Anda di halaman 1dari 22

Internalisasi Rencana Adaptasi Dampak Perubahan Iklim dalam

Kebijakan Penataan Ruang di kawasan perkotaan

Nadia Astriani
Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran
Jl. Dipati Ukur no. 35 Bandung
nadia.astriani@unpad.ac.id

Abstrak

Adaptasi dalam konteks perubahan iklim digambarkan sebagai upaya


menyesuaikan diri dalam mengatasi perubahan iklim dan lingkungan. Ketidakmampuan
daerah melakukan adaptasi dapat menyebabkan bencana, maka proses adaptasi tidak
dapat dipisahkan dalam rencana penanggulangan bencana. Bencana yang muncul
akibat perubahan iklim tidak dapat dilepaskan dari kegiatan manusia. Oleh karena itu
kegiatan manusia yang berdampak buruk bagi lingkungan atau mempercepat proses
perubahan iklim harus dikendalikan. Pengendalian kegiatan manusia dalam rangka
pembangunan di Indonesia dilakukan dengan membatasi kegiatan tersebut pada
wilayah-wilayah yang sudah ditentukan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah. Artikel ini
akan membahas tentang upaya internalisasi proses adaptasi terhadap dampak
perubahan iklim dalam kebijakan penataan ruang dalam di kawasan perkotaan.

Penelitian ini mendekati permasalahan hukum perubahan iklim secara utuh-


menyeluruh, yaitu dengan pendekatan dari : segi pengkajian secara lintas disiplin ilmu,
baik bidang-bidang hukum dalam lingkungan ilmu hukum (interdisipliner) maupun lintas
disiplin ilmu lainnya di luar ilmu hukum (multidisipliner), dan segi pengelolaannya
secara lintas sektoral, lintas wilayah dan lintas pemangku kepentingan (terpadu).

Kata Kunci : adaptasi, perubahan iklim, tata ruang

A. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Secara mendasar persoalan perubahan iklim muncul dari perilaku manusia dalam
memperlakukan dan mengelola lingkungan hidup. Namun dampak yang ditimbulkan
berpengaruh terhadap bidang pembangunan lainnya. Oleh sebab itu konsep adaptasi
dibutuhkan dalam merangkai ulang tindakan untuk mengurangi kerentanan terhadap
bahaya atau ancaman iklim secara umum dan tidak hanya berkaitan dengan dampak
perubahan iklim yang diakibatkan aktivitas manusia. Perhatian masyarakat internasional
dan nasional terhadap agenda adaptasi perubahan iklim telah mengalami peningkatan
seiring dampak yang ditimbulkan dan dirasakan oleh hampir semua bangsa di dunia ini.
Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) menyebutkan bahwa sebagian besar
bencana yang terjadi selama 1851-2012 merupakan bencana hidrometeorologis. Untuk
bencana tanah longsor, Indonesia menduduki peringkat pertama dari 165 negara,
dengan korban manusia 197.327. Untuk banjir, peringkat ke 6 dari 162 negara dengan
1.101.507 orang terkena dampaknya. Rendahnya kualitas pengelolaan lingkungan dan
pelanggaran tata-ruang wilayah/kota disertai ancaman perubahan iklim saat ini
menjadikan wilayah/kota dalam tingkat yang rentan (vulnerable). Hal ini menunjukkan
pentingnya adaptasi sebagai upaya strategi pengurangan bencana.

Rencana Adaptasi Perubahan iklim di Indonesia dikembangkan oleh kelompok


kerja (pokja) adaptasi yang berada dibawah Dewan Nasional Perubahan Iklim. Pokja
adaptasi berjalan pada koridor tugas yang dimandatkan oleh Peraturan Presiden
(Perpres) nomor 46 tahun 2008, yaitu (turut memfasilitasi) perumusan kebijakan,
strategi, program nasional adaptasi dan mengkoordinasikannya serta (membantu
fungsi) pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kegiatan. Arah strategis penanganan
perubahan iklim DNPI adalah mewujudkan pembangunan rendah emisi karbon dan
pembangunan berkelanjutan yang mampu beradaptasi terhadap perubahan iklim. Oleh
karenanya, program adaptasi diarahkan pula untuk mendukung kebijakan strategis
DNPI, yaitu diprioritaskan pada upaya penguatan kapasitas adaptasi pada tingkat
nasional dan daerah. Pada tingkat daerah, fokus perhatian terhadap pengembangan
kegiatan adaptasi dalam perencanaan pembangunan daerah. Pengendalian kegiatan
manusia dalam rangka pembangunan di Indonesia dilakukan dengan membatasi
kegiatan tersebut pada wilayah-wilayah yang sudah ditentukan dalam Rencana Tata
Ruang Wilayah.

Berdasarkan pemaparan diatas, makalah ini akan membahas mengenai upaya


internalisasi rencana adaptasi perubahan iklim kedalam kebijakan penataan ruang di
kawasan perkotaan dan kendalan-kendala yang dihadapi dalam melaksanakan upaya
tersebut.

2. Tinjauan Pustaka

Konstitusi negara Indonesia menegaskan bahwa Indonesia adalah negara


hukum1. Dengan cita hukum (rechts idee) demikian, maka segala upaya pencapaian
tujuan negara harus dilakukan sesuai dengan hukum dengan berlandaskan pada
falsafah negara, yaitu Pancasila. Hal ini sejalan dengan pendapat Grotius yang
menegaskan jika negara akan membentuk hukum, isi hukum itu haruslah ditujukan
untuk mencapai apa yang menjadi tujuan negara 2. Dalam konteks negara Indonesia,
maka tujuan hukum haruslah berorientasi pada tujuan negara, yang ditegaskan dalam
alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Tujuan negara dalam melindungi segenap
bangsa, dapat diwujudkan melalui berbagai cara, salah satunya dengan hukum yang
melindungi segenap bangsa serta berkeadilan sosial. Mochtar Kusumaatmadja
menyatakan hukum sebagai keseluruhan asas dan kaidah-kaidah yang mengatur
hubungan manusia dalam masyarakat 3. Dengan pemahaman tersebut, maka hukum
berfungsi untuk menjamin keteraturan (kepastian) dan ketertiban, sedangkan tujuan
hukum tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai dan falsafah hidup yang menjadi dasar
hidup masyarakat yang bermuara kepada keadilan 4. Pengertian hukum yang memadai
menurut Mochtar Kusumaatmadja, tidak cukup hanya memandang hukum sebagai

1
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Amandemen ke-3
2
Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Unpad, Bandung, 1960: hlm. 22
3
Mochtar Kusumaatmadja dan B Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum : Suatu Pengenalan
Pertama Ruang Lingkup berlakunya Ilmu Hukum, PT Alumni Bandung, 2000, hlm.4.
4
Ibid
suatu perangkat kaidah dan asas-asas yang mengatur kehidupan manusia dalam
masyarakat, tapi mencakup pula lembaga (institution) dan proses (process) yang
diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam kenyataan 5. Dalam masyarakat berlaku
aturan-aturan yang menentukan hubungan antara manusia. Hukum mengambil tempat
yang penting dalam aturan itu terutama untuk menjaga agar kepentingan dapat
dirumuskan menjadi kesatuan yang harmonis 6.

Dalam upaya mencapai tujuan negara, konsep negara kesejahteraan (welfare state)
diarahkan mewujudkan kegiatan penyelenggaraan negara yang ikut aktif secara
langsung dalam urusan-urusan yang menyangkut kesejahteraan rakyat. 7 Konsep
negara ini mengutamakan perlindungan konstitusi terhadap hak-hak warga negara,
kebebasan menyatakan pendapat dan peran serta masyarakat yang luas dalam
penyelenggaraan negara. Konsep negara kesejahteraan tidak hanya mencakup
deskripsi mengenai sebuah cara pengorganisasian kesejahteraan (welfare) atau
pelayanan sosial (socialservices), melainkan juga sebuah konsep normatif atau sistem
pendekatan ideal yang menekankan bahwa setiap orang harus memperoleh pelayanan
sosial sebagai haknya. 8 Internalisasi sebagai suatu penghayatan terhadap suatu ajaran,
doktrin, atau nilai sehingga merupakan keyakinan dan kesadaran akan kebenaran
doktrin atau nilai yang diwujudkan dalam sikap dan perilaku. 9

Hukum Lingkungan adalah hukum yang berhubungan dengan lingkungan alam


dalam arti seluas-luasnya. Ruang lingkupnya berkaitan dengan dan ditentukan oleh
ruang lingkup pengelolaan lingkungan. Sebagai hukum yang berorientasi kepada

5
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Bina Cipta,
1976. hlm.15.
6
Bandingkan dengan N.E. Algra, K. Van Duyvendijk, dkk, Mula Hukum : Beberapa bab mengenai
hukum dan ilmu untuk pendidikan hukum dalam pengantar ilmu hukum, Bina Cipta, 1983, hlm.15.
7
Mashudi dalam S.F Marbun, dkk, Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara,
Cetakan Pertama, UII Press, Yogyakarta, 2001, hlm. 67.
8
Edi Suharto, Peta Dan Dinamika Welfare State Di Beberapa Negara: Pelajaran Apa Yang Bisa
Dipetik Untuk Membangun Indonesia, Makalah pada Seminar “Mengkaji Ulang Relevansi Welfare State
dan Terobosan melalui Desentralisas Otonomi di Indonesia”, Institute for Research and Empowerment
(IRE) Yogyakarta dan Perkumpulan Prakarsa Jakarta, Wisma MM Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 25
Juli 2006, hlm.4-5.
9
http://kbbi.web.id/internalisasi
lingkungan yang sifat dan hakekatnya adalah utuh menyeluruh (komprehensif
integral) 10, hukum lingkungan berpandangan semua komponennya senantiasa saling
berhubungan dan saling mempengaruhi dengan segenap unsur yang memperlihatkan
keanaeka-ragaman 11. Hukum lingkungan modern menurut Munadjat menetapkan
ketentuan dan norma-norma guna mengatur tindak perbuatan manusia dengan tujuan
untuk melindungi lingkungan dari kerusakan dan kemerosotan mutunya demi untuk
menjamin kelestarian agar dapat secara langsung dan terus menerus digunakan oleh
generasi sekarang dan generasi yang akan datang 12. Dalam perkembangannya hukum
lingkungan selain berfungsi sebagai social control dengan peran agent of stability,
tetapi juga berfungsi sebagai sarana pembangunan (a tool of social engineering)
dengan peran sebagai agent of development atau agent of change 13. Dalam Caring for
the Earth: a Strategy for Sustainable Living dijelaskan tentang peranan hukum
lingkungan sebagai berikut:
1. Memberi efek kepada kebijakan-kebijakan yang dirumuskan dalam
mendukung konsep pembangunan yang berkelanjutan.
2. Sebagai sarana penaatan melalui penerapan aneka sanksi (variety of
sanctions)
3. Memberi panduan kepada masyarakat tentang tindakan-tindakan yang
dapat ditempuh untuk melindungi hak dan kewajibannya.
4. Memberi definisi tentang hak dan kewajiban dan perilaku-perilaku yang
merugikan masyarakat
5. Memberi dan memperkuat mandat serta otoritas kepada aparat
pemerintah terkait untuk melaksanakan tugas dan fungsinya.

Sebagian besar sumber pendapatan ekonomi bangsa Indonesia sangat


bergantung kepada kondisi iklim. Pertanian, perkebunan dan perikanan adalah contoh
dari sektor utama pembangkit ekonomi sekaligus pilar penyangga ketahanan pangan.

10
Munadjat Danusaputro, Op. Cit, hlm. 86.
11
Ibid, hlm 71.
12
Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, hlm. 38
13
Siti Sundari Rangkuti, 1996
Oleh sebab itu adanya faktor luar terhadap kondisi iklim yang dapat mengganggu sudah
pasti berpengaruh buruk pada sumber-sumber ekonomi tadi. Dalam lingkup lokal,
ancaman dan dampak perubahan iklim berpotensi menimbulkan gangguan ekonomi
secara mikro. Bila saja ancaman perubahan iklim ini terlambat untuk diantisipasi secara
nasional maka dapat dipastikan terjadi gangguan ekonomi secara makro. Artinya begitu
besar tantangan yang harus dibenahi yang membutuhkan upaya luar biasa, mulai dari
rencana pembangunan, dukungan pendanaan dan tentunya teknologi. Namun
tentunya, belum terpenuhinya langkah-langkah atau upaya tadi bukan berarti tak ada
upaya serius yang harus dilakukan karena ancaman dan dampak perubahan iklim serta
iklim ekstrem telah dirasakan pengaruhnya. 14

Adaptasi merupakan salah satu respon terhadap perubahan iklim, disamping


upaya mitigasi perubahan iklim, yaitu intervensi manusia secara langsung untuk
mengurangi sumber gas rumah kaca (contohnya melalui penanaman pohon, efesiensi
penggunaan listrik dan bahan bakar, dan sebagainya). Adaptasi perubahan iklim
didefinisikan sebagai penyesuaian secara alamiah maupun oleh sistem manusia dalam
merespon stimuli iklim aktual atau yang diperkirakan dan dampaknya, menjadi
ancaman yang moderat atau memanfaatkan peluang yang menguntungkan 15.

Upaya adaptasi yang dilakukan sejak dini dapat mengurangi kerugian akibat
bencana secara signifikan. Penelitian SEI, IUCN, dan IISD pada tahun 2001
menunjukkan setiap 1 US$ yang dikeluarkan untuk melakukan adaptasi dapat
menyelamatkan sekitar 7 US$ biaya yang harus dikeluarkan untuk pemulihan bencana
iklim. Jika tidak ada upaya adaptasi yang terencana dilakukan dari sekarang, tahun
2050 diperkirakan kerugian ekonomi mencapai US$ 300 milyar/tahun dan jumlah
kematian bisa mencapai 100 ribu orang/tahun 16.

14
Bandingkan dengan Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban Bangsa, Lima Tahun DNPI hal
47-50
15
Intergovermental Panel on Climate Change Report, 2001
16
Ari Muhamad, Ibid, hal 20-21
Richard J. T. Klein menyebutkan bahwa capaian utama dari kegiatan adaptasi
dan pembangunan akan mampu mencapai harapan terwujudnya sumber penghidupan
ekonomi yang berkelanjutan, yang dapat membantu meningkatkan nilai atau modal
manusia secara individu dan sosial, melindungi dan memperbaiki alam dan lingkungan
serta menjamin nilai finansial dan fisik secara tepat. Ancaman perubahan iklim terhadap
pembangunan berkelanjutan (sustainable development) akan memperlambat
pencapaian pembangunan berkelanjutan, baik langsung maupun tidak langsung. Untuk
mendorong berkelanjutan, maka pembangunan harus secara tegas memasukkan
persoalan adaptasi perubahan iklim serta mendorong kemampuan adaptasinya. Dengan
mendorong pengarusutamaan adaptasi perubahan iklim kedalam agenda pembangunan
nasional atau daerah, pertimbangan-pertimbangan risiko dan dampak perubahan iklim
diterjemahkan tidak saja dalam rencana strategis jangka menengah, namun juga ke
dalam kebijakan dan struktur kelembagaan. Pengarusutamaan strategi adaptasi ke
dalam kebijakan tiap sektor di tingkat nasional dan local merupakan prioritas yang tidak
bisa ditawar-tawar. Tujuan pengintegrasian pembangunan dan adaptasi menurut
Sperling dalam tulisan Richard J.T. Klein berjudul Mainstreaming Climate Adaptation
into Development: A Policy Dilemma adalah mendukung keberlanjutan sumber daya
alam kehidupan ekonomi masyarakat serta mewujudkan tata kelola yang lebih baik
yang mampu merespon, berperan dan dapat lebih bertanggungjawab dalam setiap
pembuatan dan pengambilan keputusan 17.

Penataan Ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan
pengendalian pemanfaatan ruang 18. Adapun tujuan penyelenggaraan penataan ruang
adalah 19 :

a. Terselenggaranya pemanfaatan ruang berwawasan lingkungan berlandaskan


Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional

17
Ibid
18
Bandingkan dengan pasal 1 angka 5 Undang-Undang no.26 tahun 2007 tentang Penataan
Ruang
19
Bandingkan dengan pasal 3 Undang-Undang no. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang
b. Terselenggaranya pengaturan pemanfaatan ruang kawasan lindung dan
kawasan budi daya
c. Tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas .
Penyelenggaraan penataan ruang merupakan serangkaian kegiatan pengaturan,
pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang yang harus dilakukan
sesuai kaidah penataan ruang untuk mewujudkan ruang yang aman, nyaman,
produktif, dan berkelanjutan. Dalam menyelenggarakan penataan ruang masih
menghadapi berbagai kendala, antara lain pengaturan penataan ruang yang masih
belum lengkap, pelaksanaan pembinaan penataan ruang yang masih belum efektif,
pelaksanaan penataan ruang yang masih belum optimal, dan pengawasan penataan
ruang yang masih lemah 20.

Pada prinsipnya, penataan ruang sangat berkaitan dengan lingkungan. Ruang


yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi,
adalah tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara
kelangsungan hidupnya, pada dasarnya ketersediaannya tidak tak terbatas. Berkaitan
dengan hal tersebut, dan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yangaman,
nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan
Ketahanan Nasional, Undang-Undang no26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang
mengamanatkan perlunya dilakukan penataan ruang yang dapat mengharmoniskan
lingkungan alam dan lingkungan buatan, yang mampu mewujudkan keterpaduan
penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan, serta yang dapat
memberikan pelindungan terhadap fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif
terhadap lingkungan hidup akibat pemanfaatan ruang. Kaidah penataan ruang ini harus
dapat diterapkan dan diwujudkan dalam setiap proses perencanaan tata ruang
wilayah 21.

20
Nadia Astriani,Peran Serta Masyarakat dalam Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau di Kota
Bandung, UNPAD, 2013
21
Ibid
Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang telah berlaku selama 7
(tujuh) tahun, dan telah diikuti dengan penetapan sejumlah peraturan perundang-
undangan yang menjadi peraturan pelaksanaannya, termasuk di antaranya Peraturan
Pemerintah No. 15 tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang serta produk-
produk peraturan daerah tentang rencana tata ruang. Penetapan peraturan daerah
tentang rencana tata ruang, membawa konsekuensi terhadap tuntutan pelaksanaan
pemanfaatan ruang yang sesuai dengan rencana serta tanggung jawab dalam
mengendalikan pemanfaatan ruang tersebut. Pentingnya tercipta tertib tata ruang
dalam rangkaian penyelenggaran penataan ruang adalah supaya rencana tata ruang
ideal yang memperhatikan aspek lingkungan, sosial, ekonomi, dan budaya dapat benar-
benar terwujud.

Diperkirakan pada tahun 2050, sekitar 70% dari 6,4 miliar populasi dunia akan
hidup di perkotaan yang berpotensi melahirkan persoalan dan tantangan serta peluang
di bidang perumahan, kesehatan, pendidikan, transportasi, dan berbagai pelayanan
publik lainnya. Pemusatan penduduk di wilayah daerah yang kecil menyebabkan
penurunan drastis kualitas hidup sosial dan lingkungan. Adanya ancaman perubahan
iklim menjadikannya sebagai faktor yang turut memperparah kondisi yang ada, dan
tentu ini semakin menempatkan perkotaan sebagai kawasan yang sangat rentan dari
akibat yang ditimbulkan oleh perubahan iklim. Dari dua puluh kota besar, tujuh belas
diantaranya berada di dunia berkembang pada akhir dekade ini. Oleh sebab itu,
pemerintah kota di negara-negara berkembang berada di bawah tekanan yang luar
biasa besar untuk menyediakan pelayanan dan infrastruktur dasar bagi penduduk 22.

Kota adalah sebuah sistem yang harus dibuat tahan (resilience).Ketahanan dan
adaptasi menjadi sangat penting karena adanya kerentanan pada sistem perkotaan.
Sebagai sebuah sistem, kota terdiri dari berberapa bagian wilayah (sub-sistem) yang
masing-masing memiliki fungsi dan elemen berbeda. Sebagai sebuah sistem, setiap
sub-sistem tadi saling terhubung dan secara bersama-sama menciptakan fungsi kota.

22
Ari Muhammad, Ibid, hal 22
Kesalahan atau kerusakan salah satu sub-sistem perkotaan atau satu bagian wilayah
perkotaan secara ekstrim akan dapat mempengaruhi sub-sistem lainnya, bahkan sistem
secara keseluruhan. Pada dasarnya, sistem ketahanan kota diharapkan mampu
memelihara fungsi utama kota dari berbagai bentuk tekanan dan kejutan yang
dihasilkan dari dampak-dampak perubahan iklim serta mampu membuat kota pulih
dengan cepat dari dampak tersebut 23. Oleh karena itu, perkotaan tidak bisa dilihat
secara sektoral. Dampak sosial budaya, ekonomi, dan lingkungan wilayah perkotaan
tidak dapat dibatasi pada batas-batas administratifnya. Kompleksitas lingkup isu dan
dinamika persoalan lingkungan perkotaan saat ini mendorong dilakukannya perlakuan
dan pendekatan yang berbeda dalam mengembangkan strategi pembangunan untuk
menciptakan ketahanan wilayah perkotaan dari ancaman kerusakan lingkungan 24.

Arahan pemanfaatan ruang wilayah kota berisi indikasi program utama jangka
menengah lima tahunan. Rencana tata ruang wilayah kabupaten menjadi dasar untuk
penerbitan perizinan lokasi
pembangunan dan administrasi pertanahan. Beberapa rincian dalam rencana tata ruang
wilayah kota juga meliputi :
a. rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau;
b. rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka nonhijau; dan
c. rencana penyediaan dan pemanfaatan prasarana dan sarana jaringan
pejalan kaki, angkutan umum, kegiatan sektor informal, dan ruang
evakuasi bencana, yang dibutuhkan untuk menjalankan fungsi wilayah
kota sebagai pusat pelayanan sosial ekonomi dan pusat pertumbuhan
wilayah.

B. Metode Penelitian

23
Dokumen strategi ketahanan kota Semarang, BAPPEDA KOTA SEMARANG
24
Ary Muhammad, Ibid, hal 23
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif 25 dengan metode
penafsiran hukum. Penafsiran hukum yang dimaksud adalah penafsiran gramatikal,
autentikal, sistemik untuk menyusun struktur asas dan norma, termasuk lembaga dan
proses yang mengatur perubahan iklim, kemudian dilakukan penafsiran filosofikal,
historikal, teleologikal, ekstensif dan restriktif, untuk mengetahui pengaturan
pengelolaan lingkungan yang berlaku. Sifat penelitian deskriptif dipilih karena
description is the precise measurement and reporting of the characteristics of some
population or phenomenon under study. 26

Penelitian ini mendekati permasalahan hukum perubahan iklim secara utuh-


menyeluruh, yaitu dengan pendekatan lintas disiplin ilmu, baik bidang-bidang hukum
dalam lingkungan ilmu hukum (interdisipliner) maupun lintas disiplin ilmu lainnya di luar
ilmu hukum (multidisipliner), selain itu pendekatan juga dilakukan dengan lintas sektor,
lintas wilayah dan lintas pemangku kepentingan (terpadu).
Pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, yaitu
penelitian hukum yang dilakukan dengan menelusuri, mengkaji, dan meneliti data
sekunder (kepustakaan) yang berkaitan dengan materi penelitian.Data sekunder yang
diperoleh dari bahan hukum primer yaitu berbagai peraturan perundang-undangan dan
kebijakan mengenai hukum lingkungan. Terhadap data yang telah dikumpulkan, baik
data sekunder sebagai hasil studi kepustakaan maupun data primer sebagai hasil studi
lapangan, dianalisis secara kualitatif dengan pendekatan abstrak-teoretis. 27 Pendekatan
abstrak-teoritis mempunyai arti penting dalam penelitian hukum normatif, mengingat

25
Soerjono Soekanto, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan
Singkat, Cetakan Keenam, Jakarta, 2003, Hlm. 83, dan Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia
pada Akhir Abad ke – 20, Alumni, Bandung, 1994, Hlm. 141.
26
Earl Babbie, The Practice of Social Research, Wadsworth Publishing Co., Belmont, fourth
edition, California, 1986, hlm. 91.

27
Maria S.W. Sumardjono, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, makalah pada Seminar
tentang Metodologi Penelitian bagi Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 12 April, Yogyakarta,
1989, hlm. 25.
hukum memiliki struktur logika yang sangat kuat. 28 Terdapat relasi yang erat antara
hukum dan logika, bahkan sifat logis merupakan sifat khusus dari hukum. 29 Hasil
analisis ini kemudian dipaparkan dalam bentuk deskriptif. Data yang bersifat kuantitatif
sepanjang diperlukan akan disajikan dalam bentuk tabel-tabel dengan maksud untuk
memudahkan pemahaman dan analisis. Analisis data dilakukan dengan metode-metode
penafsiran hukum seperti penafsiran historis, penafsiran sistematis (logis), penafsiran
sosiologis, dan penafsiran futuristis. 30

C. Hasil dan Pembahasan


1. Upaya Internalisasi Rencana Adaptasi Perubahan Iklim dalam Kebijakan
Penataan Ruang Perkotaan
Pada tahun 2009, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)
menerbitkan Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR), dimana salah satu
isu tematik yang diberikan arahan secara detail untuk merespon dan mengantisipasi
ancaman perubahan iklim adalah sektor-sektor strategis, seperti pesisir dan perikanan,
pertanian dan kesehatan dalam kerangka kesiapan kebijakan nasional. Dokumen ICCSR
ini diharapkan memberi pengaruh terhadap Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) periode 2009 – 2014. Di tahun 2010, Bappenas menerbitkan Rencana
Kerja Pembangunan (RKP) tahun 2010 yang menetapkan fokus prioritas peningkatan
kapasitas adaptasi perubahan iklim dan mitigasi bencana alam sebagai salah satu fokus
dalam prioritas nasional. Saat ini tercatat 5 (lima) sektor utama yang telah memiliki
kebijakan dan strategi adaptasi perubahan iklim, yaitu; sektor pertanian, sektor pesisir,
kelautan, perikanan dan pulau-pulau kecil, sektor kesehatan, sektor pekerjaan umum
dan sektor kebencanaan, melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

28
Paul Scholten diterjemahkan oleh B. Arief Sidharta, Struktur Ilmu Hukum (De Structuur der
Rechtswetenschap) diterjemahkan oleh B. Arief Sidharta, Almuni, cetakan pertama, Bandung, 2003, hlm.
25.
29
Hans Kelsen diterjemahkan oleh B. Arief Sidharta, Hukum dan Logika (Essays in Legal and
Moral Philosophy), diterjemahkan oleh B. Arief Sidharta, Alumni, cetakan kedua, Bandung, 2002, hlm. 27.
30
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar, Liberty, edisi pertama,
Yogyakarta, 1996, hlm. 57-61.
Pemerintah Indonesia telah mengembangkan berbagai kebijakan yang berkaitan
dengan adaptasi perubahan iklim. Meskipun tidak semua menyebutkan secara tegas
kata adaptasi perubahan iklim pada pengaturannya, tetapi pengarusutamaan adaptasi
perubahan iklim ke dalam kebijakan sudah dilakukan.

2 (dua) contoh kebijakan dari beberapa kebijakan yang telah dikeluarkan


Kementerian Pertanianyang dikeluarkan sebagai respon terhadap perubahan iklim atau
dinilai memiliki keterkaitan degan upaya adaptasi, yaitu Undang-undang (UU) Nomor 41
Tahun 2009 mengenai Perlindungan Lahan Pertanian Pangan berkelanjutan dan
Peraturan Menteri no. 39/Permentan/OT.140/6/2010 mengenai Pedoman Perizinan
Usaha Budidaya Tanaman Pangan. Program aksi dari kebijakan-kebijakan tersebut
adalah pengembangan teknologi panen air dan efesiensi penggunaan air seperti irigasi
tetes dan mulsa serta pengembangan teknologi pengelolaan tanah dan tanaman untuk
meningkatkan daya adaptasi tanaman 31.

Pada sektor pesisir dan kelautan, tercatat 20 kebijakan yang diterbitkan dalam
rangka adaptasi perubahan iklim yang kemudian diterjemahkan ke dalam program aksi.
Untuk tingkat UU, terdapat ketentuan mengenai pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil (UU No. 27 Tahun 2007), UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, UU No.
27 Tahun 2007 tentang Sistem Penyuluhan dan UU tentang Perikanan nomor 31 tahun
2004. Untuk sektor kesehatan, melalui Kementerian Kesehatan telah diterbitkan
Peraturan Menteri Nomor 1018/MENKES/PER/V/2011 tentang Strategi Adaptasi Sektor
Kesehatan Terhadap Dampak Perubahan Iklim, yang disusul dengan terbitnya program
aksi yang diantaranya adalah sosialisasi dan advokasi adaptasi terhadap dampak
perubahan iklim, pemetaan populasi dan daerah rentan perubahan iklim, peningkatan
sistem tanggap perubahan iklim, peningkatan pemberdayaan masyarakat dalam
adaptasi perubahan iklim sesuai kondisi setempat serta program-program aksi lainnya.

31
Dokumen Rencana Aksi Sektor dalam merespon Adaptasi Perubahan Iklim, DNPI, 2012.
Program-program adaptasi di sektor pekerjaan umum dibagi ke empat sub
bidang, yaitu :

1) Sumber Daya Air,


Sumber Daya Air (SDA) difokuskan kepada keseimbangan air (kebutuhan dan
ketersediaan), infastruktur SDA yang memadai, penyediaan sumber-sumber air
alternatif, kelengkapan data dan riset, serta konservasi air.
2) Cipta karya,
Untuk sub-bidang cipta karya, mereka memiliki 3 (tiga) strategic goals, yaitu;
1) kontribusipelayanan infratsuktur bagi pertumbuhan ekonomi,

2) kontribusi pelayanan infrastruktur bagi peningkatan kesejahteraan


masyarakat,

3) kontribusi infratruktur bagi peningkatan kualitas lingkungan.

3) Jalan dan Jembatan,

Untuk sub-bidang Jalan dan Jembatan, upaya seperti penanaman pohon dipinggir
jalan, membuat drainase dengan memperpanjang waktu run off, pemindahan jalan
ke kawasan yang lebih aman dari pengaruh kenaikan permukaan air laut dan
pembangunan tanggul-tanggul di daerah pantai adalah beberapa kegiatan yang
menjadi perhatian mereka.

4) Penataan Ruang.

Yang terakhir adalah sub-bidang penataan ruang, dimana upaya adaptasi dilakukan
dalam tataran pengarus-utamaan perubahan iklim dalam sistem penataan
ruangnasional. Artinya, adalah penjaminan bahwa penataan ruang yang dilakukan
telah mempertimbangkan proyeksi perubahan iklim di masa datang serta menjamin
bahwa penataan ruang yang dilakukan tidak meningkatkan kerentanan wilayah
terhadap dampak perubahan iklim sekaligus meningkatkan ketahanan wilayah
terhadap dampak perubahan iklim di masa depan.
Berbagai UU dan peraturan pelaksana dari keempat sub bidang tersebut telah menjadi
kebijakan dan rencana aksi adaptasi perubahan iklim pada sektor pekerjaan umum.
Seperti UU No. 7/2004 mengenai Pengelolaan Sumber Daya Air, yang kemudian
dibuatkan program aksinya seperti meningkatkan manajemen prasarana SDA dalam
rangka mendukung penyediaan air dan ketahanan pangan. Masing-masing kebijakan
dan program aksi dibuat ketentuan pelaksananya dalam tingkat Peraturan Pemerintah
dan Peraturan Menteri. Kebijakan dan program aksi Sub-Bidang Penataan Ruang adalah
UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang kemudian dirumuskan kepada
program aksi seperti: penyediaan akses dan pengolahan terhadap data dan informasi
terkait perubahaniklim terhadap tata ruang, perencanaan ruang, pemanfaatan ruang,
pengendalian ruang, peningkatan kapasitas kelembagaan dan pembinaan penataan
ruang serta pengawasan.

Adapun tahapan pembuatan strategi adaptasi bisa dilakukan sebagaimana berikut :

1. Pembuatan Kajian Kerentanan Perubahan Iklim (Vulnerability Assesssment)

Target dalam program ini adalah:

a. Diketahuinya bidang dan wilayah yang berpotensi rentan ancaman


perubahaniklim.

b. Diperolehnya faktor pendukung dan pengancam, baik dari sisi eksternal jika
terkait dengan kebijakan Pemerintah Pusat dan internal jika terkait kebijakan
pemerintah setempat.

c. Diterimanya hasil kajian sebagai informasi pendukung dalam merumuskan


rencana pembangunan.

d. Terjalinnya komunikasi dengan key stakeholder atau target sasaran daripihak


yang berpengaruh terhadap keberhasilan atau kegagalan dalam
mengimplementasikan kebijakan dan kegiatan.

2. Penyusunan kebijakan. Substansi yang disampaikan diantaranya adalah:


a. Keterkaitan antara kebijakan adaptasi perubahan iklim dengan kehidupan
sosial, ekonomi, dan kualitas lingkungan hidup serta dampaknya terhadap pihak
yang akan dibebani kebijakan ini dan sasaran/target dari kondisi yangakan
diperbaiki.

b. Adanya gambaran pembagian kerja/peran masing-masing stakeholder untuk


mencapai tujuan dari diberlakukannya kebijakan strategi adaptasi perubahan
iklim.

c. Munculnya kebutuhan yang harus diisi, dilakukan, disiapkan dalam mendukung


pelaksanaan kebijakan adaptasi perubahan iklim dengan tepat danbaik.

3. Menyiapkan instrumen-instrumen pelaksana. Bagian ini akan menampilkan:

a. Pilihan-pilihan perangkat/instrument teknis dan kebijakan lainnya yang


dibutuhkan untuk mendorong pelaksanaan strategi adaptasi perubahaniklim
secara tepat dan baik.

b. Pilihan-pilihan perangkat/instrumen ekonomi untuk mendukung pelaksanaan


kebijakan yang ditawarkan (misalnya mana yang membutuhkan insentif,subsidi
dan berapa nilai yang diberikannya serta bagaimana bentuknya).

4. Membangun peningkatan kapasitas melalui pelatihan/training.

a. Kegiatan yang disesuaikan dengan kebijakan, program dan rencana kerja


adaptasi pada tingkat nasional dan daerah masing-masing serta menjawab
kerentanan serta pilihan-pilihan adaptasinya.
b. Peningkatan kapasitas harus memperhatikan dinamika internasional,
misalnyaisu loss and damage, yang membutuhkan pengetahuan,
informasiserta penelitian yang bersifat terukur, seperti kehilangan wilayah
dan ekosistem serta kerugian ekonomi, namun juga kehilangan yang tidak
terukur, seperti nilai sosial dan budaya sebuah masyarakat yang kehilangan
wilayahnya akibat dampak perubahan iklim.
5. Membangun Mekanisme komunikasi antara stakeholders.

Dibentuknya lembaga yang secara formal memfasilitasi komunikasi antar


stakeholders. Kegiatan minimal yang dapat dilakukan misalnya saling tukar
dan berbagi informasi melalui kegiatan diskusi sampai kepada program dan
kegiatan yang dilaksanakan secara bersama pada tingkat masyarakat

Kajian kerentanan sebagai dasar pembuatan kebijakan adaptasi diletakkan


sebagai basis utama kegiatan dan menjadi landasan rangkaian kegiatan adaptasi
lainnya 32. Potret kerentanan ancaman perubahan iklim suatu wilayah sangat
dipengaruhi oleh faktor-faktor non iklim lainnya. Indeks kerentanan tiap wilayah dapat
berbeda atau sama tergantung dari kondisi geografis, demografis serta kondisi-kondisi
yang ada di dalamnya seperti lingkungan, sosial dan ekonomi setempat. Potret
kerentanan yang diletakkan pada peta spasial yang telah mempertimbangkan dan
memperhitungkan variabel atau aspek-aspek yang mempengaruhi tingkat kerentanan
akan membantu para pembuat kebijakan dalam merumuskan strategi dalam mencapat
target pembangunan, khususnya strategi dan rencana aksi adaptasi dan pengendalian
risiko bencana sebagai alat untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

Kegiatan ini akan menjadi faktor pendukung kegiatan policy reform dan capacity
building sebagai elemen utama dalam pencapaian tujuan besar proyek adaptasi di
Indonesia, yaitu terwujudnya pengarus-utamaan adaptasi dalam rangka mencapai
target pembangunan yang telah ditetapkan. Pembuatan peta/kajian kerentanan
sebetulnya telah banyak dilakukan oleh berbagai Departemen, Dinas dan organisasi non
pemerintah lainnya. Namun demikian,masih sedikit yang memasukkan pertimbangan
perubahan iklim di dalamnya.

Pemerintahan dan lembaga merupakan dua faktor penentu yang akan


mempengaruhi ketahanan kota terhadap dampak perubahan iklim. Pemerintahan yang
baik dan lembaga yang kuat akan membawa kota lebih tahan terhadap dampak

32
Diringkas dari Kajian Kerentanan dan Adaptasi terhadap perubahan iklim di Kota Semarang
tahun 2010
perubahan iklim. Ada tiga aspek penting yang perlu dinilai untuk mengkaji ketahanan
kota terhadap perubahan iklim:

1. Bagaimana stakeholder memainkan peran mereka dalam mengelola risiko


iklim.
2. Apa yang menjadi inisiatif saat ini dan program (pendek dan jangka
panjang) untuk mengatasi risiko iklim dan seberapa efektif mereka.
3. Apa kapasitas pemerintah lokal dan institusi untuk mengintegrasikan
perubahan iklim ke dalam perencanaan jangka pendek dan jangka
panjang dari program pembangunannya.
Manajemen perubahan iklim melibatkan pemangku kepentingan baik internal maupun
eksternal kota. Setiap pemangku kepentingan memiliki peran dan kontribusi mereka
masing-masing terkait adaptasi dan memperkuat ketahanan masyarakat akan
perubahan iklim. Kemitraan ini merupakan pra-kondisi untuk menciptakan masyarakat
yang memiliki kapasitas untuk beradaptasi dengan perubahan iklim. Koordinasi antar
pemangku kepentingan dan sektor harus diperkuat untuk mendapatkan manfaat
maksimal program untuk lingkungan dan masyarakat. Program dan rencana yang
disiapkan oleh pemerintah untuk menangani bencana alam di kota harus tergambar
dalam dokumen perencanaan pembangunan, perencanaan tata ruang dan pengelolaan
bencana.

2. Kendala yang dihadapi dalam internalisasi Rencana Adaptasi Perubahan Iklim


dalam Kebijakan Penataan Ruang Perkotaan dan strategi untuk mengatasinya
Beberapa kendala terkait dengan perencanaan dan program adaptasi perubahan
iklim, antara lain ;

a. kurangnya integrasi, koordinasi dan visi-misi dalam manajemen


perubahan iklim,
b. kurangnya alokasi anggaran untuk mendukung perubahan iklim,
c. perencanaan tata ruang yang tidak efektif untuk mengurangi dan
menyesuaikan dampak perubahan iklim, dan
d. tidak ada dewan pengurus formal atau lembaga yang dibentuk untuk
menangani bencana lokal.
Selain itu, manajemen perubahan iklim baik dalam adaptasi maupun mitigasi dianggap
sebagai konsep baru dan tidak sepenuhnya dipahami oleh semua pemangku
kepentingan di tingkat lokal. Tidak ada kebijakan atau program khusus yang
dikeluarkan berkaitan dengan perubahan iklim baik untuk jangka menengah (5 tahun)
dan jangka panjang (20 tahun). Beberapa LSM lokal dan sektor swasta secara aktif
memberikan kontribusi program terkait perubahan iklim, Namun, program ini
diimplementasikan secara parsial dengan koordinasi terbatas antara pemangku
kepentingan. Dana yang dialokasikan untuk mengatasi perubahan iklim juga terbatas.
Lembaga pemerintah daerah yang bertanggung jawab terhadap masalah lingkungan
menerima alokasi anggaran yang sangat rendah. Pemerintah kota juga kesulitan
menautkan aksi-aksi adaptasi perubahan iklim pada rencana-rencana tata ruangnya,
baik yang sudah ada maupun yang baru, yang telah dikembangkan dan dituangkan ke
dalam berbagai kebijakan. Upaya memprioritaskan intervensi rencana tata ruang harus
dilakukan secara bersamaan dengan peningkatan infrastruktur yang sudah ada dan
ditujukan untuk mengurangi kerentanan terhadap perubahan iklim.
Adapun beberapa strategi yang bisa dilakukan adalah melakukan pengarusutamaan
isu perubahan iklim ke dalam isu pembangunan, karena selama ini isu perubahan iklim
masih dipandang sebagai isu lingkungan semata-mata. Strategi lain yang harus
dilakukan adalah melibatkan berbagai unsur masyarakat dalam pelaksanaan program,
karena adaptasi adalah upaya menyesuaikan diri dalam mengatasi perubahan iklim dan
lingkungan. Upaya tersebut harus dilakukan bersama-sama dengan seluruh unsur
terkait, agar berjalan efektif. Hal lain yang juga harus disadari adalah proses adaptasi
merupakan proses yang panjang dan tidak berjalan instan, sehingga dalam
merencanakan program-program adaptasi perubahan iklim, pemerintah harus
melakukannya dalam jangka panjang dan bertahap

D. Kesimpulan

1. Ketidakmampuan daerah melakukan adaptasi dapat menyebabkan bencana.


Oleh karena itu proses adaptasi tidak dapat dipisahkan dalam rencana
penanggulangan bencana. Bencana yang muncul akibat perubahan iklim tidak
dapat dilepaskan dari kegiatan manusia. Maka kegiatan manusia yang
berdampak buruk bagi lingkungan atau mempercepat proses perubahan iklim
harus dikendalikan. Proses pengendalian kegiatan ini dilakukan melalui Rencana
Tata Ruang. Dalam pembuatan rencana tata ruang isu perubahan iklim belum
diperhitungkan, sementara di sisi lain Rencana Tata Ruang yang tidak layak akan
menjadikan kota memiliki risiko iklim yang lebih tinggi di masa depan. Hasil
penelitian yang dilakukan di dua Kota yaitu Semarang dan Jakarta menunjukkan
bahwa isu perubahan iklim mulai dipertimbangkan dalam melakukan revisi
RTRW, meskipun demikian program-program adaptasi masih dilakukan secara
parsial dan belum terintegrasi. Persoalan koordinasi dan anggaran, masih
merupakan persoalan klasik yang terjadi di lapangan.
2. Kendala utama dalam memadukan upaya adaptasi perubahan iklim ke dalam
rencana tata ruang adalah minimnya data mengenai tingkat kerentanan suatu
wilayah terhadap bencana. Karena itu tahapan pertama dalam membuat strategi
adaptasi perubahan iklim adalah membuat strategi ketahanan kota terlebih
dahulu. Hal lain adalah masih belum dipahaminya persoalan perubahan iklim
tersebut di tataran pengambil kebijakan, pengambil kebijakan masih kesulitan
mengaitkan isu perubahan iklim ke dalam proses pembangunan, sehingga perlu
dilakukan proses pengarusutamaan isu. Pelibatan berbagai pemangku
kepentingan juga mutlak dilakukan dalam melaksanakan rencana adaptasi
perubahan iklim. Untuk itu perlu dipertimbangkan membuat forum atau lembaga
untuk mengatasi persoalan komunikasi dan koordinasi di tingkat kota.

DAFTAR PUSTAKA

UUD 1945 Amandemen ke-3


Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Unpad, Bandung, 1960: hlm. 22
Mochtar Kusumaatmadja dan B Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum : Suatu
Pengenalan Pertama Ruang Lingkup berlakunya Ilmu Hukum, PT Alumni Bandung,
2000, hlm.4.
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Bina
Cipta, 1976. hlm.15.
N.E. Algra, K. Van Duyvendijk, dkk, Mula Hukum : Beberapa bab mengenai hukum dan
ilmu untuk pendidikan hukum dalam pengantar ilmu hukum, Bina Cipta, 1983, hlm.15.
Mashudi dalam S.F Marbun, dkk, Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi
Negara, Cetakan Pertama, UII Press, Yogyakarta, 2001, hlm. 67.
Edi Suharto, Peta Dan Dinamika Welfare State Di Beberapa Negara: Pelajaran Apa Yang
Bisa Dipetik Untuk Membangun Indonesia, Makalah pada Seminar “Mengkaji Ulang
Relevansi Welfare State dan Terobosan melalui Desentralisas Otonomi di Indonesia”,
Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta dan Perkumpulan Prakarsa
Jakarta, Wisma MM Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 25 Juli 2006, hlm.4-5.

http://kbbi.web.id/internalisasi
Munadjat Danusaputro, Hukum Lingkungan – Buku I : Umum, Binacipta, Bandung, 1982.
Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, Edisi VIII Cetakan 19, Gajah Mada University
Press, 2006. Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijakan Lingkungan Nasional,
Airlangga Universitiy Press, Surabaya, 1996. Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban
Bangsa, Lima Tahun DNPI, DNPI, Jakarta, 2013
Intergovermental Panel on Climate Change Report, 2001
Ari Muhamad, Adaptasi: Sebuah Pilihan yang Mendesak dan Prioritas, DNPI. Bandingkan dengan
Undang-Undang no. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang
Nadia Astriani,Peran Serta Masyarakat dalam Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau di Kota
Bandung, UNPAD, 2013
Dokumen strategi ketahanan kota Semarang, BAPPEDA KOTA SEMARANG
Soerjono Soekanto, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan
Singkat, Cetakan Keenam, Jakarta, 2003, Hlm. 83, dan Sunaryati Hartono, Penelitian
Hukum di Indonesia pada Akhir Abad ke – 20, Alumni, Bandung, 1994, Hlm. 141.
Earl Babbie, The Practice of Social Research, Wadsworth Publishing Co., Belmont,
fourth edition, California, 1986,
Maria S.W. Sumardjono, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, makalah pada Seminar
tentang Metodologi Penelitian bagi Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 12
April, Yogyakarta, 1989, hlm. 25.
Paul Scholten diterjemahkan oleh B. Arief Sidharta, Struktur Ilmu Hukum (De Structuur
der Rechtswetenschap) diterjemahkan oleh B. Arief Sidharta, Almuni, cetakan pertama,
Bandung, 2003, hlm. 25.
Hans Kelsen diterjemahkan oleh B. Arief Sidharta, Hukum dan Logika (Essays in Legal
and Moral Philosophy), diterjemahkan oleh B. Arief Sidharta, Alumni, cetakan kedua,
Bandung, 2002, hlm. 27.
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar, Liberty, edisi pertama,
Yogyakarta, 1996, hlm. 57-61.
Dokumen Rencana Aksi Sektor dalam merespon Adaptasi Perubahan Iklim, DNPI, 2012.

Kajian Kerentanan dan Adaptasi terhadap perubahan iklim di Kota Semarang tahun
2010

Anda mungkin juga menyukai