Anda di halaman 1dari 6

POLITIK HUKUM

Oleh:

ELSA KARINA BR GULTOM

237005026

Dosen Pengampu : Dr. AFNILA, S.H., M.Hum.

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
HUKUM EKONOMI SEMESTER I
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2023

1
REVIEW JURNAL

Judul:
Politik Hukum dalam Penegakan Hukum di Indonesia

Penulis:
Anita Anita

Latar Belakang Penelitian:


Hukum sebagai determinan atas politik adalah kegiatan-kegiatan politik diatur dan
harus tunduk pada aturan-aturan hukum. Demikian pula, politik adalah determinan atas
hukum, karena hukum merupakan hasil kristalisasi kehendak-kehendak politik yang saling
berinteraksi dan bahkan saling bersaingan. Oleh karena itu, hukum dipengaruhi oleh politik.
Hukum dan politik di Indonesia ibarat perjalanan lokomotif kereta api, hukum sebagai rel
sedangkan politik sebagai lokomotifnya. Saat ini di Indonesia, terlihat kecenderungan bahwa
lokomotif tersebut keluar dari rel yang seharusnya dilalui. Hukum yang ada bertolak
belakang dengan konsep hukum yang seharusnya terfokus pada keadilan dalam masyarakat.

Hasil:
Penulis dalam pembahasan ini menerangkan bahwa saat ini politik hukum di Indonesia
dipengaruhi oleh penegakan hukum di Indonesia. Penulis menilai bahwa penegakan hukum
di Indonesia adalah gagal, karena beberapa faktor yakni ketidakmandirian hukum, integritas
penegak hukum yang buruk, kondisi masyarakat yang rapuh, dan pertumbuhan hukum yang
mandek. Pendapat penulis ini sesuai dengan pendapat Daniel S. Lev bahwa faktor pengubah
hukum dilihat dari sisi penegakan hukum oleh aparatnya. Penegakan hukum berdasarkan
pendapat penulis sejalan dengan pendapat Lawrence M. Friedman bahwa efektif dan berhasil
tidaknya hukum tergantung tiga unsur, yaitu struktur hukum, substansi hukum, dan budaya
hukum. Berdasarkan uraian tersebut, maka arah kebijakan politik hukum di Indonesia dapat
ditempuh dengan tiga cara, yaitu: pertama, menata kembali substansi hukum melalui
peninjauan dan menata kembali peraturan perundang-undangan; kedua, melakukan

2
pembenahan struktur hukum melalui penguatan kelembagaan dengan meningkatkan
profesionalisme hakim dan staf peradilan serta kualitas sistem peradilan yang terbuka dan
transparan; dan ketiga, meningkatkan budaya hukum.
Þ Struktur hukum yang diibaratkan sebagai mesin yang didalamnya terdiri dari instansi-
instansi penegakan hukum, seperti eksekutif, legislatif, yudikatif, juga termasuk
Kejaksaan dan Kepolisian dinilai belum mencerminkan keberhasilan hukum itu sendiri.
Para penyelenggara negara dalam eksekutif maupun legislatif dapat disebut sebagai
hukum yaitu kekuasaan. Bahwa benar hukum hakikatnya adalah kekuasaan, kekuasaan
yang mengusahakan ketertiban, namun saat ini seolah-olah terjadi monopoli penguasa
yang menimbulkan suatu keadaan yang represif. Pemerintah sebagai pemegang
kekuasaan sering menggunakan hegemoninya dengan cara memengaruhi rakyat dan
pihak lain menurut kehendak dan tujuan politiknya. Pemerintah sebagai pemegang
kekuasaan negara merupakan pihak yang memerintah (the ruler), sedangkan rakyat
berada dalam lingkup kekuasaan pemerintah merupakan pihak yang diperintah (the
ruled). Pengambilan keputusan dalam menjalankan peranan politik hukum pemerintah
untuk membangun hukum nasional acapkali dipengaruhi kepentingan-kepentingan yang
diajukan oleh partai politik tertentu.
Kepentingan politik pemerintah menjadi alasan dan pertimbangan untuk membentuk
suatu peraturan perundang-undangan, yang tidak jarang kepentingan tersebut
bertentangan dengan syarat ideal yang harus dipenuhi untuk sahnya keberlakuan suatu
hukum atau peraturan perundang-undangan, baik secara yuridis, filosofis, dan
sosiologis. Oleh karena itu, untuk dapat mencegah terjadinya struktur kekuasaan yang
bersifat menindas dikembangkanlah sistem hukum yang menyeimbangkan kekuasaan
dengan cara distribusi hak dan privilese di antara individu dan kelompok.
Struktur hukum yang belum cenderung efektif juga terlihat dari penegakan hukum yang
dilakukan oleh instansi yudikatif yakni Pengadilan dan Kejaksaan. Penegakan hukum
sebagaimana amanat Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 bahwa setiap warga negara sama
kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan belum dapat terlaksana dengan baik,
karena instasi yudikatif dan Kejaksaan dinilai masyarakat belum mampu menuntut
maupun mengadili setiap pelaku tindak tindak pidana tanpa pandang bulu.

3
Þ Namun, permasalahan-permasalahan tersebut terjadi juga karena substansi hukum di
Indonesia yang masih carut-marut. Substansi hukum yang merupakan produk hukum itu
sendiri, seperti undang-undang tidak dapat mengatasi seluruhnya permasalahan dalam
masyarakat. Produk hukum itu sendiri yang semakin membuat rumitnya permasalahan.
Pada asasnya, prosedur pembentukan hukum nasional Indonesia menganut civil law
system atau sistem Eropa Kontinental, yang mana kaidah-kaidah hukum dirumuskan
atau diformulasikan dalam bentuk peraturan perundang-undangan terlebih dahulu oleh
para pembentuk undang-undang lalu diberlakukan dalam masyarakat setelah dimuat
dalam lembaran negara dan diumumkan melalui berita negara.
Peranan politik hukum sebagai sarana transformasi struktur dan masyarakat harus
dilakukan dengan kebijakan-kebijakan yang terarah dan terukur. Pembangunan hukum
nasional yang ideal sesuai dengan ekspetasi masyarakat sangat penting dan mendesak
untuk segera diimplementasikan karena sampai saat ini masih banyak peraturan
perundang-undangan yang dirasakan tidak sesuai dengan perkembangan zaman,
termasuk peraturan perundang-undangan produk kolonial Belanda. Selain itu, banyak
pula peraturan perundang-undangan sebagai suatu kaidah hukum tidak mempunyai
keberlakuan yuridis karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi tingkatannya. Sehingga dalam pelaksanaannya, peraturan perundang-
undangan tersebut menjadi polemik prokontra dan sering dimanipulasi oleh kelompok
tertentu sebagai alat pembenaran untuk melakukan perbuatan melanggar atau melawan
hukum.
Selain permasalahan di atas, permasalahan lainnya terkait dengan substansi hukum
adalah terdapatnya keanekaragaman hukum yang berlaku di Indonesia yang didasarkan
pada pertimbangan-pertimbangan politik hukum pemerintah terhadap daerah tertentu
seakan memberi kesan perlakuan istimewa/khusus terhadap daerah tertentu, seperti
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh, Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, dan sebagainya.
Hal tersebut suatu saat akan menimbulkan problematika serius karena tidak mustahil
daerah-daerah lain di Indonesia akan menuntut perlakuan yang sama dari pemerintah.
Semua gejala tersebut pada akhirnya akan memengaruhi bahkan menjadi kendala bagi

4
penerapan asas unifikasi keberlakuan suatu peraturan perundang-undangan di seluruh
wilayah NKRI.
Þ Efektivitas keberlakuan hukum juga erat hubungannya dengan masalah kemasyarakatan
lainnya, yakni budaya hukum di Indonesia. Pembangunan hukum nasional tidak
mungkin dapat dipisahkan dari pembangunan bangsa. Pembangunan hukum termasuk
proses penegakan hukum harus dikembangkan secara positif dan kreatif untuk kemajuan
di bidang hukum yang dilaksanakan secara serasi, terarah untuk mewujudkan
masyarakat yang sadar dan taat pada hukum. Dasar politik hukum yang didasarkan pada
semangat nasionalisme dan sosial kemasyarakatan akan dirasakan tidak hanya sebagai
sesuatu yang harus dipatuhi atau ditaati, melainkan akan menjadi bagian dari nilai tata
kehidupan masyarakat, sehingga masyarakat menjadi wajib untuk menegakkannya.
Adanya hubungan timbal balik antara pembangunan hukum dan pembangunan
masyarakat akan membentuk fenomena dalam politik hukum bahwa hukum merupakan
sarana pembaruan dan pembangunan masyarakat sebagaimana konsepsi law as a tool of
social engineering. Konsepsi tersebut pada hakikatnya berorientasi yakni pertama,
adanya sikap tindak yang teratur dalam masyarakat atau ketertiban dalam usaha
pembangunan atau pembaruan masyarakat dipandang sebagai suatu yang bersifat mutlak
dan kedua, hukum dalam arti kaidah atau norma dapat berfungsi sebagai pengendali
sosial kegiatan manusia atau masyarakat dalam berinteraksi satu dengan yang lain.
Latar belakang kebudayaan, asal usul sejarah suatu daerah dan perbedaan golongan
suku/etnistetap harus dipertimbangkan pemerintah dalam politik hukumnya, tetapi hal
tersebut harus mengalami asimilasi bentuk-bentuk hukum baru yang selaras dengan
perubahan dan perkembangan masyarakat untuk mengarah kepada tercapainya suatu tata
hukum yang berkeadilan dan dapat diterima oleh kelompok masyarakat di luar ruang
lingkup batas-batas daerah. Peranan politik hukum pemerintah jangan terjebak pada
pola-pola primordial sehingga tidak membentuk sistem hukum ideal yang dicita-citakan.
Jika dihubungkan dengan keanekaragaman (diversity) bangsa Indonesia dalam
kebudayaan, adat istiadat, suku, agama dan kepercayaan, serta Indoenesia sebagai negara
kepulauan, maka peranan politik hukum pembangunan nasional secara representative
harus didasarkan pada: pertama, percerminan dari kehendak untuk mewujudkan cita-cita

5
bangsa Indonesia sebagaimana Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945; kedua,
orientasi landasan yuridis yang berpedoman pada Pancasila sebagai sumber dari segala
hukum; ketiga, penetapan Bhineka Tunggal Ika sebagai asas hukum; keempat,
pengimplementasian asas non-diskriminatif; kelima, pengimplementasian nilai-nilai
pembaruan dan pelestarian (azas welvaarstaat) yang bersifat tahan lama.
Politik hukum membuat suatu ius constituendum (hukum yang akan berlaku), dan
berusaha agar ius constituendum itu pada hari kemudian berlaku sebagai ius constitum.
Dengan urgensi dari politik hukum tentunya ini sangat diharapkan dalam perkembangan
produk-produk perundangan-undangan agar lebih sensitif terhadap perkembangan
masyarakat Indonesia. Produk hukum dijadikan pedoman pengaturan semua aspek
kehidupan baik politik, sosial, budaya, keamanan maupun dalam bidang ekonomi. Tentunya
dengan acuan yang baik dari peraturan perundang-undangan diharapkan dapat mengatasi
masalah atupun dikotomi yang dialami oleh masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai