bagian atau subsistem dari politik hukum, dengan demikian dapat dikatakan bahwa
mempelajari atau memahami politik hukum pada dasarnya sama dengan memahami atau
mempelajari politik perundang-undangan demikian pula sebaliknya, karena pemahaman dari
politik hukum termasuk pula di dalamnya mencakup proses pembentukan dan
pelaksanaan/penerapan hukum (salah satunya peraturan perundang-undangan) yang dapat
menunjukkan sifat ke arah mana hukum akan dibangun dan ditegakkan.[4] Bagir Manan
mengartikan istilah politik perundang-undangan secara sederhana yaitu sebagai
kebijaksanaan mengenai penentuan isi atau obyek pembentukan peraturan perundang-
undangan.
1. produk peraturan perundang-undangan yang dibentuk pada masa itu yang secara
mudah dan spesifik lagi biasanya tergambar pada konsiderans menimbang dan
penjelasan umum (bila ada) dari suatu peraturan perundang-undangan yang dibentuk;
dan
2. kebijakan yang dibuat oleh pemerintah/negara pada saat itu yang merupakan garis
pokok arah pembentukan hukum, seperti GBHN pada masa pemerintahan orde baru
atau Prolegnas dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional yang berlaku
pada saat ini.
Arah kebijakan politik hukum nasional dilandaskan pada keinginan untuk melakukan
pembenahan sistem dan politik hukum yang dilandasikan pada 3 (tiga) prinsip dasar yang
wajib dijunjung oleh setiap warga negara yaitu:
1. supremasi hukum;
2. kesetaraan di hadapan hukum; dan
3. penegakan hukum dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan hukum.
Ketiga prinsip dasar tersebut merupakan syarat mutlak dalam mewujudkan cita-cita
terwujudnya negara Indonesia yang damai dan sejahtera. Apabila hukum ditegakkan dan
ketertiban diwujudkan, maka diharapkan kepastian, rasa aman, tenteram, ataupun kehidupan
yang rukun akan dapat terwujud. Untuk itu politik hukum nasional harus senantiasa diarahan
pada upaya mengatasi berbagai permasalahan dalam penyelenggaraan sistem dan politik
hukum yang meliputi permasalahan yang berkaitan dengan substansi hukum, struktur hukum,
dan budaya hukum.
Untuk mendukung pembenahan sistem dan politik hukum tersebut, telah ditetapkan sasaran
politik hukum nasional yaitu terciptanya suatu sistem hukum nasional yang adil, konsekuen,
dan tidak diskriminatif (termasuk bias gender); terjaminnya konsistensi seluruh peraturan
perundang-undangan pada tingkat pusat dan daerah, serta tidak bertentangan dengan
peraturan dan perundangan yang lebih tinggi, dan kelembagaan peradilan dan penegak
hukum yang berwibawa, bersih, profesional dalam upaya memulihkan kembali kepercayaan
hukum masyarakat secara keseluruhan.
Untuk mewujudkan sasaran tersebut, maka disusun suatu program pembangunan politik
hukum, antara lain dengan melakukan:
C. Politik Perundang-undangan
Pada forum Dewan Perwakilan Rakyat juga dilakukan pemberian sarana partisipasi yang
dilakukan melalui pranata "dengar pendapat" atau "public hearing". Berbagai sarana untuk
berpartisipasi tersebut akan lebih efektif bila dilakukan dalam lingkup yang lebih luas bukan
saja dari kalangan ilmiah atau kelompok profesi, tetapi dari berbagai golongan kepentingan
(interest groups) atau masyarakat pada umumnya. Untuk mewujudkan hal tersebut biasanya
diperlukan suatu sistem desiminasi rancangan peraturan perundang-undangan agar
masyarakat dapat mengetahui arah kebijakan atau politik hukum dan perundang-undangan
yang dilaksanakan. Sehingga pembangunan dan pembentukan peraturan perundang-undangan
dapat mengarah pada terbentuknya suatu sistem hukum nasional Indonesia yang dapat
mengakomodir harapan hukum yang hidup di dalam masyarakat Indonesia yang berorientasi
pada terciptanya hukum yang responsive. Berkaitan dengan hal tersebut Mahfud MD juga
menyatakan:
Hukum yang responsive merupakan produk hukum yang lahir dari strategi pembangunan
hukum yang memberikan peranan besar dan mengundang partisipasi secara penuh kelompok-
kelompok masyarakat sehingga isinya mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan
masyarakat pada umumnya.[9]
Dari yang telah diuraikan tersebut, maka seharusnya peraturan perundang-undangan dapat
diformulasikan sedemikian rupa yaitu sedapat mungkin menampung berbagai pemikiran dan
partisipasi berbagai lapisan masyarakat, sehingga produk hukum yang dihasilkan dapat
diterima oleh masyarakat. Pemahaman mengenai hal ini sangat penting karena dapat
menghindari benturan pemahaman antara masyarakat dan pemerintah atau negara yang akan
terjebak ke dalam tindakan yang dijalankan diluar jalur atau landasan hukum. Bila hukum
yang dihasilkan adalah hukum yang responsif, maka tidak akan ada lagi hukum siapa yang
kuat (punya kekuasaan) akan menguasai yang lemah atau anggapan rakyat selalu menjadi
korban, karena lahirnya hukum tersebut sudah melalui proses pendekatan dan formulasi
materi muatannya telah menampung berbagai aspirasi masyarakat. Pada dasarnya penerimaan
(resepsi) dan apresiasi masyarakat terhadap hukum sangat ditentukan pula oleh nilai,
keyakinan, atau sistem sosial politik yang hidup dalam masyarakat itu sendiri.[10]
Sejalan dengan M. Mahfud MD, mengenai ciri tersebut, Satya Arinanto memberikan
pendapatnya bahwa produk hukum yang konservatif mempunyai makna:
Dari pengalaman sejarah hukum[13] tersebut seharusnya perlu dirancang suatu skenario
politik perundang-undangan nasional yang berorientasi pada pemahaman konsep sistem
hukum nasional yang diwujudkan dalam bentuk penyusunan peraturan perundang-undangan
secara komprehensif dan aspiratif. Penyusunan atau pembentukan peraturan perundang-
undangan yang aspiratif tersebut merupakan rangkaian dari langkah-langkah strategis yang
dituangkan dalam program pembangunan hukum nasional yang dilaksanakan untuk
mewujudkan negara hukum yang adil dan demokratis serta berintikan keadilan dan kebenaran
yang mengabdi kepada kepentingan rakyat dan bangsa di dalam bingkai Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
1. Pancasila.
Pancasila ladasan awal dari politik hukum dan peraturan perundang-undangan hal ini
dimaksudkan agar kebijakan dan strategi (politik) hukum dan peraturan perundang-
undangan sejalan sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat Indonesia
dengan tetap membuka diri terhadap berbagai hal-hal yang baik yang merupakan hasil
perubahan yang terjadi dalam berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara baik di lingkungan pergaulan nasional maupun internasional.
2. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
UUD NRI Tahun 1945 merupakan landasan formal dan materiil konstitusional dalam
politik hukum dan peraturan perundang-undangan sehingga setiap kebijakan dan
strategi di bidang hukum dan peraturan perundang-undangan mendapatkan legitimasi
konstitusional sebagai salah satu bentuk penjabaran negara berdasar atas hukum
(rechtsstaat) dan asas konstitusionalisme.[14]
3. Peraturan atau Kebijakan implementatif dari politik peraturan perundang-undangan.
Yang dimaksud disini adalah peraturan atau kebjikan yang memuat aturan-aturan
yang berkaitan dengan politik hukum dan peraturan perundang-undangan yang
bersifat implementatif dari landasan filosofis, konstitusional, operasional, formal, dan
prosedural, misalnya antara lain Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Presiden
Nomor 61 Tahun 2005, Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005, Program Legislasi
Nasional (Prolegnas), Rencana Pembangunan Jangka Menengah, dan lain sebagainya.
Bila dilihat dari beberapa hal yang berkaitan dengan pembenahan substansi hukum,
maka dapat dikatakan bahwa politik hukum atau politik peraturan perundang-
undangan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional ini diarahkan
pada permasalahan terjadinya tumpang tindih dan inkonsistensi peraturan perundang-
undangan dan implementasi undang-undang yang terhambat peraturan
pelaksanaannya. Berdasarkan adanya permasalahan tersebut, maka politik hukum
nasional akan diarah pada terciptanya hukum nasional yang adil, konsekuen, dan tidak
diskriminatif serta menjamin terciptanya konsistensi seluruh peraturan perundang-
undangan pada tingkat pusat dan daerah serta tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya.
Untuk itu dalam rangka mengimplementasikan politik pembangunan hukum
nasional[16] maka dengan Peraturan Presiden tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional tersebut ditetapkan suatu landasan politik perundang-undangan
nasional yang sejak tahun 2005 telah menetapkan kebijakan untuk memperbaiki
substansi hukum melalui peninjauan dan penataan kembali peraturan perundang-
undangan dengan memperhatikan asas umum dan hierarki peraturan perundang-
undangan.
Oleh karena itu, sasaran politik perundang-undangan nasional saat ini harus mengacu
pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) sebagai arah dan
prioritas pembangunan secara menyeluruh yang dilakukan secara bertahap dan juga
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) 2010-2014. Acuan
tersebut sangat penting karena politik peraturan perundang-undangan merupakan
salah satu unsur penting dalam rangka pembangunan hukum nasional secara
keseluruhan yang merupakan suatu proses yang dinamis, mengalami perubahan sesuai
dengan dinamika kehidupan masyarakat dan politik yang tidak terlepas dari:
a. keadaan masa lalu yang terkait dengan sejarah perjuangan bangsa;
b. keadaan saat ini yang berkaitan dengan kondisi obyektif yang terjadi; serta
c. cita-cita atau keinginan yang ingin diwujudkan di masa yang akan datang.[18]
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional yang telah ditetapkan juga telah
mengarahkan pembentukan peraturan perundang-undangan yang harus dilakukan
melalui proses yang benar dengan memperhatikan tertib perundang-undangan serta
asas umum peraturan perundang-undangan yang baik. Adapun pokok-pokok politik
perundang-undangan yang akan dilaksanakan dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional, dapat dikelompokkan antara lain meliputi kegiatan:
Berdasarkan hal tersebut, Program Legislasi Nasional Tahun 2010–2014 yang berlaku
saat ini disusun sebagai politik perundang-undangan yang merupakan implementasi
dari substansi politik pembentukan hukum nasional untuk rentang waktu tahun 2010
sampai dengan tahun 2014. Di dalam Prolegnas dimuat rencana peraturan perundang-
undangan yang akan dibuat selama kurun waktu lima tahun tersebt yang dituangkan
dalam Keputusan Dewan perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Berdasarkan
Keputusan DPR RI Nomor 41A/DPR RI/I/2009-2010 dan Keputusan DPR RI Nomor
41B/DPR RI/I/2009-2010 terdapat sebanyak 247 (dua ratus empat puluh tujuh) RUU
yang disepakati dalam Prolegnas 2010-2014 untuk disusun dan beberapa RUU
Kumulatif Terbuka. Dari rencana tersebut, saat 70 RUU telah ditetapkan menjadi
prioritas pembahasan pada 2010 dan kemungkinan penambahan dari 5 jenis RUU ng
bersifa Kumulatif Terbuka.[21]
F. Penutup
Dari beberapa kebijakan yang menjadi landasan politik hukum dan politik peraturan
perundang-undangan sebagaimana yang telah diuraikan di atas menggambarkan betapa
penting dan strategisnya fungsi perencanaan pembangunan dan politik peraturan perundang-
undangan (hukum) sebagai salah satu wujud pembangunan substansi hukum (legal
substance) untuk mencapai tujuan dan mewujudkan penyusunan peraturan perundang-
undangan yang efektif, responsif, dan demokratif dalam kerangka pembangunan sistem
hukum nasional secara keseluruhan yang meliputi pembangunan berbagai subsistem hukum
yang saling terkait yaitu pembangunan substansi hukum, kelembagaan hukum, serta budaya
atau kesadaran hukum masyarakat dan menempatkan supremasi hukum secara strategis
sebagai landasan dan perekat pembangunan di bidang lainnya. Pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik, berkualitas, dan sejalan dengan sosio-kultur masyarakat
hanya dapat diwujudkan bila dilakukan secara terancana, sistematis, dan terpadu.
[1] HM. Laica Marzuki, Kekuatan Mengikat Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap
Undang-Undang, Jurnal Legislasi Vol. 3 Nomor 1, Maret 2006, hal. 2. Lihat juga M. Mahfud
MD, Politik Hukum di Indonesia, cet. II (Jakarta: LP3ES, 2001), hal. 5. Mahfud MD
menyebutkan bahwa hukum merupakan produk politik yang memandang hukum sebagai
formalitas atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan saling
bersanginan. Lebih jauh Mahfud MD mengemukakan bahwa hubungan kausalitas antara
hukum dan politik yang berkaitan dengan pertanyaan apakah hukum mempengaruhi politik
ataukah politik yang mempengaruhi hukum, dapat dijawab Pertama; hukum determinan atas
politik yaitu kegiatan-kegiatan politik diatur oleh dan harus tunduk pada aturan-aturan
hukum. Kedua; politik determinan atas hukum karena hukum merupakan hasil atau
kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan bahkan saling
bersaingan. Ketiga; politik dan hukum sebagai subsistem kemasyarakatan berada pada posisi
yang sederajat determinasinya.
[2] M. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, cet. II (Jakarta: LP3ES, 2001), hal. 9.
[3] Ibid. Lihat juga Abdul Hakim Garuda Nusantara, Politik Hukum Nasional, makalah pada
Kerja Latihan Bantuan Hukum, Surabaya, September 1985.
[4] Bagir Manan, Politik Perundang-undangan, Makalah, Jakarta, Mei 1994, hal. 1.
[6] Abdul Wahid Masru, Politik Hukum dan Perundang-undangan, Makalah, Jakarta, 2004.
[7] Hal ini disebut sebagai “asas kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat” yang
terdapat dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
[8] Ibid, Psl 53. Pasal 53 merumuskan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan
secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan undang-undang
dan rancangan peraturan daerah.
[9] M. Mahfud MD, Demokratisasi Dalam Rangka Pembangunan Hukum Yang Responsif,
Makalah, FH UNDIP, Semarang, 1996, hlm 1.
[10] Iskandar Kamil, Peradilan Anak, Makalah, Disampaikan pada Workshop (Round Table
Discussion) mengenai Pedoman Diversi untuk Perlindungan Bagi Anak Yang Berhadapan
dengan Hukum, Jakarta, 1 Juni 2005.
[11] M. Mahfud MD, Langkah Politik dan Bingkai Paradikmatik Dalam Penegakan Hukum
Kita, Makalah, Bahan Kumpulan Perkuliahan Pasca Sarjana FH UI, 2004, hal 3-5.
[12] Satya Arinanto, Kumpulan Materi Pendukung (Transparansi) Politik Hukum dan Politik
Perundang-undangan (Dihimpun dari Berbagai Sumber), Disampaikan pada Pendidikan dan
Pelatihan Perancangan Perundang-undangan Bagi Legislative DrafterSekretariat Jenderal
DPR RI, tanggal 14 April 2003, hal. 8.
[13] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 107.
Satjipto Rahardjo mengutip Paul Scholten yang mengemukakan konsep bahwa hukum
merupakan suatu kesatuan norma-norma yang merupakan rangkaian perjalanan sejarah yang
memandang kebelakang kepada peraturan perundang-undangan yang ada dan memandang
kedepan untuk mengatur kembali.
[15] Satya Arinanto, Politik Pembangunan Hukum Nasional dalam Era Pasca Reformasi,
Pidato Upacara Pengukuhan sebagai Guru Besar tetap pada FH-UI, Jakarta, 18 Maret 2006,
hal. 14 – 16. Alasan menyebut sama dengan GBHN dalam era Orde Lama dan Orde Baru,
karena sebagai akibat proses perubahan UD 1945, dimana salah satu dasar pemikiran
perubahannya adalah tentang kekuasaan tertinggi di tangan MPR, maka semenjak tahun
2004, MPR hasil pemilihan umum pada tahun tersebut tidak lagi menetapkan produk hukum
yang berupa GBHN.
[19] Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2005, Psl. 1 angka 1 lihat pula
Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
[21] RUU Kumulatif Terbuka: 1) RUU tentang Pengesahan Perjanjian Internasional, 2)
RUU tentang Pengesahan Perjanjian Internasional, 3) RUU tentang Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara, 4) RUU tentang Pembentukan Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota , 5)
RUU Kumulatif Terbuka tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Menjadi Undang-Undang.