Anda di halaman 1dari 13

Sebagaimana telah disebutkan, bahwa politik peraturan perundang-undangan merupakan

bagian atau subsistem dari politik hukum, dengan demikian dapat dikatakan bahwa
mempelajari atau memahami politik hukum pada dasarnya sama dengan memahami atau
mempelajari politik perundang-undangan demikian pula sebaliknya, karena pemahaman dari
politik hukum termasuk pula di dalamnya mencakup proses pembentukan dan
pelaksanaan/penerapan hukum (salah satunya peraturan perundang-undangan) yang dapat
menunjukkan sifat ke arah mana hukum akan dibangun dan ditegakkan.[4] Bagir Manan
mengartikan istilah politik perundang-undangan secara sederhana yaitu sebagai
kebijaksanaan mengenai penentuan isi atau obyek pembentukan peraturan perundang-
undangan.

Sedangkan pembentukan peraturan perundang-undangan itu sendiri diartikan sebagai


tindakan melahirkan suatu peraturan perundang-undangan.[5] Abdul Wahid Masru
mengartikan politik peraturan perundang-undangan sebagai kebijakan (beleids/policy) yang
diterjemahkan sebagai tindakan pemerintahan/negara dalam membentuk peraturan
perundang-undangan sejak tahap perencanaannya sampai dengan penegakannya
(implementasinya).[6] Sehingga dapat disimpulkan bahwa politik perundang-undangan
merupakan arah kebijakan pemerintah atau negara mengenai pengaturan (substansi) hukum
yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan (hukum tertulis) untuk mengatur
kehidupan berbangsa dan bernegara.

Selanjutnya, dimana dapat kita melihat gambaran mengenai politik perundang-undangan


yang sedang dijalankan oleh pemerintah/negara? Untuk melihat perkembangan politik
perundang-undangan yang berlaku pada masa tertentu secara substansial dan sederhana
sebenarnya dapat dilihat dari:

1. produk peraturan perundang-undangan yang dibentuk pada masa itu yang secara
mudah dan spesifik lagi biasanya tergambar pada konsiderans menimbang dan
penjelasan umum (bila ada) dari suatu peraturan perundang-undangan yang dibentuk;
dan
2. kebijakan yang dibuat oleh pemerintah/negara pada saat itu yang merupakan garis
pokok arah pembentukan hukum, seperti GBHN pada masa pemerintahan orde baru
atau Prolegnas dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional yang berlaku
pada saat ini.

B.  Kebijakan Politik Hukum Nasional


Sebelum lebih jauh membahas politik perundang-undangan, maka terlebih dahulu perlu kita
memahami politik hukum sebagai induk dari politik perundang-undangan. Oleh karena itu,
perlu disinggung secara garis besar mengenai arah kebijakan politik hukum nasional yang
sedang dilaksanakan pada saat ini.

Arah kebijakan politik hukum nasional dilandaskan pada keinginan untuk melakukan
pembenahan sistem dan politik hukum yang dilandasikan pada 3 (tiga) prinsip dasar yang
wajib dijunjung oleh setiap warga negara yaitu:
1.  supremasi hukum;
2.  kesetaraan di hadapan hukum; dan
3.  penegakan hukum dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan hukum.

Ketiga prinsip dasar tersebut merupakan syarat mutlak dalam mewujudkan cita-cita
terwujudnya negara Indonesia yang damai dan sejahtera. Apabila hukum ditegakkan dan
ketertiban diwujudkan, maka diharapkan kepastian, rasa aman, tenteram, ataupun kehidupan
yang rukun akan dapat terwujud. Untuk itu politik hukum nasional harus senantiasa diarahan
pada upaya mengatasi berbagai permasalahan dalam penyelenggaraan sistem dan politik
hukum yang meliputi permasalahan yang berkaitan dengan substansi hukum, struktur hukum,
dan budaya hukum.

1. Substansi Hukum  (Legal Substance)


Pembenahan substansi hukum merupakan upaya menata kembali materi hukum
melalui peninjauan dan penataan kembali peraturan perundang-undangan untuk
mewujudkan tertib perundang-undangan dengan memperhatikan asas umum dan
hirarki perundang-undangan dan menghormati serta memperkuat kearifan lokal dan
hukum adat untuk memperkaya sistem hukum dan peraturan melalui pemberdayaan
yurisprudensi sebagai bagian dari upaya pembaruan materi hukum nasional. Hal ini
yang akan dibahas selanjutnya karena materi ini merupakan bagian dari politik
perundang-undangan.

2. Struktur Hukum (Legal Structure)


Pembenahan terhadap struktur hukum lebih difokuskan pada penguatan kelembagaan
dengan meningkatkan profesionalisme hakim dan staf peradilan serta kualitas sistem
peradilan yang terbuka dan transparan; menyederhanakan sistem peradilan,
meningkatkan transparansi agar peradilan dapat diakses oleh masyarakat dan
memastikan bahwa hukum diterapkan dengan adil dan memihak pada kebenaran;
memperkuat kearifan lokal dan hukum adat untuk memperkaya sistem hukum dan
peraturan melalui pemberdayaan yurisprudensi sebagai bagian dari upaya pembaruan
materi hukum nasional. Dalam kaitannya dengan pembenahan struktur hukum ini,
langkah-langkah yang diterapkan adalah:

a.   Menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat pada sistem hukum dan


kepastian hukum.
Kurangnya independensi lembaga penegak hukum yang terjadi selama kurun waktu
silam membawa dampak besar dalam sistem hukum. Intervensi berbagai kekuasaan
lain terhadap kekuasaan yudikatif telah mengakibatkan terjadinya partialitas dalam
berbagai putusan, walaupun hal seperti ini menyalahi prinsip-prinsip impartialitas
dalam sistem peradilan telah mengakibatkan degradasi kepercayaan masyarakat
kepada sistem hukum maupun hilangnya kepastian hukum.

b.   Penyelenggaraan proses hukum secara transparan dan dapat


dipertanggungjawabkan (akuntabilitas).
Akuntabilitas lembaga hukum tidak dilakukan dengan jelas, baik kepada siapa atau
lembaga mana lembaga tersebut harus bertanggung jawab maupun tata cara
bagaimana yang harus dilakukan untuk memberikan pertanggungjawabannya,
sehingga memberikan kesan proses hukum tidak transparan. Hal ini juga berkaitan
dengan “budaya” para penegak hukum dan masyarakatnya, sebagai contoh kurangnya
informasi mengenai alur atau proses beracara di pengadilan sehingga hal tersebut
sering dipakai oleh oknum yang memanfaatkan hal tersebut untuk menguntungkan
dirinya sendiri. Kurangnya bahkan sulitnya akses masyarakat dalam melakukan
pengawasan terhadap penyelenggaraan peradilan membuka kesempatan terjadinya
penyimpangan kolektif di dalam proses peradilan sebagaimana dikenal dengan istilah
mafia peradilan yang sampai saat ini tiada kunjung dapat teratasi, oleh kerena itu
sangat diperlukan penetapan langkah-langkah prioritas dalam pembenahan lembaga
peradilan.

c.   Pembenahan dan peningkatan sumber daya manusia di bidang hukum.


Secara umum, kualitas sumber daya manusia di bidang hukum, dari mulai para
peneliti hukum, perancang peraturan perundang-undangan sampai tingkat pelaksana
dan penegak hukum masih perlu peningkatan, termasuk dalam hal memahami dan
berperilaku responsif gender. Rendahnya kualitas sumber daya manusia di bidang
hukum juga tidak terlepas dari belum mantapnya sistem pendidikan hukum yang ada.
Selain itu  telah menjadi rahasia umum bahwa proses seleksi maupun kebijakan
pengembangan sumber daya manusia di bidang hukum yang diterapkan banyak
menyimpang yang akhirnya tidak menghasilkan SDM yang berkualitas. Hal ini pula
yang memberikan berpengaruh besar terhadap memudarnya supremasi hukum serta
semakin menambah ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem hukum yang ada.

3. Budaya Hukum (Legal Culture)


Unsur yang ketiga dalam arah kebijakan politik hukum nasional adalah meningkatkan
budaya hukum antara lain melalui pendidikan dan sosialisasi berbagai peraturan
perundang-undangan.  Hal ini bertujuan untuk menumbuhkan kembali budaya hukum
yang sepertinya “semakin hari semakin memudar” (terdegradasi). Apatisme dan
menurunnya tingkat appresiasi masyarakat pada hukum dewasa ini sudah sangat
mengkhawatirkan, maraknya kasus main hakim sendiri, pembakaran para pelaku
kriminal, pelaksanaan sweeping oleh sebagian anggota masyarakat bahkan di depan
aparat penegak hukum merupakan gambaran nyata semakin menipisnya budaya
hukum masyarakat. Sehingga konsep dan makna hukum sebagai instrumen untuk
melindungi kepentingan individu dan sosial hampir sudah kehilangan bentuknya yang
berdampak pada terjadinya ketidakpastian hukum ”yang tercipta” melalui proses
pembenaran perilaku salah dan menyimpang bahkan hukum sepetinya hanya
merupakan instrumen pembenar bagi ”perilaku salah”, seperti sweeping yang
dilakukan oleh kelompok masa, oknum aparat yang membacking orang atau
kelompok tertentu, dan lain sebagainya.

Tingkat kesadaran masyarakat terhadap hak, kewajibannya, dan hukum sangat


berkaitan dengan (antara lain) tingkat pendidikan dan proses sosialisasi terhadap
hukum itu sendiri. Di lain pihak kualitas, profesionalisme, dan kesadaran aparat
penegak hukum juga merupakan hal mutlak yang harus dibenahi. Walaupun tingkat
pendidikan sebagian masyarakat masih kurang memadai, namun dengan kemampuan
dan profesionalisme dalam melakukan pendekatan dan penyuluhan hukum oleh para
praktisi dan aparatur ke dalam masyarakat, sehingga pesan yang disampaikan kepada
masyarakat dapat diterima secara baik dan dapat diterapkan apabila masyarakat
menghadapi berbagai persoalan yang terkait dengan hak dan kewajibannya serta
bagaimana menyelesaikan suatu permasalahan sesuai dengan jalur hukum yang benar
dan tidak menyimpang.

Untuk mendukung pembenahan sistem dan politik hukum tersebut, telah ditetapkan sasaran
politik hukum nasional yaitu terciptanya suatu sistem hukum nasional yang adil, konsekuen,
dan tidak diskriminatif (termasuk bias gender); terjaminnya konsistensi seluruh peraturan
perundang-undangan pada tingkat pusat dan daerah, serta tidak bertentangan dengan
peraturan dan perundangan yang lebih tinggi, dan kelembagaan peradilan dan penegak
hukum yang berwibawa, bersih, profesional dalam upaya memulihkan kembali kepercayaan
hukum masyarakat secara keseluruhan.
Untuk mewujudkan sasaran tersebut, maka disusun suatu program pembangunan politik
hukum, antara lain dengan melakukan:

1. program perencanaan hukum;


2. Program pembentukan hukum;
3. program peningkatan kinerja lembaga peradilan dan lembaga penegakan hukum
lainnya;
4. program peningkatan kualitas profesi hukum; dan
5. program peningkatan kesadaran hukum dan hak asasi manusia.

C.  Politik Perundang-undangan

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa politik perundang-undangan merupakan


arah kebijakan pemerintah atau negara mengenai arah pengaturan (substansi) hukum yang
dituangkan dalam peraturan perundang-undangan (hukum tertulis) untuk mengatur kehidupan
berbangsa dan bernegara. Mengapa hanya menggambarkan keinginan atau kebijakan
pemerintah atau negara?  Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 disebutkan bahwa kewenangan atau organ pembentuk peraturan perundang-undangan
adalah hanya negara atau Pemerintah.[7]

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan


merupakan bentuk monopoli negara yang absolut, tunggal, dan tidak dapat dialihkan pada
badan yang bukan badan negara atau bukan badan pemerintah. Sehingga pada prinsipnya
tidak akan ada deregulasi yang memungkinkan penswastaan pembentukan peraturan
perundang-undangan. Namun demikian dalam proses pembentukannya sangat mungkin
mengikutsertakan pihak bukan negara  atau Pemerintah.[8] Hal tersebut didasarkan pada
kenyataan bahwa peraturan perundang-undangan, baik langsung maupun tidak langsung akan
selalu berkenaan dengan kepentingan umum, oleh karena itu sangat wajar apabila masyarakat
diikutsertakan dalam penyusunannya.

Keikutsertaan tersebut dapat dalam bentuk memberikan kesempatan kepada masyarakat


untuk melakukan berbagai prakarsa dalam mengusulkan/memberikan masukan untuk
mengatur sesuatu atau memberikan kesempatan pada masyarakat untuk menilai, memberikan
pendapat atas berbagai kebijaksanaan negara atau Pemerintah di bidang perundang-undangan.
Dalam praktek, pengikutsertaan dilakukan melalui kegiatan seperti pengkajian ilmiah,
penelitian, berpartisipasi dalam forum-forum diskusi atau duduk dalam kepanitiaan untuk
mempersiapkan suatu rancangan peraturan perundang-undangan.

Pada forum Dewan Perwakilan Rakyat juga dilakukan pemberian sarana partisipasi yang
dilakukan melalui pranata "dengar pendapat" atau "public hearing". Berbagai sarana untuk
berpartisipasi tersebut akan lebih efektif bila dilakukan dalam lingkup yang lebih luas bukan
saja dari kalangan ilmiah atau kelompok profesi, tetapi dari berbagai golongan kepentingan
(interest groups) atau masyarakat pada umumnya. Untuk mewujudkan hal tersebut biasanya
diperlukan suatu sistem desiminasi rancangan peraturan perundang-undangan agar
masyarakat dapat mengetahui arah kebijakan atau politik hukum dan perundang-undangan
yang dilaksanakan. Sehingga pembangunan dan pembentukan peraturan perundang-undangan
dapat mengarah pada terbentuknya suatu sistem hukum nasional Indonesia yang dapat
mengakomodir harapan hukum yang hidup di dalam masyarakat Indonesia yang berorientasi
pada terciptanya hukum yang responsive. Berkaitan dengan hal tersebut Mahfud MD juga
menyatakan:

Hukum yang responsive merupakan produk hukum yang lahir dari strategi pembangunan
hukum yang memberikan peranan besar dan mengundang partisipasi secara penuh kelompok-
kelompok masyarakat sehingga isinya mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan
masyarakat pada umumnya.[9]

Dari yang telah diuraikan tersebut, maka seharusnya peraturan perundang-undangan dapat
diformulasikan sedemikian rupa yaitu sedapat mungkin menampung berbagai pemikiran dan
partisipasi berbagai lapisan masyarakat, sehingga produk hukum yang dihasilkan dapat
diterima oleh masyarakat. Pemahaman mengenai hal ini sangat penting karena dapat
menghindari benturan pemahaman antara masyarakat dan pemerintah atau negara yang akan
terjebak ke dalam tindakan yang dijalankan diluar jalur atau landasan hukum. Bila hukum
yang dihasilkan adalah hukum yang responsif, maka tidak akan ada lagi hukum siapa yang
kuat (punya kekuasaan) akan menguasai yang lemah atau anggapan rakyat selalu menjadi
korban, karena lahirnya hukum tersebut sudah melalui proses pendekatan dan formulasi
materi muatannya telah menampung berbagai aspirasi masyarakat. Pada dasarnya penerimaan
(resepsi) dan apresiasi masyarakat terhadap hukum sangat ditentukan pula oleh nilai,
keyakinan, atau sistem sosial politik yang hidup dalam masyarakat itu sendiri.[10]

Dalam sejarah perkembangan peraturan perundang-undangan di Indonesia pernah terjadi


bahwa selama lebih dari 30 tahun sebelum reformasi tahun 1998, konfigurasi politik yang
berkembang di negara Indonesia dibangun secara tidak demokratis sehingga hukum kita
menjadi hukum yang konservatif dan terpuruk karena selalu dijadikan sub ordinat dari
politik. Sedangkan ciri atau karakteristik yang melekat pada hukum konservatif antara lain:

1. Proses pembuatannya sentralistik (tidak partisipatif) karena didominasi oleh lembaga-


lembaga negara yang dibentuk secara tidak demokrastis pula oleh negara. Di sini
peran lembaga peradilan dan kekuatan-kekuatan masyarakat sangat sumir.
2. Isinya bersifat positivist-instrumentalistik (tidak aspiratif) dalam arti lebih
mencerminkan kehendak penguasa karena sejak semula hukum telah dijadikan alat
(instrumen) pembenar yang akan maupun (terlanjur) dilakukan oleh pemegang
kekuasaan yang dominan.
3. Lingkup isinya bersifat open responsive (tidak responsif) sehingga mudah ditafsir
secara sepihak dan dipaksakan penerimanya oleh pemegang kekuasaan negara.
4. Pelaksanaannya lebih mengutamakan program dan kebijakan sektoral jangka pendek
dari pada menegakkan aturan-aturan hukum yang resmi berlaku.
5. Penegakannya lebih mengutamakan perlindungan korp sehingga tidak jarang
pembelokan kasus hukum oleh aparat dengan mengaburkan kasus pelanggaran
menjadi kasus prosedur atau menampilkan kambang hitam sebagai pelaku yang harus
dihukum.[11]

Sejalan dengan M. Mahfud MD, mengenai ciri tersebut, Satya Arinanto memberikan
pendapatnya bahwa produk hukum yang konservatif mempunyai makna:

Produk hukum konservatif/ortodoks/elitis adalah produk hukum yang isinya lebih


mencerminkan visi sosial elit politik, keinginan pemerintah, dan bersifat positivis-
instrumentalis, yakni menjadi alat pelaksanaan ideologi dan program negara. Ia lebih tertutup
terhadap tuntutan-tuntutan kelompok-kelompok maupun individu-individu dalam
masyarakat. Dalam pembuatannya, peranan dan partisipasi masyarakat relatif kecil.

Sedangkan produk hukum responsif/populistik adalah produk hukum yang mencerminkan


rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat. Dalam proses pembuatannya memberikan
peranan besar dan partisipasi penuh kelompok-kelompok sosial atau individu-individu dalam
masyarakat. Hasilnya bersifat responsif terhadap tuntutan-tuntutan kelompok-kelompok
sosial atau individu-individu dalam masyarakat.[12]

Dari pengalaman sejarah hukum[13] tersebut seharusnya perlu dirancang suatu skenario
politik perundang-undangan nasional yang berorientasi pada pemahaman konsep sistem
hukum nasional yang diwujudkan dalam bentuk penyusunan peraturan perundang-undangan
secara komprehensif dan aspiratif. Penyusunan atau pembentukan peraturan perundang-
undangan yang aspiratif tersebut merupakan rangkaian dari langkah-langkah strategis yang
dituangkan dalam program pembangunan hukum nasional yang dilaksanakan untuk
mewujudkan negara hukum yang adil dan demokratis serta berintikan keadilan dan kebenaran
yang mengabdi kepada kepentingan rakyat dan bangsa di dalam bingkai Negara Kesatuan
Republik Indonesia.

D.  Landasan Politik Perundang-undangan


Sebagai bagian dari suatu konsep pembangunan,  politik perundang-undangan sudah pasti
bertumpu pada suatu landasan (yuridis), yaitu antara lain:

1. Pancasila.
Pancasila ladasan awal dari politik hukum dan peraturan perundang-undangan hal ini
dimaksudkan agar kebijakan dan strategi (politik) hukum dan peraturan perundang-
undangan sejalan sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat Indonesia
dengan tetap membuka diri terhadap berbagai hal-hal yang baik yang merupakan hasil
perubahan yang terjadi dalam berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara baik di lingkungan pergaulan nasional maupun internasional.
2. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
UUD NRI Tahun 1945 merupakan landasan formal dan materiil konstitusional dalam
politik hukum dan peraturan perundang-undangan sehingga setiap kebijakan dan
strategi di bidang hukum dan peraturan perundang-undangan mendapatkan legitimasi
konstitusional sebagai salah satu bentuk penjabaran negara berdasar atas hukum
(rechtsstaat) dan asas konstitusionalisme.[14]
3. Peraturan atau Kebijakan implementatif dari politik peraturan perundang-undangan.
Yang dimaksud disini adalah peraturan atau kebjikan yang memuat aturan-aturan
yang berkaitan dengan politik hukum dan peraturan perundang-undangan yang
bersifat implementatif dari landasan filosofis, konstitusional, operasional, formal, dan
prosedural, misalnya antara lain Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Presiden
Nomor 61 Tahun 2005, Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005, Program Legislasi
Nasional (Prolegnas), Rencana Pembangunan Jangka Menengah, dan lain sebagainya.

Di samping landasan tersebut, dalam melaksanakan politik peraturan perundang-undangan,


seharusnya perlu diperhatikan pula mengenai pola pikir pembentukan peraturan perundang-
undangan (hukum) yang harus disesuaikan dengan prinsip-prinsip:
1. Segala jenis peraturan perundang-undangan merupakan satu kesatuan sistem hukum
yang bersumbar pada Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945. Oleh sebab itu, tata
urutan, kesesuaian isi antara berbagai peraturan perundang-undangan tidak boleh
diabaikan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
2. Tidak semua aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara harus diatur dengan
peraturan perundang- undangan. Berbagai tatanan yang hidup dalam masyarakat yang
tidak bertentangan dengan cita hukum, asas hukum umum yang terkandung dalam
Pancasila dan UUD 1945 dapat dibiarkan dan diakui sebagai subsistem hukum
nasional dan karena itu mempunyai kekuatan hukum seperti peraturan perundang-
undangan.
3. Pembentukan peraturan perundang-undangan, selain mempunyai dasar-dasar yuridis,
harus dengan seksama mempertimbangkan dasar-dasar filosifis dan kemasyarakatan
tempat kaidah tersebut akan berlaku.
4. Pembentukan  peraturan  perundang-undangan selain mengatur keadaan yang ada
harus mempunyai jangkauan masa depan.
5. Pembentukan peraturan perundang-undangan bukan hanya sekedar menciptakan
instrumen kepastian hukum tetapi juga merupakan instrumen keadilan dan kebenaran.
6. Pembentukan peraturan perundang-undangan harus didasarkan pada partisipasi
masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung (peran serta masyarakat).
7. Pembentukan peraturan perundang-undangan harus didasarkan asas dan materi
muatan peraturan perundang-undangan.

E.  Langkah Strategis Politik Perundang-undangan Nasional (Jangka Menengah)


Sehubungan dengan politik pembangunan hukum dan politik peraturan perundang-undangan
nasional, paling tidak pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat telah menetapkan dua
langkah strategis, yaitu dengan menetapkan Program Legislasi Nasional 2010-2014 dan
menetapkan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2010-2014.

1. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-2014.


Dalam rangka pembenahan sistem dan politik hukum nasional, pada tanggal 20
Januari 2010 ditetapkan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-2014. Satya Arinanto dalam
pidato pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap Fakultas Hukum Universitas Indonesia
menyatakan bahwa Peraturan Presiden tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional ini dapat dikatakan sebagai Garis-garis Besar Haluan Negara
(GBHN) yang pernah ada dalam Era Orde Lama dan Orde Baru.[15]

Bila dilihat dari beberapa hal yang berkaitan dengan pembenahan substansi hukum,
maka dapat dikatakan bahwa politik hukum atau politik peraturan perundang-
undangan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional ini diarahkan
pada permasalahan terjadinya tumpang tindih dan inkonsistensi peraturan perundang-
undangan dan implementasi undang-undang yang terhambat peraturan
pelaksanaannya. Berdasarkan adanya permasalahan tersebut, maka politik hukum
nasional akan diarah pada terciptanya hukum nasional yang adil, konsekuen, dan tidak
diskriminatif serta menjamin terciptanya konsistensi seluruh peraturan perundang-
undangan pada tingkat pusat dan daerah serta tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya.
Untuk itu dalam rangka mengimplementasikan politik pembangunan hukum
nasional[16] maka dengan Peraturan Presiden tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional tersebut ditetapkan suatu landasan politik perundang-undangan
nasional yang sejak tahun 2005 telah menetapkan kebijakan untuk memperbaiki
substansi hukum melalui peninjauan dan penataan kembali peraturan perundang-
undangan dengan memperhatikan asas umum dan hierarki peraturan perundang-
undangan.

Peninjauan dan penataan kembali peraturan pundang-undangan tersebut adalah


merupakan kegiatan yang dilakukan untuk melakukan peninjauan dan penataan
peraturan perundang-undangan termasuk didalamnya melakukan kegiatan
pengharmonisasian berbagai rancangan peraturan perundang-undangan dengan
rancangan peraturan perundang-undangan yang lain maupun terhadap peraturan
perundang-undangan yang telah ada, juga melakukan pengharmonisasi peraturan
perundang-undangan yang sudah ada dengan peraturan perundang-undangan yang
lain. Hal ini  dimaksudkan agar peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih,
inkonsistensi, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
(disharmonis) dapat ditinjau kembali untuk dilakukan perubahan atau revisi.

Politik perundang-undangan yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka


Menengah Nasional ditujukan untuk menciptakan persamaan persepsi dari seluruh
pelaku pembangunan khususnya di bidang hukum dalam menghadapi berbagai isu
strategis dan global yang secara cepat perlu diantipasi agar penegakan dan kepastian
hukum tetap berjalan secara berkesinambungan yang diharapkan akan dihasilkan
kebijakan/materi hukum yang sesuai dengan aspirasi masyarakat serta mempunyai
daya laku yang efektif dalam masyarakat dan dapat menjadi sarana untuk
mewujudkan perubahan-perubahan di bidang sosial kemasyarakatan[17].

Oleh karena itu, sasaran politik perundang-undangan nasional saat ini harus mengacu
pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) sebagai arah dan
prioritas pembangunan secara menyeluruh yang dilakukan secara bertahap dan juga
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) 2010-2014. Acuan
tersebut sangat penting karena politik peraturan perundang-undangan merupakan
salah satu unsur penting dalam rangka pembangunan hukum nasional secara
keseluruhan yang merupakan suatu proses yang dinamis, mengalami perubahan sesuai
dengan dinamika kehidupan masyarakat dan politik yang tidak terlepas dari:
a. keadaan masa lalu yang terkait dengan sejarah perjuangan bangsa;
b. keadaan saat ini yang berkaitan dengan kondisi obyektif yang terjadi; serta
c. cita-cita atau keinginan yang ingin diwujudkan di masa yang akan datang.[18]

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional yang telah ditetapkan juga telah
mengarahkan pembentukan peraturan perundang-undangan yang harus dilakukan
melalui proses yang benar dengan memperhatikan tertib perundang-undangan serta
asas umum peraturan perundang-undangan yang baik. Adapun pokok-pokok politik
perundang-undangan yang akan dilaksanakan dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional,  dapat dikelompokkan antara lain meliputi kegiatan:

a.  Penegakkan dan Kepastian Hukum yang meliputi antara lain:


1) Penguatan dan Pemantapan Hubungan Kelembagaan Antar Penegak Hukum;
2) Peningkatan Kinerja Lembaga Bidang Hukum;
3) Peningkatan Pemberantasan Korupsi;
4) Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik;
5) Peningkatan Kapasitas dan Akuntabilitas Aparat Hukum;
6) Inventarisasi dan Penyelarasan Peraturan Perundang-undangan yang menghambat
pembangunan;
7) Peningkatan Penghormatan, Pemajuan, dan Penegakan HAM

b. Pelaksanaan berbagai pengkajian hukum dengan mendasarkan baik dari hukum


tertulis maupun hukum tidak tertulis yang terkait dengan isu hukum, hak asasi
manusia dan peradilan;

c.  Pelaksanaan berbagai penelitian hukum untuk dapat lebih memahami kenyataan


yang ada dalam masyarakat;

d. Harmonisasi di bidang hukum (hukum tertulis dan hukum tidak tertulis/hukum


adat) terutama pertentangan antara peraturan perundang-undangan pada tingkat pusat
dengan peraturan perundang-undangan pada tingkat daerah yang mempunyai
implikasi menghambat pencapaian kesejahteraan rakyat;

e. Penyusunan naskah akademis rancangan undang-undang berdasarkan kebutuhan


masyarakat;

f. Penyelenggaraan berbagai konsultasi publik terhadap hasil pengkajian dan


penelitian sebagai bagian dari proses pelibatan masyarakat dalam proses penyusunan
rekomendasi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat;

g. Penyempurnaan dan perubahan dan pembaruan berbagai peraturan perundang-


undangan yang tidak sesuai dan tidak sejalan dengan kebutuhan masyarakat dan
pembangunan, serta yang masih berindikasi diskriminasi dan yang tidak memenuhi
prinsip kesetaraan dan keadilan;

h. Penyusunan dan penetapan berbagai peraturan perundang-undangan berdasarkan


asas hukum umum, taat prosedur serta sesuai dengan pedoman penyusunan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

2. Program Legislasi Nasional (Prolegnas)


Program Legislasi Nasional (Prolegnas) adalah bagian dari manajemen dan politik
pembentukan peraturan perundang-undangan yang merupakan instrument
perencanaan program pembentukan Undang-Undang yang disusun secara berencana,
terpadu, dan sistematis[19] yang ditetapkan untuk jangka waktu panjang, menengah,
dan tahunan berdasarkan skala prioritas pembentukan Rancangan Undang-Undang.
Prolegnas sangat diperlukan untuk menata sistem hukum nasional secara menyeluruh
dan terpadu yang didasarkan pada cita-cita Proklamasi dan landasan konstitusional
negara hukum Indonesia. Dasar hukum penyusunan Program Legislasi Nasional
(Prolegnas) saat ini adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan Presiden Nomor 61
Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi
Nasional.

Prolegnas memuat program pembentukan Undang-Undang dengan pokok materi yang


akan diatur serta keterkaitannya dengan peraturan perundang-undangan lainnya yang
merupakan penjelasan secara lengkap mengenai konsep Rancangan Undang-Undang
yangmeliputi:
a.Latar belakang dantujuanpenyusunan;
b. Sasaran yangakandiwujudkan;
c.pokok-pokokpikiran, lingkup atau obyek yang akan diatur dan
d.jangkauan danarah pengaturan.[20]

Penyusunan Prolegnas di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat dikoordinasikan oleh


Badan Legislasi dan Penyusunan Prolegnas di lingkungan Pemerintah
dikoordinasikan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Hasil penyusunan
Prolegnas di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat oleh Badan Legislasi
dikoordinasikan dengan Pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM dalam rangka
sinkronisasi dan harmonisasi Prolegnas.

Di lingkungan pemerintah, Menteri Hukum dan HAM sebagai koordinator dalam


pelaksanaan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan
Undang-Undang di lingkungan pemerintah. Upaya pengharmonisasian, pembulatan,
dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang diarahkan pada perwujudan
keselarasan dengan falsafah Negara, tujuan nasional berikut aspirasi yang
melingkupinya, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
Undang-Undang lain yang telah ada berikut segala peraturan pelaksanaannya dan
kebijakan lainnya yang terkait dengan bidang yang diatur dalam Rancangan Undang-
Undang tersebut.

Prolegnas merupakan acuan dalam proses perencanaan penyusunan peraturan


perundang-undangan sekaligus sebagai bagian dari proses persiapan pembentukan
peraturan perundang-undangan memiliki peran yang sangat penting dalam
pembangunan hukum secara keseluruhan. Prolegnas dapat pula dikatakan sebagai
gambaran politik perundang-undangan Indonesia yang berisi rencana
pembangunan peraturan perundang-undangan.

Pembentukan peraturan perundang-undangan yang terarah melalui Prolegnas


diharapkan dapat mengarahkan pembangunan hukum, mewujudkan konsistensi
peraturan perundang-undangan, serta menghindari adanya disharmonis peraturan
perundang-undangan baik yang bersifat vertikal maupun horizontal. Dengan
disusunnya Prolegnas diharapkan akan dihasilkannya suatu kebijakan yang sesuai
dengan aspirasi masyarakat yang berkeadilan, mengandung perlindungan dan
penghormatan terhadap hak asasi manusia, serta mempunyai daya laku yang efektif
dalam masyarakat.

Selain sebagai instrumen mekanisme perencanaan hukum yang menggambarkan


sasaran politik hukum atau polotik perundang-undangan secara mendasar, Prolegnas
juga  memuat daftar Rancangan Undang-Undang yang dibentuk selaras dengan tujuan
pembangunan hukum nasional yang tidak dapat dilepaskan dari rumusan pencapaian
tujuan negara sebagaimana dimuat dalam Pembukaan UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, yaitu:

a.  melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia;


b.  mencerdaskan kehidupan bangsa; memajukan kesejahteraan umum; dan
c. i kut melaksanakan ketertiban dunia.

Berdasarkan hal tersebut, Program Legislasi Nasional Tahun 2010–2014 yang berlaku
saat ini disusun sebagai politik perundang-undangan yang  merupakan implementasi
dari substansi politik pembentukan hukum nasional untuk rentang waktu tahun 2010
sampai dengan tahun 2014. Di dalam Prolegnas dimuat rencana peraturan perundang-
undangan yang akan dibuat selama kurun waktu lima tahun tersebt yang dituangkan
dalam Keputusan Dewan perwakilan Rakyat Republik Indonesia.  Berdasarkan
Keputusan DPR RI Nomor 41A/DPR RI/I/2009-2010 dan Keputusan DPR RI Nomor
41B/DPR RI/I/2009-2010 terdapat sebanyak 247 (dua ratus empat puluh tujuh) RUU
yang disepakati dalam Prolegnas 2010-2014 untuk disusun dan beberapa RUU
Kumulatif Terbuka. Dari rencana tersebut, saat 70 RUU telah ditetapkan menjadi
prioritas pembahasan pada 2010 dan kemungkinan penambahan dari 5 jenis RUU ng
bersifa Kumulatif Terbuka.[21]

F.   Penutup
Dari beberapa kebijakan yang menjadi landasan politik hukum dan politik peraturan
perundang-undangan sebagaimana yang telah diuraikan di atas menggambarkan betapa
penting dan strategisnya fungsi perencanaan pembangunan dan politik peraturan perundang-
undangan (hukum) sebagai salah satu wujud pembangunan substansi hukum (legal
substance) untuk mencapai tujuan dan mewujudkan penyusunan peraturan perundang-
undangan yang efektif, responsif, dan demokratif dalam kerangka pembangunan sistem
hukum nasional secara keseluruhan yang meliputi pembangunan berbagai subsistem hukum
yang saling terkait yaitu pembangunan substansi hukum, kelembagaan hukum, serta budaya
atau kesadaran hukum masyarakat dan menempatkan supremasi hukum secara strategis
sebagai landasan dan perekat pembangunan di bidang lainnya. Pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik, berkualitas, dan sejalan dengan sosio-kultur masyarakat
hanya dapat diwujudkan bila dilakukan secara terancana, sistematis, dan terpadu.

[1] HM. Laica Marzuki, Kekuatan Mengikat Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap
Undang-Undang, Jurnal Legislasi Vol. 3 Nomor 1, Maret 2006, hal. 2. Lihat juga M. Mahfud
MD, Politik Hukum di Indonesia, cet.  II (Jakarta: LP3ES, 2001), hal. 5. Mahfud MD
menyebutkan bahwa hukum merupakan produk politik yang memandang hukum sebagai
formalitas atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan saling
bersanginan. Lebih jauh Mahfud MD mengemukakan bahwa hubungan kausalitas antara
hukum dan politik yang berkaitan dengan pertanyaan apakah hukum mempengaruhi politik
ataukah politik yang mempengaruhi hukum, dapat dijawab Pertama; hukum determinan atas
politik yaitu kegiatan-kegiatan politik diatur oleh dan harus tunduk pada aturan-aturan
hukum. Kedua; politik determinan atas hukum karena hukum merupakan hasil atau
kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan bahkan saling
bersaingan. Ketiga; politik dan hukum sebagai subsistem kemasyarakatan berada pada posisi
yang sederajat determinasinya.

[2] M. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, cet.  II (Jakarta: LP3ES, 2001),  hal. 9.
[3] Ibid. Lihat juga Abdul Hakim Garuda Nusantara, Politik Hukum Nasional, makalah pada
Kerja Latihan Bantuan Hukum, Surabaya, September 1985.

[4] Bagir Manan, Politik Perundang-undangan, Makalah, Jakarta, Mei 1994, hal. 1.

[5] Ibid, hal. 2.

[6] Abdul Wahid Masru, Politik Hukum dan Perundang-undangan, Makalah, Jakarta, 2004.

[7] Hal ini disebut sebagai “asas kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat” yang
terdapat dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.

[8] Ibid, Psl 53. Pasal 53 merumuskan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan
secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan undang-undang
dan rancangan peraturan daerah.

[9] M. Mahfud MD, Demokratisasi Dalam Rangka Pembangunan Hukum Yang Responsif, 
Makalah, FH UNDIP, Semarang, 1996, hlm 1.

[10] Iskandar Kamil, Peradilan Anak, Makalah, Disampaikan pada Workshop (Round Table
Discussion) mengenai Pedoman Diversi untuk Perlindungan Bagi Anak Yang Berhadapan
dengan Hukum, Jakarta, 1 Juni 2005.

[11] M. Mahfud MD, Langkah Politik dan Bingkai Paradikmatik Dalam Penegakan Hukum
Kita, Makalah, Bahan Kumpulan Perkuliahan Pasca Sarjana FH UI, 2004, hal 3-5.

[12] Satya Arinanto, Kumpulan Materi Pendukung (Transparansi) Politik Hukum dan Politik
Perundang-undangan (Dihimpun dari Berbagai Sumber), Disampaikan pada Pendidikan dan
Pelatihan Perancangan Perundang-undangan Bagi Legislative DrafterSekretariat Jenderal
DPR RI, tanggal 14 April 2003, hal. 8.

[13] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 107.
Satjipto Rahardjo mengutip Paul Scholten yang mengemukakan konsep bahwa hukum
merupakan suatu kesatuan norma-norma yang merupakan rangkaian perjalanan sejarah yang
memandang kebelakang kepada peraturan perundang-undangan yang ada dan memandang
kedepan untuk mengatur kembali.

[14] Abdul Wahid Masru, Op. Cit., hal. 4.

[15] Satya Arinanto,  Politik Pembangunan Hukum Nasional dalam Era Pasca Reformasi,
Pidato Upacara Pengukuhan sebagai Guru Besar tetap pada FH-UI, Jakarta, 18 Maret 2006,
hal. 14 – 16. Alasan menyebut sama dengan GBHN dalam era Orde Lama dan Orde Baru,
karena sebagai akibat proses perubahan UD 1945, dimana salah satu dasar pemikiran
perubahannya adalah tentang kekuasaan tertinggi di tangan MPR, maka semenjak tahun
2004, MPR hasil pemilihan umum pada tahun tersebut tidak lagi menetapkan produk hukum
yang berupa GBHN.

[16] Satya Arinanto, Op.Cit., hal. 25.


[17] Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan
Nasional, jilid III, No. 4, (Bandung: Padjadjaran), 1970, hal. 5-16, dalam Satjipto Rahardjo,
Hukum dan Perubahan Sosial, (bandung: Penerbit Alumni), 1979, hal. 161.

[18] Prolegnas: instrumen perencanaan perundang-undangan,

[19] Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2005, Psl. 1 angka 1 lihat pula
Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.

[20] Ibid, Psl. 4.

[21] RUU Kumulatif Terbuka: 1)  RUU  tentang Pengesahan Perjanjian Internasional,  2)
RUU tentang Pengesahan Perjanjian Internasional, 3)  RUU tentang Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara, 4)  RUU tentang Pembentukan Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota , 5)
RUU Kumulatif Terbuka tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Menjadi Undang-Undang.

Anda mungkin juga menyukai