Anda di halaman 1dari 100

RESUME BUKU ILMU PERUNDANG-UNDANGAN

KARYA EFIK YUSDIANSYAH

(Untuk Memenuhi Nilai Ujian Tengah Semester Mata Kuliah Teori Perundang-undangan)

Dosen Pengampu :

Dr. Nurul Chotidjah, S.H., M.H.

Dibuat oleh :

Annisa Affandy

10040018199

Kelas D

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG

2020
ILMU PERUNDANG-UNDANGAN

BAB I

PENDAHULUAN

1. Pengantar Tentang Kedudukan Ilmu Perundang-undangan dalam Ilmu Hukum

Ilmu perundang-undangan lahir pada negara yang menganut sistem hukum Eropa

Continental, yang mula-mula berkembang di Eropa Barat tepatnya di Negara Jerman. Ilmu

perundang-undangan merupakan cabang ilmu yang relatif masih baru, baru berkembang tahun

1970-an. Tokoh terkenal penggagasnya yaitu Peter Noll, Jurgen Rodig, Burkhardt Krems, dan

Werner Maihofer.1 Selain itu di Belanda berkembang sejak tahun 1980-an tokoh terkenalnya S.O.

Van Poelje dan W.G. Van Der Velden.

Di Indonesia Cabang Ilmu perundang-undangan yang merupakan ilmu tersendiri

berkembang sejak tahun 1990-an, hal ini sejalan dengan fungsi peraturan perundang-undangan itu

sendiri yang merupakan sumber hukum utama di Indonesia. Sebagai ilmu pengetahuan yang baru

istilah yang digunakanpun masih beragam, misalnya Wetgevingsleer/Wetgevingskunde dari Van

Poelje, Gesetzgebung Swissen Sens Chaft dari Burkhardt Krems, dan di Indonesia Ilmu

Pengetahuan perundang- undangan dari Hamid S. Attamimi.

Burkhardt Krems berpendapat bahwa Gesetzgebung swissen senschaft mempunyai dua

pengertian yang berbeda. Perbedaannya nampak dalam bagan di bawah ini :

1
Mereka tokoh-tokoh ilmu perundang-undangan di Jerman, Lihat lebih lanjut Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-
undangan dasar- dasar dan Pembentukannya, Sekretariat Konsorsium Ilmu Hukum Universitas Indonesia, Jakarta,
1996.

1
Ilmu pengetahuan per-uu-an dlm arti luas adalah ilmu pengetahuan interdisipliner

(menyatu titikkan pemahaman, paradigma, dan metoda berbagai disiplin ilmu) mengenai

pembentukan peraturan hukum oleh negara. Terbagi menjadi dua, yaitu:

1) Ilmu perundang-undangan dalam arti sempit, merupakan Cabang atau sisi yang berorientasi

pada melakukan perbuatan pelaksanaan dan bersifat normatif.

2) Teori Perundang-undangan, merupakan cabang ilmu pengetahuan per-uu-an yang bersifat

kognitif dan berorientasi pada mengusahakan kejelasan dan kejernihan pemahaman,

khususnya pememahan yang bersifat dasar di bidang per–uu-an.

Teori mengandung arti sekumpulan pemahaman-pemahaman, titik-titik tolak, dan asas-

asas yang saling berkaitan yang memungkinkan pemahaman lebih baik terhadap sesuatu objek.

atau sistem dari tata hubungan yang logik dan definitorik diantara pemahaman-pemahaman.

Sedangkan arti perundang-undangan mengacu pada keseluruhan peraturan-peraturan negara dan

2
proses kegiatan pembentukan peraturan peraturan tersebut. Dengan demikian dapat diambil ruang

lingkup dari Teori Perundang-undangan, yaitu:

1) Pemahaman tentang hakekat UU.

2) Siapa yang membentuk UU.

3) Apa fungsi dari perundang-undangan.

2. Peristilahan

Istilah Gesetzgebung atau perundang-undangan mempunyai 2 (dua) pengertian, yaitu:

1) Proses pembentukan/proses membentuk peraturan perundangundangan, dan

2) Segala peraturan-peraturan yang merupakan hasil pembentukan dari proses pembuatan

perundang-undangan. Dalam pengertian yang kedua ini, di Indonesia ada beberapa istilah yang

digunalan oleh para ahli hukum yaitu:

a. Peraturan Negara (M.Solly Lubis)

Mengandung arti peraturan dan penetapan yang dikeluarkan oleh badan yang berwenang.

b. Peraturan Perundangan (Soehino)

Istilah peraturan perundangan digunakan dalam Tap. MPRS XX/ 1966.

c. Perundang-Undangan (Amiroedin Syarif)

Mengandung 2 (dua) arti, yaitu:

(1) Proses pembentukan peraturan-peraturan negara yang tertulis dari bentuk yang

tertinggi sampai terendah yang dihasilkan secara atribusi atau delegasi.

(2) Keseluruhan produk peraturan-peraturan Negara yang tertulis.

d. Peraturan Perundang-undangan (Bagir Manan, Hamid S. Attamimi)

Mengandung arti peraturan yang lahir karena perundang-undangan.

3
BAB II

HUKUM NASIONAL INDONESIA

1. Pengertian Hukum Nasional

Hukum yang berlaku di Indonesia ditinjau dari lingkungan territorial sebagai tempat

berlakunya, ada dua macam hukum yaitu hukum yang berlaku diseluruh wilayah Negara Indonesia

(nasional) dan ada yang berlaku untuk daerah atau lingkungan masyarakat hukum tertentu atau

dapat disebut sebagai hukum lokal. 2 Hukum lokal dibentuk dan berlaku dalam lingkungan

pemerintahan otonomi berupa Peraturan Daerah, Keputusan, atau hukum lainnya yang dibuat pada

tingkat nasional tetapi hanya berlaku untuk wilayah tertentu. Hukum lokal merupakan sub sistem

dari hukum nasional, konsekuensinya hukum lokal dan hukum nasional tidak boleh saling

bertentangan, bahkan lebih dari itu harus membentuk satu tertib hukum.

Tujuan dari pembentukan hukum nasional adalah untuk memenuhi kebutuhan individu,

masyarakat (bangsa), dan negara dalam hal:

1) mengatur, dan mengembangkan penyelenggaraan negara dan pemerintahan serta masyarakat

Indonesia yang demokratis. Hukum sebagai instrument demokrasi.

2) mengatur, dan mengembangkan tatanan masyarakat, bangsa, dan Negara Indonesia yang

berdasarkan atas hukum. Hukum tidak boleh menjadi alat kekuasaan belaka.

3) Memberdayakan masyarakat dibidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan lain-lain dimensi

kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

4) Mewujudkan kesejahteraan umum atas dasar keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.3

2
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Terjemah oleh Somardi, Rimdi Press, Bandung, 1995, hlm. 304.
3
Bagir Manan, Pembangunan Hukum untuk Mewujudkan Keadilan dan Kebenaran, Makalah, Bandung, 2000, hlm 2.

4
Agar tujuan dari pembentukan hukum nasional itu dapat terwujud maka pembangunan

hukum nasional harus bersifat integral baik dari aspek-aspek sistem hukum maupun dari fungsi-

fungsi hukum disegala bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara.

Hukum nasional dilihat dari bentuknya dapat dikelompokan menjadi 2, yaitu:

1) Hukum tertulis

a. Hukum tertulis yang berlaku umum, adalah hukum yang berlaku bagi subjek-subjek yang

tidak tertentu. Hukum tertulis yang berlaku umum ini adalah Peraturan Perundang-

undangan, seperti UUD, UU, dan peraturan lainnya yang disebutkan dalam UU No. 10

Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

b. Hukum tertulis yang berlaku khusus, adalah hukum tertulis yang hanya berlaku untuk

subjek atau subjek-subjek tertentu yang bersifat konkrit,4 seperti keputusan presiden,

keputusan menteri, keputusan administrasi negara, dll.

2) Hukum tidak tertulis

2. Tujuan Hukum dalam Negara Hukum

Dalam negara hukum harus ada pembatasan kekuasaan oleh hukum, yang terkait dengan

tujuan hukum. Tujuan hukum secara umum adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertib,

menciptakan ketertiban dan keseimbangan.5 Dalam mencapai tujuan tersebut hukum bertugas:

1) membagi hak dan kewajiban antar perorangan dalam masyarakat,

2) membagi wewenang dan mengatur cara memecahkan masalah hukum, serta

4
Bagir Manan, Hukum Positif Indonesia (satu kajian teoritik), Makalah, Jakarta, 2000, hlm. 10.
5
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (suatu pengantar), liberty, Yogyakarta, 1991, hlm. 58.

5
3) memelihara kepastian hukum.

Secara umum dikenal 3 (tiga) teori tentang tujuan hukum, yaitu Teori Etis,Teori Utilitis, dan Teori

Campuran.6

1) Teori Etis

Teori etis menyatakan bahwa tujuan hukum adalah untuk mewujudkan keadilan. Dalam Islam

keadilan merupakan perintah dari Allah untuk ditegakkan. 7 Sehingga perbuatan adil mendekati

ketaqwaan kepada Allah dan penegakannya tidak pandang bulu, terhadap diri sendiri, orang

tua, karib kerabat, kaya atau miskin, 8 terhadap lawan atau kawan, orang yang disukai atau

dibenci. 9

2) Teori Utilits

Teori utilitis menyatakan bahwa tujuan hukum adalah untuk menjamin kebahagiaan yang

terbesar bagi manusia dalam jumlah yang sebanyak-banyaknya.

3) Teori Campuran

Teori campuran menyatakan bahwa tujuan pokok dan pertama dari hukum adalah ketertiban,

disamping ketertiban tujuan lain dari hukum adalah tercapainya keadilan yang berbeda-beda

isi dan ukurannya menurut masyarakat dan jamannya. 10

Teori tentang tujuan hukum ini memperlihatkan bahwa tujuan pokok dari hukum, yaitu:

6
Ibid. Lihat juga C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, PN Balai Pustaka, Jakarta,
1979, hlm. 38-44.
7
Lihat Qur’an Surat Al-A’raf ayat 29.
8
Lihat Qur’an Surat An-Nisa Ayat 135.
9
Lihat Qur’an Surat Al Maidah Ayat 8.
10
Salah seorang tokoh yang menggagasnya di Indonesia adalah Mochtar Kusumaatmadja.

6
1) Ketertiban

Untuk mencapai ketertiban dibutuhkan kepastian hukum dalam pergaulan antar manusia dalam

masyarakat.11 Kepastian hukum akan terwujud jika hukum dilaksanakan dan ditegakkan dalam

peristiwa konkrit yang terjadi. Kepastian hukum merupakan perlindungan justisiabel terhadap

tindakan sewenang-wenang. Dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib.

2) Keadilan

Untuk mencapai keadilan dibutuhkan ketertiban masyarakat

Konsep tujuan hukum tersebut di satu pihak berkaitan dengan tertib hukum dan di pihak

lain berkaitan pula dengan fungsi hukum.

1) Tertib hukum (rechtsorde), bermakna bahwa kekuasaan negara didasarkan pada hukum dan

dikehendaki oleh hukum; serta keadaan masyarakat yang sesuai dengan hukum yang berlaku.

Tertib hukum tercipta jika:

a. Suatu produk peraturan perundang-undangan tidak saling bertentangan, baik secara

vertikal maupun secara horizontal;

b. Perilaku pelaksana kekuasaan negara dan anggota masyarakat sesuai dengan aturan hukum

yang berlaku.

2) Fungsi hukum, menurut Sjachran Basah mencakup lima hal, sehingga beliau menyebut

dengan istilah panca fungsi hukum, 12 diantaranya:

a. Direktif, artinya hukum harus dapat berfungsi sebagai pengarah dalam membangun untuk

11
Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, Bandung, Bina Cipta,
hlm. 2.
12
Sjachran Basah, Perlindungan hukum terhadap sikap tindak administrasi negara,Alumni, Bandung, 1992, hlm. 13-
14. Lihat juga Sjachran Basah, Tiga tulisan tentang Hukum, Armico, Bandung 1986, hlm. 24-25.

7
membentuk masyarakat yang hendak dicapai sesuai dengan tujuan kehidupan bernegara.

b. Integratif, artinya hukum harus dapat menjadi pembina kesatuan bangsa.

c. Stabilitatif, dalam hal ini hukum harus dapat berfungsi sebagai pemelihara dan menjaga

keselarasan, keserasian, dan keseimbangan dalam kehidupan bernegara dan

bermasyarakat.

d. Perspektif, yaitu penyempurna bak terhadap sikap tindak administrasi Negara maupun

warga Negara apabila terjadi pertentangan dalam kehidupan bernegara dan masyarakat.

e. Korektif, dalam hal ini hukum harus dapat menjadi pengoreksi atas sikap tindak

administrasi negara maupun warga negara apabila terjadi pertentangan hak dan kewajiban

untuk mendapatkan keadilan.

Hukum merupakan bagian dari norma yang disebut norma hukum. Jika ini dikaitkan

dengan pembagian system norma yang dikemukakan Hans Kelsen maka norma hukum itu dapat

digolongkan ke dalam 2 sistem, yaitu:

1) Sistem norma yang static (Nomostatics), adalah suatu system yang melihat pada isi sustu

norma, dimana suatu norma umum dapat ditarik menjadi norma- norma yang khusus.

Contoh: dirikanlah Sholat! Dari norma ini dapat ditarik norma khusus kewajiban untuk

berpakaian menutup aurat, menyiapkan air, dan lain-lain.

2) Sistem norma yang dinamik (Nomodinamics), adalah suatu sistem norma yang melihat pada

berlakunya norma atau dari cara pembentukannya atau penghapusannya. Hal ini menyatakan

bahwa norma yang dibawah harus berdasar pada norma yang lebih tinggi dan begitu

seterusnya sampai akhirnya berhenti pada suatu norma tertinggi yang disebut Grond norm.

Hans Kelsens sebagai salah seorang penganut positivisme hukum menyatakan bahwa

8
hukum itu semata-mata kehendak dari penguasa (command of the sovereign) dalam bentuk

peraturan perundang- undangan. Hukum lebih luas dari peraturan perundang- undangan, bahkan

sedemikian luasnya sehingga Apeldoorrn menyatakan bahwa tidak mungkin memberikan suatu

definisi tentang apakah yang disebut hukum itu. Berikut terdapat beberapa pengertian hukum:

1) Menurut E. M. Meyers

Hukum adalah semua aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan, ditujukan kepada

tingkah laku manusia dalam masyarakat, dan yang menjadi pedoman bagi penguasa-penguasa

dalam melakukan tugasnya.

2) Menurut S.M. Amin

Hukum adalah kumpulan-kumpulan peraturan-peraturan yang terdiri dari norma dan

sanksi-sanksi dengan tujuan mengadakan ketertiban dalam pergaulan manusia sehingga

keamanan dan ketertiban terpelihara.

3) Menurut J.C.T. Simorangkir & Wirjono Sastro-Pranoto

Hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku

manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib,

pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan yaitu

dengan hukuman tertentu.

Melihat definisi-definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur hukum adalah :

1) pengaturan mengenai tingkah laku manusia,

2) dibuat oleh badan yang berwenang,

3) bersifat memaksa, dan

4) memiliki sanksi

9
Kaidah hukum di suatu negara sangat dipengaruhi oleh aspek filosofi dan sosiologis dari

negara tersebut. Sifat dari kaidah hukum ini dapat dikelompokan menjadi empat macam, yaitu :

1) Umum abstrak, misal peraturan perundang-undangan; Contoh kongkrit “Barang siapa/

setiap orang yang membuang sampah tidak pada tempatnya dipidana dengan pidana kurungan

selama-lamanya tiga bulan atau denda sebesar- besarnya Rp. 50.000,00.

2) Umum konkret, misal rambu-rambu lalulintas atau Semua orang yang menggunakan

kendaraan bermotor roda dua harus menggunakan Helm pengaman;

3) Individual konkret misal Keputusan Tata Usaha Negara konkritnya Saudara ASEP

,S.H.,M.H. diangkat sebagai GUBERNUR PROPINSI JAWA BARAT; dan

4) Individual abstrak misal Izin Gangguan atau Saudara DEDEN wajib mentaati semua

peraturan yang berlaku di Unisba.

Disisi lain A. Hamid S. Attamimi memberi arti peraturan per-uu-an adalah semua aturan

hukum yang dibentuk oleh semua tingkat lembaga dalam bentuk tertentu dengan prosedur tertentu

biasanya disertai sanksi dan berlaku umum, serta mengikat rakyat. Sedangkan Bagir Manan

menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan adalah “Keputusan tertulis yang dikeluarkan

oleh pejabat berwenang yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat mengikat secara umum”.

Dari kedua definisi tersebut dapat disimpulkan unsur-unsur Peraturan Perundang-undangan :

1) Bentuk peraturan perundang-undangan adalah tertulis

mengandung arti mempunyai bentuk baku tertentu, yaitu tertulis dalam peraturan perundang-

undangan bukan hanya ada tulisannya, melainkan selain ada tulisannya juga harus memenuhi

bentuk baku tertentu yang di Indonesia bentuk bakunya diatur dalam UU No. 10 Tahun 2004

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

10
2) Dikeluarkan oleh badan/lembaga berwenang

Pejabat atau lembaga yang berwenang adalah pejabat yang secara atribusi atau delegasi

mempunyai kewenangan membuat peraturan per-uu-an. Secara umum Pemberian

kewenangan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu :

a. Pemberian kewenangan yang sifatnya atributif

Pengatribusian kekuasaan ini menurut Suwoto disebut sebagai pembentukan

kekuasaan, karena dari keadaan yang belum ada menjadi ada. Atribusi (attributie) dalam

kamus istilah hukum diterjemahkan sebagai:13

“Pembagian (kekuasaan); dalam kata attributie van rechtsmacht; pembagian kekuasaan

kepada berbagai instansi (absolute competentie/kompetensi mutlak), sebagai lawan dari

distributie van rechtsmacht. Juga membagikan suatu perkara kepada kekuasaan yudikatif

atau kekuasaan aksekutif: conflicten van attributie, konflik pembagian kekuasaan”.

Menurut Van Wijk, atribusi bila dihubungkan dengan keadaan di Indonesia, yaitu:

(1) Atribusi wewenang yang berasal dari suatu delegasi (delegatif). Atribusi pertama,

berkedudukan sebagai original legislator, yakni ditingkat pusat adalah MPR sebagai

pembentuk UUD ( konstituante), dan Presiden bersama DPR membentuk UU.

(2) Atribusi yang kedua (delegated legislator), seperti Presiden yang berdasar atas suatu

ketentuan UU mengeluarkan suatu PP yang berisi penciptaan wewenang

pemerintahan kepada badan atau pejabat TUN.

Adapun ciri-ciri atribusi (attribrutie) wewenang dapat dikemukaan sebagai berikut:

(1) Pengatribusian wewenang menciptakan kekuasaan baru, sehingga sifatnya tidak

13
N.E. Negra, (et al), Kamus Istilah …, Jakarta : Binacipta, 1983, hlm. 36.

11
derivatif;

(2) Pemberian wewenang melalui atribusi tidak menimbulkan kewajiban bertanggung

jawab, dalam arti tidak diwajibkan menyampaikan laporan atas palaksanaan

wewenang;

(3) Pemberian wewenang melalui atribusi harus berdasar peraturan perundang-undangan;

(4) Wewenang yang diperoleh melalui atribusi dapat dilimpahkan kepada badan-badan

administrasi lain, tanpa harus memberi tahu kepada badan yang memberi wewenang;14

b. Pemberian kewenangan yang sifatnya derivatif

Pemberian kekuasaan yang derivatif disebut sebagai pelimpahan, karena dari

kekuasaan yang ada dialihkan kepada badan hukum publik yang lain. Bentuk pelimpahan

kekuasaan yang penting adalah delegasi (delegatie) dan mandate (mandaat).15 Pada

atribusi (pembagian kekuasaan hukum) diciptakan suatu wewenang, pada delegasi,

diserahkan suatu wewenang, pada mandat tidak ada penciptaan ataupun penyerahan

wewenang. Ciri pokok mandat adalah suatu bentuk perwakilan. Mandataris berbuat atas

nama yang diwakili. 16 Delegasi diterjemahkan sebagai: 17

“Penyerahan wewenang dari pejabat yang lebih tinggi kepada yang rendah; penyerahan

yang demikian dianggap tidak dapat dibenarkan selain dengan atau berdasarkan

kekuatan.”

14
Lihat Suwoto, Kekuasaan dan…. , Op. Cit. , Hlm. 82-83. Lihat juga R.J.H.M. Huisman, Algemeen
bestuursrecht, een inleiding, kobra, Amsterdam, tanpa tahun, Hlm. 7.
15
Suwoto, Kekuasaan Dan Tanggung Jawab Presiden Republic Indonesia, Disertasi, Universitas Airlangga,
Surabaya, 1990, Hlm. 75-77. Untuk pembentukan peraturan perundang-undangan tidak ada kewenangan yang
asalnya dari mandat.
16
Ibid, hlm. 286.
17
N.E. Negra, (et al), Kamus Istilah …, Jakarta : Binacipta, 1983, hlm. 91.

12
Van Wijk mengarrtikan bahwa dengan delegasi terjadi suatu pelimpahan

wewenang dari organ administrasi negara kepada organ administrasi Negara yang lain.

Suatu delegasi wewenang memerlukan dasar hukum yang jelas, karena itu apabila

delegens hendak menarik kembali wewenang yang telah didelegasikan kepada

delegataris, maka delegans harus menarik atau mencabut lebih dulu pelimpahan

wewewnang dimaksud. Penerima wewenang berdasarkan delegasi (delegataris) dapat

pula mendelegataris lebih lanjut wewenangnya kepada organ atau pejabat administrasi

Negara lain. Pelimpahan wewenang dimaksud di sebut Subdelegasi, yang tata cara dan

akibatnya berlaku sama seperti delegasi. Atau dengan kata lain, untuk delegasi ini secara

mutatis mutandis juga berlaku ketentuan- ketentuan mengenai subdelegasi pada

umumnya. Dengan demikian dapat disarikan ciri-ciri pelimpahan wewenang

(delegatie):

(1) Pelimpahan wewenang hanya boleh dilakukan oleh badan atau organ pemerintah

(administrasi Negara) yang berkompeten.

(2) Pelimpahan wewenang mengakibatkan tidak berkompeten lagi “delegans” dalam

kurun waktu yang ditentukan ;

(3) Penerima wewenang (delegataris) harus bertindak untuk dan atas nama sendiri.

Karena itu segala akibat hukum yang timbul dari pendelagisian wewenang menjadi

tanggung jawab delegataris;

(4) Tata cara dan akibat hukum pada pelimpahan wewenang antara “delegans” dengan

delegataris berlaku sama antara delegataris (sub delegans) dengan sub delegasi (sub

delegataris).

3) Substansinya aturan tingkah laku

13
Aturan pola tingkah laku secara umum dapat digolongkan ke dalam 4 pola yaitu :

a. Peraturan-perundang-undangan yang sifatnya Perintah

Artinya peraturan perundang- undangan tersebut mewajibkan kepada subjek untuk

melakukan sesuatu. Biasanya dalam peraturan tersebut dinyatakan dengan bantuan kata

kerja wajib atau harus.

Contoh : Setiap orang yang telah dewasa wajib memiliki Kartu Tanda Penduduk.

b. Peraturan-perundang-undangan yang sifatnya Larangan

Artinya peraturan perundang- undangan ini mewajibkan kepada subjek untuk tidak

melakukan sesuatu. Larangan sering dirumuskan dengan kata-kata “dilarang” atau “tidak

boleh” atau “tidak dapat”.

Contoh : Setiap Pegawai Negeri Sipil dilarang mempunyai istri lebih dari satu kecuali

seizin istri tuanya.

c. Peraturan-perundang-undangan yang sifatnya memberi Dispensasi.

Artinya peraturan tersebut membolehkan secara khusus kepada subjek untuk tidak

melakukan sesuatu yang secara umum diwajibkan/diharuskan. Biasanya dirumuskan

dengan bantuan kata-kata “dibebaskan dari kewajiban”, “dikecualikan dari kewajiban”,

atau “Tidak berkewajiban”.

Contoh : Mahasiswa yang telah lulus Penataran P4 dibebaskan dari kewajiban untuk

menempuh mata kuliah Pancasila

d. Peraturan-perundang-undangan yang sifatnya memberi Izin

Artinya pembolehan khusus untuk melakukan sesuatu yang secara umum dilarang atau

tidak boleh dilakukan. Biasanya dirumuskan dengan menggunakan kata: “boleh”, “berhak

untuk”, “mempunyai hak untuk”, “Dapat” atau “berwenang untuk”.

14
Contoh : Setiap orang berhak mendapatkan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

4) Sifatnya mengikat umum

Maksud dari mengikat umum ini adalah tidak mengidentifikasikan individu tertentu. Secara

umum Peraturan Perundang-undangan mempunyai struktur yang terdiri dari unsur-unsur

sebagai berikut:

a. Subyek, menunjuk kepada siapa yang menjadi sasaran dari suatu aturan.

Contoh: Setiap Orang, Barang Siapa, dll.

b. Obyek, menunjuk pada peristiwa-peristiwa apa yang hendak diatur.

Contoh: Memiliki atau menmguasai senjata tajam, dalam hal ikhwal kegentingan yang

memaksa, ... dll.

c. Pola tingkah laku, menunjuk pada cara bagaimana obyek diatur, ini dapat berupa perintah,

larangan, memberikan sesuatu hak atau membebankan suatu kewajiban tertentu.

Contoh: Boleh menguasai, berhak menetapkan, diancam dengan hukuman penjara.

d. Kondisi subyek, menunjuk pada keadaan yang bagaimana subyek melakukan pola tingkah

laku.

Contoh: Dengaan Sengaja, Karena Kelalaiannya, dll.

Sedangkan istilah Undang-Undang mengandung 2 (dua arti), yaitu dalam arti materiil dan formal.

1) Dalam arti materiil (wet in materiele zin)

Undang-undang sama dengan peraturan perundang-undangan.

2) Dalam arti formal (wet in formele zin)

Undang-undang yang dilihat dari bentuknya akan diberi nama UU, yang kalau di Indonesia

undang-undang tersebut dibuat oleh legislatif dan disahkan oleh eksekutif.

15
BAB III

HUBUNGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN NEGARA HUKUM

1. Pengertian, Sejarah, dan Ruang Lingkup Negara Hukum

Negara hukum adalah suatu gagasan bernegara yang paling ideal. Gagasan negara hukum

didasari oleh suatu keyakinan bahwa kekuasaan negara harus dijalankan atas dasar hukum yang

baik dan adil. Sejarah kenegaraan menunjukan bahwa pengisian dan pengertian negara hukum

selalu berkembang sesuai dengan kondisi masyarakat dan zaman saat perumusan negara hukum

itu dicetuskan. Berikut perkembangan Negara hukum dari masa ke masa:

1) Konsep pemerintahan dalam polis dengan wilayah yang kecil serta penduduk sedikit

Aristoteles yang melihat pemerintahan dalam polis dengan wilayah yang kecil serta

penduduk sedikit memberikan ciri-ciri negara hukum, adalah :

a. Segala urusan Negara dilakukan dengan musyawarah;

b. Seluruh warganegara ikut serta dalam urusan penyelenggaraan negara;

c. Berdiri di atas hukum yang mencerminkan keadilan.

Dalam perkembangannya raja yang memerintah menyelenggarakan kepentingan rakyatnya dengan

tidak mengikutsertakan rakyat dan bahkan banyak melakukan hal-hal yang merugikan rakyatnya.

Akibatnya, munculah faham liberalisme yang mengajarkan bahwa negara harus melepaskan diri dari

campur tangan urusan kesejahteraan rakyatnya. Pemikiran ini melahirkan konsep negara hukum dalam

arti sempit.

2) Konsep Negara hukum dalam arti sempit

Menurut Emanuel Kant dan Fichte konsep Negara hukum disebut Nacht Wachter Staat yang

unsur-unsurnya adalah :

a. Perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, dan

16
b. Pemisahan kekuasaan.

Tuntutan masyarakat yang terus berkembang mengakibatkan konsep negara hukum dalam arti sempit

tidak dapat dipertahankan.

3) Konsep Negara hukum modern

Konsep Negara hukum modern lahir dari tuntutan masyarakat yang mengakibatkan konsep

Negara sebelumnya tidak dapat dipertahankan. Negara ternyata harus turut campur dalam

menyelenggarakan kesejahteraan rakyat, namun turut sertanya negara dibatasi oleh undang-undang.

Pembatasan ini dimaksudkan agar negara tidak berbuat sewenang- wenang. Konsep negara hukum

modern inipun dalam penerapannya masih dipengaruhi oleh system hukum yang digunakan oleh suatu

negara.

Literatur lama membagi system hukum dalam dua bagian besar yaitu system hukum

Eropa Kontinental dan Anglo Saxon.

1) Sistem hukum Eropa Kontinental

Sistem hukum yang mengutamakan hukum tertulis, dengan demikian peraturan

perundang-undangan merupakan sendi utama system hukumnya. System hukum Eropa

kontinental sering pula disebut system hukum kodifikasi (codified law system). Sistem hukum

Eropa Kontinental melahirkan konsep negara hukum Eropa Kontinental atau disebut

Rechtstaats. Konsep Negara hukum Eropa Kontinental membagi unsur-unsur Negara hukum

menjadi 3 (tiga), yaitu:

a. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia,

b. Trias Politica,

c. Wetmatig Bestuur,

d. Peradilan Administrasi.

17
2) Sistem hukum Anglo Saxon

Sistem hukum yang tidak menjadikan peraturan perundang-undangan sebagai sendi utama

system hukumnya, sendi utamanya terletak pada Yurisprudensi. Sistem hukum Anglo Saxon

berkembang dari kasus-kasus kongkret, dan dari kasus tersebut lahir berbagai kaidah dan asas-

asas hukum. Karena itu, system hukum ini sering disebut system hukum yang berdasarkan

kasus (case law system). Sistem hukum Anglo Saxon melahirkan konsep Negara hukum

Anglo Saxon atau disebut Rule of Law. Konsep negara hukum Anglo Saxon membagi unsur-

unsur negara hukum menjadi tiga, yaitu:

a. Supremasi hukum, dalam arti bahwa hukum mempunyai kekuasaan tertinggi,

b. Persamaan di depan hukum bagi semua warga negara, dan

c. Jaminan terhadap hak-hak asasi manusia.

Terdapat perbedaan dari Konsep Negara Hukum Eropa Kontinental dan Konsep Negara Hukum

Anglo Saxon. Perbedaan tersebut diakibatkan oleh:

1) Pada system Eropa kontinental berlaku Prerogative State yang menurut konsep ini pejabat

administrasi negara dalam melakukan fungsi administrasinya tunduk pada hukum administrasi

negara, sehingga bila pejabat administrasi negara itu melakukan kesalahan atau kekeliruan dalam

menjalankan fungsi administrasinya maka mempunyai forum peradilan tersendiri yaitu peradilan

administrasi negara. Sedangkan dalam konsep Anglo Saxon peradilan administrasi negara tidak

penting dengan alasan adanya pesamaan kedudukan dalam hukum sehingga tidak ada perbedaan forum

peradilan baik bagi rakyat biasa maupun bagi pejabat administrasi negara.

2) Sistem Eropa Kontinental selalu berusaha untuk menyusun hukum-hukumnya dalam satu

sistematika yang diupayakan selengkap mungkin dalam sebuah kitab undang-undang. Hal

18
tersebut melahirkan unsur setiap tindakan pemerintah harus didasarkan pada peraturan

perundang-undangan yang telah ada. Sedangkan dalam system Anglo Saxon sendi utamnya

adalah yurisprudensi, dari yurisprudensi itulahir berbagai kaidah dan asas hukum. Dan hal itu

melahirkan unsure supremasi hukum.

Literature yang dating kemudian menambahkan 3 (tiga) sistem hukum, yaitu dengan

system hukum Islam yang melahirkan konsep negara hukum Islam, system hukum Sosialis yang

melahirkan negara hukum Socialist Legality, dan system hukum Pancasila yang melahirkan

konsep negara hukum Pancasila.

Konsep negara hukum menurut Hukum Islam ialah suatu pemerintahan yang

didasarkan pada asas-asas dan kaidah-kaidah hukum Islam (Syariah). Dalam Syariah ini diatur dua

aspek hubungan, yaitu:

1) Hubungan vertical

Hubungan vertical adalah hubungan manusia dengan Allah, disebut ibadah.Syariah Islam

memberi dasar sesuai dengan sifat manusia yang langgeng dan tak berubah, yang berlaku pada

setiap tempat dan pada segala jaman. Namun Islam tidak mengatur seribu satu permasalahan

secara teknis terinci, Islam hanya mempunyai satu aturan dalam ibadah, yaitu semua dilarang

kecuali apa yang diperintahkan dan satu untuk muamalat yaitu semua diperbolehkan kecuali

yang dilarang.

2) Hubungan horizontal

Hubungan horizontal adalah hubungan manusia dengan manusia serta manusia dengan alam

lingkungan hidupnya disebut muamalat atau kemasyarakatan. Dalam muamalat atau

kemasyarakatan karena semua diperbolehkan kecuali yang dilarang maka dengan sendirinya

hal tersebut memberi kebebasan kepada manusia untuk merinci dan mengembangkan aturan-

19
aturan kemasyarakatan. Walaupun begitu manusia tidak dapat sekehendak hatinya merinci dan

mengembangkan aturan ini, tetapi harus selalu mengikuti rambu-rambu yang terdapat dalam

Qur’an dan Sunah Rasul. Dengan demikian dalam negara hukum Islam rasio meanusia

digunakan untuk membuat aturan kemasyarakatan.

Indonesia sebagai negara yang lahir pada abad modern menyatakan diri sebagai negara

hukum. Landasan berpijak yang dapat digunakan untuk menyatakan Indonesia sebagai negara

hukum adalah Penjelasan Umum Undang-undang Dasar 1945 (UUD’45) tentang system

pemerintahan negara yang menyatakan :

1) Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechtsstaat) tidak berdasarkan atas kekuasaan

belaka (machtsstaat),

2) Pemerintah berdasarkan atas system konstitusi (hukum dasar) tidak bersifat absolutisme

(kekuasaan yang tidak terbatas).

3) Penjelasan UUD’45 ini lebih dikuatkan lagi dengan amandemen ketiga UUD’45 dalam Pasal

1 Ayat (3) yang menyatakan “Negara Indonesia adalah negara hukum”.

Terhadap isi penjelasan UUD’45 di atas Sri Soemantri M. memberikan ulasan bahwa

negara Indonesia berdasarkan hukum, berarti negara Indonesia adalah hukum (Pancasila). Hal

tersebut menyiratkan bahwa dalam negara hukum Indonesia unsur kekuasaan diakui

keberadaannya akan tetapi pemerintahannya berdasar atas sistem konstitusi.

Undang-Undang Dasar merupakan sistem konstitusi ini merupakan sarana yang efektif

untuk membatasi kekuasaan. Dikatakan paling efektif karena dalam konstitusi terdapat 3 (tiga)

materi muatan yang diatur yaitu :

1) adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warga negara,

20
2) ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental,

3) adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental.

Sedangkan arti dari negara hukum Pancasila itu sendiri adalah setiap pemegang

kekuasaan dalam negara dalam menjalankan tugas dan wewenangnya harus mendasarkan diri atas

norma-norma hukum yang berlaku, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, dan norma

hukum itu harus berdasarkan Pancasila. Adapun unsur-unsur dari negara hukum Pancasila :

1) adanya pengakuan terhadap jaminan hak-hak asasi manusia dan warga negara,

2) adanya pembagian kekuasaan,

3) dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, pemerintah harus selalu berdasarkan atas

hukum yang berlaku baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis,

4) adanya kekuasaan kehakiman yang dalam menjalankan kekuasaannya merdeka artinya

terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, sedang khusus untuk Mahkamah Agung harus

juga merdeka dari pengaruh-pengaruh lainnya.

Muhammad Tahir Azhari mengatakan bahwa negara hukum Pancasila adalah negara

hukum yang bercirikan ada hubungan yang erat antara agama dan negara, bertumpu pada

Ketuhanan Yang Maha Esa, adanya kebebasan agama dalam arti positif, atheisme tidak

dibenarkan dan komunisme dilarang, dan adanya asas kekeluargaan dan kerukunan. Unsur-unsur

negara hukum Pancasila adalah :

1) Pancasila,

2) MPR,

3) sistem konstitusi,

4) persamaan,

21
5) peradilan bebas.

Azhary menyatakan bahwa unsur-unsur dari negara hukum Indonesia adalah :

1) Hukumnya bersumber pada Pancasila,

2) berkedaulatan Rakyat,

3) pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi,

4) persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan,

5) kekuasaan kehakiman yang bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya,

6) pembentukan undang-undang oleh Presiden bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat,

7) dianutnya sistem MPR.

Bagir Manan yang mengatakan bahwa di Indonesia sekurang-kurangnya ada tiga sistem

hukum yang berlaku, yaitu Sistem Hukum Adat, Sistem Hukum Agama, dan Sistem Hukum

Barat. Ketiga sistem hukum ini mempengaruhi konsep negara hukum Pancasila, oleh karena itu

penulis beranggapan bahwa unsur-unsur dari negara hukum Pancasila adalah :

1) Kekuasaan sebagai amanah,

2) adanya perlindungan terhadap hak asasi manusia,

3) adanya pembagian kekuasaan,

4) adanya persamaan dalam hukum,

5) adanya sistem konstitusi,

6) adanya asas musyawarah,

7) pemerintah bertindak berdasarkan hukum,

8) adanya peradilan bebas.

2. Fungsi Peraturan Perundang-undangan dalam Negara Hukum

22
Bagir Manan menyatakan bahwa fungsi peraturan perundang-undangan dapat dibedakan

menjadi dua kelompok utama, yaitu fungsi internal dan fungsi eksternal. 18

1) Fungsi Internal

Fungsi internal adalah fungsi peraturan perundang-undangan sebagai sub sistem hukum dari

sistem hukum pada umumnya. Fungsi internal terdiri dari:

a. fungsi penciptaan hukum,

b. pembaharuan hukum, 19

c. fungsi integrasi pluralisme sistem hukum, 20

d. fungsi kepastian hukum. 21

2) Fungsi Eksternal

Fungsi eksternal dari peraturan perundang-undangan adalah fungsi yang berkaitan dengan

lingkungan tempat berlakunya peraturan perundang- undangan tersebut. Dengan kata lain

fungsi eksternal ini disebut juga sebagai fungsi sosial hukum. fungsi eksternal terdiri dari :

a. fungsi perubahan, yang mengandung arti bahwa peraturan perundang-undangan diciptakan

untuk mendorong perubahan masyarakat dibidang ekonomi, sosial, dan budaya.

b. fungsi stabilisasi, maksudnya peraturan perundang-undangan diciptakan untuk menjamin

stabilitas masyarakat.

18
Bagir Manan, Fungsi dan Materi peraturan Perundang-undangan, Makalah pada penataran dosen Pendidikan dan
Latihan Kemahiran Hukum BKS-PTN bidang hukum sewilayah barat, Fakultas Hukum Universitas Lampung,
Bandar Lampung, 1994, hlm. 16.
19
Untuk pembaharuan hukum peraturan perundang-undangan merupakan instrumen yang efektif dibandingkan
dengan hukum kebiasaan atau yuirsprudensi, hal ini terjadi karena pembentukan peraturan perundang-undangan
dapat direncanakan sehingga pembaharuan hukumpun dapat direncanakan.
20
Di Indonesia masih berlaku berbagai sistem hukum, dan pembangunan sistem hukum melalui pembentukan
peraturan perundang-undangan dalam rangka menintegrasikan berbagai sistem hukum tersebut sehingga tersusun
dalam satu tatanan yang harmonis satu sama lain.
21
Peraturan perundang-undangan memberikan kepastian hukum yang lebih tinggi dibandingkan dengan hukum tidak
terlulis (hukum adat, hukum kebiasaan, hukum yurisprudensi) dan kepastian hukum dari peraturan perundang-
undangan tidak hanya terletak pada bentuknya yang tertulis, melainkan juga pada teknik perumusannya.

23
c. fungsi kemudahan, artinya peraturan perundang-undangan dipergunakan untuk mengatur

berbagai kemudahan misal insantif, penundaan pengenaan pajak, dan lain-lain.

Fungsi peraturan perundang-undangan tersebut sejalan dengan fungsi hukum yang

dikemukan oleh Sjachran Basah, yang menyatakan ada lima fungsi hukum sehingga beliau

menyebut dengan istilah panca fungsi hukum. 22 Hal tersebut tentunya berlaku juga bagi Indonesia

yang merupakan negara hukum Modern. Tujuan dari Negara Indonesia sebagai suatu negara

hukum adalah sebagaimana yang dirumuskan dalam alinea keempat pembukaan Undang-Undang

Dasar 1945.

Peraturan perundang-undangan mempunyai peranan yang besar dalam negara hukum

Indonesia. Peranan yang besar dari peraturan perundang-undangan ini disebabkan oleh pengaruh

sistem hukum Eropa kontinental. Namun selain pengaruh sistem hukum Eropa Kontinental Bagir

Manan memberikan empat alasan lain, yaitu :

1) Peraturan perundang-undangan merupakan kaidah hukum yang mudah dikenali

(diidentifikasi), mudah diketemukan kembali, dan mudah ditelusuriPeraturan perundang-

undangan memberikan kepastian hukum,

2) Struktur dan sistematika peraturan perundang- undangan lebih jelas sehingga memungkinkan

untuk diperiksa kembali dan diuji baik segi-segi formal maupun materi muatannya, dan

3) Pembentukan dan pengembangan peraturan perundang-undangan dapat direncanakan.

Bagir manan menyatakan ada empat dasar atau landasan agar peraturan perundang-

undangan berlaku dengan baik, yaitu :

22
Sjachran Basah, Perlindungan Hukum Terhadap Sikap Tindak Administrasi negara, Alumni, Bandung, 1992, hlm.
13-14. Lihat juga Sjachran Basah, Tiga Tulisan Tentang Hukum, Alumni, Bandung, 1990, hlm. 23-24.

24
1) Landasan Yuridis

Landasan yuridis adalah landasan hukum yang menjadi dasar pembuatan suatu peraturan

perundang-undangan. Landasan yuridis sangat penting dalam pembuatan pembuatan

peraturan perundang-undangan karena akan menunjukan :

a. pejabat atau lembaga yang berwenang membuat atau membentuk peraturan

perundang-undangan tersebut. apabila ada peraturan perundang-undangan yang dibuat

oleh pejabat atau lembaga selain dari yang telah ditentukan, maka peraturan perundang-

undangan itu batal demi hukum (nietig van recthswege). Dianggap tidak pernah ada, segala

akibatnya batal dengan sendirinya.

b. Bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan dengan materi yang harus diatur

di dalamnya terutama jika telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan

yang tingkatannya lebih tinggi atau sederajat. apabila terjadi ketidaksesuaian bentuk

antara peraturan dasarnya dengan peraturan perundang-undangan yang hendak dibentuk,

maka mengakibatkan peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan

(vernietigbaar).

c. Prosedur atau tata cara tertentu, apabila tata cara tersebut tidak diikuti, maka peraturan

peraturan perundang-undangan mungkin batal demi hukum, atau tidak/belum mempunyai

kekuatan hukum mengikat.

d. Adanya konsekwensi yuridis, bahwa peraturan perundang-undangan yang hendak dibuat

itu tidak boleh bertentangan dengan peraturan dasarnya atau yang lebih tinggi

tingkatannya.

Landasan yuridis pembentukan peraturan perundang-undangan dibagi menjadi 2 (dua), yaitu:

a. Landasan yuridis formal

25
Kaidah-kaidah hukum yang menjadi dasar kewenangan (bevoegheid) untuk menerbitkan

peraturan perundang-undangan. Landasan ini mengarah kepada lembaga atau instansi

yang berwenang membuatnya. Misal Pasal 5 Ayat (1) UUD’45 amandemen pertama

merupakan dasar hukum bagi DPR untuk membuat UU.

b. Landasan yuridis materiil

Kaidah-kaidah hukum yang menghendaki suatu hal yang materinya diatur dalam suatu

peraturan perundang-undangan tertentu. Landasan yuridis materiil ini mengarah pada

materi muatan yang seyogyanya diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan.

Misalnya Pasal 24 dan 25 UUD’45 merupakan dasar hukum (landasan yuridis materiil)

untuk dibuatnya UU No. 14 Tahun 1985 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman.

2) Landasan Sosiologis

Landasan Sosiologis adalah landasan yang mencerminkan kenyataan yang hidup dalam

masyarakat atau tata nilai budaya yang berlaku dalam masyarakat. Mencerminkan kenyataan

yang hidup dalam masyarakat, tidak berarti bahwa produk peraturan perundang-undangan

yang dihasilkan itu sekedar merekam keadaan seketika (moment opname), akan tetapi harus

dapat pula mengakomodasi kecenderungan (trend) dan harapan-harapan masyarakat.

3) Landasan Filosofis

Landasan filosofis adalah pandangan, ide-ide atau cita hukum (recthsidee), dimana suatu

peraturan perundang-undangan sedapat mungkin dijiwai oleh nilai-nilai luhur berupa nilai etik,

estetika, dan moral yang dianut dalam hubungan bermasyarakat. Di Indonesia, Pancasila

merupakan nilai-nilai yang secara sistematis berisi kristalisasi nilai-nilai luhur budaya bangsa

Indonesia yang telah berlangsung sekian abad lamanya. Maka dari itu, Pancasila dijadikan

26
sebagai pandangan hidup bangsa, dasar negara, dan sumber dari segala sumber hukum

Indonesia.

4) Landasan Teknik Perancangan

Landasan teknik perancangan adalah landasan yang bersangkut paut dengan prosedur atau tata

cara pembuatan peraturan perundang-undangan.

Dalam kaitan dengan aspek perancangan, Bagir Manan membagi dua tahap perancangan

peraturan perundang-undangan, yaitu tahap penyusunan naskah akademik dan tahap

perancangan.

1) Tahap Penyusunan Naskah Akademik

Dalam tahap penyusunan akademik di bahas pertanggung jawaban akademik atas suatu naskah

rancangan peraturan perundang-undangan. Pada tahap inilah diperlukan kajian-kajian landasan

filosofis, yuridis, dan sosiologis secara mendalam.

2) Tahap Perancangan

Tahap perancangan mencakup aspek-aspek prosedural dan penulisan rancangan. Aspek-aspek

prosedural tersebut adalah berupa izin prakarsa, pembentukan panitia antar departemen,dll.

Sedangkan penulisan rancangan adalah penuangan gagasan naskah akademik atau bahan-

bahan lain ke dalam bahasa dan struktur normatif, atau biasanya disebut tahap normativisasi.

27
BAB IV

ASAS-ASAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

1. Pengertian Asas-asas Hukum

Menurut Moh. Koesnoe, asas hukum merupakan suatu pokok ketentuan atau ajaran yang

berdaya cakup menyeluruh terhadap segala persoalan hukum didalam masyarakat yang

bersangkutan dan berlaku sebagai dasar dan sumber materiil ketentuan hukum yang diperlukan. 23

Asas hukum ini mempunyai 2 (dua) fungsi, yaitu :

1) Fungsi dalam Hukum

Mendasarkan eksistensinya pada rumusan oleh pembentuk undang-undang dan hakim atau

dengan kata lain fungsi mengesahkan serta mempunyai pengaruh yang normatif dan mengikat

para pihak.

2) Fungsi dalam Ilmu Hukum

Hanya bersifat mengatur dan aksplikatif atau menjelaskan dengan tujuan memberi ikhtisar,

tidak normatif sifatnya dan tidak termasuk hukum positif.

2. Asas-asas Pembuatan Peraturan Perundang-undangan

Asas-asas peraturan perundang-undangan mempunyai kedudukan yang esensial atau

penting dalam pembuatan peraturan perundang-undangan bahkan lebih dari itu asas-asas peraturan

perundang-undangan merupakan unsur dari peraturan perundang-undangan. Artinya asas-asas ini

harus selalu ada dalam pembuatan peraturan perundang-undangan. Van der Vlies membagi teknis

23
Moh Koesnoe, Perumusan dan Pembinaan cita Hukum dan Asas-Asas Hukum Nasional, dalam Majalah Hukum
Nasional Edisi Khusus 50 Tahun Pembangunan Nasional, Pusat Dokumentasi hukum Badan Pembinaan Hukum
Nasional, Jakarta, hlm. 75.

28
perancangan menjadi dua asas, yaitu asas formal dan asas materiil. Untuk Indonesia menurut A.

Hamid S. Attamimi adalah sebagai berikut :

1) Asas-asas Formal, meliputi:

a. Asas tujuan yang jelas;

b. Asas perlunya pengaturan;

c. Asas organ atau lembaga yang tepat;

d. Asas materi muatan yang tepat;

e. Asas dapat dilaksanakan;

f. Asas dapat dikenali.

2) Asas-asas Materiil, meliputi:

a. Asas sesuai dengan cita hukum dan norma fundamental negara;

b. Asas sesuai dengan hukum dasar negara;

c. Asas sesuai dengan prinsip-prinsip negara berdasar atas hukum; dan

d. Asas sesuai dengan prinsip-prinsip pemerintahan berdasar sistem konstitusi.

Peraturan perundang-undangan sebagaimana dikemukakan oleh A.H.S. Attamimi di atas,

akan lebih mudah dipahami jika dihubungkan dengan ciri-ciri peraturan perundang-undangan yang

baik. Menurut Bagir Manan, peraturan perundang-undangan yang baik adalah peraturan

perundang-undangan yang mencerminkan dasar berlaku secara yuridis, sosiologis, filosofis, dan

memperhatikan teknik perancangannya. Sedangkan menurut Irawan Soejito, ciri-ciri peraturan

perundang-undangan yang baik adalah :

1) Dibuat dengan kalimat yang pendek, tetapi padat dan dibuat secara teliti dan jelas;

2) Mudah dipahami secara mendalam oleh rakyat;

29
3) Berisi kaidah-kaidah yang sederhana, mudah dimengerti dan tepat;

4) Tidak ruwet dan diterima baik dalam masyarakat.

Apabila ciri-ciri peraturan perundang-undangan yang baik menurut Irawan Soejito

dihubungkan dengan yang dikemukakan oleh Bagir Manan di atas, maka ciri-ciri yang

dikemukakan oleh Irawan Soejito tersebut merupakan bagian dari unsur teknik perancangan

peraturan perundang-undangannya Bagir Manan. Sebab dalam unsur teknik perancangan

peraturan perundang- undangan harus diperhatikan hal-hal teknis atara lain :

1) Pokok-pokok pikiran dituangkan ke dalam ketentuan–ketentuan yang bersifat pengaturan

(regeling), bukan bersifat penetapan (beschikking), dan mengatur hal-hal bagi peristiwa yang

akan datang (dalam bentuk pernyataan).

2) Perumusan harus jelas arti, maksud, dan tujuannya, seperti gaya bahasa harus padat (conceise)

dan mudah (simple), tidak bermakna ganda (ambiguity) atau dapat ditafsirkan bermacam-

macam (interpretatif), tidak kabur (obscurity), terlalu luas (overbulkiness), panjang lebar

(longwindedness), atau berlebihan (redundancy) yang dapat membingungkan (entanglement),

tidak tumpang-tindih (overlapping), sertatidak bersifat metaforik dan hipotetis.

3) Istilah harus konsisten, sedapat mungkin bersifat mutlak dan tidak relatif, serta tidak bersifat

dapat diperdebatkan (argumentaris).

4) sistematikanya teratur (orderliness) dengan penggunaan tanda baca yang tepat.

Di Belanda Asas-asas ini mempunyai kaitan dengan berbagai aspek dalam pembuatan

peraturan. Berkaitan dengan asas-asas pemerintahan yang baik, Konijnenbelt membedakan

30
kelompokan asas-asas menjadi :24

1) Asas-asas yang berkaitan dengan proses penyiapan dan pembentukan keputusan.

2) Asas-asas yang berkaitan dengan pemberian alasan dan penataan keputusan

3) Asas-asas yang berkaitan dengan isi keputusan.

Terdapat pembagian asas, yang berjalan dari formal ke arah material, yaitu :

1) Asas-asas yang berkaitan dengan proses pembentukan suatu peraturan;

2) Asas-asas yang berkaitan dengan sistimatika dan pengumuman suatu peraturan;

3) Asas-asas yang berkaitan dengan kemendesakan dan tujuan pembatasan suatu peraturan;

4) Asas-asas yang berkaitan dengan isi suatu peraturan.

Asas-asas mengenai pembuatan peraturan dapat ditemukan baik di dalam UUD maupun di

dalam undang-undang lainnya. Sebagai contoh, pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 pasca perubahan

mengandung asas negara hukum, dan pasal 27 UUD 1945 pasca perubahan mengandung asas

kesamaan di dalam hukum.

3. Hubungan Asas-asas Pembuatan Perundang-undangan dengan Hak-hak Asasi

Pasal 27 UUD 1945 pasca perubahan erat kaitannya dengan permasalahan pembuatan

peraturan. Memang, jika orang ingin menjamin adanya perlakuan yang sama antara warga negara,

orang harus membuat suatu peraturan yang dapat berlaku bagi semua orang. Jika di dalam

peraturan itu dimuat suatu pengecualian tanpa alasan-alasan yang layak, peraturan itu tidak akan

mencapai tujuannya. Hak-hak asasi tidak mempunyai makna langsung sebagai suatu asas

pembuatan peraturan yang baik, dengan catatan bahwa hak asasi yang mengenai perlakuan yang

24
Bandingkan Konijnbelt 1984, hlm. 62; P.J.J. van Buuren dalam : Bestuurswetenschappen (1979), hlm. 146 dst.;
N.H.M. Roos, Enkele rechtstheoretische kanttekeningen bij een belastingstheoretishche discussie, dalam : NJB
(1980), hlm. 225.

31
sama mempunyai kedudukan tersendiri. Hak-hak asasi ini lebih berkait dengan hukum material

yang wajib diperhatikan oleh setiap pembuat peraturan, seperti halnya ketentuan- ketentuan UUD

atau peraturan yang lebih tinggi.

4. Perkembangan Asas-asas Peraturan Perundang-undangan

Di Belanda ada lima sumber penting bagi pengembangan asas-asas pembuatan peraturan

yang baik, selain asas-asas yang ada dalam undang-undang, adalah :

1) saran-saran Raad van State,

2) berkas-berkas dan pembahasan RUU di dewan perwakilan rakyat,

3) Lembaga peradilan,

4) Pedoman Teknik pembuatan peraturan perundang-undangan, dan

5) Laporan-akhir Komisi Pengurangan dan Penyederhanaan peraturan Negara25

Sedangkan di Indonesia yang dapat dijadikan sumber pengembangan asas-asas pembuatan

peraturan yang baik adalah :

1) DPR dilihat dari berkas-berkas pembahasan RUU,

2) UU tentang Pembentukan peraturan perundang-undangan,

3) Mahkamah Konstitusi dalam putusan pengujian UU dan MA serta peradilan tingkat bawahnya

baik dalam rangka pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU maupun dalam

rangka penerapan hukum,

4) Presiden dalam pembuatan PP dan Perpres.

25
Literature yang sudah disebut, dapat disebut pula : Van Angeren, dalam : Kracht van Wet, 1985. Mok, dalam :
Problemen van Wetgeving, 1982.

32
5) Pemerintah Daerah dalam Pembuatan Perda,

6) Perguruan tinggi dalam pembuatan naskah akademik suatu peraturan perundang-undangan.

Menurut Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Menurut

Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

dalam BAB II tentang Asas Peraturan Perundang-Undangan dalam pasal 5 dan pasal 6 disebutkan

dalam membentuk Peraturan Perundang- Undangan harus berdasarkan pada asas pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan yang baik yang meliputi: 26

1) Asas Kejelasan Umum;

2) Asas kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;

3) Asas kesesuaian antara jenis dan materi muatan;

4) Asas dapat dilaksanakan;

5) Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan;

6) Asas kejelasan rumusan;

7) Asas keterbukaan.

Disamping itu dalam ayat 6 disebutkan, bahwa materi muatan peraturan perundang-undangan

mengandung asas antara lain:

1) Pengayoman

2) Kemanusiaan

3) Kebangsaan

4) Kekeluargaan

26
Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Penerbit CV. Eko
Jaya, Jakarta, 2004.

33
5) Kenusantaraan

6) Bhinneka tunggal ika

7) Keadilan

8) Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan

9) Ketertiban dan kepastian hukum

10) Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

Berikut ini akan diuraikan tentang asas-asas formal dari suatu peraturan perundang-

undangan, terdiri dari :

1) Asas Tujuan yang Jelas atau Asas Kejelasan yang Umum

Menghendaki adanya suatu tujuan peraturan yang jelas, yang harus tampak pula dalam

penjelasannya. Peraturan itu sendiri tidak saja harus jelas, tetapi kerangka umum tempat

peraturan itu diletakkan harus pula dinyatakan secara eksplisit. Asas ini terdiri dari tiga tingkat,

yaitu :

1) kerangka kebijakan umum bagi peraturan yang akan dibuat

2) tujuan tertentu dari peraturan yang akan dibuat

3) tujuan dari berbagai bagian dalam peraturan

2) Asas Organ yang Tepat atau Asas Kelembagaan

Asas organ yang tepat menghendaki agar suatu peraturan dikeluarkan oleh organ yang tepat

dan agar tidak ada organ yang melakukan pelanggaran kewenangan.

3) Asas Kemendesakan

Bermaksud untuk menghindarkan kemungkinan dikeluarkannya suatu peraturan yang

sebenarnya takperlu. Peraturan yang dianggap perlu itu hendaknya dituangkan dalam bentuk

34
yang amat mudah.

4) Asas Kemungkinan Pelaksanaan (Dapat dilaksanakan)

Berkaitan dengan kemungkinan untuk menegakkan suatu peraturan di dalam prakteknya, jika

peraturan itu telah dikeluarkan.

5) Asas Konsensus

Menurut asas-asas konsensus, pihak- pihak yang bersangkutan sedapat mungkin harus

diikutsertakan di dalam proses pembentukan suatu peraturan.

Selain kelima asas formal tersebut dikenal pula asas materiil yang terdiri dari:

1) Asas Peristilahan yang Jelas dan Sistematika yang Jelas

Menurut asas ini suatu peraturan harus jelas, baik kata-kata yang digunakan maupun

strukturnya.27 Asas ini lahir dari para ahli hukum mempunyai kecenderungan untuk membuat

ilmu (atau seni) mereka menjadi sesuatu yang misterius bagi orang awam melalui penggunaan

kata yang jauh menyimpang dari bahasa sehari-hari. Noll mengatakan bahwa sejalan dengan

perkembangan negara kesejahteraan sosial, kebutuhan akan kejelasan makin dirasakan. Makin

banyak orang merasakan pentingnya peraturan hukum. 28

Pedoman teknik membuat peraturan perundang-undangan menyatakan bahwa suatu

undang-undang diawali dengan pembukaan yang memuat konsiderans. Pembukaan ini bukan

bagian dari batang tubuh undang- undang; batang tubuh itu mulai dari Pasal pertama sampai

pasal terakhir. Pasal terakhir suatu peraturan adalah judul singkat; kalau judul singkat ini

dianggap tidak perlu, pasal terakhir itu menjadi ketentuan mengenai saat berlaku. Sesudah

27
Bandingkan Sebus, 1984.
28
Noll, 1973.

35
pasal terakhir terdapat rumusan penutup.

Tata urutan selebihnya dari bab atau ketentuan diserahkan seluruhnya pada perancang

Peraturan perundang-undangan. Walaupun begitu, ada beberapa hal yang sudah tetap. Definisi,

misalnya, pada umumnya terdapat di bagian awal; ketentuan-ketentuan mengenai

perlindungan hak dan sanksi terdapat di bagian akhir suatu peraturan atau setidak-tidaknya di

bagian akhir suatu bab.

Ketaatan akan asas ini penting bagi praktek hukum. Penafsiran asas setiap peraturan

selalu dimulai dari teks dan pengelompokan di dalamnya. Keberhati- hatian dalam menerapkan

adagium ‘rubrica est lex’ menunjukkan bahwa kepercayaan terhadap adanya konsistensi

pemerintah dalam membuat pengelompokan tidaklah besar.

2) Kemudahan untuk Diketahui

Suatu peraturan harus dapat diketahui oleh setiap orang yang perlu mengetahui adanya

peraturan itu. Suatu peraturan yang tidak diketahui oleh yang berkepentingan akan kehilangan

tujuannya, yaitu peraturan itu tidak menciptakan kesamaan dan kepastian hukum dan juga

tidak menimbulkan suatu pengaturan. Syarat minimum bagi suatu peraturan agar dapat

diketahui adalah bahwa peraturan itu harus diumumkan. Kewajiban mengumumkan bagi

peraturan perundang-undangan itu pada umumnya tidak lebih dari penempatan di dalam

Lembaran Negara atau Berita Negara. Dengan cara ini syarat kemudahan untuk diketahui

sudah dipenuhi secara formal. Penerapan asas ini berbeda-beda bagi setiap peraturan, seperti:

a. Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Presiden ada kewajiban untuk

mengumumkannya.

b. Yurisprudensi, di Negeri Belanda kewajiban mengumumkan ini menurut Pengadilan hanya

dianggap telah diumumkan apabila Lembaran Negara tempat peraturan itu dimuat

36
diterbitkan.29

Di Swiss, pemerintah mengeluarkan daftar indeks peraturan perundang-undangan.

Peraturan yang (masih) berlaku adalah peraturan yang dimuat di dalam daftar indeks itu. Hal

ini perlu ditiru oleh Indonesia, tetapi sampai saat ini belum memperlihatkan tanda-tanda ke

arah itu.

3) Asas Kesamaan di Hadapan Hukum

Asas kesamaan dihadapan hukum menjadi dasar dari semua peraturan perundang-

undangan. Di dalam suatu peraturan tidak boleh ada pembedaan yang sewenang-wenang; efek

suatu peraturan tidak boleh menimbulkan ketaksamaan; dan di dalam hubungan antara suatu

peraturan dengan peraturan lainnya tidak boleh timbul ketaksamaan.

Pasal 27 UUD 1945 setelah perubahan menyatakan bahwa adanya kesamaan hukum

bagi warga negara, konsekwensinya tidak boleh ada pembedaan karena agama, pandangan

hidup, aspirasi politik, jenis kelamin atau atas dasar apa pun. dalam berbagai konvensi

internasional, antara lain pasal 26 Konvensi New York mengenai hak-hak sipil dan hak-hak

politik. Pembuat undang-undang wajib menaati konvensi ini.

Asas ini harus diwujudkan terutama oleh pembuat undang-undang sendiri. Asas ini jelas

memainkan peranan penting dalam pembuatan peraturan perundang- undangan.

4) Asas Kepastian Hukum

Asas kepastian hukum menghendaki agar harapan-harapan yang wajar hendaknya

dihormati; khususnya ini berarti bahwa peraturan harus memuat rumusan norma yang tepat,

bahwa peraturan tidak diubah tanpa adanya aturan peralihan …, dan bahwa peraturan tidak

29
HR 4 November 1975, NJ 1976, 173 khus. W.F. Prins.

37
boleh diberlakukan … tanpa alasan mendesak.

Latar belakang dari pemberlakuan asas ini adalah dengan mengeluarkan peraturan,

kepastian hukum bagi masyarakat akan terjamin. Masyarakat mengetahui apa yang harus

mereka taati dalam hubungan hukum antara mereka dan apa yang boleh mereka harapkan dari

pemerintah. Dalam asas ini dapat dibedakan beberapa aspek :

a. peraturan harus dirumuskan secara jelas dan teliti sehingga masyarakat mengetahui apa

yang dapat dan tidak dapat dilakukannya

b. peraturan tidak boleh diubah tanpa memperhitungkan kepentingan pihak yang dituju dan

tanpa aturan peralihan yang memadai.

Perubahan atas peraturan hukum merupakan pelanggaran atas asas kepastian hukum.

Pemberian kekuatan berlaku surut kepada suatu peraturan merupakan pada dasarnya

pelanggaran besar atas asas kepastian hukum. Bagi peraturan perundang-undangan (dalam arti

formal), saat itu adalah saat ketika suatu rancangan diajukan DPR.

Raad van State berpendapat bahwa dalam suatu peraturan harus disebut secara tegas

bahwa peraturan itu berlaku-surut, dan surut sampai ke saat mana. Dari sudut kepastian

hukum, ini benar sekali. Di pihak lain, Hoge Raad (HR) berpendirian bahwa suatu peraturan

dapat pula mempunyai kekuatan berlaku- surut, sekalipun hal itu tidak disebut secara tegas.

Sudah cukup apabila ternyata bahwa kekuatan berlaku-surut itu memang maksud yang

dikehendaki. 30

Ketentuan pidana menempati posisi khusus. Pemberian kekuatan berlaku-surut pada

ketentuan pidana merupakan pelanggaran atas adagium ‘nulla poena sine lege previali.’Yang

30
HR 7 Maret 1979, AB 1979, 218 khus. St; NJ (1979), 3/9 khus. M.S. (pajak-benda-takbergerak Rotterdam).

38
dianggap sebagai tindak pidana adalah meneruskan melakukan suatu perbuatan sesudah mulai

berlakunya undang-undang itu. Ketentuan ini pun banyak dikritik. 31

Sebagai asas hukum tak tertulis, asas ini diterapkan harus diterapkan hakim

administrasi. Asas ini diterapkan khususnya bila suatu peraturan diubah secara berlaku-surut.

Di sini terlihat bahwa hakim akan mencari titik taut pada peraturan yang lebih tinggi untuk

menilai apakah kekuatan berlaku-surut peraturan yang lebih rendah itu diizinkan. Hakim tidak

boleh menilai kekuatan berlaku-surut suatu ketentuan perundang-undangan, kecuali kalau

halnya menyangkut ketentuan pidana; dalam hal ini pasal 7 Konvensi Roma berlaku.

5) Asas Penerapan Hukum yang Khusus/Sesuai Keadaan Individual

Asas penerapan-yang-khusus berisi bahwa sedapat mungkin perlu diatur kemungkinan

untuk melakukan keadilan bagi keadaan-keadaan yang khusus. Dalam prakteknya asas ini

berakibat bahwa banyak kasus yang satu sama lain jelas tidak identik, tunduk pada peraturan

yang sama. Ini memang tidak bisa dihindarkan, karena tidak pernah ada dua kasus yang betul-

betul sama seluruhnya.

Penerapan asas ini terdapat juga pada aturan-kebijakan. Pengadilan berpendirian bahwa

dengan membuat suatu aturan-kebijakan, menteri atau suatu organ pemerintah lainnya tidak

dapat dianggap telah melepaskan kewenangannya untuk menyimpang, di dalam suatu kasus

yang khusus, dari pedoman yang telah ditetapkannya.

Sedangkan mengacu pada UU No. 10 Tahun 2004 asas-asas pembentukan peraturan

perundang-undangan itu terdiri dari :

31
I.C. Kleijs-Wijnnobel, Regel Maat (1986), 2.

39
1) Asas Kejelasan Tujuan

Mengandung arti setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai

tujuan yang jelas yang hendak dicapai.

2) Asas Kelembagaan atau Asas Organ yang Tepat

Maksudnya setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat

pembuat peraturan perundang-undangan yang berwenang.

3) Asas Kesesuaian Antara Jenis dan Materi Muatan

Maksudnya pembentukan peraturan perundang-undangan harus selalu memperhatikan materi

muatan yang tepat dengan jenis peraturan perundang- undangan yang akan dibuat.

4) Asas dapat Dilaksanakan

Maksudnya pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektifitas

peraturan perundang- undangan tersebut di dalam masyarakat baik secara filosofis, yuridis,

dan sosiologis.

5) Asas Kedayaguaan dan Kehasilgunaan

Maksudnya pembentukan peraturan perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar

dibutuhkan dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

6) Asas Kejelasan Rumusan

Maksudnya setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan

teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata atau

terminologis, serta bahasa hukumnya jelas, dan mudah dimengerti sehingga tidak

menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.

7) Asas Keterbukaan

Maksudnya dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari

40
perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan

demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk

memberikan masukan dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan. 32

Selain asas pembentukan UU ini menyatakan ada asas materi muatan peraturan perundang-

undangan yang terdiri dari:

1) Asas Pengayoman

Maksudnya setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus berfungsi

memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat.

2) Asas Kemanusiaan

Maksudnya setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan

perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap

warganegara dan penduduk Indonesia secara proporsional.

3) Asas Kebangsaan

Maksudnya setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan sikap

dan watak bangsa indonesia yang fluralistik (Kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip

negara kesatuan Republik Indonesia.

4) Asas Kekeluargaan

Maksudnya setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan

musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.

5) Asas Kenusantaraan

Maksudnya setiap materi muatan peraturan perundang-undangan senantiasa memperhatikan

32
Lihat lebih lanjut Penjelasan Pasal 5 UU No. 10 Tahun 2004.

41
kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan setiap materi muatan peraturan perundang-

undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang

berdasarkan Pancasila.

6) Asas Kebhineka Tunggal Ika

Maksudnya setiap materi muatan peraturan perundang- undangan harus memperhatikan

keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya

khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat,

berbangsa, dan bernegara.

7) Asas Keadilan

Maksudnya setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan

keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali.

8) Asas Kesamaan Kedudukan dalam Hukum dan Pemerintahan

Maksudnya setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal

yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras,

golongan, gender, atau status sosial.

9) Asas Ketertiban dan Kepastian Hukum

Maksudnya setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus dapat menimbulkan

ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.

10) Asas Keseimbangan, Keserasian, dan Keselarasan

Maksudnya setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan

keseimbangan,keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu dan masyarakat

dengan kepentingan bangsa dan negara.

42
11) Asas Lain Sesuai dengan Bidang Hukum Peraturan Perundang-undangan yang

Bersangkutan

Antara lain:

a. dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa kesalahan, asas

pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah;

b. Dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara lain, asas kesepakatan,

kebebasan berkontrak, dan itikad baik. 33

Selain asas-asas tersebut masih banyak banyak asas-asas yang hidup dalam masyarakat

Indonesia dan dapat digunakan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan ini. Seperti

asas-asas yang hidup dalam masyarakat sunda antara lain :

1) kudu bisa ngigelan jeung ngigelkeun jaman,

2) kudu nyanghulu ka hukum, nunjang kanagara, mufakat ka balarea,

3) sacangreud pageuh, sagolek pangkek,

4) kudu hade gogog hade tagog,

5) kudu boga pikiran rangkepan.

33
Lihat lebih lanjut penjelasan Pasal 6 UU No. 10 Tahun 2004.

43
BAB V

BENTUK-BENTUK PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN, DAN LEMBAGA

PEMBENTUKNYA

1. Pendahuluan

Bentuk-bentuk peraturan perundang-undangan yang sekarang berlaku diatur dalam UU

No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Menurut UU ini

peraturan perundang-undangan yang sekarang berlaku adalah :

1) Undang-Undang Dasar 1945

2) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

3) Peraturan Pemerintah

4) Peraturan Presiden

5) Peraturan Daerah yang terdiri dari Peraturan daerah Provinsi, Peraturan daerah Kabupaten atau

Kota dan Peraturan Desa.34

Selain bentuk-bentuk tersebut UU inipun mengakui bentuk yang lainnya sepanjang bentuk

peraturan perundang-undangan itu keberadaannya diperintahkan oleh peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi. 35 Misalnya Peraturan Bank Indonesia yang merupakan delegasi dari

Pasal 15 UU Nomor. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.

Sebelum berlakunya UU ini bentuk-bentuk peraturan perundang-undangan yang berlaku

di Indonesia adalah sebagai berikut :

1) Periode 17 Agustus 1945 sampai 27 Desember 1949 (UUD 1945)

Secara hukum bentuk peraturan perundang-undangan yang berlaku terdiri dari :

34
Lihat lebih lanjut Pasal 7 Ayat (1) dan (2) UU No. 10 Tahun 2004.
35
Lihat lebih lanjut Pasal 7 Ayat (4) UU No. 10 Tahun 2004.

44
a. UUD,

b. UU,

c. Perpu, dan

d. PP

Namun dalam praktek dikenal pula bentuk

a. Penetapan Presiden,

b. Peraturan Presiden,

c. Penetapan Pemerintah,

d. maklumat pemerintah, dan

e. maklumat presiden. 36

2) Periode 27 Desember 1949 sampai 15 Agustus 1050 (Konstitusi RIS)

Pada periode ini ada tiga kelompok daerah berlakunya hukum, yaitu di negara Federal

berdasarkan Konstitusi RIS bentuk peraturannya adalah :

a. UU,

b. UU darurat,

c. Peraturan pemerintah, dan

d. peraturan pelaksana lainnya.

Di Negara bagian Republik Indonesia bentuk peraturannya adalah :

a. UU,

b. Perpu,

c. PP, dan

36
Amiroeddin Syarif, Perundang-undangan, dasar, jenis dan teknik membuatnya, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hlm.58.

45
d. Peraturan pelaksana lainnya.

Sedangkan di negara bagian lainnya berlaku peraturan perundang-undangan zaman Hindia

Belanda.

3) Periode 15 Agustus 1950 sampai 5 Juli 1959 (UUDS 1950)

Pada periode ini bentuk peraturan perundang- undangan yang berlaku adalah :

a. UU,

b. UU darurat,

c. PP, dan

d. Peraturan pelaksana lainnya seperti Kep.Pres, Permen, dan Kepmen.

e. Peraturan Daerah.

4) Periode 5 Juli 1959 sampai 5 Juli 1966 (UUD 1945 ORLA).

Kurun waktu ini kembali berlaku UUD 1945 sehingga bentuk peraturan perundang-

undangan yang berlaku adalah :

a. UUD,

b. UU,

c. Perpu, dan

d. PP

Namun berdasarkan Surat Presiden Nomor 2262/HK/1959 tentang bentuk peraturan-

peraturan negara, maka dikenal bentuk- bentuk :

a. Penetapan Presiden,

b. Peraturan Presiden,

c. Peraturan Pemerintah,

d. Keputusan Presiden,

46
e. Peraturan Menteri, dan

f. Keputusan Menteri.

5) Periode 1966 sampai dengan Tahun 2000

Bentuk-bentuk peraturan perundang-undangannya diatur dalam Ketetapan MPRS Nomor XX

Tahun 1966 tentang Memorandum DPRGR yang di dalamnya memuat bentuk-bentuk

peraturan perundang – undangan, terdiri dari :

a. UUD 1945,

b. TAP MPR,

c. UU/Perppu

d. PP

e. Keputusan Presiden,

f. Peraturan-peraturan pelaksana lainnya, antara lain Permen, Inmen, dll.

6) Periode Tahun 2000 sampai 2004

Bentuk-bentuk peraturan perundanng-undangan yang berlaku diatur dalam Tap MPR Nomor

III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, terdiri

dari:

a. Undang-Undang Dasar 1945

b. Ketetapan Majelis Permusyaratan Rakyat Republik Indonesia,

c. Undang-Undang,

d. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,

e. Peraturan Pemerintah,

f. Keputusan Presiden, dan

g. Peraturan Daerah.

47
Intinya dari semua hukum positif yang berlaku menempatkan UUD sebagai hukum dasar

dan hukum tertinggi. Hal ini membawa konsekwensi teori penjenjangan norma dari Hans Kelsen

menjadi berlaku. Berarti tidak boleh ada peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan

UUD. Atau jika mengikuti pembagian konstitusi dari K.C. Wheare UUD ini ditempatkan pada

UUD Derajat tinggi.

Dalam buku ini hanya akan diuraikan bentuk peraturan perundang-undangan yang berlaku

sekarang sebagai mana diatur dalam UU No. 10 tahun 2004. Bentuk-bentuk itu terdiri dari :

1) Undang-Undang Dasar

Herman Heller menyatakan bahwa UUD berbeda dengan konstitusi. Dikatakan berbeda

karena Konstitusi mempunyai arti yang lebih luas daripada UUD. Herman Heller membagi

Konstitusi dalam 3 pengertian :

a. Konstitusi masih merupakan pengertian sosiologis atau politis dan belum merupakan

pengertian hukum.

b. Baru setelah orang mencari unsur-unsur hukumnya dari konstitusi yang hidup dalam

masyarakat untuk dijadikan sebagai suatu kesatuan kaidah hukum, konstitusi itu disebut

Rechtverfassung.

c. Kemudian orang mulai menulisnya dalam suatu naskah sebagai Undang-Undang yang

tertinggi yang berlaku dalam suatu negara.

Jadi, arti UUD itu baru merupakan sebagian dari pengertian konstitusi yaitu konstitusi

yang tertulis. UUD ini dibuat dalam rangka membatasi kekuasaan negara atau dengan kata lain

membatasi kekuasaan organ atau alat kelengkapan negara dan sekaligus memberi hak kepada

warga negara.

48
Di Indonesia lembaga yang diberi kewenangan untuk mengubah dan menetapkan UUD

adalah MPR.37 Mengubah ini menurut Sri Soemantri mengandung 3 macam arti, yaitu :

a. Menjadikan lain bunyi kalimatnya;

b. Menambahkan sesuatu yang baru; dan

c. Ketentuan dalam undang-undang dasar dilaksanakan tidak seperti yang tercantum di

dalamnya.38

Sedangkan prosedur perubahannya diatur dalam Pasal 37 UUD 1945, yang menyatakan

bahwa usul perubahan dapat diagendakan dalam siding MPR apabila diajukan oleh sekurang-

kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR, usul ini harus dinyatakan secara tertulis dan

ditujukan dengan jelas bagian yang akan diubah beserta alasannya. Untuk mengubah UUD ini

siding MPR harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR dan putusan

perubahannya harus mendapat persetu-juan dari sekurang-kurangnya 50 % + 1 Anggota MPR.

Berkaitan dengan perubahan ini K.C. Wheare dalam bukunya “Modern Constitution”,

menyebutkan ada 4 cara untuk mengubah UUD yaitu :

a. Formal Amandment

Merupakan pertumbuhan dan perkembangan konstitusi negara melalui tatacara yang diatur

atau ditentukan oleh konstitusi yang bersangkutan.

b. Judicial Interpretation

Merupakan perubahan konstitusi melalui penafsiran hukum yang dikembangkan melalui

praktek peradilan.

37
Lihat lebih lanjut Pasal 3 Ayat (1) UUD 1945 setelah perubahan.
38
Sri Soemantri M., Undang-Undang Dasar 1945 Kedudukan dan aspek-aspek Perubahannya, Unpad Press, Bandung,
2002, hlm. 9.

49
c. Some Primary Forces

Merupakan perubahan konstitusi yang disebabkan oleh kekuatan-kekuatan/krjadian-

kejadian/peristiea-peristiwa tertentu yang terjadi dalam masyarakat yang mengharuskan

pemerintah atau Negara mengubah konstitusi meskipun caranya di luar dengan konstitusi

itu sendiri

d. Usages and Convention

Merupakan perubahan konstitusi melalui praktek-praktek ketatanegaraan karena

tatacaranya tidak ditentukan atau dengan prosedur tertentu untuk membuat konstitusi.

Materi muatan dari UUD ini menurut Steenbeek berisi 3 hal-hal pokok yaitu :

a. Adanya pengaturan tentang perlindungan hak asasi manusia dan warganegara;

b. Adanya pengaturan tentang susunan ketatanegaraan suatu negara yang fundamental;

c. Adanya pembatasan dan pembagian tugas-tugas ketatanegaraan yang fundamental.

2) Undang-Undang

Undang-undang merupakan salah satu bentuk peraturan perundang-undangan yang

dibentuk oleh DPR dan disahkan oleh Presiden. Hal ini memperlihatkan bahwa DPR

merupakan lembaga negara yang mempunyai fungsi legislasi. Sebagai perwakilan rakyat tentu

dalam melaksanakan fungsinya harus sejalan dengan keinginan dari rakyat. Perubahan kedua

UUD 1945 mempertegas fungsi legislasi DPR sebagaimana rumusan perubahan Pasal 20

menjadi:

a. Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.

b. Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden

untuk mendapat persetujuan bersama.

50
c. Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan

undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan

Rakyat masa itu.

d. Presiden mengesahkan rancangan undang- undang yang telah disetujui bersama untuk

menjadi undang-undang.

e. Dalam hal rancangan undang-undang yang telahdisetujui bersama tersebut tidak

disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh dan semenjak rancangan undang-

undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-

undang dan wajib diundangkan.

Fungsi melaksanakan tertib hukum ini di Indonesia dijalankan oleh lembaga legislatif

dan eksekutif, sedangkan kontrolnya oleh lembaga yudisial. Lembaga yudisial yang

melaksanakan kontrol ini di Indonesia salah satunya adalah MK. Fungsi kontrol MK terhadap

tertib hukum dilakukan dengan menguji kesesuaian materi muatan UU dengan ketentuan-

ketentuan yang tersurat dan tersirat dalam UUD.

Materi muatan UU merupakan materi yang mempengaruhi secara langsung seluruh

sendi-sendi kenegaraan. Hal ini bila mengacu pada pendapat Hamid S. Attamimi materi

muatan UU ini terdiri dari :

a. Hal-hal yang secara tegas-tegas diperintahkan UUD,

b. Hal yang mengatur lebih lanjut ketentuan UUD,

c. Hal yang mengatur pembatasan dan pengurangan HAM,

d. Hal yang mengatur hak dan kewajiban warganegara,

e. Hal yang mengatur pembagian kekuasaan negara di tingkat pusat,

f. Hal yang mengatur organisasi pokok lembaga- lembaga negara,

51
g. Hal yang mengatur pembagian wilayah negara,

h. Hal yang mengatur dan menetapkan siapa warganegara dan bagaimana cara memperoleh

atau kehilangan kewarganegaraan, dan

i. Hal lain yang oleh suatu UU dinyatakan untuk diatur dengan UU.39

Sedangkan kalau mengacu pada UU No. 10 Tahun 2004 maka materi muatan UU ini

terbagi dua40 yaitu :

a. Mengatur lebih lanjut ketentuan UUD RI tahun 1945 yang meliputi :

(1) Hak-hak asasi manusia;

(2) Hak dan kewajiban warga negara;

(3) Pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara;

(4) Wilayah negara dan pembagian daerah;

(5) Kewarganegaraan dan kependudukan; dan

(6) Keuangan negara.

b. Diperintahkan oleh suatu UU untuk diatur dengan UU.

3) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Perpu merupakan peraturan perundang-undangan yang sederajat dengan UU namun

dikeluarkan dalam keadaan darurat dan kewenangan untuk menetapkannya ada pada Presiden.

Pengertian pengganti UU adalah materi muatan Perpu merupakan materi muatan UU jika

dikeluarkan dalam keadaan normal. Sebagai peraturan pengganti tentu pengeluaran Perpu ini

ada syarat- syaratnya.

39
A. Hamid S. Attamimi, Materi muatan Undang-undang Indonesia,Makalah Seminar di FH UBAYA, Surabaya,
1993,hlm. 9.
40
Lihat lebih lanjut Pasal 8 UU ini.

52
UUD 1945 Setelah perubahan menentukan bahwa Perpu hanya dapat dikeluarkan dalam

hal ikhwal kegentingan yang memaksa. Bagir manan berpendapat bahwa dalam praktek hal

ikhwal kegentingan yang memaksa ini diartikan secara luas tidak hanya terbatas pada keadaan

yang mengandung suatu kegentingan atau ancaman, tetapi termasuk juga kebutuhan yang

dipandang mendesak. Persoalannya tentu yang dapat menentukan kriteria kegentingan yang

memaksa ini adalah Presiden, karena kewenangan untuk membentuknya ada pada presiden. 41

Berkaitan dengan kewenangan yang besar ada pada Presiden untuk menimbang suatu

keadaan dapat atau tidak dikatakan kepada kegentingan maka Perpu ini masa berlakunya

dibatasi yaitu paling lambat masa sidang DPR berikutnya Perpu ini harus mendapat

persetujuan DPR dan menjadi UU atau tidak disetujui DPR dan dalam keadaan ini Perpu harus

dicabut.

4) Peraturan Pemerintah

Pasal 5 Ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa “Presiden menetapkan Peraturan

Pemerintah untuk menjalankan UU sebagaimana mestinya.” Ketentuan Pasal 5 Ayat (2)

menyiratkan bahwa Presiden mempunyai kewenangan membentuk Peraturan perundang-

undangan, dan materi muatan yang diaturnya merupakan materi delegasian dari UU.

Materi muatan PP merupakan materi delegasian ini dapat diambil dari kata menjalankan

UU sebagaimana mestinya. Ketentuan tersebut memperlihatkan bahwa aturan dari PP hanya

berisi ketentuan lebih lanjut atau rincian dari ketentuan UU. Dengan kata lain setiap ketentuan

yang ada dalam PP harus ada keterkaitan dengan satu atau beberapa ketentuan dalam UU.

Uraian di atas memperlihatkan bahwa pada dasarnya materi muatan PP adalah materi

41
Bagir Manan,Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia, Ind Hill.Co, Jakarta, 1992, hlm.51.

53
delegasian dari UU dalam rangka melaksanakan lebih lanjut UU.

5) Peraturan Presiden

Bentuk Peraturan Presiden adalah bentuk baru dari jenis peraturan perundang-undangan.

Peraturan Presiden ini dikenal sejak keluarnya UU No. 10 tahun 2004 walaupun dalam sejarah

sebetulnya Indonesia pernah mengenal bentuk Peraturan Presiden ini yaitu pada Indonesia

menggunakan dasar penggunaan jenis- jenis peraturan perundang-undangan berdasarkan Surat

Presiden Nomor 2262/HK/1959.

Sesuai dengan namanya kewenangan lembaga yang mengeluarkannya ada pada

Presiden. Sedangkan materi muatannya yaitu untuk melaksanakan UU atau melaksanakan

peraturan pemerintah. Dengan demikian pada dasarnya ada kesamaan antara PP dan Perpres

yaitu sama-sama dapat mengatur ketentuan lebih lanjut dari UU. Selain persamaan itu

persamaan yang lainnya adalah dalam membuat ketentuan lebih lanjut baik dalam PP maupun

Perpres tidak boleh memuat sanksi pidana. Dilihat dari kedudukannya PP ada diatas Perpres

konsekwensinya Perpres tidak boleh bertentangan dengan PP.

Hal ini tentu harus jadi bahan pertimbangan bagi Presiden ketika akan menindaklanjuti

ketentuan UU pada saat delegasinya tidak jelas apakah akan memilih PP atau Perpres

pertimbangkan juga hirarkinya. Disamping pertimbangkan hirarkinya ada hal lain yang harus

jadi pedoman yaitu materi muatan yang akan diaturnya apakah mengandung hak dan

kewajiban rakyat, atau dalam batas-batas tertentu berkaitan dengan Hak Asasi Manusia, Jika

ini yang akan diatur maka bentuk yang dipilih hendaknya PP.

6) Peraturan Daerah

54
Peraturan daerah sebagai subsistem dari sistem hukum nasional Indonesia merupakan

salah satu jenis peraturan perundang-undangan. Bagir Manan menyatakan bahwa fungsi

peraturan perundang-undangan dapat dibedakan menjadi dua kelompok utama, yaitu fungsi

internal dan fungsi eksternal. 42

a. Fungsi Internal

Fungsi internal adalah fungsi peraturan perundang-undangan sebagai sub sistem hukum

dari sistem hukum pada umumnya. Fungsi internal terdiri dari:

(1) Fungsi penciptaan hukum,

(2) Fungsi pembaharuan hukum,

(3) Fungsi integrasi pluralisme sistem hukum, dan

(4) Fungsi kepastian hukum

b. Fungsi Eksternal

Fungsi eksternal adalah fungsi yang berkaitan dengan lingkungan tempat berlakunya

peraturan perundang-undangan tersebut. Dengan kata lain fungsi eksternal ini disebut juga

sebagai fungsi sosial hukum. Fungsi eksternal terdiri dari:

(1) Fungsi perubahan, yang mengandung arti bahwa peraturan perundang-undangan

diciptakan untuk mendorong perubahan masyarakat dibidang ekonomi, sosial, dan

budaya.

(2) Fungsi stabilisasi, peraturan perundang-undangan diciptakan untuk menjamin stabilitas

masyarakat.

42
Bagir Manan, Fungsi dan Materi peraturan Perundang- undangan,Makalah pada penataran dosen Pendidikan dan
Latihan Kemahiran Hukum BKS-PTN bidang hukum sewilayah barat, Fakultas Hukum Universitas Lampung,
Bandar Lampung, 1994, hlm. 16

55
(3) Fungsi kemudahan, artinya peraturan perundang- undangan dipergunakan untuk

mengatur berbagai kemudahan misal insentif, penundaan pengenaan pajak, dan lain-

lain.

Materi muatan peraturan daerah adalah materi pengaturan yang khas yang hanya dan

semata- mata dimuat dalam Peraturan daerah. Berkaitan dengan materi muatan peraturan

daerah ini sangat tergantung dari pengatur dalam undang- undang yang berkaitan dengan

penyelenggaraan pemerintahan daerah. Ambil contoh materi muatan peraturan daerah menurut

undang-undang Nomor 5 tahun 1974 adalah :

a. Daerah berhak berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumahtangganya

sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 43

b. Mengatur urusan tugas pembantuan baik dari pemerintah pusat maupun dari pemerintah

daerah tingkat I.44

c. Peraturan daerah tidak boleh :

(1) Bertentangan dengan kepentingan umum, dan peraturan perundang-undangan atau

peraturan daerah yang lebih tinggi.

(2) Mengatur sesuatu hal yang telah diatur dalam peraturan perundang- undangan yang

lebih tinggi.

(3) Peraturan daerah tidak boleh mengatur sesuatu hal yang termasuk urusan rumah tangga

daerah tingkat bawahnya. 45

43
Lebih lanjut lihat Pasal 7 UU No. 5 Tahun 1974.
44
Lebih lanjut lihat Pasal 12 UU No. 5 Tahun 1974.
45
Lebih lanjut lihat Pasal 39 UU No. 5 Tahun 1974.

56
Sedangkan perkembangan berikutnya dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor

22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah maka materi muatan peraturan daerah ini

menjadi lebih luas lagi karena mencakup hampir semua urusan pemerintahan. Pemerintah

daerah menurut undang-undang ini terbagi dua daerah yaitu daerah provinsi dan daerah

kabupaten/ kota.

a. Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi menurut UU no. 22 Tahun 1999 adalah :

(1) Berkaitan dengan kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas

kabupaten dan kota serta kewenagan dalam bidang tertentu lainnya,dan kewenangan

yang tidak atau belum dilaksanakan daerah Kabupaten dan Daerah Kota.46

(2) Pengaturan wilayah laut sejauh 12 Mil yang meliputi :

(a) Eksplorasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut

tersebut,

(b) Pengaturan kepentingan administratif,

(c) Pengaturan tata ruang, dan

(d) Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang

dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah.47

(3) Berkaitan dengan Pengawasan pelaksanaan administrasi kepegawaian dan karir

pegawai diwilayahnya. 48

b. Materi muatan Peraturan Daerah Kabupaten atau Kota

(1) Seluruh bidang pemerintahan kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri,

46
Lihat Pasal 9 Ayat (1) dan (2) UU No. 22 Tahun 1999.
47
Lihat Pasal 3 dan Pasal 10 UU No. 22 Tahun 1999.
48
Lihat Pasal 77 UU No. 22 Tahun 1999.

57
pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kebijakan tentang

perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana

perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara,

pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya

alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standardisasi nasional. 49

Kewenangan mengatur daerah Kabupaten dan kota ini sangat luas oleh karena itu

dalam UU inipun dicantumkan urusan wajib artinya terhadap urusan ini daerah mau

tidak mau harus melaksanakannya, yaitu berkaitan denga pekerjaan umum, kesehatan,

pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan,

penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi, dan tenaga kerja. 50

(2) Pengelolaan sumber daya nasional yang tersedia diwilayahnya dengan

tanggungjawab untuk memelihara kelestarian lingkungan.51

(3) Pengaturan mengenai kewenangan di laut sama dengan kewenangan Provinsi

tetapi luasnya hanya sepertiga dari batas laut daerah provinsi.52

(4) Berkaitan dengan pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun,

gaji, tunjangan dan kesejahteraan pegawai serta pendidikan dan pelatihan.53

(5) Materi muatan semua itu tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum,

peraturan daerah lain, dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. 54

Selain itu boleh mengatur tentang pembebanan biaya paksaan, penegakan hukum

49
Lihat Pasal 7 UU No. 22 Tahun 1999.
50
Lihat Pasal 11 Ayat (2) UU No. 22 Tahun 1999.
51
Lihat Pasal 10 UU No. 22 Tahun 1999.
52
Lihat Pasal 10 Ayat (3) UU No. 22 Tahun 1999.
53
Lihat Pasal 76 UU No. 22 Tahun 1999.
54
Lihat Pasal 70 UU No. 22 Tahun 1999.

58
seluruhnya, atau sebagian kepada pelanggar.55

Kewenangan daerah yang menjadi materi muatan peraturan daerah sebagaimana diatur

dalam UU No. 22 tahun 1999 tersebut lebih lanjut dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah

Nomor 25 Tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan provinsi sebagai

daerah otonom. Peraturan Pemerintah ini ternyata membatasi kewenangan daerah kabupaten

atau kota atau dengan kata lain ada beberapa yang asalnya materi muatan peraturan daerah

kabupaten atau kota menjadi bukan materi muatan peraturan daerah kabupaten atau kota.

Pembatasannya ada kurang lebih 25 bidang yang kembali menjadi kewenangan pusat 56 dan

20 bidang yang menjadi kewenangan Provinsi. 57

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah mengkatagorikan

urusan pemerintahan ke dalam urusan wajib dan urusan pilihan.

a. Urusan Wajib

Urusan wajib adalah urusan yang sangat mendasar berkaitan dengan hak dan pelayanan

dasar warganegara, hak ini antara lain adalah perlindungan hak konstitusional,

perlindungan kepentingan nasional, kesejahteraan masyarakat, ketenteraman dan

ketertiban umum dalam kerangka menjaga keutuhan NKRI, dan pemenuhan komitmen

nasional yang berhubungan dengan perjanjian dan konvensi internasional. 58

(1) Materi muatan Peraturan Daerah yang berasal dari urusan wajib Provinsi

berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 adalah:

55
Lihat Pasal 71 UU No. 22 Tahun 1999.
56
Lihat Pasal 2 PP 25 Tahun 2000.
57
Lihat Pasal 2 PP 25 Tahun 2000.
58
Lihat Penjelasan Pasal 11 Ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004.

59
(a) Perencanaan dan pengendalian pembangunan,

(b) Perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan tata ruang,

(c) Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat,

(d) Penyediaan sarana dan prasarana umum;

(e) Penanganan bidang kesehatan;

(f) Penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial;

(g) Penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota;

(h) Pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota;

(i) Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas

kabupaten/kota;

(j) Pengendalian lingkungan hidup;

(k) Pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota;

(l) Pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; pelayanan administrasi umum

pemerintahan;

(m) Pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota;

(n) Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan

oleh kabupaten/kota; dan

(o) Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.

(2) Materi muatan Peraturan Kabupaten/Kota yang berasal dari Urusan wajib yang

menjadi kewenangan pemerintahan daerah kabupaten/kota meliputi:

(a) Perencanaan dan pengendalian pembangunan;

(b) Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;

60
(c) Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;

(d) Penyediaan sarana dan prasarana umum;

(e) Penanganan bidang kesehatan;

(f) Penyelenggaraan pendidikan;

(g) Penanggulangan masalah sosial;

(h) Pelayanan bidang ketenagakerjaan;

(i) Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;

(j) Pengendalian lingkungan hidup;

(k) Pelayanan pertanahan;

(l) Pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;

(m) Pelayanan administrasi umum pemerintahan; pelayanan administrasi

penanaman modal;

(n) Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan

(o) Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.

b. Urusan Pilihan

Urusan pilihan adalah urusan yang secara nyata ada di daerah dan berfotensi untuk

meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi

unggulan daerah.

(1) Urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan


pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan
daerah yang bersangkutan.
(2) Urusan pemerintahan kabupaten/kota yang bersifat pilihan meliputi urusan

61
pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi
unggulan daerah yang bersangkutan.

Baik di Perda Provinsi maupun Kabupaten Kota mungkin ada yang berasal dari
kewenangan yang bersifat concurent.

Sedangkan lembaga yang berwenang membuat Peraturan Daerah adalah Kepala Daerah

dan legislatif daerah. Dengan demikian untuk tingkat Provinsi yang membuat Peraturan

Daerah adalah Gubernur dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, sedangkan di

Kabupaten atau kota adalah Bupati atau Walikota dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Kabupaten atau kota. Selain itu ada suatu organ negara yang secara kelembagaan merupakan

organ pusat tetapi tugasnya menyalurkan aspirasi daerah di pusat yaitu Dewan Perwakilan

Daerah (DPD). Keberadaan DPD ini dalam prakteknya belum banyak memberikan kontribusi

kepada daerah karena kewenangan DPD ini sangat terbatas. Keterbatasan ini nampak dari

hanya dapat mengajukan rancangan UU yang berkaitan dengan Otonomi daerah, tetapi bukan

yang ikut memutuskan untuk membuat UU.

62
BAB VI

KERANGKA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Kerangka Peraturan Perundang-undangan berdasarkan UU No. 10 Tahun 2004 terdiri atas

Judul, Pembukaan, Batang Tubuh, Penutup, Penjelasan (jika diperlukan), dan Lampiran (jika

diperlukan).

A. Judul

Judul Peraturan Perundang-undangan memuat keterangan mengenai jenis, nomor, tahun

pengundangan atau penetapan, dan nama Peraturan Perundang-undangan. Nama Peraturan

Perundang-undangan dibuat secara singkat dan mencerminkan isi Peraturan Perundang-undangan.

Judul ditulis seluruhnya dengan huruf capital yang diletakkan ditengah marjin tanpa diakhiri tanda

baca.

Contoh :

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 15 TAHUN 2002

TENTANG

TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

Pada judul Peraturan Perundang-undangan perubahan ditambahan frase perubahan atas depan

nama Peraturan Perundang-undangan yang diubah.

Contoh :

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 15 TAHUN 2002

TENTANG

63
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15

TAHUN 2002 TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

Jika Peraturan Perundang-undangan telah di ubah lebih dari 1 (satu) kali, diantara kata

perubahan dan kata atas disisipkan keterangan yang menunjukan berapa kali perubahan tersebut

telah dilakukan, tanpa merinci perubahan sebelumnya.

Contoh :

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR....TAHUN.....

TENTANG

PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR.....TAHUN.....TENTANG

Jika Peraturan Perundang-undangan yang diubah mempunyai nama singkat, Peraturan

Perundang undangan perubahan dapat menggunakan nama singkat Peraturan Perundang-undangan

yang diubah.

Contoh :

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR....TAHUN....

TENTANG PERUBAHAN ATAS

UNDANG-UNDANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI 1984

Pada judul Peraturan Perundang-undangan pencabutan disisipkan kata pencabutan di

depan nama Peraturan Perundang-undangan yang di cabut.

Contoh:

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1985

64
TENTANG

PENCABUTAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1970

TENTANG PEMBENTUKAN DAERAH PERDAGANGAN BEBAS DAN

PELABUHAN BEBAS SABANG

Pada judul Peraturan Pemerintahan Pengganti Undang-Undang (Perpu) yang ditetapkan

menjadi Undang-Undang, ditambahkan kata penetapan di depan nama Peraturan Perundang-

undangan yang ditetapkan dan diakhiri dengan Frase menjadi Undang-Undang.

Contoh :

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN

2003

TENTANG

PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG

NOMOR 1 TAHUN 2002

TENTANG

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME MENJADI UNDANG-UNDANG

Pada judul Peraturan Perundang-undangan pegesahan perjanjian atau persetujuan

internasional, ditambahkan kata pengesahan didepan nama perjanjian atau persetujuan

internasional yang akan disahkan. Jika dalam perjanjian atau persetujuan internasional Bahasa

Indonesia digunakan sebagai teks resmi, nama perjanjian atau persetujuan ditulis dalam Bahasa

indonesia, yang diikuti oleh teks resmi bahasa asing yang di tulis dengan huruf cetak miring dan

diletakan diantara tanda baca kurung.

Contoh :

65
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1999

TENTANG

PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN

AUSTRALIA MENGENAI BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA

(TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND AUSTRALIA ON

MUTUAL LEGAL ASSISTANCE IN CRIMINAL MATTERS)

Jika dalam perjanjian atau persetujuan internasional, Bahasa Indonesia tidak digunakan

sebagi teks resmi, nama perjanjian atau persetujuan ditulis dalam Bahasa Inggris dengan huruf

cetak miring, dan diikuti oleh terjemahannya dalam bahasa Indonesia yang diletakan diantara tanda

baca kurung.

Contoh :

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1997

TENTANG

PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST ILLICIT

TRAFFIC IN NARCOTIC DRUGS AND PSYCHOTROPIC SUBTANCES

1998

(KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TENTANG PEMBERANTASAN

PEREDARAN GELAP NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA,1998)

B. Pembukaan

Pembukaan Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:

1. Frase Dengan Rahmat TuhanYang Maha Esa;

2. Jabatan Pembentukan Peraturan Perundang- undangan;

66
3. Konsiderans;

4. Dasar Hukumnya; dan

5. Diktum

B.1. Frasa Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa

Pada Pembukaan tiap jenis Peraturan Perundang- undangan sebelum nama jabatan

pembentuk Peraturan Perundang-undangan dicantumkan frase DENGAN RAHMAT

TUHAN YANG MAHA ESA yang ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakan di

tengah marjin.

B.2. Jabatan Pembentuk Peraturan Perundang-undangan

Jabatan pembentuk peraturan Perundang-undangan ditulis seluruhnya dengan huruf

kapital yang diletakkan ditengah marjin dan diakhiri dengan tanda baca koma.

B.3. Konsiderans

Konsiderans diawali dengan kata Menimbang. Konsiderans memuat uraian singkat

mengenai pokok-pokok pikiran yang menjadi latar belakang dan alasan pembuatan Peraturan

Perundang-undangan. Pokok-pokok pikiran pada konsiderans Undang-Undang atau Peraturan

Daerah memuat unsur filosofis, yuridis, dan sosiologis yang menjadi latar belakang

pembuatannya. Pokok-pokok pikiran yang hanya menyatakan bahwa peraturan Perundang-

undangan dianggap perlu untuk dibuat adalah kurang tepat karena tidak mencerminkan

tentang latar belakang dan alasan dibuatnya peratuarn perundang-undangan tersebut.

Jika konsiderans memuat lebih dari satu pokok pikiran, tiap-tiap pokok pikiran

dirumuskan dalam rangkaian kalimat yang merupakan kesatuan pengertian. Tiap-tiap pokok

pikiran diawali dengan huruf abjad, dan dirumuskan dalam satu kalimat yang diawali dengan

67
kata bahwa dan diakhiri dengan dengan tanda baca titik koma.

Contoh:

Menimbang : a. Bahwa...;

b. Bahwa...;

c. Bahwa...;

Jika konsiderans memuat lebih dari satu pertimbangan, rumusan butir pertimbangan

terakhir berbunyi sebagai berikut :

Contoh:

Menimbang : a. bahwa ...;

b. bahwa...;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan

huruf b perlu membentuk Undang-Undang/(Peraturan Daerah) tentang ….

Contoh untuk Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang atau

peraturan daerah:

Menimbang : a. bahwa...;

b. bahwa...;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksudkan dalam huruf a

dan huruf b perlu menetapkan Peraturan Pemerintah/(Peraturan Presiden).

Konsiderans peraturan pemerintah pada dasarnya cukup memuat satu pertimbangan yang berisi

uraian ringkas mengenai perlunya melaksanakan ketentuan pasal atau beberapa pasal dari Undang-

Undang yang memerintahan pembuatan Peraturan Pemerintah tersebut. Konsiderans Peraturan

Pemerintah Cukup memuat satu pokok pikiran yang isinya menujuk pasal- pasal dari Undang-Undang

68
yang memerintahkan pembuatannya.

Contoh :

Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang

Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia perlu

menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Perlindungan

Terhadap Korban dan saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang

Berat;

B.4. Dasar Hukumnya

Dasar Hukum diawali dengan kata Mengingat. Dasar Hukum memuat dasar kewenangan

pembuatan Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan Perundang- undangan yang

memerintahkan pembuatan Peraturan Perundang-undangan tersebut. Peraturan Perundang-

undangan yang digunakan sebagai dasar hukum hanya Peraturan Perundang-undangan yang

tingkatannya sama atau lebih tinggi.

Peraturan Perundang-undangan yang akan dicabut dengan Peraturan Perundang-

undangan yang akan dibentuk atau Peraturan Perundang-undangan yang sudah diundangkan

tetapi belum resmi berlaku; tidak dicantumkan sebagai dasar hukum. Jika jumlah Peraturan

Perundang-undangan yang dijadikan dasar hukum lebih dari satu, urutan pencantuman perlu

memperhatikan tata urutan Peraturan Perundang-undangan dan jika tingkatannya sama di

susun secara kronologis berdasarkan saat pengundangan atau penetapannya.

Dasar hukum yang diambil dari pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 ditulis dengan menyebutkan pasal atau beberapa pasal yang

berkaitan Frase Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 di tulis

69
sesudah penyebutan pasal terakhir dan kedua huruf u ditulis dengan huruf kapital.

Contoh :

Mengingat : Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945;

Dasar hukum yang bukan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 tidak perlu mencantumkan pasal, tetapi cukup mencantumkan nama Judul Peraturan

Perundang-undangan. Penulisan Undang- Undang, kedua huruf u ditulis dengan huruf kapital.

Undang-Undang Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Presiden perlu dilengkapi dengan

Pencantuman Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia yang diletakan diantara tanda baca kurung.

Contoh :

Mengingat : 1. ;

2. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 4316);

Dasar hukum yang berasal dari peraturan perundang-undangan jaman Hindia Belanda

atau yang dikeluarkan oleh Pemerintahan Hindia Belanda sampai dengan tanggal 27 Desember

1949, ditulis lebih dulu terjemahannya dalam Bahasa Indonesia dan kemudian judul asli

Bahasa Belanda dan dilengkapi dengan tahun dan nomor staatsblad yang di cetak miring

diantara tanda baca kurung.

Contoh :

70
Mengingat : 1. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel, Staatsblad

1847:23);

2. ...;

Cara penulisan sebagaimana dimaksud di atas berlaku juga untuk pencabutan peraturan

perundang-undangan yang berasal dari jaman Hindia Belanda atau dikeluarkan oleh

Pemerintah Kolonial Belanda sampai dengan tanggal 27 Desember 1949. Jika dasar hukum

memuat lebih dari satu Peraturan Perundang-undangan, tiap dasar hukum diawali dengan

angka Arab 1, 2, 3, dan seterusnya, dan diakhiri dengan tanda baca titik koma.

Contoh :

Mengingat : 1....;

2. ...;

B.5. Diktum

Diktum terdiri atas :

a. Kata Memutuskan;

b. Kata Menetapkan;

c. Nama Peraturan Perundang-undangan

Kata Memutuskan ditulis seluruhnya dengan huruf kapital tanpa spasi diantara suku kata

dan diakhiri dengan tanda baca titik dua serta diletakan di tengah marjin.

Pada Undang-Undang, sebelum kata Memutuskan dicantumkan frase Dengan Persetujuan

Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA yang diletakan di tengah marjin.

Contoh Undang-Undang :

71
Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Pada Peraturan Daerah, sebelum kata Memutuskan dicantumkan Frase dengan

Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH....(nama daerah)

dan GUBERNUR/BUPATI/WALIKOTA...(nama daerah), yang ditulis seluruhnya

dengan huruf kapital dan diletakkan di tengah marjin.

Contoh Peraturan Daerah :

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH...(nama daerah)

Dan

GUBERNUR...(nama daerah)

MEMUTUSKAN :

Kata Menetapkan dicantumkan sesudah kata Memutuskan yang disejajarkan ke

bawah dengan kata Menimbang dan Mengingat. Huruf awal kata Menetapkan ditulis

dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda baca titik dua.

Nama yang tercantum dalam judul Peraturan Perundang-Undangan di

cantumkan lagi setelah kata Menetapkan dan didahului dengan Pencantuman jenis

Peraturan Perundang-undangan tanpa frase Republik Indonesia, serta ditulis seluruhnya

dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda baca titik.

72
Contoh :

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG

PERIMBANGAN

KEUANGAN ANTARA PEMERINTAHAN PUSAT DAN DAERAH

Pembukaan Peraturan Perundang-undangan tingkat pusat yang tingkatannya lebih rendah

daripada Undang-Undang, seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan

Menteri, dan peraturan pejabat yang setingkat, secara mutatis mutandis berpedoman pada

pembukaan Undang-Undang.

C. Batang Tubuh

Batang tubuh Peraturan Perundang-undangan memuat semua subtansi Peraturan Perundang-

undangan yang dirumuskan dalam pasal-pasal. Pada umumnya substansi dalam batang tubuh

dikelompokan ke dalam:

1. Ketentuan umum;

2. Materi Pokok yang Diatur;

3. Ketentuan Pidana(jika diperlukan);

4. Ketentuan Peralihan(jika diperlukan);

5. Ketentuan Penutup;

Dalam pengelompokan subtansi sedapat mungkin dihindari adanya bab ketentuan lain atau

sejenisnya. Materi yang bersangkutan, diupayakan untuk masuk ke dalam bab yang ada atau dapat

pula di muat dalam bab tersendiri dalam judul yang sesuai denagn materi yang diatur. Substansi

73
yang berupa sanksi administratif atau sanksi keperdataan atas pelanggaran norma tersebut,

dirumuskan menjadi satu bagian (pasal) dengan norma yang memberikan sanksi administratif atau

sanksi keperdataan. Jika norma yang memberikan sanksi administratif atau keperdataan terdapat

lebih dari satu pasal, sanksi administratif atau sanksi keperdataan dirumuskan dalam pasal terakhir

dari bagian (pasal) tersebut.Dengan demikian hindari rumusan ketentuan sanksi yang sekaligus

memuat sanksi pidana, sanksi perdata, dan sanksi administratif dalam satu bab.

Sanksi administratif dapat berupa, antara lain, pencabutan izin, pembubaran, pengawasan,

pemberhentian sementara, denda administratif, atau daya paksa polisional. Sanksi keperdataan

dapat berupa, antar lain, ganti kerugian.

Pengelompokan materi Peraturan Perundang-undangan dapat disusun secara sistematis

dalam buku, bab, bagian, dan paragraf dilakukan atas dasar kesamaan materi. Urutan pengelompokan

adalah sebagai berikut:

a. Bab dengan pasal-pasal tanpa bagian dari paragraf;

b. Bab dengan bagian dari pasal-pasal tanpa paragraf; atau

c. Bab dengan bagian dan paragraf yang berisi pasal- pasal.

Buku diberi nomor urut dengan bilangan tingkat dan judul yang seluruhnya ditulis dengan huruf

kapital.

Contoh :

BUKU KETIGA

PERIKATAN

Bab diberi nomor urut dengan angka Romawi dan judul bab yang seluruhnya ditulis oleh

huruf kapital.

74
Contoh:

BAB I

KETENTUAN UMUM

Bagian diberi nomor urut dengan bilangan tingkat yang ditulis dengan huruf dan diberi judul.

Huruf awal kata bagian, urutan bilangan, dan setiap kata pada judul bagian ditulis dengan huruf

kapital, kecuali huruf awal kata partikel yang tidak terletak pada awal frase.

Contoh:

Bagian Kelima

Persyaratan Teknis Kendaraan Bermotor, Kereta Gandengan, dan Kereta Tempelan

Paragraf diberi nomor urut dengan angka Arab dan diberi judul. Huruf awal dari kata paragraf dan

setiap kata pada judul paragraf ditulis dengan huruf kapital, kecuali huruf awal kata partikel yang tidak

terletak pada awal frase.

Contoh :

Paragraf 1

Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim

Pasal merupakan satuan aturan dalam Peraturan Perundang-undangan yang memuat satu

norma dan dirumuskan dalam satu kalimat yang disusun secara singkat, jelas, dan lugas. Materi

Peraturan Perundang-undangan lebih baik dirumuskan dalam banyak pasal yang singkat dan jelas

daripada ke dalam beberapa pasal masing-masing pasal memuat banyak ayat, kecuali jika materi

yang menjadi isi pasal itu merupakan satu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan. Pasal diberi

nomor urut dengan angka Arab. Huruf awal kata pasal yang digunakan sebagai acuan ditulis

dengan huruf kapital.

75
Contoh:

Pasal 34

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dan Pasal 26 tidak meniadakan kewajiban

membayar ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33.

Pasal dapat dirinci ke dalam beberapa ayat. Ayat diberi nomor urut dengan angka Arab di

antar tanda baca kurung tanpa di akhiri tanda baca titik. Satu ayat hendaknya hanya memuat satu

norma yang di rumuskan dalam satu kalimat utuh. Huruf awal kata ayat yang digunakan sebagai

acuan tulis dengan huruf kecil.

Contoh :

Pasal 8

1) Satu permintaan pendaftaran merek hanya dapat diajukan untuk 1 (satu) kelas barang.

2) Permintaan pendaftaran merek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyebutkan jenis

baarang atau jasa yang termasuk dalam kelas yang bersangkutan.

3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kelas barang atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

di atur dengan peraturan Pemerintah.

Jika satu pasal atau ayat memuat rincian unsur, maka di samping di rumuskan dalam bentuk

kalimat dengan rincian, dapat pula dipertimbangkan penggunaan rumusan dalam bentuk tabulasi.

Contoh:

Pasal 17

Yang dapat diberi hak pilih ialah Warga Negara Indonesia yang telah berusia 17 (tujuh belas) tahun atau

telah kawin dan telah terdaptar pada daftar pemilih.

76
Isi pasal tersebut dapat lebih mudah di pahami jika dirumuskan sebagai berikut:

Contoh rumusan tabulasi: Yang dapat diberi hak pilih adalah warga negara indonesia yang:

a. telah berusia 17 (tujuh belas)tahun atau telah kawin;dan

b. telah terdaptar pada daftar pemilih.

Dalam membuat rumusan pasal atau ayat dengan bentuk tabulasi hendaknya diperhatikan

hal-hal sebagai berikut:

a. Setiap rincian harus dapat di baca sebagai satu rangkaian kesatuan dengan frase pembuka;

b. Setiap rincian diawali dengan huruf (abjad) kecil yang diberi tanda baca titik;

c. Setiap frase dalam rincian diawali dengan huruf kecil;

d. Setiap rincian diakhiri dengan tanda baca titik koma;

e. Jika suatu rincian dibagi lagi kedalam unsur yang lebih kecil, maka unsur tersebut dituliskan

masuk kedalam;

f. Di belakang rincian yang masih mempunyai rincian lebih lanjut diberi tanda baca titik dua;

g. Pembagian rincian (dengan ukuran makin kecil) ditulis dengan abjad kecil yang diikuti dengan

tanda baca titik; angka Arab diikuti dengan tanda baca titik; abjad kecil dengan tanda baca

kurung tutup; angka Arab dengan tanda baca kurung tutup;

h. Pembagian rincian hendaknya tidak melebihi empat tingkat Jika rincian melebihi empat

tingkat, perlu dipertimbangkan pemecahan pasal yang bersangkutan ke dalam pasal/ayat lain.

Jika unsur atau rincian dalam tabulasi dimaksudkan sebagai rincian kumulatif ditambahkan

kata yang diletakkan di belakang rincian kedua dari rincian terakhir.Jika rincian dalam tabulasi

dimaksudkan sebagai rincian alternatif ditambahkan kata atau yang diletakan dibelakang rincian

kedua dari rincian terakhir. Jika rincian dalam tabulasi dimaksudkan sebagai rincian kumulatif dan

77
alternatif, ditambahkan kata dan/atau yang diletakan di belakang rincian kedua dari rincian

terakhir. Kata dan, atau, dan/atau tidak perlu diulangi pada akhir setiap unsur atau rincian.

Contoh:

a. Tiap-tiap rincian ditandai dengan huruf a, huruf b, dan seterusnya. Contoh :

Pasal 9

(1) ....... :

(2) ....... :

a.... :

b. Jika suatu rincian memerlukan lebih lanjut, rincian itu ditandai dengan angka Arab 1, 2, dan

seterusnya. Contoh :

Pasal 9

(1) ........ :

(2) ........ : (dan, atau, dan/atau)

(3) ........ :

a...... :

b...... : (dan, atau, dan/atau)

1.. :

c. Jika suatu rincian lebih lanjut memerlukan rincian yang mendetail, rincian itu di tandai dengan

huruf a), b), dan seterusnya. Contoh :

Pasal 9

(1) ............. :

(2) ............. :

a........... :

78
b........... : (dan, atau, dan/atau)

1....... :

2 ...... : (dan, atau, dan/atau)

a) .. :

b) .. : (dan, atau, dan/atau)

c) ... :

d. Jika suatu rincian lebih lanjut memerlukan rincian yang mendetail, rincian itu di tandai dengan

angka 1), 2), dan seterusnya.

Pasal 9

(1) ................... :

(2) .................. :

a................ :

b................ : (dan, atau, dan/atau)

1........... :

2 .......... : (dan, atau, dan/atau)

3 .......... :

a) ...... :

b) ...... : (dan, atau, dan/atau)

1) .. :

C.1. Ketentuan Umum

Ketentuan umum diletakan dalam bab kesatu. Jika dalam peraturan Perundang-undangan tidak

dilakukan pengelompokan bab, ketentuan umum diletakan dalam pasal-pasal awal. Ketentuan umum

79
dapat membuat lebih dari satu pasal. Ketentuan umum berisi:

a. batasan pengertian atau definisi;

b. singkatan atau akronim yang digunakan dalam peraturan;

c. hal-hal lain yang bersipat umum yang berlaku bagi pasal-pasal berikutnya antara

lain ketentuan yang mencerminkan asas, maksud, tujuan.

Frase pembuka dalam peraturan umum undang-undang berbunyi (Dalam Undang-

undang ini yang dimaksudkan dengan). Frase pembuka dalam ketentuan umum Peraturan

Perundang-undangan di bawah Undang-undang disesuaikan dengan jenis peraturannya.

Jika ketentuan umum memuat batasan pengertian atau definisi, singkatan atau akronim

lebih dari satu, maka masing-masing uraiannya diberi nomor urut dengan angka Arab dan di

awali dengan huruf kapital serta diakhiri dengan tanda baca titik. Kata atau istilah yang dimuat

dalam ketentuan umum hanyalah kata atau istilah yang digunakan berulang-ulang di dalam

pasal- pasal selanjutnya.

Jika suatu kata atau istilah hanya digunakan satu kali, namun kata atau istilah itu

diperlukan pengertiannya untuk suatu bab, bagian atau paragraf tertentu, dianjurkan agar kata

atau istilah itu diberi definisi. Jika suatu batasan Pengertian atau definisi perlu dikutip kembali

di dalam ketentuan umum suatu peraturan pelaksanaan, maka rumusan batasan pengertian

atau definisi di dalam pelaksanaan harus sama dengan rumusan batasan pengertian atau

definisi yang terdapat di dalam peraturan lebih tinggi dari yang dilaksanakan tersebut. karena

batasan pengertian atau definisi, singkatan atau akronim berfungsi untuk menjelaskan makna

suatu kata atau istilah maka batasan atau pengertian atau definisi, singkatan atau akronim

tidak perlu diberi penjelasan dan karena itu harus dirumukan sedemikian rupa sehingga tidak

80
menimbulkan pengertian ganda.Urutan penempatan kata suatu istilah dalam ketentuan umum

mengikuti ketentuan :

a. pengertian yang mengatur tentang lingkup umum ditempatkan lebih dahulu dari yang

berlingkup khusus;

b. pengertian yang terdapat lebih dahulu didalam materi pokok yang diatur ditempatkan

dalam urutan yang lebih dahulu; dan

c. pengertian yang mempunyai kaitan dengan pengertian diatasnya diletakan berdekatan

secara berurutan.

C.2. Materi Pokok yang Diatur

Materi pokok yang diatur ditempatkan langsung setelah bab ketentuan umum, dan jika

tidak ada pengelompokan bab, materi pokok yang diatur ditempatkan setelah pasal ketentuan

umum. pembagian meteri pokok kedalam kelompok yang lebih kecil dilakukan menurut

kriteria yang dijadikan dasar pembagian.

Contoh :

a. pembagian berdasarkan hak atau kepentingan yang dilindungi, seperti pembagian dalam

kitab Undang-undang hukum pidana:

1. kejahatan terhadap keamanan negara;

2. kejahatan terhadap martabat presiden;

3. kejahatan terhadap negara sahabat dan wakilnya;

4. kejahatan terhadap kewajiban dan hak kenegaraan;

5. Kejahatan terhadap keamanan Negara;

b. Pembagian berdasarkan urutan jenjang jabatan, seperti Jaksa Agung, Wakil Jaksa Agung,

81
dan Jaksa Agung muda.

c. pembagian berdasarkan urutan/kronologis, seperti pembagian dalam hukum acara pidana,

mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, tingkat kasasi, dan peninjauan kembali.

C.3. Ketentuan Pidana

Ketentuan pidana memuat rumusan yang menyatakan penjatuhan pidana atas pelanggaran

terhadap ketentuan yang berisi norma larangan atau perintah.Rumusan ketentuan pidana harus

menyebutkan secara tegas norma larangan atau perintah yang dilanggar dan menyebutkan

pasal-pasal yang memuat norma tersebut. Dengan demikian perlu dihindari :

a. pengacuan kepada ketentuan pidana peraturan perundang-undangan lain.

b. pengacuan kepada kitab Undang-undang Hukum Pidana, jika elemen atau unsur-unsur

dari norma yang diacu tidak sama; atau

c. penyusunan rumusan sendiri yang berbeda atau tidak terdapat di dalam norma-norma yang

diatur dalam pasal-pasal sebelumnya, kecuali untuk undang-undang tindak pidana khusus.

Jika ketentuan pidana berlaku bagi siapapun, subyek dari ketentuan pidana dirumuskan

dengan frase setiap orang.

Contoh :

Pasal 81

Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada

keseluruhannya dengan merek terdaftar milik orang lain atau badan hukum lain untuk barang

atau jasa sejenis yang diproduksi dan atau diperdagangkan, sebagaimana dimaksud dalam

pasal 20, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak

Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah)

Ketentuan pidana bagi tindak pidana yang merupakan pelanggaran terhadap kegiatan

82
bidang ekonomi dapat tidak diatur tersendiri di dalam undang-undang yang bersangkutan,

tetapi cukup mengacu kepada undang-undang yang mengatur mengenai tindak pidana

ekonomi misalnya, undang-undang nomor 7 Drt. Tahun 1955 tentang pengusutan,

penuntutan, dan peradilan tindak pidana ekonomi. Tindak pidana dapat dilakukan oleh orang

atau korporasi. Pidana terhadap tindak pidana oleh korporasi dijatuhkan kepada :

a. badan hukum, pereroan, perkumpulan atau yayasan;

b. mereka yang memberi perintah melakukan tindak pidana atau yang bertindak sebagai

pimpinan dalam malakukan tindak pidana; atau

c. kedua-duanya

C.4 Ketentuan Peralihan

Ketentuan peralihan memuat, penyesuaian terhadap peraturan perundang-undangan

yang sudah ada pada saat peraturan perundang-undangan baru mulai berllaku, agar peraturan

perundang-undangan tersebut dapat berjalan lancar dan tidak menimbulkan permasalahan

hukum. Ketentuan peralihan dimuat dalam bab ketentuan peralihan dan ditempatkan diantara

bab ketentuan penutup.

Pada saat suatu peraturan perundang-undangan dinyatakan mulai berlaku, segala

hubungan hukum yang ada atau tindakan hukum yang terjadi baik sebelum, pada saat, maupun

sesudah peraturan perundang-undangan yang baru itu dinyatakan mulai berlaku, tunduk pada

kemampuan peraturan perundang-undangan baru.

Jika penerapan suatu ketentuan peraturan perundang-undangan dinyatakan ditunda

sementara bagi tindakan hukum atau hubungan hukum tertentu, ketentuan Peraturan

perundang-undangan tersebut harus memuat secara tegas dan rinci tindakanhukum dan

83
hubungan hukum mana yang dimaksud, serta jangka waktu atau syarat-syarat berakhirnya

penundaan sementara tersebut.

Hindari rumusan dalam ketentuan peralihan yang isinya memuat perubahan

terselubung atas ketentuan peraturan perundang-undangan lain. Perubahan ini hendaknya

dilakukan dengan membuat batasan pengertian baru dalam ketentuan umum peraturan

perundang-undangan atau dilakukan dengan membuat peraturan undang-undang tambahan.

C.5. Ketentuan Penutup

Ketentuan penutup ditempatkan dalam bab terakhir. Jika tidak diadakan pengelompokan

bab, ketentuan penutup ditempatkan dalam pasal-pasal terakhir. Pada umumnya ketentuan

penutup memuat ketentuan mengenai :

a. Penunjukan organ atau alat perlengkapan yang melaksanakan per-uu-an.

b. Nama singkat

c. Status peraturan perundang-undanganyang sudah ada

d. Saat mulai berlaku peraturan perundang-undangan.

Ketentuan penutup dapat memuat ketentuan mengenai:

a. menjalankan (eksekutif, misalnya penunjukan pejabat tertentu yang diberi kewenangan

untuk memberikan izin, mengangkat pegawai, dan lain;lain

b. mengatur (legislatif), misalnya memberikan kewenangan untuk membuat peraturan

pelaksanaan.

Bagi nama peraturan perundang-undangan yang panjang dapat dimuat ketentuan mengenai

nama singkat (judul kutipan) dengan memperhatikan hal-hal:

a. Nomor dan tahun pengeluaran peraturan yang bersangkutan tidak dicantumkan;

84
b. Nama singkat bukan berupa singkatan atau akronim, kecuali jika singkatan atau akronim

itu sudah sangat dikenal dan tidak menimbulkan salah pengertian.

Ketentuan mengenai nama singkat:

a. Nama singkat tidak memuat pengertian yang menyimpang dari isi dan nama peraturan.

Contoh nama singkat yang kurang tepat :

(Undang-Undang tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan)

Undang-undang ini dapat disebut Undang-Undang tentang Karantina Hewan.

b. Hindari memberikan nama singkat bagi nama peraturan perundang-undangan yang

sebenarnya sudah singkat.

Contoh nama singkat yang kurang tepat :

(Undang-Undang tentang Bank Sentral)

Undang-undang ini dapat disebut Undang-Undang tentang Bank Indonesia.

c. Hindari penggunaan sinonim sebagai nama singkat.

Contoh nama singkat yang kurang tepat :

(Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara)

Undang-undang ini dapat disebut Undang- Undang tentang Peradilan Administrasi

Negara.

Jika materi dalam peraturan perundang-undangan baru menyebabkan perlunya

penggantian seluruh atau sebagian materi dalam peraturan perundang-undangan lama, di

dalam peraturan perundang-undangan baru harus secara tegas diatur mengenai pencabutan

seluruh atau sebagian peraturan perundang-undangan lama.

Contoh :

85
Pada saat undang-undang ini mulai berlaku, undang-undang nomor ... Tahun tentang ...

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun ...., Nomor ...., Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor ..... dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Jika jumlah peraturan perundang-undangan yang dicabut lebih dari 1 (satu), dapat

dipertimbangkan cara penulisan dengan rincian dalam bentuk tabulasi.

Contoh :

Pada saat undang-undang ini mulai berlaku :

1. Ordonasi Perburuan (Jachtordonantie 1931, Staatsblad 1931 : 133)

2. Ordonasi Perlindungan Binatang-Binatang Liar (Dierenbescermingsordonantie

1931,Staatsblad 1931 : 134);

3. Ordonasi Perburuan Jawa dan Madura (Jachtordonantie java en Madoera 1940, Staatsblad

1959 : 733); dan

4. Ordonasi Perlindungan Alam (Natuurbescherming-sordonantie 1941, Staatsblad 1941:

167)

Dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Ketentuan lain tentang pencabutan peraturan perundang-undangan:

1. Pencabutan peraturan perundang-undangan harus disertai dengan keterangan mengenai

status hukum dari peraturan pelaksanaan, peraturan lebih rendah, atau keputusan yang telah

dikeluarkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang dicabut.

2. Untuk mencabut peraturan perundang-undangan yang telah diundangkan tetapi belum

mulai berlaku, gunakan frase ditarik kembali dan dinyatakan tidak berlaku.

86
Pada dasarnya setiap peraturan perundang- undangan mulai berlaku pada saat peraturan

yang bersangkutan diundangkan. Jika ada penyimpangan terhadap saat mulai berlakunya

peraturan perundang- undangan yang bersangkutan pada saat diundangkan, hal ini hendaknya

dinyatakan secara tegas di dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan dengan :

1. menentukan tanggal tertentu saat peraturan akan berlaku.

2. menyerahkan penetapan saat mulai berlakunya kepada peraturan perundang undangan lain

yang tingkatannya sama, jika yang diberlakukannya itu kodifikasi, atau oleh peraturan

perundang-undangan lain yang lebih rendah.

3. dengan menentukan lewatnya tenggang waktu tertentu sejak saat pengundangan atau

penetapan. Agar tidak menimbulkan kekeliruan penafsiran gunakan frase setelah ...

(tenggang waktu) sejak ..

Penyimpangan pada saat mulai berlaku peraturan perundang-undangan hendaknya

dinyatakan secara tegas dengan:

1. menetapkan bagian-bagian mana dalam peraturan perundang-undangan itu yang berbeda

saat mulai berlakunya

2. menetapkan saat mulai berlaku yang berbeda bagi wilayah negara tertentu.

Pada dasarnya saat mulai berlakunya peraturan perundang-undangan tidak dapat

ditentukan lebih awal daripada saat pengundangannya. Jika ada alasan yang kuat untuk

memberlakukan peraturan perundang- undangan lebih awal daripada saat pengundangannya

(artinya, berlaku surut), perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut :

1. Ketentuan baru yang berkaitan dengan masalah pidana, baik jenis, berat, sifat, maupun

klasifikasinya, tidak ikut diberlakusurutkan;

87
2. Rincian mengenai pengaruh ketentuan berlaku surut itu terhdap tindakan hukum, hubungan

hukum, dan akibat hukum tertentu yang sudah ada, perlu dimuat dalam ketentuan

peralihan;

3. Awal dari saat mulai berlaku peraturan perundang-undangan sebaiknya ditetapkan tidak

lebih dahulu dari saat rancangan peraturan perundang-undangan tersebut mulai diketahui

oleh masyarakat, misalnya, saat rancangan undang-undang itu disampaikan ke Dewan

Perwakilan Rakyat.

D. Penutup

Penutup merupakan bagian akhir Peraturan Perundang-undangan dan memuat:

a. Rumusan perintah pengundangan dan penempatan perturan Perundang-undangan dalam

Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah,

atau Berita Daerah;

b. Penandatangan pengesahan atau penetapan Peraturan Perundang-undangan;

c. Pengundangan Peraturan Perundang-undangan; dan

d. akhir bagian penutup.

Contoh :

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan ...(jenis Peraturan Pengundang-

undangan ) ... Ini dengan penmpatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Penandatanganan pengesahan atau penetapan Perturan Perundangan-undangan memuat:

a. tempat dan tanggal pengesahan atau penetapan diletakan di sebelah kanan

b. nama jabatan;

c. tanda tangan pejabat; dan

88
d. nama lengkap pejabat yang menandatangani, tanpa gelar dan pangkat.

Rumusan tempat dan tanggal pengesahan atau penetapan diletakan disebelah kanan. Nama jabatan dan

nama pejabat ditulis dengan huruf kapital. Pada akhir nama jabatan diberi tanda koma.

Contoh untuk pengesahan :

Disahkan di jakarta

Pada tanggal...

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Tanda tangan

NAMA

Contoh untuk penetapan :

Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal ...

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Tanda tangan

NAMA

Pengundangan Peraturan Perundang-undangan memuat:

a. tempat dan tanggal pengesahan atau penetapan diletakan di sebelah kanan

b. nama jabatan yang berwenang mengundangkan

c. tanda tangan; dan

d. nama lengkap pejabat yang menandatangani, tanpa gelar dan pangkat.

Jika dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh ) hari Presiden tidak menandatangani

rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama antara Dewan Perwakilan Raktyat dan

Presiden, maka dicantumkan kalimat setelah nama pejabat yang mengundangkan berbunyi

89
Undang-Undang ini dinyatakan sah berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (5) Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Jika dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari Gubernur/Bupati/Wlikota tidak

menandatangani rancangan peraturan daerah yang telah disetujui bersama antara Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah dan Gubernur atau Bupati/Walikota,maka dicantumkan kalimat

pengesahan setelah nama pejabat yang mengundangkan yang berbunyi : Peraturan Daerah ini

dinyataka sah.

Pada akhir bagian penutup dicantumkan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita

Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, dan Berita Daerah besreta tahun dan nomor

dariLembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah,

dan Berita Daerah tersebut. Penulisan Frase Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara

Republik Indonesia, Lembaran Daerah, dan Berita Daerah, dan Berita Daerah di tulis seluruhnya

dengan huruf kapital.

Contoh :

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN

...NOMOR ...

Contoh :

BERITA NEGARA REPUBL;IM INDONESIA TAHUN

....NOMOR ...

Contoh :

LEMBARAN DAERAH PROVINSI (KABUPATEN/KOTA) ...TAHUN...

NOMOR...

90
E. Penjelasan

Setiap Undang-Undang perlu diberi penjelasan. Peraturan Perundang-undangan dibawah

Undang Undang dapat diberi penjelasan, jika diperlukan. Penjelasan berfungsi sebagai tafsiran

resmi pembentuk Peraturan Perundang-uandangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh

karena itu, penjelasan hanya memuat ueraian atau jabaran lebih lanjut dari norma yang di atur

dalam batang tubuh . Dengan demikian, penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma

dalam batang tubuh tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidak jelasan dari norma yang di

jelaskan.

Judul penjelasan sama dengan judul Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan.

Contoh:

PENJELASAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR ...TAHUN ....

TENTANG KESEJAHTERAAN ANAK

Penjelasan Peraturan Perundang-undangan memuat penjalasan umum dan penjelasan

pasal demi pasal. Rincian penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal diawali dengan

angka Romawi dan ditulis seluruhnya dengan huruf kapital.

Contoh:

I. UMUM

II. PASAL DEMI PASAL

Penjelasan umum memuat uraian secara sistematis mengenai latar belakang pemikiran,

maksud, dan tujuan penyusunan Perauran Perundang-undangan yang telah tercantum secara

91
singkat dalam butir konsinderans, serta asas, tujuan, atau pokok-pokok yang terkandung dalam

batang tubuh Perundang-undangan. Bagian-bagian dari penjelasan umum dapat diberi nomor

dengan angka arab, jika hal ini lebih memberikan kejelasan.

Contoh :

I. UMUM

1. Dasar pemikiran

...

2. Pembagian wilayah

...

3. Asas Penyelenggaraan Pemerintahan

...

4. Daerah Otonom

...

5. Wilayah Administratif

...
6. Pengawasan

Jika dalam penjelasan umum dimuat pengacuan ke peraturan perundang-undangan lain

atau dokumen lain, pengacuan itu dilengkapi dengan keterangan mengenai sumbernya. Dalam

menyusun penjelasan pasal demi pasal harus diperhatikan agar rumusannya :

a. Tidak bertentangan dengan materi pokok yang diatur dalam batang tubuh;

b. Tidak memperluas atau menambah norma yang ada dalam tubuh;

c. Tidak melakukan pengulangan atas materi pokok yang diatur dalam batang tubuh;

d. Tidak mengulangi uraian kata, istilah, atau pengertian yang telah dimuat didalam ketentuan

92
umum.

Ketentuan umum yang memuat batasan pengertian atau definisi dari kata atau istilah, tidak perlu

diberikan penjelasan karena itu batasan pengertian atau definisi harus dirumuskan sedemikian rupa

sehingga dapat dimengerti tanpa memerlukan penjelasan lebih lanjut. Pada pasal atau ayat yang tidak

memerlukan penjelasan ditulis frase cukup jelas yang diakhiri dengan tanda baca titik, sesuai dengan makna

frase penjelasan pasal demi pasal tidak digabungkanwalaupun terdapat beberapa pasal berurutan yang tidak

memerlukan penjelasan.

Contoh yang kurang tepat :

Pasal 7,pasal 8 dan pasal 9 (pasal 7 s/d Pasal 9) Cukup jelas.

Seharusnya :

Pasal 7

Cukup jelas

Pasal 8

Cukup jelas

Pasal 9

Cukup jelas

Jika suatu pasal terdiri dari beberapa ayat atau butir tidak memerlukan penjelasan, pasal yang

bersangkutan cukup di beri penjelsan cukup jelas.,tanpa merinci masing-masing ayat atau butir.

Jika suatu pasal terdiri dari beberapa ayat atau butir dan salah satunya ayat atau butir tersebut

memerlukan penjelasan, setiap ayat atau butir perlu dicantumkan dan dilengkapi dengan

penjelasan yang sesuai.

Contoh :

Pasal 7

Ayat (1)

93
Cukup jelas

Ayat (2)

Ayat ini dimaksudkan untuk memberi kepatian hukum kepada hakim dan para pengguna

hukum.

Ayat (3)

Jika suatu istilah/kata/frase dalam suatu pasal atau ayat yang memerlukan penjelesan,

gunakan tanda baca petik (“...”) pada istilah/kata/frase tersebut.

Contoh :

Pasal 25

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “Persidangan yang berikut” adalah masa persidangan Dewan

Perwakilan Rakyat yang hanya di antarai suatu masa reses

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

F. Lampiran (Jika diperlukan)

Dalam hal Peraturan Perundang-undangan memerlukan lampiran, hal tersebut harus

dinyatakan dalam batang tubuh dan pernyataan bahwa lampiran tersebut merupakan bagian bagian

yang tidak terpisahkan dari peraturan Perundang- undangan yang bersangkutan. Pada akhir

lampiran harus dicantumkan nama dan tanda tanga pejabat yang mengesahkan/menetapkan

Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan.

94
DAFTAR PUSTAKA

1. Buku dan Makalah

A.Hamid S.Attamimi, “Pancasila Cita Hukum Dalam Kehidupan Hukum Bangsa Indonesia”,

dalam Oetoyo Oersman dan Alfian (ed.), Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Berbagai

Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara, Jakarta, BP-7 Pusat, 1992.

_ , Materi muatan Undang-undang Indonesia,Makalah Seminar di FH UBAYA,

Surabaya, 1993.

Amiroeddin Syarif, Perundang-undangan, dasar, jenis dan teknik membuatnya, Bina Aksara,

Jakarta, 1987.

Bagir Manan, Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia, Ind. Hill. Co, Jakarta, 1992.

__ , Fungsi dan Materi peraturan Perundang- undangan,Makalah pada penataran

dosen Pendidikan dan Latihan Kemahiran Hukum BKS- PTN bidang hukum sewilayah

barat, Fakultas Hukum Universitas Lampung, Bandar Lampung, 1994.

__ , Fungsi dan Materi peraturan Perundang- undangan,Makalah pada penataran

dosen Pendidikan dan Latihan Kemahiran Hukum BKS- PTN bidang hukum sewilayah

barat, Fakultas Hukum Universitas Lampung, Bandar Lampung, 1994.

__ _, Lembaga Kepresidenan Menurut Undang- undang Dasar 1945, Jakarta, 1998.

__ _, Hukum Positif Indonesia (satu kajian teoritik), Makalah, Jakarta, 2000.

__ _, Pembangunan Hukum untuk mewujudkan Keadilan dan Kebenaran, Makalah,

Bandung, 2000.

95
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, PN Balai Pustaka, Jakarta,

1979.

Frans Magnes Suseno, Etika Politik – Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern-,

Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1994.

Fakultas Hukum Unpad, Laporan Akhir Hasil Penelitian Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

Tentang Pengaturan Tata Ruang Indonesia , Desember 1989.

Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Terjemah oleh Somardi, Rimdi Press, Bandung,

1995.

Staatsrecht, Universitaire Pers, Leiden, 1948; terj.

Makkatutu dan J.C.Pangkerego, “Tentang Teori Suatu Hukum Tata Negara Positif”, Jakarta, Ichtiar Baru

– van Hoeve, 1975

J.M. Polak, Enkele opmerkingen over de relative tussen recht en taal, dalam : WPNR (1979),

L.G. van Reijnen, Algemene beginselen van decentrale regelgeving, dalam : Regel Maat

(1986).

Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan dasar- dasar dan Pembentukannya,

Sekretariat Konsorsium Ilmu Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 1996.

Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional,

Bandung, Bina Cipta, tanpa tahun.

96
Moh Koesnoe, Perumusan dan Pembinaan cita Hukum dan Asas-Asas Hukum Nasional,

dalam Majalah Hukum Nasional Edisi Khusus 50 Tahun Pembangunan Nasional,

Pusat Dokumentasi hukum Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta.

N.E. Negra, (et al), Kamus Istilah …, Jakarta : Binacipta,1983.

P.J.J. van Buuren dalam : Bestuurswetenschappen (1979), hlm. 146 dst.; N.H.M. Roos, Enkele

rechtstheoretische kanttekeningen bij een belastingstheoretishche discussie, dalam :

NJB (1980).

Philipus H. hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Yogyakarta : Gajah Mada

University Press, 1993, Hlm 57.

Sjachran Basah, Perlindungan hukum terhadap sikap tindak administrasi negara,Alumni,

Bandung, 1992, hlm. 13-14. Lihat juga Sjachran Basah, Tiga tulisan tentang Hukum,

Armico, Bandung 1986.

__ _, Perlindungan Hukum Terhadap Sikap Tindak Administrasi negara, Alumni,

Bandung, 1992, hlm. 13-14. Lihat juga Sjachran Basah, Tiga Tulisan Tentang Hukum,

Alumni, Bandung, 1990.

Sri Soemantri M., Undang-Undang Dasar 1945 Kedudukan dan aspek-aspek Perubahannya,

Unpad Press, Bandung, 2002, hlm. 9

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (suatu pengantar), liberty, Yogyakarta, 1991.

Suwoto, Kekuasaan Dan Tanggung Jawab Presiden Republic Indonesia, Disertasi,

Universitas Airlangga, Surabaya, 1990.

Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Ikhtiar, Jakarta, 1961.

97
Van Angeren, dalam : Kracht van Wet, 1985. Mok, dalam :Problemen van Wetgeving, 1982.

Van Wijk/Konijnembelt, Hoofdstukken Van Administratief Recht, Vijfde druk, Vuga

S’Gravenhage, 1948.

2. Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 beserta perubahannya.

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintah Daerah

Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah daerah beserta perubahannya.

98
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME

Saya yang bertandatangan dibawah ini:

Nama : Annisa Affandy

NPM : 10040018199

Kelas :D

Tempat/Tanggal lahir : Bandung, 19 Desember 1999

Institusi : Universitas Islam Bandung

Fakultas : Hukum

Dengan ini menyatakan bahwa resume buku “Ilmu Perundang-undangan” karya Efik Yusdiansyah
untuk memenuhi nilai Ujian Tengah Semester Mata Kuliah Teori Perundang-undangan ini bebas
dari plagiarisme dan bukan hasil karya orang lain.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya tanpa ada paksaan dari siapapun
juga dan untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.

Bandung, 01 April 2020

Annisa Affandy

99

Anda mungkin juga menyukai