Anda di halaman 1dari 22

POLITIK HUKUM ISLAM INDONESIA;

DARI DEPOLITISASI KE FORMALISASI


Oleh : Agus Firman1

A. PENGANTAR
Politik hukum dapat dimaknai sebagai kebijakan yang diambil negara dalam
bidang hukum. Karena yang distudi adalah kebijakan maka fokus utama politik
hukum adalah bagaimana sebuah produk hukum, seperti peraturan perundang-
undangan, dibuat dan diterapkan. Dalam konstruksi keilmuan hukum, politik
hukum merupakan aktualisasi dari filsafat hukum yang kemudian menghasilkan
dogmatik hukum atau hukum positif.
Dengan demikian, politik hukum merupakan proses untuk membumikan
doktrin atau pemikiran tentang hukum ke dalam bentuk yang lebih konkret. Atau
dapat disimpulkan bahwa inti dari studi politik hukum adalah proses pembuatan
atau penyusunan suatu produk hukum serta bagaimana penerapannya.
Politik hukum didasarkan pada pandangan eratnya hubungan antara politik
dan hukum. Langgam politik tertentu sangat berpengaruh terhadap karakter
produk hukum yang dihasilkan. Selain itu, hampir semua ahli menyetujui jika
hukum dalam pengertian peraturan perundang-undangan adalah hasil dari proses
politik. Sehingga untuk melahirkan hukum yang baik dan responsif mutlak
diperlukan sistem politik yang baik pula.
Dalam rangka menentukan sistem politik yang baik untuk menyokong
lahirnya hukum yang baik tersebut, banyak ahli yang meyakini jika demokrasi
merupakan sistem politik paling sesuai untuk melahirkan cita hukum yang
diinginkan. Demokrasi dipandang akan melahirkan hukum yang responsif,
sebaliknya sistem politik non demokratis akan memunculkan karakter hukum
represif.2
Berdasarkan keyakinan di atas, maka sangat wajar jika perubahan
paradigma politik di Indonesia dari sistem represif Orde Baru menjadi sistem

1
Hakim PA Rantau
2
Mahfud MD, Politik Hukum Indonesia, LP3ES, Jakarta, 2001.
2

demokratis membawa pengaruh pada perubahan karakter produk hukum.


Sebagaimana diketahui, sejak reformasi bergulir, Indonesia mengalami perubahan
paradigma politik yang mengarah kepada terbentuknya sistem pemerintahan
demokratis.
Salah satu perubahan besar pasca reformasi adalah politik hukum yang
dianut. Jika sebelumnya, negara ini lekat dengan hukum yang menekan dan
represif serta cenderung dijadikan sebagai alat dan tameng para pemegang
kebijakan, maka setelah reformasi digulirkan produk hukum yang dilahirkan
mulai lebih demokratis. Paling tidak, proses pembuatan ataupun materi
muatannya lebih responsif jika dibandingkan dengan rezim sebelumnya.
Responsibilitas negara pasca reformasi salah satunya terlihat dalam
perlakuan negara terhadap hukum Islam. Jika pada priode sebelumnya negara
hanya mengatur sebagian kecil dari hukum Islam, maka pasca reformasi hampir
seluruh aspek hukum Islam yang selama ini telah diyakini dan dipraktekkan oleh
umat Islam Indonesia telah diformalisasikan dalam bentuk undang-undang.
Ketika Orde Baru berkuasa hukum Islam memperoleh perhatian yang kecil.
Dari sekian banyak aspek hukum Islam, hanya bidang perkawinan dan peradilan
agama yang diatur dengan peraturan perundang-undangan, sementara aspek lain
hanya diatur dengan Inpres (KHI). Hal ini sangat berbeda dengan yang terjadi
setelah reformasi bergulir, dimana hanya butuh waktu 10 tahun, negara telah
memproduksi belasan undang-undang dan puluhan peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang dalam bidang hukum Islam.
Kebijakan yang diambil negara terhadap hukum Islam mengindikasikan
adanya hubungan yang simetris antara sistem politik dengan responsibiltas negara
dalam bidang hukum. Perjalanan sejarah Indonesia sejak masa kemerdekaan
dengan jelas menunjukkan bahwa semakin demokratis sistem politik yang dianut
semakin responsif negara terhadap hukum Islam.
Oleh karena itu, meningkatnya responsibiltas negara terhadap hukum Islam
setelah reformasi tidak bisa dilepaskan dari adanya perubahan peta politik tanah
air. Sebagaimana diketahui, pasca reformasi politik Islam menjelma menjadi
kekuatan yang diperhitungkan, terutama di parlemen yang merupakan pabrik
3

undang-undang. Meski tidak mayoritas, keberadaan partai-partai Islam berhasil


memberikan pengaruh signifikan terhadap lahirnya berbagai undang-undang yang
bermuatan hukum Islam. Selain itu, di level sosial, masyarakat melalui organisasi-
organisasi sosial kemasyarakatan juga turut mendorong lahirnya berbagai undang-
undang tersebut.
Dengan latar seperti itu, maka tidak mengherankan jika saat ini banyak
aspek hukum Islam yang telah dikodifikasikan dalam bentuk peraturan peraturan
perundang-undangan. Di saat yang sama, hal ini mengindikasikan terjadinya
perubahan paradigma hukum Islam dari depolitisasi ke formalisasi. Depolitisasi
merupakan istilah yang digunakan oleh Orde Baru untuk membungkam berbagai
kekuatan politik dan sosial, termasuk Islam, yang memiliki potensi mengancam
stabilitas politik. Inti dari depolitisasi adalah diterapkan prinsip asas tunggal yang
menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas dan mengamputasi poetensi-
potensi ideologi lain untuk berkembang. Dalam konstruk depolitisasi sangat wajar
jika hukum Islam kemudian menjadi tidak populer bahkan marjinal. Keadaan
yang sebaliknya segera terjadi setelah Orde Baru runtuh, dimana hukum Islam
pasca reformasi sepertinya akan mengarah pada formalisasi atau kodifikasi aspek-
aspek hukum Islam ke dalam perundang-undangan. Asumsi ini dimunculkan
selain didasarkan pada realitas bahwa Islam merupakan kelompok mayoritas, juga
didukung oleh salah satu prinsip dasar demokrasi yang sangat menjunjung tinggi
kepastian hukum sehingga masalah perundang-undangan menjadi salah satu aspek
yang paling diperhatikan.

B. PENDEKATAN UTAMA DALAM POLITIK HUKUM ISLAM


Dengan tidak bermaksud menafikan keragaman pendapat yang ada,
pendekatan politik hukum Islam di Indonesia dapat dibagi dua, yakni pendekatan
legal-formal dan pendekatan substansial. Pendekatan legal formal merupakan
bentuk pemikiran politik yang meyakini bahwa ajaran Islam memiliki ketentuan
yang baku mengenai bentuk dan cara penyelenggaraan negara. Anggapan ini
muncul sebagai konsekuensi dari pandangan bahwa Islam merupakan agama yang
4

sempurna, mencakup segala hal dan universal dengan demikian memuat seluruh
ketentuan baik duniawi maupun ukhrawi, termasuk permasalahan negara.
Menurut Bahtiar Effendy, pendekatan legal formal biasanya ditandai dengan
keinginan untuk memberlakukan Syari’ah sebagai konstitusi negara.3) Dalam
bentuk yang lain, pendekatan legal formal muncul dalam bentuk kecenderungan
untuk melakukan positivisasi atau kodifikasi hukum dalam bentuk peraturan
perundang-undangan. Ketentuan-ketentuan hukum yang sebagian besar telah
terstruktur dalam fiqh berusaha untuk dipositivisasi sehingga memiliki legalitas
dari negara. Asumsinya, dengan terlembaga dalam bentuk peraturan perundang-
undangan, hukum Islam tersebut dapat lebih efektif diterapkan karena memiliki
kekuatan memaksa.
Adapun pendekatan substansial beranggapan bahwa dalam doktrin Islam
terdapat beberapa permasalahan sosial dan politik yang tidak memiliki ketentuan
baku. Oleh karena itu, tidak ada ketentuan baku tentang politik dalam Islam,
seperti bentuk negara, baik dari al Qur’an dan as Sunnah maupun dari historisitas
Islam. Fazlur Rahman, salah satu tokoh kunci pendekatan ini, menyatakan bahwa
Islam tidak menentukan bentuk baku untuk negara. Namun demikian, Rahman
mengakui al Qur’an menyediakan tata nilai dan etika -seperti konsep syura- yang
bisa dijadikan pedoman dalam penyelenggaraan negara.4)
Dari paparan di atas, pendekatan substansial tidak meniscayakan bahwa
Islam harus diinstitusikan dalam sebuah negara. Namun demikian, Islam tidak
bisa dilepaskan dari negara. Negara bisa menjadi instrumen bagi Islam sehingga
sebuah negara harus merefleksikan nilai moral dan spiritual Islam.5)
Dalam bidang hukum, pendekatan legal formal meniscayakan
dikodifikasikannya hukum Islam dalam bentuk peraturan perundang-undangan.
Selain karena ketentuannya memang ada dalam nash, keniscayaan tersebut

3)
Bahtiar Effendi, Teologi Baru Politik Islam, Pertautan Agama, Negara dan Demokrasi, cet.
1 (Yogyakarta: Galang Press, 2001), hlm. 118.
4)
Lihat M. Hasbi Amiruddin, Konsep Negara Islam menurut Fazlur Rahman, cet. 1
(Yogyakarta: UII Press, 2000), hlm. 80.
5)
Fazlur Rahman, “Islam and Political Action: Politics in the Service of Religion”, dalam
Nigel Biggar dkk (ed.), Cities of Gods, Faith, Politics, and Pluralism in Judaism, Christianity and
Islam, cet. 1 (New York: Greenwood, 1986), hlm. 154.
5

sebagai bentuk kewajiban yang dibebankan kepada umat Islam untuk menjalankan
syari’at.
Adapun pendekatan substansial tidak memaksakan positivisasi atau
formalisasi Islam, melainkan lebih menekankan pada terakomodirnya nilai-nilai
Islam dalam hukum. Oleh karena itu, tidak masalah bentuk atau nama dari suatu
produk hukum, asalkan sudah mengakomodir atau paling tidak, tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar hukum Islam.

C. POLITIK HUKUM ISLAM INDONESIA


C.1. Orde Baru; Hukum Islam di Bawah Kebijakan Depolitisasi
Pada priode awal kemerdekaan sampai era demokrasi liberal, negara
memiliki perhatian yang cukup besar terhadap hukum Islam. Hal ini terbukti
dengan lahirnya beberapa peraturan perundang-undangan yang mengandung
muatan hukum Islam atau setidaknya ditujukan bagi penduduk yang beragama
Islam. Terdapat beberapa undang-undang yang dapat disebutkan di sini antara
lain: Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan
Rujuk di Seluruh Daerah Luar Jawa dan Madura serta Undang-undang Nomor 32
tahun 1954 tentang Penetapan Berlakunya Undang-undang Nomor 22 tahun
1946.
Disamping di bidang perkawinan negara juga meregulasi peradilan agama
yang keberadaannya telah ada sejak masa penjajahan. Pada tahun 1951 lahir
Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-tindakan
Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Acara
Pengadilan-pengadilan Sipil. Meskipun tidak secara eksplisit menyebut peradilan
agama, namun undang-undang ini menegaskan eksistensi peradilan agama di
Indonesia. Komitmen negara terhadap keberadaan pengadilan agama kemudian
dipertegas dengan lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1957 tentang
Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di Luar Jawa dan Madura.
Keadaan segera berubah ketika Sukarno mencanangkan demokrasi
terpimpin. Pada priode ini tidak ada satupun regulasi negara dalam bentuk
peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur hukum Islam.
6

Disamping negara memang masih dalam keadaan darurat, Sukarno sepertinya


tidak pernah mengagendakan secara sungguh-sungguh formalisasi hukum Islam.
Hal ini secara tersirat terlihat dari langkah politik Sukarno yang hanya merangkul
sebagian kecil dari kekuatan Islam politik dan membuang yang lainnya.
Perangkulan tersebut juga hanya untuk keperluan politik agar koalisi NASAKOM
yang dibentuknya kuat.
Dengan latar politik demikian serta perlakuan tidak demokratis terhadap
kelompok Islam, dapat ditebak nasib hukum Islam ketika itu. Singkatnya, ideologi
demokrasi terpimpin Sukarno bukanlah rumah yang ramah bagi penerapan hukum
Islam.
Lahirnya Orde Baru pada akhir 60-an diwarnai oleh instabilitas politik dan
ekonomi yang merupakan peninggalan rezim Soekarno. Kebijakan-kebijakan
Orde Lama di bawah Soekarno yang lebih menitikberatkan pembangunan politik
dan bargaining position dengan dunia internasional telah menyebabkan
kemerosotan ekonomi. Kenyataan ini memberi pelajaran bagi Orde Baru sehingga
sejak awal berdirinya, pembangunan ekonomi merupakan prioritas utama.
Penekanan yang kuat terhadap pembangunan ekonomi ini meniscayakan
sebuah kondisi politik yang stabil agar seluruh kebijakan pembangunan dapat
berjalan dengan lancar. Konsekuensi ini menurut Riswandha Imawan
memunculkan “obsesi ganda”, yaitu menciptakan stabilitas politik demi
pembangunan ekonomi.6)
Dengan obsesi gandanya tersebut Orde Baru kemudian muncul sebagai
rezim dengan pemerintahan sentralistik dan militeristik yang menekan. Rusli
Karim mengutip pendapat beberapa pakar tentang ciri utama Orde Baru yang pada
kesimpulannya menyiratkan bahwa Orde Baru merupakan bentuk pemerintahan
militeristik yang didominasi oleh ABRI dan kuatnya partai pemerintah, jumlah
partai yang sedikit serta tidak adanya opoisisi. 7) Dapat dimaklumi dengan kondisi
seperti ini pemerintah akan mudah melakukan kontrol yang ketat terhadap
6)
Riswandha Imawan, Membedah Politik Orde Baru, Catatan dari Kaki Merapi, cet. 1
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. ix.
7)
Lihat Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik, Suatu Kajian Mengenai
Implikasi Kebijakan Pembangunan Bagi Keberadaan “Islam Politik” di Indonesia Era 1970-an
dan 1980-an, cet. 1 (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), hlm. 61-72.
7

kegiatan-kegiatan politik sehingga praktis semua aktivitas politik bahkan ideologi


berada di bawah pengawasan pemerintah.
Puncak dari seluruh rangkaian kebijakan penguatan negara dan pewujudan
stabilitas politik tersebut terjadi ketika Orde Baru secara sistematis melakukan
“depolitisasi”. Depolitisasi merupakan langkah untuk menghilangkan perselisihan
ideologi dan agama seperti yang terjadi pada 1965. Kebijakan ini telah dirintis
sejak awal Orde Baru berdiri, dimana pemerintah menekankan bahwa Pancasila
merupakan satu-satunya ideologi negara sehingga setiap partai politik dalam
8)
programnya harus menekankan pembangunan bukan ideologi politik. Dalam
perkembangan selanjutnya, bukan hanya partai politik, semua ormas juga
diwajibkan menggunakan pancasila sebagai asas. Dengan demikian, Pancasila
menjadi satu-satunya asas yang diakui bagi semua kegiatan sosial dan politik.
Salah satu pihak yang juga dirugikan dengan kebijakan depolitisasi ini
adalah Islam yang merupakan kekuatan politik dengan massa terbesar di
Indonesia. Orde Baru secara sistematis meminggirkan kekuatan politik Islam
khususnya yang ada dalam partai politik. Hal ini dengan jelas terlihat dengan
penolakan rehabilitasi Masyumi dan penggabungan NU (Nahdlatul Ulama)
bersama beberapa partai Islam lainnya ke dalam PPP (Partai Persatuan
Pembangunan). Penolakan rehabilitasi Masyumi sepertinya bukan semata-semata
didasarkan pada keterlibatan beberapa tokoh utama partai tersebut dalam
pemberontakan PRRI/Permesta. Sebab hampir dalam waktu yang bersamaan
pemerintah juga menolak beberapa partai Islam yang akan didirikan dan
direhabilitasi oleh tokoh-tokoh Islam yang tidak terlibat dalam pemberontakan
tersebut seperti Mohammad Hatta yang bermaksud mendirikan Partai Demokrasi
Islam Indonesia (PDII) dan kalangan Muhammadiyah yang ingin menghidupkan
kembali Partai Islam Indonesia (PII).9)
Keseluruhan rangkaian peristiwa di atas dengan jelas menunjukkan telah
terjadinya apa yang disebut Rusli Karim sebagai “peminggiran Islam politik”. Hal
ini selain merupakan bentuk ketakutan dan antipati Orde Baru khususnya militer
kepada Islam, juga merupakan konsekuensi dari karakter pemerintahan Orde Baru
8)
Riswandha Imawan, Membedah, hlm. 123-129.
9)
Ibid., hlm. 85-86.
8

yang tidak menjadikan agama sebagai pertimbangan dalam pengambilan


kebijakan-kebijakannya.10) Orde Baru tampaknya lebih menyukai kelompok Islam
yang bersikap apolitis dan tidak menghendaki Islam menjadi kekuatan politik
praktis, sehingga -baik secara langsung atau tidak- kelompok ini ikut melegitimasi
kebijakan depolitisasi Islam selama rezim pimpinan Soeharto itu berkuasa.
Dengan latar politik seperti dipaparkan di atas dapat dipahami mengapa
dalam rentang waktu lebih dari 30 tahun berkuasa, Orde Baru hanya berhasil
mengeluarkan 2 undang-undang yang terkait langsung dengan hukum Islam,
yakni Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Undang-undang Nomor 7 Tahun
1989. Adapun peraturan perundang-undangan lainnya hanya merupakan
penafsiran dan pelaksanaan terhadap ketentuan-ketentuan dalam kedua undang-
undang tersebut. Memang, pada tahun 1991 pemerintah mengeluarkan Inpres
Nomor 1 Tahun 1991 mengenai Kompilasi Hukum Islam yang materi muatannya
cukup komprehensif. Namun demikian, dengan hanya diatur dalam sebuah Inpres
sebenarnya memperlihatkan rendahnya komitmen negara dalam meregulasi
hukum Islam.
Sebagaimana diketahui Inpres bukan termasuk peraturan perundang-
undangan. Itulah sebabnya sepanjang sejarahnya KHI masih saja dipertanyakan
mengenai keabsahannya sebagai dasar hukum bagi para hakim pengadilan agama
memutus perkara. Bagaimana tidak, sebagai negara yang menganut sistem Eropa
Kontinental, keberadaan peraturan perundang-undangan merupakan nadi bagi
penegakan hukum. Selain itu, secara formal dan organisatoris peradilan agama
sebagai lembaga yang melaksanakan KHI sudah diatur sebelumnya dengan
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989.
Pengaturan KHI hanya sebatas Inpres sepertinya merupakan akomodasi
maksimal dari negara. Meskipun dipaksakan menjadi undang-undang, KHI
kemungkinan besar akan memperoleh penolakan, sebab dua tahun sebelum Inpres
Nomor 1 Tahun 1991 disahkan, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama mendapat penentangan keras dan menimbulkan polemik
panjang di masyarakat. Undang-undang yang diajukan akhir 1988 tersebut harus

10)
Rusli Karim, Negara, hlm. 115-119.
9

menempuh perselisihan yang alot. Hal ini terlihat ketika pemerintah hendak
mengajukannya ke DPR. Berbagai pihak, baik di parlemen, maupun maupun
masyarakat luas menyuarakan keberatannya. RUU tersebut dikhawatirkan
bertentangan dengan Pancasila sebagai satu-satunya asas. Ada juga yang
mencurigai RUU Peradilan Agama merupakan upaya untuk menghidupkan
kembali Piagam Jakarta dengan sedikit demi sedikit menerapkan syari’at Islam.11
Meskipun kemudian berhasil disahkan, pembahasan Undang-undang
Peradilan Agama terbilang lamban, sebab pembentukannya sebenarnya sudah
diamanatkan oleh Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman
atau butuh waktu sekitar 19 tahun. Dalam undang-undang tersebut ditegaskan
bahwa peradilan agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman
dan pengaturan lebih lanjut mengenai peradilan agama diatur dalam undang-
undang.
Polemik seputar RUU Peradilan agama ketika itu juga terbilang tidak
beralasan sebab jika menengok sejarah, keberadaan peradilan agama sudah sangat
tua dan bahkan telah diakui oleh Belanda melalui Staatblaad 1882 yang kemudian
setelah merdeka dikuatkan dengan Undang-undang Darurat Tahun 1951.
Cerita di atas dengan sangat tegas menunjukkan bagaimana negara
memperlakukan hukum Islam. Sebagai buah dari kebijakan depolitisasi,
formalisasi hukum Islam tampak bukan menjadi agenda prioritas dan bahkan
seringkali dicurigai. Depolitisasi memang selain menempatkan Pancasila sebagai
satu-satunya asas, juga memberikan efek negatif terhadap citra politik Islam,
sehingga berbagai tuntutan umat Islam terkait dengan penerapan hukum Islam
seringkali dicurigai sebagai upaya untuk kembali menghidupkan upaya
pemberlakuan syari’at Islam.
Perkembangan politik hukum Islam masa Orde Baru bagi kalangan yang
menganut pendekatan legal formal dipandang tidak sejalan dengan tujuan Islam
sebagai sebuah agama yang membawa kemaslahatan bagi semua umat manusia.
Namun, bagi pendekatan substansial, kondisi pada masa Orde Baru justru

11
Lebih jauh mengenai perdebatan seputar RUU Peradilan Agama, Lihat Zufran
Sabrie, .....
10

merupakan berkah yang harus disyukuri, sebab dengan tidak dipositifkan dalam
undang-undang negara, hakikat Islam sebagai sebuah way of life tetap terjaga.
Kalangan substansialis secara tidak langsung memberikan ‘restu’ terhadap
depolitisasi Islam di Indonesia. Melalui berbagai pemikirannya, para tokoh
intelektual Islam seperti Nurkholish Madjid, Kuntowijoyo dan Abdurrahman
Wahid memberikan kesan bahwa mereka tidak mempermasalahkan tidak
terakomodirnya politik Islam ke dalam institusi negara. Nurkholish, misalnya
pada tahun 1970 mengeluarkan semboyan Islam yes, partai Islam no!, sebuah
semboyan yang menunjukkan ketidaksetujuan Cak Nur terhadap politisasi Islam.
Beberapa tahun kemudian, Kuntowijoyo dalam sebuah tulisannya menyebutkan
bahwa terpinggirnya Islam secara politik merupakan blessing in disguese (berkah
yang tersembunyi).

C.2. Pasca Reformasi: ke Arah Formalisasi Hukum Islam?


Setelah Orde Baru lengser, polarisasi gerakan Islam tampaknya mendekati
model awal kemerdekaan dan Orde Lama. Beberapa elemen umat Islam yang dulu
pernah berjaya pada dekade 50-an berlomba-lomba bernostalgia dengan
mendirikan parpol-parpol Islam. Isu yang mereka usung juga tidak jauh berbeda
dengan Orde Lama, hanya mungkin dikemas dengan lebih soft. Jika diperhatikan
dengan seksama, produk hukum yang dihasilkan sepanjang terkait dengan hukum
Islam setelah bergulirnya reformasi memiliki corak yang sama, yakni ditujukan
hanya bagi masyarakat yang beragama Islam, kecuali pada hal-hal tertentu. Hal ini
mengingatkan kita pada usaha para politisi Islam di awal kemerdekaan yang
mencetuskan Piagam Jakarta.
Munculnya fenomena tersebut di atas sepertinya muncul sebagai
konsekuensi dianutnya sistem demokrasi. Setidaknya ada dua argumen yang
mendasari statemen ini, pertama, sistem ini dikenal dengan keterbukaan dan
kebebasan yang memberikan ruang gerak bagi berbagai elemen dan aspirasi
masyarakat untuk memunculkan diri. Apapun atau siapapun, termasuk di
dalamnya institusi-institusi atau aspirasi-aspirasi keagamaan, yang ingin
berpartisipasi dan mengaktualisikan diri harus diberikan ruang. Prinsip inilah yang
11

kemudian memberikan peluang bagi para politisi Islam untuk menyulut kembali
cita-cita politik Islam yang sebelumnya pernah meredup.
Kedua, selain merupakan sistem yang menempatkan kebebasan sebagai
salah satu pondasi dasarnya, demokrasi juga dikenal sangat menekankan
supremasi hukum, dalam pengertian ini, undang-undang. Itulah sebabnya sebuah
negara demokratis biasanya sangat memperhatikan kepastian hukum.
Dengan konteks bernegara seperti digambarkan di atas, tidak mengherankan
jika pasca reformasi usaha kodifikasi terhadap hukum Islam kembali menyeruak
ke permukaan. Sebagai hasilnya, berbagai perubahan mendasar dalam hukum
Islam segera mengisi ruang publik. Seperti mengulang sejarah, pada tahun 2002
ketika pembahasan amandemen UUD 1945, beberapa parpol Islam seperti PBB
dan PPP kembali mengobarkan perdebatan seputar syariat Islam. Bedanya ketika
Masa Konstituante, M. Natsir cs menuntut revitalisasi Piagam Jakarta, maka
ketika reformasi parpol-parpol Islam mengusulkan pada Pasal 29 UUD 1945 agar
ditambahkan dengan tujuh kata yang dulu pernah dimuat dalam piagam Jakarta.
Meskipun kemudian mengendap, lontaran tersebut ternyata baru merupakan
permulaan menggeliatnya politik hukum Islam pasca reformasi.
Dengan komposisi yang cukup besar serta dukungan masyarakat luas,
politisi Islam di senayan berhasil membuat perubahan dalam menaikkan
responsibilitas negara terhadap hukum Islam. Bayangkan saja, dalam kurun waktu
11 tahun DPR bersama Presiden telah mengesahkan lebih dari 10 undang-undang
yang secara eksplisit bermuatan hukum Islam. Undang-undang tersebut antara lain
: Undang-undang Nomor 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji,
Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, Undang-
undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi DI Aceh sebagai
Provinsi NAD, Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, Undang-
undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh, Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah, dan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang
12

Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan


Agama.
Daftar tersebut di atas belum menyebut beberapa undang-undang yang
memiliki materi muatan hukum Islam yang secara implisit diselipkan dalam
undang-undang yang bukan mengatasnamakan Islam. Termasuk dalam kategori
ini adalah Undang-undang tentang Pornografi.
Diantara sekian undang-undang tersebut beberapa undang-undang terkait
Aceh dan undang-undang Peradilan Agama tampaknya paling fenomenal. Kedua
undang-undang ini mengandung perluasan cakupan hukum Islam yang cukup
signifikan. Ambil contoh Undang-undang Nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus Bagi DI Aceh sebagai Provinsi NAD dan Undang-Undang Nomor 11
tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Kedua undang-undang ini secara tegas
telah mendeklarasikan berlakunya Syari’at Islam sebagai hukum positif di
Republik Indonesia khususnya di Aceh. Dengan demikian ketentuan Syari’at
Islam secara kaffah dilakukan melalui Qanun, dan merupakan sistem hukum
nasional.

Sebagai upaya menentukan arah politik hukum sebagaimana digariskan oleh


GBHN tahun 1999-2004, maka dengan keluarnya Undang-undang Nomor 18
tahun 2001 (Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006) untuk wilayah Propinsi
Nanggroe Aceh Darussalam sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia telah dideklarasikan adanya Peradilan Syari’at Islam sebagai bagian
dari sistem Peradilan Nasional yang dilakukan oleh Mahkamah Syar’iyah yang
bebas dari pengaruh pihak manapun (pasal 25 ayat (1) Undang-undang Nomor 18
tahun 2001 / pasal 128 ayat (1) Undang-undang Nomor 11 tahun 2006).

Sebagaimana tersebut dalam penjelasan pasal 49 Qanun No.10 tahun 2002 tentang
Peradilan Syari’at Islam, yang dimaksud dengan kewenangan dalam bidang
Jinayah adalah sebagai berikut :

1. Hudud yang meliputi :


13

- Zina

- Menuduh orang berzina (Qadhaf)

- Minuman keras dan Napza

- Murtad

- Pemberontakan (Buqhaat)

2. Qishash yang meliputi :

- Pembunuhan dan penganiayaan

3. Ta’zir yaitu hukuman yang dijatuhkan kepada orang yang melakukan


pelanggaran Syari’at selain hudud dan Qishash/diat seperti: Judi, Khalwat,
meninggalkan shalat fardhu dan puasa ramadhan.

Melihat kewenangan yang diberikan oleh qanun tersebut, berarti keseluruhan


pidana atau jinayah menjadi kewenangan Mahkamah Syar’iyah khusus dalam
bidang jinayah, maka lahirlah qanun yang menjadi hukum material antara lain :

1. Qanun No.11 tahun 2002 tentang pelaksanaan Syari’at Islam bidang Aqidah,
ibadah dan Syiar Islam.

2. Qanun No.12 tahun 2003 tentang minuman khamar dan sejenisnya.

3. Qanun No.13 tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian).

4. Qanun No.14 tahun 2003 tentang khalwat (Mesum).

Eksistensi dan Kewenangan Mahkamah Syar’iyah,


http://amlsk.wordpress.com/2008/12/03/eksistensi-dan-kewenangan-mahkamah-
syariyah-di-aceh/, 3 januari 2009
14

Berbagai perubahan yang didata di atas mengindikasikan dengan kuat


bahwa telah terjadi perubahan dalam corak politik hukum Islam pasca reformasi
terutama jika dibandingkan dengan masa Orde Baru. Saat ini ada indikasi kuat
bahwa norma-norma hukum Islam yang tersebar dalam nash dan kitab-kitab fiqh
diformalisasi dalam wujud peraturan perundang-undangan. Gejala ini tidaklah
aneh jika dihubungkan dengan penganutan sistem demokrasi sebagai landasan
politik Indonesia. Sebagai sebuah sistem politik yang mengedepankan kebebasan
dan kesetaraan, demokrasi meniscayakan kepastian hukum untuk menjamin
bahwa nilai-nilai yang dijanjikan dalam demokrasi dapat tetap terjaga. Oleh
karena itu, unsur kepastian hukum dalam sistem demokrasi menjadi wajib. Terkait
dengan kepastian hukum tersebut secara aklamasi disetujui bahwa norma-norma
hukum perlu diwujudkan dalam bentuk undang-undang atau hukum tertulis. Inilah
mengapa dalam sistem demokrasi undang-undang memiliki posisi yang sangat
sentral dan vital.
Berdasarkan uraian di atas, kecenderungan bahwa hukum Islam pasca
reformasi yang telah melahirkan sistem demokrasi, akan cenderung diformalisasi.
Hal ini tentu saja dimaksudkan agar
Menurut UU Nomor 10 Tahun 2004, peraturan perundang-undangan
meliputi:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
c. Peraturan Pemerintah;
d. Peraturan Presiden;
e. Peraturan Daerah.
Sementara itu, dalam tradisi Anglo Saxon (beberapa Negara Eropa dan
Amerika, ex. Inggris dan Amerika Serikat), negara hukum biasanya disebut
sebagai rule of law. Gagasan ini berkembang pertama kali di Inggris dan
berhubungan dengan tugas-tugas hakim dalam rangka menegakkan hukum.
A.V. Dicey memberikan ciri-ciri rule of law antara lain : (Hartono, 1969)

1. Supremacy of Law, artinya bahwa yang mempunyai kekuasaan


tertinggi dalam negara adalah hukum (kedaulatan hukum).
15

2. Equality Before the law, artinya persamaan dalam kedudukan hukum


bagi semua warga negara, baik selaku pribadi maupun dalam
kualifikasinya sebagai pejabat negara.
3. Constitution based on individual rights, artinya konstitusi itu tidak
merupakan sumber dari hak-hak asasi manusia dan jika hak-hak asasi
manusia itu diletakkan dalam konstitusi itu hanya sebagai penegasan
bahwa hak asasi itu harus dilindungi.
Pada perkembangan selanjutnya konsep negara hukum di atas banyak
mengalami perubahan dan penyempurnaan. Dinamika yang terjadi seiring
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa perubahan pada
cara pandang para ahli dalam melihat peran negara dalam hubungannya
dengan masyarakat. Perubahan besar yang terjadi mengharuskan negara untuk
memberi porsi perhatian yang lebih besar lagi kepada masyarakat. Sehingga
dalam konsep yang modern, negara hukum lalu didefinisikan sebagai sebuah
negara yang menjamin terselenggaranya pemerintahan yang demokratis dan
menjunjung tinggi HAM. Scheltema, sebagaimana dikutip Azhary (1995:50),
menyebut beberapa unsur negara hukum pada abad 20, antara lain:
1. Asas kepastian hukum, yang unsur-unsur turunannya adalah;
a. Asas legalitas
b. Undang-undang yang mengatur tindakan yang berwenang
sedemikian rupa, sehingga warga dapat mengetahui apa yang
diharapkan
c. Undang-undang yang tidak boleh berlaku surut
d. Hak asasi dijamin undang-undang
e. Pengendalian yang bebas dari pengaruh kekuasaan lain
2. Asas persamaan, yang unsur-unsur turunannya adalah;
a. Tindakan yang berwenang diatur dalam undang-undang dalam arti
materiil
b. Adanya pemisahan kekuasaan
3. Asas demokrasi, yang unsur-unsur turunannya adalah;
a. Hak untuk memilih dan dipilih bagi warga negara
16

b. Peraturan untuk badan yang berwenang ditetapkan oleh parlemen


c. Parlemen mengawasi tindakan pemerintah
4. Asas Pemerintahan untuk rakyat yang unsur-unsur turunannya adalah;
a. Hak asasi dijamin Undang-Undang Dasar
b. Pemerintahan secara efektif dan efisien
Dalam hubungannya dengan konsep demokrasi, negara hukum dapat
dikatakan memperoleh pasangan yang ideal. Sebab demokrasi dan negara
hukum tidak dapat dipisahkan. Suatu negara hukum tanpa demokrasi, menurut
Suseno (1997:58-59) bukan negara hukum. Menurutnya, demokrasi
merupakan cara paling aman untuk mempertahankan negara hukum. Negara
hukum yang ditopang oleh sistem yang demokratis biasanya disebut dengan
“negara hukum demokratis” (demokratische rechtstaat). Istilah ini merupakan
perkembangan lebih lanjut dari demokrasi konstitusional.

Sebutan negara hukum demokratis didasarkan atas kenyataan bahwa


konsep ini mengakomodir, baik prinsip-prinsip negara hukum maupun
prinsip-prinsip demokrasi. J.B.J.M. ten Berge (Ridwan HR, 2003),
menyebutkan prinsip-prinsip tersebut, antara lain:

a. Prinsip negara hukum


1. Asas legalitas
2. Perlindungan HAM
3. Pemerintah yang terikat pada hukum
4. Monopoli paksaan pemerintah untuk menjamin penegakan hukum
5. Pengawasan oleh hakim yang merdeka
b. Prinsip-prinsip demokrasi
1. Perwakilan politik
2. Pertanggungjawaban politik
3. Pemencaran kewenangan
4. Pengawasan atau kontrol
5. Keterbukaan pemerintah untuk umum
6. Rakyat diberikan kemungkinan untuk mengajukan keberatan
17

Berdasarkan prinsip-prinsip yang disebutkan di atas, terdapat korelasi


yang sangat erat antara negara hukum dan demokrasi. Demokrasi sebagai
sebuah ide yang membatasi kekuasaan harus ditopang oleh negara hukum,
sebab untuk efektifitas pembatasan kekuasaan tersebut, maka diperlukan
perangkat hukum. Adapun suatu negara hukum membutuhkan demokrasi agar
berbagai prinsip dan perangkat hukum yang ada dapat dioperasionalkan
dengan maksimal, sebab pada sebuah negara demokratis terdapat jaminan bagi
kekuasaan yang terbatas dan jaminan kebebasan warga negara yang
memungkinkan negara hukum dapat ditegakkan.
Dalam sebuah negara hukum, setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh
pemerintah harus memiliki landasan yuridis. Artinya, setiap tindakan yang
diambil oleh negara didasarkan pada hukum tertulis. Oleh karena itu,
meskipun perkembangan yang terjadi saat ini telah telah memberikan peran
dan tanggung jawab yang semakin besar kepada negara, asas legalitas tetap
dipandang sebagai salah satu prinsip utama yang dijadikan dasar bagi negara-
negara hukum modern, khususnya yang menggunakan sistem kontinental.12

AWAL KEMERDEKAAN DAN ORDE LAMA


1. Staatblad No. 152 tahun 1882 tentang Peraturan Peradilan Agama Islam
di Jawa dan Madura
2. Ordonansi tentang Peradilan Agama untuk Sebagian Residen
Kalimantan Selatan dan Timur Staatblad 1937 No. 638 jo. 639
3. Piagam Jakarta 22 Juni 1945
4. UU 22 1946 ttg Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk di Seluruh Daerah
Luar Jawa dan Madura
5. Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-
tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan,
Kekuasaan dan Acara Pengadilan-pengadilan Sipil
6. UU 32 1954 ttg Penetapan Berlakunya UU 22 1946 ttg Pencatatan
Nikah, Talak dan Rujuk di Seluruh Daerah Luar Jawa dan Madura

12
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: UII Press, 2003, hlm. 65.
18

7. PP No. 45 1957 ttg. Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah


Syar’iyah di Luar Jawa dan Madura

ORDE BARU
1. UU 1 1974 ttg Perkawinan
2. PP 9 1975 ttg Pelaksanaan UU 1 1974
3. Permen Agama 3 1975 ttg Kewajiban Pegawai Pencatat Nikah dan Tata
Kerja Pengadilan Agama dalam Melaksanakan Peraturan Perundang-
undangan Perkawinan bagi yang Beragama Islam
4. PP 28 1977 ttg Pewakafan Tanah Milik
5. Permendagri 6 1977 Tata Pendaftaran Tanah Mengenai Perwakafan
Tanah Milik
6. Permen Agama 1 1978 ttg Peraturan Pelaksanaan PP 28 1977
7. Permendagri 2 1978 ttg Biaya Pendaftaran Tanah
8. Kepmen Agama 73 1978 ttg Pendelegasian Wewenang Kepada Kepala
Kanwil Depag Provinsi/Setingkat di seluruh Indonesia
9. PP 10 1983 ttg. Izin Perkawinan dan Perceraian bagi PNS
10. SE MARI 5 1984 ttg Petunjuk Pelaksanaan PP 10 1983
11. Permen Agama ttg Wali Hakim
12. UU 7 1989 ttg. PA
13. PP 45 1990 ttg Perubahan PP 10 1983
14. SE 48 1990 ttg Petunjuk Pelaksanaan PP 45 1990
15. SE MARI No. 2 1990 ttg Petunjuk Pelaksanaan UU 7 1989
16. Inpres 1 1991 ttg KHI
17. PP 72 1992 Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil
18. SE MARI 2 1994 ttg Pengertian Pasal 177 KHI
19. Piagam Kerjasama Depkes, Depag dan MUI ttg Pelaksanaan
Pencatuman Label “halal” pada Makanan (1996)

PASCA REFORMASI
1. UU 17 1999 ttg Penyelenggaraan Ibadah Haji
19

2. UU 38 1999 ttg Pengelolaan Zakat


3. Kepmen Agama 581 1999 ttg Pelaksanaan UU 38 1999
4. Kepmen Agama 373 2003 ttg Pelaksanaan UU 38 1999
5. SK Direksi BI ttg Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syari’ah (1999)
6. Kepres 8 2001 ttg Badan Amil Zakat Nasional
7. Kepmen Agama 518 2001 ttg Pedoman dan Tata Cara Pemeriksaan dan
Penetapan Pangan Halal
8. Kepmen Agama 525 2001 ttg Penunjukan Perusahaan Umum Percetakan
Uang RI sebagai Pelaksanaan Percetakan Label Halal
9. Peraturan BI 5/7/PBI/2003 ttg Kualitas Aktiva Produktif Bagi Bank
Syariah
10. Peraturan BI 5/9/PBI/2003 ttg Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif
Bagi Bank Syariah
11. Kepmen Agama 477 2004 ttg Pencatatan Nikah
12. UU 18 2001 ttg Otonomi Khusus Bagi DI Aceh sebagai Provinsi NAD
13. Kepres 11 2003 ttg MSy/MSy Provinsi di Provinsi NAD
14. UU 41 2004 ttg Wakaf
15. PP 42 2006 ttg Pelaksanaan UU 41 2004 ttg Wakaf
16. UU 3 2006 ttg Perubahan atas UU 7 1989
17. UU 21 2008 ttg Perbankan Syariah
18. UU 50 2009 ttg Perubahan Kedua atas UU 7 1989

D. CATATAN PENUTUP
Setelah Orde Baru lengser, polarisasi gerakan Islam tampaknya mendekati
model awal kemerdekaan dan Orde Lama. Beberapa elemen umat Islam yang dulu
pernah berjaya pada dekade 50-an berlomba-lomba bernostalgia dengan
mendirikan parpol-parpol Islam. Isu yang mereka usung juga tidak jauh berbeda
dengan Orde Lama, hanya mungkin dikemas dengan lebih soft. Jika diperhatikan
dengan seksama, produk hukum yang dihasilkan sepanjang terkait dengan hukum
Islam setelah bergulirnya reformasi memiliki corak yang sama, yakni ditujukan
20

hanya bagi masyarakat yang beragama Islam, kecuali pada hal-hal tertentu. Hal ini
mengingatkan kita pada usaha para politisi Islam di awal kemerdekaan yang
mencetuskan Piagam Jakarta.
Perkembangan yang dipertontonkan politik hukum Islam pasca reformasi
tergolong unik, terutama jika dihubungkan dengan pergeseran paradigma politik
bangsa yang sedang terjadi. Sistem demokrasi yang dianut oleh Indonesia saat ini
merupakan sistem yang tidak memberikan ruang yang leluasa bagi
institusionalisasi dan formalisasi agama. Sistem ini lekat dengan pengagungan
terhadap suara seluruh rakyat, sehingga berbagai aspirasi dari elemen masyarakat
yang tidak mencerminkan kehendak atau suara sebagian besar rakyat tidak akan
diakomodir. Selain itu, sistem demokrasi dapat dikatakan meniscayakan
sekularisasi, atau pemisahan antara negara dan agama.
Keyakinan dasar demokrasi yang menempatkan suara rakyat dan hukum
sebagai puncak kedaulatan tertinggi berbanding terbalik dengan agama yang pada
umumnya mengajarkan kebenaran mutlak dan tak tergoyahkan kepada Tuhan.
Demokrasi juga bukan padanan yang seimbang bagi agama dalam hal pemberian
kebebasan bagi individu, dimana dalam sistem ini kebebasan individu merupakan
salah satu pra syarat utama. Sebaliknya, agama justeru datang ke muka bumi
untuk memberikan batasan dan mengatur tingkah laku manusia. Demokrasi yang
mengajarkan kesetaraan juga sangat menjunjung tinggi proses pengambilan
keputusan berdasarkan suara terbanyak dalam menentukan tindakan yang harus
diambil. Sementara agama telah mematok standar kebenaran dan kebijaksanaan
yang bersifat mutlak dan mengikat melalui kitab-kitab suci.
Namun perdebatan tidak sesederhana itu, sebab sifat demokrasi yang dalam
penerapannya sangat fleksibel seringkali memunculkan pandangan berbeda.
Justeru keterbukaan demokrasi harus mengijinkan berbagai elemen dan aspirasi
masyarakat untuk memunculkan diri. Apapun atau siapapun, termasuk di
dalamnya institusi-institusi atau aspirasi-aspirasi keagamaan, yang ingin
berpartisipasi dan mengaktualisikan diri harus diberikan ruang. Sehingga
pembatasan menjadi sesuatu yang tidak relevan dengan demokrasi.
21

Jika melihat perkembangan yang terjadi dalam politik hukum Islam,


pandangan yang kedua tampaknya memperoleh ruang gerak yang leluasa untuk
berkembang. Hadirnya puluhan parpol Islam yang kemudian diikuti oleh
munculnya berbagai kebijakan yang ‘Islami’ memberikan bukti yang kuat.
Meskipun tidak menguasai parlemen dan pemerintahan, suara politisi Islam
memberikan pengaruh kuat dalam menentukan berbagai kebijakan. Tidak hanya
di tingkat pusat, pengaruh tersebut juga merambah hingga ke daerah, ditandai
dengan munculnya berbagai Perda syari’ah.
Namun demikian, para penganut Islam politik semestinya menyadari jika
demokrasi tidak mengajarkan kebebasan tanpa batas. Dalam konstruk negara
demokrasi modern, negara dan masyarakat dibatasi oleh hukum. Sehingga semua
negara demokratis meniscayakan adanya supremasi hukum agar tujuan bersama
yang ingin dicapai menuju arah yang jelas serta tidak kebablasan. Dalam konteks
inilah kemudian perlu dipikirkan kembali apakah fenomena formalisasi agama
yang dilakukan saat ini sesuai dengan cita hukum bangsa Indonesia yang notabene
bukan merupakan negara agama.
Keberadaan peraturan perundang-undangan yang bernuansa Islam atau
syari’ah patut mendapat perhatian ekstra. Sangat mungkin peraturan perundang-
undangan itu tidak sejalan dengan politik hukum nasional. Dalam beberapa hal,
secara substansial hukum Islam banyak yang tidak sejalan dengan hukum
nasional. Selain itu, peraturan perundang-undangan yang bernuansa Islam dan
ditujukan untuk orang Islam belum tentu selaras dengan asas-asas hukum yang
menghendaki unifikasi yang diharapkan memudahkan munculnya kepastian
hukum.
Pernyataan di atas tentu tidak dimaksudkan untuk membatasi ruang gerak
Islam sebagai sebuah agama. Pengalaman Indonesia sejak kemerdekaan sampai
hari ini menunjukkan bahwa pengaturan Islam dalam suatu peraturan perundang-
undangan atau konstitusi telah memunculkan berdebatan panjang. Usaha
institusionalisasi agama secara radikal melalui usul pendirian negara Islam atau
penerapan syari’at Islam tidak memperoleh dukungan yang memadai.
22

Usaha institusionalisasi dan formalisasi agama yang digalang gerakan Islam


politik sebenarnya tidak terlampau disukai oleh sebagian besar masyarakat
Indonesia. Image gerakan ini seringkali mengesankan Islam yang rigid, tidak
bersahabat dan terkadang kejam. Para penganut Islam politik memang seringkali
menerjemahkan nash secara literer, tanpa proses interpretasi yang mendalam,
sehingga para penyokong aliran ini menginginkan agar ayat-ayat al-qur’an harus
diterapkan kapanpun dan dimanapun tanpa melihat kondisi riil masyarakat dan
negara.
Tidak responsifnya masyarakat Islam terhadap gerakan Islam politik dapat
dilihat dari perolehan suara parpol Islam ketika pemilu atau gencarnya penolakan
penerapan syari’at Islam. Karakter Islam Indonesia yang cenderung toleran dan
moderat tampaknya tidak sejalan dengan pemahaman para penganut Islam politik.
Islam Indonesia merupakan Islam yang adaptif, membaur dengan tradisi dan
kemodernan.
Dengan alasan hukum serta latar sosial politik seperti itu, rasanya perlu
dipikirkan kembali fenomena maraknya upaya institusionalisasi dan formalisasi
agama. Hal ini perlu mendapat perhatian lebih karena upaya tersebut bukannya
berkurang, malah semakin kuat.

Anda mungkin juga menyukai