Anda di halaman 1dari 5

Nama : Anang Dwiatmoko

NPM : 2006494842
Kelas : Hukum Kenegaraan Pagi

PENGEMBANGAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
(Ulasan atas tulisan Prof. A. Hamid S. Attamimi)

Karya berupa tulisan Prof. A. Hamid S. Attamimi yang membahas


Pengembangan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia, dipaparkan dalam
kegiatan seminar hukum nasional pada tahun 1994. Kegiatan tersebut hasil inisiasi
Departemen Kehakiman yang mengundang beliau sebagai peminat ilmu dan teori
perundang-undangan. Kini Prof. Hamid dikenal sebagai Bapak Perundang-Undangan
Indonesia.
Rumusan pokok dalam materi yang disampaikan terdiri dari pengembangan
fungsi peraturan perundang-undangan dan pengembangan tahapan pembentukan
peraturan perundang-undangan. Dimana pada aspek fungsi peraturan perundang-
undangan, mencakup jenis dan materi muatan, sementara pada aspek pengembangan
tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan akan mempedomani hal cita
hukum nasional, norma dan aturan dasar negara yang konsisten harus dipenuhi dalam
materi peraturan yang hendak dibuat. Keseluruhan hal tersebut, berkaitan erat dengan
tujuan pembinaan hukum nasional.
Indonesia sendiri mengakui 2 jenis hukum, yakni hukum yang tertulis dan hukum
yang tidak tertulis. Hukum adat, kebiasaan yang hidup di masyarakat, kebiasaan
bernegara yang terjaga atau sering disebut konvensi ketatanegaraan merupakan hukum
tidak tertulis, sementara hukum tertulis secara sederhana yakni peraturan perundang-
undangan. Jenis peraturan perundang-undangan, terdapat kekuasaan legislatif atau
legislative power sebagai sumber kewenangan pembentukannya. Termasuk undang-
undang dan peraturan dibawahnya sejara tegak lurus baik melewati kewenangan
atribusi maupun delegasi. Sedangkan peraturan yang kewenangan pembentukannya
bersumber dari kekuasaan eksekutif atau executive power, menurut Prof. Hamid
bukanlah peraturan perundang-undangan melainkan beleidsregel; pseudo-wettelijke
regeling atau peraturan kebijakan.

1
Peraturan perundang-undangan sebagai hukum yang tertulis, terdiri atas undang-
undang dan peraturan lainnya baik peraturan dengan sifat atribusian maupun peraturan
delegasian. Oleh karenanya, penting untuk mengetahui materi muatan yang terkandung
pada masing-masing peraturan, terlebih bagi undang-undang yang materi muatannya
memiliki ciri yang khas, tertentu dan terbatas lingkupnya. Adapun undang-undang
yang dibentuk dan disetujui bersama oleh 2 lembaga, yakni Presiden dan DPR, tidak
seluruhnya dapat menampung materi muatan. Materi muatan yang tidak dimasukkan
dalam undang-undang, kemudian dituangkan dalam peraturan atribusian dan
delegasian yang dalam praktek hari ini dapat berupa Peraturan Pemerintah, Peraturan
Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan Gubernur dan lainnya.
Berikut 2 rumusan pokok dalam materi tulisan Prof. Hamid: 1
1. Fungsi peraturan perundang-undangan
Melihat sejarah khususnya pada awal abad 19, Belanda untuk pertama kalinya
mengenalkan de Bataavsche Republiek sebagai undang-undang dasar yang
mencantumkan kodifikasi (codificatieartikel) dengan tujuan unifikasi
pemerintahan untuk penyelenggaraan kepentingan umum. Di dalamnya termuat
kodifikasi berbagai aturan, seperti kodifikasi hukum perdata, hukum dagang,
hukum pidana sipil dan militer, hukum acara, dan lembaga peradilan dalam suatu
kitab (wetboeken). Kodifikasi dalam rangka politik teritorial kenegaraan juga
diterapkan Napoleon melalui Code Civil, Code Penal dan sebagainya yang juga
masih ditemukan dalam kehidupan hukum di Indonesia. Praktik kodifikasi dalam
sejarah, memberikan penekanan fungsi pembentuk undang-undang hanya sebagai
penjaga keamanan rakyat, artinya kekuasaan pembentuk undang-undang lebih
kepada menemukan hukum kemudian merumuskannya dalam naskah yang
dikodifikasi untuk selanjutnya memberikan kebebasan kepada rakyat. Namun
seiring perkembangan paradigma khususnya wawasan Rechstaat yang semula
negara hanya dianggap sebagai penjaga malam (nachtwakerstaat) lantas berubah
menjadi pola pikir dimana negara yang mengurus dan menciptakan kesejahteraan
bagi rakyat (verzorgingsstaat), yang kemudian juga merubah pandangan terhadap
kekuasaan pembentuk undang-undang. Kini pembentuk undang-undang tidak
hanya menuangkan apa yang telah hidup di masyarakat dalam sebuah naskah
namun juga menginisiasi bentuk dan tindakan politik yang berdampak pada

1
Maria Farida Indrati, 2021, Kumpulan Tulisan A. Hamid S. Attamimi “Gesetzgebungwissenschaft
sebagai salah satu upaya menanggulangi hutan belantara peraturan perundang-undangan”, Badan
Penerbit FH UI, Depok, hlm. 104-107.

2
perkembangan dan perubahan nilai-nilai di masyarakat. Pembentuk undang-
undang tidak lagi hanya melakukan kodifikasi namun juga melakukan modifikasi.
Termasuk juga di Indonesia, sehingga tidak saja fungsi pembentuk undang-undang
yang berubah, namun fungsi peraturan perundang-undangan juga berubah menjadi
demokratis dan modern.
2. Tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan
Pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai hukum tertulis, tidak sama
dengan pembentukan pada hukum tertulis. Perbedaan terdapat pada kesadaran
masyarakat yang tinggi terhadap cita hukum (rechtsidee) yang konstitutif dan
norma dasar (grundnorm) yang regulatif pada hukum tidak tertulis, sementara pada
hukum tertulis kesadaran tersebut seolah diserahkan kepada pemegang kekuasaan
baik pejabat maupun wakil rakyat. Oleh karena itu, karakteristik dari peraturan
perundang-undangan, sarat akan potensi besar disharmoni dan kesenjangan antara
cita hukum serta norma dasar dengan norma dalam aturan lainnya. Hal tersebut
menjadikan kewaspadaan dalam pembentukan hukum tertulis bersifat mutlak.
Artinya diperlukan kehati-hatian di dalam setiap tahapan pembentukan peraturan
perundang-undnagan, agar cita hukum rakyat, cita hukum nasional tidak
bertentangan dengan konstitusi negara maupun dengan aturan lainnya.
Pemikiran Prof. Hamid tersebut, masih sangat relevan dengan kondisi persoalan
disharmoni peraturan perundang-undangan hari ini. Undang-undang sebagai produk
politik dan kekuasaan, rawan akan disharmoni baik secara vertikal maupun horizontal.
Oleh karena itu, seperti penjelasan beliau bahwa kewaspadaan, kehati-hatian di dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan amat sangat diperlukan. Pembentukan
peraturan perundang-undangan harus memenuhi asas-asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik, tidak hanya asas-asas yang tertuang dalam Pasal 5
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, namun juga asas dan prinsip lainnya yang
relevan bagi terbentuknya aturan tertulis yang memiliki manfaat bagi masyarakat dan
banyak orang.
Pembentukan peraturan selain taat asas juga harus taat prosedur. Tahapan
pembentukan yang meliputi perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau
penetapan dan pengundangan, haruslah diikuti dan dilaksanakan dengan baik. Tidak
berhenti hanya sampai pada pembentukan saja, untuk mencapai pada tingkatan aturan
yang baik dan memiliki manfaat luas, maka harus juga dipikirkan bagaimana
sosialisasinya, bagaimana mengukur keberhasilan dari suatu undang-undang termasuk
mengukur efektifitas dalam membentuk undang-undang. Meskipun saat ini telah diatur

3
ketentuan pemantauan dan peninjauan2 terhadap undang-undang oleh Presiden, DPR,
dan DPD, namun implementasi dan manfaatnya masih belum dapat dirasakan.
Ketentuan pemantauan dan peninjauan suatu undang-undang tersebut, sifatnya tidak
mandatory bagi penyusunan perubahan suatu undang-undang atau dalam pembentukan
undang-undang baru yang memiliki keterkaitan. Padahal dari kegiatan pemantauan dan
peninjauan, seharusnya dapat diperoleh hasil evaluasi yang tentunya dapat digunakan
sebagai instrumen layaknya kewajiban penyusunan Naskah Akademik bagi
pembentukan suatu undang-undang baik yang baru maupun undang-undang
perubahan. Apabila mekanisme tersebut dapat dijalankan dengan baik, maka akan
berdampak pada proses pembentukan undang-undang sehingga aturan hukum tertulis
tersebut lebih berkualitas, efektif dan efisien.
Selain itu, dalam rangka mengurangi banjir regulasi dan penataan kembali
hukum tertulis yang telah ada, diperlukan pemetaan terhadap peraturan perundang-
undangan. Melalui pemetaan selanjutnya dapat ditentukan karakter dan jenis peraturan
perundang-undangan apa saja yang dapat disempurnakan melalui teknik kodifikasi3
atau regeling mana saja dilakukan perbaikan melalui modifikasi4 atau regulasi sektor
apa saja yang dapat menerapkan teknik omnibus5 dikemudian hari.
Mengenai jenis peraturan perundang-undangan, saat ini hanya diatur dan
disebutkan beberapa peraturan saja melalui keberadaan Pasal 7 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011. Secara hierarki disebutkan tata urutannya sebagai berikut :

2
Pemantauan dan peninjauan adalah kegiatan untuk mengamati, mencatat dan menilai atas pelaksanaan
Undang-Undang yang berlaku sehingga diketahui ketercapaian hasil yang direncanakan, dampak yang
ditimbulkan, dan kemanfaatannya bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Lihat Pasal 1 angka 14
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (LN RI Tahun 2019 Nomor 183; TLN RI Nomor
6398).
3
Tujuan dari kodifikasi hukum adalah untuk membuat kumpulan peraturan perundang-undangan itu
menjadi sederhana dan mudah dikuasai, tersusun secara logis, serasi, dan pasti. Lihat Satjipto Rahardjo,
1991, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 92.
4
I.C. van der Vlies berpendapat bahwa undang-undang modifikasi adalah undang-undang yang
bertujuan mengubah pendapat hukum yang berlaku, dan peraturan perundang-undangan yang mengubah
hubungan-hubungan sosial. Lihat I.C. van der Vlies, Handboek Wetgeving, Tjeenk Willink, Zwole,
1987, hlm. 9.
5
Omnibus Law atau Omnibus Bill adalah 1. A single bill containing various distinct matters, usu. Drafted
in this way to force the executive either to accept all unrelated minor provisions or to veto the major
provisions; 2. A bill that deals with all proposals relating to a particular subject, sucha as an “omnibus
judgeship bill” covering all proposals for new jdugeships or an “omnibus crime bill” dealing with
different subjects such as new crimes and grams to states for crime control. Lihat Bryan A. Gardner,
ed., 2004, Black’s Law Dictionary, West Publishing Co, Minnesota, hlm. 175.

4
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia; b. Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah
Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Ketentuan jenis pengaturan
tersebut telah mengalami perubahan, termasuk perbedaan bentuk dengan yang
diuraikan oleh Prof. Hamid meski pada dasarnya memiliki kandungan makna yang
sama. Ketentuan jenis hierarki tersebut juga mengalami perubahan dengan ketentuan
sebelumnya dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 maupun jauh sebelumnya
melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 tentang Peraturan-Peraturan
Pemerintah Pusat dimana Peraturan Menteri masuk di dalamnya. Sedangkan saat ini,
Peraturan Menteri tidak disebutkan dalam jenis dan hierarki, namun keberadaannya
dalam praktek dianggap memiliki kedudukan dibawah Peraturan Presiden dan diatas
Peraturan Daerah.
Dengan demikian, peraturan perundang-undangan dengan berbagai tingkatannya
sebagai hukum tertulis akan menjadi satu perangkat untuk mencapai tujuan hukum
dalam menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, seimbang dan berkeadilan yang
bisa diukur keberhasilannya. Mochtar Kusumaatmadja mengatakan dengan
tercapainya ketertiban di dalam masyarakat, diharapkan kepentingan manusia akan
terlindungi.6 Kehadiran hukum menurut Satjipto Rahardjo diantaranya adalah untuk
mengintegrasikan dan mengkoordinasikan kepentingan-kepentingan yang bisa
berbenturan antara kepentingan yang satu dengan yang lainnya.7

6
Mochtar Kusumaatmadja, 2012, Mochtar Kusumaatmadja dan Teori Hukum Pembangunan, Epistema
Institute dan Huma, Jakarta, hlm. 15.
7
Satjipto Rahardjo, 1996, Ilmu Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 53.

Anda mungkin juga menyukai