Anda di halaman 1dari 51

http://suryogilangromadlon.blogspot.co.

id/2011/03/politik-hukum-
lingkungan-di-indonesia.html

POLITIK HUKUM LINGKUNGAN DI INDONESIA (Analisa


produk hukum lingkungan di Indonesia dikaitkan dengan perspektif
politik hukum)

A. PENDAHULUAN
Personal lingkungan merupakan salah satu persoalan dunia yang
mengemuka pada seperempat abad terakhir, termasuk di Indonesia sehingga isu
lingkungan sangat menarik untuk didiskusikan. Ada berbagai variabel yang
mempengaruhi lingkungan mulai dari politik, ekonomi, sosial, hukum, budaya
bahkan agama, sehingga pengelolaannya harus dipandang sebagai masalah yang
inter disipliner.
Pengelolaan lingkungan hidup yang diartikan sebagai adalah upaya
terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang mencakup
kebijaksanaan penataan , pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan,
pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup (Pasal 1 angka 2 Undang-undang
No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup). Amanat pasal
tersebut memiliki makna terdapat korelasi antara Negara, wujud perbuatan
hukumnya berupa kebijakan (policy making) serta sistem tata kelola lingkungan
yang bertanggung jawab.
Dalam banyak kasus di bidang lingkungan yang mencuat mengindikasikan
bagaimana sesungguhnya terjadi perbedaan hitam-putih antara apa yang
dituangkan dalam regulasi sebagai perwujudan akan kepedulian Negara, rakyat
yang dimanifestasikan dalam kelembagaan perwakilan (DPR/ DPRD) serta
lembaga yudisial sebagai garda terakhir dalam penegakan hukum (law
enforcement). Muara dari kegagalan pemerintah dan lembaga peradilan dalam
menangani persoalan lingkungan membawa akibat pada resistensi korban
lingkungan misalnya: aksi demo dengan blokade jalan, merusak fasilitas industri
baik atas dasar investasi domestik maupun asing, pembangkangan yang
kesemuanya menggambarkan senjata terakhir dari kaum yang kalah (weapons of
the weak).
Sebagai salah satu contoh kasus bencana lumpur panas di Porong
kabupaten Sidorjo yang terjadi pada 29 Mei 2006 semula merupakan kasus pada
skala regional pada akhirnya mengemuka sebagai kasus skala nasional dan
menunjukkan kegagalan pemerintah dalam mengatasinya. Bencana yang
mencapai luas 65 ribu hektar belum termasuk 42.800 ha di Pejarakan, Besuki dan
Kedung Cangkring, 10.426 unit bangunan, 65 masjid & mushala, 33 sekolah, 31
pabrik, 4 kantor (Kompas 12 Mei 2007). Persoalan ganti rugi yang sesungguhnya
menjadi kewajiban pihak perusahaan (PT Minarak Lapindo Jaya) hanya sanggup
membayar 42 bidang dari 662 di Jatirejo. Pemerintah telah mencoba melakukan
upaya dengan pembentukan Tim Nasional yang kemudian diganti Badan
Penanggulangan Lumpur dengan saluran pengelak, bola beton, serta rencana
counter weight belum menunjukkan hasil yang signifikan. Berdasarkan fakta
kasus tersebut, maka beberapa persoalan mendasar yang dapat penulis jabarkan
mencakup persoalan orientasi dasar lingkungan berbasis negara (pemerintah) atau
state based environmental management tercantum pada Pasal 8 – 13 UU No.23
Tahun 1997 memiliki kelemahan mendasar. Kelemahan tersebut adalah perspektif
sektoral(sectoral perspective) dan partisipasi publik (baca masyarakat) yang semu
(Pasal 5 Ayat (3) dan 7 Ayat (1) dan (2). Dikatakan semu, karena sifatnya hanya
proforma (tokenism) belaka, tak ada kemampuan public untuk melakukan kontrol
yang efektif atas bagaimana pengelolaan lingkungan dilakukan oleh pemerintah
yang menurut Koesnadi Hardjasoemantri (2006) seharusnya mewujudkan Good
Environmental Government (GEG) (Koesnadi Hardjasoemantri, 2006: 70-78).
Kuatnya pengaruh variabel politik dan ekonomi serta tradisi hukum
tertulis (positive law tradition) terhadap kebijakan pengelolaan lingkungan
membawa dampak negatif terhadap politik hukum dan substansi regulasi
pengelolaan lingkungan (state based environmental management). Konsep ini
pada gilirannya akan menciptakan wujud kebijakan, pengaturan maupun
penegakan hukum yang mengesampingkan etika & moral, kearifan lokal
(indigenous knowledge) serta kritik maupun keluhan korban lingkungan.
Sekalipun isu global baik ”caring for the earth: a strategy for sustainable
living” tahun 1980 yang disusun oleh IUCN, UNEP dan WWF yang
diterjemahkan menjadi pembangunan berkelanjutan (Koesnadi Hardjasoemantri,
2006: 117-118) maupun konsep United Nation Development Program 2006-2010
pada 2005 yang dinamakan ”Millenium Development Goals (MDG’s)” yang
dilatari peristiwa krisis multi dimensional dan transformasi politik, belum
menyentuh seluruh pemangku kepentingan (stake holders) khususnya akar rumput
(grassroot/ rakyat). Artinya wacana global masih sebatas pada elit pemerintah,
teknokrat maupun kalangan intektual akademis. Pada akhirnya forum seminar,
lokakarya, diskusi publik masih sebatas menggaungkan isu tersebut sebagai
wacana belaka. Tak pelak, kesenjangan konsep dan cara pandang antara
pemerintah dan warga negara mengenai isu lingkungan sangat mencederai rasa
keadilan rakyat.
Oleh karena itu, dalam upaya pengelolaan dan perlindungan lingkungan di
Indonesia sepantasnya tidak ditunggangi dan diisi oleh kepentingan politik dari
pihak-pihak tertenu, selain itu juga aspek legal atau hukum pun tidak bersifat
lunak, regulasi UU No. 23 Tahun 1997 sebagai acuan juga harus benar-benar
dijadikan sebagai pedoman.
B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan dari alasan dan penjabaran permasalahan di atas, maka penulis


akan mengerucutkan pembahasan permasalahan tersebut ke dalam hal-hal berikut
yang akan menjadi rumusan masalah, yaitu:
1. Bagaimanakah jalannya politik hukum dalam pengelolaan lingkungan di
Indonesia?
C. PEMBAHASAN
1. Kajian Pustaka
a. Tinjauan Tentang Politik Hukum
Dibawah ini ada beberapa definisi yang akan disampaikan oleh beberapa ahli :
1. Satjipto Rahardjo

Politik Hukum adalah aktivitas untuk menentukan suatu pilihan mengenai tujuan
dan cara – cara yang hendak dipakai untuk mencapai tujuan hukum dalam
masyarakat.
2. Padmo Wahjono disetir oleh Kotam Y. Stefanus

Politik Hukum adalah kebijaksanaan penyelenggara Negara tentang apa yang


dijadikan criteria untuk menghukumkan sesuatu ( menjadikan sesuatu sebagai
Hukum ). Kebijaksanaan tersebut dapat berkaitan dengan pembentukan hukum
dan penerapannya.
3. L. J. Van Apeldorn

Politik hukum sebagai politik perundang – undangan .


Politik Hukum berarti menetapkan tujuan dan isi peraturan perundang –
undangan . ( pengertian politik hukum terbatas hanya pada hukum tertulis saja.
4. Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto

Politik Hukum sebagai kegiatan – kegiatan memilih nilai- nilai dan menerapkan
nilai – nilai.
5. Moh. Mahfud MD.
Politik Hukum ( dikaitkan di Indonesia ) adalah sebagai berikut :
a) Bahwa definisi atau pengertian hukum juga bervariasi namun dengan meyakini
adanya persamaan substansif antara berbagai pengertian yang ada atau tidak
sesuai dengan kebutuhan penciptaan hukum yang diperlukan.
b) Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada , termasuk penegasan Bellefroid
dalam bukunya Inleinding Tot de Fechts Weten Schap in Nederland
Mengutarakan posisi politik hukum dalam pohon ilmu hukum sebagai ilmu.
Politik hukum merupakan salah satu cabang atau bagian dari ilmu hukum,
menurutnya ilmu hukum terbagi atas :
1. Dogmatika Hukum
2. Sejarah Hukum
3. Perbandingan Hukum
4. Politik Hukum
5. IlmU Hukum Umum

Sedangkan keseluruhan hal diatas diterjemahkan oleh Soeharjo sebagai


berikut :
1. Dogmatika Hukum

Memberikan penjelasan mengenai isi ( in houd ) hukum , makna ketentuan –


ketentuan hukum , dan menyusunnya sesuai dengan asas – asas dalam suatu
sistem hukum.
2. Sejarah Hukum

Mempelajari susunan hukum yang lama yang mempunyai pengaruh dan peranan
terhadap pembentukan hukum sekarang. Sejarah Hukum mempunyai arti penting
apabila kita ingin memperoleh pemahaman yang baik tentang hukum yang
berlaku sekarang .
3. Ilmu Perbandingan Hukum

Mengadkan perbandingan hukum yang berlaku diberbagai negara , meneliti


kesamaan, dan perbedaanya.
4. Politik Hukum

Politik Hukum bertugas untuk meneliti perubahan – perubahan mana yang perlu
diadakan terhadap hukum yang ada agar memenuhi kebutuhan – kebutuhan baru
didalam kehidupan masyarakat.
5. Ilmu Hukum Umum

Tidak mempelajari suatu tertib hukum tertentu , tetapi melihat hukum itu sebagai
suatu hal sendiri, lepas dari kekhususan yang berkaitan dengan waktu dan tempat.
Ilmu Hukum umum berusaha untuk menentukan dasar- dasar pengertian perihal
hukum , kewajiban hukum , person atau orang yang mampu bertindak dalam
hukum, objek hukum dan hubungan hukum. Tanpa pengertian dasar ini tidak
mungkin ada hukum dan ilmu hukum.

Berdasarkan atas posisi ilmu politik hukum dalam dunia ilmu pengetahuan seperti
yang telah diuraikan , maka objek ilmu politik hukum adalah “ HUKUM “.
Hukum yang berlaku sekarang , yang berlaku diwaktu yang lalu, maupun yang
seharusnya berlaku diwaktu yang akan datang.

b. Tinjauan Umum Tentang Pengelolaan Lingkungan


Sisi lemah dalam pelaksanaan peraturan perundangan lingkungan hidup
yang menonjol adalah penegakan hukum, oleh sebab itu dalam bagian ini akan
dikemukakan hal yang terkait dengan penegakan hukum lingkungan. Dengan
pesatnya pembangunan nasional yang dilaksanakan yang tujuannya meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, ada beberapa sisi lemah, yang menonjol antara lain
adalah tidak diimbangi ketaatan aturan oleh pelaku pembangunan atau sering
mengabaikan landasan aturan yang mestinya sebagai pegangan untuk dipedomani
dalam melaksanakan dan mengelola usaha dan atau kegiatannya, khususnya
menyangkut bidang sosial dan lingkungan hidup, sehingga menimbulkan
permasalahan lingkungan. Oleh karena itu, sesuai dengan rencana Tindak
Pembangunan Berkelanjutan dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup dilakukan meningkatkan kualitas lingkungan melalui upaya pengembangan
sistem hukum, instrumen hukum, penaatan dan penegakan hukum termasuk
instrumen alternatif, serta upaya rehabilitasi lingkungan. Kebijakan daerah dalam
mengatasi permasalahan lingkungan hidup khususnya permasalahan kebijakan
dan penegakan hukum yang merupakan salah satu permasalahan lingkungan hidup
di daerah dapat meliputi
_ Regulasi Perda tentang Lingkungan.
_ Penguatan Kelembagaan Lingkungan Hidup.
_ Penerapan dokumen pengelolaan lingkungan hidup dalam proses
perijinan
_ Sosialisasi/pendidikan tentang peraturan perundangan dan pengetahuan
lingkungan
hidup.
_ Meningkatkan kualitas dan kuantitas koordinasi dengan instansi terkait
dan stakeholders
_ Pengawasan terpadu tentang penegakan hukum lingkungan.
_ Memformulasikan bentuk dan macam sanksi pelanggaran lingkungan
hidup.
_ Peningkatan kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia.
_ Peningkatan pendanaan dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan
fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijakan penataan, pemanfaatan,
pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian
lingkungan hidup, sedangkan yang dimaksud lingkungan hidup adalah kesatuan
ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup termasuk manusia
dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan
kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.
Kondisi lingkungan hidup dari waktu ke waktu ada kecenderungan terjadi
penurunan kualitasnya, penyebab utamanya yaitu karena pada tingkat
pengambilan keputusan, kepentingan pelestarian sering diabaikan sehingga
menimbulkan adanya pencemaran dan kerusakan lingkungan. Dengan terjadinya
pencemaran dan kerusakan lingkungan ternyata juga menimbulkan konflik sosial
maupun konflik lingkungan.
Dengan berbagai permasalahan tersebut diperlukan perangkat hukum
perlindungan terhadap lingkungan hidup, secara umum telah diatur dengan
Undang-undang No.4 Tahun 1982.
Namun berdasarkan pengalaman dalam pelaksanaan berbagai ketentuan
tentang penegakan hukum sebagaimana tercantum dalam Undang-undang
Lingkungan Hidup, maka dalam Undangundang Pengelolaan Lingkungan Hidup
diadakan berbagai perubahan untuk memudahkan penerapan ketentuan yang
berkaitan dengan penegakan hukum lingkungan yaitu Undang-undang No 4
Tahun 1982 diganti dengan Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup dan kemudian diatur lebih lanjut dalam peraturan
pelaksanaanya. Undangundang ini merupakan salah satu alat yang kuat dalam
melindungi lingkungan hidup. Dalam penerapannya ditunjang dengan peraturan
perundang-undangan sektoral. Hal ini mengingat Pengelolaan Lingkungan hidup
memerlukan koordinasi dan keterpaduan secara sektoral dilakukan oleh
departemen dan lembaga pemerintah non –departemen sesuai dengan bidang tugas
dan tanggungjawab masing-masing, seperti Undang-undang No. 22 Th 2001
tentang Gas dan Bumi, UU No. 41 Th 1999 tentang Kehutanan, UU No. 24 Th
1992 tentang Penataan Ruang dan diikuti pengaturan lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Peraturan Daerah
maupun Keputusan Gubernur.

2. PEMBAHASAN MASALAH
LJ. van Appeldoorn dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum menyebut
dengan istilah politik perundang-undangan.[1] Pengertian yang demikian dapat
dimengerti mengingat bahwa di Belanda hukum dianggap identik dengan undang-
undang; hukum kebiasaan tidak tertulis diakui juga akan tetapi hanya apabila
diakui oleh Undang-undang.[2] Politik hukum juga dikonsepsi sebagai
kebijaksanaan negara untuk menerapkan hukum.[3]
Teuku Muhammad Radhie mengkonsepsi politik hukum sebagai
pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayah
suatu Negara dan mengenai arah kemana hukum hendak dikembangkan.[4]
Konsepsi lain tentang politik hukum dikemukakan oleh Abdul Hakim Garuda
Nusantara yang menyatakan bahwa politik hukum sama dengan politik
pembangunan hukum.[5] Pendapat Abdul Hakim Garuda Nusantara berikutnya
diikuti oleh Moh. Mahfud MD yang menyebutkan bahwa politik hukum adalah
legal policy yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh Pemerintah
Indonesia. Legal policy ini terdiri dari: pertama, pembangunan hukum yang
berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat
sesuai dengan kebutuhan.

Pengertian lain tentang politik hukum yang aplikatif juga disampaikan


oleh Hikmahanto. Menurutnya, peraturan perundang-undangan (legislation)
merupakan bagian dari hukum yang dibuat secara sengaja oleh institusi negara.
Oleh karena itu pembuatan dari peraturan perundang-undangan tersebut memiliki
tujuan dan alasan tertentu yang dapat beraneka ragam. Berbagai tujuan dan alasan
yang menjadi dasar dibentuknya peraturan perundang-undangan ini disebut
dengan politik hukum.[6]

Mengenai politik hukum ini ada banyak sekali pendapat berkaitan dengan
definisinya. Dipandang dari segi teori hukum murni (pure yuridis theoritis) politik
huum adalah satu disiplin ilmu yang membahas perbuatan aparat yang berwenang
dengan memilih beberapa alternatif yang tersedia untuk memproduksi suatu
produk hukum guna mewujudkan tujuan Negara.
Pengertian ini kemudian diuraikan[7] sebagai berikut;
Politik hukum mengandung 4 faktor/ elemen:
1. harus ada aparat yang berwenang (kompetensi)
2. harus ada alternative yang tersedia
3. harus ada produk hokum yang dilahirkan
4. harus ada tujuan Negara sebagai terminal atau tujuan akhir.
Berdasarkan pelbagai pengertian tentang politik hukum di atas, maka
dapat disimpulkan bahwa politik hukum merupakan sarana penguasa dalam
mencapai tujuan Negara. Apakah untuk menjaga ketertiban, keamanan,
pembangunan perekonomian, atau juga untuk menciptakan suasana pemerintahan
yang kondusif dalam mewujudkan pemerintah yang bersih.
Dalam pelaksanaan pembangunan di era Otonomi Daerah, pengelolaan
lingkungan hidup tetap mengacu pada Undang-undang No 23 tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup dan juga Undang-undang No 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah serta Undang-undang No 33 Tahun 2004 Tentang
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Dalam melaksanakan kewenangannya
diatur dengan Peraturan Pemerintah No 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan
Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom. Dalam
pengelolaan lingkungan hidup Pemerintah Propinsi mempunyai 6 kewenangan
terutama menangani lintas Kabupaten/Kota, sehingga titik berat penanganan
pengelolaan lingkungan hidup ada di Kabupaten/ Kota. Dalam surat edaran
Menteri Dalam Negeri No 045/560 tanggal 24 Mei 2002 tentang pengakuan
Kewenangan/Positif List terdapat 79 Kewenangan dalam bidang lingkungan
hidup.
Sejalan dengan lajunya pembangunan nasional yang dilaksanakan
permasalahan lingkungan hidup yang saat ini sering dihadapi adalah kerusakan
lingkungan di sekitar areal pertambangan yang berpotensi merusak bentang alam
dan adanya tumpang tindih penggunaan lahan untuk pertambangan di hutan
lindung. Kasus-kasus pencemaran lingkungan juga cenderung meningkat.
Kemajuan transportasi dan industrialisasi yang tidak diiringi dengan penerapan
teknologi bersih memberikan dampak negatif terutama pada lingkungan
perkotaan. Sungai-sungai di perkotaan tercemar oleh limbah industri dan rumah
tangga. Kondisi tanah semakin tercemar oleh bahan kimia baik dari sampah padat,
pupuk maupun pestisida. Masalah pencemaran ini disebabkan masih rendahnya
kesadaran para pelaku dunia usaha ataupun kesadaran masyarakat untuk hidup
bersih dan sehat dengan kualitas lingkungan yang baik. Dengan kata lain
permasalahan lingkungan tidak semakin ringan namun justru akan semakin berat,
apalagi mengingat sumberdaya alam dimanfaatkan untuk melaksanakan
pembangunan yang bertujuan memenuhi dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Dengan kondisi tersebut maka pengelolaan sumberdaya alam dan
lingkungan hidup yang berkelanjutan ditingkatkan kualitasnya dengan dukungan
penegakan hukum lingkungan yang adil dan tegas, sumberdaya manusia yang
berkualitas, perluasan penerapan etika lingkungan serta asimilasi sosial budaya
yang semakin mantap. Perlu segera didorong terjadinya perubahan cara pandang
terhadap lingkungan hidup yang berwawasan etika lingkungan melalui
internalisasi kedalam kegiatan/proses produksi dan konsumsi, dan menanamkan
nilai dan etika lingkungan dalam kehidupan sehari-hari termasuk proses
pembelajaran sosial serta pendidikan formal pada semua tingkatan.
Dalam upaya ini, hukum lingkungan menjadi acuan yang harus dijalankan
dengan baik, UU No.23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan harus bisa
berperan sebagaii regulasi yang efektif baik secara normatif maupun empiris.
Sebisa mungkin pula dalam upaya penegakkan hukum lingkungan, pemerintah
dan aparat dapat berlaku adil. Jangan kepentingan politik yang malah kemudian
didahulukan. Jangan pula adanya permainan politik dalam menjalankan aturan-
aturan hukum yang ada.
D. KESIMPULAN

Sisi lemah dalam pelaksanaan peraturan perundangan lingkungan hidup


yang menonjol adalah penegakan hukum, oleh sebab itu dalam bagian ini akan
dikemukakan hal yang terkait dengan penegakan hukum lingkungan. Dengan
pesatnya pembangunan nasional yang dilaksanakan yang tujuannya meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, ada beberapa sisi lemah, yang menonjol antara lain
adalah tidak diimbangi ketaatan aturan oleh pelaku pembangunan atau sering
mengabaikan landasan aturan yang mestinya sebagai pegangan untuk dipedomani
dalam melaksanakan dan mengelola usaha dan atau kegiatannya, khususnya
menyangkut bidang sosial dan lingkungan hidup, sehingga menimbulkan
permasalahan lingkungan. Oleh karena itu, sesuai dengan rencana Tindak
Pembangunan Berkelanjutan dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup dilakukan meningkatkan kualitas lingkungan melalui upaya pengembangan
sistem hukum, instrumen hukum, penaatan dan penegakan hukum termasuk
nstrumen alternatif, serta upaya rehabilitasi lingkungan. Kebijakan daerah dalam
mengatasi permasalahan lingkungan hidup khususnya permasalahan kebijakan
dan penegakan hukum yang merupakan salah satu permasalahan lingkungan hidup
di daerah.
Undangundang ini merupakan salah satu alat yang kuat dalam melindungi
lingkungan hidup.Dalam penerapannya ditunjang dengan peraturan perundang-
undangan sektoral. Hal ini mengingat Pengelolaan Lingkungan hidup memerlukan
koordinasi dan keterpaduan secara sektoral dilakukan oleh departemen dan
lembaga pemerintah non –departemen sesuai dengan bidang tugas dan
tanggungjawab masing-masing, seperti Undang-undang No. 22 Th 2001 tentang
Gas dan Bumi, UU No. 41 Th 1999 tentang Kehutanan, UU No. 24Th 1992
tentang Penataan Ruang dan diikuti pengaturan lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Peraturan Daerah maupun
Keputusan Gubernur
E. SARAN

Peraturan perundangan yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan


hidup sudah cukup memadai, namun demikian didalam pelaksanaanya, termasuk
dalam pengawasan pelaksanaannya perlu mendapatkan perhatian yang sungguh-
sungguh. Hal ini sangat terkait dengan niat baik pemerintah termasuk pemerintah
daerah, masyarakat dan pihak-pihak yang berkepentingan untuk mengelola
lingkungan hidup dengan sebaik baiknya agar prinsip pembangunan berkelanjutan
berwawasan lingkungan dapat terselenggara dengan baik. Oleh karena
pembangunan pada dasarnya untuk kesejahteraan masyarakat, maka aspirasi dari
masyarakat perlu didengar dan program-program kegiatan pembangunan betul-
betul yang menyentuh kepentingan masyarakat, karena kepentingan masyarakat
sebenarnya jauh diatas kepentingan politik atau kekuasaan.
DAFTAR PUSTAKA

A.S.S. Tambunan, Politik Hukum Berdasarkan UUD 1945, (Jakarta: Puporis Publishers,
2002).
Baiquni, M dan Susilawardani, 2002. Pembangunan yang tidak Berkelanjutan, Refleksi
Kritis Pembangunan Indonesia. Transmedia Global Wacana, Yogyakarta.
David Kairsy (ed). The Politics of Law, A Progressive Critique, (New York: Pantheon
Books, 1990).
Hikmahanto Juwono, “Politik Hukum Undang-undang Bidang ekonomi di Indonesia”.
Hand Out kuliah Kebijakan Pembangunan Hukum Program Doktor (S3) UII.
Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, 1997. Agenda 21 Indonesia, Strategi
Nasional untuk Pembangunan Berkelanjutan, Kantor Menteri Negara Lingkungan
Hidup, Jakarta.
LJ. van Appeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum (terjemahan Supomo), (Jakarta: Pradnya
Paramitha), cet. Ke-18, 1981, hlm. 390.
Marfai, M.A. 2005. Moralitas Lingkungan, Wahana Hijau, Yogyakarta
Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, 2002. Rencana Strategis
PengelolaanLingkungan Hidup Daerah Istimewa Yogyakarta. Pemda Propinsi DI
Yogyakarta.
Slaymaker, O and Spencer, T., 1998. Physical Geography and Global Environmental
Change. Addison Wesley Longman Limited, Edinburh Gate, Harlow.
Miller. G.T. Jr. 1995. Environmental Science Sustaining the Earth. Wadsworth
Publishing Co.Belmont.
Muchsan, “Politik Hukum” Materi Perkuliahan pada Magister Hukum UGM,
(Yogyakarta. 2009)
Sumarwoto, O (ed). 2003. Menuju Jogya Propinsi Ramah Lingkungan Hidup, Agenda 21
Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan Daerah Istimewa Yogyakarta. Pemerintah
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Teuku Muhammad Radhie dalam majalah PRISMA, no. 6 tahun keI-II, Desember
1973
[1] LJ. van Appeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum (terjemahan Supomo), (Jakarta: Pradnya
Paramitha), cet. Ke-18, 1981, hlm. 390.
[2] A.S.S. Tambunan, Politik Hukum Berdasarkan UUD 1945, (Jakarta: Puporis Publishers,
2002),
hlm. 9.
[3] David Kairsy (ed). The Politics of Law, A Progressive Critique, (New York: Pantheon Books,
1990), hlm. xi.
[4] Teuku Muhammad Radhie dalam majalah PRISMA, no. 6 tahun keI-II, Desember 1973,
hlm. 4.
[5] A.S.S. Tambunan, Ibid. Lihat referensi aslinya Abdul Hakim Garuda Nusantara, Politik
Hukum Indonesia, (Jakarta: YLBHI, 1988).
[6] Hikmahanto Juwono, “Politik Hukum Undang-undang Bidang ekonomi di Indonesia”.
Hand Out kuliah Kebijakan Pembangunan Hukum Program Doktor (S3) UII.
[7] Muchsan, “Politik Hukum” Materi Perkuliahan pada Magister Hukum UGM,
(Yogyakarta. 2009)
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI
INDONESIA

Oleh: Edra Satmaidi[1] (110130100003)

1. A. Pendahuluan

Pengelolaan lingkungan hidup terkait erat dengan kesejahteraan rakyat suatu


negara. Melalui pengelolaan lingkungan hidup-lah (di mana sumber daya alam
ada didalamnya) kesejahteraan rakyat hendak diwujudkan. Bagi negara yang
mengklaim sebagai negara kesejahteraan (welfare state), menjadikan
kesejahteraan rakyat sebagai tujuan negara atau hidup bernegara. Segala aktivitas
penyelenggaraan negara diorientasikan pada upaya mencapai dan memenuhi
kesejahteraan rakyat tersebut.

Dalam pembukaan UUD 1945 secara eksplisit dinyatakan bahwa salah satu tujuan
pendirian negara dan pembentukan pemerintahan negara adalah untuk memajukan
kesejahteraan umum. Untuk mencapai kesejahteraan umum tersebut, UUD 1945
memberikan kepada negara hak ekslusif untuk menguasai lingkungan hidup dan
sumber daya alam, yang dalam literature hukum dikenal dengan hak menguasai
negara. Integrasi lingkungan hidup dan sumber daya alam, hak menguasai negara
dan kesejahteraan rakyat sebagaimana tertuang dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945
yang menyatakan bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk
kesejahteraan rakyat”. Muhammad Hatta menterjemahkan hak menguasai negara
sebagai hak negara untuk membuat aturan guna melancarkan kehidupan ekonomi.
[2]

Berdasarkan hak menguasai negara tersebut, Negara Indonesia telah menetapkan


berbagai kebijakan dan regulasi sebagai guidance dan legal baseline dalam
pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam dalam rangka mewujudkan
kesejahteraan rakyat. Dalam kenyataannya, pengelolaan lingkungan hidup di
Indonesia masih menghadapi problem yang sama yaitu adanya benturan antara
berbagai peraturan perundang-undangan, terutama antara undang-undang sektoral
terkait sumber daya alam (yang lebih berorientasi pada pemanfaatan sumber daya
lingkungan) dan undang-undang lingkungan hidup (yang dianggap terlalu
menekankan pada aspek perlindungan lindungan hidup). Akibatnya, pengelolaan
lingkungan hidup dibawah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 yang kemudian
diganti dengan UU No. 23 Tahun 1997 sebagai umbrella provision belum mampu
mencapai tujuan pengelolaan lingkungan hidup, terwujudnya kelestarian fungsi
lingkungan hidup dan tercapainya kesejahteraan rakyat. Berbagai instrument
pencegahan dan pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup
menjadi tumpul karena tidak back-up oleh “kewenangan” yang seharusnya
dilekatkan pada kewenangan pengelolaan lingkungan hidup seperti kewajiban
menyusun Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), izin lingkungan, sanksi
administrative, pidana, dan PPNS lingkungan hidup seperti yang ditetapkan dalam
UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup sebagai pengganti UU No. 23 Tahun 1997.

1. B. Politik Hukum Pengelolaan Lingkungan Hidup: Dari Konstitusi


Hingga UU No. 32 Tahun 2009

Menurut David Kairsy, politik hukum merupakan kebijaksanaan negara untuk


menerapkan hukum.[3] Teuku Muhammad Radhie mengkonsepsi politik hukum
sebagai pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di
wilayah suatu Negara dan mengenai arah kemana hukum hendak dikembangkan.
[4]

Moh. Mahfud MD menyatakan bahwa politik hukum adalah legal policy yang
akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh Pemerintah Indonesia. Legal
policy ini terdiri dari, pertama, pembangunan hukum yang berintikan pembuatan
dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan
kebutuhan. Kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk
penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum.[5] Berdasar
pengertian tersebut menurut Moh. Mahfud terlihat politik hukum mencakup
proses pembuatan dan pelaksanaan hukum yang dapat menunjukkan sifat dan ke
arah mana hukum dibangun dan ditegakkan.[6]

Berdasarkan pengertian tentang konsepsi politik hukum di atas, dalam kajian ini
politik hukum dimaksudkan sebagai kebijakan hukum yang menjadi dasar dari
pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia. Berbicara mengenai kebijakan hukum
tentu UUD 1945 sebagai basic norm menjadi rujukan pertama, termasuk dalam
pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam.

Sebelum adanya perubahan kedua dan keempat UUD 1945, satu-satunya


ketentuan konstitusi yang menjadi landasan hukum bagi pengelolaan lingkungan
dan sumber daya alam adalah Pasal 33 ayat (3), yang lebih banyak ditafsirkan
sebagai pemanfaatan dan ekploitasi sumber daya alam dengan justifikasi untuk
mencapai kesejahteraan rakyat, sehingga aspek perlindungan dan keberlanjutan
lingkungan dan sumber daya alam menjadi terabaikan.

Perubahan kedua dan keempat UUD 1945, telah memasukkan ketentuan baru
terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup dan pemanfaatan sumber daya alam,
yaitu Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) dan (5) UUD 1945. Pasal 28H ayat
(1) menyatakan bahwa “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal, dan medapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan.” Pasal 33 ayat 4 UUD 1945 “Perekonomian
nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip
kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan
ekonomi nasional.” Sementara Pasal 33 ayat (5) menegaskan bahwa ketentuan
lebih lanjut diatur dengan undang-undang.

Dari ketentuan Pasal 28H ayat (1), Pasal 33 ayat (3), (4) dan (5) UUD 1945,
terdapat 5 hal penting yang menjadi kebijakan hukum negara dalam pengelolaan
lingkungan hidup dan pemanfaatan sumber daya alam.
1. Pengelolaan lingkungan dan pemanfaatan sumber daya alam harus
diletakkan dalam kerangka pengakuan, perlindungan dan pemenuhan hak
asasi setiap warga Negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Dengan kata lain hak asasi atas lingkungan hidup yang baik dan sehat
tidak dapat dikorbankan akibat pelaksanaan pembangunan dan
pemanfaatan sumber daya alam.
2. Pengelolaan lingkungan hidup dan pemanfaatan sumber daya alam
merupakan tanggung jawab negara, di mana melalui hak menguasai
negara, negara membuat aturan-aturan dan kebijakan pemanfaatan
lingkungan dan sumber daya alam.
3. Kesejahteraan rakyat menjadi dasar filosofis dan sosiologis bagi segala
aktivitas dan kegiatan pengelolaan lingkungan hidup dan pemanfaatan
sumber daya alam dipergunakan bagi kesejahteraan rakyat.
4. Pengelolaan lingkungan hidup dan pemanfaatan sumber daya alam
merupakan sarana untuk mencapai pembangunan berkelanjutan
berwawasan lingkungan hidup, dalam arti sasaran pengelolaan lingkungan
hidup dan pemanfaatan sumber daya alam tidak saja mencakup
kesejahteraan rakyat, melainkan juga aspek keberlanjutan lingkungan
hidup dan kemajuan ekonomi nasional.
5. Adanya pendelegasian pengaturan lebih lanjut mengenai pengelolaan
lingkungan hidup dengan undang-udang. .

UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


sebagai pengganti UU No. 23 Tahun 1997 membawa perubahan mendasar dalam
pengaturan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia. Karena dilihat dari judul
UU No. 32 Tahun 2009 adanya penekanan pada upaya perlindungan lindungan
hidup yang diikuti dengan kata pengelolaan lingkungan hidup. Padahan dari segi
kaidah bahasa, dalam kata pengelolaan telah termasuk didalamnya kegiatan atau
aktivitas perlindungan. Dengan adanya penekanan pada upaya perlindungan,
disamping kata pengelolaan lingkungan hidup, UU 32 Tahun 2009 memberikan
perhatian serius pada kaidah-kaidah pengaturan yang bertujuan memberikan
jaminan bagi terwujudnya pembangunan berkelanjutan dan memastikan
lingkungan hidup dapat terlindungi dari usaha atau kegiatan yang menimbulkan
kerusakan atau pencemaran lingkungan hidup.

Dikaitkan dengan pendapat Teuku Muhammad Radhie mengenai politik hukum


sebagai arah (tujuan) kemana hukum hendak dikembangkan, maka UU No. 32
Tahun 2009 menetapkan arah (tujuan) kemana hukum perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup hendak dikembangkan. Menurut Pasal 3 UU 32
tahun 2009, perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup bertujuan:

1. melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran


dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
2. menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia;
3. menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian
ekosistem;
4. menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup;
5. mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup;
6. menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa
depan;
7. menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup
sebagai bagian dari hak asasi manusia;
8. mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana;
9. mewujudkan pembangunan berkelanjutan; dan
10. mengantisipasi isu lingkungan global.

Untuk mencapai tujuan di atas, UU No. 32 Tahun 2009 menetapkan sejumlah


instrumen hukum pencegahan pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup
yaitu Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), Tata Ruang, Baku Mutu
Lingkungan Hidup, Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup, AMDAL,
Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan
Hidup (UKL-UPL), Perizinan, Instrumen Ekonomis Lingkungan, Peraturan
Perundang-undangan Berbasiskan Lingkungan Hidup, Anggaran Berbasiskan
Lingkungan Hidup, Analisis Risiko Lingkungan Hidup, Audit Lingkungan Hidup,
dan instrument lain sesuai kebutuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan,
dimana KLHS menempati posisi puncak dalam pencegahan dan pencemaran
lingkungan hidup. Penekanan pada aspek perlindungan lingkungan hidup, juga
terlihat dari adanya dua tingakatan izin yang harus dipenuhi oleh setiap orang atau
pelaku usaha/kegiatan yang terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup yaitu
adanya kewajiban memperoleh izin lingkungan terlebih dahulu sebagai syarat
untuk mendapat izin usaha dan/atau kegiatan. Di samping instrument pencegahan,
juga diatur instrument penegakan hukum (administrasi, perdata, dan pidana)
beserta penerapan sanksi administrasi, ganti rugi dan sanksi pidana.

Penetapan UU 32 Tahun 2009 berusaha memastikan adanya perlindungan dan


pengelolaan lingkungan hidup secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan
hidup sedini mungkin yaitu melalui dari tingkat kebijakan, rencana dan program
pembangunan (KLHS), maupun pada kajian lingkungan hidup bagi kegiatan atau
usaha seperti telah dikenal selama ini, melalui mekanisme AMDAL.

1. C. PENUTUP

Penerapan UU No. 32 Tahun 2009 sebagai kebijakan hukum negara dalam


perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup masih terkendala persolan teknis
yuridis, misalnya ada sejumlah peraturan pemerintah yang belum ditetapkan
seperti peraturan pemerintah mengenai pedoman penyusunan KLHS yang harus
segera ditetapkan karena KLHS merupakan dasar bagi penyusunan dan penetapan
Rencana Tata Ruang Wilayah. Apabila PP KLHS terlambat ditetapkan sementara
ada sejumlah Daerah Provinsi yang sedang dan akan menyusun RTRW, maka
dipastikan dapat menghabat penetapan RTRW dan pembangunan Daerah, atau
dapat saja Daerah menetapkan RTRW tanpa pertimbangan KLHS.

DAFTAR PUSTAKA
Kairsy, David (ed). The Politics of Law, A Progressive Critique, (New York:
Pantheon Books, 1990)

Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1998.

Mujibussalim, Perlindungan Hukum Terhadap Sumber Daya Alam Berkaitan


Dengan Peraturan Perlindungan Hutan Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah,
Disertasi, Universitas Padjadjaran, Bandung, 2008

Teuku Muhammad Radhie dalam majalah PRISMA, no. 6 tahun keI-II, Desember
1973.

[1] Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran Bandung.

[2] Roeslan Abdulgani, Aktualisasi Pemikiran Bung Hatta tentang Demokrasi


Ekonomi dalam Sri Edi Swasono (ed), Bung Hatta Bapak Kedaulatan Rakyat,
Yayasan Hatta, Jakarta, 2000, hlm. 262-263, sebagaimana dikutip oleh
Mujibussalim, Perlindungan Hukum Terhadap Sumber Daya Alam Berkaitan
Dengan Peraturan Perlindungan Hutan Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah,
Disertasi, Universitas Padjadjaran, Bandung, 2008, hlm. 89-90.

[3] David Kairsy (ed). The Politics of Law, A Progressive Critique, (New York:
Pantheon Books, 1990), hlm. xi.

[4] Teuku Muhammad Radhie dalam majalah PRISMA, no. 6 tahun keI-II,
Desember 1973,

[5] Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1998, hlm. 9

[6] Ibid.
ermasalahan lingkungan di Indonesia, khususnya kerusakan hutan sudah mencapai
titik yang sangat mengkhawatirkan. Dengan luas hutan sekitar 109 juta hektar
(2003), Indonesia adalah pemilik hutan hujan tropis terluas ke-3 di dunia, setelah
Brasil dan Kongo. Tapi dari luasan hutan yang tersisa itu, hampir setengahnya
terdegradasi. Sesuai dengan data WWF (2014), sejak tahun 1970 penggundulan
hutan mulai marak di Indonesia. Pada tahun 1997-2000, laju kehilangan dan
kerusakan hutan Indonesia mencapai 2,8 juta hektar/tahun. Saat ini diperkirakan
luas hutan alam yang tersisa hanya 28%. Jika tidak segera dihentikan, maka hutan
yang tersisa akan segera musnah. Menurut Forest Watch Indonesia (FWI) Simpul
Papua, deforestasi di Indonesia semakin tidak terkendali. Hal ini diakibatkan oleh
sistem politik dan ekonomi yang korup, yang menganggap sumber daya alam,
khususnya hutan sebagai sumber pendapatan yang bisa dieksploitasi untuk
kepentingan politik dan keuntungan pribadi. Hal ini diperkuat dengan fakta-fakta
seperti lebih dari setengah kawasan hutan di Indonesia dialokasikan untuk
produksi kayu berdasarkan sistem tebang pilih. Banyak perusahaan HPH yang
melanggar pola-pola tradisional hak kepemilikan dan hak penggunaan lahan.
Menurut klasifikasi pemerintah, saat ini hampir 30% dari konsesi HPH yang telah
disurvey masuk kategori sudah terdegradasi. Hutan tanaman industri telah
dipromosikan secara besar-besaran dan diberi subsidi sebagai suatu cara untuk
menyediakan kayu bagi industri pulp yang berkembang pesat di Indonesia.
Hampir 9 juta ha lahan sebagian besar adalah hutan alam telah dialokasikan untuk
hutan tanaman industri. Lonjakan pembangunan perkebunan terutama perkebunan
kelapa sawit yakni 7 juta ha lahan hutan telah dirubah untuk perkebunan dan
luasan ini akan terus menerus bertambah sebagaimana kita saksikan saat ini.
Pencurian kayu (illegal logging) turut memperburuk kondisi hutan dengan hampir
50-70% kebutuhan kayu untuk segala macam keperluan didapatkan melalui illegal
logging dan telah menghancurkan 10 juta ha lahan hutan. Dimasa lalu, pada era
1985 – 1997 terjadi pembukaan lahan baru sekitar 4 juta ha hutan untuk dicetak
sebagai sawah baru tanpa mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan. Program
transmigrasi sejak era 1960 – 1999 telah membuka lahan hutan sebagai tempat
pemukiman para transmigran sebesar 2 juta ha lahan hutan. Pembakaran hutan
secara sengaja oleh pengusaha HPH dan petani tradisional telah menghabiskan
lebih dari 5 juta ha hutan pada tahun 1994 dan sekitar 4,6 juta ha lahan hutan pada
tahun 1997-1998. Itulah sekelumit masalah dan fakta-fakta tentang salah kelola
hutan kita dimasa lalu, yang menyisakan derita saat ini. Pada masa lalu,
penegakan hukum kehutanan belum bisa diandalkan dengan kurangnya
pengawasan dan “kongkalingkong” antara pejabat dan pengusaha. Hal ini
mengakibatkan peraturan-peraturan yang dikeluarkan terlihat tidak tegas,
dibuktikan dengan tidak adanya hukuman minimal untuk para terdakwa perusak
hutan. Penegakan hukum bidang kehutanan tentunya harus dimaksimalkan.
Menurut Dr. Sadino, SH, MH (pendiri Lembaga Kajian Hukum Sumberdaya
Alam (LKHSDA) dan Biro Konsultasi Hukum dan Kebijakan Kehutanan
(BKH2K), penegakan hukum pidana kehutanan sampai saat ini belum dapat
memberikan hasil yang optimal, dan cenderung pelaku, serta aktor intelektual
kejahatan kehutanan justru bebas dari jeratan hukum. Hal itu tidak lepas sejumlah
kelemahan yang ada di UU Kehutanan. Misalnya saja, tidak ada definisi tentang
illegal logging atau pembalakan liar. Hal ini menjadi masalah ketika aparat
penegak hukum dan juga pihak Kementerian Kehutanan mengartikan illegal
logging dalam arti sempit, yaitu penebangan pohon yang tidak legal atau tidak ada
izin. Dengan pengertian tersebut, faktanya yang tertangkap adalah masyarakat
sekitar hutan yang mencari kayu atau pelaku kelas teri. Kenyataannya, hampir
semua pelaku kelas kakap melakukan kejahatannya di balik izin yang dikantongi
atau mendapat izin dari cara tidak legal atau penyiapan. Koordinasi antar aparat
penegak hukum harus ditingkatkan. Sebab, lemahnya penegakan hukum bidang
kehutanan selain disebabkan peraturan bidang kehutanan yang tidak konsisten
juga penanganan kasus yang terlihat berjalan sendiri-sendiri dan kurangnya
koordinasi antar instansi penyidik. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pada
Tahun 2010 Kementerian kehutanan bersama dengan DPR RI menggodok UU
Tindak Pidana Kehutanan. UU ini diharapkan dapat memberikan hukuman yang
setimpal terhadap pelaku kejahatan dalam bidang kehutanan. Kelemahan UU
Kehutanan sebelumnya adalah tidak adanya batasan minimal denda atau kurungan
terhadap pelaku kejahatan kehutanan. Namun sepertinya UU ini mandek dan tidak
terwujud. Akan tetapi disisi lain, pada Tahun 2013, telah diterbitkan UU No.18
Tahun 2013 tentang Pancegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Didalam
UU ini sudah dijelaskan bahwa setiap korporasi yang melakukan pembalakan liar
akan dihukum minimal kurungan 5 Tahun dan denda minimal 5 miliar. Jadi di
satu sisi UU No. 18 Tahun 2013 memang menjanjikan. Meski demikian, jika
persoalan mendasar soal kepastian kawasan tidak juga diselesaikan, maka
penegakan hukum bidang kehutanan akan tetap penuh tantangan. Apatah lagi
dengan “kongkalingkong” birokrasi saat ini masih menyisakan keprihatinan
apakah suatu produk hukum benar-benar akan diterapkan dengan adil.
Muhammad Nur Iman. Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Kehutanan
Universitas Hasanuddin 2012 dan Penerima Beasiswa Bakrie Graduate
Fellowship (BGF) 2013.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/imantux/implementasi-hukum-
kehutanan-di-indonesia_54f983cea3331123668b47fc

http://www.kompasiana.com/imantux/implementasi-hukum-kehutanan-di-
indonesia_54f983cea3331123668b47fc
Politik Hukum Pemberantasan Korupsi: Lex Specialis
Systematic Versus Lex Specialis Derogat Lege Generali
Dikirim/ditulis pada 29 October 2007 oleh Pengunjung

ARTIKEL HUKUM PIDANA

[Artikel ini disusun sebagai reaksi atas artikel, Sudjono Iswahyudi, SH, ”Putusan
MA dan Pemberantasan Korupsi”; dimuat dalam harian Media Indonesia tanggal
15 Oktober 2007]

Penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi di Indonesia telah berlangsung


sejak tahun 1960-an, dan telah berganti undang-undang sebanyak 4 (empat) kali,
dan terakhir dengan UU Nomor 20 tahun 2001. Sekalipun pergantian undang-
undang sebanyak itu akan tetapi filosofi, tujuan dan misi pemberantasan korupsi
tetap sama. Secara filosofis, peraturan perundang-undangan pemberantasan
korupsi menegaskan bahwa, kesejahteraan bangsa Indonesia merupakan suatu cita
bangsa, dan sekaligus cita pendiri kemerdekaan RI yang dicantumkan dalam
Pembukaan UUD 1945, dan diadopsi ke dalam sila kelima dari Panca Sila.

Oleh karena itu setiap ancaman dan hambatan terhadap tercapainya kesejahteraan
bangsa ini merupakan pelanggaran terhadap cita bangsa. Akan tetapi sebagai suatu
negara hukum, langkah pencegahan dan pemberantasan korupsi harus dilandaskan
kepada asas kepastian hukum dan seoptimalnya dilandaskan kepada cita keadilan
sebagai cita hukum sejak zaman Yunani. Landasan yuridis, adalah UUD 1945
sebagai ”grund-norm” (hukum dasar) yang seharusnya diwujudkan ke dalam
suatu UU yang mencerminkan cita dan tujuan hukum sebagaimana diuraikan di
atas. Perlu dikaji sejauh mana UU Pemberantasan Korupsi (UUPK) telah
mencerminkan asas-asas hukum dan cita hukum dimaksud, akan diuraikan dalam
tulisan ini.
Landasan sosiologis dari penegakan hukum pemberantasan korupsi adalah bahwa,
kemiskinan yang melanda kurang lebih 35-50 juta penduduk Indonesia masa kini
adalah disebabkan karena korupsi yang telah bersifat sistemik dan meluas ke
seluruh lapisan birokrasi (30 % dana APBN terkuras karena korupsi), dan tidak
lepas dari pengaruh timbal balik antara birokrasi dan sektor swasta.

Oleh karena itu, pemberantasan korupsi bukanlah sekedar aspirasi masyarakat


luas melainkan merupakan kebutuhan mendesak (urgent needs) bangsa Indonesia
untuk mencegah dan menghilangkan sedapatnya dari bumi pertiwi ini karena
dengan demikian penegakan hukum pemberantasan korupsi diharapkan dapat
mengurangi dan seluas-luasnya menghapuskan kemiskinan.

Bertolak dari ketiga landasan politik pemberantasan korupsi di Indonesia di atas


jelas bahwa, langkah penegakan hukum pemberantasan korupsi merupakan
kewajiban bersama bukan hanya penegak hukum melainkan juga seluruh
komponen bangsa dengan bimbingan dan tauladan para pemimpin bangsa ini
mulai dari Presiden selaku kepala negara dan kepala pemerintahan, wakil presiden
sampai kepada pimpinan birokrasi di daerah, lembaga legislatif dan judikatif.

Tidak kurang pentingnya peranan masyarakat sipil (civil society-cso) dalam


mendorong, monitoring dan evaluasi keberhasilan pemberantasan korupsi. Namun
demikian sesuai dengan landasan yuridis terutama UUD 1945 khususnya
berkaitan dengan hak asasi setiap warga negara (Bab XA Pasal 28 D ) maka
langkah penegakan hukum pemberantasan korupsi juga seharusnya dapat
menjamin dan memelihara proteksi terhadap hak asasi tersangka dan terdakwa
serta terpidana korupsi, selain peningkatan efektivitas dan keberhasilan
pemberantasan korupsi itu an sich!

Merujuk kepada uraian di atas, dan berkaitan dengan masalah hukum yang
dipandang dilematis dan kontroversial di dalam penerapan UU PK selama ini,
maka perlu dijelaskan posisi dan peran Kitab UU Hukum Pidana (lege generali)
dan UU PK (lex specialis) di satu sisi, dan UU administratif yang diperkuat
dengan ketentuan pidana( lex specialis systematic).

Di dalam KUHP, Pasal 63 ayat (1) ditegaskan jika suatu tindak pidana
masuk ke dalam dua peraturan pidana, maka peraturan pidana dengan
ketentuan pidana yang lebih berat, yang harus diberlakukan (asas concursus
idealis). Di dalam ayat (2) ditegaskan lebih jauh, bahwa, jika suatu
perbuatan, yang masuk dalam suatu auran pidana yang umum, diatur pula
dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang
dikenakan.[2]

Dalam praktik, suatu tindak pidana korupsi yang berasal dari aktivitas perbankan,
pasar modal atau di bidang pajak, telah banyak yang diterapkan ketentuan pasal
tsb sehingga kemudian dituntut dan dipidana sebagai tindak pidana korupsi.
Penuntutan sebagai tindak pidana korupsi berdasarkan UU Pemberantasan
Korupsi (UU PK) yg berlaku(UU Nomor 31 tahun 1999) sebagai lex specialis.

Sesuai dengan asas ”lex specialis derogat lege generali” maka UU PK 1999 itu
yang harus diterapkan sekalipun perbuatan tsb termasuk ke dalam tindak pidana
menurut KUHP (seperti delik jabatan) khusus jika delik jabatan tsb kemudian
menimbulkan kerugian negara.

Akan tetapi terhadap UU LAIN selain UU PK, sebagaimana ditegaskan dalam


Pasal 14 UU PK 1999; maka penerapan UU PK terhadap pelanggaran ketentuan
pidana di dalam UU LAIN masih dimungkinkan jika di dalam UU Lain itu,
ditegaskan bahwa pelanggaran tsb merupakan tindak pidana korupsi.

Penafsiran hukum a contrario atas ketentuan Pasal 14 mengandung makna bahwa,


jika di dalam UU Lain itu, pelanggaran atas ketentuan pidana tidak ditegaskan
sebagai tindak pidana korupsi maka ketentuan pidana di dalam UU Lain itu yang
diberlakukan bukan UU PK 1999 ini!
Logika hukum yang terjadi adalah, bahwa Pasal 14 UU PK 1999 jelas telah
membatasi pemberlakuan Pasal 63 ayat (1) KUHP/asas concursus idealis tsb.
Pasal 14 UU PK 1999 menegaskan bahwa UU PK tidak berlaku terhadap
setiap dugaan tindak pidana korupsi atas suatu perbuatan yang terjadi di
dalam aktivitas yang dilindungi oleh suatu UU Lain (UU Perbankan,
Perpajakan atau Pasar Modal).

Pembatasan ini dimungkinkan, karena,pertama, UU PK 1999 merupakan lex


specialis, sedangkan KUHP merupakan lege generali. Kedua, pembatasan ini
sejalan dengan bunyi Pasal 103 KUHP, yang menegaskan bahwa, pemberlakuan
Bab I sampai dengan Bab VIII KUHP berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang
oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika
oleh undang-undang ditentukan lain. Ketentuan Pasal 103 KUHP menegaskan,
bahwa UU pidana khusus yang dibentuk dapat menyimpangi ketentuan dalam
Buku Kesatu KUHP termasuk asas hukum, concursus idealis, sebagaimana
dimuat dalam Pasal 63 ayat (1) KUHP. Hal ini harus diartikan bahwa, ketentuan
Pasal 14 UU PK 1999 mengenyampingkan ketentuan Bab Kesatu, Pasal 63 ayat
(1) KUHP. Dalam praktik, ketika JPU dihadapkan kepada pilihan ketentuan
pidana yang seharusnya diterapkan, JPU tidak konsisten terhadap pijakan UU
Nomor 31 tahun 1999 dalam penegakan hukum pemberantasan korupsi,dan justru
kembali menggunakan ketentuan Pasal 63 ayat (1) dan ayat (2) KUHP sebagai
lege generali. Seharusnya, sejalan dengan Ketentuan Pasal 103 KUHP, JPU
tetap menerapkan ketentuan Pasal 14 UU PK 1999, dan tidak mengajukan
dakwaan tindak pidana korupsi, melainkan diajukan dakwaan tindak pidana
sebagaimana diatur di dalam UU LAIN itu seperti, ketentuan pidana dalam UU
Perbankan, UU Pajak, UU Pasar Modal dll.

Begitupula para Majelis hakim pengadilan tipikor segera menyatakan dakwaan


tidak dapat diterima karena telah menyimpang atau bertentangan dengan bunyi
Pasal 14 UU Nomor 31 tahun 1999 yang nota bene menjadi dasar hukum
dakwaan JPU itu sendiri. Bahkan para penasehat hukum terdakwa yang dituntut
tindak pidana korupsi, seharusnya sejak awal mengajukan eksepsi atas dasar
hukum pasal 14 tadi. Namun di dalam praktik, eksepsi tidak dilakukan; dakwaan
tetap diajukan; dan perkara tindak pidana korupsi yang diajukan tetap terus
diperiksa dan diputus pengadilan sampai kepada tingkat kasasi atau PK!.
Peristiwa tersebut telah berlangsung hampir 35 tahun lebih! Sesungguhnya politik
hukum pemberantasan korupsi, berdasarkan UU PK tahun 1999 dan tahun 2001,
apalagi dengan Putusan MK mengenai unsur melawan hukum yang harus
ditafsirkan secara formil; sudah sangat jelas.

Para penegak hukum konsisten seharusnya menafsirkan secara komprehensif


ketentuan dalam UU PK 1999 dan UU PK 2001, dan mengoptimalkan peranan
filsafat hukum dan logika hukum. Penulis, yang turut aktif menyusun UU PK
1999 dan tahun 2001, menekankan bahwa, dengan penafsiran hukum yang
memadai atas rumusan ketentuan UU PK 1999, disertai dengan landasan
filosofis, yuridis, dan sosiologis yang sesuai jiwa bangsa Indonesia sebagaimana
dimuat dalam UUD 1945, maka politik hukum pemberantasan korupsi telah
berada dalam jalan yang benar.

Politik pemberantasan korupsi dimaksud, adalah, pertama, memelihara dan


mempertahankan cita keadilan sosial dan kesejahteraan bangsa di dalam negara
RI sebagai negara hukum sebagai landasan filosofis; memelihara dan melindungi
hak setiap orang atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum
yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum (Pasal 28 D ayat (1) UUD
1945) sebagai landasan penegakan hukum; mempertahankan fungsi hukum pidana
khususnya UU PK 1999 dan 2001 sebagai landasan operasional,yang lebih
mengutamakan keseimbangan fungsi pemelihara ketertiban dan keamanan di satu
sisi, dan fungsi penjeraan /penghukuman di sisi lain di atas landasan asas-asas
hukum pidana: lex specialis derogat lege generali; asas subsidiaritas dan asas
proporsionalitas, dan last but not least, memperankan hukum pidana (UU PK)
sebagai ultimum remedium (bukan primum remedium!) terutama dalam
menghadapi kasus-kasus tindak pidana LAIN yang bukan merupakan tindak
pidana korupsi (murni) an sich! (lex specialis systematic).

Tindak pidana yang murni merupakan tindak pidana korupsi adalah ketentuan
Pasal 3 UU PK 1999 dan Pasal 12 B UU PK 2001. Sasaran UU PK sejak awal
kelahirannya termasuk di semua negara, ditujukan terhadap para pemangku
jabatan publik; bukan terhadap setiap orang. Sesuai dengan namanya, ”korupsi”,
sesungguhnya yang berarti perilaku koruptif, hanya dikenal dalam ranah pejabat
publik (pemegang jabatan publik) bukan pada pada setiap orang sebagai adresat
pemberantasan korupsi pada awal mulanya.

Adapun jika ada orang lain selain, pejabat publik, yang turut melakukan tindak
pidana korupsi, telah ada ketentuannya di dalam Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP.
Penempatan Pasal 2 UU PK tahun 1999 merupakan kebijakan hukum yang
bersifat kasuistik dan kondisional, sesungguhnya tidak patut dirumuskan sebagai
norma baru dan tersendiri.

EndNote:

[1] GURUBESAR HUKUM PIDANA INTERNASIONAL UNPAD/AHLI


UNDOC UNTUK UNCAC.

[2] Moelyanto, KUHP; Sinar Grafika Offset; 2001, halaman 27. Di dalam KUHP
Belanda(1996), ketentuan pasal tsb diatur dalam Pasal 55

https://korup5170.wordpress.com/opiniartikel-pakar-hukum/politik-hukum-
pemberantasan-korupsi-lex-specialis-systematic-versus-lex-specialis-derogat-
lege-generali/
POLITIK HUKUM PEMBERANTASAN KORUPSI A. Pendahuluan
Pemberantasan korupsi sejak era Reformasi telah melalui beberapa tahapan.
Tahapan pertama pada 1998-2002, melaksanakan kebijakan hukum dalam
pemberantasan korupsi untuk memenuhi janji reformasi, terutama terhadap
mantan presiden Soeharto dan kroni-kroninya, dan dilanjutkan dengan
pembangunan bidang hukum yang meliputi empat bidang, yaitu hukum di bidang
ekonomi, keuangan, dan perbankan; hukum di bidang politik; hukum di bidang
sosial; serta hukum di bidang hak asasi manusia. Seluruh perundang-undangan
dalam keempat bidang hukum tersebut telah diselesaikan dalam kurun waktu
empat tahun pertama, disusul dengan beberapa perubahan atas perundang-
undangan tersebut, yang telah terjadi dalam kurun waktu dua tahun selanjutnya
sampai 2004. Pembentukan hukum dan perubahan-perubahan yang kemudian
telah dilakukan tampaknya belum dapat dilihat keberhasilannya dalam kurun
waktu empat tahun tahap kedua (2004-2008), sekalipun dalam penegakan hukum
dan regulasi dalam bidang hukum ekonomi, keuangan, dan perbankan telah
menunjukkan hasil yang signifikan untuk memacu peningkatan kepastian hukum
serta perlindungan hukum bagi para pelaku usaha. Penekanan untuk memacu arus
penanaman modal asing lebih mengemuka dibanding perlindungan hukum dan
kepastian hukum, baik terhadap pelaku usaha pribumi maupun asing. Masalah
kontroversial dalam pembangunan bidang hukum ekonomi, keuangan, dan
perbankan masih akan terus berlanjut sehubungan dengan belum adanya kejelasan
politik hukum yang akan dijalankan pemerintah sejak era Reformasi
sampai akhir 2007. Hal ini tidak mudah karena masih belum ada penafsiran
hukum yang sama di antara pengambil keputusan dan para ahli terhadap bunyi
ketentuan Pasal 33 Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945
Ketidakjelasan tersebut juga disebabkan oleh semakin lemahnya landasan falsafah
Pancasila yang digunakan untuk berpijak dalam menghadapi perkembangan cepat
arus liberalisme dan kapitalisme internasional. Pancasila sebagai landasan
ideologi bangsa Indonesia saat ini tengah mengalami krisis identitas. Keadaan
serius bangsa Indonesia sebagaimana diuraikan di atas berdampak besar terhadap
setiap kebijakan hukum dan penegakan hukum yang akan dilaksanakan
pemerintah, siapa pun pemimpin nasionalnya. Salah satu dampak yang telah teruji
kebenarannya adalah kebijakan hukum dan penegakan hukum dalam
pemberantasan korupsi. Refleksi gerakan pemberantasan korupsi sejak
kuranglebih 52 tahun yang lampau sarat dengan tujuan memberikan penjeraan
dengan penjatahan hukuman seberat-beratnya kepada para pelaku korupsi disertai
keinginan keras untuk sebesar-besarnya memberikan kemanfaatan bagi
pengembalian keuangan negara yang telah diambil pelakunya. Tujuan dimaksud
tampak nyata secara normatif dalam empat langkah perubahan ketentuan Undang-
Undang Pemberantasan Korupsi (1971-2001), antara lain, ancaman hukuman
ditetapkan minimum khusus dan pemberatan ancaman hukuman sepertiga dari
ancaman pidana pokok, terutama terhadap pelaku penyelenggara negara dan
penegak hukum. Selain itu, kerugian (keuangan) negara telah ditetapkan menjadi
salah satu unsur penentu ada-tidaknya suatu tindak pidana korupsi. Pola kebijakan
legislasi tersebut secara nyata menampakkan filsafat kantianisme di satu sisi dan
filsafat utilitarianisme di sisi lainnya; dua pandangan filsafat yang berbeda
mendasar dengan Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia sejak
ditemukannya pada Juni 1945. Namun, kebi' jakan legislasi pemberantasan
korupsi tersebut secara normatif telah dilaksanakan tanpa hambatan-hambatan
berarti sampai saat ini. Kendala serius yang menghadang kebijakan legislasi
tersebut justru terletak pada faktor-faktor nonhukum dan pola penegakan hukum
yang belum secara maksimal diharapkan dapat menimbulkan harmonisasi dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Kultur bangsa Indonesia tidaklah sama
dengan bangsa-bangsa lain di dunia, karena masalah harmonisasi kehidupan dan
hubungan interpersonal ternyata masih menentukan keberhasilan suatu
perencanaan/program dalam mencapai tujuannya. Kultur bangsa Indonesia
menabukan penyebarluasan aib di muka umum, apalagi dalam posisi hukum
masih belum dinyatakan bersalah oleh kekuatan suatu putusan pengadilan. Gerak
langkah pemberantasan korupsi yang mengedepankan "mempermalukan" di muka
publik dengan aib yang melekat pada seseorang terbukti telah kontraproduktif dan
antipati terhadap gerakan pemberantasan korupsi itu sendiri. Konsekuensi lanjutan
yang tampak adalah resistansi menguat dan politisasi menajam terhadap setiap
gerak langkah Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi sejak
pembentukannya. Penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi di Indonesia
telah berlangsung sejak tahun 1960-an, dan telah berganti undang-undang
sebanyak 4 (empat) kali, dan terakhir dengan UU Nomor 20 tahun 2001.
Sekalipun pergantian undangundang sebanyak itu akan tetapi filosofi, tujuan dan
misi pemberantasan korupsi tetap sama. Secara filosofis, peraturan perundang-
undangan
pemberantasan korupsi menegaskan bahwa, kesejahteraan bangsa Indonesia
merupakan suatu cita bangsa, dan sekaligus cita pendiri kemerdekaan RI yang
dicantumkan dalam Pembukaan UUD 1945, dan diadopsi ke dalam sila kelima
dari Panca Sila. Oleh karena itu setiap ancaman dan hambatan terhadap
tercapainya kesejahteraan bangsa ini merupakan pelanggaran terhadap cita
bangsa. Akan tetapi sebagai suatu negara hukum, langkah pencegahan dan
pemberantasan korupsi harus dilandaskan kepada asas kepastian hukum dan
seoptimalnya dilandaskan kepada cita keadilan sebagai cita hukum sejak zaman
Yunani. Landasan yuridis, adalah UUD 1945 sebagai ”grund-norm” (hukum
dasar) yang seharusnya diwujudkan ke dalam suatu UU yang mencerminkan cita
dan tujuan hukum sebagaimana diuraikan di atas. Perlu dikaji sejauh mana UU
Pemberantasan Korupsi (UUPK) telah mencerminkan asas-asas hukum dan cita
hukum dimaksud, akan diuraikan dalam tulisan ini. Landasan sosiologis dari
penegakan hukum pemberantasan korupsi adalah bahwa, kemiskinan yang
melanda kurang lebih 35-50 juta penduduk Indonesia masa kini adalah disebabkan
karena korupsi yang telah bersifat sistemik dan meluas ke seluruh lapisan
birokrasi (30 % dana APBN terkuras karena korupsi), dan tidak lepas dari
pengaruh timbal balik antara birokrasi dan sektor swasta. Oleh karena itu,
pemberantasan korupsi bukanlah sekedar aspirasi masyarakat luas melainkan
merupakan kebutuhan mendesak (urgent needs) bangsa Indonesia untuk
mencegah dan menghilangkan sedapatnya dari bumi pertiwi ini karena dengan
demikian penegakan hukum pemberantasan korupsi diharapkan dapat mengurangi
dan seluas-luasnya menghapuskan
kemiskinan. Bertolak dari ketiga landasan politik pemberantasan korupsi di
Indonesia di atas jelas bahwa, langkah penegakan hukum pemberantasan korupsi
merupakan kewajiban bersama bukan hanya penegak hukum melainkan juga
seluruh komponen bangsa dengan bimbingan dan tauladan para pemimpin bangsa
ini mulai dari Presiden selaku kepala negara dan kepala pemerintahan, wakil
presiden sampai kepada pimpinan birokrasi di daerah, lembaga legislatif dan
judikatif. Tidak kurang pentingnya peranan masyarakat sipil (civil society-cso)
dalam mendorong, monitoring dan evaluasi keberhasilan pemberantasan korupsi.
Namun demikian sesuai dengan landasan yuridis terutama UUD 1945 khususnya
berkaitan dengan hak asasi setiap warga negara (Bab XA Pasal 28 D ) maka
langkah penegakan hukum pemberantasan korupsi juga seharusnya dapat
menjamin dan memelihara proteksi terhadap hak asasi tersangka dan terdakwa
serta terpidana korupsi, selain peningkatan efektivitas dan keberhasilan
pemberantasan korupsi itu. B. PERMASALAHAN Merujuk kepada uraian di atas,
dan berkaitan dengan masalah hukum yang dipandang dilematis dan kontroversial
di dalam penerapan UU PK selama ini, maka perlu dijelaskan posisi dan peran
Kitab UU Hukum Pidana (lege generali) dan UU PK (lex specialis) di satu sisi,
dan UU administratif yang diperkuat dengan ketentuan pidana( lex specialis
systematic). C. PEMBAHASAN
Prakarsa Politik Hukum sekarang adalah solusi dan kebutuhan karena peristiwa
hukum berjudul BLBI itu adalah buah Politik Hukum semasa kedudukan Presiden
adalah mandataris MPR RI dan berciri Executive Heavy, dan kini Presiden adalah
mandataris Rakyat Pemilih yang kedudukan konstitusionalnya sederajat dengan
Ketua-ketua Lembaga Tinggi Negara lainnya, berdasarkan Konstitusi RI 2006
(sesuai tahun pemuatan di Lembar Negara) yang dikenali Legislative Heavy.
Memang bertumpu dari ciri Legislative Heavy ini, maka di mata rakyat, yang
paling “fair” adalah prakarsa Legislatif sepatutnya duluan terlaksana. Dari sudut
dalihnya adalah extra ordinary crime jadi wilayah kerja extra ordinary body
seperti KPK berdasarkan syarat batas TPK diatas Rp 1 Milyard, maka jelas skala
TPK Rp 650 Triliun adalah very extra large ordinary crime, dengan catatan bahwa
Perdata tidak bisa menghapuskan Pidana, seperti dinyatakan oleh salah satu
pembicara, Frans H. Winata, SH, apalagi melalui model hukum anglo saxon yakni
MSA berikut Supplemental Agreement apalagi Release & Discharge, sedangkan
Indonesia berorientasi hukum kontinental. Dalam pengertian itulah, kami
mendesak agar supaya Pejabat-pejabat Publik baik di Legislatif maupun di
Eksekutif yang berwenang segera bersikap pro aktif daripada nanti terpaksa
muncul lebih dulu Pengadilan Ad Hoc BLBI oleh prakarsa rakyat, karena
bagaimanapun juga, beban penderitaan akibat BLBI itu secara langsung adalah
ditanggung pihak rakyat, apalagi skala BLBI itu setara dengan APBN.
Keberadaan Pengadilan Ad Hoc BLBI ini diharapkan sekaligus menjawab
ketidakpastian implementasi perjanjian ekstradisi RI dengan Singapura, misalnya,
dan merupakan terobosan penyelenggaraan negara praktis ditengah upaya-upaya
menambal defisit APBN, berikut meniadakan jualan aset rakyat berbaju alasan
divestasi BUMN Di dalam KUHP, Pasal 63 ayat (1) ditegaskan jika suatu tindak
pidana masuk ke dalam dua peraturan pidana, maka peraturan pidana dengan
ketentuan pidana yang lebih berat, yang harus diberlakukan (asas concursus
idealis). Di dalam ayat (2) ditegaskan lebih jauh, bahwa, jika suatu perbuatan,
yang masuk dalam suatu auran pidana yang umum, diatur pula dalam aturan
pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan Dalam
praktik, suatu tindak pidana korupsi yang berasal dari aktivitas perbankan, pasar
modal atau di bidang pajak, telah banyak yang diterapkan ketentuan pasal tsb
sehingga kemudian dituntut dan dipidana sebagai tindak pidana korupsi.
Penuntutan sebagai tindak pidana korupsi berdasarkan UU Pemberantasan
Korupsi (UU PK) yg berlaku(UU Nomor 31 tahun 1999) sebagai lex specialis.
Sesuai dengan asas ”lex specialis derogat lege generali” maka UU PK 1999 itu
yang harus diterapkan sekalipun perbuatan tsb termasuk ke dalam tindak pidana
menurut KUHP (seperti delik jabatan) khusus jika delik jabatan tsb kemudian
menimbulkan kerugian negara. Akan tetapi terhadap UU LAIN selain UU PK,
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 14 UU PK 1999; maka penerapan UU PK
terhadap pelanggaran ketentuan pidana di dalam UU LAIN masih dimungkinkan
jika di dalam UU Lain itu, ditegaskan bahwa pelanggaran tsb merupakan tindak
pidana korupsi.
Penafsiran hukum a contrario atas ketentuan Pasal 14 mengandung makna bahwa,
jika di dalam UU Lain itu, pelanggaran atas ketentuan pidana tidak ditegaskan
sebagai tindak pidana korupsi maka ketentuan pidana di dalam UU Lain itu yang
diberlakukan bukan UU PK 1999 ini Logika hukum yang terjadi adalah, bahwa
Pasal 14 UU PK 1999 jelas telah membatasi pemberlakuan Pasal 63 ayat (1)
KUHP/asas concursus idealis tsb. Pasal 14 UU PK 1999 menegaskan bahwa UU
PK tidak berlaku terhadap setiap dugaan tindak pidana korupsi atas suatu
perbuatan yang terjadi di dalam aktivitas yang dilindungi oleh suatu UU Lain (UU
Perbankan, Perpajakan atau Pasar Modal). Pembatasan ini dimungkinkan,
karena,pertama, UU PK 1999 merupakan lex specialis, sedangkan KUHP
merupakan lege generali. Kedua, pembatasan ini sejalan dengan bunyi Pasal 103
KUHP, yang menegaskan bahwa, pemberlakuan Bab I sampai dengan Bab VIII
KUHP berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-
undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang
ditentukan lain. Ketentuan Pasal 103 KUHP menegaskan, bahwa UU pidana
khusus yang dibentuk dapat menyimpangi ketentuan dalam Buku Kesatu KUHP
termasuk asas hukum, concursus idealis, sebagaimana dimuat dalam Pasal 63 ayat
(1) KUHP. Hal ini harus diartikan bahwa, ketentuan Pasal 14 UU PK 1999
mengenyampingkan ketentuan Bab Kesatu, Pasal 63 ayat (1) KUHP. Dalam
praktik, ketika JPU dihadapkan kepada pilihan ketentuan pidana yang seharusnya
diterapkan, JPU tidak konsisten terhadap pijakan UU Nomor 31 tahun 1999 dalam
penegakan hukum pemberantasan korupsi,dan justru
kembali menggunakan ketentuan Pasal 63 ayat (1) dan ayat (2) KUHP sebagai
lege generali. Seharusnya, sejalan dengan Ketentuan Pasal 103 KUHP, JPU tetap
menerapkan ketentuan Pasal 14 UU PK 1999, dan tidak mengajukan dakwaan
tindak pidana korupsi, melainkan diajukan dakwaan tindak pidana sebagaimana
diatur di dalam UU LAIN itu seperti, ketentuan pidana dalam UU Perbankan, UU
Pajak, UU Pasar Modal dan lain-lain. Begitu pula para Majelis hakim pengadilan
tipikor segera menyatakan dakwaan tidak dapat diterima karena telah
menyimpang atau bertentangan dengan bunyi Pasal 14 UU Nomor 31 tahun 1999
yang nota bene menjadi dasar hukum dakwaan JPU itu sendiri. Bahkan para
penasehat hukum terdakwa yang dituntut tindak pidana korupsi, seharusnya sejak
awal mengajukan eksepsi atas dasar hukum pasal 14 tadi. Namun di dalam
praktik, eksepsi tidak dilakukan; dakwaan tetap diajukan; dan perkara tindak
pidana korupsi yang diajukan tetap terus diperiksa dan diputus pengadilan sampai
kepada tingkat kasasi atau PK. Peristiwa tersebut telah berlangsung hampir 35
tahun lebih Sesungguhnya politik hukum pemberantasan korupsi, berdasarkan UU
PK tahun 1999 dan tahun 2001, apalagi dengan Putusan MK mengenai unsur
melawan hukum yang harus ditafsirkan secara formil; sudah sangat jelas. Para
penegak hukum konsisten seharusnya menafsirkan secara komprehensif ketentuan
dalam UU PK 1999 dan UU PK 2001, dan mengoptimalkan peranan filsafat
hukum dan logika hukum. Penulis, yang turut aktif menyusun UU PK 1999 dan
tahun 2001, menekankan bahwa, dengan penafsiran hukum yang memadai atas
rumusan ketentuan UU PK 1999, disertai dengan landasan
filosofis, yuridis, dan sosiologis yang sesuai jiwa bangsa Indonesia sebagaimana
dimuat dalam UUD 1945, maka politik hukum pemberantasan korupsi telah
berada dalam jalan yang benar. D. PENUTUP Politik pemberantasan korupsi
dimaksud, adalah, pertama, memelihara dan mempertahankan cita keadilan sosial
dan kesejahteraan bangsa di dalam negara RI sebagai negara hukum sebagai
landasan filosofis; memelihara dan melindungi hak setiap orang atas pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama
di hadapan hukum (Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945) sebagai landasan penegakan
hukum; mempertahankan fungsi hukum pidana khususnya UU PK 1999 dan 2001
sebagai landasan operasional, yang lebih mengutamakan keseimbangan fungsi
pemelihara ketertiban dan keamanan di satu sisi, dan fungsi penjeraan
/penghukuman di sisi lain di atas landasan asas-asas hukum pidana: lex specialis
derogat lege generali; asas subsidiaritas dan asas proporsionalitas, dan last but not
least, memperankan hukum pidana (UU PK) sebagai ultimum remedium (bukan
primum remedium) terutama dalam menghadapi kasus-kasus tindak pidana LAIN
yang bukan merupakan tindak pidana korupsi (murni) an sich! (lex specialis
systematic). Tindak pidana yang murni merupakan tindak pidana korupsi adalah
ketentuan Pasal 3 UU PK 1999 dan Pasal 12 B UU PK 2001. Sasaran UU PK
sejak awal kelahirannya termasuk di semua negara, ditujukan terhadap para
pemangku jabatan publik; bukan terhadap setiap orang. Sesuai dengan namanya,
”korupsi”, sesungguhnya yang berarti perilaku koruptif, hanya dikenal dalam
ranah pejabat publik (pemegang jabatan publik) bukan pada pada setiap orang
sebagai adresat pemberantasan korupsi pada awal mulanya.
Adapun jika ada orang lain selain, pejabat publik, yang turut melakukan tindak
pidana korupsi, telah ada ketentuannya di dalam Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP.
Penempatan Pasal 2 UU PK tahun 1999 merupakan kebijakan hukum yang
bersifat kasuistik dan kondisional, sesungguhnya tidak patut dirumuskan sebagai
norma baru dan tersendiri.

http://dokumen.tips/documents/politik-hukum-pemberantasan-korupsi.html
Paradigma Anti-Pencucian Uang dan Kodifikasi

Hukum Pidana; Catatan atas Masuknya Pasal-Pasal

Tindak Pidana Pencucian Uang dalam Rancangan

KUHP

admin 09/26/2015 Artikel Pilihan No Comments

Disusun oleh Refki Saputra | Indonesian Legal Roundtable

Pendahuluan

Pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKHUP) tengah


bergulir di DPR RI. Salah satu isu substansial yang mengemuka adalah, terkait
masukknya seluruh pasal-pasal tindak pidana yang tersebar diluar KUHP[i] saat
ini kedalam buku II RKUHP. Sekilas tampak bahwa, politik hukum yang hendak
dicapai perumus RKHUP adalah hendak memperluas cakupan kodifikasi hukum
pidana. Perluasan dimaksud adalah, tidak saja sebatas tindak pidana yang memang
sudah diatur sebelumnya dalam KUHP warisan pemerintah kolonial Belanda,
namun juga terhadap tindak pidana yang muncul setelah berlakunya KUHP, yang
mana tindak pidana tersebut (walaupun tidak semua) berbeda dengan tindak
pidana yang ada dalam KUHP.

Adapun model yang hendak ditawarkan oleh tim perumus adalah bentuk
kodifikasi secara total, dengan menempatkan seluruh norma hukum pidana yang
berlaku secara nasional dalam satu kitab hukum pidana.[ii] Pada dasarnya,
kebijakan tersebut baik adanya. Tujuannya, agar seluruh warga negara dapat
secara mudah menemukan dan sekaligus memahami rumusan tindak pidana,
karena diatur dalam satu wadah yang tersistematisasi. Tidak seperti saat ini, yang
mana tatkala kita hendak menemukan rumusan tindak pidana diluar KUHP, maka
yang harus dilakukan pertama kali adalah mencari undang-undang yang
mengaturnya. Kemudian, untuk memahaminya secara keseluruhan harus
membandingkannya dengan KUHP, karena ada asas-asas umum yang masih
berlaku sepanjang tidak ditentukan lain dalam undang-undang tersebut. Selain itu,
sebagaimana manfaat kodifikasi dalam tataran yang lebih praktis, yakni
mempermudah penuntut umum dalam merumuskan bentuk dakwaan.

Namun, kodifikasi total yang hendak diwujudkan dalam RKUHP tersebut, bukan
tanpa persoalan. Tim perumus, hendak memaksakan aturan tindak pidana yang
berada diluar KUHP untuk masuk kedalam buku II RKHUP dan harus mengikuti
sistem yang ada adalam RKUHP. Hal ini dapat dilihat dalam Ketentuan Peralihan,
Pasal 782 ayat (2) RKUHP, yang menyebutkan dalam jangka waktu 5 (lima)
tahun, seluruh ketentuan pidana diluar KUHP yang dimasukkan dalam buku II
KUHP, harus disesuaikan dengan buku I dengan melakukan perubahan undang-
undangnya masing-masing.

Padahal, beberapa ketentuan materil tindak pidana diluar KUHP, memiliki


sejumlah perbedaan yang mendasar, seperti tindak pidana pencucian uang. Jenis
tindak pidana yang lahir sejak dirumuskannya Convention against Illicit Traffic in
Narcotic Drugs and Psychotropic Substances atau Konvensi Wina tahun 1988 dan
baru berlaku di Indonesia pada tahun 2002, melalui UU No. 15 Tahun 2002
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang memiliki sejumlah karakter atau
paradigma yang berbeda dengan tindak pidana pada umumnya.

Anti-pencucian uang sebagai paradigma baru dalam memberantas


kejahatan

Tindak Pidana Pencujcian Uang (TPPU) adalah tindak pidana terkait dengan
penyembunyian hasil kejahatan. Ia lahir berdasarkan pengalaman panjang dunia
internasional dalam memerangi kejahatan narkotika yang terorganisir.[iii] Pada
dasarnya, tindak pidana pencucian uang bukanlah jenis tindak pidana yang sama
sekali baru. Hal ini dapat dilihat dari salah satu rumusan dari delik TPPU adalah
adanya “harta hasil tindak pidana”, yang merujuk kepada tindak pidana yang
sudah ada, seperti tindak pidana korupsi, narkotika, perbankan, penggelapan,
penipuan dan lain-lain sebagai tindak pidana asal atau predicate crime.

Kriminalisasi terhadap penyembunyian hasil kejahatan sebagai inti dari delik


TPPU, pada dasarnya hendak mengefektifkan proses penegakan hukum terhadap
tindak pidana yang menghasilkan harta kekayaan, yang selama ini seringkali
terhambat karena masih mengedepankan pendekatan penelusuran jejak-jejak
kejahatan (im personal) melalui pencarian alat bukti kejahatan dan pelaku
kejahaatan. Proses ini berfokus hanya pada pelaku kejahatan beserta barang
buktinya, yang dilakukan dengan mencari orangnya (tersangka), kemudian
ditangkap dan dituntut berdasarkan bukti yang terungkap di persidangan, lalu
dipenjarakan. Penegakan hukum yang demikian telah terbukti gagal melawan
bentuk kejahatan teorganisir yang beroperasi mengumpulkan kekayaan dalam
jumlah yang sangat besar.[iv]

Pengungkapan tindak pidana dan pelaku tindak pidana pencucian uang lebih
difokuskan pada penelusuran aliran dana/uang haram atau transaksi keuangan
pelaku kejahatan. Dengan kata lain, penelusuran aliran dana melalui transaksi
keuangan, merupakan cara yang paling mudah untuk menemukan jenis kejahatan,
pelaku kejahatan dan tempat dimana hasil kejahatan disembunyikan atau
disamarkan. Pendekatan ini tidak terlepas dari paradigma pencucian uang bahwa
hasil kejahatan (proceeds of crime) merupakan “life blood of the crime”, artinya
hasil kejahatan merupakan darah yang menghidupi tindak kejahatan itu sendiri
sekaligus titik terlemah dari mata rantai kejahatan.[v] Maka, paradigma utama
dari TPPU adalah mengedepankan pendekatan aset (in rem) dalam menanggulangi
kejahatan, yakni pendekatan penelusuran aliran uang atau harta kekayaan hasil
kejahatan (follow the money).

Jika pengungkapan kejahatan secara konvensional dilakukan dengan melacak


jejak-jejak kejahatan, maka strategi follow the money dilakukan dengan melacak
jejak-jejak transaksi keuangan (paper trail) yang ditinggalkan oleh pelaku
kejahatan. Hal ini yang sering disebut sebagai pengungkapan kejahatan dari hilir,
yakni dari hasil kejahatan yang dihasilkan menuju kepada kejahatan yang
dilakukan dan terakhir kepada pelaku kejahatan sebagai penerima atau penikmat
dari hasil kejahatan tersebut. Pada dasarnya, pendekatan follow the money
mendahulukan mencari uang atau harta kekayaan hasil tindak pidana (in rem)
dibandingkan dengan mencari pelaku kejahatan (in personam). Setelah hasil
kejahatan diperoleh, kemudian baru dicari terduga pelakunya dan tindak pidana
(asal) yang dilakukan.[vi]

Logika yang ada dibalik pendekatan ini merujuk pada fakta, bahwasannya pelaku
kejahatan terorganisir yang biasanya berada dalam posisi terhormat dapat
memisahkan diri baik secara moral, psikologis dan geografis dengan kejahatan
jalan yang dilakukan oleh para anggota organisasi. Akan tetapi, ia tidak dapat
menjauhkan diri dari keuntungan kejahatan tersebut, karena memang itulah alasan
mereka bekerja secara terorganisir dalam melakukan aktivitas kejahatan.[vii] Ia
mencoba menyamarkan atau mengaburkan hubungan dengan hasil kejahatan agar
terhindar dari kejaran penegak hukum, namun pada dasarnya dia tetap terhubung
dan dapat mengontrol hasil kejahatan tersebut. Para penjahat tersebut hanya dapat
teridentifikasi dan kemudian dikenakan hukuman, apabila uang dari hasil
kejahatan yang mengarah kepadanya dapat dilacak dan ditemukan.[viii]

Problem kodifikasi pasal TPPU dalam RKUHP

Melalui sistem kodifikasi, pasal-pasal tentang Tindak Pidana Pencucian Uang


dimasukkan dalam BAB XXXVI RKUHP bersama-sama dengan tindak pidana
penadahan dan penerbitan dan pencetakan. Adapun Pasal-pasal tindak pidana
pencucian uang dalam bab tersebut pada dasarnya berasal dari UU No. 8 Tahun
2010 tentang Tindak Pidana Pencucain Uang (UU TPPU).[ix] Hampir tidak ada
rumusan delik yang berubah, hanya beberapa sanksi pidana yang mengalami
sedikit peningkatan. Yakni, sanksi denda yang sebelumnya diatur dalam UU
TPPU paling banyak Rp. 10 milyar, sementara dalam RKUHP menjadi paling
banyak Rp. 15 milyar (kategori VI). Selain itu, rumusan tindak “hasil tindak
pidana” yang sebelumnya merupakan bagian dari batang tubuh di UU TPPU
(Pasal 2 ayat 1), kemudian dijadikan muatan penjelasan dalam RKHUP.

Walaupun secara konseptual, sistem kodifikasi tidak serta-merta menjadikan suatu


tindak pidana yang sebelumnya berada diluar KUHP, menjadi tindak pidana
umum yang berakibat sifat-sifat khusus yang melekat menjadi hilang dan
kehilangan dayaguna. Bukan pula lembaga-lembaga penegak hukum yang
melakukan penegakan hukum atas dasar undang-undang diluar KUHP, kemudian
menjadi hilang kewenangannya apabila muatan pasal tersebut masuk kedalam
KUHP. Materi hukum pidana materil dalam KUHP sejatinya tetap dapat
digunakan oleh siapapun penegak hukum, asalkan dia bewenang melakukan
proses penegakan hukum. Hal ini dikarenakan, kodifikasi yang dimaksud hendak
membuat rumah yang lebih besar dari sistem hukum pidana yang dapat
memayungi sistem pemidanaan secara nasional. Dimana sebelumnya, aturan
berkenaan dengan tindak pidana kita menurut Prof. Barda Nawawi berupa rumah
besar KUHP dan ada rumuah-rumah kecil disekelilingnya.[x] Rumah yang lebih
besar maksudnya adalah KUHP yang sanggup menyerap semua karakteristik
tindak pidana yang sebelumnya berada diluar KUHP. Artinya, walaupun
mengalami beberapa penyesuaian, namun prinsip-prinsip fundamental dari tindak
pidana tersebut tetap dipertahankan dalam KUHP.

Namun yang terjadi saat ini, perumus RKUHP hendak memaksakan tindak pidana
diluar KUHP masuk menjadi bagian RKHUP tanpa memandang sifat atau prinsip
utama yang menjadi landasan lahirnya undang-undang tersebut. TPPU yang
merupakan jenis tindak pidana yang memiliki paradigma in rem, hendak dipaksa
mengikuti pola im personal dari RKUHP. Ambil contoh misalnya dalam rumusan
Buku I RKHUP tentang gugurnya kewenangan penuntutan. Dalam ketentuan
Pasal 152 huruf b RKUHP diatur bahwa salah-satu sebab gugurnya hak
penuntutan adalah karena terdakwa meninggal dunia. Padahal dalam rezim TPPU,
walaupun terdakwa meninggal dunia, namun perkara tetap bisa dilanjutkan
melalui penuntutan terhadap harta kekayaan yang patut diduga berasal dari tindak
pidana.

Pasal 79 ayat (4) UU No. 8 Tahun 2010 menyebutkan bahwa: “Dalam hal
terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang
cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana Pencucian
Uang, hakim atas tuntutan penuntut umum memutuskan perampasan Harta
Kekayaan yang telah disita.” Dari ketentuan ini, proses perampasan aset tetap
dilakukan oleh jaksa penuntut umum yang menangani perkara TPPU. Pemahaman
ini berbeda jika dibandingkan dengan pelaksanaan pidana perampasan, yang tetap
dapat dilakukan walaupun terpidana meninggal dunia (vide Pasal 161 RKHUP).
Pidana perampasan pada dasarnya diputuskan oleh putusan pengadilan bersamaan
dengan putusan bersalah dari terdakwa. Namun, jika mengikuti logika Pasal 152
huruf b RKUHP tersebut, maka perampasan tersebut tidak pernah akan bisa
dilakukan, apabila pelaku meninggal dunia pada saat proses peradilan sedang
berjalan, kecuali menggunakan mekanisme gugatan perdata melalui Jaksa
Pengacara Negara.

Kodifikasi pasal TPPU dalam RKUHP hanya sebatas menarik pasal-pasal yang
berisi delik TPPU, yakni Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5 UU TPPU. RKUHP tidak
mengabsorbsi pasal TPPU sebagai suatu pendekatan yang berbeda dengan tindak
pidana pada umumnya. Hanya beberpa ketentuan dalam Buku I RKUHP yang
sudah perbaharui sebagai tuntutan perkembangan zaman, seperti
pertanggungjawaban pidana korporasi. Lantas, jika mengikuti ketentuan Pasal 782
RKUHP tentang Aturan Peralihan, TPPU yang memiliki pendekatan in rem, mau
tidak mau akan mengikuti Buku I RKUHP yang masih kuat dengan paradigma im
personal, tanpa ada pengecualian. Hal ini menimbulkan problem yang mendasar,
dimana fondasi dari UU TPPU akan hilang. Pendekatan harta kekayaan akan
direduksi sepenuhnya menjadi pendekatan orang, dalam penegakan hukum TPPU.
Hal ini tentu tidak sesuai dengan konteks historis dari lahirnya rezim anti-
pencucian uang didunia internasional yang muncul akibat gagalnya pendekatan
hukum konvensional melawan kejahatan terorganisir.

Rekomendasi

Eksistensi dari UU TPPU dan unadng-undang lainnya pasca kodifikasi hanya


sebatas undang-undang yang bersifat administratif dan prosedural (hukum acara).
Beberapa ketentuan materil juga harus diamandemen mengikuti ketentuan Bab I
KUHP yang baru. Tampak disini bahwa, pemerintah tidak melakukan tela’ah
yang mendalam seputar proses kodifikasi total yang akan dilakukan. Seharusnya,
pemerintah melibatkan semua pemangku kepentingan yang terkait dengan proses
penegakan hukum dari undang-undang yang berada diluar KUHP, seperti KPK,
PPATK dan juga lembaga lainnya. Sehingga tujuan kodifikasi dapat disampaikan
dengan baik, yang pada akhirnya kodifikasi RKUHP dapat mengakomodasi
ketentuan khusus yang terdapat dalam undang-undang tindak pidana di luar
KUHP.

Cakupan kodifikasi RKUHP saat ini dengan memasukkan pasal-pasal undang-


undang diluar KUHP sangatlah besar jika dibandingkan dengan tugas DPR yang
pada saat yang hampir bersamaan juga akan membahas rancangan Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana RKUHAP. Dari beberapa uraian yang diungkapkan
bahwa ternyata pasal TPPU agak kesulitan menjadi bagian dari RKUHP beserta
komplikasi-komplikasi hukum dalam proses pembahasannya, maka sebaiknya
pemerintah dan DPR menarik pasal-pasal tindak pidana diluar KUHP, khususnya
pasal-pasal TPPU. Pemerintah dan DPR cukup berkonsentrasi merumuskan
RKUHP yang memperbaharui beberapa ketentuan yang berasal dari KUHP
warisan pemerintah kolonial yang memang mesti direvisi, seperti masalah
pertanggungjawaban pidana, sanksi pidana dan lain sebagainya. Selain itu, revisi
RKUHP saat ini juga harus dianggap sebagai penebusan “dosa sejarah” dari
bangsa ini yang tidak pernah menetapkan KUHP Nasional secara resmi.

Dalam hal menjamin adanya kepastian hukum bagi warga negara terkait dengan
undang-undang pidana, pemerintah dapat membuat katalog hukum pidana yang
memudahkan warga negara mengenali peraturan mana saja yang berisikan sanksi
pidana. Selain itu juga menyediakan akses yang mudah terhadap peraturan
perundang-undangan, agar setiap produk peraturan perundang-undangan dapat
diperoleh dengan mudah oleh warga negara.
[i] Tindak pidana diluar KUHP merupakan jenis tindak pidana yang diatur
dengan undang-undang tersendiri, seperti undang-undang tentang tindak pidana
korupsi, undang-undang pencucian uang, undang-undang terorisme, dan lain
sebagainya, yang memang merupakan undang-undang yang berisikan pengaturan
tentang tindak pidana. Hal ini berbeda dengan undang-undang administratif yang
berisi ketentuan sanksi pidana (administratif penal law), seperti undang-undang
tentang Agraria, undang-undang Hak Kekayaan Intelektual, undang-undang
Kearsipan dan lain sebagainya.

[ii] Bernhard Ruben Fritz Sumingar, 2015, Kodifikasi dalam R KUHP dan
Implikasi terhadap Tatanan Hukum Pidana Indonesia (Jakarta: Institute for
Criminal Justice Reform, 2015), hlm. 7.

[iii] Nobel dan Columbic (1997-1998), bahwa upaya kriminalisasi pencucian


uang hasi kejahatan, merupakan ekspresi dari masyarakat internasional yang
merasa gagal dalam menangani masalah narkotika dan psikotropika. Lihat Yenti
Garnasih, Kriminalisasi Pencucian Uang (Money Laundering) (Jakarta: Program
Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003), hlm. 135

[iv] Barbara Vettori, Tough on Criminal Welath: Exploring the Practice of


Proceeds from Crime Confiscation in the EU (Netherlands: Springer, 2006), hlm.
3.

[v] Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Pencegahan dan


Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Jakarta, 2006), hlm. 14.

[vi] Yunus Husein, Negeri Sang Pencuci Uang, Cet.1, (Jakarta: Pustaka Juanda
Tigalima, 2008) hlm. 67.

[vii] Pettter Alldridge, Money Laundering Law: Forfeiture, Confiscation, Civil


Recovery, Criminal Laundering and Taxation of Proceeds of Crime (Oregon: Hart
Publishing, 2003), hlm. 67.

[viii] Ibid.

[ix] Naskah Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Kitab


Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Badan Pembinaan Hukum Nasional
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, hlm. 257

[x] Bernhard Ruben Fritz Sumingar, Op., Cit., hlm. 8.


Kejahatan tindak pidana pencucian uang diakui sebagai suatu bentuk kejahatan
kerah putih (white collar crime), yakni suatu kejahatan yang melibatkan orang-
orang memiliki kesempatan dan kapasitas tertentu, bahkan dapat melibatkan
banyak pihak. Dan kejahatan tindak pidana ini menghadirkan kerugian
perkonomian suatu bangsa cukup besar. Namun pada kenyataannya tindak pidana
pencucian uang memang modus kejahatan yang begitu sulit dibuktikan, oleh
karena itu maka diperlukan terobosan-terobosan baru dalam sistem hukum di
Indonesia guna mempermudah pembuktian dalam tindak pidana pencucian uang,
salah satunya adalah menerapkan asas beban pembuktian terbalik dalam tindak
pidana pencucian uang.

Pembuktian merupakan bagian penting dalam pencarian kebenaran materiil


terhadap proses pemeriksaan perkara pidana. Sistem Eropa Kontinental yang
dianut oleh Indonesia menggunakan keyakinan hakim untuk menilai alat bukti
dengan keyakinannya sendiri. Hakim dalam pembuktian ini harus memperhatikan
kepentingan masyarakat dan terdakwa. Kepentingan masyarakat berarti orang
yang telah melakukan tindak pidana harus mendapatkan sanksi demi tercapainya
keamanan, kesejahteraan, dan stabilitas dalam masyarakat. Sedangkan
kepentingan terdakwa berarti bahwa ia harus diperlakukan dengan adil sesuai
dengan asas Presumption of Innocence. Sehingga hukuman yang diterima oleh
terdakwa seimbang dengan kesalahannya.

Beban pembuktian adalah suatu kewajiban yang dibebankan kepada suatu pihak
untuk memberikan suatu fakta di depan sidang pengadilan untuk membuktikan
kebenaran atas suatu pernyataan atau tuduhan salah satu jenis beban pembuktian
yaitu beban pembuktian terbalik atau omkering van bewijslaat. Penerapan beban
pembuktian terbalik dalam tindak pidana pencucian uang sekiranya memang
urgensinya begitu tinggi untuk diterapkan di Indonesia dewasa ini. Beban
pembuktian terbalik atas asset yang dimiliki oleh aparatur Negara yang dicurigai
melakukan penyalahgunaan wewenang atau dicurigai memperoleh asset dengan
cara-cara tidak sah, yakni dengan cara melanggar hukum diyakini menghadirkan
dampak positif dalam upaya penyelamatan asset Negara secara maksimal dari
pelaku tindak pidana pencucian uang. Dalam Beban pembuktian terbalik atau
omkering van bewijslaat ini didefinisikan bahwa yang mempunyai beban
pembuktian adalah terdakwa, sedangkam penuntut umum akan bersikap pasif, bila
terdakwa gagal melakukan pembuktian maka dia akan dinyatakan kalah.

Kondisi Faktual Di Indonesia

Penerapan beban pembuktian terbalik dalam tindak pidana pencucian uang patut
diberlakukan di Indonesia sebagai tindak lanjut dari pasal 77 UU No. 8 tahun
2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang yang
berbunyi “untuk kepentingan pemeriksaan disidang pengadilan, terdakwa wajib
membuktikan harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana.” Jikalau
kita mengimplementasikan pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang
menegaskan bahwa Indonesia adalah Negara Hukum, artinya dalam konsep
negara hukum, supremasi hukum harus dijunjung tinggi di Negara ini. Maka dari
itulah mengapa dirasa perlu menerapkan sistem beban pembuktian terbalik ini
dalam tindak pidana pencucian uang khususnya. Dan jika ditinjau dari aspek pasal
35 UU No. 8 Tahun 2010 yang menyatakan bahwa “yaitu jika terdakwa tidak
dapat membuktikan asal usul harta kekayaannya, maka terdakwa dapat
dipersalahkan dengan Tindak Pidana Pencucian Uang”. Dalam hal ini terlihat
begitu pentingnya penerapan system pembuktian secara terbalik.

Sistem beban pembuktian terbalik sudah diterapkan pertama kali di Indonesia


diterapkan di pengadilan negeri Jakarta selatan, yaitu kepada bekas pejabat kantor
pajak dan bappenas, bahasyim assifie. Dalam proses terssebut, bahasyim assifie
diminta membuktikan keabsahan hartanya yang dia sebut hasil dari berbagai
usaha. Bahasyim memang menunjukan berbagai dokumen yang ia katakana
sebagai hasil dari usahanya sendiri. Namun majelis hakim tidak mengakui seluruh
bukti tersebut karena tidak sah menurut hukum. Akhirnya bahasyim divonis
hukuman penjara selama 10 tahun, ditambah denda Rp.250 juta subside 3 bulan
kurungan. Hartanya pun yang senilai Rp. 60,9 miliar ditambah 681.147 dollar AS
dirampas untuk Negara karena terbukti merupakan hasil dari tindak pidana
korupsi.

Dari kasus tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa konsekuensi logis beban
pembuktian terbalik tidak bersinggungan dengan pelanggaran hak asasi manusia,
ketentuan hukum acara pidana khususnya tentang asas praduga tak bersalah, asas
tidak mempersalahkan diri sendiri, asas hak untuk diam, hukum pidana materiil
serta instrumen hukum internasional. Hal ini dikarenakan beban pembuktian
terbalik dalam tindak pidana pencucian ini hanya dapat dilakukan terhadap harta
kekayaan pelaku pencucian uang, sehingga titik beratnya hanya untuk
memaksimalkan pengembalian harta Negara dari hasil pencucian uang oleh
pelaku tindak pidana pencucian uang.

Dalam hal ini kita harus tahu bahwa dalam hukum acara pidana kita tidak
mengenal sistem beban pembuktian terbalik. Hal ini jelas diatur dalam UU No.8
Tahun 1981 mengenai KUHAP, yang dimana beban pembuktian hanya
dilimpahkan kepada pihak penuntut umum. Dan dalam hal ini, terdakwa tidak di
bebani kewajiban pembuktian, yang sudah jelas tercantum dalam pasal 66
KUHAP. Namun demikian, yang harus kita perhatikan lebih lanjut bahwa di
dalam hukum pidana kita mengenal asas lex specialis derogate legi generalis yang
tercantum dalam pasal 63 ayat (2) KUHP yang menyatakan bahwa jika suatu
perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang khusus, maka hanya yang
khusus itulah yang diterapkan. Jadi jika kita tinjau dari aspek ini, dapat kita
simpulkan bahwa pelaksanaan beban pembuktian terbalik dalam tindak pidana
pencucian uang itu dapat di implementasikan, karena sudah jelas ada payung
hukum yang mengaturnya. Faktanya di Indonesia yang sering diterapkan dalam
proses pembuktian dalam peradilan pidana yaitu teori jalan tengah yakni
gabungan dari teori berdasarkan undang-undang dan teori berdasarkan keyakinan
hakim, beban pembuktian terbalik itu sudah di terapkan dan sangat dibutuhkan
dalam upaya pembuktian terhadap pelaku penccucian uang, dikarenakan jika
ditinjau dalam tindak pidana pencucian uang beban pembuktian terbalik adalah
sebuah solusi konkrit yang sangat membantu dalam pembuktian dan juga dalam
upaya memaksimalkan penyelamatan asset Negara yang diprivatisasi lewat
pencucian uang.

kejahatan luarbiasa mungkin harus dibuktikan dengan cara

yang luarbiasa juga

https://senandungcita.wordpress.com/2013/10/15/beban-pembuktian-terbalik-
dalam-tindak-pidana-pencucian-uang/
alamat : polhum hukum adat :
https://www.academia.edu/8874687/PERKEMBANGAN_POLITIK_HUKUM_
MENGENAI_HAK_ULAYAT_.......

Anda mungkin juga menyukai