Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

KESADARAN DAN KEPATUHAN HUKUM DIKAITKAN DENGAN EFEKTIFITAS


HUKUM DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DAN FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMPENGARUHINYA
(Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Sosiologi Hukum)
Dosen Pengampu :
Dr. Sri Poedjastoeti, Dra., M.Hum.

Disusun oleh :
Kelas E
Fathurrohman Siliwangi ; 10040018181 ; 2018
Rizkya Ahdiyati ; 10040018186 ; 2018
Reby Haya Aqqila ; 10040018191 ; 2018
Dinda Arba Fauzia ; 10040018196 ; 2018
Annisa Affandy ; 10040018199 ; 2018

UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG


BANDUNG
2020
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami
tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam
semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang
kita nanti-natikan syafa’atnya di akhirat nanti. Penulis mengucapkan syukur kepada Allah
SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran,
sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah ini sebagai tugas
kelompok pada pertemuan ketiga belas dalam pembelajaran daring dari mata kuliah Sosiologi
Hukum dengan judul “Kesadaran Dan Kepatuhan Hukum Dikaitkan Dengan Efektifitas
Hukum Dalam Pemberantasan Korupsi Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya”.

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan
kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, agar makalah ini nantinya dapat menjadi
makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini
penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada dosen mata kuliah Sosiologi Hukum
kami ibu Dr. Sri Poedjastoeti, Dra., M.Hum. yang telah membimbing dalam penulisan
makalah ini dan juga teman-teman kelas E yang telah berbagi semangat selama proses
pembuatan makalah ini.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih. Wassalamualaikum


Warahmatullahi Wabarakatuh

Bandung, 8 Mei 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..............................................................................................................


i
DAFTAR ISI ............................................................................................................................
ii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................................


1
A. Latar Belakang ..............................................................................................................
1

B. Rumusan Masalah ........................................................................................................ 2

C. Tujuan Penulisan .......................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN .........................................................................................................


3
A. Kesadaran dan Kepatuhan Hukum ................................................................................
3

B. Konsep Efektifitas Hukum dalam Pemberantasan Korupsi ..........................................


4

C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Efektifitas Penegakan Hukum ............................


13

BAB III PENUTUP ...............................................................................................................


16
A. Kesimpulan ................................................................................................................. 16

B. Saran ........................................................................................................................... 16

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................


17

ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perubahan merupakan ciri yang melekat pada masyarakat pada umumnya.


Pembangunan pada hakikatnya juga merupakan perubahan (yang direncanakan) dan dapat
mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan, baik dibidang struktural maupun spiritual,
misalnya hakim, polisi, jaksa, pejabat-pejabat pemangku kepentingan mengenai sesuatu
peristiwa yang diatur di dalam undang-undang (hukum) berubah, maka hukum sudah berubah
walaupun bunyinya tetap sama. Kiranya dapat diambil dari kalimat diatas bahwa pandangan-
pandangan hukum pejabat-pejabat hukum tersebut adalah perwujudan dari kesadaran hukum
pejabat-pejabat hukum yang bersangkutan. Dimana diantara banyaknya pendapat, terdapat
rumusan yang mengatakan, bahwa sumber satu-satu hukum dan kekuatan mengikat adalah
kesadaran hukum masyarakat. Dikatakan kemudian, bahwa perasaan hukum dan keyakinan
hukum individu di dalam masyarakat yang merupakan kesadaran hukum masyarakat.
Selanjutnya pendapat tersebut menyatakan bahwa kesadaran hukum masyarakat adalah
jumlah terbanyak dari kesadaran-kesadaran hukum individu mengenai suatu peristiwa
tertentu. Ada pula yang menyatakan bahwa hukum ditentukan dan tergantung pada praktek-
praktek sehari-hari dari pejabat hukum, seperti hukum dan ketertiban umum, selanjutnya
dikatakan bahwa kesadaran hukum tersebut sejalan, akan tetapi dalam kenyataannya tidak
selalu demikian prosesnya, padahal kepastian hukum dan ketertiban umum selalu menuntut
agar ketentuan-ketentuan hukum tertulis ditaati.
Adapun peristiwa yang kita ambil yaitu mengenai maraknya tindak pidana korupsi
yang terjadi di Indonesia dimana berdasarkan data yang dikeluarkan oleh KPK saja per 31
Desember 2018, di tahun 2018 KPK melakukan penanganan tindak pidana korupsi dengan
rincian: penyelidikan 164 perkara, penyidikan 199 perkara, penuntutan 151 perkara, inkracht
106 perkara, dan eksekusi 113 perkara. Jumlah tersebut sangat banyak jika dilihat dari jangka
waktu yang hanya terhitung satu tahun, dan itu dilakukan oleh para pejabat-pejabat
pemangku kepentingan, baik itu yang ada di pusat maupun daerah serta para penegak hukum
sendiri seperti jaksa, polisi dan yang lainnya. Dimana secara sosiologis, setiap penegak
hukum tersebut mempunyai kcdudukan (status) dan peranan (role). Kedudukan tersebut
sebenarnya merupakan suatu wadah yang isinya adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban
tertentu yang berhubungan pada tugas dan wewenangnya nanti. Bagaimana hukum akan
bejalan efektif sampai dengan masyarakat dibawah jika para pejabat maupun penegak
hukumnya melanggar ketentuan itu.
Dan juga pada umumnya kesadaran hukum dikaitkan dengan ketaatan hukum atau
efektivitas hukum. Dengan perkataan lain, kesadaran hukum menyangkut apakah ketentuan
hukum tertentu benar-benar berfungsi atau tidak dalam masyarakat. Dan tidak dapat
diabaikan salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan hukum dalam masyarakat
adalah Kesadaran hukum dan kepatuhan masyarakat itu sendiri. Faktor kesadaran hukum ini
sangat memainkan peran penting dalam perkembangan hukum artinya semakin lemah
tinggkat kesadaran masyarakat semakin lemah pula kuat kesadaran hukumnya semakin kuat

1
pula faktor kepatuhan hukum. Sehingga proses perkembangan dan efektifitas hukum dapat
dirasakan langsung oleh masyarakat. Hal diatas tidak luput dari faktor-faktor yang
mempengaruhinya dimana faktor tersebut saling berkaitan dengan erat, karena merupakan
esensi dari penegak hukum, juga merupakan tolak ukur daripada efektivitas penegakan
hukum. Makalah yang berjudul “Kesadaran Dan Kepatuhan Hukum Dikaitkan Dengan
Efektifitas Hukum Dalam Pemberantasan Korupsi Dan Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhinya” ini membahas mengenai kesadaran dan kepatuhan hukum dan konsep
efektifitas hukum dalam pemberantasan korupsi serta faktor-faktor yang mempengaruhi
efektifaitas penegakan hukum itu sendiri.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Kesadaran dan Kepatuhan Hukum?


2. Bagaimana konsep Efektifitas Hukum dalam Pemberantasan Korupsi?
3. Apa saja Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efektifitas Penegakan Hukum?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan kami dalam menyusun makalah ini adalah disamping untuk memenuhi
tugas kelompok dalam perkuliahan juga agar kami khususnya dan semua mahasiswa pada
umumnya mampu mengerti dan memahami mengenai kesadaran dan kepatuhan hukum,
konsep efektifitas hukum dalam pemberantasan korupsi dan juga faktor-faktor yang
mempengaruhi efektifitas penegakan hukum.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kesadaran Dan Kepatuhan Hukum

Kesadaran berasal dari kata sadar. yang berarti insaf, merasa, tahu atau mengerti.
Menyadari berarti mengetahui, menginsafi, merasai. Kesadaran berarti keinsafan, keadaan
mengerti, hal yang dirasakan atau dialami oleh seseorang. Kesadaran hukum dapat berarti
adanya keinsyafan, keadaan seseorang yang mengerti betul apa itu hukum, fungsi dan
peranan hukum bagi dirinya dan masyarakat sekelilingnya. Kesadaran hukum itu berarti juga
kesadaran tentang hukum, kesadaran bahwa hukum merupakan perlindungan kepentingan
manusia yang menyadari bahwa manusia mempunyai banyak kepentingan yang memerlukan
perlindungan hukum. Kesadaran hukum perlu dibedakan dari perasaan hukum. Kalau
perasaan hukum itu merupakan penilaian yang timbul secara serta merta (spontan) maka
kesadaran hukum merupakan penilaian yang secara tidak langsung diterima dengan jalan
pemikiran secara rasional dan berargumentasi. Sering kesadaran hukum itu dirumuskan
sebagai resultante dari perasaan-perasaan hukum di dalam masyarakat. Jadi kesadaran hukum
tidak lain merupakan pandangan-pandangan yang hidup dalam masyarakat tentang apa
hukum itu. Pandangan-pandangan hidup dalam masyarakat bukanlah semata-mata hanya
merupakan produk dari pertimbangan-pertimbangan
menurut akal saja, akan tetapi berkembang di bawah pengaruh beberapa faktor seperti agama,
ekonomi, politik dan lain sebagainya.
Walaupun Kesadaran hukum pada dasarnya masih bersifat abstrak, artinya belum
terwujud dalam perilaku sebagaimana dikehendaki oleh hukum itu sendiri, sedangkan
kepatuhan atau ketaatan hukum adalah suatu bentuk perilaku sebagaimana dikehendaki oleh
hukum itu sendiri sebagai wujud kesetiaan seseorang sebagai subjek hukum.
Akhir-akhir ini banyak dipermasalahkan tentang merosotnya kesadaran hukum.
Pandangan mengenai merosotnya kesadaran hukum disebabkan karena terjadi pelanggaran-
pelanggaran hukum dan ketidak patuhan hukum. Kalau kita mengikut berita-berita dalam
surat kabar, maka boleh dikatakan tidak ada hati lewat dimana tidak dimuat berita tentang
terjadinya pelanggaran-pelanggaran hukum. Salah satunya yaitu tindak pidana korupsi.
Dimana yang menyedihkan ialah bahwa tidak sedikit orang yang seharusnya menjadi
panutan, orang yang tahu hukum melakukannya, baik ia petugas penegak hukum atau bukan.
Tidak hanya pelanggaran hukum atau ketidakpatuhan hukum saja yang terjadi tetapi juga
penyalahgunaan hak dan/atau wewenang. Akibat peristiwa-peristiwa tersebut dapatlah
dikatakan secara umum bahwa kesadaran hukum masyarakat dewasa ini menurun. 
Pada hakekatnya kesadaran hukum itu tidak hanya berhubungan dengan hukum
tertulis. Tetapi dalam kaitannya dengan kepatuhan hukum, maka kesadaran hukum itu timbul
dalam proses penerapan hukum positif tertulis. Kesadaran hukum berkaitan
dengan kepatuhan hukum, hal yang membedakannya yaitu dalam kepatuhan hukum ada rasa
takut akan sanksi. Kesadaran hukum masyarakat berpengaruh pada kepatuhan hukum baik
langsung maupun tidak langsung. Dalam masyarakat maju, faktor kesadaran hukum

3
berpengaruh langsung pada kepatuhan hukum masyarakat. Orang patuh pada hukum karena
mereka memang jiwanya sadar bahwa mereka membutuhkan hukum dan hukum itu bertujuan
baik dan telah mengatur masyarakat secara baik, benar dan adil.
Dalam konteks kesadaran hukum maka tidak ada sanksi didalamnya, hal ini
merupakan perumusan dari kalangan hukum mengenai penilaian tersebut, yang telah
dilakukan secara ilmiah, nilai nilai yang terdapat dalam manusia tentang hukum yang ada
(Ius kontitum) atau tentang hukum yang diharapkan ada/dicita-citajan (ius konstituendum).
Menurut Soerjono Seokanto ada empat indikator kesadaran hukum, yaitu :
1. Pengetahuan hukum; seseorang mengetahui bahwa perilaku-perilakutertentu itu telah
diatur oleh hukum. Peraturan hukum yang dimaksuddisini adalah hukum tertulis
maupun hukum yang tidak tertulis. Perilaku tersebut menyangkut perilaku yang
dilarang oleh hukum maupun perilaku yang diperbolehkan oleh hukum.

2. Pemahaman hukum; seseorang warga masyarakat mempunyai pengetahuan dan


pemahaman mengenai aturan-aturan tertentu, misalnyaadanya pengetahuan dan
pemahaman yang benar dari masyarakattentang hakikat dan arti pentingnya UU No. 1
Tahun 1974 tentang perkawinan.

3. Sikap hukum; seseorang mempunyai kecenderungan untuk mengadakan penilaian


tertentu terhadap hukum.

4. Pola perilaku hukum; dimana seseorang atau dalam suatu masyarakat warganya
mematuhi peraturan yang berlaku.

B. Konsep Efektifitas Hukum Dalam Pemberantasan Korupsi

Dalam rangka mengefektifkan hukum untuk memberantas korupsi, pembentuk


undang-undang mengharapakan agar undang-undang mampu memenuhi dan mengantisipasi
perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka mencegah dan memberantas
secara lebih efektif setiap bentuk tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara pada khususnya serta pada masyarakat umumnya. Demi
terwujudnya pembangunan nasional yang bertujuan mewujudkan manusia Indonesia
seutuhnya dan masyrakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera dan tertib
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan hal tersebut,
maka perlu dilakukan dan ditingkatkan secara terus menerus usaha-usaha pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi.
Tindak pidana korupsi yang biasanya diikuti dengan kolusi dan nepotisme dapat
dikatakan sebagai suatu “the white collar crime” sekaligus economic crime yang dapat
menimbulkan kerugian bagi masyarakat dan negara. Kegiatan tersebut mempunyai pengaruh
yang luar biasa bagi kegiatan perekonomian dan pembangunan suatu negara yang pada
gilirannya dapat menimbulkan dampak krisis di berbagai bidang. Untuk itu, upaya
pencegahan dan pemberantasan korupsi harus semakin ditingkatkan dan diintensifkan dengan
tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kepentingan masyarakat. Oleh karenanya

4
kejahatan korupsi dapat dikategorikan sebagai extra ordinary crime. Hal ini terjadi akibat
tiadanya kesadaran dan kepatuhan hukum pejabat penyelenggara negara yang mengarah pada
tindakan deviance (pembangkangan) terhadap nilai-nilai dan sikap hidup individu yang baik.1
Nilai-nilai itu adalah berupa norma-norma yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Yang mana apabila norma tersebut tidak dipatuhi membuat hukum berjalan
tersendat sehingga akan memperlambat proses pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
korupsi.
Akibat negatif dari adanya tindak pidana korupsi sangat merusak tatanan kehidupan
bangsa, bahkan korupsi merupakan perampasan hak ekonomi dan hak sosial masyarakat
Indonesia.2 Bagi Indonesia, KKN sudah merupakan ancaman bagi kehidupan bangsa dan
negara, karena kerugian yang dialami sangat besar dengan perbuatan para koruptor yang
nyaris membuat bangkrut perekonomian negara, terutama ketika terjadi krisis moneter yang
diikuti pula dengan krisis ekonomi pada tahun 1997. Sampai saat ini, perekonomian
Indonesia belum pulih betul dari krisis ekonomi dibandingkan dari krisis yang dialami oleh
semua negara Asia lainnya seperti Malaysia, Thailand, Jepang, Korea Selatan, Taiwan dan
Filipina. Salah satu penyebab faktor krisis ini adalah akibat perilaku KKN para
penyelenggara negara dari tingkat pusat sampai daerah yang sangat merugikan bagi
kepentingan pembangunan nasional. Pemberantasan KKN menjadi masalah nasional yang
harus dilakukan pemerintah sampai kapanpun guna dapat mewujudkan pemerintahan dan
negara yang betul-betul bebas dari perilaku KKN.
Korupsi di Indonesia sudah bersifat sistemik dan endemik sehingga tidak saja
merugikan keuangan negara dan perekonomian negara, tetapi juga sudah melanggar hak-hak
ekonomi dan sosial (economic dan social right) masyarakat secara meluas.3 Dalam kejahatan
ekonomi ini (termasuk KKN), pihak yang dirugikan adalah kepentingan kolektif atau
komunitas, karena kejahatan ini merugikan keuangan negara dan perekonomian bangsa yang
tentunya juga merugikan perekonomian rakyat. Artinya, pihak yang menjadi korban adalah
negara dan rakyat. Kerugian lain yang dialami masyarakat berupa rendahnya pelayanan
umum dari pemerintah, karena tiadanya biaya atau dana negara untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat. Kejahatan korupsi pada beberapa negara juga dianggap sebagai
pelanggaran HAM yang menyangkut dengan kepentingan rakyat banyak (publik). Ini
disebabkan, kejahatan korupsi dapat merusak sendi-sendi peradaban dan nama baik suatu
bangsa dalam pergaulan masyarakat internasional sehingga perbuatan itu dapat dikategorikan
sebagai “kejahatan kemanusiaan” (crime against humanity) yang harus memperoleh prioritas
utama dalam pemberantasannya. Dalam hukum pidana Indonesia, delik korupsi termasuk
dalam klasifikasi hukum pidana khusus yang diprioritaskan penanganannya oleh aparat
penegak hukum ketimbang delik-delik yang bersifat umum.4 Penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi harus didahulukan

1
Robert B. Seidman, The State Law and Development, St. Martin Press, New York, 1978, hal. 99.
2
Nyoman Serikat Putra Jaya, Beberapa Pemikiran Kearah Pengembangan Hukum Pidana, Cet. Pertama, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2008, hal.  69.
3
Ibid.
4
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986, hal. 58.
5
dari perkara lain guna penyelesaian secepatnya. 5 Jika terdapat dua atau lebih perkara yang
boleh oleh undang-undang ditentukan untuk didahulukan, maka penentu mengenai penentuan
prioritas perkara tersebut diserahkan pada tiap lembaga yang berwenang disetiap proses
peradilan.
Menurut Athol Noffitt, ia mengemukakan bahwa “sekali korupsi dilakukan apalagi
bila dilakukan oleh pejabat-pejabat yang tinggi, maka korupsi itu akan tumbuh lebih
subur”.6 Lebih lanjut ia mengatakan “tiada kelemahan yang lebih besar pada suatu bangsa
dari pada korupsi yang merembes ke semua tingkat pelayanan umum. Korupsi melemahkan
garis belakang baik damai maupun perang”.7 Perilaku buruk pejabat tinggi akan
mempengaruhi kuantitas korupsi  dan akan semakin sulit diberantas. Perilaku tersebut dapat
mengancam tingkat dan kualitas pelayanan umum yang dibutuhkan masyarakat, sehingga
apabila itu terjadi maka perbuatan tersebut sangat merugikan kepentingan rakyat banyak.
Walaupun negara selalu berbenah diri dalam menghadapi kejahatan korupsi, namun selalu
ada celah bagi  penyelenggara negara dan pejabat daerah untuk tetap melakukan korupsi yaitu
karena adanya peningkatan sumber-sumber kekayaan negara dan daerah yang selama ini
memang memberikan banyak harapan bagi koruptor. Sumber keuangan negara dan daerah
dimanfaatkan oleh mereka yang mengelolanya ataupun pejabat yang memberikan pelayanan
publik untuk memperkaya diri  sendiri dan juga orang lainnya termasuk korporasi.
Inilah salah satu kelemahan yang bangsa Indonesia hadapi sekarang. Seiring dengan
itu, Teguh Sulistia, Aria Zurnetti, mengemukakan bahwa ada indikator dalam peningkatan
aktifitas KKN selama ini. Indikator tersebut dapat dilihat dari tiga hal, yakni sebagai berikut:
Pertama, tidak adanya lembaga politik (partai politik, pemerintah (depdagri, Kementerian
PAN, KPKPN) ataupun lembaga swadaya masyarakat) yang efektif dan mampu untuk
mengontrol dengan ketat perilaku KKN para penyelenggara negara. Kedua, tidak adanya
partisipasi partai politik yang signifikan dari sebagian besar rakyat Indonesia, khususnya
rakyat miskin, tokoh-tokoh masyarakat, baik di kota maupun desa untuk melakukan tekanan
terhadap pemerintahan yang korup. Ketiga, tidak adanya lembaga hukum (kepolisian,
kejaksaan dan pengadilan) dengan sanksi hukum yang betul-betul mempunyai kekuatan riil
dapat menyadarkan dan menjerakan perilaku KKN para penyelenggara negara.8
Sudah seharusnya setiap komponen maupun elemen yang berada ditingkat pusat dan
di daerah yang mempunyai hubungan secara vertikal maupun horizontal memiliki kekuatan
dan tekad yang serius untuk melakukan kerjasama, kordinasi dalam memberantas tindak
pidana korupsi. Serta menerapkan sanksi yang tegas sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku bagi para pelaku yang melanggar ketentuan tersebut. Sehingga akan
menimbulkan efek jera bagi koruptor dan juga menghindari perbuatan tersebut dilakukan
oleh orang lain baik untuk saat sekarang maupun masa yang akan datang. Meskipun
kejahatan korupsi sudah begitu parah dan masif, sehingga timbul istilah “korupsi sudah
5
Pasal 25 UU No. 31 Tahun 1999 Jo. UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
6
Nyoman Serikat Putra Jaya, Loc. Cit.
7
Ibid., hal 70.
8
Teguh Sulistia, Aria Zurnetti, Op. Cit, hal. 208.
6
membudaya” dalam kehidupan suatu bangsa dengan tatanan hukum yang rapuh,9 namun
upaya penegakan hukum untuk memberantasnya seolah-olah mengalami kebuntuan. Bisa jadi
disebabkan oleh banyaknya pelaku yang terlibat merupakan pejabat penting negara yang
mempunyai kekuatan besar dibelakangnya dan juga adanya kesulitan dalam pembuktian
bahwa telah terjadi tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh seorang, kelompok orang
ataupun korporasi yang merugikan keuangan negara dan masyarakat.
Penerapan asas beban pembuktian terbalik terbatas atau berimbang dalam Pasal 37
UU No. 31 tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 memberikan pula kesempatan para
tersangka/terdakwa untuk membuktikan bahwa dirinya memang tidak bersalah dengan
mengemukakan bukti-bukti yang dimilikinya, sekurangnya kesulitan pembuktian di depan
sidang pengadilan dapat meringankan tugas-tugas kejaksaan dalam upaya pembuktian
kesalahan terdakwa. Efektivitasnya masih perlu dibuktikan dari sistem pembuktian yang baru
diberlakukan dalam kasus-kasus mega korupsi yang belum tuntas sampai saat ini seperti
Proyek Hambalang, Bank  Century, kasus Simulator SIM di tubuh polri dan lain sebagainya.
Apabila mega korupsi ini diselesaikan dengan baik akan menjadi contoh bahwa penegakan
hukum di Indonesia tidak lagi tebang pilih dalam penerapan hukumnya .
Dikaitkan dengan perkembangan hukum pidana dan reformasi hukum, tidak hanya
harus memperhatikan hak-hak para tersangka/terdakwa, akan tetapi juga harus
memperhatikan hak-hak korban. Artinya, kerugian yang dialami oleh negara dan rakyat harus
dilindungi dengan baik dalam rangka mencapai tujuan nasional, yaitu “masyarakat adil dan
makmur”, maka pemberantasan kejahatan korupsi, kolusi dan nepotisme sudah tidak bisa
ditawar-tawar lagi demi mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN. Perilaku
KKN pejabat publik sebagai elit penentu selama ini terbukti amat merugikan dalam
pembangunan. Elit penentu yang mengemban citra ideal masyarakat akhirnya berubah
menjadi kebencian masyarakat. Kini saatnya segenap kekuatan reformis berpacu untuk
melawan korupsi, kolusi dan nepotisme. 10 Pemberantasan KKN harus sejalan dengan
penegakan hukum yang tegas dan didukung pula dengan lembaga hukum yang kuat dan
independen, tanpa itu, penegakan hukum sulit tercapai. Semua itu dimaksudkan agar
kekuasaan yang diatur oleh hukum merupakan suatu kebebasan yang terkendali, baik isi,
ruang lingkup, prosedur memperolehnya, semuanya ditentukan oleh hukum.11
Lembaga hukum yang khusus dibentuk untuk melakukan tugas pemberantasan tindak
pidana korupsi, sebenarnya sudah ada sejak lama. Namun namanya saja yang seringkali
berubah. Karena lembaga itu hampir bisa dikatakan dalam pemberantasan korupsi mengalami
kegagalan. Seperti masa orde lama, tercatat beberapa kali dibentuk badan pemberantasan
korupsi yakni Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran) yang dibentuk dengan perangkat
aturan Undang-Undang Keadaan Bahaya dan lembaga yang dikenal dengan nama Operasi
Budhi yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden No. 275 Tahun 1963. Serta Komando
Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (Kontrar) yang menggantikan Operasi Budhi. Pada
masa orde baru, setidaknya ada empat lembaga yang dibebani tugas untuk melakukan

9
Syed Hussein Alatas, Sosiologi Korupsi, LP3ES, Jakarta, 1986, hal. 87.
10
Teguh Sulistia, Aria Zarnetti, Op. Cit., hal. 209.
11
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, hal. 148.
7
pemberantasan korupsi, yakni Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) dibentuk berdasarkan
Keputusan Presiden No. 228 tahun 1967 tanggal 2 Desember 1967. Karena dianggap tidak
serius memberantas korupsi, maka dibentuklah Komitte Empat berdasarkan Keputusan
Presiden  No. 12 Tahun 1970 Tanggal 31 Januari 1970. Kemudian dibentuk lagi Operasi
Tertib (Opstib) berdasarkan Instruksi Presiden No. 9 tahun 1977. Terakhir dihidupkannya
kembali Tim Pemberantasan Korupsi “baru” pada tahun 1982 tanpa menerbitkan putusan
presiden yang baru. Pada masa era reformasi dibawah kepemimpinan Presiden B.J. Habibie
mengeluarkan UU No. 28 Tahun 1999 yang mengamanahkan Pembentukan Komisi
Pengawasan Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), KPPU, maupun Lembaga Ombudsmen.
Masa Presiden Abdurrahman Wahid (Gusdur), membentuk Tim Gabungan Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2000 namun
melalui judicial review akhirnya TGPTPK ini dibubarkan karena berbenturan dengan UU No.
31 Tahun 1999. Kemudian dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), maka
tugas KPKPN melebur ke dalam KPK.12
Sebagai contoh berupa pembubaran KPKPN dan meleburnya ke dalam Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) yang pembentukannya berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002
adalah dalam upaya mengurangi perilaku KKN pejabat publik. Pada satu sisi ada kerugian,
tetapi dari sisi lain upaya pemberantasan KKN akan mempunyai nilai tambah berupa adanya
kepastian hukum. Kerugian yang dialami KPKPN antara lain komisi ini sudah memiliki nama
di hati masyarakat karena mampu mengungkapkan pejabat tidak jujur dalam melaporkan
kekayaan-nya, pemberantasan KKN mengalami set back atau berjalan mundur karena 
ketidakpercayaan masyarakat terhadap upaya pemberantasan KKN oleh pemerintah dan
penegak hukum belum optimal selama ini. Di sisi lain, pembentukan KPK akan memiliki
kekuatan pro iustitia untuk menuntut pejabat publik yang KKN kedepan sidang pengadilan
bersama kepolisian dan kejaksaan. KPKPN tidak dianggap melanggar privacy pejabat publik
yang diduga KKN dengan kejelasan kerjanya dalam pemberantasan KKN dalam payung
hukum yang tepat.13 Pemberantasan KKN terhadap para koruptor jika tidak ditunggangi
dengan kepentingan politik akan mencapai rasa keadilan dan manfaat bagi warga masyarakat
berupa menjerakan atau mengurangi perilaku KKN bagi para pejabat publik atau mereka
yang mempunyai peluang melakukan KKN. Namun sayangnya, dewasa ini yang kita lihat
justru korupsi selalu identik dengan kekuasaan politik. Apalagi korupsi terbesar saat ini
berada dalam ranah politik, baik itu dari anggota dewan maupun dari pemimpin suatu
wilayah. Sudah barang tentu, proses penyelesaiannya pun akan ada kepentingan tertentu yang
terlindungi. Untuk memberantas KKN yang sudah “berurat dan berakar” dalam kehidupan
elit warga masyarakat, diperlukan partisipasi penuh seluruh masyarakat berupa penyampaian
barang bukti dan informasi yang jelas bila mengetahui telah terjadi tindak pidana korupsi.
Tanpa adanya partisipasi dan dukungan penuh, segala usaha pemerintah, aparatur penegak
hukum ataupun komisi-komisi yang dibentuk pemerintah untuk memberantas KKN akan
gagal total, terutama upaya menye-lamatkan keuangan negara. Jadi , harus ada keseriusan dan

12
Adib Bahari, khotibul Usman, KPK: Komisi Pemberantasan Korupsi Dari A Sampai Z,
Cet. Pertama, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2009, hal. 72-78.
13
Teguh Sulistia, Aria Zurnetti, Op. Cit, hal.  210.
8
tanggap terhadap kejahatan korupsi dari seluruh komponen, baik itu dari pemerintah, aparat
penegak hukum maupun dari masyarakat itu sendiri.
Demi mewujudkan Indonesia bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, maka dari
bawah dapat dilakukan dan diberikan kesempatan untuk masyarakat terlibat dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi secara berkesinambungan. Peran serta masyarakat
dimungkinkan dalam kerangka penyelenggaraan negara yang bersih berdasarkan aturan Pasal
2 ayat (1) PP No.  68 Tahun 1999 dan dilaksanakan dalam bentuk (a) hak mencari,
memperoleh, dan memberikan informasi mengenai penyelenggaraan negara, (b) hak untuk
memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari penyelenggaraan negara, (c) hak dalam
menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab terhadap kebijakan
penyelenggaraan negara, dan (d) hak memperoleh perlindungan hukum dalam hal (1)
melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b dan c; (2) diminta hadir dalam
proses penyelidikan, penyidikan dan di sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi atau
saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu,
Pasal 2 ayat (1) PP No. 71 Tahun 2000 menyatakan: “setiap orang, organisasi masyarakat
atau lembaga swadaya masyarakat berhak mencari, memperoleh dan memberikan informasi
adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi serta menyampaikan saran dan pendapat
kepada penegak hukum dan/atau komisi mengenai perkara tindak pidana korupsi”. ini
memberikan kesempatan seluas-luasnya untuk berperan aktif membantu aparat penegak
hukum dan pemerintah memberantas korupsi.
Selama ini upaya pemberantasan korupsi telah dilakukan dengan berperan aktifnya
aparat penegak hukum,dan pemerintah namun kenyataannya korupsi justru mengalami
peningkatan drastris. Bila merujuk pada aturan yang ada, UU Korupsi telah memberikan
sanksi tegas bagi pelanggarnya, tapi masih juga banyak kasus korupsi. Oleh karenanya dalam
melakukan pemberantasan korupsi, ada baiknya jika kita menyimak pendapat IGM Nurdjana.
Menurut IGM Nurdjana, ada beberapa langkah strategis dalam berupaya penangulangan
korupsi, yakni:
1. Memberdayakan integritas moral para penegak hukum dalam penanggulangan korupsi
khususnya dalam praktik bisnis yaitu dengan memberdayakan sistem kesejahteraan
atau membangun sistem politic risk dan economic risk yang standar terhadap bahaya
koruptor.

2. Sosialisasi pemahaman korupsi dalam praktik bisnis kepada para birokrat baik
lembaga eksekutif maupun legislatif, penegak hukum dan pelaku bisnis serta seluruh
lapisan masyarakat.

3.  Penerapan sanksi hukum yang konsisten dan tegas namun tetap dalam pilar-pilar
HAM yakni dengan melakukan reward dan punish yang lebih keras lagi bagi pelaku
korupsi yang melibatkan birokrat.

4. Menerapkan metode Carrot and Stick dalam penanggulangan korupsi agar


menimbulkan efek jera bagi pelaku-pelaku korupsi dan kepada pihak lain agar tidak
tertarik melakukan perbuatan korupsi.

9
5. Membentuk jaringan penanggulangan korupsi dengan memanfaatkan power dari
institusi yang berwenang mengenai korupsi sampai ke tingkat pedesaan atau
kelurahan.

6.  Masing-masing aparat penegak hukum menerapkan tugas pokok dan fungsi (tupoksi)
penanggulangan korupsi secara proporsional dan profesional sesuai dengan
instrument hukum yang berlaku, serta harus memiliki sistem pengendalian kasus-
kasus korupsi sampai di tingkat daerah.

7. Penggunaan sistem IT (information and technology) dalam penanggulangan korupsi


baik di tingkat pusat maupun di tingkat daaerah dengan memanfaatkan sistem
komunikasi data yang berbasis IT tersebut.

8. Mempublikasikan setiap hasil-hasil penanganan kasus-kasus korupsi melalui media


informasi publik baik media cetak maupun elektronik, dan melalui public
relation pada lembaga-lembaga pendidikan formal dan non formal serta lembaga
sosial kemasyarakatan.

9. Membangun kultur hukum masyarakat sehingga masyarakat memiliki kepedulian atau


tanggung jawab moral dalam penegakan hukum dalam rangka penanggulangan
korupsi.

10. Memerankan lembaga formal dan informal dalam penanggulangan korupsi. aparat
lembaga pengawasan harus disari melalui rekruitmen dengan sistem TPA
(Transparan, Partisipatif, akuntable).14

Sedangkan menurut Teguh Sulistia dan Aria Zurnetti dalam bukunya mengatakan, ada
sepuluh langkah dalam upaya pencegahan merebaknya perilaku KKN secara konseptual,
guna tercipta suatu pemerintahan yang bersih dan baik pada masa depan negeri ini. Langkah-
langkah tersebut yaitu:
1. Adanya kesadaran hukum rakyat atau warga masyarakat berperan serta memikul
tanggung jawab bersama terhadap masa depan bangsa dan negara, berupa pasrtisipasi
politik dan kontrol sosial serta tidak bersikap apatis, acuh tak acuh dengan
merebaknya KKN. Rakyat harus mau melakukan pressure (tekanan) terhadap para
penyelenggara negara yang diduga KKN, sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.
Kontrol sosial ini baru bisa efektif, apabila bisa dilaksanakan oleh DPR/DPRD dan
aparat penegak hukum yang benar-benar represent-tatif, jujur dan terpercaya dalam
menjalankan tugasnya dari tingkat daerah sampai tingkat pusat.

2. Menanamkan pada pejabat publik (legislatif, eksekutif yudikatif) dalam melaksanakan


tugas negara sebagai amanah rakyat adanya aspirasi nasional dalam rangka
memulihkan ekonomi bangsa, yaitu mengutamakan kepentingan nasional, kejujuran
dan disiplin serta pengabdian pada bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi,
keluarga, dan kelompok atau golongan.

14
IGM. Nurdjana, Op. Cit., hal. 147-166.
10
3. Para pemimpin dan pejabat negara memberikan teladan yang baik dengan mematuhi
pola hidup sederhana dan memiliki rasa tanggung jawab moral, sosial, dan hukum
terhadap rakyat dan masyarakat daerahnya. Masyarakat Indonesia masih melihat pola
perilaku pemimpin sebagai panutan yang dapat ditiru.

4. Adanya sanksi hukum yang berat dengan kekuatan yuridis oleh aparat penegak
hukum untuk menindak/memberantas dan menghukum para pelaku KKN tanpa sikap
diskriminatif. Tiadanya kekuatan riil dan tiadanya keberanian bertindak tanpa
pandang bulu terhadap para pelaku KKN, semua undang-undang, komisi
pemberantasan KKN dan operasi penegakan hukum oleh kepolisian dan kejaksaan
menjadi mubazir dan hanya alat untuk “menakut-nakuti tikus” saja. Pemberan-tasan
KKN, seyogianya mampu mengurangi atau menghentikan perilaku koruktif, siapa
saja para pelakunya karena merugikan keuangan negara.

5. Reorganisasi dan rasionalisasi dari organisasi pemerintahan melalui penyederhanaan


jumlah instansi bawahannya. Instansi yang membuka peluang KKN dan banyak
berhubungan dengan masyarakat sebaiknya dibubarkan atau dikurangi perannya.
Selain itu, perlu pula ditingkatkan koordinasi antardepertemen yang lebih baik disertai
dengan sistem kontrol yang ketat dan teratur terhadap administrasi pemerintahan, baik
ditingkat pusat maupun ditingkat daerah.

6. Sistem penerimaan pegawai pemerintah berdasarkan “achivement” atau keterampilan


teknis dan bukan berdasarkan “ascription” atau kedekatan (kekerabatan) sehingga
memberikan keluasan bagi berkembangnya kolusi dan nepotisme. Selain itu,
hendaknya dilakukan pemecatan terhadap pegawai-pegawai yang jelas melakukan
KKN, pengutan liar, dan menerima suap bukan berupa memindahkan atau
“mempromosikan” pelakunya ketempat lain yang “kering” dari proyek pemerintah.
Tindakan tegas ini dapat menjadi “pelajaran” bagi pega-wai lain untuk melakukan
perbuatan tercela.

7. Adanya kebutuhan pada pegawai-pegawai negeri nonpolitik yang profesional,


terampil dan rajin demi kelancaran administrasi pemerintahan ditunjang oleh gaji
yang memadai bagi para pegawai dengan jaminan masa depan yang baik, sehingga
berkurang kecende-rungan untuk melakukan KKN.

8. Menciptakan aparatur pemerintahan yang jujur, bermoral, dan bersih. Kompleksitas


hierarki administratif pemerintahan harus disertai pula disiplin kerja yang tinggi,
sedangkan penerimaan jabatan dan penge-lolaan pendapatan atau belanja keuangan
negara/daerah harus didistri-busikan melalui norma-norma teknis dan transparan yang
dapat dikontrol dan diketahui oleh rakyat.

9. Menciptakan sistem keuangan (budget) yang dikelola pejabat-pejabat yang


mempunyai tanggung jawab etis dan moral tinggi yang diikuti dengan sistem kontrol
efesien dan efektif. Selain itu, dalam menyelenggarakan sistem pemungutan pajak,
bea, cukai, dan retribusi harus jelas dan efektif peruntukannya serta didukung dengan
supervise yang ketat, baik ditingkat pusat maupun daerah.

11
10. Pemeriksaan terhadap kekayaan pejabat negara harus dilakukan sebelum, selama dan
seusai menjabat secara periodic dengan asas praduga tidak bersalah. Bagi kekayaan
pejabat negara yang statusnya tidak jelas, tidak dilaporkan dan diduga kuat hasil
KKN, maka harta tersebut dapat langsung disita oleh negara dan dipergunakan untuk
kesejahteraan rakyat.15

Dari kedua pendapat di atas, yang terpenting dalam penanganan kasus korupsi adalah
perilaku moral dari setiap individu baik yang akan berbuat maupun yang telah berbuat
korupsi. siapa saja bisa terkena imbas dari perbuatan buruk tersebut. Oleh karenanya
kesadaran hukum, kepatuhan hukum dan moral merupakan hal esensi dalam penanganan
kasus korupsi. hukum yang buruk akan menjadi baik bila aparat penegak hukum memiliki
moral yang baik dan hukum yang baik akan menjadi buruk bila aparat penegak hukum tidak
memiliki moral yang baik. Menurut Teguh Sulistia dan Aria Zurnetti beberapa langkah yang
perlu diperhatikan agar penegakan hukum mencapai sasaran untuk dapat memenjarakan
pelaku atau pihak yang memiliki kesempatan/peluang melakukan KKN sehingga rasa
keadilan dan manfaat hukum betul-betul dirasakan oleh masyarakat.
1. Rivalitas kewenangan penyidikan KKN antara kepolisan dan kejaksaan harus segera
dihentikan agar tidak menimbulkan tumpang  tindih dalam melaksanakan kedua
instansi tersebut. Apabila terjadi tumpang tindih, pemberantasan KKN tidak maksimal
hasilnya. KPK harus mampu mengambil alih tugas penyelidikan, penyidikan,
penuntutan dan pemeriksaan KKN, jika terbentuk pengadilan ad hoc korupsi di
samping perlu kerjasama erat dengan pihak kepolisian dan kejaksaan dalam
pengawasan pada mekanisme kerja pejabat pemerintahan dan anggota DPR/DPRD.

2. Dalam menjalankan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap


tersangka/terdakwa, petugas KPK harus menjaga jarak sehingga tidak mudah disuap,
diberi hadiah atau janji-janji muluk oleh pelaku KKN. Semua itu bertujuan agar
objektivitas dalam rangka penegakan hukum dapat tercapai dengan maksimal dan
koruptor yang bersalah dapat dihukum.

3. Aparat penegak hukum dalam menjalankan tugas dan fungsinya untuk memberantas
KKN harus profesional dan jujur untuk mengimbangi kecanggihan dan kecerdikan
koruptor. Persyaratan demikian harus dipenuhi agar semua kesalahan dan perbuatan
koruptor dapat dibuktikan di depan sidang pengadilan sehingga para koruptor tidak
divonis bebas oleh hakim.

4. Petugas KPK diberi tugas, fungsi dan wewenang yang jelas sebagai aparat penegak
hukum terdepan dalam memberantas KKN, selain gaji, tunjangan, sarana dan
prasarana kerja yang memadai dalam menjalankan tugasnya.

5. Perlu dukungan dan keberanian warga masyarakat memberikan informasi dan


kesediaan menjadi saksi. Sebaliknya, segera dibentuk undang-undang perlindungan
saksi sehingga memudahkan kerja KPK dalam penegakan hukum terhadap KKN.16

15
Teguh Sulistia, Aria Zurnetti, Op. Cit, hal. 212-214.
12
Apa yang diungkapkan diatas, semua itu untuk kebaikan bersama dalam melakukan
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi yang telah merugikan masyarakat,
keuangan dan perekonomian negara Indonesia. Sehingga harus diantisipasi sedini mungkin,
jangan dibiarkan berlarut yang justru menumbuh suburkan korupsi itu sendiri di Indonesia.
C. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Efektifitas Penegakan Hukum

Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas dapatlah ditarik suatu kesimpulan


sementara, bahwa masalah pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktot-faktor
yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral,
sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor
tersebut, adalah sebagai berikut:
1. Faktor hukumnya sendiri, yang di dalam tulisan ini akan dibatasi pada undang-undang
saja.
2. Faktor penegak hukum, yakni pihakpihak yang membentuk maupun menerapkan
hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai basil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada
karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari
penegakan hukum, juga merupakan tolok ukur daripada efektivitas penegakan hukum.
Dengan demikian, maka kelima faktor tersebut akan dibahas di sini, dengan cara
mengetengahkan contoh-contoh yang diambil dari kehidupan masyarakat Indonesia. Dimana
kelima faktor tersebut diatas saling berkaitan dengan erat, karena merupakan esensi dari
penegak hukum, juga merupakan tolak ukur daripada efektivitas penegakan hukum. Berikut
akan dijelaskan dengan contoh-contoh :
1. Faktor hokum yang sendiri, yang dibatasi pada undang-undang
Undang-undang dalam arti materil adalah peraturan yang tertulis, berlakuumum,
dibuat oleh penguasa (lembaga yang berwenang) di pusat maupundi daerah yang sah.
Mengenai berlakunya undang-undang tersebut, terdapat beberapa asas yang
tujuannyaadalah agar undang-undang tersebut mempunyai dampak positif. Asas-asas
tersebut antara lain:
 Asas Undang-undang tidak berlaku surut (Non.rektroaktif) Asas ini melarang
pemberlakuan surut dari suatu undang-undang.
 Asas Undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi
dan berkedudukan yang lebih tinggi pula (Lembaga yang berwenang). Artinya
bahwa dalam pembentukan suatu peraturan perundang-undangan harus dibuat
oleh penguasa (DPR) yang berkedudukan lebihtinggi. Karena apabila dibuat oleh
orang yang tidak mempunyai kewenangan di bidang legislasi maka dapat
dikatakan undang-undangtersebut batal demi hukum.
16
Ibid., hal. 214-215.
13
 Asas Undang-undang yang baru dapat mengesampingkan peraturan yang lama
(lex posterior derogat legi priori). Jadi, peraturan yang baru telah dibuat dan
disetujuih bersama olehdewan perwakilan rakyat dan disahkan presiden secera
otomatis tidak memberlakukan lagi atau mencabut undang-undang yang lama.
 Asas undang-undang tidak dapat diganggu gugat.Paham bahwa undang-undang
tidak dapat diganggu gugat tetap diikuti dalam sistem hukum Indonesia hingga
saat ini, yang menyatakan bahwa:
sebuah undang-undang yang telah dibuat sesuai prosedur,yakni oleh DPR dan
Presiden, kemudian disahkan oleh Presiden makasesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, undang-undang tersebut tidak dapat diganggu
gugat. Hanya Mahkamah Konstitusi merupakan pihak yang berwenang untuk
menyatakansuatu peraturan perundangundangan adalah tidak sah. Ketentuan ini di 
atur dalam Pasal 24 ayat (1) Perubahan Kedua UUD 1945, yangmenyatakan
bahwa Mahkamah Konstitusi yang berwenang untukmenguji suatu undang-
undang.
 Undang-undang merupakan suatu sarana untuk mencapai kesejahteraanspiritual
dan materil bagi masyarakat maupun pribadi melalui pelestarian ataupun
pembaruan.

2. Faktor penegak hukum


Penengak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat, yang hendaknya
mempunyai kemampuan-kemampuan tertentu sesuai denganaspirasi masyarakat.
Mereka harus dapat berkomunikasi dan mendapat pengertian dari golongan sasaran,
disamping mampu membawakan atau peranan yang dapat diterima oleh masyarakat.
Ada beberapa halangan yang mungkin dijumpai pada penerapan perananyang
seharusnya dari golongan sasaran atau penegak hokum, antara lain :
 Keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak lain
dengan siapa dia berinteraksi.
 Tingkat aspirasi yang relative belum tinggi.
 Kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan,sehingga sulit
sekali untuk membuat proyeksi.
 Belum ada kebutuhan yang menunda pemuasan suatu kebutuhantertentu, terutama
kebutuhan material.
 Kurangnya daya inovatif yang sebenarnya merupakan pasangan konsevatisme.

Halangan-halangan tersebut dapat diatasi dengan membiasakan diri dengansikap-


sikap, sebagai berikut :
Sikap yang terbuka terhadap pengalaman dan penemuan baru,
Senantiasa untuk menerima perubahan setelah menilai kekurangan yang ada,
Peka terhadap masalah-masalah yang terjadi disekitarnya,
Senantiasa mempunyai informasi yang selengkap mungkin mengenai pendiriannya,
Orientasi ke masa kini dan masa depan yang sebenarnya merupakan suatu urutan,
Menyadari atas potensi yang ada pada dirinya berpegang pada suatu perencanaan
dan tidak pasrah pada nasib,

14
Percaya pada ilmu pengetahuan dan teknologi di dalam peningkatankesejahteraan
manusia
Menyadari dan menghormati hak, kewajiban, maupun kehormatandiri sendiri dan
pihak lain,
Berpegang teguh pada keputusan-keputusan yang diambil atas dasar penalaran dan
perhitungan yang mantap.

3. Factor sarana atau fasilitas yang mendukung penegak hokum.


Tanpa adanya saran dan fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakanhukum akan
berjalan dengan lancar. Sarana dan prasarana tersebut antaralain, mencakup tenaga
manusia yang berpendidikan dan terampil,organisasi yang baik, peralatan yang
memadai, serta keuangan yang sukup.Sarana atau fasilitas mempunyai peran penting
dalam penegakan hukum,tanpa adanya sarana dan fasilitas tersebut, tidak akan
mungkin penegakhukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan
yangaktual. Khususnya sarana dan fasilitas tersebut, sebaiknya dianut jalan pikiran,
sebagai berikut:
 Yang tidak ada - harus diadakan yang baru,
 Yang rusak atau salah- diperbaiki atau dibetulkan,
 Yang kurang- ditambah,
 Yang macet- dilancarkan,
 Yang mundur atau merosot dimajukan atau ditingkatkan,

4. Faktor masyarakat
Penegak hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk mencapai kedamaian
dalam masyarakat. Oleh karena, itu dipandang dari suduttertentu, maka masyarakat
dapat mempengaruhi penegakan hokum tersebut. Masyarakat Indonesia mempunyai
kecenderungan yang besar untuk mengartikan hukum dan bahkan
mengidentifikasinya dengan petugas (penegak hukum sebagai pribadi). Salah satu
akiba adalah, bahwa baik buruknya hokum senantiasa dikaitkan dengan pola perilaku
penegak hokum tersebut.
5. Faktor kebudayaan
Faktor kebudayaan yaitu sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yangdidasarkan pada
prakarsa manusia dalam pergaulan hidup. Kebudayaan hukum pada dasarnya
mencakup nilai-nilai yang mendasari hokum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan
konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang
dianggap buruh (sehingga dihindari).

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

15
Dengan demikian kesadaran hukum tidak lain merupakan pandangan-pandangan yang
hidup dalam masyarakat tentang apa hukum itu. Pandangan-pandangan tersebut merupakan
produk dari pertimbangan-pertimbangan menurut akal dan berkembang di bawah pengaruh
beberapa faktor seperti agama, ekonomi, politik dan lain sebagainya. Kesadaran hukum
dalam masyarakata akan melahirkan kepatuhan hukum yang akan menciptakan ketertiban
dalam kehidupan masyarakat. Namun, ternyata dalam prakteknya walaupun demikian
pelanggaran terhadap kaidah hukum tetap terjadi, seperti misalkan perilaku pejabat publik
yang Korupsi, hal ini terjadi akibat tiadanya kesadaran dan kepatuhan hukum pejabat
penyelenggara negara yang mengarah pada tindakan deviance (pembangkangan) terhadap
nilai-nilai dan sikap hidup individu yang baik. apabila norma tersebut tidak dipatuhi membuat
hukum berjalan tersendat sehingga akan memperlambat proses pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi.
B. Saran

Oleh karena itu, Sudah seharusnya setiap komponen maupun elemen yang berada ditingkat
pusat dan di daerah yang mempunyai hubungan secara vertikal maupun horizontal memiliki
kekuatan dan tekad yang serius untuk melakukan kerjasama, kordinasi dalam memberantas
tindak pidana korupsi. Serta menerapkan sanksi yang tegas sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku bagi para pelaku yang melanggar ketentuan tersebut.
Sehingga akan menimbulkan efek jera bagi koruptor dan juga menghindari perbuatan tersebut
dilakukan oleh orang lain baik untuk saat sekarang maupun masa yang akan datang.

16
DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Soerjono Soekanto. 2013. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Depok : PT. Rajagrafindo


Persada.

Sumber Lainnys :
Jimly Asshiddiqie. Penegakan Hukum. Makalah Sosiologi Hukum. diakses tanggal 8 Mei
2020 (http://www.jimly.com/makalah/namafile/56/Penegakan_Hukum.pdf)
Yosi Pangandaran. Kesadaran dan Kepatuhan Hukum Masyarakat diakses tanggal 8 Mei
2020
(https://www.academia.edu/8915240/Kesadaran_dan_Kepatuhan_Hukum_masyarakat)

https://acch.kpk.go.id/id/statistik/tindak-pidana-korupsi

Peraturan Perundang-undangan :
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 10 Agustus 2002. Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2002. Jakarta.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 21
November 2001. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134.
Jakarta
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. 27 Desember 2002. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002
Nomor 137. Jakarta.
Peraturan Pemerintah RI No. 19 Tahun 2000 Tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. 5 April 2000. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000
Nomor 43. Jakarta.
Keputusan Presiden No. 275 Tahun 1963. 30 Desember 1963. Djakarta.
Keputusan Presiden  No. 12 Tahun 1970 tentang Komisi 4. 31 Djanuari 1970. Djakarta,

17
Urgensi dan
Efektifitas Sanksi
Administrasi
dalam Pengelolaan
Limbah Bahan
Berbahaya
dan Bera

18

Anda mungkin juga menyukai