Anda di halaman 1dari 7

BUKU JAWABAN TUGAS MATA KULIAH

TUGAS 1

Nama Mahasiswa : DEWI RUMININGSIH

Nomor Induk Mahasiswa/ NIM : 030040772

Kode/Nama Mata Kuliah : HKUM4310/Tindak Pidana Korupsi

Kode/Nama UPBJJ : (48) PALANGKARAYA

Masa Ujian : 2020/21.2 (2021.1)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS TERBUKA
SOAL:
1. Berikan analisis, upaya pemberantasan tindak pidana korupsi pasca reformasi di bidang substansi
hukum yang telah dilakukan oleh Indonesia.

JAWABAN:

Kebijakan penanggulangan kejahatan tidak dapat dilakukan semata-mata hanya dengan


memperbaiki/memperbaharui sarana undang-undang (“law reform”, termasuk “criminal law/penal
reform”), sekalipun berulang kali diubah dan disempurnakan. UU Korupsi misalnya, telah berulang
kali diubah/diperbaiki/diamandemen dan berulang kali dibahas dalam berbagai seminar, namun
kenyataannya korupsi bukannya berkurang, malahan semakin marak dan menjalar di berbagai bidang.
Walaupun perubahan/perbaikan/amandemen UU bukan jaminan untuk upaya
penanggulangan kejahatan, namun evaluasi tetap diperlukan sekiranya ada kelemahan kebijakan
formulasi dalam perundang-undangan yang ada. Evaluasi atau kajian ulang ini perlu dilakukan, karena
ada keterkaitan erat antara kebijakan formulasi perundang-undangan (atau “legislative policy”)
dengan kebijakan penegakan hukum (“law enforcement policy”) dan kebijakan
pemberantasan/penanggulangan kejahatan (“criminal policy”). Kelemahan kebijakan formulasi
hukum pidana, akan berpengaruh pada kebijakan penegakan hukum pidana dan kebijakan penang-
gulangan kejahatan.
Pentingnya kebjakan formlasi suatu perbuatan di dalam rumusan perundangan pidana dalam
upaya pemberantasan korupsi disebabkan karena tahap formulasi merupakan tahap yang paling awal
didalam perencanaan kebijakan penanggulangan kejahatan korupsi.
dilihat dari keseluruhan tahap kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana,
tahap kebijakan formulasi merupakan tahap yang paling strategis. Pada tahap formulasi inilah disusun
semua “perencanaan” (planning) penanggulangan kejahatan dengan sistem hukum pidana.
Keseluruhan sistem hukum pidana yang dirancang itu, pada intinya mencakup tiga masalah pokok
dalam hukum pidana, yaitu masalah perumusan tindak pidana (kriminalisasi), pertanggungjawaban
pidana, dan aturan pidana dan pemidanaan.
Menggunakan istilah Nils Jareborg, maka pentingnya tahap formulasi ini disebabkan karena
perancangan tersebut;
meliputi keseluruhan struktur sistem hukum pidana (“the structure of the penal system”) yang
mencakup masalah “kriminalisasi dan pidana yang diancamkan” (“criminalization and threatened
punishment)”, masalah “pemidanaan” (“adjudication of punishment (sentencing)”; dan masalah
“pelaksanaan pidana” (“execu-tion of punishment”).
Kebijakan hukum pidana dimulai dari tahap legislative yaitu memformulasi perbuatan pidana,
pertanggungjawaban pidana dan sanksi pidana yang tepat bagi kejahatan korupsi, selanjutnya dimulai
tahapan Yudikatif/aplikatif dan diakhiri dengn kebijakan eksekutif/administrative.
Kebijakan legislatif yang integral di bidang penegakan hukum pidana itu tidak berarti harus
dituangkan dalam satu kitab undang-undang. Bisa saja dituangkan dalam berbagai undang-undang
seperti sekarang ini (ada hukum pidana materiel di dalam dan di luar KUHP; ada hukum acara pidana
di dalam dan di luar KUHAP; dan ada undang-undang pelaksanaan pidana).
Pengaturan kebijakan Hukum pidana sebagian besar dilakukan dengan menggunakan
peraturan perundangan. Penggunaan peraturan perundangan walaupun memiilki kelemahan dan
kekurangan namun masih tetap dipercaya sebagai dasar suatu kebijakan hukum pidana, khusunya
dalam memberi formulasi terhadap perbuatan pidana, pertnggungjawaban pidana dan sanksi pidana,
serta penegakan dan pelaksanaan hal tersebut. Kebijakan formulasi merupakan salah satu bentuk
dlam pembentukan hukum tertulis. Pembentukan hukum yang didasarkan pada prinsip pembagian
kekuasaan (devision of Power), merupakan fungsi ketatanegaraan/pemerintahan yang dijalankan
oleh badan-badan eksekutif, legislatif dan yudikatif.40 Pembentukan hukum meliputi hukum yang
tertulis (Geschreven recht) dan Hukum Yang Tidak tertulis (Ongeschreven Recht).
Berkenaan dengan hal ini maka pembentukan hukum tertulis dapat dilakukan oleh badan
eksekutif, legislatif, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dan dapat pula dibentuk oleh hakim
dalam rangka memutus perkara yang sedang diperiksanya. Hal ini dimungkinkan sepanjang
melaksanakan ketentuan yang terdapat di dalam perundangan.
Pembentukan peraturan perundangan secara ideal dilandasi paling tidak oleh tiga hal, yaitu;
1. Asas-asas pembentukan peraturan perundangan yang baik
2. Politik hukum (peraturan perundangan nasional) yang baik
3. Sistem pengujian peraturan perundangan-undangan yang memadai.
Hamid S.Atamimi cenderung untuk membagi asas-asas pembentukan peraturan perundangan yang
patut tersebut kedalam;
a.Asas-asas formal
1) Asas tujuan yang jelas
2) Asas perlunya pengaturan
3) Asas organ/ lembaga yang yang tepat
4) Asas materi muatan yang tepat
5) Asas dapatnya dilaksanakan
6) Asas dapatnya dikenali
b. Asas-asas Material
1) Asas sesuai dengan cita hukum Indonesia dan norma fundamental Negara
2) Asas sesuai dengan hukum dasar negara
3) Asas sesuai dengan prinsip-prinsip Negara berdasarkan atas hukum
4) Asas sesuai dengan prinip-prinsip pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi
Selain memperhatikan asas-asas pembentukan perturan yang patut maka penyusuan peraturan
perundangan harus juga memperhatikan politik hukum nasional. Politik hukum nasional merupakan
acuan dalam melakukan pembangunan dan pengembangan hukum nasional.
Beberapa hal yang akan mempengaruhi kegiatan pembangunan hukum tersebut antara lain ialah
a. Cita-cita kita mengenai hukum (rechtsidee) yang akan melandasi pembangunan hukum;
b. Situasi dan kondisi kehidupan hukum di Indonesia yang akan mempengaruhi kebijaksanaan
pembangunan hukum;
c. Bidang-bidang pembangunan hukum yang akan mempengaruhi pembentukan konsep-
konsep operasional, prasarana dan sarananya;
d. Semangat dan niat membangun manusianya serta sikap perilakunya yang akan
mempengaruhi kelembagaan penegakan dan penerapan hukum;
e. Hal- hal yang diprioritaskan.
Pokok-pokok dan apa yang akan mempengaruhi pembangunan hukum tersebut, secara tersurat
maupun secara tersirat sudah banyak diatur di dalam UUD'45. Sebagai contoh dapat kami kemukakan
beberapa hal di dalam UUD'45, yang mencerminkan pokokpokok tersebut di atas dalam rumusan-
rumusan mengenai: ragam hukum dasar, bentuk peraturan perundang-undangan, hak dan kewajiban
penyelenggara negara dan warga negara, pedoman pengaturan hak warga negara dan kedudukan
penduduk, sifat singkat dan supelnya UUD'45, dan semangat yang diperlukan untuk menegakkan
hidup benegara berdasarkan UUD'45.
Pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai bagian dari konsep politik hukum
berada dalam ruang konfigurasi yang tidak bebas nilai karena dipengaruhi oleh Nilai-nilai yang berasal
dari aspek sosial, budaya, polltik, ekonomi, hukum, dan sebagainya yang saling berinteraksi dan sating
memengaruhi satu sama lainnya. Dengan demikian, pembentukan peraturan perundang-undangan
dalam konsep politik hukum tidak hanya memiliki satu konfigurasi, tetapi lebih.
Konfigurasi-konfigurasi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan ini secara teoretikal
akan menghasilkan tiga klasifikasi dasar hukum atau peraturan perundangundangan yang berlaku
dalam masyarakat, yaitu:
a. Hukum atau peraturan perundang-undangan sebagai pelayan kekuasaan represif (law or
legislation as the servant of repressive power).
b. Hukum atau peraturan perundang-undangan sebagai institusi tersendiri yang mampu
menjinakkan represi dan melindungi integritas dirinya (law or legislation as a differentiated
institution capable of taming repression and protecting its own integrity).
c. Hukum atau peraturan perundang-undangan sebagai fasilitator dari berbagai respons
terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial (law or legislation as a facilitator or response to
social needs an aspirations).
Politik hukum (peraturan perundang-undangan) nasional merupakan kebijakan yang dibuat
oleh pejabat atau badan/lembaga negara atau pemerintahan untuk membentuk suatu
peraturan perundangundangan yang baik. Politik hukum nasional dalam arti ini secara
konstitusional dapat ditemukan dalam undang-undang dasar.
Pentingnya kedudukan Undang-Undang Dasar sebagai hukum dasar, yang di dalamnya
mencantumkan Ide Hukum yaitu pancasila, sebagai landasan politik hukum nasional dan pembagunan
hukum nasional termasuk didalamnya penyusunan undang-undang Tindak Pidana korupsi.

SOAL:
2. Dengan melihat pada kasus Sdr. Djoko Tjandra, berikan pendapat anda mengenai upaya
pemberantasan korupsi di Indonesia, dikaitkan dengan pendapat Lawrence Friedman.

JAWABAN:

Menurut Lawrence M. Friedman, ada tiga komponen dalam sistem hukum, yaitu: Struktur
hukum, yaitu keseluruhan institusi-institusi hukum yang ada beserta aparatnya, mencakup antara
lain Kepolisian dengan para Polisinya, Kejaksaan dengan para Jaksanya, Pengadilan dengan para
Hakimnya, dan lain-lain;
Substansi hukum, yaitu keseluruhan aturan hukum, norma hukum, dan asas hukum, baik
yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk putusan pengadilan;
Kultur hukum, yaitu opini-opini, kepercayaan-kepercayaan (keyakinan-keyakinan, kebiasaan-
kebiasaan, cara berfikir, dan cara bertindak, baik dari para penegak hukum maupun dari warga
masyarakat, tentang hukum dan berbagai fenomena yang berkaitan dengan hukum.
Unsur sistem hukum atau sub sistim sebagai faktor penentu apakah suatu sistem hukum
dapat berjalan dengan baik atau tidak. Struktur hukum lebih menekankan kepada kinerja aparatur
hukum serta sarana dan prasarana hukum itu sendiri, substansi hukum menyangkut segala aspek-
aspek pengaturan hukum atau peraturan perundang-undangan, dan budaya hukum menyangkut
perilaku masyarakatnya.

SOAL:

3. Berikan analisis bentuk tindak pidana korupsi yang telah dilakukan oleh :
a. Irjen Pol Napoleon Bonaparte
b. Djoko Tjandra dan Tommy Sunardi
c. Tanggapan anda harus disertai dengan ketentuan hukum yang mengaturnya.

JAWABAN:

a. bentuk tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Irjen Pol Napoleon Bonaparte aalah
penggelapan dalam jabatan.
Pelaku korupsi jenis ini, tentu mereka yang memiliki jabatan tertentu atau kewenangan
tertentu di dalam pemerintahan. Dengan jabatannya sang pelaku menggelapkan atau membantu
orang lain menggelapkan uang atau surat berharga milik negara sehingga menguntungkan dirinya
atau orang lain. Hal ini termasuk unsur-unsur yang memenuhi tindak pidana korupsi seperti yang
dimaksud Pasal 8 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001.
Bentuk lain dari penyalahgunaan jabatan adalah pemalsuan dokumen maupun buku untuk
pemeriksaan administrasi sehingga sang pelaku memperoleh keuntungan untuk dirinya maupun
orang lain. Buku di sini juga mengandung pengertian laporan keuangan sampai dengan daftar
inventaris kantor. Penggunaan bon atau kuitansi kosong adalah modus yang sering dilakukan
sehingga seseorang dapat merekayasa angka-angka. Hal ini termasuk perbuatan korupsi.
Kaitan lain dengan penyalahgunaan jabatan atau wewenang adalah penghancuran bukti-
bukti berupa akta, surat, ataupun data yang dapat digunakan sebagai barang bukti penyimpangan.
Perbuatan ini termasuk korupsi seperti tertuang dalam Pasal 10 huruf a Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Pelakunya diancam hukuman maksimal
7 tahun penjara atau denda maksimal Rp350 juta. Sebaliknya, membiarkan orang lain merusakkan
bukti-bukti penyimpangan juga termasuk korupsi dengan ancaman yang sama.
Pasal yang mengatur tipikor jenis ini adalah:
- Pasal 8
- Pasal 9
- Pasal 10 huruf a
- Pasal 10 huruf b
- Pasal 10 huruf c

b. bentuk tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Djoko Tjandra dan Tommy Sunardi adalah Suap-
menyuap
perbuatan suap dalam UU Tipikor dan perubahannya di antaranya diatur dalam Pasal 5 UU 20/2001,
yang berbunyi:

1. Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima)
tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)
dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang
yang:
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara
negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara
tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang
bertentangan dengan kewajibannya; atau
b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena
atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban,
dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
2. Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana
yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

SOAL:

4. Berikan analisis peran Konvensi Anti Korupsi 2003 (United Nation Convention Against Corruption
UNCAC) yang telah diratifikasi dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 terhadap kasus tindak
pidana korupsi berkaitan dengan pencairan tagihan Bank Bali melalui cessie yang merugikan negara
Rp 940 miliar oleh Djoko Tjandra.

JAWABAN:

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk membahas
pelaksanaan rekomendasi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC). Pembahasan ini
dilakukan dengan menggelar Diskusi Publik Paparan Hasil Review Putaran I dan II UNCAC, Selasa
(27/11).
Peninjauan UNCAC putaran II menghasilkan 21 rekomendasi untuk Indonesia. Dari jumlah itu, empat
belas di antaranya adalah tentang pencegahan korupsi. Tujuh lainnya tentang pemulihan aset. Salah
satu poin rekomendasinya adalah memastikan independensi lembaga antikorupsi. Banyaknya
rekomendasi tentang pencegahan, menunjukkan betapa pentingnya fungsi dan peran ini dilakukan
dalam pemberantasan korupsi. Di peninjauan putaran II ini, Indonesia ditinjau oleh Yaman dan Ghana.
Tahun 2011, peninjauan putaran I dilakukan oleh Inggris dan Uzbekistan yang menghasilkan 32
rekomendasi yang harus ditindaklanjuti. Rekomendasi ini bukan hanya menyasar pemerintah atau
penegak hukum saja. Seluruh pihak yang berperan dalam pemberantasan korupsi harus ikut serta
memperbaiki.
Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan pemenuhan rekomendasi kesepakatan interasional ini adalah
tugas semua pihak, terutama Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah. Soalnya, beberapa
rekomendasi UNCAC putaran I dan II terkait dengan perubahan undang-undang.
“Kerjasama penegakan hukum, serta harmonisasi peraturan perundang-undangan nasional dalam
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi sesuai dengan konvensi ini perlu diwujudkan,”
kata dia dalam Diskusi Publik Paparan Hasil Review Putaran I dan II UNCAC di Gedung Merah Putih
KPK, Selasa, 27 November 2018.
Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif mengatakan salah satu sistem pengawasan yang paling
penting saat ini adalah pencegahan di daerah.
“Praktik korupsi di daerah sudah jadi fenomena tersendiri, hingga saat ini Indonesia belum punya
pengawasan hingga ke daerah,” kata Syarif.
Sejak enam tahun berlalu dari selesainya peninjauan putaran I UNCAC tentang Bab III (Kriminalisasi
dan Penegakan Hukum) dan Bab IV (Kerjasama Internasional), Indonesia baru menyelesaikan 8 dari
32 rekomendasi.
Dari 24 rekomendasi yang belum diselesaikan, ada beberapa rekomendasi yang membutuhkan
komitmen yang kuat dan upaya supremasi hukum yang berkelanjutan dari pemerintah. Rekomendasi
tersebut antara lain, revisi Undang Undang Tindak Pidana Korupsi, UU Kitab Undang Undang Hukum
Acara Pidana, Undang Undang Perampasan Aset, Undang Undang Ekstradisi dan Undang Undang
Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana.
Kemauan politik dan keterlibatan parlemen yang memegang fungsi legislasi menduduki peran kunci
dalam mengimplementasikan pemerintahan antikorupsi dan mewujudkan Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan (SDGs). Dalam kaitan dengan tujuan tersebut, wakil rakyat perlu bekerja dalam
keselarasan dengan pemerintah di negara-negara pihak UNCAC serta berperan dalam ratifikasi,
implementasi, adaptasi ke dalam negeri, serta pemantauan dan pengkajian terhadap UNCAC.
Dalam hal pemenuhan hasil rekomendasi, KPK tidak dapat berjalan sendiri untuk memastikan
keterpenuhan target ini. Perlu adanya komitmen, kerjasama, sikap, serta upaya nyata dari pemerintah
dan parlemen.
“Tahun 2022, akan ada peninjauan untuk pelaksanaan rekomendasi secara keseluruhan, ini akan
memperlihatkan komitmen Indonesia terhadap kesepakatan yang telah diratifikasi,” kata Staf Ahli
Kelembagaan, Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional, Diani Sadiawati.
Diani mengatakan, pelaksanaan rekomendasi UNCAC akan menunjukkan komitmen Indonesia
terhadap pencegahan korupsi. Soalnya, kata dia, mencegah tetap lebih baik.
Dunia internasional menyepakati bahwa korupsi adalah kejahatan serius yang dapat bersifat lintas
negara, Kesepakatan ini kemudian tertuang dalam inisiatif Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui
United Nations Officer on Drugs and Crime (UNODC) untuk melaksanakan sebuah perjanjian
internasional United Nations Convention against Corruption (UNCAC) yang ditandatangi Indonesia
pada tanggal 18 Desember 2003.
Saat ini, 186 negara termasuk Indonesia telah menjadi Negara Pihak pada UNCAC. Negara Pihak
berarti negara tersebut berkomitmen dengan meratifikasi UNCAC ke dalam peraturan domestiknya.
Indonesia telah menunjukkan komitmennya kepada Konvensi Anti-Korupsi PBB ini dengan
meratifikasi UNCAC melalui UU nomor 7 tahun 2006.
UNCAC meliputi serangkaian panduan bagi negara-negara anggota dalam melaksanakan
pemberantasan korupsi, meliputi upaya pencegahan, perumusan jenis-jenis kejahatan yang termasuk
korupsi, proses penegakan hukum, ketentuan kerjasama internasional serta mekanisme pemulihan
aset terutama yang bersifat lintas negara. Pelaksanaan ketentuan-ketentuan dalam UNCAC secara
efektif dapat dianggap sebagai cerminan kuatnya komitmen suatu negara untuk memberantas
korupsi, menjalankan tata pemerintahan yang baik dan menegakkan rule of law.

Anda mungkin juga menyukai