A. PENGANTAR
Politik hukum dapat dimaknai sebagai kebijakan yang diambil negara dalam
bidang hukum. Karena yang distudi adalah kebijakan maka fokus utama politik
hukum adalah bagaimana sebuah produk hukum, seperti peraturan perundang-
undangan, dibuat dan diterapkan. Dalam konstruksi keilmuan hukum, politik
hukum merupakan aktualisasi dari filsafat hukum yang kemudian menghasilkan
dogmatik hukum atau hukum positif.
Dengan demikian, politik hukum merupakan proses untuk membumikan
doktrin atau pemikiran tentang hukum ke dalam bentuk yang lebih konkret. Atau
dapat disimpulkan bahwa inti dari studi politik hukum adalah proses pembuatan
atau penyusunan suatu produk hukum serta bagaimana penerapannya.
Politik hukum didasarkan pada pandangan eratnya hubungan antara politik
dan hukum. Langgam politik tertentu sangat berpengaruh terhadap karakter
produk hukum yang dihasilkan. Selain itu, hampir semua ahli menyetujui jika
hukum dalam pengertian peraturan perundang-undangan adalah hasil dari proses
politik. Sehingga untuk melahirkan hukum yang baik dan responsif mutlak
diperlukan sistem politik yang baik pula.
Dalam rangka menentukan sistem politik yang baik untuk menyokong
lahirnya hukum yang baik tersebut, banyak ahli yang meyakini jika demokrasi
merupakan sistem politik paling sesuai untuk melahirkan cita hukum yang
diinginkan. Demokrasi dipandang akan melahirkan hukum yang responsif,
sebaliknya sistem politik non demokratis akan memunculkan karakter hukum
represif.2
Berdasarkan keyakinan di atas, maka sangat wajar jika perubahan
paradigma politik di Indonesia dari sistem represif Orde Baru menjadi sistem
1
Hakim PA Rantau
2
Mahfud MD, Politik Hukum Indonesia, LP3ES, Jakarta, 2001.
2
sempurna, mencakup segala hal dan universal dengan demikian memuat seluruh
ketentuan baik duniawi maupun ukhrawi, termasuk permasalahan negara.
Menurut Bahtiar Effendy, pendekatan legal formal biasanya ditandai dengan
keinginan untuk memberlakukan Syari’ah sebagai konstitusi negara.3) Dalam
bentuk yang lain, pendekatan legal formal muncul dalam bentuk kecenderungan
untuk melakukan positivisasi atau kodifikasi hukum dalam bentuk peraturan
perundang-undangan. Ketentuan-ketentuan hukum yang sebagian besar telah
terstruktur dalam fiqh berusaha untuk dipositivisasi sehingga memiliki legalitas
dari negara. Asumsinya, dengan terlembaga dalam bentuk peraturan perundang-
undangan, hukum Islam tersebut dapat lebih efektif diterapkan karena memiliki
kekuatan memaksa.
Adapun pendekatan substansial beranggapan bahwa dalam doktrin Islam
terdapat beberapa permasalahan sosial dan politik yang tidak memiliki ketentuan
baku. Oleh karena itu, tidak ada ketentuan baku tentang politik dalam Islam,
seperti bentuk negara, baik dari al Qur’an dan as Sunnah maupun dari historisitas
Islam. Fazlur Rahman, salah satu tokoh kunci pendekatan ini, menyatakan bahwa
Islam tidak menentukan bentuk baku untuk negara. Namun demikian, Rahman
mengakui al Qur’an menyediakan tata nilai dan etika -seperti konsep syura- yang
bisa dijadikan pedoman dalam penyelenggaraan negara.4)
Dari paparan di atas, pendekatan substansial tidak meniscayakan bahwa
Islam harus diinstitusikan dalam sebuah negara. Namun demikian, Islam tidak
bisa dilepaskan dari negara. Negara bisa menjadi instrumen bagi Islam sehingga
sebuah negara harus merefleksikan nilai moral dan spiritual Islam.5)
Dalam bidang hukum, pendekatan legal formal meniscayakan
dikodifikasikannya hukum Islam dalam bentuk peraturan perundang-undangan.
Selain karena ketentuannya memang ada dalam nash, keniscayaan tersebut
3)
Bahtiar Effendi, Teologi Baru Politik Islam, Pertautan Agama, Negara dan Demokrasi, cet.
1 (Yogyakarta: Galang Press, 2001), hlm. 118.
4)
Lihat M. Hasbi Amiruddin, Konsep Negara Islam menurut Fazlur Rahman, cet. 1
(Yogyakarta: UII Press, 2000), hlm. 80.
5)
Fazlur Rahman, “Islam and Political Action: Politics in the Service of Religion”, dalam
Nigel Biggar dkk (ed.), Cities of Gods, Faith, Politics, and Pluralism in Judaism, Christianity and
Islam, cet. 1 (New York: Greenwood, 1986), hlm. 154.
5
sebagai bentuk kewajiban yang dibebankan kepada umat Islam untuk menjalankan
syari’at.
Adapun pendekatan substansial tidak memaksakan positivisasi atau
formalisasi Islam, melainkan lebih menekankan pada terakomodirnya nilai-nilai
Islam dalam hukum. Oleh karena itu, tidak masalah bentuk atau nama dari suatu
produk hukum, asalkan sudah mengakomodir atau paling tidak, tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar hukum Islam.
10)
Rusli Karim, Negara, hlm. 115-119.
9
menempuh perselisihan yang alot. Hal ini terlihat ketika pemerintah hendak
mengajukannya ke DPR. Berbagai pihak, baik di parlemen, maupun maupun
masyarakat luas menyuarakan keberatannya. RUU tersebut dikhawatirkan
bertentangan dengan Pancasila sebagai satu-satunya asas. Ada juga yang
mencurigai RUU Peradilan Agama merupakan upaya untuk menghidupkan
kembali Piagam Jakarta dengan sedikit demi sedikit menerapkan syari’at Islam.11
Meskipun kemudian berhasil disahkan, pembahasan Undang-undang
Peradilan Agama terbilang lamban, sebab pembentukannya sebenarnya sudah
diamanatkan oleh Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman
atau butuh waktu sekitar 19 tahun. Dalam undang-undang tersebut ditegaskan
bahwa peradilan agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman
dan pengaturan lebih lanjut mengenai peradilan agama diatur dalam undang-
undang.
Polemik seputar RUU Peradilan agama ketika itu juga terbilang tidak
beralasan sebab jika menengok sejarah, keberadaan peradilan agama sudah sangat
tua dan bahkan telah diakui oleh Belanda melalui Staatblaad 1882 yang kemudian
setelah merdeka dikuatkan dengan Undang-undang Darurat Tahun 1951.
Cerita di atas dengan sangat tegas menunjukkan bagaimana negara
memperlakukan hukum Islam. Sebagai buah dari kebijakan depolitisasi,
formalisasi hukum Islam tampak bukan menjadi agenda prioritas dan bahkan
seringkali dicurigai. Depolitisasi memang selain menempatkan Pancasila sebagai
satu-satunya asas, juga memberikan efek negatif terhadap citra politik Islam,
sehingga berbagai tuntutan umat Islam terkait dengan penerapan hukum Islam
seringkali dicurigai sebagai upaya untuk kembali menghidupkan upaya
pemberlakuan syari’at Islam.
Perkembangan politik hukum Islam masa Orde Baru bagi kalangan yang
menganut pendekatan legal formal dipandang tidak sejalan dengan tujuan Islam
sebagai sebuah agama yang membawa kemaslahatan bagi semua umat manusia.
Namun, bagi pendekatan substansial, kondisi pada masa Orde Baru justru
11
Lebih jauh mengenai perdebatan seputar RUU Peradilan Agama, Lihat Zufran
Sabrie, .....
10
merupakan berkah yang harus disyukuri, sebab dengan tidak dipositifkan dalam
undang-undang negara, hakikat Islam sebagai sebuah way of life tetap terjaga.
Kalangan substansialis secara tidak langsung memberikan ‘restu’ terhadap
depolitisasi Islam di Indonesia. Melalui berbagai pemikirannya, para tokoh
intelektual Islam seperti Nurkholish Madjid, Kuntowijoyo dan Abdurrahman
Wahid memberikan kesan bahwa mereka tidak mempermasalahkan tidak
terakomodirnya politik Islam ke dalam institusi negara. Nurkholish, misalnya
pada tahun 1970 mengeluarkan semboyan Islam yes, partai Islam no!, sebuah
semboyan yang menunjukkan ketidaksetujuan Cak Nur terhadap politisasi Islam.
Beberapa tahun kemudian, Kuntowijoyo dalam sebuah tulisannya menyebutkan
bahwa terpinggirnya Islam secara politik merupakan blessing in disguese (berkah
yang tersembunyi).
kemudian memberikan peluang bagi para politisi Islam untuk menyulut kembali
cita-cita politik Islam yang sebelumnya pernah meredup.
Kedua, selain merupakan sistem yang menempatkan kebebasan sebagai
salah satu pondasi dasarnya, demokrasi juga dikenal sangat menekankan
supremasi hukum, dalam pengertian ini, undang-undang. Itulah sebabnya sebuah
negara demokratis biasanya sangat memperhatikan kepastian hukum.
Dengan konteks bernegara seperti digambarkan di atas, tidak mengherankan
jika pasca reformasi usaha kodifikasi terhadap hukum Islam kembali menyeruak
ke permukaan. Sebagai hasilnya, berbagai perubahan mendasar dalam hukum
Islam segera mengisi ruang publik. Seperti mengulang sejarah, pada tahun 2002
ketika pembahasan amandemen UUD 1945, beberapa parpol Islam seperti PBB
dan PPP kembali mengobarkan perdebatan seputar syariat Islam. Bedanya ketika
Masa Konstituante, M. Natsir cs menuntut revitalisasi Piagam Jakarta, maka
ketika reformasi parpol-parpol Islam mengusulkan pada Pasal 29 UUD 1945 agar
ditambahkan dengan tujuh kata yang dulu pernah dimuat dalam piagam Jakarta.
Meskipun kemudian mengendap, lontaran tersebut ternyata baru merupakan
permulaan menggeliatnya politik hukum Islam pasca reformasi.
Dengan komposisi yang cukup besar serta dukungan masyarakat luas,
politisi Islam di senayan berhasil membuat perubahan dalam menaikkan
responsibilitas negara terhadap hukum Islam. Bayangkan saja, dalam kurun waktu
11 tahun DPR bersama Presiden telah mengesahkan lebih dari 10 undang-undang
yang secara eksplisit bermuatan hukum Islam. Undang-undang tersebut antara lain
: Undang-undang Nomor 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji,
Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, Undang-
undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi DI Aceh sebagai
Provinsi NAD, Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, Undang-
undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh, Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah, dan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang
12
Sebagaimana tersebut dalam penjelasan pasal 49 Qanun No.10 tahun 2002 tentang
Peradilan Syari’at Islam, yang dimaksud dengan kewenangan dalam bidang
Jinayah adalah sebagai berikut :
- Zina
- Murtad
- Pemberontakan (Buqhaat)
1. Qanun No.11 tahun 2002 tentang pelaksanaan Syari’at Islam bidang Aqidah,
ibadah dan Syiar Islam.
12
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: UII Press, 2003, hlm. 65.
18
ORDE BARU
1. UU 1 1974 ttg Perkawinan
2. PP 9 1975 ttg Pelaksanaan UU 1 1974
3. Permen Agama 3 1975 ttg Kewajiban Pegawai Pencatat Nikah dan Tata
Kerja Pengadilan Agama dalam Melaksanakan Peraturan Perundang-
undangan Perkawinan bagi yang Beragama Islam
4. PP 28 1977 ttg Pewakafan Tanah Milik
5. Permendagri 6 1977 Tata Pendaftaran Tanah Mengenai Perwakafan
Tanah Milik
6. Permen Agama 1 1978 ttg Peraturan Pelaksanaan PP 28 1977
7. Permendagri 2 1978 ttg Biaya Pendaftaran Tanah
8. Kepmen Agama 73 1978 ttg Pendelegasian Wewenang Kepada Kepala
Kanwil Depag Provinsi/Setingkat di seluruh Indonesia
9. PP 10 1983 ttg. Izin Perkawinan dan Perceraian bagi PNS
10. SE MARI 5 1984 ttg Petunjuk Pelaksanaan PP 10 1983
11. Permen Agama ttg Wali Hakim
12. UU 7 1989 ttg. PA
13. PP 45 1990 ttg Perubahan PP 10 1983
14. SE 48 1990 ttg Petunjuk Pelaksanaan PP 45 1990
15. SE MARI No. 2 1990 ttg Petunjuk Pelaksanaan UU 7 1989
16. Inpres 1 1991 ttg KHI
17. PP 72 1992 Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil
18. SE MARI 2 1994 ttg Pengertian Pasal 177 KHI
19. Piagam Kerjasama Depkes, Depag dan MUI ttg Pelaksanaan
Pencatuman Label “halal” pada Makanan (1996)
PASCA REFORMASI
1. UU 17 1999 ttg Penyelenggaraan Ibadah Haji
19
D. CATATAN PENUTUP
Setelah Orde Baru lengser, polarisasi gerakan Islam tampaknya mendekati
model awal kemerdekaan dan Orde Lama. Beberapa elemen umat Islam yang dulu
pernah berjaya pada dekade 50-an berlomba-lomba bernostalgia dengan
mendirikan parpol-parpol Islam. Isu yang mereka usung juga tidak jauh berbeda
dengan Orde Lama, hanya mungkin dikemas dengan lebih soft. Jika diperhatikan
dengan seksama, produk hukum yang dihasilkan sepanjang terkait dengan hukum
Islam setelah bergulirnya reformasi memiliki corak yang sama, yakni ditujukan
20
hanya bagi masyarakat yang beragama Islam, kecuali pada hal-hal tertentu. Hal ini
mengingatkan kita pada usaha para politisi Islam di awal kemerdekaan yang
mencetuskan Piagam Jakarta.
Perkembangan yang dipertontonkan politik hukum Islam pasca reformasi
tergolong unik, terutama jika dihubungkan dengan pergeseran paradigma politik
bangsa yang sedang terjadi. Sistem demokrasi yang dianut oleh Indonesia saat ini
merupakan sistem yang tidak memberikan ruang yang leluasa bagi
institusionalisasi dan formalisasi agama. Sistem ini lekat dengan pengagungan
terhadap suara seluruh rakyat, sehingga berbagai aspirasi dari elemen masyarakat
yang tidak mencerminkan kehendak atau suara sebagian besar rakyat tidak akan
diakomodir. Selain itu, sistem demokrasi dapat dikatakan meniscayakan
sekularisasi, atau pemisahan antara negara dan agama.
Keyakinan dasar demokrasi yang menempatkan suara rakyat dan hukum
sebagai puncak kedaulatan tertinggi berbanding terbalik dengan agama yang pada
umumnya mengajarkan kebenaran mutlak dan tak tergoyahkan kepada Tuhan.
Demokrasi juga bukan padanan yang seimbang bagi agama dalam hal pemberian
kebebasan bagi individu, dimana dalam sistem ini kebebasan individu merupakan
salah satu pra syarat utama. Sebaliknya, agama justeru datang ke muka bumi
untuk memberikan batasan dan mengatur tingkah laku manusia. Demokrasi yang
mengajarkan kesetaraan juga sangat menjunjung tinggi proses pengambilan
keputusan berdasarkan suara terbanyak dalam menentukan tindakan yang harus
diambil. Sementara agama telah mematok standar kebenaran dan kebijaksanaan
yang bersifat mutlak dan mengikat melalui kitab-kitab suci.
Namun perdebatan tidak sesederhana itu, sebab sifat demokrasi yang dalam
penerapannya sangat fleksibel seringkali memunculkan pandangan berbeda.
Justeru keterbukaan demokrasi harus mengijinkan berbagai elemen dan aspirasi
masyarakat untuk memunculkan diri. Apapun atau siapapun, termasuk di
dalamnya institusi-institusi atau aspirasi-aspirasi keagamaan, yang ingin
berpartisipasi dan mengaktualisikan diri harus diberikan ruang. Sehingga
pembatasan menjadi sesuatu yang tidak relevan dengan demokrasi.
21