Anda di halaman 1dari 21

PERKEMBANGAN GREEN CONSTITUTION DI DUNIA: MANFAAT DAN

IMPLIKASI BAGI PELAKSANAAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

Anang Dwiatmoko
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Indonesia
Jl. Salemba Raya No. 4, Kota Jakarta Pusat, DKI Jakarta 10430
Email: anang.hk@gmail.com
081 381 713 474

Abstrak
Penelitian ini membahas perkembangan Green Constitution di dunia yang
mengkorelasikan dengan dampak juga manfaat bagi pelaksanaan pembangunan
berkelanjutan termasuk di Indonesia. Jenis penelitian yang digunakan yakni penelitian
yuridis normatif. Problematika perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menjadi
permasalahan global bagi seluruh negara di dunia, tidak hanya negara maju namun juga
persoalan untuk negara berkembang. Tidak baiknya kondisi lingkungan hidup serta
pentingnya proteksi lingkungan menjadikan tajuk yang bersangkutan dengan lingkungan
baik pada tataran domestik maupun tingkat internasional mendapat tempat istimewa
termasuk dalam perumusan suatu kebijakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kesadaran yang meluas di berbagai negara terhadap kebijakan lingkungan hidup
menjadikan konstitusi diberbagai negara berkembang sebagai green constitution dengan
kondisi “hijau” berbeda satu dengan negara lainnya yang kemudian terwujud dalam
pembangunan berkelanjutan. Namun hal demikian tidak ampuh mencegah pencemaran
dan perusakan lingkungan hidup. Seluruh perangkat hukum lingkungan dunia termasuk
Indonesia tidak mudah lepas dan harus bersaing dengan pengaruh rezim hukum
ekonomi, investasi dan perdagangan.

Kata kunci: green constitution, lingkungan hidup, pembangunan berkelanjutan

Abstract

This study discusses the development of the Green Constitution in the world which
correlates with the impact and benefits for the implementation of sustainable
development, including in Indonesia. The type of research used is normative juridical
research. The problem of environmental protection and management is a global problem
for all countries in the world, not only developed countries but also developing countries.
The unfavorable environmental conditions and the importance of environmental protection
have made environmental issues, both at the domestic and international levels, have a
special place, including in the formulation of a policy. The results of the study show that
widespread awareness in various countries of environmental policies makes the
constitutions of various developing countries a green constitution with different "green"
conditions from one country to another which then manifests in sustainable development.
1
However, this is not effective in preventing pollution and environmental destruction. All
instruments of environmental law in the world, including Indonesia, are not easily
separated and must compete with the influence of economic, investment and trade law
regimes.

Keywords: green constitution, environment, sustainable development

A. Latar Belakang
Problematika perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menjadi
permasalahan global bagi seluruh negara di dunia, tidak hanya negara berkembang
namun juga negara maju1 yang seharusnya bisa segera diakhiri melalui berbagai upaya
satu diantaranya melalui perlindungan lingkungan lewat pengaturan konstitusi dan
legislasi. Tidak baiknya kondisi lingkungan hidup serta pentingnya proteksi lingkungan
menjadikan tajuk lingkungan baik tataran domestik maupun internasional diberikan
prioritas khusus termasuk dalam perumusan suatu kebijakan.2 Situasi ini lantas menjadi
dorongan setiap negara di dunia untuk mengatasi masalah tersebut. Pelaksanaannya
butuh kerjasama terintegrasi dan komprehensif. Secara global permasalahan lingkungan
menjadi perhatian dan kekhawatiran masyarakat internasional pada saat kalangan
Dewan Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadakan suatu
peninjauan terhadap hasil-hasil gerakan Dasawarsa Pembangunan Dunia ke-1 guna
merumuskan strategi Dasawarsa Pembangunan Dunia ke-2. 3 Atensi serius akan
permasalahan lingkungan di skala internasional mencuat kisaran tahun 1970 paska
penyelengaraan United Nation Conference on the Human Environment di Stockholm,
Swedia tahun 1972.4
Isu mengenai tanggung jawab negara terhadap perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup baru mulai disadari serta dijalankan negara-negara di dunia baik negara
maju dan negara berkembang paska pembangunan dunia yang menyebabkan persoalan

1 Andri G. Wibisana, “Pembangunan Berkelanjutan: Status Hukum dan Pemaknaannya”, Jurnal


Hukum dan Pembangunan, Tahun ke-43, No. 1 Januari-Maret 2013, hlm. 55.
2 Ibid.
3 Maret Priyatna, “Penerapan Konsep Konstitusi Hijau (Green Constitution) di Indonesia Sebagai

Tanggung Jawab Negara Dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup”, Jurnal Konstitusi,
Volume 7, Nomor 4, Agustus 2010, hlm. 114.
4 Muhammad Akib, Hukum Lingkungan: Perspektif Global dan Nasional, Edisi Revisi, (Jakarta:

Rajawali Pers, 2014), hlm. 5.

2
turunnya kualitas lingkungan secara jamak. 5 Bukan perkara mudah untuk mengatasi
problematika tersebut dan apabila tidak ada yang peduli maka keadaan yang makin buruk
akan terjadi.6
Dalam perkembangannya, lewat kesadaran dunia internasional akan urgensi
lingkungan hidup sekaligus menjadi salah satu konsepsi dari perkembangan generasi
Hak Asasi Manusia Ketiga, nampak dari penyelenggaraan sejumlah pertemuan seperti
Konferensi Stockholm, Swedia dalam rangka penatalaksanaan Dasawarsa
Pembangunan Dunia Ke-2 (1970-1980) 7 , Konferensi Rio de Janeiro tahun 1992 8 ,
Konferensi Johannesburg tahun 20029, dan Konferensi Rio+20 pada tahun 2012. Salah
satu agenda dalam pertemuan ialah mengupayakan pembangunan berkelanjutan dalam
skema pembangunan jangka panjang dan dibutuhkannya partisipasi yang lebih luas
dalam perumusan kebijakan, pengambilan keputusan dan implementasi di semua tingkat
yang simetris dengan kewajiban negara untuk membuat pengaturan perlindungan
lingkungan nasional sebagai jawaban atas penurunan fungsi lingkungan.10
Berdasarkan uraian sebelumnya, maka terdapat beberapa rumusan masalah yang
akan diangkat dan menjadi pokok dalam penelitian ini. Pertama, bagaimana
perkembangan Green Constitution di dunia? Kedua, bagaimana manfaat serta implikasi
Green Constitution bagi pelaksanaan pembangunan berkelanjutan?

B. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan jenis penelitian yuridis normatif.
Menurut Sugeng Istanto, penelitian hukum adalah penelitian yang diterapkan khusus
pada ilmu hukum.11 Penelitian mendasarkan pada metode penelitian kualitatif, dengan

5 Maret Priyatna, “Penerapan Konsep..., hlm. 115.


6 Ibid.
7 Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, Edisi Kedelapan, (Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press, 2005), hlm. 6


8 N.H.T. Siahaan, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, Edisi Kedua, (Jakarta: Erlangga,

2004), hlm. 145.


9
I Putu Cakabawa Landra, et.al., Buku Ajar dan Klinik Manual Klinik Hukum Lingkungan, Cetakan
Pertama, (Denpasar: Udayana University Press, 2015), hlm. 61-62.
10
I Gede Yusa dan Bagus Hermanto,“Implementasi Green Constitution di Indonesia: Jaminan Hak
Konstitusional Pembangunan Lingkungan Hidup Berkelanjutan”, Jurnal Konstitusi, Volume 15, Nomor 2,
Juni 2018, hlm. 61-62.
11 F. Sugeng Istanto, Penelitian Hukum, (Yogyakarta: CV Ganda, 2017), hlm. 29.

3
jenis penelitian yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan.
Penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan
kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari segi normatifnya.12
Penelitian ini menggunakan beberapa pendekatan untuk menjawab permasalahan
yang diteliti, yaitu: (1) pendekatan undang-undang (statute approach), (2) pendekatan
konseptual (conceptual approach), pendekatan historis (historical approach).13 Metode
pengumpulan data dalam penelitian dilakukan dengan studi dokumen atau bahan pustaka
(library research), yaitu pengumpulan data dilakukan melalui data tertulis dari bahan
hukum, berupa buku-buku hukum, artikel jurnal, kamus, makalah, website, ataupun karya
ilmiah yang tidak dipublikasikan yang kemudian dari perolehan data dilakukan analisa
untuk membuat kesimpulan.

C. Hasil Penelitian dan Pembahasan


1. Perkembangan Green Constitution di Dunia
Istilah “green constitution” dalam lintas batas perkembangan ketatanegaran negara-
negara dunia sesungguhnya bukan merupakan kausa baru.14 Uraian green constitution
bertalian atas kekuasaan bernegara juga kedaulatan tertinggi dimana konsep kedaulatan
oleh hukum dan kedaulatan yang ada pada rakyat dipadupadankan dalam konsepsi
lingkungan hidup yang memiliki otonomi juga kedaulatannya sendiri yang diistilahkan
dengan ekokrasi (ecocracy) atau kedaulatan ekologi. 15 Secara sederhana Jimly
Asshiddiqie menyebut ekokrasi sebagai konsep kedaulatan lingkungan yang dilihat
melalui pendekatan komparasi konsep kedaulatan.16 Secara berbeda Robyn Eckersley
memaknai ekokrasi dengan kesempatan berarti (meaningful opportunity) untuk turut serta

12 Mukti Fajar ND dan Yulianto Ahmad, Dualisme Penelitian Hukum, (Yogyakarta: Raja Grafindo
Persada, 2010), hlm. 28.
13 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 93-94.
14
Jimly Asshiddiqie, Green Constitution Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), hlm. 1-4.
15
Ibid.
16
Jimly memperbandingkan Ekokrasi dengan konsep kedaulatan yang telah ada sebelumnya seperti
kedaulatan Tuhan (theocracy), kedaulatan raja/ratu (monarchy), kedaulatan rakyat (democracy), dan
kedaulatan hukum (nomocracy). Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Lingkungan: Demokrasi versus
Ekokrasi, makalah yang disarikan dari buku Green Constitution Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (Jakarta: Rajawali Press, 2009).

4
atau setidaknya terwakili kepentingannya dalam kebijakan lingkungan yang hendak
dibuat dimana memiliki risiko dan potensi bahaya.17
Keberagaman prakarsa hak asasi manusia (HAM) ditemui di pelbagai negara seperti
di barat yang lebih terbiasa memprioritaskan HAM. 18 Karel Vasak mengelompokkan
generasi HAM berlandaskan prinsip-prinsip liberte, egalite, dan fraternite pada era
perjuangan Revolusi Prancis. 19 Pada generasi HAM ketiga fokus pada hak-hak atas
pembangunan (fraternite) melalui hak kolektif yang memiliki ciri inklusif dengan sifat
komprehensif yang menyeluruh tidak hanya menyangkut permasalahan hak sosial namun
juga hak sipil, ekonomi dan budaya.20 Menurut Paul Sieghart, terdapat 6 (enam) golongan
hak kolektif yang memfokuskan pada pembangunan, yakni hak atas penentuan nasib
sendiri, hak atas perdamaian dan keamanan internasional, hak untuk menggunakan
kekayaan dan sumber daya alam 21, hak atas pembangunan 22, hak kaum minoritas 23,
serta hak atas lingkungan hidup24. Demikian pula Mas Achmad Santosa menyebut tiga
jenis hak, yakni hak atas pembangunan (right to development), hak atas perdamaian
(right to peace), dan hak atas lingkungan hidup yang bersih (right to a clean
environment). 25 Generasi ketiga HAM ini, biasanya dikenal sebagai hak solidaritas
(solidarity rights).26
Mas Achmad Santosa juga menyatakan adanya close link atau keterkaitan erat HAM
dengan lingkungan hidup. 27 Pelanggaran HAM seringkali merupakan penyebab dari

17
Robin Eckersley, The Green State: Rethinking Democracy and Sovereignity, (London: The MIT
Press, 2004), hlm. 242-243.
18
Ifdhal Khasim, Satya Arinanto, Suparman Marzuki, Hukum Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: Pusat
Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia, 2008), hlm. 22.
19 Andrey Sujatmoko, Hukum HAM dan Hukum Humaniter, Cetakan Pertama, (Jakarta: RajaGrafindo

Persada, 2014), hlm. 178-180.


20 Ibid.
21 Declaration on Permanent Sovereignity over Natural Resources, 1962.
22 Deklarasi Hak Atas Pembangunan, tanggal 4 Desember 1986.
23 UN General Assembly Resolution 47/131, Deklarasi tentang Hak Kelompok Minoritas, tanggal 18

Desember 1992.
24 Dalam UN Conference on Human Environment di Stockholm, 5-16 Juni 1972 dihasilkan Deklarasi

Stockholm Tahun 1972.


25
Hak atas lingkungan hidup yang bersih, menurut Christian Tomuschat termasuk dalam kategori
generasi ketiga. Baca lebih lanjut Christian Tomuschat, Human Rights Between Idealism and Realism,
(Oxford: Oxford University Press, 2003), hlm. 48.
26
Mas Achmad Santosa, “Hak Asasi Manusia dan Lingkungan Hidup”, dalam ICEL Staff Articles,
(Jakarta: Indonesian Center for Environmental Law, 1997).
27
Ibid.

5
degradasi lingkungan, di sisi lain penurunan ekosistem memunculkan pelanggaran
HAM.28
Postulat Green Constitution yang mengangkat ekokrasi dalam konstitusi suatu
negara di dalamnya tercermin kedaulatan lingkungan hidup dengan menempatkan Green
Constitution dalam undang-undang dasar suatu negara, menjadikan pijakan yang hakiki
dan fundamental menegakkan perkembangan hak-hak asasi manusia ke arah
pembangunan yang kini berkembang. 29 Perwujudan kedaulatan lingkungan yang
tertuang dalam naskah konstitusi olehnya lebih lanjut disebut Green Constitution,
sementara adopsi terhadap kebijakan yang bernafas lingkungan dalam suatu produk
legislasi disebut dengan Green Legislation.30
Semakin besar kesadaran lingkungan hidup membuat negara kompak mengatur
dalam tiap falsafah kenegaraannya termasuk dalam ketentuan undang-undang. Dengan
variasi perwujudan dari sadarnya dokumen konstitusi yang mendukung lingkungan hidup,
maka secara sederhana dapat dibagi dalam beberapa kelompok yakni negara yang
spesifik mengatur lingkungan hidup dalam konstitusi, negara yang mengintegrasikan
lingkungan hidup dengan ketentuan HAM, negara yang menyebut lingkungan hidup
secara implisit di dalam konstitusi, dan negara yang mengaitkan garis-garis besar
kebijakan lingkungan hidup dengan suatu lembaga khusus yang menangani tugas fungsi
pelestarian lingkungan hidup dan kerusakan alam dalam suatu konstitusinya.31
Tidak jauh beda, Mas Achmad Santosa dalam sebuah tulisan mengelompokkan
secara berjenjang pemaknaan green constitution di masing-masing konstitusi negara.32
Pengelompokkan tersebut ditabelkan seperti berikut:

28
Ibid.
29 I Dewa Gede Atmadja, Hukum Konstitusi, Perubahan Konstitusi dari sudut Pandang
Perbandiingan, (Denpasar: Lembaga Pers Mahasiswa FH Universitas Udayana bekerjasa dengan Penerbit
Bali Aga, 2006), hlm. 28-30.
30 Jimly Asshiddiqie, Green Constitution..., hlm. 4.
31 Ibid., hlm. 20.
32 Mas Achmad Santosa, “Greener Constitution: Solusi Pengarusutamaan Pembangunan

Berkelanjutan” dalam Iwan J. Azis., et al. (Ed.) Pembangunan Berkelanjutan Peran dan Kontribusi Emil
Salim, Cetakan Pertama (Jakarta: Kepustaan Populer Gramedia, 2010), hlm. 148.

6
Tabel 1
Kelompok Komitmen pada Green Constitution
No. Kelompok Keterangan pengaturan dalam konstitusi
1. Komitmen Tertinggi Pengakuan lengkap hak hukum untuk alam (the right for the
nature), hak-hak subjektif, kewajiban negara serta arah
pembangungan.
2. Komitmen Tinggi Pengakuan hak-hak subjektif, kewajiban negara serta arah
pembangungan.
3. Komitmen Memadai Pengakuan hak-hak subjektif dan kewajiban negara dalam
pasal-pasal khusus dan tersendiri
4. Komitmen Sedang Pengakuan hak-hak subjektif tanpa mengakui kewajiban
negara, namun memberikan arah pada pola pembangunan
nasional.
5. Komitmen Rendah Sama sekali tidak mengakui norma hukum lingkungan maupun
pengakuan pola dan arah pembangunan berkelanjutan.

Negara yang spesifik mengatur lingkungan hidup dalam konstitusi yakni Spanyol.33
Sementara pada kelompok negara yang mengintegrasikan lingkungan hidup dengan
ketentuan HAM contohnya ialah Polandia.34 Indonesia termasuk yang menyebut implisit
lingkungan hidup dalam konstitusi melalui Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945. Lainnya,
negara yang mengaitkan garis-garis besar kebijakan lingkungan hidup dengan suatu
lembaga khusus yang menangani tugas fungsi pelestarian lingkungan hidup dan
kerusakan alam dalam suatu konstitusinya, terdapat pada konstitusi negara Portugal.35
Selain kelompok tersebut diatas, juga terdapat pola dimana suatu negara maupun
negara bagian menerapkan hak hidup dan hak sehat (right to life and health) misalnya
Austria-Jepang-Jerman, atau memuat ketentuan HAM atas lingkungan hidup yang sehat
seperti pada negara bagian di Amerika (Pennsylvania-Illinois-Rhode Island), atau negara
yang mengintegrasikan muatan lingkungan hidup dalam HAM atau hak dasar
(fundamental rights) seperti Portugal dan Spanyol.36
Kondisi bervariasinya pemuatan norma kebijakan lingkungan demikian, dilakukan
melalui penyusunan naskah konstitusi baru maupun perubahan.37 Singkatnya berbagai

33Lihat Section 45 Chapter III: Principles Governing Economic and Social Policy, Spain’s Constitution
of 1998 with Amendments through 2011.
34 Lihat Article 5 Chapter I: The Republic, Poland’s Constitution of 1997 with Amendments through

2009.
35 Lihat Article 9 letter (d) dan (e), and Article 66, Portugal’s Constitution of 1976 with Amendments

through 2005.
36 Jimly Asshiddiqie, Green Constitution..., hlm. 22-25.
37 Ibid.

7
negara melalui konstitusinya memiliki beragam corak dalam mengatur kebijakan
lingkungan hidup.38 Yang paling maju ialah negara dengan konstitusi yang mengaitkan
perumusan muatan lingkungan hidup dengan konsepsi hak fundamental atau HAM
secara khusus hak manusia atas lingkungan disertai dengan adanya aturan bagi negara
melalui pertanggungjawaban pejabat atau lembaga negara yang memiliki tugas
pelaksanaan untuk melindungi lingkungan hidup. 39 Contoh demikian dijumpai dalam
konstitusi di negara Ekuador 40 , termasuk juga Portugal dan Spanyol serta Prancis 41
melalui Charter for Environtment yang memiliki kedudukan sejajar dengan Declaration of
Rights.42
Di Ekuador pada konstitusinya dapat diketemui jika lingkungan telah dipandang
sebagai suatu subjek hukum yang memiliki haknya tersendiri. Subjek hukum lingkungan
menjelma sama sederajat dengan HAM. Banyak pihak karenanya menyebut konstitusi
Ekuador sebagai “The Real Green Constitution”.43 Pada Konstitusi Ekuador menjadikan
bahasan sentralitas manusia berkurang ketika topik utama yang diangkat ialah
pelestarian alam yang dinilai sebagai pengamalan tanggung jawab moral negara
terhadap lingkungan yang juga mempunyai moral standing layaknya manusia. 44

Sementara konstitusi Portugal, telah lebih dulu lahir dan dikenal sebagai konstitusi hijau
sejak tahun 1967. Didalamnya terkandung pemikiran terhadap pembentukan peradilan
konstitusi, ide proteksi akan lingkungan hidup dan gagasan hak-kewajiban warga
negara.45
Pengaturan materi muatan dalam UUD 1945 hasil amandemen keempat merupakan
starting point dalam upaya penegakkan hukum dan HAM di Indonesia.46 UUD NRI Tahun
1945 yang merupakan perwujudan Pancasila sebagai groundnorm, dijadikan dasar guna

38 Ibid., hlm. 25.


39 Ibid.
40 Lihat Ecuador’s Constitution of 2008 with Amendments through 2021.
41 Lihat France’s Constitution of 1958 with Amendments through 2008.
42 Jimly Asshiddiqie, Green Constitution..., hlm. 25.
43 Ashabul Kahpi, “Jaminan Konstitusional Terhadap Hak Atas Lingkungan Hidup di Indonesia”,

Jurnal Al Daulah, Vol. 2, No. 2, Desember 2013, hlm. 145.


44 Muhammad Pasha Nur Fauzan, “Meninjau Ulang Gagasan Green Constitution: Mengungkap

Miskonsepsi dan Kritik”, Jurnal Hukum Lingkungan, Tata Ruang, dan Agraria (LITRA), Volume 1, Nomor 1,
Oktober 2021, hlm. 10.
45 Jimly Asshiddiqie, Green Constitution..., hlm. 4.
46 Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia: Dari UUD 1945 Sampai Dengan

Amandemen UUD 1945 Tahun 2002, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), hlm. 118.

8
terselenggaranya kesejahteraan rakyat termasuk hak mendapat lingkungan hidup yang
sehat.47
Kebijakan lingkungan hidup merujuk Jimly Asshiddiqie terbagi lewat dua tahap
perkembangan.48 Pertama, berlandaskan dorongan kesadaran yang meluas di seluruh
dunia akan pentingnya upaya melindungi lingkungan dari ancaman pencemaran dan
perusakan, kebijakan lingkungan hidup dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-
undangan secara resmi terletak pada tahap pertama.49 Olehnya timbul gelombang dunia
berupa legalisasi kebijakan lingkungan hidup. Setelah ditetapkan peraturan perundang-
undangan secara resmi yang begitu padat yang ternyata kebanyakan regeling itu tidak
manjur mencegah pencemaran dan rusaknya lingkungan hidup. Ketidakpuasan demikian
berkembang luas di banyak negara, sehingga muncul tuntutan untuk memperkuat payung
hukum kebijakan lingkungan hidup itu dalam konstitusi sebagai hukum yang tertinggi.
Perkembangan terakhir inilah yang Jimly sebut dengan perkembangan tahap kedua lewat
konstitusionalisasi kebijakan lingkungan ke dalam rumusan konstitusi di tiap negara.50
Konstitusionalisasi lingkungan hidup dalam konstitusi nasional menjadi penting
bukan hanya tidak mudah untuk mengubah konstitusi namun juga karena konstitusi ialah
hukum tertinggi negara dengan tujuan, pedoman dan alat ukur kehidupan berbangsa dan
bernegara yang diyakini ada.51 Indonesia sendiri dapat dikategorikan dalam kelompok
komitmen sedang dalam hal konstitusionalisasi norma hukum lingkungan, dengan
memperhatikan hal seperti: pengakuan subjective right dalam pengelolaan lingkungan
sebagaimana diatur Pasal 28H ayat (1) UUD 1945; dan pengakuan bahwa elemen
berwawasan lingkungan merupakan elemen penting dalam perekonomian nasional
sebagaimana Pasal 33 ayat (4) UUD 1945.52 Dengan kata lain, prinsip dalam UUD 1945

47
Lihat Pasal 28 H ayat (1) UUD NRI Tahun 1945
48
Jimly Asshiddiqie, Green Constitution..., hlm. 159.
49
Ibid.
50
Ibid.
51
I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani, “Green Constitution sebagai Penguatan Norma Hukum
Lingkungan dan Pedoman Legal Drafting Peraturan Daerah Dalam Rangka Praktik-Praktik Tata Kelola
Pemerintahan Yang Baik di Daerah”, Yustitia Vol. 1 No. 1 Januari-April 2012, hlm. 134.
52
Mas Achmad Santosa, Margarehta Quina, “Gerakan Pembaruan Hukum Lingkungan Indonesia
dan Perwujudan Tata Kelola Lingkungan Yang Baik Dalam Negara Demokrasi, Jurnal Hukum Lingkungan
Vol. 1 Issue 1, Januari 2014, hlm. 28.

9
masih mengakui sebatas hak-hak subjektif yang antroposentrisme 53 , belum secara
eksplisit menyatakan hak lingkungan hidup sebagai subjek hukum.54
Kondisi demikian memunculkan kritik terhadap green constitution yang terdapat
kandungan antroposentrisme. Padahal green constitution tidak hanya konstitusionalisasi
norma hukum lingkungan namun lebih dari itu ialah paradigma yang merubah relasi
manusia dengan lingkungan sehingga kepentingan non-antroposentris dari alam yang
lepas dari kepentingan manusia dapat terwujud.55 Green constitution secara ontologis
nampak disintegral dalam perspektif relasi manusia dengan alam juga bagaimana
memposisikan alam dengan manusia, serta green constitution tidak dapat secara etis
menunjukkan kepentingan alam non-antroposentris itu dimungkinkan terlepas dari
kepentingan manusia.56

2. Pelaksanaan Pembangunan Berkelanjutan sebagai Implementasi Green


Constitution
Konsep Sustainable Development bukanlah merupakan sebuah gagasan yang
muncul pada satu ketika, melainkan hasil dari proses perdebatan panjang antara
kebutuhan akan pembangunan dan kesadaran pentingnya perlindungan lingkungan
hidup. Majelis Umum PBB di tahun 1983 membuat sebuah wadah yang bertugas
mengkaji ulang sejumlah problematika mendasar terkait dengan pembangunan dan
lingkungan hidup, serta merumuskan langkah yang inovatif, kongkret dan realistis dengan
maksud mengatasi permasalahan-permasalahan terkait. Lembaga tersebut bernama
World Commission on Environment and Development (WCED) atau sering disebut
sebagai Brundtland Commission57 dimana keberadaan Emil Salim tokoh Indonesia turut

53
Antroposentrisme merupakan satu perspektif etika lingkungan yang melihat manusia sebagai
pusat kajian dengan fokus pada kesejahteraan manusia dan hak asasi manusia atau manusia secara
instrinsik lebih bernilai dibandingkan mahluk lain. Lihat John Adler dan David Wilkinson, Environtmental
Law and Ethics, (London: Macmillan Press, Ltd., 1999) dalam Andri G. Wibisana, “Dari Antroposentrisme
menuju Ekosentrisme”, makalah (tanpa tanggal tanpa tahun).
54
Ibid.
55
Muhammad Pasha Nur Fauzan, “Meninjau Ulang...”, hlm. 18.
56
Ibid. Baca juga dalam Adelman, “Justice, Development, and Sustainability in the Anthropocene”
dalam Philippe Cullet dan Sujith Koonan, (eds.) Research Handbook on Law, Environment and the Global
South. Research Handbooks in Environmental Law series, (Cheltenham: Edward Elgar, 2019).
57
Brundtland Commission di tahun 1987 menghasilkan laporan “Our Common Future” yang
merupakan dokumen laporan Komisi Dunia untuk Pembangunan dan Lingkungan Hidup yang diketuai Gro
Harlem Bruntland dan beranggotakan 20 orang tokoh ternama dari berbagai negara termasuk Prof. Dr. Emil

10
aktif terlibat hingga memberikan pengaruh signifikan bagi paradigma lingkungan hidup
dalam pembangunan. 58 Emil menyebut konvensionalnya pelaksanaan pembangunan
berkelanjutan punya tiga kelemahan utama: kegagalan pasar (market failure), kegagalan
institusi (institutional failures), dan kegagalan kebijakan (policy failures).59
Gagasan SDGs merupakan sari daripada respon atas konferensi Rio de Jainero
yang diinisiasi PBB pada tahun 2012 soal pembangunan berkelanjutan. Konferensi ini
diselenggarakan dengan maksud mencapai tujuan bersama yakni mampu menjaga
keseimbangan tiga hal pokok dalam pembangunan berkelanjutan meliputi lingkungan,
sosial dan ekonomi.60
Seorang Profesor bernama Lowe menyebut bahwa pembangunan berkelanjutan
bukan sebuah norma hukum mengingat ketiadaan sifat normativity atau tidak adanya
bahasa normatif di dalam pembangunan berkelanjutan. 61 Olehnya Lowe berpendapat
bahwa pembangunan berkelanjutan tidak terdapat a fundamental norm-creating
character melainkan hanya sebuah meta-principle.62
Pandangan lain seperti Weeramantry dan Voigt menyebut pembangunan
berkelanjutan didalamnya memiliki sifat normatif pada dirinya sendiri. Sementara itu,
Marong mendeskripsikan pembangunan berkelanjutan melalui prinsip-prinsip hukum
seperti prinsip keadilan dalam satu dan antar generasi (intra and inter-generational
equity), prinsip kedaulatan dan tanggung jawab negara, prinsip tanggung jawab berbeda
atas persoalan bersama (common but diferentiated responsibility),63 prinsip kehati-hatian
(the precautionary principle), prinsip analisis mengenai dampak lingkungan (the
environtmental impact assessment principle), dan prinsip partisipasi publik dalam

Salim selaku Menteri Lingkungan Hidup saat itu. Laporan “Our Common Future” diterbitkan di Indonesia
tahun 1988 dengan judul “Hari Depan Kita Bersama”.
58
Mas Achmad Santosa, Margarehta Quina, “Gerakan Pembaruan Hukum Lingkungan Indonesia
dan Perwujudan Tata Kelola Lingkungan Yang Baik Dalam Negara Demokrasi, Jurnal Hukum Lingkungan
Vol. 1 Issue 1, Januari 2014, hlm. 28.
59
Emil Salim, Ratusan Bangsa Merusak Satu Bumi, (Jakarta: Penerbit Kompas, 2010), hlm. 146.
60
Arief Anshory Yusuf, Armida Salsiah Alisjahbana, et.al., Menyongsong SDGs: Kesiapan Daerah-
Daerah di Indonesia, (Bandung: Unpad Press, 2017), hlm. 3.
61
Malgosia Fitzmaurice, Contempormy Issues in International Environmental Law, (London, UK:
Edward Elgar, 2009), hlm. 80-81.
62
Ibid.
63
Alhaji B.M. Marong, “From Rio to Johannesburg: Reflections on the Role of International Legal
Norms in Sustainable Development”, Georgetown International Environtmental Law Review, Vol. 16, 2003,
hlm. 61.

11
pengambilan keputusan (public participation in decision-making). 64 Beberapa prinsip
tersebut tidak jauh berbeda dengan prinsip yang disampaikan juga oleh Palassis.
Setidaknya Palassis membagi prinsip pembentuk pembangunan berkelanjutan mulai dari
prinsip keadilan intra dan antar generasi, prinsip pemanfaatan secara berkelanjutan
(sustainable use), dan prinsip integrasi (the principle of integration among the core
elements of sustainable developments). 65 Secara tegas, Sam Adelman membagi
pembangunan berkelanjutan menjadi weak sustainable developments dan strong
sustainable developments.66
Dalam lingkup negara Indonesia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 telah
memakai istilah “pembangunan berkelanjutan” yang juga diakui dalam Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dimana
dalam Pasal 2 menyebut bahwa asas hukum lingkungan termasuk pembangunan
berkelanjutan dimana keadilan antar generasi menjadi bagian dari pembangunan
berkelanjutan. Olehnya, pembangunan berkelanjutan dan keadilan intra dan antar
generasi dianggap tidak hanya sebagai asas hukum lingkungan, melainkan juga
merupakan tujuan dari pengaturan hukum lingkungan di Indonesia.67
Sustainable Development Goals/SDGs atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan
ialah wujud diadopsinya Post-2015 Development Agenda atau dikenal dengan
Transforming Our World: the 2030 Agenda For Sustainable Development. Kegiatan
dilaksanakan di tengah Sidang Majelis Umum PBB ke-70 tanggal 25-27 September 2015
di New York. Forum yang dinamai High Level Summit atau United Nations Sustainable
Development Summit selanjutnya diperkuat dengan Resolusi Majelis Umum PBB Nomor
70/1 tanggal 25 September 2015.68

64
Ibid., hlm. 64.
65
Stathis N. Palassis, “Beyond the Global Summits: Reflecting on the Environmental Principles of
Sustainable Development”, Colorado Journal of International Environmental Law and Policy, Vol. 22, 2011,
hlm. 60.
66
Sam Adelman, “Justice, Development, and Sustainability in the Anthropocene” dalam Philippe
Cullet dan Sujith Koonan, (eds.) Research Handbook on Law, Environment and the Global South. Research
Handbooks in Environmental Law series, (Cheltenham: Edward Elgar, 2019). Bandingkan dengan Bill
Hopwood, Marry Mellor, dan Geoff O’Brien, “Sustainable Development: Mapping Different Approaches”,
Wiley InterScience, Sust. Dev. 13. 38-52, 2005.
67 Andri G. Wibisana, “Pembangunan Berkelanjutan:..., hlm. 56.
68 Andreas Pramudianto, Hukum Lingkungan Internasional, (Depok: Rajawali Pers, 2017), hlm. 120.

12
Dokumen Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development
Goals menjadi pengganti naskah Tujuan Pembangunan Millennium yang berakhir di
tahun 2015. Apa yang dituliskan dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan ialah suatu
tapak sebagai panduan pembangunan internasional hingga tahun 2030 sehingga dapat
terarah dan diukur capaiannya.69
Prinsip-prinsip dasar yang dibawa SDGs memberikan manfaat keseimbangan
dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan yang meliputi manusia (people), bumi (planet),
kemakmuran (prosperity), kedamaian (peace) dan kerjasama (partnership) atau juga
disebut dengan istilah 5P.70 Dari kelima prinsip dimaksud menaungi 17 tujuan juga 169
sasaran yang berkaitan dan saling terintegrasi tidak dapat dipisah dalam mewujudkan
kehidupan yang lebih baik bagi manusia.71 Lima dari ke-17 tujuan tersebut diantaranya 1)
End poverty in all its forms everywhere; 2) Ensure access to affordable, reliable,
sustainable and modern energy for all; 3) Reduce inequality within and among countries;
4) Conserve and sustainably use the oceans, seas and marine resources for sustainable
development; 5) Strengthen the means of implementation and revitalize the global
partnership for sustainable development.72
Sementara itu dokumen yang telah dikeluarkan baik oleh PBB, pemerintah ataupun
stakeholders terkait lainnya paska agenda Transforming Our World: the 2030 Agenda For
Sustainable Development cukup banyak. Misalnya kurun waktu 2016 terbit sejumlah
dokumen diantaranya Laporan Critical Milestone Towards Coherent, Efficient and
Inclusive Follow-Up and Review at the Global Level yang dikeluarkan oleh Sekretaris
Jenderal PBB di Januari 2016.73 Berikutnya di Februari 2016 proposal Global Indicators
Framework diserahkan Inter-Agency Expert Group on SDGs Indicators sebagai
pertimbangan bagi penyusunan rancangan indikator global. Pada Juni 2016 Sekjen PBB
menyerahkan laporan perkembangan pelaksanaan SDGs yang isinya berupa resume
situasi global yang berkaitan dengan 17 tujuan SDGs dikaitkan dengan indikator yang

69 Ibid., hlm. 121.


70 Sekar Panuluh, Meilia Riskia Fitri, Perkembangan Pelaksanaan Sustainable Development Goasl
(SDGs) di Indonesia, September 2015-September 2016, (International NGO Forum on Indonesian
Development, 2016), hlm. 5.
71 Ibid.
72 Baca lebih lanjut dalam Sustainable Development, United Nations,
https://sustainabledevelopment.un.org/content/documents/1579SDGs%20Proposal.pdf , slide 6.
73 Sekar Panuluh, Meilia Riskia Fitri, Perkembangan Pelaksanaan...

13
sebelumnya telah disahkan Komisi Statistik PBB. Selanjutnya di Juli 2016 Komisi Statistik
PBB juga menerbitkan The Sustainable Development Goals Report 2016. Melalui laporan
pertama tersebut baseline untuk memulai implementasi berdasarkan evaluasi yang akurat
mengenai kondisi dunia saat ini dijadikan sebagai langkah awal yang sekaligus
menyajikan ringkasan daripada 17 tujuan SDGs termasuk menjelaskan tantangan
terbesar dalam pembangunan berkelanjutan.74
Namun merujuk pendapat Adelman, SDGs tidak sebanding dengan skala dan
urgensi dari bencana planet yang sedang berlangsung dan tidak menawarkan
kemungkinan nyata keadilan global, iklim atau sosial untuk generasi saat ini atau masa
depan.75 SDGs mengkampanyekan bentuk pembangunan berkelanjutan yang lemah lagi
antroposentris dan abai akan realitas ekologis selain mengutamakan pertumbuhan
ekonomi di atas keadilan sosial dan perlindungan lingkungan.76 Bahkan tidak tanggung
Adelman menyebut “ketika para komentator meninjau SDGs pada tahun 2030, semoga
mereka tidak menemukan bahwa kemiskinan global berkurang dalam serangkaian
kemenangan besar dengan mengorbankan perusakan ekologi yang meluas, kepunahan
spesies, dan meningkatnya ketidakadilan dari kerusakan iklim karena tujuannya
didasarkan pada pemikiran Holosen”.77 Kondisi demikian terjadi diwaktu pembangunan
berkelanjutan berbagi alasan ekologis untuk memperdebatkan kebutuhan mengamankan
kehidupan biosfer sementara neoliberalisme mensyaratkan ekonomi sebagai sarana
keamanan itu sendiri.78
Melihat kondisi Indonesia sebagai negara yang potensial dalam hal bencana juga
memiliki potensi cukup besar akibat perubahan iklim dengan kondisi geografisnya berupa
kepulauan belum lagi hitungan kerusakan ekosistem yang tinggi menjadikan Indonesia
yang juga sebagai negara agraris juga maritim, mau tidak mau membutuhkan penguatan
tidak hanya pada aspek demokrasi namun juga ecocracy. 79 Melalui apsek ecocracy

74Ibid.
75Sam Adelman, “The Sustainable Development Goals, Atnropocentrism and Neolibearlism” dalam
Duncan French dan Louis Kotze. Eds., Global Goals: Law, Theory and Implementation, (Cheltenham:
Edward Elgar, 2018), hlm. 21.
76 Ibid.
77 Ibid., hlm. 22.
78 Julian Reid, “Interrogating the Neoliberal Biopolotics of the Sustainable-Development-Resilience

Nexus”, International Political Sociology, 7, 2013, hlm. 353.


79 Mas Achmad Santosa, “Greener Constitution...., hlm. 144-145.

14
penitikberatan ada pada prinsip strong sustainable development yang juga berwawasan
lingkungan dalam menjalankan pemerintahan. Sehingga penguatan pasal-pasal dalam
konstitusi maupun yang ada dalam pembukaan UUD 1945 merupakan keharusan yang
menjadi pintu gerbang perubahan mindset ke arah sustainable development dalam setiap
sendi yang dijalankan seluruh pemegang kekuasaan.
Di Indonesia melalui green constitution tingkat komitmen sedang terdapat UUD NRI
Tahun 1945 yang menjadi dasar lahirnya regeling maupun beschiking. Wujud komitmen
untuk mencapai SDGs diantaranya melalui Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017
tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. 80 Lebih lanjut
telah diturunkan acuan pelaksanaan SDGs di Indonesia melalui Peraturan Menteri dan
Keputusan Menteri PPN/Kepala Bappenas sebagai ketentuan teknis. Instrumen tersebut
melandasi dibentuknya Tim Koordinasi Nasional pelaksanaan SDGs, disusunnya
Rencana Aksi Nasional (RAN) SDGs 2017-201981, disusunnya Peta Jalan (Roadmap)
SDGs 2017-2030, serta amanat penyusunan Rencana Aksi Daerah (RAD) SDGs di
seluruh daerah.82 Namun lagi-lagi semua perangkat hukum lingkungan diseluruh dunia
termasuk Indonesia tidak mudah lepas dan harus bersaing dengan pengaruh rezim
hukum ekonomi, investasi dan perdagangan.83
Produk legislasi lingkungan bahkan tidak sedikit dirancang untuk memfasilitasi
pengerukan sumber daya alam alih-alih menjaga stabilitas dan ketahanan sistem alam
sebagaimana pandangan Mary Christina Wood. 84 Terkini contohnya lahir regulasi UU
Cipta Kerja di Indonesia yang menguatkan rezim investasi dan mendegradasi perhatian

80 Lihat Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan (LN Tahun 2017 Nomor 136)
81 RAN SDGs terakhir diatur melalui Keputusan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor KEP. 136/M.PPN/HK/12/2021 tentang


Penetapan Rencana Aksi Nasional Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/ Sustainable Development Goals
(TPB/SDGs) Tahun 2021-2024
82 Arum Atmawikarta, et al (Ed.), Prosiding SDGs Annual Conference 2018, Toward a Prosperous

Indonesia, (Jakarta: Kedeputian Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian
PPPN/Bappenas, 2018), hlm. ix
83 Lynda Collins, The Ecological Constitution Reframing Environtmental Law, (New York: Routledge

Taylor & Francis Group, 2021), hlm. 3.


84 Mary Christina Wood, Nature’s Trust: Environtmental Law for New Ecological Age, dalam Lynda

Collins, The Ecological Constitution Reframing Environtmental Law, (New York: Routledge Taylor & Francis
Group, 2021), hlm. 3.

15
terhadap lingkungan.85 Dengan kondisi itu, pengembangan alternatif hukum lingkungan
lama ke ecological law dengan elemen ecocentrism 86 , ecological primacy 87 , dan
ecological justice88 sangat dibutuhkan.

D. Penutup
1. Simpulan
Konstitusi diberbagai negara berkembang ke green constitution dengan kondisi
“hijau” yang berbeda satu dengan negara lainnya termasuk Indonesia (komitmen sedang)
melalui keberadaan Pasal 28 H ayat (1), Pasal 33 ayat (3) dan (4) UUD NRI 1945. Meski
telah hijau, permasalahan lingkungan secara global belum teratasi akibat gagasan green
constitution yang masih terdapat kandungan antroposentrisme yang berujung kritik.
Berbagai usaha terus dilalui diantaranya melalui agenda besar Sustainable
Development Goals/SDGs. Melalui prinsip 5P-nya, people, planet, prosperity, peace, dan
partnership, sejumlah negara bergerak kearah 17 tujuan dengan 169 sasaran SDGs yang
telah ditetapkan lewat berbagai bentuk implementasi di masing-masing negara. Indonesia
sendiri telah melahirkan Peta Jalan SDGs 2017-2030 termasuk Peraturan Presiden
Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan. Namun seluruh perangkat hukum lingkungan dunia termasuk Indonesia
tidak mudah lepas dan harus bersaing dengan pengaruh rezim hukum ekonomi, investasi
dan perdagangan yang justsru melahirkan regulasi bukan untuk tujuan perlindungan
lingkungan hidup. Olehnya perubahan paradigma hukum lingkungan konvensional ke
ecological law menjadi sangat dibutuhkan.

2. Saran
Ditemukannya permasalahan lingkungan meski terdapat Green Constitution
merupakan sinyal untuk memberi perhatian lebih terhadap lingkungan. Kondisi yang tidak

85 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja tidak pro lingkungan dan dianggap
sebagai kemunduran (regression) karena mengubah ketentuan penting seperti Amdal, Izin Lingkungan,
peran serta masyarakat, Izin Pengelolaan Limbah B3 dan lainnya.
86 Baca lebih lanjut dalam Carla Sbert Carlsson, Mining from the Lens of Ecological Law: Obstacles

and Opportunities for Re-formation, Disertasi, (Ottawa: Faculty of Law University of Ottawa, 2019), hlm. 95.
87 Ibid., hlm. 102.
88 Ibid., hlm. 112.

16
sama ditiap negara dalam pengaturan lingkungan hidup yang bersumber pada konstitusi
dengan taraf “kehijauan” berbeda harus dicarikan solusi seperti membuat mayoritas
negara memiliki “greener” konstitusi atau bahkan mengubah paradigma kritis terhadap
reposisi hak asasi manusia dengan lingkungan secara lebih dalam dengan gagasan baru
ecological constitution.

17
Daftar Pustaka

Buku:
Asshiddiqie, Jimly. Green Constitution Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Rajawali Press, 2009.
Atmadja, I Dewa Gede. Hukum Konstitusi, Perubahan Konstitusi dari sudut Pandang
Perbandingan. Denpasar: Lembaga Pers Mahasiswa FH Universitas Udayana
bekerjasa dengan Penerbit Bali Aga, 2006.
Atmawikarta, Arum, et al. Ed. Prosiding SDGs Annual Conference 2018, Toward a
Prosperous Indonesia. Jakarta: Kedeputian Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya
Alam Kementerian PPPN/Bappenas, 2018.
Azis, Iwan J., et al. Ed. Pembangunan Berkelanjutan Peran dan Kontribusi Emil Salim,
Cetakan Pertama. Jakarta: Kepustaan Populer Gramedia, 2010.
Collins, Lynda. The Ecological Constitution Reframing Environtmental Law. New York:
Routledge Taylor & Francis Group, 2021.
Cullet, Philippe and Sujith Koonan, Eds. Research Handbook on Law, Environment and
the Global South. Research Handbooks in Environmental Law series. Cheltenham:
Edward Elgar, 2019.
Eckersley, Robin. The Green State: Rethinking Democracy and Sovereignity. London:
The MIT Press, 2004.
El-Muhtaj, Majda. Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia: Dari UUD 1945
Sampai Dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2012.
Fajar ND, Mukti dan Yulianto Ahmad. Dualisme Penelitian Hukum. Yogyakarta: Raja
Grafindo Persada, 2010.
Fitzmaurice, Malgosia. Contempormy Issues in International Environmental Law. London,
UK: Edward Elgar, 2009.
Hardjasoemantri, Koesnadi. Hukum Tata Lingkungan, Edisi Kedelapan. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 2005.
Istanto, F. Sugeng. Penelitian Hukum. Yogyakarta: CV Ganda, 2017.

18
Khasim, Ifdhal, Satya Arinanto, Suparman Marzuki. Hukum Hak Asasi Manusia.
Yogyakarta: Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia, 2008.
Landra, I Putu Cakabawa, et.al. Buku Ajar dan Klinik Manual Klinik Hukum Lingkungan,
Cetakan Pertama. Denpasar: Udayana University Press, 2015.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana, 2005.
Marzuki, Suparman. Tragedi Politik Hukum. Yogyakarta: Pustaka Belajar bekerjasama
dengan Pusham UII, 2011.
Panuluh, Sekar, Meilia Riskia Fitri. Perkembangan Pelaksanaan Sustainable
Development Goasl (SDGs) di Indonesia, September 2015-September 2016.
International NGO Forum on Indonesian Development, 2016.
Pramudianto, Andreas. Hukum Lingkungan Internasional. Depok: Rajawali Pers, 2017.
Salim, Emil. Ratusan Bangsa Merusak Satu Bumi. Jakarta: Penerbit Kompas, 2010.
Siahaan, N.H.T. Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, Edisi Kedua. Jakarta:
Erlangga, 2004.
Sujatmoko, Andrey. Hukum HAM dan Hukum Humaniter, Cetakan Pertama. Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2014.
Tomuschat, Christian. Human Rights Between Idealism and Realism. Oxford: Oxford
University Press, 2003.
Yusuf, Arief Anshory, Armida Salsiah Alisjahbana, et.al. Menyongsong SDGs: Kesiapan
Daerah-Daerah di Indonesia. Bandung: Unpad Press, 2017.

Jurnal/ Karya Tulis:


Carlsson, Carla Sbert. Mining from the Lens of Ecological Law: Obstacles and
Opportunities for Re-formation. Disertasi. Ottawa: Faculty of Law University of
Ottawa, 2019.
Fauzan, Muhammad Pasha Nur. “Meninjau Ulang Gagasan Green Constitution:
Mengungkap Miskonsepsi dan Kritik”. Jurnal Hukum Lingkungan, Tata Ruang, dan
Agraria (LITRA), Volume 1, Nomor 1, Oktober 2021.
Handayani, I Gusti Ayu Ketut Rachmi. “Green Constitution sebagai Penguatan Norma
Hukum Lingkungan dan Pedoman Legal Drafting Peraturan Daerah Dalam Rangka

19
Praktik-Praktik Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik di Daerah”. Yustitia Vol. 1 No.
1 Januari-April 2012.
Hopwood, Bill, Marry Mellor, dan Geoff O’Brien, “Sustainable Development: Mapping
Different Approaches”, Wiley InterScience, Sust. Dev. 13. 38-52, 2005.
ICEL Staff Articles. Jakarta: Indonesian Center for Environmental Law, 1997.
Kahpi, Ashabul, “Jaminan Konstitusional Terhadap Hak Atas Lingkungan Hidup di
Indonesia”. Jurnal Al Daulah, Vol. 2, No. 2, Desember 2013.
Marong, Alhaji B.M. “From Rio to Johannesburg: Reflections on the Role of International
Legal Norms in Sustainable Development”. Georgetown International
Environtmental Law Review, Vol. 16, 2003.
Palassis, Stathis N. “Beyond the Global Summits: Reflecting on the Environmental
Principles of Sustainable Development”. Colorado Journal of International
Environmental Law and Policy, Vol. 22, 2011.
Priyatna, Maret, “Penerapan Konsep Konstitusi Hijau (Green Constitution) di Indonesia
Sebagai Tanggung Jawab Negara Dalam Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup”. Jurnal Konstitusi, Volume 7, Nomor 4, Agustus 2010.
Reid, Julian. “Interrogating the Neoliberal Biopolotics of the Sustainable-Development-
Resilience Nexus”. International Political Sociology, 7, 2013.
Santosa, Mas Achmad, Margarehta Quina. “Gerakan Pembaruan Hukum Lingkungan
Indonesia dan Perwujudan Tata Kelola Lingkungan Yang Baik Dalam Negara
Demokrasi”. Jurnal Hukum Lingkungan Vol. 1 Issue 1, Januari 2014.
Wibisana, Andri G. “Pembangunan Berkelanjutan: Status Hukum dan Pemaknaannya”.
Jurnal Hukum dan Pembangunan, Tahun ke-43, No. 1 Januari-Maret 2013.
_______________. “Dari Antroposentrisme menuju Ekosentrisme”, makalah tanpa
tanggal tanpa tahun.
Yusa, I Gede dan Bagus Hermanto,“Implementasi Green Constitution di Indonesia:
Jaminan Hak Konstitusional Pembangunan Lingkungan Hidup Berkelanjutan”.
Jurnal Konstitusi, Volume 15, Nomor 2, Juni 2018.

20
Peraturan Perundang-undangan/ Konstitusi:
Ekuador. Ecuador’s Constitution of 2008 with Amendments through 2021.
Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
_______. Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan. UU
Nomor 32 Tahun 2009, LN Tahun 2009 Nomor 140, TLN Nomor 5059.
_______. Undang-Undang tentang Cipta Kerja. UU Nomor 11 Tahun 2020, LN Tahun
2020 Nomor 245, TLN Nomor 6573.
_______. Peraturan Presiden tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan. Perpres Nomor 59 Tahun 2017, LN Tahun 2017 Nomor 136.
Polandia. The Republic, Poland’s Constitution of 1997 with Amendments through 2009.
Portugal. Portugal’s Constitution of 1976 with Amendments through 2005.
Prancis. France’s Constitution of 1958 with Amendments through 2008.
Spanyol. Spain’s Constitution of 1998 with Amendments through 2011.

Website:
Sustainable Development, United Nations,
https://sustainabledevelopment.un.org/content/documents/1579SDGs%20Proposal.pdf.

21

Anda mungkin juga menyukai