tidak berjalan dengan efektif
karena adanya Perda santunan kematian ini justru merusak solidariatas
masyarakat Pandeglang. Berdasarkan kebiasaan yang ada, masyarakat
(sanak saudara dan tetangga) memberikan bantuan seikhlasnya terhadap
orang yang meninggal tersebut. Dengan adanya regulasi tersebut, justru
melemahkan semangat nilai kekeluargaan masyarakat Pandeglang. Namun
demikian bagaimanakah respon elite masyarakat dalam melihat regulasi ini.
Tasikmalaya Ada delapan masalah yang dialami oleh Ahmadiyah di kekinian, yakni: (1)
(Ahmadiyah) Penghancuran dan pembakaran masjid serta aset milik anggota Jemaat
Ahmadiyah; (2) Penyegelan masjid yang melibatkan oknum aparat
Perda No 12 Tahun pemerintah dengan dalih adanya tekanan massa; (3) Pemaksaan menjadi
2009 Tentang Imam dan Khatib Shalat Jumat di Masjid Ahmadiyah, yang didukung oleh
Pembangunan Tata oknum aparat; (3) ”Pertobatan” anggota Ahmadiyah, yaitu pernyataan keluar
Nilai Kehidupan dari Ahmadiyah di bawah tekanan oknum aparat dan desakan massa, serta
Kemasyarakatan diekspos besar-besaran oleh surat kabar lokal; (4) Tidak diizinkan menikah
yang Berlandaskan di Kantor Urusan Agama (KUA), kecuali bersedia menanda-tangani Surat
pada Ajaran Agama Keluar dari Ahmadiyah; (5) Tidak diberikan surat keterangan dari oknum
Islam dan Norma- aparat Desa bagi anggota Jemaat Ahmadiyah yang akan menjadi TKI di luar
Norma Sosial negeri; (6) Pengusiran dari kampung halaman; (7) Teror berupa
Masyarakat Kota menumpahkan minyak tanah ke dalam sumur (sumber air) milik anggota
Tasikmalaya Ahmadiyah; (8) Larangan mencantumkan Agama Islam dalam e-KTP bagi
anggota Jemaat Ahmadiyah
Sukabumi Hampir semua sekolah di Kabupaten Sukabumi, dinstruksikan agar
memiliki tradisi Islami. Khususnya bagi umat muslim, pakaian berkerudung
Intruksi Bupati No 4 dan rok panjang, wajib digunakan para siswa-siswi yang mengenyam
Tahun 2004, tentang pendidikan mulai dari tingkat sekolah dasar sampai sekolah mennegah atas.
Penggunaan Mungkin tidak semua siswa punya kebiasaan menggunakan seragam islami,
Seragam Muslim tetapi mau tidak mau, aturan ini akan dijalankan pada setiap lembaga
pendidikan yang ada di Kabupaten Sukabumi. Aturan ini, tentunya memilki
potensi, yang tidak hanya akan merubah rutinitas lembaga pendidikan di
Kabupaten Sukabumi, tetapi juga berpeluang merubah budaya personal
setiap pelajar, khususnya dalam hal berbusana.
Produksi maupun penjualan busana muslim bisa mengalami peningkatan.
Karena dengan adanya aturan ini, pemintaan terhadap kerudung, rok dll,
akan berbeda dari sebelumnya. Jika sekolah memberikan tawaran kepada
para siswa untuk membeli busana tersebut di sekolah, ini akan menjadi
cerita yang berbeda. Tawaran ini, akan menjadi aktivitas bisnis yang cukup
kompetitif, dan dialihkan ke dalam bentuk tender. Biasanya, bisnis di
daerah, sangat berpotensi kolutif. Kedekatan dengan para pemegang
kebijakan, akan menentukan peluang medapatakan tender yang cukup besar.
Inilah kenapa, bagi mereka yang tak begitu sepakat regulasi ini, dinilai
sebagai sebuah prodak kebijakan pemerintah yang bersifat politis dan hanya
transaksi bisnis.

15
Perda Syariah di Pandeglang

Kesimpulan

Daftar Pustaka
Buehler, M. The rise of shari’a by -laws in Indonesian districts: An indication for changing
patterns of power accumulation and political corruption. Southeast Asia Research,
16 (2), 255-285, (2008). Lihat juga Jamhari Makruf, Shari’a and Regional Goverment
in Indonesia: A Study of Four Provinces. Asian Journal of Asian Law, Vol 15 No 1,
Article 4: 1-5, 2014
Bush, R. Regional ‘shari’a’ regulations in Indonesia: Anomaly or symptom? In G. Fealy &
S. White (Eds.), Expressing Islam: Religious life and politics in Indonesia (pp. 174-
191). Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2008
Candraningrum, D. Perda sharia and the Indonesian women's critical perspectives, Paper
presented at the conference on "neue willkuer gegen frauen in indonesien: kontroversen
um die umsetzung der regionale scharia-gesetze", Bremen, Germany, 2006, November
11
Efendy, Bachtiar. Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di
Indonesia. Jakarta: Paramadina, 2009
Harian Pelita, Soal Formalisasi Syariat Islam, 21 September 2015
Indrayana, Deni. Komplesitas Peraturan Daerah Bernuansa Syarita: Persepktif Hukum Tata
Negara. Yusitisia Edisi 81. 95-102, 2010
Karl-Dieter, Opp. 2009. Theoris of Political Protest and Social Movements: A
Multidisciplinary introduction, critique, and synthesis. New York: Routledge
Kodari, Mohammad. Syariat Islam Dalam Aras Wacana Publik: Tanggapan untuk Alfan dan
Khamami dalam Syariat Islam Yes Syariat Islam No: Dilema piagam Jakarta dalam
Amandemen UUD 1945. Pen. Yayasan Paramadina ed. Kurniawan Zen, cet. I
Wiktorowicz, Quintan (ed.). 2012. Aktivisme Islam: Pendekatan Teori Gerakan Sosial.
Jakarta: Demokrasi Project dan Yayasan Abad Demokrasi

16

Anda mungkin juga menyukai