Anda di halaman 1dari 60

Kelas X, Semester 1

Standar Kompetensi Kompetensi Dasar


2. Menampilkan sikap 2.1 Mendeskripsikan pengertian sistem hukum dan peradilan nasional
positif terhadap 2.2 Menganalisis peranan lembaga-lembaga peradilan
sistem hukum dan 2.3 Menunjukkan sikap yang sesuai dengan ketentuan hukum yang
berlaku
peradilan nasional
2.4 Menganalisis upaya pemberantasan korupsi di Indonesia
2.5 Menampilkan peran serta dalam upaya pemberantasan korupsi di
Indonesia

CATATAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN KELAS X


PENGERTIAN SISTEM
Kamus Umum Bahasa Indonesia (2008) mengartikan Sistem sebagai susunan kesatuan-kesatuan yang masing-
masing tidak berdiri sendiri tetapi berfungsi membentuk kesatuan secara keseluruhan.
Contoh:
 Sistem pada tubuh manusia: Sistem pencernaan, Sistem pernafasan, dll
 Sistem pada kendaraan (motor): Sistem kemudi, Sistem rem, dll
 Sistem pada …

PENGERTIAN HUKUM
Hukum merupakan salah satu norma dalam masyarakat sering pula disebut sebagai Norma Hukum.
Merangkum beberapa defenisi hukum menurut para ahli maka unsur hukum ada 4, yaitu:
1. Berisi peraturan mengenai tingkah laku manusia dan pergaulan hidup masyarakat
2. Ada sanksi yang tegas terhadap pelanggaran peraturan
3. Dilaksanakan oleh badan-badan resmi negara
4. Bersifat memaksa (wajib dipatuhi)

PENGERTIAN SISTEM HUKUM


Merupakan seperangkat aturan yang tersusun secara teratur dan berasal dari berbagai pandangan, asas, dan
teori para pakar yang memiliki perhatian terhadap jalannya kehidupan bermasyarakat. Sistem hukum tersebut
dipatuhi setiap warga masyarakat. Sistem hukum merupakan satu kesatuan hukum yang berlaku pada suatu
negara tertentu yang harus dipatuhi dan ditaati oleh warga negara.

Tujuan hukum:
1. Teori Etis
Berdasarkan pada etika. Isi hukum ditentukan oleh keyakinan kita yang etis tentang yang adil dan
tidak. Menurut teori ini, hukum bertujuan semata-mata mencapai keadilan dan memberikan setiap
orang apa yang menjadi haknya.
2. Teori Utilities
Hukum bertujuan memberikan manfaat sebanyak-banyaknya orang di dalam suatu masyarakat. Pada
hakikatnya, tujuan hukum adalah manfaat dalam memberikan kebahagiaan atau kenikmatan besar
bagi sejumlah besar orang.
3. Teori Campuran
Tujuan pokok dan pertama hukum adalah ketertiban. Karena ketertiban adalah syarat fundamental
bagi masyarakat yang teratur. Tujuan lain dari hukum adalah tercapainya keadilan.

Beberapa tugas hukum:


1. Menjamin kepastian hukum bagi setiap orang dalam masyarakat
2. Menjaga jangan sampai terjadi perbuatan main hakim sendiri dalam pergaulan di masyarakat
3. Menjamin ketertiban, ketentraman, kedamaian, keadilan, kemakmuran, kebahagiaan dan kebenaran
dalam masyarakat

TUGAS INDIVIDU:

Membuat karya tulis tentang apa pengertian sistem hukum (100 kata) dan pentingnya hukum dalam mengatur
masyarakat daalam kehidupan berbangsa dan bernegara (100 kata)

HUKUM DI INDONESIA
Indonesia adalah negara hukum. Hal ini dinyatakan dalam UUD 1945 yaitu Pasal 1 ayat (3) berbunyi “Negara
Indonesia adalah negara hukum.”.
Selain itu dinyatakan juga dalam:
1. Pembukaan UUD 1945
a. Alinea ke-1: “… kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di
atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.” 
Negara hukum mengakui HAM
b. Alinea ke-2: “… mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara
Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.”  Cita-cita negara hukum:
merdeka, adil dan makmur
c. Alinea ke-4: “… maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-
Undang Dasar Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia, yang
berkedaulatan rakyat dengan berdasar pada kemanusiaan yang adil dan beradab … mewujudkan
suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”  Tujuan hukum: keadilan
2. Batang Tubuh UUD 1945
a. Pasal 4 ayat (1) “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintah menurut
Undang-Undang Dasar.”
b. Pasal 27 ayat (1) “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
c. Pasal 28D ayat (1) “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
d. Pasal 28I ayat (1) “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati
nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan
hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut, adalah hak asasi
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.”
e. Pasal 28I ayat (5) “Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai prinsip negara
hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin diatur dan dituangkan
dalam peraturan perundang-undangan.”
Dalam pembentukan hukum nasional kita, berdasarkan Pasal 1 Aturan Peralihan UUD 1945 yang berbunyi,
“Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru
menurut Undang-Undang Dasar ini.” Jadi selama peraturan perundang-undangan yang baru belum ada maka
segala peraturan perundang-undangan yang ada termasuk peraturan perundang-undangan zaman kolonial
masih diberlakukan, tentunya disesuaikan dengan keadaan dan jiwa bangsa Indonesia yang sudah merdeka.

Contoh hukum nasional yang merupakan warisan zaman kolonial yaitu:


1. KUHPidana
2. KUHPerdata
3. KUHDagang

Penggolongan hukum:

1. Menurut Sumbernya

a. Undang-undang (UU)
1) UU dalam arti material, adalah setiap peraturan yang dikelauarkan pemerintah yang dilihat
dari isinya disebut undang-undang dan mengikat secara umum. Contoh: UUD, Tap MPR, UU,
Perpu, Perpem, Kepres, dan Perda.
2) UU dalam arti formal, adalah setiap keputusan penguasa yang dilihat dari bentuk dan cara
terjadinya dapat disebut undang-undang. Contoh: presiden membentuk UU bersama DPR.

b. Kebiasaan (hukum tidak tertulis)


Dalam praktik penyelenggaraan negara hukum tidak tertulis disebut konvensi.
Faktor penentunya:
1) Perbuatan yang dilakukan berulang kali dalam hal yang sama yang diterima dan diikuti lainnya
2) Keyakinan hukum dari orang2 atau golongan-golongan yang berkepentingan bahwa
kebiasaan tersebut memuat hal-hal yang baik dan pantas diikuti
c. Yurisprudensi
Adalah keputusan hakim terdahulu terhadap suatu perkara yang tidak diatur oleh UU dan
dijadikan pedoman hakim selanjutnya dalam memutuskan perkara yang serupa. Dikarenakan
belum ada peraturan perundang-undangan atau peraturan perundang-undangan yang ada kurang
atau tidak jelas.

d. Perjanjian Internasional
Adalah perjanjian yang dibuat antara 2 negara atau lebih mengenai persoalan-persoalan tertentu
yang menjadi kepentingan negara bersangkutan.
1) Traktat bilateral, adalah perjanjian yang dibuat oleh 2 negara.
2) Traktat multilateral, adalah perjanjian yang dibuat oleh lebih dari 2 negara.

e. Doktrin
Merupakan pendapat para ahli hukum terkemuka yang dijadikan dasar/asas penting dalam
hukum dan penerapannya. Doktrin dapat menjadi sumber hukum formal apabila digunakan para
hakim dalam memutuskan perkara, bahkan berpengaruh besar dalam hubungan internasional.
1) Oleh ahli hukum tatanegara dikenal Trias Politica (Montesquieu) yang membagi kekuasaan
menjadi 3 bagian terpisah:
a) Kekuasaan eksekutif, melaksanakan UU
b) Kekuasaan legislatif, membuat UU
c) kekuasaan yudikatif, mengadili pelanggaran UU
2) Oleh ahli hukum agama

2. Menurut Sasarannya
a) Hukum satu golongan, berlaku pada satu golongan tertentu. Contoh UU Perkawinan
diperuntukkan bagi warga negara memeluk agama Islam.
b) Hukum semua golongan, berlaku bagi semua golongan tanpa kecuali. Contoh UU tentang
kewarganegaraan No.12/2006
c) Hukum antar golongan, mengatur kepentingan tertentu dengan golongan lain. Contoh UU
No.2/1985 tentang dwi-kenegaraan RI-RRC
3. Menurut Bentuknya
a) Hukum tertulis, bentuknya tertulis dan resmi dan dicantumkan dalam berbagai peraturan negara.
Contohnya UUD 1945
b) Hukum tidak tertulis, biasanya dari kebiasaan-kebiasaan yang tumbuh dan dipelihara dalam
masyarakat. Ada (hidup dan tumbuh) dalam keyakinan masyarakat tertentu (hukum adat). Dalam
kenegaraan disebut konvensi, contoh pidato kenegaraan presiden setiap 16 agustus

4. Menurut Isinya
a) Hukum publik, mengatur hubungan-hubungan hukum yang menyangkut kepentingan umum.
Contoh KUHPidana.
b) Hukum privat/sipil, mengatur hubungan-hubungan hukum yang menyangkut pribadi antara orang
yang satu dnegan orang yang lain. Contoh hukum dagang dan hukum perkawinan

5. Menurut Wujudnya
a) Hukum objektif, hukum dalam negara yang berlaku umum dan tidak mengenal orang atau
golongan tertentu. Contoh UU No.14/1992 tentang lalu lintas
b) Huykum subjektif, hukum yang timbul dari hukum objektif yang dihubungkan dengan seseorang
tertentu. Contoh UU No.1/1974 tentang perkawinan

6. Menurut Waktu Berlakunya


a) Ius Constitutum, hukum yang berlaku dalam suatu negara pada saat sekarang (disebut juga
hukum positif)
b) Ius Constituendum, hukum yang diharapkan/dicita-citakan berlaku pada waktu yang akan datang.
Contoh rancangan UU yang sedang diproses DPR bersama pemerintah
c) Hukum antarwaktu, hukum yang mengatur suatu peristiwa yang menyangkut hukum yang berlaku
saat ini dan hukum yang berlaku pada masa lalu

7. Menurut Ruang/Wilayah Berlakunya


a) Hukum lokal, berlaku di suatu daerah tertentu. Contoh hukum adat
b) Hukum nasional, berlaku di suatu negara tertentu
c) Hukum internasional, mengatur hubungan hukum antar negara atau lebih. Contoh hukum perang
dan hukum perdata internasional

8. Menurut Tugas dan Fungsinya


a) Hukum material, memuat peraturan yang mengatur hubungan dan kepentingan yang berwujud
perintah dan larangan. Contoh hukum pidana, hukum perdata, hukum dagang
b) Hukum formal, mengatur cara bagaimana mempertahankan berlakunya hukum material apabila
hukum material dilanggar. Contoh cara mengajukan tuntutan, cara hakim mengambil keputusan
(disebut juga hukum acara atau formal)

SIKAP POSITIF TERHADAP HUKUM YANG BERLAKU/KESADARAN HUKUM


Kesadaran hukum masyarakat akan tumbuh apabila setiap individu (orang) selalu berusaha mengetahui,
memahami, dan menghayati aturan yang berlaku dalam masyarakat. Dengan demikian, kesadaran hukum
adalah keyakinan akan kebenaran hukum yang melaksanakan dengan perbuatan patuh pada hukum.
Hukum dibuat dengan tujuan menjaga dan memlihara ketertiban dalam masyarakat, dan sekaligus juga untuk
memnuhi rasa keadilan manusia. Oleh karena itu agar kehidupan masyarakat dalam berbangsa dan bernegara
dapat berlangsung dengan aman, tenteram dan tertib diperlukan sikap yang mampu mendukung ketentuan
hukum yang berlaku.
Ada 3 sikap positif seseorang yang sadar hukum yaitu:
1. Sikap terbuka
Merupakan sikap internal yang menunjukkan adanya keinginan dari setiap warga negara untuk membuka
diri (mencari tahu) dalam memahami hukum yang berlaku di dalam masyarakat. Sikap ini sangat penting
untuk menghilangkan salah paham dan rasa curiga demi memupuk saling percaya dalam membangun
persatuan kesatuan.
Sikap terbuka mencakup:
a. berupaya selalu jujur dalam memahami ketentuan hukum
b. mau mengatakan apa adanya, benar atau salah
c. berupaya untuk tidak menutup-nutupi kesalahan
d. sanggup menyatakan suatu ketentuan hukum adalah benar atau salah
2. Sikap Objektif/Rasional
Merupakan sikap yang ditunjukkan seseorang dalam memahami ketentuan-ketentuan hukum yang
didasarkan pada fakta, data, dan dapat diterima oleh akal sehat. Seorang yang objektif/rasional akan
memiliki pendirian kuat dan mampu berpikir jernih dalam menghadapi berbagai persoalan sehingga tidak
mudah ditipu, atau diadu domba, atau difitnah, atau terombang-ambing oleh keadaan.
Contoh sikap objektif:
a. mampu memberikan penjelasan yang netral dan dapat diterima akal sehat bahwa suatu pelaksanaan
ketentuan hukum benar atau salah
b. menghargai orang lain sesuai dengan kemampuan, keahlian atau profesinya
c. sanggup menyatakan ya atau tidak untuk suatu pelaksanaan ketentuan hukum dengan segala
konsekuensinya
d. sanggup menyatakan kekurangan atau kelemahannya jika orang lain lebih baik
3. Sikap Mengutamakan Kepentingan Umum
Merupakan sikap seseorang untuk menghargai atau menghormati orang lain yang dirasakan lebih
membutuhkan/penting dalam kurun waktu tertentu untuk sesuatu yang lebih besar manfaatnya.
Sikap ini dapat dilihat dalam:
a. memberi tempat/pertolongan kepada orang lain yang sangat membutuhkan
b. merelakan tanah atau bangunan diambil oleh pemerintah untuk kepentingan sarana jalan atau
jembatan
c. membayar pajak (bumi dan bangunan, kendaraan, perusahaan, dll) tepat waktu
d. memenuhi tugas yang diberikan oleh atasan atau guru di sekolah sesuai dengan kesepakatan
Perbuatan yang sesuai dengan hukum harus diawali dengan membiasakan diri hidup tertib dan tidak melanggar
peraturan dengan cara disengaja sekecil apapun peraturan tersebut. Jika seseorang tidak terbiasa melanggar
hukum maka saat ia melanggar hukum ia akan merasa ganjalan (rasa bersalah).

ORANG SADAR HUKUM: TAHU  MENGERTI  SIKAP BAIK (MENERIMA)  PERILAKU TAAT
Contoh perbuatan taat hukum:
1. Lingkungan Keluarga
a. Setiap keluarga memiliki KK
b. Seluruh anggota keluarga dilengkapi akta kelahiran
c. Setiap warga memiliki KTP bagi yang sudah berusia 17 tahun
d. Membayar pajak
2. Lingkungan Sekolah
a. Membayar uang seragam/administrasi tepat waktu
b. Mengikuti pelajaran sesuai jadwal
c. Berseragam sekolah sesuai ketentuan
d. Memelihara kebersihan lingkungan dengan bertugas piket dan buang sampah ditempat sampah
3. Lingkungan Masyarakat, Bangsa, dan Negara
a. Menaati UU lalu lintas
b. Memiliki SIM dan STNK bagi pengendara bermotor
c. Memakai helm dikawasan tertib lalin
d. Mematuhi ketentuan hukum dan pemerintah
Penggolongan tipe-tipe kejahatan pidana (yang merugikan masyarakat):
1. Kejahatan politik meliputi pengkhianatan, spionase, sabotase
2. Kejahatan profesional yaitu kejahatan yang dilakukan sebagai suatu cara hidup seseorang (mafia,
preman, dll)
3. Kejahatan perorangan dengan kekerasan, seperti pembunuhan dan perkosaan
4. Kejahatan konvensional, antara lain perampokan dan bentuk-bentuk pencurian dengan kekerasan
5. Kejahatan terhadap harta benda yang dilakukan sewaktu-waktu, seperti pencurian kendaraan
bermotor
6. Kejahatan terhadap ketertiban umum, seperti penyelenggaraan pelacuran, pungutan/sumbangan liar
7. Kejahatan yang dilakukan dalam pekerjaan dan kedudukan tertentu yang pada umumnya dilakukan
oleh orang berkedudukan tinggi (KKN)
8. Kejahatan terorganisir, antara lain pemerasan, perjudian, pengedaran narkotika

TUGAS INDIVIDU:
Proyek pengamatan dan wawancara tentang pengetahuan, pemahaman, sikap dan perilaku sadar hukum di
lingkungan keluarga, tempat tinggal dan sekolah
Dan argumentasi pribadi tentang tatib sekolah dan alasan setuju atau tidak setuju

PENGERTIAN PENGADILAN (Lembaga Peradilan) NASIONAL


Adalah suatu lembaga penegakan hukum negara.

Pengadilan bertugas menjalankan peradilan dengan seadil-adilnya.


Tugas pokok badan-badan peradilan adalah menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan
(memutuskan hukuman) setiap perkara yang diajukan kepadanya.

Sistem Peradilan Di Indonesia


Posted on August 4, 2008 by annida
Sistem peradilan di suatu negara masing-masing dipengaruhi oleh sistem hukum yang dianut oleh negara tersebut. Menurut
Eric L. Richard, sistem hukum utama di dunia adalah sebagai berikut :

1. Civil Law, hukum sipil berdasarkan kode sipil yang terkodifikasi. Sistem ini berasal dari hukum Romawi (Roman Law)
yang dipraktekkan oleh negara-negara Eropa Kontinental, termasuk bekas jajahannya.
2. Common Law, hukum yang berdasarkan custom.kebiasaaan berdasarkan preseden atau judge made law. Sistem ini
dipraktekkan di negara-negara Anglo Saxon, seeprti Inggris dan Amerika Serikat.
3. Islamic Law, hukum yang berdasarkan syariah Islam yang bersumber dari Al Qur’an dan Hadits.
4. Socialist Law, sistem hukum yang dipraktekkan di negara-negara sosialis.
5. Sub-Saharan Africa Law, sistem hukum yang dipraktekkan di negara Afrika yang berada di sebelah selatan Gunung
Sahara.
6. Far Fast Law, sistem hukum Timur jauh – merupakan sistem hukum uang kompleks yang merupakan perpaduan antara
sistem Civil Law, Common Law, dan Hukum Islam sebagai basis fundamental masyarakat.

Pada dasarnya sistem hukum nasional Indonesia terbentuk atau dipengaruhi oleh 3 sub-sistem hukum, yaitu :
1. Sistem Hukum Barat, yang merupakan warisan para penjajah kolonial Belanda, yang mempunyai sifat individualistik.
Peninggalan produk Belanda sampai saat ini masih banyak yang berlaku, seperti KUHP, KUHPerdata, dsb.
2. Sistem Hukum Adat, yang bersifat komunal. Adat merupakan cermin kepribadiansuatu bangsa dan penjelmaan jiwa
bangsa yang bersangkutan dari abad ke abad (Soerojo Wigdjodipuro, 1995 : 13).
3. Sistem Hukum Islam, sifatnya religius. Menurut seharahnya sebelum penjajah Belanda datang ke Indonesia, Islam telah
diterima oleh Bangsa Indonesia.

Adanya pengakuan hukum Islam seperti Regeling Reglement, mulai tahun 1855, membuktikan bahwa keberadaan hukum
Islam sebagai salah satu sumber hukum Indonesia nerdasarkan teori “Receptie” (H. Muchsin, 2004)

Sistem Peradilan Indonesia dapat diartikan sebagai “suatu susunan yang teratur dan saling berhubungan, yang berkaitan
dengan kegiatan pemeriksaan dan pemutusan perkara yang dilakukan oleh pengadilan, baik itu pengadilan yang berada di
lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, maupun peradilan tata usaha negara, yang didasari oleh
pandanganm, teori, dan asas-asas di bidang peradilan yang berlaku di Indonesia”.

Oleh karena itu dapat diketahui bahwa Peradilan yang diselenggarakan di Indonesia merupakan suatu sistem yang ada
hubungannya satu sama lain, peradilan/pengadilan yang lain tidak berdiri sendiri-sendiri, melainkan saling berhubungan dan
berpuncak pada Mahkamah Agung. Bukti adanya hubungan antara satu lembaga pengadilan dengan lembaga pengadilan
yang lainnya salah satu diantaranya adalah adanya “Perkara Koneksitas”. Hal tersebut terdapat dalam Pasal 24 Undang-
undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Sistem Peradilan Indonesia dapat diketahui dari ketentuan Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 10 Ayat (1) Undang-
undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dalam Pasal 15 UU Kekuasaan Kehakiman diatur mengenai Pengadilan Khusus sebagai berikut :
1. Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
yang diatur dengan Undang-Undang.
2. Pengadilan Syariah Islam di Provinsi Nangro Aceh Darussalam merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan
agama sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan agama, dan merupakan pengadilan khusus dalam
lingkungan paradilan umum sepanjang kewenangannya menyangkut peradilan umum.

Berdasarkan uraian tersebut, maka sistem peradilan yang ada di Indonesia sebagai berikut:

A. MAHKAMAH AGUNG
UU No. 14 Tahun 1985 jo UU No. 5 Tahun 2005

I. PERADILAN UMUM
a. Pengadilan Anak (UU No. 3 Tahun 1997)
b. Pengadilan Niaga (Perpu No. 1 Tahun 1989)
c. Pengadilan HAM (UU No. 26 Tahun 2000)
d. Pengadilan TPK (UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2002)
e. Pengadilan Hubungan Industrial (UU No. 2 Tahun 2004)
f. Mahkamah Syariah NAD (UU No. 18 Tahun 2001)
g. Pengadilan Lalu Lintas (UU No. 14 Tahun 1992)

II. PERADILAN AGAMA


Mahkamah Syariah di Nangro Aceh Darussalam apabila menyangkut peradilan Agama.

III. PERADILAN MILITER


– Pengadilan Militer untuk mengadili anggota TNI yang berpangkat prajurit.
– Pengadilan Militer Tinggi, untuk mengadili anggota TNI yang berpangkat perwira s.d kolonel
– Pengadilan Militer Utama, untuk mengadili anggota TNI yang berpangkat Jenderal.
– Pengadilan Militer Pertempuran, untuk mengadili anggota TNI ketika terjadi perang.

IV. PERADILAN TATA USAHA NEGARA


– Pengadilan Pajak (UU No. 14 Tahun 2002)

V. PERADILAN LAIN-LAIN
a. Mahkamah Pelayaran
b. Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU)

B. MAHKAMAH KONSTITUSI
(UU No. 24 Tahun 2003)

Tugas Mahkamah Konstitusi adalah :


1. Menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945
2. Memutus sengketa kewenangan Lembaga Negara yang kewenangannya diberi oleh UUD 1945.
3. Memutus Pembubaran Partai Politik.
4. Memutus perselisihan tentang PEMILU.
5. Memberikan putusan atas pendapat DPR tentang dugaan Presiden/Wakil Presiden melanggar hukum, berupa :
mengkhianati negara, korupsi, suap, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela lainnya.

D. Lembaga-Lembaga Peradilan

1. Peradilan Umum Badan peradilan yang mengadili rakyat Indonesia pada umumnya atau rakyat sipil.
Peradilan umum sering disebut juga peradilan sipil.
2. Peradilan Agama Merupakan peradilan agama islam, yang memeriksa dan memutuskan sengketa
antara orang – orang yang beragama islam.
3. Peradilan Militer Peradilan yang mengadili anggota TNI baik angkatan darat, angkatan laut maupun
angkatan udara.
4. Peradilan Tata Usaha Negara Badan peradilan yang mengadili perkara-perkara yang berhubungan
dengan administrasi pemeintah.

Tingkat Lembaga Peradilan :

1. Pengadilan tingkat pertama, yaitu pengadilan negeri, pengadilan agama, pengadilan tata usaha negara
dan pengadilan militer.
2. Pengadilan tingkat kedua atau banding, yaitu pengadilan tinggi, pengadilan tinggi agama, pengadilan
tinggi tata usaha negara dan pengadilan tinggi militer.
3. Pengadilan tingkat kasasi, yaitu Mahkamah Agung

http://www.pn-yogyakota.go.id/pnyk/pengertian-peradilan.html
E. Peranan Lembaga Peradilan
Lembaga peradilan berperan untuk menerapkan dan menegakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.
Pengadilan sebagai lembaga penegak hukum bertugas untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan setiap
perkara yang diajukan kepadanya agar mendapatkan keadilan. Pengadilan tingkat pertama bertugas dan
berwenang memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan perkara yang pertama kali diajukan. Fungsi
pengadilan tingkat pertama adalah memeriksa tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan
yang diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasa hukumnya. Pengadilan tingkat kedua berfungsi sebagai
pengadilan banding atau keputusan pada pengadilan tingkat pertama. Pengadilan tingkat kasasi, yaitu
Mahkamah Agung bertugas untuk memeriksa dan memutuskan :

1. Permohonan Kasasi
2. Sengketa tentang kewenangan mengadili
3. Permohonan peninjuan kembali putusan pengadilan yang memperoleh keputusan hukum yang pasti.

http://just-alfin.blogspot.com/2012/03/peranan-lembaga-lembaga-peradilan.html
Didirikan 18 Agustus 1945
Yurisdiksi Indonesia
Lokasi Jakarta
Metode Dinominasikan oleh Komisi Yudisial dengan persetujuan DPR dan penetapan
penyusunan Presiden.
Disahkan oleh UUD NRI 1945
Banding Final
Lama masa
5 tahun, dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan
jabatan
Jumlah jabatan Maksimal 60 Hakim Agung
Ketua Mahkamah Agung
Republik Indonesia
Saat ini Hatta Ali

I. BENTUK :
Perisai ( Jawa : Tameng ) / bulat telur
II. I S I :
1. GARIS TEPI
5 (lima) garis yang melingkar pada sisi luar lambang menggambarkan 5 (lima sila dari pancasila)
2. TULISAN
Tulisan " MAHKAMAH AGUNG" yang melingkar diatas sebatas garis lengkung perisai bagian atas menunjukkan Badan,
Lembaga pengguna lambang tersebut.
3. LUKISAN CAKRA
Dalam cerita wayang (pewayangan), cakra adalah senjata Kresna berupa panah beroda yang digunakan sebagai
senjata " Pamungkas " (terakhir). Cakra digunakan untuk memberantas ketidak adilan.

Pada lambang Mahkamah Agung, cakra tidak terlukis sebagai cakra yang sering/banyak dijumpai misalnya cakra
pada lambang Kostrad, lambang Hakim, lambang Ikahi dan lain-lainnya yakni berupa bentuknya cakra. Jadi dalam
keadaan "diam" (statis)

Tidak demikian halnya dengan cakra yang terdapat pada Lambang Mahkamah Agung. Cakra pada lambang
Mahkamah Agung terlukis sebagai cakra yang (sudah) dilepas dari busurnya. Kala cakra dilepas dari busurnya roda
panah (cakra) berputar dan tiap ujung (ada delapan) yang terdapat pada roda panah (cakra) mengeluarkan api.Pada
lambang Mahkamah Agung cakra dilukis sedang berputar dan mengeluarkan lidah api (Belanda : vlam ).

Cakra yang rodanya berputar dan mengeluarkan lidah api menandakan cakra sudah dilepas dari busurnya untuk
menjalankan fungsinya memberantas ketidakadilan dan menegakkan kebenaran.

Jadi pada lambang Mahkamah Agung, cakra digambarkan sebagai cakra yang " aktif ", bukan cakra yang " statis "
4. PERISAI PANCASILA
Perisai Pancasila terletak ditengah-tengah cakra yang sedang menjalankan fungsinya memberantas ketidak adilan
dan menegakkan kebenaran. Hal itu merupakan cerminan dari pasal 1 UU Nomor 14 tahun 1970 yang rumusnya.

" Kekuasaan Kehakiman adalah Kekasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia."

Catatan : Rumusan pasal 1 UU Nomor 4 tahun 2004 sama dengan


Dengan rumusan pasal 1 UU Nomor 14 tahun 1970.
5. UNTAIAN BUNGA MELATI
Terdapat 2 (dua) untaian bunga melati masing-masing terdiri dari atas 8 (delapan) bunga melati, melingkar sebatas
garis lengkung perisai bagian bawah, 8 (delapan ) sifat keteladanan dalam kepemimpinan (hastabrata).
6. SELOKA " DHARMMAYUKTI"
Pada tulisan "dharmmayukti" terdapat 2 (dua) huruf M yang berjajar. Hal itu disesuaikan dengan bentuk tulisan "
dharmmayukti " yang ditulis dengan huruf Jawa.

Dengan menggunakan double M.huruf "A" yang terdapat pada akhir kata "dharma" akan dilafal sebagai "A" seperti
pada ucapan kata "ACARA ", "DUA" "LUPA" dan sebagainya.

Apabila menggunakan 1 (satu) huruf "M", huruf "A" yang terdapat pada akhir kata "dharmma" memungkinkan dilafal
sebagai huruf "O" seperti lafal "O" pada kata "MOTOR", "BOHONG" dan lain-lainnya.

Kata "DHARMMA" mengandung arti BAGUS, UTAMA, KEBAIKAN. Sedangkan kata "YUKTI" mengandung arti
SESUNGGUHNYA, NYATA. Jadi kata "DHARMMAYUKTI" mengandung arti KEBAIKAN/KEUTAMAAN YANG NYATA/ YANG
SESUNGGUHNYA yakni yang berujud sebagai KEJUJURAN, KEBENARAN DAN KEADILAN.

Susunan

Mahkamah Agung terdiri dari pimpinan, hakim anggota, panitera, dan seorang sekretaris. Pimpinan dan hakim
anggota Mahkamah Agung adalah hakim agung. jumlah hakim agung paling banyak 60 (enam puluh) orang.

Pimpinan
Lihat pula: Daftar Ketua Mahkamah Agung Indonesia

Pimpinan Mahkamah Agung terdiri dari seorang ketua, 2 (dua) wakil ketua, dan beberapa orang ketua muda.
Wakil Ketua Mahkamah Agung terdiri atas wakil ketua bidang yudisial dan wakil ketua bidang nonyudisial.
wakil ketua bidang yudisial yang membawahi ketua muda perdata, ketua muda pidana, ketua muda agama, dan
ketua muda tata usaha negara sedangkan wakil ketua bidang nonyudisial membawahi ketua muda pembinaan
dan ketua muda pengawasan.

Ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh hakim agung, dan diangkat oleh Presiden.

Pada tanggal 8 Februari 2012, Hatta Ali terpilih menjadi Ketua MA, menggantikan Harifin A. Tumpa, dengan
mendapatkan suara mayoritas yaitu 28 suara dari 54 hakim agung. Urutan kedua, Ahmad Kamil 15 suara, Abdul
Kadir Mappong 5 suara dan M Saleh 3 suara dan Paulus Effendi Lotulung 1 suara dan suara tidak sah 3 orang [1].

Hakim Agung

Pada Mahkamah Agung terdapat hakim agung sebanyak maksimal 60 orang. Hakim agung dapat berasal dari
sistem karier atau sistem non karier.

Calon hakim agung diusulkan oleh Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat, untuk kemudian
mendapat persetujuan dan ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden.

Tugas Hakim Agung adalah Mengadili dan memutus perkara pada tingkat Kasasi.

Kewajiban dan wewenang

Menurut Undang-Undang Dasar 1945, kewajiban dan wewenang MA adalah:


 Berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang,
dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang
 Mengajukan 3 orang anggota Hakim Konstitusi
 Memberikan pertimbangan dalam hal Presiden memberikan grasi dan rehabilitasi

SEJARAH MAHKAMAH AGUNG RI

Hooggerechtshof
Pengadilan Hooggerechtshof merupakan Pengadilan Tertinggi dan berkedudukan di Jakarta dengan daerah
hukum meliputi seluruh Indonesia. Hooggerechtshof terdiri dari seorang Ketua dan 2 orang anggota, seorang
Pokrol jendral dan 2 orang Advokat Jendral, seorang Panitera dimana perlu dibantu seorang Panitera Muda atau
lebih. Jikalau perlu Gubernur Jendral dapat menambah susunan Hooggerechtshof tersebut dengan seorang
Wakil Ketua dan seorang/lebih anggota lagi. Tugas/kewenangan Hooggerechtshof : a. mengawasi jalannya
peradilan di seluruh Indonesia sehingga dapat berjalan secara patut dan wajar. b. Mengawasi
perbuatan/kelakuan Hakim serta Pengadilan-pengadilan. c. Memberi tegoran-tegoran apabila diperlukan. d.
Berhak minta laporan, keterangan-keterangan dari semua pengadilan baik sipil maupun militer, Pokrol Jendral
dan lain pejabat Penuntut Umum. e. Sebagai tingkat pertama dan terakhir mengadili perselisihan-perselisihan
tentang kekuasaan mengadili : 1. di antara pengadilan-pengadilan yang melakukan peradilan atas nama Raja,
diantara pengadilan-pengadilan ini dengan pengadilan-pengadilan adat di dalam daerah yang langsung
diperintah oleh Gubernemen, dimana rakyat dibiarkan mempunyai peradilan sendiri, diantara pengadilan-
pengadilan tersebut diatas, dengan pengadilan-pengadilan Swapraja, sepanjang ini dimungkinkan menurut
perjanjian-perjanjian politik dengan daerah-daerah pengadilan yang berselisih tidak ada di dalam daerah
hukum appelraad yang sama; 2. di antara appelraad-appelradd; 3. di antara pengadilan sipil dan pengadilan
militer, kecuali jikalau perselisihan itu timbul diantara Hooggerechtshof sendiri dengan Hoogmilitairgerechtshof,
didalam hal mana diputuskan oleh Gubernur Jendral.

1
jikalau temyata hakim tidak mengindahkan tatacara yang diharuskan dengan ancaman pembatalan;
2 jikalau hukum dilanggar. Hukum dianggap telah dilanggar, apabila hakim tidak memperlakukan atau tidak
tepat memperlakukan ketentuan-ketentuan hukum;
3 jikalau tedapat perlampauan batas kekuasaan mengadili.

4 jikalau terbukti hakim tidak berhak mengadili perkaranya. (Lihat buat selanjumya mengenai hak kasasi ini
pasal-pasal 173 s/d 176 R.O.).

Dari masa penjajahan Pemerintahan Jepang sampai Kemerdekaan Republik Indonesia.


Pada jaman Jepang, yang merupakan badan Kehakiman ter tinggi disebut Saikoo Hooin. Kemudian
dihapuskan pada mhun 1944 dengan Osamu Seirei (Undang-Undang) No. 2 tahun 1944, sehingga segala
tugasnya dilimpahkan kepada Kooto Hooin (Pengadilan Tinggi).

Pada saat berlakunya Undang-undang Dasar 1945 di Indonesia tidak ada badan Kehakiman yang tertinggi.
Satu satunya ketentuan yang menunjuk kearah badan Kehakiman yang tertinggi adalah pasal 24 ayat 1
Undang-Undang Dasar 1945. Maka dengan keluamya Penetapan Pemerintah No. 9/S.D. tahun 1946 ditunjuk
kota Jakarta Raya sebagai kedudukan Mahkamah Agung Republik Indonesia. Peraturan tersebut hanya
penunjukan tempatnya saja. Penetapan Pemerintah tersebut pada alinea II berbunyi sebagai berikut:

Menundjukkan sebagai tempat kedudukan Mahkamah Agung tersebut ibu-kota DJAKARTA-RAJA:

Baru dengan Undang-Undang No. 7 tahun 1947 ditetapkan tentang susunan kekuasaan Mahkamah Agung
dan Kejaksaaan Agung yang mulai berlaku pada tanggal 3 Maret 1947.
Pada. tahun 1948, Undang-Undang No. 7 tahun 19 ,47 diganti dengan Undang-Undang No. 19 tahun 1948
yang dalam pasal 50 ayat 1 mengandung

1. Mahkamah Agung Indonesia ialah pengadilan federal tertinggi.

2. Pengadilan-pengadilan federal yang lain dapat diadakan dengan Undang-Undang federal, dengan
pengertian, bahwa dalam Distrik Federal Jakarta akan dibentuk sekurang-kurangnya satu
pengadilan federal yang mengadili dalam tingkat pertama, dan sekuran kurangnya satu pengadilan
federal yang mengadili dalam tingkat apel.

Oleh karena kita telah kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak sesuai dengan keadaan, maka pada
tahun 1965 dibuat UndangUndang yang mencabut Undang-Undang No. 19 tahun 1948 dan Undang-Undang
No. 1 tahun 1950 dengan Undang-Undang Nomor 13 tahun 1965 tentang Pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum den Mahkamah Agung..

Masa Republik Indonesia


Di jaman pendudukan Jepang pernah Badan Kehakiman tertinggi dihapuskan (Saikoo Hooin) pada tahun
1944 dengan Undang-Undang (Osamu Seirei) No. 2.tahun 1944, yang melimpahkan segala tugasnya yaitu
kekuasaan melakukan pengawasan tertinggi atas jalannya peradilan kepada Kooto Hooin (Pengadilan
Tinggi). Meskipun demikian kekuasaan kehakiman tidak pernah mengalami kekosongan.

Namun sejak Proklamasi Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 dari sejak diundangkannya Undang-
Undang Dasar Republik Indonesia 1945 tanggal 18 Agustus 1945, semakin mantaplah kedudukan Mahkamah
Agung sebagai badan tertinggi bidang Yudikatif (peradilan) dengan kewenangan yang diberikan oleh pasal 24
Undang-Undang Daser 1945, dimana Mahkamah Agung diberi kepercayaan sebagai pemegang kekuasaan
Kehakiman tertinggi.

Mahkamah Agung pernah berkedudukan di luar Jakarta yaitu pada bulan Juli 1946 di Jogyakarta dan kembali ke
Jakarta pada tanggal 1 Januari 1950, setelah selesainya KMB dan pemulihan Kedaulatan. Dengan demikian
Mahkamah Agung berada dalam pengungsian selama 3 1/2 (tiga setengah) tahun.

Susunan Mahkamah Agung sewaktu di Jogyakarta.

Ketua : Mr. Dr. Kusumah Atmadja.


WakilKetua : Mr. R. Satochid Kartanegara.
Anggota-anggota 1. Mr. Husen Tirtasmidjaja.
2. Mr. WWono Prodjodikoro.
3. Sutan Kali Malikul Add.
Panitera : Mr. Soebekti.
Kepala Tara Usaha : Ranuatmadja.

Mulai pertama kali berdirinya Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung itu berada dibawah satu atap dengan
Mahkamah Agung, bahkan: bersama dibawah satu departemen, yaitu: Departemen Kehakiman. Dulu namanya:
Kehakiman Agung pada Mahkamah Agung, seperti Kejaksaan Negeri dulu namanya: Kejaksaan Pengadilan Negeri.
Kejaksaan Agung mulai memisahkan diri dari Mahkamah Agung yaitu sejak lahirnya Undang-Undang Pokok
Kejaksaan (Undang-Undang No. 15 tahun 1961) dibawah Jaksa Agung Gunawan, SH yang telah menjadi
Menteri Jaksa Agung.

Para pejabat Mahkamah Agung.(Ketua, Wakil Ketua, Hakim Anggota dan Panitera) mulai diberikan pangkat
militer tutiler adalah dengan Peraturan Pemerintah 1946 No. 7 tanggal 1 Agustus 1946, sebagai pelaksanaan
pasal 21 Undang-Undang No. 7 tahun 1946 tentang Pengadilan Tentara.

Masa menjelang pengakuan Kedaulatan (tanggal 12 Desember 1947)


Pemerintah Belanda Federal yang mengusai daerah-daerah yang dibentuk oleh Belanda sebagai negara-
negara Bagian seperti Pasundan, Jawa Timur, Sumatera Timur, Indonesia Timur, mendirikan Pengadilan
Tertinggi yang dinamakan Hoogierechtshof yang beralamat di Jl. Lapangan Banteng Timur 1 Jakarta,
disamping Istana Gubemur Jenderal yang sekarang adalah gedung Departemen Keuangan.

Susunan Hooggerechtshof terdiri atas:

Ketua : Mr. G. Wijers.


Anggota : 2 orang Indonesia

Mr. Notosubagio

Mr. Oeanoen

2 orang Belanda : Mr. Peter


Procursur General (Jaksa Agung) : Mr. Bruyns.
Procureur General (Jakm Agung) : Mr. Oerip Kartodirdjo.

Hooggerechtshof juga menjadi instansi banding terhadap putusan Raad no Justitie.Mr. G. Wjjers adalah
Ketua Hooggerechtshof terakhir, yang sebelum perang dunia ke II terkenal sebagai Ketua dari Derde kamar
Read van Instills Jakarta yang memutusi perkara-perkara banding yang mengenai Hukum Adat (kamar
ketiga, hanya terdapat di Road van Justitie Jakarta).

Pada saat itu Mahkamah Agung masih tetap berkuasa di daerahdaerah Republik Indonesia yang
berkedudukan di Yogyakarta. Dengan dipulihkan kembali kedaulatan Republik Indonesia area seluruh
wilayah Indonesia (kecuali Irian Barat) maka pekerjaan Hooggerechtshof harus diserahkan kepada
Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Pada tanggal 1 Januari 1950 Mr. Dr. Kusumah Atmadja mengoper gedung dan personil serta pekerjaan
Hooggerechtshof. Dengan demikian maka para anggota Hooggerechtshof dan Procurer Genera! meletakkan
jabatan masing-masing dan selanjutnya pekerjaannya diserahkan pada Mahkamah Agung Republik Indonesia
Serikat.

Pada waktu ini Mahkamah Agung terdiri dari:

Ketua Dr; Mr. Kusumah Atmadja


Wakil Kema Mr. Satochid Kartanegara.
Anggota 1. Mr. Husen Tirteamidjaja.

2. Mr. Wiijono Prodjodikoro.

3. Sutan Kali Malikul Adil.

Ponitera Mr. Soebekti.


Jaksa Agung Mr. Tirtawinata.

Mahkamah Agung pada saat itu tidak terbagi dalam majelismajelis. Semua Hakim Agung ikut memeriksa dan
memutus baik perkara-perkara Perdata maupun perkara-perkara Pidana. Hanya penyelesaian perkara pidana
diserahkan kepada Wakil Ketua.

Masa Republik Indonesia Serkat (RIS) 27 December 1949 sampai dengan 17 Agustus 1950
Sebagaimana lazimnya dalam suatu negara yang berbentuk suatu Federasi atau Serikat, maka demikian pula
dalam negara Republik Indonesia Serikat diadakan 2 macam Pengadilan; yaitu Pengadilan dari masing-
masing negara Bagian disatu pihak

Pengadilan dari Federasi yang berkuasa disemua negara-negara Bagian dilain pihak untuk seluruh wilayah
Republik Indonesia Serikat (RIS) ada satu Mahkamah Agung Republik Indonesia Serikat sebagai Pengadilan
Tertinggi, sedang lain Badan-Badan pengadilan menjadi urusan. masing-masing negara Bagian. Undang-
Undang yang mengatur Mahkamah Agung Republik Indonesia Serikat adalah Undang-Undang No. 1 tahun
1950 tanggal 6 Mei 1950 (I-N. tahun 1950 No. 30) yaitu tentang Susunan dan Kekuasaan Mahkamah Agung
Republik Indonesia Serikat yang mulai berlaku tanggal 9 Mei 1950.
Undang-Undang tersebut adalah hasil pemikiran Mr. Supomo yang waktu itu menjabat sebagai Menteri
Kehakiman Republik Indonesia Serikat, yang pertama (Menteri Kehakiman dari negara Bagian Republik
Indonesia di Yogya adalah Mr. Abdul Gafar Pringgodigdo menggantikan Mr. Susanto Tirtoprodjo - lihat
halaman 34. "Kenang-kenangan sebagai Hakim selama 40 tahun mengalami tiga jaman" Oleh Mr. Wirjono
Prodjodikoro - terbitan tahun 1974). Menurut Undang-Undang Dasar RIS pasal 148 ayat 1 Mahkamah Agung
merupakan forum privilegiatum bagi pejabat-pejabat tertinggi negara. Fungsi ini telah dihapuskan sewaktu
kita kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945.

Beruntunglah dengan keluarnya Undang-Undang No. 1 tahun 1950 (I.N. tahun 1950 No. 30) lembaga kasasi
diatur lebih lanjut yang terbatas pada lingkungan peradilan umum saja. Pada tahun 1965 diundangkan
sebuah Undang-Undang No. 13 tahun 1965 yang mengatur tentang: Pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Umum dan Mahkamah Agung. Sayang sekali bahwa Undang-Undang tersebut tidak memikirkan lebih jauh
mengenai akibat hukum yang timbul setelah diundangkannya tanggal 6 Juni 1965, terbukti pasal 70 Undang-
Undang tersebut menyatakan Undang-Undang Mahkamah Agung No. 1 tahun 1950 tidak berlaku lagi.
Sedangkan acara berkasasi di Mahkamah Agung diatur secara lengkap dalam Undang-Undang No. 1 tahun
1950 tersebut. Timbullah suatu problema hukum yaitu adanya kekosongan hukum acara kasasi. Jalan keluar
yang diambil oleh Mahkamah Agung untuk mengatasi kekosongan tersebut adalah menafsirkan pasal 70"""
tersebut sebagai berikut:

Oleh karena Undang-Undang No. 1 tahun 1950 tersebut disamping mengatur tentang susunan, kekuasaan
Mahkamah Agung, mengatur pula tentang jalannya pengadilan di Mahkamah Agung, sedangkan Undang-
Undang No. 13 tahun 1965 tersebut hanya mengatur tentang susunan, kedudukan Pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung, dan, tidak mengatur tentang bagaimana beracara di
Mahkamah Agung, maka Mahkamah Agung menganggap pasal 70 Undang-Undang No. 13 tahun 1965 hanya
menghapus Undang-Undang No. 1 tahun 1950 sepanjang mengenai dan kedudukan Mahkamah Agung saja,
sedangkan bagaimana jalan peradilan di Mahkamah Agung masih tetap memperlakukan Undang-Undang No.
1 tahun 1950.

Pendapat Mahkamah Agung tersebut dikukuhkan lebih lanjut dalam Jurisprudensi Mahkamah Agung yaitu
dengan berpijak pada pasal 131 Undang-Undang tersebut.

Perkembangan selanjutnya dengan Undang-Undng No. 14 tahun 1970 tentang; "Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman" tanggal 17 Desember 1970, antara lain dalam pasal 10 ayat (2) disebutkan bahwa
Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara tertinggi dalam arti Mahkamah Agung sebagai badan pengadilan
kasasi (terakhir) bagi putusan-putusan yang berasal dari Pengadilan-pengadilan lain yaitu yang meliputi
keempat lingkungan peradilan yang masing-masing terdiri dari:

1. Peradilan Umum;
2. Pemdilan Agama;
3. Peradilan Militer;
4. Peadilan Tata Usaha Negara.

Bahkan Mahkamah Agung sebagai pula pengawas tertinggi atas perbuatan Hakim dari semua lingkungan
peradilan. Sejak tahun 1970 tersebut Mahkamah Agung mempunyai Organisasi, administrasi dan keuangan
sendiri. Mahkamah Agung menjalankan tugasnya dengan melakukan 5 fungsi yang sebenarnya sudah dimiliki
sejak Hooggerechtshof, sebagai berikut:

1. Fungsi Paradilan;
2. Fungsi Pengawasan;
3. Fungsi Pengaturan;
4. Fungsi Memberi Nasehat;
5. Fungsi Administrasi.

1. Fungsi Peradilan (Justitiele fungtie),


Peradilan kita di Indonesia menganut "sistim kontinental" Yang berasal dari Perancis yaitu sistim
kasasi.Dalam sistim tersebut, Mahkamah Agung sebagai Badan Pengadilan tertinggi merupakan Pengadilan
kasasi yang bertugas membina keseragaman dalam penerapan hukum dan menjaga agar semua hukum dan
Undang-Undang diseluruh wilayah negara ditetapkan secara tepat dan adil. Sedangkan di negara sistim
Anglo Saxon hmya mengenal banding.Perkataan kasasi berasal dari bahasa Perancis "Casser" yang artinya
memecahkan atau membatalkan. Sehingga pengertian kasasi disini adalah kewenangan Mahkamah Agung
untuk membatalkan semua putusan-putusan dari pengadilm bawahan yang dianggap mengandung kesalahan
dalam penerapan hukum.Dalam putusan kasasi Mahkamah Agung dapat membatalkan putusan dan
penetapan dari Pengadilan-Pengadilan yang lebih rendah karena:

a. lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang


mengancam kelalaian itu dengan batalnya perbuatm yang bersangkutan;
b. karena melampaui batas wewenangnya;
c. karena salah menerapkan atau karena melanggar peraturanperaturan hukum yang berlaku (diatur
dalam pasal 51 Undang-Undang No. 13 tahun 1965).
Sebagai disebutkan di atas sampai saat ini Mahkamah Agung menggunakan pasal 131 Undang-Undang No. I
tahun 1950 sebagai landasan hukum untuk beracam kasasi. Dalam tahun 1963 dengan Peraturan Mahkamah
Agung No. 1 tahun 1963 Mahkamah Agung memperluas pasal 113 Undang-Undang No. 1 tahun 1950 dengan
menentukan bahwa permohonan kasasi dapat diajukan di Pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Negeri).
Semula dalam pasal 113 tersebut, permohonan kasasi harus diajukan kepada Pengadilan yang putusannya
dimohonkm kasasi"

Menurut Prof""". Soebekti, SH dikeluarkannya Peraturan M.A. No. 1

tahun 1963 tersebut adalah tepat karena Pengadilan Tinggi pada umumnya jauh letaknya dengan tempat
tinggal pemohon kasasi itu. lagi pula berkas-berkamya disimpan di Pengadilan Negeri.

a. Permohonan kasasi yang disebutkan diatas adalah "kasasi pihak" ("partij cassatie"). Selain daripada
kasasi tersebut, masih ada bentuk kasasi lain yang disebut dengan permohonan kasasi yang diajukan oleh
Jaksa Agung demi kepentingan hukum (pasal 50 ayat (2) Undang-Undang No. 13 tahun 1965).

b. Peninjauan kembali. Dalam Undang-Undang No. 13 tahun 1965 pasal 52 disebutkan bahwa: "Terhadap
putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dapat dimohon peninjauan kambali,
hanya apabila terdapat hal-hal atau keadaankeadaan yang ditentukan dengan Undang-Undang".Kemudian
dalam pasal 21 Undang-Undang No. 14 tahun 1970 lebih jelas diatur sebagai berikut: "Apabila terdapat hal-
hal atau keadaan-keadaan yang ditentukan dengan Undang-Undang, terhadap putusan Pengadilan yang
telah memperoleh kekuasan hukum yang tetap dapat dimintakan peninjauan kembali kepada Mahkamah
Agung, dalam perkara perdata dan pidana oleh pihak-pihak yang berkepentingan".

c. Hak Uji (Toetsingsrecht). Hak menguji Mahkamah Agung ini sangat erat hubungannya dengan fungsi
peradilan. Mengapa? Karena hak uji atau "toetsingsrecht" Hakim terhadap peraturan perundang-undangan
yang lebih rendah dari UndangUndang hanya formil saja dan melalui putusan kasasi. Sesungguhnya hak
menguji hakim tersebut tidak dijelaskan maksudnya secara tegas dan menyeluruh.

Dalam Undang-Undang No. 14 tahun 1970 pasal 26 yang berbunyi sebagai berikut:

(1). Mahkamah Agung berwenang untuk menyatakan tidak sah semua peraturan perundang-undangan dari
tingkat yang lebih rendah dari Undang-Undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi.

(2). Putusan tentang pernyataan tidak sahnya peraturan perundang-undangan tersebut dapat diambil
berhubung dengan pemeriksaan dalam tingkat kasasi. Pencabutan dari peraturan perundang-undangan yang
dinyatakan tidak sah tersebut dilakukan oleh instansi yang bersangkutan.

Menurut Bapak Prof. Soebekti, SH dalam karangannya tentang """Pokok-pokok pemikiran tentang hubungan
Mahkamah Agung dengan Badan Peradilan Umum" menyatakan bahwa sesungguhnys "toetsingsrecht" itu
ada 2 (dua) macam:

1. "Formiele toetsingsrecht" yaitu hak untuk menguji atau meneliti apakah suatu peraturan dibentuk secara
sah dan dikeluarkan oleh penguasa atau instansi yang berwenang mengeluarkan peraturan itu.
2. "Materiele toetsingrecht" yaitu hak untuk menguji atau menilai apakah suatu peraturan dari segi isinya
(materinya) mengandung pertentangan dengan peraturan lain dari tingkat yang lebih tinggi atau menilai
tentang adil tidaknya isi peraturan itu. dan spabila terdapat perten tangan tersebut atau apabila isi peraturan
itu dianggapnya tidak adil, tidak mengetrapkan, artinya menyisihkan atau menyingkirkan peraturan itu. (to
set aside).

2. Fungsi Pengawasan.
Fungsi Pengawasan diberikan oleh Undang-Undang No. 14 tahun 1970 yaitu dalam Bab II pasal 10 ayat 4
yang berbunyi: "Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi alas perbuatan Pengadilan yang lain,
menurut ketentuan yang ditetapkan dengan Undang-Undang". Dan di samping itu mengingat masih belum
ada peraturan pelaksanaan yang mengatur, Mahkamah Agung dalam prakteknya masih bersandar pada
pasal 47 Undang-Undang No. 13 tabun 1965 yang berbunyi sebagai berikut:

Mahkamah Agung sebagai puncak semua peradilan dan sebagai Pengadilan Tertinggi untuk semua
lingkungan peradilan memberi pimpinan kepada Pengadilan-Pengadilan yang bersangkutan.

Mahkamah Agung melakukm pengawasan tertinggi terhadap jalannya peradilan diselenggarakan dengan
seksama dan sewajamya.

Perbuatan-perbuatan Hakim di semua lingkungan peradilan diawasi dengan cermat oleh Mahkamah Agung.

Untuk kepentingan negara dan keadilan Mahkamah Agung memberi peringatan, tegoran dan petunjuk yang
dipandang perlu baik dengan surat tersendiri maupun dengan Surat Edaran.
Mahkamah Agung berwenang minta keterangan dari semua Pengadilan dalam semua lingkungan peradilan.
Mahkamah Agung dalam hal itu dapat memerintahkan disampaikannya berkas-berkas perkara dan surat-
surat untuk dipertimbangkan.

Pengawasan Mahkamah Agung menurut pasal 47 Undang-Undang Nomor 13 tahun 1965 adalah terhadap
jalannya peradilan (Bahasa Belanda: Rechtsgang), dengan tujuan agar Pengadilan-pengadilan tersebut
berjalan secara seksama dan sewajamya. Jalannya peradilan atau "rechtsgang" tersebut menurut hemat
kami terdiri dari:

a). jalannya peradilan yang bersifat tehnis peradilan atau tehnis yustisial.
b). jalannya peradilan yang bersegi administrasi peradilan

Adapun yang dimaksud dengan "tehnis peradilan" adalah segala sesuatu yang menjadi tugas pokok Hakim
yaitu menerima, memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara yang diterimakan ke padanya. Dalam kaitan
ini termasuk pula bagaimana pelaksanaan putusan tersebut dilakukan.,

Sedang yang dimaksud dengan "administrasi peradilan" adalah segala sesuatu yang menjadi tugas pokok
darl Kepaniteraan lembaga Pengadilan. (Pengadilan tingkat pertama dan banding dan lingkungan Peradilan
Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer dan Mahkamah Agung).

Administrasi peradilan harus dipisahkan dengan administrasi dalam arti mumi yang tidak ada sangkut
pautnya dengan suatu perkara di lembaga Pengadilan tersebut. Administrasi peradilan perlu memperoleh
pengawasan pula dari Mahkamah Agung, oleh karena sangat erat kaitannya terhadap tehnis peradilan. Suatu
putusan pengadilan tidak akan sempurna apabila masalah administrasi peradilan diabaikan. Pembuatan
agenda/register perkara, pencatatan setiap parkara yang berjalan/berproses, formulir-formulir putusan,
formulir panggilan, formulir laporan kegiatan Hakim dan lain sebagainya adalah tidak luput dari kewenangan
pengawasan Mahkamah Agung..Dalam praktek selama ini Mahkamah Agung dalam melakukan pengawasan
telah mendelegasikan kepada para Ketua Pengadilan tingkat banding, baik dari lingkungan Peradilan Umum
maupun dalam lingkungan Peradilan Agama. .Disamping itu pula yang termasuk kewenangan pengawasan
Mahkamah Agung adalah semua perbuatan-perbuatan Hakim. Pengadilan yang dilakukan oleh Mahkamah
Agung ini bersifat tertinggi yaitu meliputi keempat lingkungan Peradilan. Pengawasan terhadap lingkungan
Peradilan Agama lebih effektif dilakukan setelah adanya Surat Keputusan Bersama antara Ketua Mahkamah
Agung dengan Menteri Agama No. 1, 2, 3 dan 4 tahun 1983 tangga17 Januarl 1983.

Sedang pengawasan sebelum tahun 1983 tersebut hanya terbatas pada pengawasan teknis melalui
permohonan kasasi yang dimungkinkan oleh Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 1977.

Terhadap Pengacara dan Notaris termasuk pula di bawah pengawasan Mahkamah Agung. Demi keterpaduan
pengawasan terhadap para Pengara dan Notaris ini, sudah diputuskan dalam Rapat-rapat kerja antara
Mahkamah Agung dengan Departemen Kehakiman pada tahun 1982 yang dikukuhkaa lagi tahun 1983,
Bahkan terhadap Notaris, Mahkamah Agung telah mengeluarkan Surat Edaran No. 2 tahun 1984 tanggal 1
Maret 1984.

3. Fungsi Pengawasan (Regerende functie).


Fungsi Pengaturan ini bagi Mahkamah Agung adalah bersifat sementara yang artinya bahwa selama Undang-
Undang tidak mengaturnya, Mahkamah Agung dapat "mengisi" kekosongan tersebut sampai pada suatu saat
Undang-undang mengaturnya. Pasal 131 Undang-Undang No. 1 tahun 1950 memberikan kesempatan bagi
Mahakamah Agung untuk membuat peraturan secara sendiri bilamana dianggap perlu untuk melengkapi Un -
dang-Undang yang sudah ada. Hal tersebut menurut Prof. Soebekti, SH, Mahkamah Agung memiliki
sekelumit kekuasaan legislatif, yang dianggap merupakan suatu pelimpahan kekuasaan dari pembuat
Undang-Undang.

Contoh:

1. Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 1963 yang menentukan bahwa permohonan kasasi juga
dapat diajukan di Pengadilan tingkat pertama (yang dalam hal ini. Pengadilan Negeri). Dengan
demikian peraturan tersebut merupakan perluasan terhadap pasal 113 (perkara perdata) yang
mengatur agar permohonan kasasi diajukan kepada Pengadilan yang putusannya dimohonkan
kasasi (pada umumnya adalah Pengadilan Tinggi).
2. Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahm 1959 tanggal 20 April 1959 yang isinya antara lain
mengatur:
a. Biaya kasasi dibayar tunai pada Pengadilan yang bersangkutan.
b. Permohonan untuk pemeriksaan kasasi dalam perkara perdata tidak boleh diterima, jika
tidak disertai dengan pembayaran biaya perkara.
c. Panitera Mahkamah Agung tidak diharuskan mendaftarkan permohonan kasasi apabila
biaya perkara tersebut belum diterima meskipun berkas perkara yang bersangkutan telah
diterima di kepaniteraan Mahkamah Agung.
d. yang dianggap sebagai tanggal permohonan kasasi ialah tanggal pada waktu biaya perkara
tersebut diterima di Pengadilan Negeri.
3. Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 1977 maggal 26. Nopember 1977 yang isinya antara lain
mengatur: "jalan pengadilan dalam pemeriksaan kasasi dalam perkara Perdata dan perkara Pidana
oleh Pengadilan Agama dan Pengadilan Militer".

Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 1980 tanggal 1 Desember 1980 tentang Peninjauan kembali
putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap yang diperbaiki lagi dengan Peraturan
Mahkamah Agung No. 1 tahun 1982 tanggal 11 Maret 1982 tentang Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun
1980 yang disempurnakan.

4. Fungsi Pembmian Nmehat (advieserende functie).


Semula fungsi ini diatur dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1950 pasal 132 yang mengatakan bahwa:
"Mahkamah Agung wajib memberi laporan atau pertimbangan tentang soalsoal yang berhubungan dengan
hukum, apabila hal itu diminta oleh Pemerintah". Kemudian oleh Undang-Undang No. 13 tahun 1965 pasal
53 mengatur pula kewenangan yang sama. Pasal 53 berbunyi sebagai berikut:

"Mahkamah Agung memberi keterangan pertimbangan dan nasehat tentang soal-soal yang berhubungan
dengan hukum, apabila hal itu diminta oleh Pemerintah".
Demikian pula Undang-Undang No. 14 tahun 1970 yang tercantum dalam pasal 25;
"Semua pengadilan dapat memberi keterangan, pertimbangan dan nasehat-nasehat tentang soal-soal hukum
pada Lembaga Negara lainnya apabila diminta".

Rupa-rupanya pertembangan hukum yang memberi kewenangan kepada Mahkamah Agung untuk memberi
pertimbangan hukum diperluas lagi oleh Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. III/MPR/1978 yo
TAP MPR No. VVMPR/1973 pasal 11 ayat (2) di mana Mahkamah Agung dapat memberikan pertimbangan-
pertimbangan dalam bidang hukum, baik diminta maupun tidak, kepada Lembaga-lembaga Tinggi Negara

Sebagai contoh pelaksanaan ketentuan. Undang-Undang tersebut adalah kewenangan Mahkamah Agung
memberi pertimbangan-pertimbangan hukum terhadap pennohonan-permohonan grasi kepada
Presiden/Kepata Negam melalui Menten Kehakiman.

Dalam praktek Mahkamah Agung pemah pada tahun 1965 diminta nasehat oleh Permerintah dalam masalah
pembubaran partai politik Masyumi (masa pra-Gestapu), sehingga dalam putusan Presiden waktu itu
disebut: "Mendengar nasehat Mahkamah Agung"""".

Pada masa itu Kekuasaan Kehakiman telah kehilangan kebebasannya, dengan duduknya Ketua Mahkamah
Agung sebagai Menteri dalam Kabinet. Bahkan dalam Undang-undang No. 19 tahun 1964 dicantumkan
adanya "Campur tangan Presiden dalam dalam Pengadilan".

Dalam kaitan ini Bapak Prof. Soebekti, SH menyatakan bahwa beliau tidak kebaratan Pengadilan diminta
nasehat oleh Pemerintah atau Lembaga Tinggi Negara lainnya, asal itu tidak mengurangi kebebasan
Pengadilan.

5. Fungsi Administrasi (administrative functie).


Dalam Undang-Undang No. 14 tahun 1970 pasal 11 berbunyi sebagai berikut:

(1). Badan-badan yang melakukan peradilan tersebut pasal 10 ayat (1) organisatoris, administratif dan
finansiil ada dibawah kekuasaan masing-masing Departemen yang bersangkutan.
(2). Mahkamah Agung mempunyai organisasi, administrasi dan keuangan tersendiri.

Dari kalimat "administrasi" dalam pasal tersebut di atas, kiranya dapat dibedakan dalam arti luas dan dalam
arti sempit. Dalam arti luas di sini adalah meliputi segala aktifitas dalam hal "tehnis operasional" (misalnya
monitoring perkara yang lelah diucapkan Hakim, pembuatan laporan kegiatan Hakim/laporan bulanan dan
lain sebagainya).

Sedangkan "administrasi" yang diartikan oleh pasal 11 tersebut adalah dalam arti sempit. Seolah-olah timbul
dualisme pimpinan dimana sepanjang mengenai administrasi dalam arti luas oleh Mahkamah Agung sedang
administrasi dalam arti sempit diselenggarakan oleh Departeman masing-masing.

Namun menumt Prof. Soebekti, SH. pandangan yang sedemikian tersebut adalah keliru, beliau berpendapat
pimpinan hanya ada satu yaitu Mahkamah Agung - RI, sedang Departemen hanya melaksanakan "dienende
functie".

Dalam pedajanan sejarah Mahkamab Agung sejak tahun 1945 yaitu pada saat berlakunya UU.D..1945
tanggal 18 Agustus 1945 mmpai sekarang, mengalami pergeseran-pergeseran mengikuti perkembangan
sistim Pemerintahan pada waktu itu, baik yang menyangkut kedudukannya maupun susunannya, walau pun
fungsi Mahkmah Agung tidak mengalami pergeseran apapun.
Pada waktu terjadi susunan Kabinet 100 Menteri, kedudukan Mahkmah Agung agak bergeser di mana Ketua
Mahkmah Agung dijadikan Menteri Koordinator yang mengakibatkan tidak tegaknya cita-cita Undang-Undang
Daer 1945 yaitu sebagai pemegang Kekuasaan Kehakiman yang merdeka terlepas dari pengaruh kekuasan
Pemerintah.

Dengan tekad Pemerintah Orde Baru, kembalilah Mahkamah Agung dalam kedudukannya semula sesuai
dengan kehendak Undang-Undang Dasar 1945. Akhimya dengan berlakunya Undang-Undang No. 14 tahun
1970 mendudukan Mahkmah Agung sebagai puncak dari ke-empat lingkungan peradilan

SUSUNAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA.

KURUN WAKTU TAHUN 1950 - 1952.


Ketua:Mr. Dr. Kusumah Atmadja
(beliau mengoper gedung dan personil beserta pakerjaan Hooggerechtshof pada bulan Januari 1950 setelah
Mahkamah Agung kembali dari pengungsiannya di Jogyakarta selama 3 1/2 tahun)
Wakil Ketua:Mr. Satochid Kartanegara
Hakim Agung: Mr. Wirjono Prodjodikoro ; Mr. Husen Tirtamidjaja
Panitera: Mr. Soebekt
Wakil Panitera Ranoeatmadja

Bulan September 1952 Dr. Mr. Kusumah Atmadja Meninggal dunia. Sejak itu kedudukan Ketua Mahkamah
Agung menjadi lowong.

Dr. Mr. Kusumah Atmadja Mr. Satochid Kertanegara


Ketua Mahkamah Agung Pertama Wakil Ketua Mahkamah Agung
Periode Juli 1946 – Januari 1950 Periode Juli 1946 – Januari 1950

Mr. Wijono Prodjodikoro Mr. Soebekti


Hakim Agung Mahkamah Agung Panitera Mahkamah Agung
Periode Juli 1946 – Januari 1950 Periode Juli 1946 – Januari 1950

KURUN WAKTU TAHUN 1952 - 1966


Untuk jabatan Ketua Mahkamah Agung diminta calon 2 orang atau lebih yang diajukan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat, demikian pula untuk jabatan Wakil Ketua Mahkamah Agung. Untuk Jabatan Katua
Mahkamah Agung yang dicalonkan oleh DPR adalah 2 orang yaitu: Mr. Wirjono Prodjodikoro dan Mr.
Tirtawinata bekas Jaksa Agung. Sedang untuk Wakil Ketua Mahkamah Agung DPR mencalonkan: Mr. R.
Satochid Kartanegara sebagai satu-satunya calon.

Kemudian dengan keputusan Presiden Republik Indonesia pada tanggal 13 Oktober 1952 diangkat
Ketua: Mr. Wiijono Prodjodikoro
Wakil Ketua: Mr. R. Satochid Kartanegara.
Hakim Agung:
Prof. Mr. R. Soekardono.
Sutan Kali Mahkul Adil.
Mr. Husen Tirtamidjaja.
Mr. R. Surjopokro.
Mr. Sutan Abdul Hakim.
Mr. Wirjono Kusumo.
Mr. A. Abdurrachman.
Panitera:
R. Ranuatmadja.
J. Tamara
Moeh. Ishak Soemosmidjojo, SH
Susunan majelis:
hanya ada satu majelis.

Di samping perkara yang masuk tidak terlalu padat, pula duduk sebagai Ketua Majelis dimungkinkan
bergantian antara Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Agung. Untuk memperlancar penyelesaian perkara pada
waktu itu, Mahkamah Agung sudah mengenal pembidangan tanggungjawab, seperti bidang Perdata dipimpin
oleh Ketua Mahkamah Agung sendiri, dan bidang Pidana dipimpin oleh Wakil Ketua Mahkamah Agung, dan
sekaligus mengetuai sidang-sidang yang bersangkutan. Sedangkan para Hakim Agung tetap memeriksa baik
perkara perdata maupun perkara pidana. Adanya Forum "Privilegiatum" yang dimungkinkan oleh Undang.
undang yang berlaku pada waktu itu, Mahkamah Agung mengadili dalam tingkat pertama dan terakhir.

Tokoh politik: Sultan Abdul Hamid yang mengaku terus terang ingin menggunakan tenaga Westerling untuk
mempersiapkan pembarontakan terhadap Pemerintah Republik Indonesia, yaitu akan membunuh: Sri Sultan
Hamengku Buwono ke IX, Kol. Simatupang dan Ali Budihardjo, SH Pada tanggal 8 April 1953 dijatuhi
hukuman 10 tahun penjara.

Mr. Wirjono Prodjodikoro


Ketua Mahkamah Agung (Periode M. R. Satochid Kertanegara Wakil Ketua
1952 – 1966) Mahkamah
Agung (Periode 1952 – 1966)

1. FUNGSI PERADILAN

a. Sebagai Pengadilan Negara Tertinggi, Mahkamah Agung merupakan pengadilan kasasi yang
bertugas membina keseragaman dalam penerapan hukum melalui putusan kasasi dan
peninjauan kembali menjaga agar semua hukum dan undang-undang diseluruh wilayah
negara RI diterapkan secara adil, tepat dan benar.
b. Disamping tugasnya sebagai Pengadilan Kasasi, Mahkamah Agung berwenang memeriksa
dan memutuskan pada tingkat pertama dan terakhir
- semua sengketa tentang kewenangan mengadili.
permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
- hukum tetap (Pasal 28, 29,30,33 dan 34 Undang-undang Mahkamah Agung No. 14 Tahun
1985)
semua sengketa yang timbul karena perampasan kapal asing dan muatannya oleh kapal
- perang Republik Indonesia berdasarkan peraturan yang berlaku (Pasal 33 dan Pasal 78
Undang-undang Mahkamah Agung No 14 Tahun 1985)
c. Erat kaitannya dengan fungsi peradilan ialah hak uji materiil, yaitu wewenang
menguji/menilai secara materiil peraturan perundangan dibawah Undang-undang tentang hal
apakah suatu peraturan ditinjau dari isinya (materinya) bertentangan dengan peraturan dari
tingkat yang lebih tinggi (Pasal 31 Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun
1985).

2. FUNGSI PENGAWASAN

a. Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap jalannya peradilan di semua


lingkungan peradilan dengan tujuan agar peradilan yang dilakukan Pengadilan-pengadilan
diselenggarakan dengan seksama dan wajar dengan berpedoman pada azas peradilan yang
sederhana, cepat dan biaya ringan, tanpa mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa
dan memutuskan perkara (Pasal 4 dan Pasal 10 Undang-undang Ketentuan Pokok Kekuasaan
Nomor 14 Tahun 1970).
b. Mahkamah Agunbg juga melakukan pengawasan :
terhadap pekerjaan Pengadilan dan tingkah laku para Hakim dan perbuatan Pejabat
Pengadilan dalam menjalankan tugas yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pokok
Kekuasaan Kehakiman, yakni dalam hal menerima, memeriksa, mengadili, dan
- menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya, dan meminta keterangan tentang
hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan serta memberi peringatan, teguran
dan petunjuk yang diperlukan tanpa mengurangi kebebasan Hakim (Pasal 32 Undang-
undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985).
Terhadap Penasehat Hukum dan Notaris sepanjang yang menyangkut peradilan (Pasal 36
-
Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985).

3. FUNGSI MENGATUR

a. Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran
penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-
undang tentang Mahkamah Agung sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau
kekosongan hukum yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan (Pasal 27
Undang-undang No.14 Tahun 1970, Pasal 79 Undang-undang No.14 Tahun 1985).
b. Mahkamah Agung dapat membuat peraturan acara sendiri bilamana dianggap perlu untuk
mencukupi hukum acara yang sudah diatur Undang-undang.

4. FUNGSI NASEHAT

a. Mahkamah Agung memberikan nasihat-nasihat atau pertimbangan-pertimbangan dalam


bidang hukum kepada Lembaga Tinggi Negara lain (Pasal 37 Undang-undang Mahkamah
Agung No.14 Tahun 1985). Mahkamah Agung memberikan nasihat kepada Presiden selaku
Kepala Negara dalam rangka pemberian atau penolakan grasi (Pasal 35 Undang-undang
Mahkamah Agung No.14 Tahun 1985). Selanjutnya Perubahan Pertama Undang-undang
Dasar Negara RI Tahun 1945 Pasal 14 Ayat (1), Mahkamah Agung diberikan kewenangan
untuk memberikan pertimbangan kepada Presiden selaku Kepala Negara selain grasi juga
rehabilitasi. Namun demikian, dalam memberikan pertimbangan hukum mengenai rehabilitasi
sampai saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur pelaksanaannya.
b. Mahkamah Agung berwenang meminta keterangan dari dan memberi petunjuk kepada
pengadilan disemua lingkunga peradilan dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 25
Undang-undang No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman. (Pasal 38 Undang-undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung).

5. FUNGSI ADMINISTRATIF

a. Badan-badan Peradilan (Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan
Tata Usaha Negara) sebagaimana dimaksud Pasal 10 Ayat (1) Undang-undang No.14 Tahun
1970 secara organisatoris, administrative dan finansial sampai saat ini masih berada dibawah
Departemen yang bersangkutan, walaupun menurut Pasal 11 (1) Undang-undang Nomor 35
Tahun 1999 sudah dialihkan dibawah kekuasaan Mahkamah Agung.
b. Mahkamah Agung berwenang mengatur tugas serta tanggung jawab, susunan organisasi dan
tata kerja Kepaniteraan Pengadilan (Undang-undang No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan
Atas Undang-undang No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman).

6. FUNGSI LAIN-LAIN

Selain tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap
perkara yang diajukan kepadanya, berdasar Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 14 Tahun
1970 serta Pasal 38 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985, Mahkamah Agung dapat diserahi
tugas dan kewenangan lain berdasarkan Undang-undang.
Mahkamah Konstitusi (disingkat MK) adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang
kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Agung.

Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia
Didirikan 15 Oktober 2003
Yurisdiksi Indonesia
Lokasi Jakarta
Metode Diajukan 3 orang oleh DPR, 3 orang oleh Presiden, dan 3
penyusunan orang oleh MA dengan penetapan Presiden
Disahkan oleh UUD NRI 1945
Banding Final
Lama masa
5 tahun, dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan
jabatan
Jumlah jabatan 9 Hakim Konstitusi
Ketua Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia
Saat ini Jabatan lowong [1]
Sejak 5 Oktober 2013

Masa Reformasi 1998


Seiring dengan momentum perubahan UUD 1945 pada masa reformasi (1999-2004), ide pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK) di
Indonesia makin menguat. Puncaknya terjadi pada tahun 2001 ketika ide pembentukan MK diadopsi dalam perubahan UUD 1945 yang
dilakukan oleh MPR, sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945 dalam Perubahan Ketiga.

Masa Pembentukan Dasar Hukum


Selanjutnya untuk merinci dan menindaklanjuti amanat Konstitusi tersebut, Pemerintah bersama DPR membahas Rancangan Undang-
Undang tentang Mahkamah Konstitusi. Setelah dilakukan pembahasan beberapa waktu lamanya, akhirnya RUU tersebut disepakati bersama
oleh pemerintah bersama DPR dan disahkan dalam Sidang Paripurna DPR pada 13 Agustus 2003. Pada hari itu juga, UU tentang MK ini
ditandatangani oleh Presiden Megawati Soekarnoputri dan dimuat dalam Lembaran Negara pada hari yang sama, kemudian diberi nomor UU
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316).
Ditilik dari aspek waktu, Indonesia merupakan negara ke-78 yang membentuk MK dan sekaligus sebagai negara pertama di dunia yang
membentuk lembaga ini pada abad ke-21. Tanggal 13 Agustus 2003 inilah yang kemudian disepakati para hakim konstitusi menjadi hari
lahir MKRI.

Masa Penetapan Hakim Konstitusi


Bertitik tolak dari UU Nomor 24 Tahun 2003, dengan mengacu pada prinsip keseimbangan antar cabang kekuasaan negara, dilakukan
rekrutmen hakim konstitusi yang dilakukan oleh tiga lembaga negara, yaitu DPR, Presiden dan MA. Setalah melalui tahapan seleksi sesuai
mekanisme yang berlaku pada masing-masing lembaga tersebut, masing-masing lebaga mengajukan tiga calon hakim konstitusi kepada
Presiden untuk ditetapkan sebagai hakim konstitusi.
DPR mengajukan Prof. DR. Jimly Asshiddiqie, S.H., Letjen. TNI (Purn.) H. Achmad Roestandi, S.H. dan I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H.
Sedangkan Presiden mengajukan Prof. H. Ahmad Syarifuddin Natabaya, S.H., LL.M., Prof. H. Abdul Mukthie Fadjar, S.H., M.S. dan DR.
Harjono, S.H., MCL.Sementara MA mengajukan Prof. DR. H. Mohammad Laica Marzuki, S.H., Soedarsono, S.H. dan Maruarar Siahaan,
S.H.
Pada 15 Agustus 2003, pengangkatan hakim konstitusi untuk pertama kalinya dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia ditetapkan dengan
Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun 2003 yang dilanjutkan dengan pengucapan sumpah jabatan para hakim konstitusi di Istana Negara,
pada 16 Agustus 2003. Setelah mengucapkan sumpah, para hakim konstitusi langsung bekerja menunaikan tugas konstitusionalnya
sebagaimana tercantum dalam UUD 1945.
Masa Pemantapan Kelembagaan
Dalam melaksanakan tugas konstitusionalnya, para hakim konstitusi membutuhkan dukungan administrasi aparatur pemerintah, baik yang
bersifat administrasi umum maupun administrasi yustisial. Terkait dengan hal itu, untuk pertama kalinya dukungan administrasi umum
dilaksanakan oleh Sekretaris Jenderal MPR. Oleh sebab itu, dengan persetujuan Sekretaris Jenderal MPR, sejumlah pegawai memberikan
dukungan terhadap pelaksanaan tugas konstitusional para hakim konstitusi. Sebagai salah satu wujudnya adalah Kepala Biro Majelis MPR,
Janedjri M. Gaffar, ditetapkan sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Sekretris Jenderal MK sejak tanggal 16 Agustus 2003 hingga 31 Desember
2003. Kemudian pada 2 Januari 2004, Presiden Megawati Soekarnoputri menetapkan Anak Agung Oka Mahendra, S.H. sebagai Sekretaris
Jenderal MK definitif. Dalam perkembangganya, Oka Mahendra mengundurkan diri karena sakit, dan pada 19 Agustus 2004 terpilih Janedjri
M. Gaffar sebagai Sekretaris Jenderal MK yang baru menggantikan Oka Mahendra.
Sejalan dengan itu, ditetapkan pula Kepaniteraan MK yang mengemban tugas membantu kelancaran tugas dan wewenang MK di bidang
administrasi yustisial. Panitera bertanggungjawab dalam menangani hal-hal seperti pendaftaran permohonan dari para pemohon, pemeriksaan
kelengkapan permohonan, pencatatan permohonan yang sudah lengkap dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi, hingga mempersiapkan
dan membantu pelaksanaan persidangan MK. Bertindak sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Panitera mendampingi Plt. Sekjen MK adalah Marcel
Buchari, S.H. yang di kemudian hari secara definitif digantikan oleh Drs. H, Ahmad Fadlil Sumadi, S.H., M.Hum.
Lintasan perjalan MK selanjutnya adalah pelimpahan perkara dari MA ke MK, pada 15 Oktober 2003, yang menandai mulai beroperasinya
kegiatan MK sebagai salah satu cabang kekuasaan kehakiman menurut ketentuan UUD 1945. Mulai beroperasinya kegiatan MK juga
menandari berakhirnya kewenangan MA dalam melaksanakan kewenangan MK sebagaimana diamanatkan oleh Pasal III Aturan Peralihan
UUD 1945.
Setelah bekerja penuh selama lima tahun, halim konstitusi periode pertama (2003-2008) telah memutus 205 perkara dari keseluruhan 207
perkara yang masuk. Perkara-perkara tersebut meliputi 152 perkara Pengujian Undang-undang (PUU), 10 perkara Sengketa Kewenangan
Lembaga Negara (SKLN) dan 45 perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU). Periode pertama hakim konstitusi berakhir pada 16
Agustus 2008. Dalam perjalanan sebelum akhir periode tersebut tiga hakim konstitusi berhenti karena telah memasuki usia pensiun
(berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf c UU MK, usia pensiun hakim konstitusi adalah 67 tahun), yakni Letjen. TNI (Purn.) H. Achmad
Roestandi, S.H.yang kemudian diganti oleh Prof. DR. Mohammad Mahfud MD., S.H., Prof. DR. H. Mohammad Laica Marzuki, S.H. yang
posisinya diganti oleh DR. H. Mohammad Alim, S.H., M.Hum. dan Soedarsono, S.H. yang kedudukannya diganti oleh DR. H. Muhammad
Arsyad Sanusi, S.H., M.Hum. Tiga nama yang baru menggantikan tersebut sekaligus meneruskan jabatannya sebagai hakim konstitusi untuk
periode kedua (2008-2013).
Di periode kedua ini, enam hakim konstitusi lainnya terpilih Prof. H. Abdul Mukthie Fadjar, S.H., M.S. (untuk yang kedua kali), Prof. DR.
Achmad Sodiki, S.H. dan Prof. DR. Maria Farida Indrati, S.H. yang diajukan Presiden. Kemudian Prof. DR. Jimly Asshiddiqie, S.H. (untuk
yang kedua kali) dan Muhammad Akil Mochtar, S.H., M.H. yang diajukan DPR. Sementara MA mengajukan kembali Maruarar Siahaan,
S.H. yang sebelumnya telah menjadi hakim konstitusi periode pertama. Dengan demikian di periode kedua MK terdapat tiga nama lama dan
enam nama baru. Akan tetapi dalam perkembangannya, Prof. DR. Jimly Asshiddiqie, S.H. mengundurkan diri sebagai hakim konstitusi yang
berlaku efektif mulai tanggal 1 November 2008 dan digantikan oleh DR. Harjono, S.H., MCL. yang mengucapkan sumpah pada tanggal 24
Mare 2009, sedangkan Prof. H. Abdul Mukthie Fadjar, S.H., M.S. dan Maruarar Siahaan, S.H. mulai 1 Januari 2010 memasuki usia pensiun
dan digantikan oleh DR. Hamdan Zoelva, S.H., M.H. dan Drs. H. Ahmad Fadlil Sumadi, S.H., M.Hum. yang mengucapkan sumpah pada
tanggal 7 Januari 2010. Formasi sembilan hakim konstitusi inilah yang sekarang menjalankan tugas-tugas konstitusional Mahkamah
Konstitusi.
Setelah sembilan Hakim Konstitusi mengucapkan sumpah di Istana Negara pada 16 Agustus 2003, belum ada aparatur yang ditugaskan
memberikan pelayanan dan dukungan terhadap pelaksanaan tugas para Hakim Konstitusi. Demikian pula belum ada kantor sebagai tempat
bekerja para Hakim Konstitusi. Pada saat itu, alamat surat menyurat menggunakan nomor telepon seluler Prof. DR. Jimly Asshiddiqie, S.H.

Masa Pemenuhan Sarana dan Prasarana


Keterbatasan sarana dan kurangnya dukungan teknis bagi pelaksanaan tugas-tugas Hakim Konstitusi merupakan persoalan yang menjadi
prioritas untuk diselesaikan dengan segera. Setelah melalui pembahasan di kalangan Hakim Konstitusi, akhirnya diputuskan dua hal.
Pertama, meminta bantuan tenaga dari Sekretariat Jenderal MPR untuk memberikan dukungan administrasi umum dan MA untuk tenaga
administrasi justisial. Kedua, menyewa ruangan di Hotel Santika yang terletak di Jalan KS. Tubun, Slipi, Jakarta Barat, untuk dijadikan
kantor sementara. Tidak lama kemudian, MK berpindah kantor dengan menyewa ruangan di gedung Plaza Centris di Jalan HR. Rasuna Said,
Kuningan, Jakarta Selatan, tepatnya di lantai 4 dan lantai 12A. Namun demikian, ruangan yang tersedia bagi MK di Plaza Centris masih jauh
dari memadai. Karena keterbatasan ruang tersebut, para pegawai MK berkantor di lahan parkir kendaraan yang disulap menjadi ruang kantor
modern. Seiring dengan itu, Ketua MK mengangkat Janedjri M. Gaffar sebagai Plt. Sekjen pada tanggal 4 September 2003 dan pada 1
Oktober 2003 menangkan Marcel Buchari, S.H. sebagai Plt. Panitera.
Meskipun sudah memiliki kantor, keterbatasan saran masih menjadi persoalan bagi MK. Selama berkantor di Hotel Santika dan Plaza
Centris, MK harus meminjam Gedung Nusantara IV (Pusaka Loka) Kompleks MPR/DPR, salah satu ruang di Mabes Polri dan salah satu
ruang di Kantor RRI sebagai ruang sidang karena belum memiliki ruang sidang yang representatif. Hal ini tentu saja menjadi hambatan bagi
mobilitas kerja para Hakim Konstitusi sekaligus ironi bagi lembaga negara sekaliber MK yang mengawal konstitusi sebagai hukum tertinggi
di negeri ini. Karena itu, ketika merumuskan Cerak Biru "Membangun Mahkamah Konstitusi sebagai Institusi Peradilan Konstitusi yang
Modern dan Terpercaya", gagasan pembangunan gedung MK mendapat penekanan tersendiri.
Setelah menempati gedung di Jalan Medan Merdeka Barat No. 7 Jakarta Pusat milik Kementerian Negara Komunikasi dan Informasi
(Kominfo) pada tahun 2004, barulah MK bisa menggelar persidangan di kantor sendiri. Meski demikian, ruangan dan fasilitas yang tersedia
di gedung tersebut masih belum memadai, terutama ketika MK harus menangani perkara yang menumpuk dan membutuhkan peralatan-
peralatan canggih sebagaimana terjadi pada Pemilu 2004. Ketika melakukan pemeriksaan perkara perselisihan hasil pemilihan umum
Legislatif 2004, ruang persidangan yang ada di gdung MK tidak mencukupi sehingga MK meminjam ruang di gedung RRI yang terletak
tidak jauh dari kantor MK. Begitu juha ketika haru menggelar persidangan jarak jauh, MK harus meminjam ruang dan fasilitas
teleconference.
== Kewajiban dan wewenang mahkamah konstitusi Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menyatakan, Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan ketentuan
tersebut, Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung. Kekuasaan kehakiman
merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dengan demikian,
Mahkamah Konstitusi adalah suatu lembaga peradilan, sebagai cabang kekuasaan yudikatif, yang mengadili perkara-perkara tertentu yang
menjadi kewenangannya berdasarkan ketentuan UUD 1945.
Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang ditegaskan kembali dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a sampai dengan d UU 24/2003,
kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji undang-undang terhadap UUD 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara
yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; memutus pembubaran partai politik; dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan
umum. Selain itu, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) sampai dengan (5) dan Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 yang ditegaskan lagi oleh Pasal 10 ayat
(2) UU 24/2003, kewajiban Mahkamah Konstitusi adalah memberikan keputusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden telah melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan tercela, atau tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden
sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.

Ketua
Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh Hakim Konstitusi untuk masa jabatan 3 tahun. Masa jabatan Ketua MK selama 3 tahun
yang diatur dalam UU 24/2003 ini sedikit aneh, karena masa jabatan Hakim Konstitusi sendiri adalah 5 tahun, sehingga berarti untuk masa
jabatan kedua Ketua MK dalam satu masa jabatan Hakim Konstitusi berakhir sebelum waktunya (hanya 2 tahun).
Ketua MK yang pertama adalah Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.. Guru besar hukum tata negara Universitas Indonesia kelahiran 17 April
1956 ini terpilih pada rapat internal antar anggota hakim Mahkamah Konstitusi tanggal 19 Agustus 2003. Jimly terpilih lagi sebagai ketua
untuk masa bakti 2006-2009 pada 18 Agustus 2006 dan disumpah pada 22 Agustus 2006 dengan Wakil Ketua Prof. Dr. M. Laica Marzuki,
SH. Bersama tujuh anggota hakim pendiri lainnya dari generasi pertama MK, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH dan Prof. Dr. M. Laica
Marzuki berhasil memimpin lembaga baru ini sehingga dengan cepat berkembang menjadi model bagi pengadilan modern dan terpercaya di
Indonesia. Di akhir masa jabatan Prof. Jimly sebagai Ketua, MK berhasil dipandang sebagai salah satu ikon keberhasilan reformasi
Indonesia. Atas keberhasilan ini, pada bulan Agustus 2009, Presiden menganugerahkan Bintang Mahaputera Utama kepada para hakim
generasi pertama ini, dan bahkan Bintang Mahaputera Adipradana bagi mantan Ketua MK, Prof. Jimly Asshiddiqie.
Selama 5 tahun sejak berdirinya, sistem kelembagaan mahkamah ini terbentuk dengan sangat baik dan bahkan gedungnya juga berhasil
dibangun dengan megah dan oleh banyak sekolah dan perguruan tinggi dijadikan gedung kebanggaan tempat mengadakan studi tour. Pada 19
Agustus 2008, Hakim Konstitusi yang baru diangkat untuk periode (2008-2013), melakukan pemilihan untuk memilih Ketua dan Wakil
Ketua MK masa bakti 3 tahun berikutnya, yaitu 2008-2011 dan menghasilkan Mohammad Mahfud MD sebagai ketua serta Abdul Mukthie
Fadjar sebagai wakil ketua. Sesudah beberapa waktu sesudah itu, pada bulan Oktober 2009, Prof. Jimly Asshiddiqie, SH mengunduran diri
dari anggota MK dan kembali menjadi guru besar tetap hukum tata negara Universitas Indonesia.
Hakim Konstitusi
Mahkamah Konstitusi mempunyai 9 Hakim Konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden. Hakim Konstitusi diajukan masing-masing 3 orang
oleh Mahkamah Agung, 3 orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan 3 orang oleh Presiden. Masa jabatan Hakim Konstitusi adalah 5 tahun,
dan dapat dipilih kembali untuk 1 kali masa jabatan berikutnya.
Hakim Konstitusi periode 2008-2013 adalah:[2]
1. Mohammad Mahfud MD (Ketua)
2. Harjono (2009-), menggantikan Jimly Asshiddiqie (2008-2009)
3. Maria Farida Indrati
4. Ahmad Fadlil Sumadi (2009-), menggantikan Maruarar Siahaan (2008-2009)
5. Hamdan Zoelva (2009-), menggantikan Abdul Mukthie Fajar (2008-2009)
6. Muhammad Alim
7. Achmad Sodiki
8. Anwar Usman (2011-), menggantikan Muhammad Arsyad Sanusi (2008-2011)
9. Muhammad Akil Mochtar
Pada akhir 2009, Maruarar Siahaan dan Abdul Mukthie Fajar memasuki masa pensiun. Mereka kemudian digantikan oleh 2 hakim baru,
yakni Hamdan Zoelva yang menggantikan Abdul Mukthie Fajar dan Fadlil Sumadi yang menggantikan Maruarar Siahaan.
Daftar Hakim Konstitusi
Berikut adalah nama-nama yang pernah menduduki jabatan hakim konstitusi :
Nama Mulai Jabatan Akhir Jabatan
Prof. DR. Jimly Asshiddiqie, S.H. 2003 2009
Letjen. TNI (Purn.) H. Achmad Roestandi, S.H. 2003 2008
I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H. 2003 2008
Prof. H. Ahmad Syarifuddin Natabaya, S.H., LL.M. 2003 2008
Prof. H. Abdul Mukthie Fadjar, S.H., M.S. 2003 2009
Prof. DR. H. Mohammad Laica Marzuki, S.H. 2003 2008
Soedarsono, S.H. 2003 2008
Maruarar Siahaan, S.H. 2003 2009
Prof. DR. Mohammad Mahfud MD., S.H. 2008 2013
DR. H. Mohammad Alim, S.H., M.Hum. 2008 sekarang
DR. H. Muhammad Arsyad Sanusi, S.H., M.Hum. 2008 2011
Prof. DR. Achmad Sodiki, S.H. 2008 2013
Prof. DR. Maria Farida Indrati, S.H. 2008 sekarang
Muhammad Akil Mochtar, S.H., M.H. 2008 2013
DR. Harjono, S.H., MCL. 2009 sekarang
DR. Hamdan Zoelva, S.H., M.H. 2009 sekarang
Drs. H. Ahmad Fadlil Sumadi, S.H., M.Hum. 2009 sekarang
Dr. Anwar Usman, S.H, M.H. 2011 sekarang
Prof. Dr. Arief Hidayat S.H., M.S. 2013 sekarang
Dr. H. Patrialis Akbar S.H., M.H. 2013 sekarang
Daftar Ketua Mahkamah Konstitusi
# Nama Mulai Jabatan Akhir Jabatan
1 Prof. DR. Jimly Asshiddiqie, S.H. 19 Agustus 2003 19 Agustus 2008
2 Prof. DR. Mohammad Mahfud MD., S.H. 19 Agustus 2008 3 April 2013
3 Muhammad Akil Mochtar, S.H,. M.H. 3 April 2013 5 Oktober 2013
Daftar Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi
# Nama Mulai Jabatan Akhir Jabatan
1 Prof. DR. H. Mohammad Laica Marzuki, S.H. 19 Agustus 2003 19 Agustus 2008
2 Prof. DR. Achmad Sodiki, S.H. 19 Agustus 2008 13 Agustus 2013
3 DR. Hamdan Zoelva, S.H., M.H. 13 Agustus 2013 2015
Susunan Organisasi

Sekretariat Jenderal
Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi mempunyai tugas melaksanakan dukungan administrasi umum kepada para hakim konstitusi.
Sekretaris Jenderal dipimpin oleh seorang Sekretaris Jenderal dan di bawahnya terdapat empat biro dan dua pusat, yaitu :
 Biro Perencanaan dan Pengawasan
o Bagian Perencanaan
 Subbagian Program dan Anggaran
 Subbagian Evaluasi dan Laporan
o Bagian Keuangan
 Subbagian Kas
 Subbagian Akuntansi dan Verifikasi
 Biro Umum
o Bagian Tata Usaha
 Subbagian Persuratan
 Subbagian Arsip dan Dokumentasi
o Bagian Kepegawaian
 Subbagian Tata Usaha
 Subbagian Pembinaan dan Pengembangan Pegawai
o Bagian Perlengkapan
 Subbagian Pengadaan, Penyimpanan dan Inventarisasi
 Subbagian Rumah Tangga
 Biro Hubungan Masyarakat dan Protokol
o Bagian Hubungan Masyarakat
 Subbagian Hubungan Antar Lembaga dan Masyarakat
 Subbagian Media Massa
o Bagian Protokol dan Tata Usaha Pimpinan
 Subbagian Protokol
 Subbagian Tata Usaha Pimpinan
 Biro Keuangan dan Kepegawaian
o Bagian Administrasi Perkara
 Subbagian Registrasi
 Subbagian Penyusunan Kaidah Hukum dan Dokumentasi Perkara
o Bagian Persidangan
 Subbagian Pelayanan Persidangan
 Subbagian Pemanggilan
o Bagian Pelayanan Risalah dan Putusan Perkara
 Subbagian Pelayanan Risalah dan Pelayanan Putusan
 Pusat Penelitian dan Pengkajian (Noor Sidharta)
 Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi
o Bidang Program dan Penyelenggaraan
 Subbidang Program dan Evaluasi
 Subbidang Penyelenggaraan
o Bagian Umum
 Subbagian Sarana dan Prasarana
 Subbagian Tata Usaha
 Kelompok Jabatan Fungsional
Kepaniteraan
Kepaniteraan MK memiliki tugas pokok memberikan dukungan di bidang administrasi justisial. Susunan organisasi kepaniteraan MK terdiri
dari sejumlah jabatan fungsional Panitera. Kepaniteraan merupakan supporting unit hakim konstitusi dalam penanganan perkara di MK.

Persidangan

Sidang Panel
Sidang Panel merupakan sidang yang terdiri dari tiga orang hakim konstitusi yang diberi tugas untuk melakukan sidang pemeriksaan
pendahuluan. Persidangan ini diselenggarakan untuk memeriksa kedudukan hukum pemohon dan isi permohonan. Hakim konstitusi dapat
memberi nasihat perbaikan permohonan.

Rapat Permusyawaratan Hakim


Rapat Permusyawaratan Hakim (disingkat RPH)
bersipat tertutup dan rahasia. Rapat ini hanya dapat
diikuti oleh Hakim konstitusi dan Panitera. Dalam rapat
inilah perkara dibahas secara mendalam dan rinci
serta putusan MK diambil yang harus dihadiri
sekurang-kurangnya tujuh hakim konstitusi. Pada saat
RPH, Panitera mencatat dan merekam setiap
pokok bahasan dan kesimpulan.

Sidang Pleno
Sidang Pleno adalah sidang yang dilakukan oleh
majelis hakim konstitusi minimal dihadiri oleh tujuh
hakim konstitusi. Persidangan ini dilakukan terbuka
untuk umum dengan agenda pemeriksaan
persidangan atau pembacaan putusan. Pemeriksaan
persidangan meliputi mendengarkan pemohon, keterangan
saksi, ahli dan pihak terkait serta memeriksa alat-alat
bukti.

Anggaran
Sebagai lembaga negara pelaku kekuasaan
kehakiman, pelaksanaan tugas- tugas MK berikut
aktivitas dukungan yang diberikan oleh Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan MK dibiayai oleh
Anggaaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).
Dalam setiap tahunnya, MK mendapat anggaran
berdasarkan Dokumen Isian Pelaksanaan
Anggaran (DIPA) atau Rencana Kerja dan Anggaran
Kementerian/Lembaga (RKA-KL). BPK memberikan
Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atas laporan
keuangan MK tahun anggaran 2006. Kemudian
pada laporan keuangan tahun 2007, 2008 dan 2009 MK
kembali meraih predikat WTP berturut-turut dari
BPK.
Komisi Yudisial adalah lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UU no 22 tahun 2004 yang berfungsi mengawasi perilaku hakim dan
mengusulkan nama calon hakim agung

Sejarah Pembentukan Komisi Yudisial


Berawal pada tahun 1968 muncul ide pembentukan Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH) yang berfungsi untuk memberikan
pertimbangan dalam mengambil keputusan akhir mengenai saran-saran dan atau usul-usul yang berkenaan dengan pengangkatan, promosi,
pindahan rumah, pemberhentian dan tindakan/hukuman jabatan para hakim. Namun ide tersebut tidak berhasil dimasukkan dalam undang-
undang tentang Kekuasaan Kehakiman.
Baru kemudian tahun 1998 muncul kembali dan menjadi wacana yang semakin kuat dan solid sejak adanya desakan penyatuan atap bagi
hakim, yang tentunya memerlukan pengawasan eksternal dari lembaga yang mandiri agar cita-cita untuk mewujudkan peradilan yang jujur,
bersih, transparan dan profesional dapat tercapai.
Seiring dengan tuntutan reformasi peradilan, pada Sidang Tahunan MPR tahun 2001 yang membahas amandemen ketiga Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, disepakati beberapa perubahan dan penambahan pasal yang berkenaan dengan kekuasaan
kehakiman, termasuk di dalamnya Komisi Yudisial yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang
lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Berdasarkan pada amandemen ketiga
itulah dibentuk Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang disahkan di Jakarta pada tanggal 13 Agustus 2004.
Setelah melalui seleksi yang ketat, terpilih 7 (tujuh) orang yang ditetapkan sebagai anggota Komisi Yudisial periode 2005-2010 melalui
Keputusan Presiden tanggal 2 Juli 2005. Dan selanjutnya pada tanggal 2 Agustus 2005, ketujuh anggota Komisi Yudisial mengucapkan
sumpah dihadapan Presiden, sebagai awal memulai masa tugasnya.

Tujuan Komisi Yudisial


Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan oleh A. Ahsin Thohari, seperti ditulis dalam buku Komisi Yudisial & Reformasi Peradilan
(Jakarta: ELSAM, 2004), di bebarapa negara, Komisi Yudisial muncul sebagai akibat dari salah satu atau lebih dari lima hal sebagai berikut:
1. Lemahnya monitoring secara intensif terhadap kekuasaan kehakiman, karena monitoring hanya dilakukan secara internal saja.
2. Tidak adanya lembaga yang menjadi penghubung antara kekuasaan pemerintah (executive power) –dalam hal ini Departemen
Kehakiman– dan kekuasaan kehakiman (judicial power).
3. Kekuasaan kehakiman dianggap tidak mempunyai efisiensi dan efektivitas yang memadai dalam menjalankan tugasnya apabila
masih disibukkan dengan persoalanpersoalan teknis non-hukum.
4. Tidak adanya konsistensi putusan lembaga peradilan, karena setiap putusan kurang memperoleh penilaian dan pengawasan
yang ketat dari sebuah lembaga khusus.
5. Pola rekruitmen hakim selama ini dianggap terlalu bias dengan masalah politik, karena lembaga yang mengusulkan dan
merekrutnya adalah lembaga-lembaga politik, yaitu presiden atau parlemen.
Masih menurut A. Ahsin Thohari, tujuan pembentukan Komisi Yudisial adalah:
1. Melakukan monitoring yang intensif terhadap lembaga peradilan dengan cara melibatkan unsur-unsur masyarakat dalam
spektrum yang seluas-luasnya dan bukan hanya monitoring secara internal saja. Monitoring secara internal
dikhawatirkanmenimbulkan semangat korps (l’esprit de corps), sehingga objektivitasnya sangat diragukan.
2. Menjadi perantara (mediator) antara lembaga peradilan dengan Departemen Kehakiman. Dengan demikian, lembaga peradilan
tidak perlu lagi mengurus persoalan-persoalan teknis non-hukum, karena semuanya telah ditangani oleh Komisi Yudisial.
Sebelumnya, lembaga peradilan harus melakukan sendiri hubungan tersebut, sehingga hal ini mengakibatkan adanya hubungan
pertanggungjawaban dari lembaga peradilan kepada Departemen Kehakiman. Hubungan pertanggungjawaban ini
menempatkan lembaga peradilan sebagai subordinasi Departemen Kehakiman yang membahayakan independensinya.
3. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas lembaga peradilan dalam banyak aspek, karena tidak lagi disibukkan dengan hal-hal yang
tidak berkaitan langsung dengan aspek hukum seperti rekruitmen dan monitoring hakim serta pengelolaan keuangan lembaga
peradilan. Dengan demikian, lembaga peradilan dapat lebih berkonsentrasi untuk meningkatkan kemampuan intelektualitasnya
yang diperlukan untuk memutus suatu perkara.
4. Menjaga kualitas dan konsistensi putusan lembaga peradilan, karena senantiasa diawasi secara intensif oleh lembaga yang
benar-benar independen. Di sini diharapkan inkonsistensi putusan lembaga peradilan tidak terjadi lagi, karena setiap putusan
akan memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari Komisi Yudisial. Dengan demikian, putusan-putusan yang dianggap
kontroversial dan mencederai rasa keadilan masyarakat dapat diminimalisasi kalau bukan dieliminasi.
5. Meminimalisasi terjadinya politisasi terhadap rekruitmen hakim, karena lembaga yang mengusulkan adalah lembaga hukum
yang bersifat mandiri dan bebas dari pengaruh kekuasaan lain, bukan lembaga politik lagi, sehingga diidealkan kepentingan-
kepentingan politik tidak lagi ikut menentukan rekrutmen hakim yang ada.

Wewenang Komisi Yudisial


1. Mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan
persetujuan;
2. Menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim;
3. Menetapkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) bersama-sama dengan Mahkamah Agung;
4. Menjaga dan menegakkan pelaksanaan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH);

Tugas Komisi Yudisial


1. Melakukan pendaftaran calon Hakim Agung;
2. Melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung;
3. Menetapkan calon Hakim Agung; dan
4. Mengajukan calon Hakim Agung ke DPR.

Pertanggungjawaban dan Laporan


Komisi Yudisial bertanggungjawab kepada publik melalui DPR, dengan cara menerbitkan laporan tahunan dan membuka akses informasi
secara lengkap dan akurat.
Anggota
Keanggotaan Komisi Yudisial terdiri atas mantan hakim, praktisi hukum, akademisi hukum, dan anggota masyarakat. Anggota Komisi
Yudisial adalah pejabat Negara, terdiri dari 7 orang (termasuk Ketua dan Wakil Ketua yang merangkap Anggota). Anggota Komisi Yudisial
memegang jabatan selama masa 5 (lima) tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.

Anggota Komisi Yudisial Paruh kedua Periode 2010-2015 (Juli 2013 - Desember 2015)[1]
 Dr. Suparman Marzuki, S.H., M.Si. (Ketua)[2]
 H. Abbas Said, S.H., M.H. (Wakil Ketua)[3]

Anggota Komisi Yudisial Paruh Pertama Periode 2010-2015


 Prof. Dr. H. Eman Suparman, S.H., M.H (Ketua) (Alumni Fakultas Hukum UNPAD)
 H. Imam Anshori Saleh, S.H., M.Hum. (Wakil Ketua)
 Dr. Taufiqurrohman Syahuri, S.H., M.H. (Ketua Bidang Rekrutmen Hakim)
 Dr. Suparman Marzuki, S.H., M.Si. (Ketua Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi )
 H. Abbas Said, S.H., M.H. (Ketua Bidang Pencegahan dan Pelayanan Masyarakat)
 Dr. Jaja Ahmad Jayus, S.H., M.Hum. (Ketua Bidang Sumber Daya Manusia, Penelitian dan Pengembangan)
 Dr. Ibrahim, S.H., M.H., LL.M. (Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga)

Anggota Komisi Yudisial Periode 2005-2010


 M. Busyro Muqoddas, S.H., M.Hum (Ketua)
 M. Thahir Saimima, S.H (Wakil Ketua)
 Prof. Dr. Mustafa Abdullah, S.H., M.H (Anggota)
 Zainal Arifin, S.H (Anggota)
 Prof. Dr. Chatamarrasjid Ais, S.H., M.H (Anggota)
 Soekotjo Soeparto, S.H., LL.M. (Anggota)
 Irawady Joenoes, S.H (Anggota)

Majelis Permusyawaratan Rakyat


Republik Indonesia
2009–2014

Jenis
Jenis Bikameral
Dewan Perwakilan Daerah
Dewan
Dewan Perwakilan Rakyat
Kepemimpinan
Sidarto Danusubroto[1], PDI-P
Ketua
sejak 8 Juli 2013
Melani Leimena Suharli, Demokrat
Wakil Ketua
sejak 4 Oktober 2009
Hajriyanto Y. Tohari, Golkar
Wakil Ketua
sejak 4 Oktober 2009
Lukman Hakim Saifudin, PPP
Wakil Ketua
sejak 4 Oktober 2009
Ahmad Farhan Hamid, Kelompok DPD
Wakil Ketua
sejak 4 Oktober 2009
Struktur
692
Anggota 132 Anggota DPD
560 Anggota DPR

 Demokrat (148)
 Golkar (106)
 PDI-P (94)
 PKS (57)
Kelompok politik Dewan Perwakilan Rakyat
 PAN (46)
 PPP (38)
 PKB (28)
 Gerindra (26)
 Hanura (17)
Pemilihan
Pemilihan terakhir Dewan Perwakilan Rakyat 9 April 2009
Pemilihan terakhir Dewan Perwakilan Daerah 9 April 2009
Tempat bersidang

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia atau cukup disebut Majelis Permusyawaratan Rakyat (disingkat MPR-RI atau
MPR) adalah lembaga legislatif bikameral yang merupakan salah satu lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

Sebelum Reformasi, MPR merupakan lembaga tertinggi negara. MPR bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibukota negara.

Sejarah
Sejak 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia memulai sejarahnya sebagai sebuah bangsa yang masih muda dalam menyusun pemerintahan,
politik, dan administrasi negaranya. Landasan berpijaknya adalah ideologi Pancasila yang diciptakan oleh bangsa Indonesia sendiri beberapa
minggu sebelumnya dari penggalian serta perkembangan budaya masyarakat Indonesia dan sebuah Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 pra Amandemen yang baru ditetapkan keesokan harinya pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (pra Amandemen) tersebut mengatur berbagai macam lembaga negara dari
Lembaga Tertinggi Negara hingga Lembaga Tinggi Negara. Konsepsi penyelenggaraan negara yang demokratis oleh lembaga-lembaga
negara tersebut sebagai perwujudan dari sila keempat yang mengedepankan prinsip demokrasi perwakilan dituangkan secara utuh
didalamnya. Kehendak untuk mengejawantahkan aspirasi rakyat dalam sistem perwakilan, untuk pertama kalinya dilontarkan oleh Bung
Karno, pada pidatonya tanggal 01 Juni 1945. Muhammad Yamin juga mengemukakan perlunya prinsip kerakyatan dalam konsepsi
penyelenggaraan negara. Begitu pula dengan Soepomo yang mengutarakan idenya akan Indonesia merdeka dengan prinsip musyawarah
dengan istilah Badan Permusyawaratan. Ide ini didasari oleh prinsip kekeluargaan, dimana setiap anggota keluarga dapat memberikan
pendapatnya.
Dalam rapat Panitia Perancang Undang-Undang Dasar, Soepomo menyampaikan bahwa ‘’Badan Permusyawaratan’’ berubah menjadi
‘’Majelis Permusyawaratan Rakyat’’ dengan anggapan bahwa majelis ini merupakan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia, yang mana
anggotanya terdiri atas seluruh wakil rakyat, seluruh wakil daerah, dan seluruh wakil golongan. Konsepsi Majelis Permusyawaratan Rakyat
inilah yang akhirnya ditetapkan dalam Sidang PPKI pada acara pengesahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(pra Amandemen).

Masa Orde Lama (1945-1965)


Pada awal masa Orde Lama, MPR belum dapat dibentuk secara utuh karena gentingnya situasi saat itu. Hal ini telah diantispasi oleh para
pendiri bangsa dengan Pasal IV Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (pra Amandemen)
menyebutkan, Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut
Undang-Undang Dasar ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasional.

Sejak diterbitkannya Maklumat Wakil Presiden Nomor X, terjadi perubahan-perubahan yang mendasar atas kedudukan, tugas, dan
wewenang KNIP. Sejak saat itu mulailah lembaran baru dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, yakni KNIP diserahi kekuasaan legislatif
dan ikut menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara. Dengan demikian, pada awal berlakunya Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (pra Amandemen) dimulailah lembaran pertama sejarah MPR, yakni terbentuknya KNIP sebagai embrio MPR.

Pada masa berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat (1949-1950) dan Undang-Undang Dasar Sementara (1950-1959), lembaga
MPR tidak dikenal dalam konfigurasi ketatanegaraan Republik Indonesia. Pada tanggal 15 Desember 1955 diselenggarakan pemilihan umum
untuk memilih anggota Konstituante yang diserahi tugas membuat Undang-Undang Dasar.

Namun, Konstituante yang semula diharapkan dapat menetapkan Undang-Undang Dasar ternyata menemui jalan buntu. Di tengah
perdebatan yang tak berujung pangkal, pada tanggal 22 April 1959 Pemerintah menganjurkan untuk kembali ke UUD 1945, tetapi anjuran ini
pun tidak mencapai kesepakatan di antara anggota Konstituante.
Dalam suasana yang tidak menguntungkan itu, tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang berisikan :
 Pembubaran Konstituante,
 Berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUD Sementara 1950,
 Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS).

Untuk melaksanakan Pembentukan MPRS sebagaimana diperintahkan oleh Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Presiden mengeluarkan Penetapan
Presiden Nomor 2 Tahun 1959 yang mengatur Pembentukan MPRS sebagai berikut :
 MPRS terdiri atas Anggota DPR Gotong Royong ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan.
 Jumlah Anggota MPR ditetapkan oleh Presiden.
 Yang dimaksud dengan daerah dan golongan-golongan ialah Daerah Swatantra Tingkat I dan Golongan Karya.
 Anggota tambahan MPRS diangkat oleh Presiden dan mengangkat sumpah menurut agamanya di hadapan Presiden atau Ketua
MPRS yang dikuasakan oleh Presiden.
 MPRS mempunyai seorang Ketua dan beberapa Wakil Ketua yang diangkat oleh Presiden.

Jumlah anggota MPRS pada waktu dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 199 Tahun 1960 berjumlah 616 orang yang terdiri dari
257 Anggota DPR-GR, 241 Utusan Golongan Karya, dan 118 Utusan Daerah.
Pada tanggal 30 September 1965 terjadi peristiwa pemberontakan G-30-S/PKI. Sebagai akibat logis dari peristiwa pengkhianatan
G-30-S/PKI, mutlak diperlukan adanya koreksi total atas seluruh kebijaksanaan yang telah diambil sebelumnya dalam kehidupan
kenegaraan. MPRS yang pembentukannya didasarkan pada Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan selanjutnya diatur dengan Penetapan Presiden
Nomor 2 Tahun 1959, setelah terjadi pemberontakan G-30-S/PKI, Penetapan Presiden tersebut dipandang tidak memadai lagi.

Untuk memenuhi kebutuhan tersebut maka diadakan langkah pemurnian keanggotaan MPRS dari unsur PKI, dan ditegaskan dalam Undang-
undang Nomor 4 Tahun 1966 bahwa sebelum terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dipilih oleh rakyat, maka MPRS
menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai dengan UUD 1945 sampai MPR hasil Pemilihan Umum terbentuk.

Rakyat yang merasa telah dikhianati oleh peristiwa pemberontakan G-30-S/PKI mengharapkan kejelasan pertangungjawaban Presiden
Soekarno mengenai pemberontakan G-30-S/PKI berikut epilognya serta kemunduran ekonomi dan akhlak. Tetapi, pidato
pertanggungjawaban Presiden Soerkarno yang diberi judul ”Nawaksara” ternyata tidak memuaskan MPRS sebagai pemberi mandat.
Ketidakpuasan MPRS diwujudkan dalam Keputusan MPRS Nomor 5 Tahun 1966 yang meminta Presiden Soekarno melengkapi pidato
pertanggungjawabannya.

Walaupun kemudian Presiden Soekarno memenuhi permintaan MPRS dalam suratnya tertangal 10 januari 1967 yang diberi nama
“Pelengkap Nawaksara”, tetapi ternyata tidak juga memenuhi harapan rakyat. Setalah membahas surat Presiden tersebut, Pimpinan MPRS
berkesimpulan bahwa Presiden Soekarno telah alpa dalam memenuhi kewajiban Konstitusional. Sementara itu DPR-GR dalam Resolusi dan
Memorandumnya tertanggal 9 Februari 1967 dalam menilai “Nawaksara” beserta pelengkapnya berpendapat bahwa “Kepemimpinan
Presiden Soekarno secara konstitusional, politis/ideologis membahayakan keselamatan bangsa, negara, dan Pancasila”.

Dalam kaitan itu, MPRS mengadakan Sidang Istimewa untuk memberhentikan Presiden Soekarno dari jabatan Presiden/Mandataris MPRS
dan memilih/mengangkat Letnan Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden/Mandataris sesuai Pasal 3 Ketetapan MPRS Nomor
IX/MPRS/1966, serta memerintahkan Badan Kehakiman yang berwenang untuk mengadakan pengamatan, pemeriksaan, dan penuntutan
secara hukum.

Masa Reformasi (1999-sekarang)


Bergulirnya reformasi yang menghasilkan perubahan konstitusi telah mendorong para pengambil keputusan untuk tidak menempatkan MPR
dalam posisi sebagai lembaga tertinggi. Setelah reformasi, MPR menjadi lembaga negara yang sejajar kedudukannya dengan lembaga-
lembaga negara lainnya, bukan lagi penjelmaan seluruh rakyat Indonesia yang melaksanakan kedaulatan rakyat. Perubahan Undang-Undang
Dasar telah mendorong penataan ulang posisi lembaga-lembaga negara terutama mengubah kedudukan, fungsi dan kewenangan MPR yang
dianggap tidak selaras dengan pelaksanaan prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat sehingga sistem ketatanegaraan dapat berjalan optimal.

Pasal 1 ayat (2) yang semula berbunyi: “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat.” , setelah perubahan Undang-Undang Dasar diubah menjadi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar.” Dengan demikian pelaksanaan kedaulatan rakyat tidak lagi dijalankan sepenuhnya oleh sebuah lembaga negara,
yaitu MPR, tetapi melalui cara-cara dan oleh berbagai lembaga negara yang ditentukan oleh UUD 1945.

Tugas, dan wewenang MPR secara konstitusional diatur dalam Pasal 3 UUD 1945, yang sebelum maupun setelah perubahan salah satunya
mempunyai tugas mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar sebagai hukum dasar negara yang mengatur hal-hal penting dan
mendasar. Oleh karena itu dalam perkembangan sejarahnya MPR dan konstitusi yaitu Undang-Undang Dasar mempunyai keterkaitan yang
erat seiring dengan perkembangan ketatanegaraan Indonesia.

Tugas dan wewenang

Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar


MPR berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam mengubah Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, anggota MPR tidak dapat mengusulkan pengubahan terhadap Pembukaan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Usul pengubahan pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diajukan oleh sekurangkurangnya 1/3 (satu pertiga)
dari jumlah anggota MPR. Setiap usul pengubahan diajukan secara tertulis dengan menunjukkan secara jelas pasal yang diusulkan diubah
beserta alasannya.

Usul pengubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diajukan kepada pimpinan MPR. Setelah menerima usul
pengubahan, pimpinan MPR memeriksa kelengkapan persyaratannya, yaitu jumlah pengusul dan pasal yang diusulkan diubah yang disertai
alasan pengubahan yang paling lama dilakukan selama 30 (tiga puluh) hari sejak usul diterima pimpinan MPR. Dalam pemeriksaan,
pimpinan MPR mengadakan rapat dengan pimpinan fraksi dan pimpinan Kelompok Anggota MPR untuk membahas kelengkapan
persyaratan.

Jika usul pengubahan tidak memenuhi kelengkapan persyaratan, pimpinan MPR memberitahukan penolakan usul pengubahan secara tertulis
kepada pihak pengusul beserta alasannya. Namun, jika pengubahan dinyatakan oleh pimpinan MPR memenuhi kelengkapan persyaratan,
pimpinan MPR wajib menyelenggarakan sidang paripurna MPR paling lambat 60 (enam puluh) hari. Anggota MPR menerima salinan usul
pengubahan yang telah memenuhi kelengkapan persyaratan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum dilaksanakan sidang paripurna
MPR.

Sidang paripurna MPR dapat memutuskan pengubahan pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dengan
persetujuan sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen) dari jumlah anggota ditambah 1 (satu) anggota.

Melantik Presiden dan Wakil Presiden hasil pemilihan umum


MPR melantik Presiden dan Wakil Presiden hasil pemilihan umum dalam sidang paripurna MPR. Sebelum reformasi, MPR yang merupakan
lembaga tertinggi negara memiliki kewenangan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dengan suara terbanyak, namun sejak reformasi
bergulir, kewenangan itu dicabut sendiri oleh MPR.
Perubahan kewenangan tersebut diputuskan dalam Sidang Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia ke-7 (lanjutan 2)
tanggal 09 November 2001, yang memutuskan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat, Pasal 6A ayat (1).

Memutuskan usul DPR untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya
MPR hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden diusulkan oleh DPR.

MPR wajib menyelenggarakan sidang paripurna MPR untuk memutuskan usul DPR mengenai pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden pada masa jabatannya paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak MPR menerima usul. Usul DPR harus dilengkapi dengan putusan
Mahkamah Konstitusi bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Keputusan MPR terhadap usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden diambil dalam sidang paripurna MPR yang dihadiri
sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota
yang hadir.

Melantik Wakil Presiden menjadi Presiden


Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil
Presiden sampai berakhir masa jabatannya.
Jika terjadi kekosongan jabatan Presiden, MPR segera menyelenggarakan sidang paripurna MPR untuk melantik Wakil Presiden menjadi
Presiden. Dalam hal MPR tidak dapat mengadakan sidang, Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di
hadapan rapat paripurna DPR. Dalam hal DPR tidak dapat mengadakan rapat,Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan
sungguh-sungguh di hadapan pimpinan MPR dengan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung.

Memilih Wakil Presiden


Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, MPR menyelenggarakan sidang paripurna dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari
untuk memilih Wakil Presiden dari 2 (dua) calon yang diusulkan oleh Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam
masa jabatannya.

Memilih Presiden dan Wakil Presiden


Apabila Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya
secara bersamaan, MPR menyelenggarakan sidang paripurna paling lambat 30 (tiga puluh) hari untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden,
dari 2 (dua) pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon
Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa
jabatannya.
Dalam hal Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya
secara bersamaan, pelaksana tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan secara
bersama-sama.

Keanggotaan
MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum. Keanggotaan MPR diresmikan dengan keputusan
Presiden. Sebelum reformasi, MPR terdiri atas anggota DPR, utusan daerah, dan utusan golongan, menurut aturan yang ditetapkan undang-
undang. Jumlah anggota MPR periode 2009–2014 adalah 692 orang yang terdiri atas 560 Anggota DPR dan 132 anggota DPD. Masa jabatan
anggota MPR adalah 5 tahun, dan berakhir bersamaan pada saat anggota MPR yang baru mengucapkan sumpah/janji.
Anggota MPR sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji secara bersama-sama yang dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung
dalam sidang paripurna MPR. Anggota MPR yang berhalangan mengucapkan sumpah/janji secara bersama-sama, mengucapkan
sumpah/janji yang dipandu oleh pimpinan MPR.

Hak dan kewajiban anggota

Hak anggota
 Mengajukan usul pengubahan pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
 Menentukan sikap dan pilihan dalam pengambilan keputusan.
 Memilih dan dipilih.
 Membela diri.
 Imunitas.
 Protokoler.
 Keuangan dan administratif.
Kewajiban anggota
 Memegang teguh dan mengamalkan Pancasila.
 Melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menaati peraturan perundang-undangan.
 Mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
 Mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan.
 Melaksanakan peranan sebagai wakil rakyat dan wakil daerah.

Fraksi dan kelompok anggota

Fraksi
Fraksi adalah pengelompokan anggota MPR yang mencerminkan konfigurasi partai politik. Fraksi dapat dibentuk oleh partai politik yang
memenuhi ambang batas perolehan suara dalam penentuan perolehan kursi DPR. Setiap anggota MPR yang berasal dari anggota DPR harus
menjadi anggota salah satu fraksi. Fraksi dibentuk untuk mengoptimalkan kinerja MPR dan anggota dalam melaksanakan tugasnya sebagai
wakil rakyat. Pengaturan internal fraksi sepenuhnya menjadi urusan fraksi masing-masing.

Kelompok anggota
Kelompok Anggota adalah pengelompokan anggota MPR yang berasal dari seluruh anggota DPD. Kelompok Anggota dibentuk untuk
meningkatkan optimalisasi dan efektivitas kinerja MPR dan anggota dalam melaksanakan tugasnya sebagai wakil daerah. Pengaturan
internal Kelompok Anggota sepenuhnya menjadi urusan Kelompok Anggota.

Alat kelengkapan
Alat kelengkapan MPR terdiri atas; Pimpinan dan Panitia Ad Hoc.

Pimpinan
Pimpinan MPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua yang berasal dari anggota DPR dan 4 (empat) orang wakil ketua yang terdiri atas 2 (dua)
orang wakil ketua berasal dari anggota DPR dan 2 (dua) orang wakil ketua berasal dari anggota DPD, yang ditetapkan dalam sidang
paripurna MPR.

Panitia Ad Hoc
Panitia ad hoc MPR terdiri atas pimpinan MPR dan paling sedikit 5% (lima persen) dari jumlah anggota dan paling banyak 10% (sepuluh
persen) dari jumlah anggota yang susunannya mencerminkan unsur DPR dan unsur DPD secara proporsional dari setiap fraksi dan
Kelompok Anggota MPR.

Sidang
MPR bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibukota negara.

Sidang MPR sah apabila dihadiri:


 sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah Anggota MPR untuk memutus usul DPR untuk memberhentikan Presiden/Wakil Presiden
 sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah Anggota MPR untuk mengubah dan menetapkan UUD
 sekurang-kurangnya 50%+1 dari jumlah Anggota MPR sidang-sidang lainnya

Putusan MPR sah apabila disetujui:


 sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah Anggota MPR yang hadir untuk memutus usul DPR untuk memberhentikan Presiden/Wakil
Presiden
 sekurang-kurangnya 50%+1 dari seluruh jumlah Anggota MPR untuk memutus perkara lainnya.

Sebelum mengambil putusan dengan suara yang terbanyak, terlebih dahulu diupayakan pengambilan putusan dengan musyawarah untuk
mencapai hasil yang mufakat.
Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia
2009-2014

Jenis
Jenis Majelis rendah pada Majelis Permusyawaratan Rakyat
Kepemimpinan
Marzuki Alie, Demokrat
Ketua
sejak 1 Oktober 2009
Priyo Budi Santoso, Golkar
Wakil Ketua
sejak 1 Oktober 2009
Pramono Anung, PDI-P
Wakil Ketua
sejak 1 Oktober 2009
Sohibul Iman, PKS
Wakil Ketua
sejak 11 Februari 2013
Taufik Kurniawan, PAN
Wakil Ketua
sejak 2 Maret 2010
Struktur
Anggota 560

Kelompok politik
 Demokrat (148)
 Golkar (106)
 PDI-P (94)
 PKS (57)
 PAN (46)
 PPP (38)
 PKB (28)
 Gerindra (26)
 Hanura (17)
Pemilihan
Pemilihan terakhir 9 April 2009

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia atau sering disebut Dewan Perwakilan Rakyat (disingkat DPR-RI atau DPR) adalah salah
satu lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan lembaga perwakilan rakyat. DPR terdiri atas anggota
partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan umum.

Sejarah

Masa awal kemerdekaan (1945-1949)


Pada awal kemerdekaan, lembaga-lembaga negara yang diamanatkan UUD 1945 belum dibentuk. Dengan demikian, Sesuai dengan pasal 4
aturan peralihan dalam UUD 1945, dibentuklah Komite Nasional Pusat (KNIP). Komite ini merupakan cikal bakal badan legislatif di
Indonesia.
Anggota KNIP tersebut berjumlah 60 orang tetapi sumber yang lain menyatakan terdapat 103 anggota KNIP. KNIP sebagai MPR sempat
bersidang sebanyak 6 kali, dalam melakukan kerja DPR dibentuk Badan Pekerja Komite Nasional Pusat, Badan Pekerja tersebut berhasil
menyetujui 133 RUU disamping pengajuan mosi, resolusi, usul dan lain-lain.

Masa Republik Indonesia Serikat (1949-1950)


Pada masa ini tidak diketahui secara pasti bagaimana keberadaan DPR karena sedang terjadi kekacauan politik, dimana fokus utama berada
di pemerintah federal RIS.

Masa Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (1950-1956)


Pada tanggal 14 Agustus 1950, DPR dan Senat RIS menyetujui Rancangan UUDS NKRI (UU No. 7/1850, LN No. 56/1950). Pada tanggal
15 Agustus 1950, DPR dan Senat RIS mengadakan rapat dimana dibacakan piagam pernyataan terbentuknya NKRI yang bertujuan: 1.
Pembubaran secara resmi negara RIS yang berbentuk federasi; 2. Pembentukan NKRI yang meliputi seluruh daerah Indonesia dengan UUDS
yang mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1950.
Sesuai isi Pasal 77 UUDS, ditetapkan jumlah anggota DPRS adalah 236 orang, yaitu 148 anggota dari DPR-RIS, 29 anggota dari Senat RIS,
46 anggota dari Badan Pekerja Komite Nasional Pusat, dan 13 anggota dari DPA RI Yogyakarta.

Masa DPR hasil pemilu 20 Maret 1956 (1956-1959)


DPR ini adalah hasil pemilu 1956 yang jumlah anggota yang dipilih sebanyak 272 orang. Pemilu 1956 juga memilih 542 orang anggota
konstituante.
Tugas dan wewenang DPR hasil pemilu 1955 sama dengan posisi DPRS secara keseluruhan, karena landasan hukum yang berlaku adalah
UUDS. Banyaknya jumlah fraksi di DPR serta tidak adanya satu dua partai yang kuat, telah memberi bayangan bahwa pemerintah
merupakan hasil koalisi. Dalam masa ini terdapat 3 kabinet yaitu kabinet Burhanuddin Harahap, kabinet Ali Sastroamidjojo, dan kabinet
Djuanda.

Masa DPR Hasil Dekrit Presiden 1959 berdasarkan UUD 1945 (1959-1965)
Jumlah anggota sebanyak 262 orang kembali aktif setelah mengangkat sumpah. Dalam DPR terdapat 19 fraksi, didominasi PNI, Masjumi,
NU, dan PKI.
Dengan Penpres No. 3 tahun 1960, Presiden membubarkan DPR karena DPR hanya menyetujui 36 milyar rupiah APBN dari 44 milyar yang
diajukan. Sehubungan dengan hal tersebut, presiden mengeluarkan Penpres No. 4 tahun 1960 yang mengatur Susunan DPR-GR.
DPR-GR beranggotakan 283 orang yang semuanya diangkat oleh Presiden dengan Keppres No. 156 tahun 1960. Adapun salah satu
kewajiban pimpinan DPR-GR adalah memberikan laporan kepada Presiden pada waktu-waktu tertentu, yang mana menyimpang dari pasal 5,
20, 21 UUD 1945. Selama 1960-1965, DPR-GR menghasilkan 117 UU dan 26 usul pernyataan pendapat.

Masa DPR Gotong Royong tanpa Partai Komunis Indonesia (1965-1966)


Setelah peristiwa G.30.S/PKI, DPR-GR membekukan sementara 62 orang anggota DPR-GR eks PKI dan ormas-ormasnya. DPR-GR tanpa
PKI dalam masa kerjanya 1 tahun, telah mengalami 4 kali perubahan komposisi pimpinan, yaitu: a. Periode 15 November 1965-26 Februari
1966. b. Periode 26 Februari 1966-2 Mei 1966. c. Periode 2 Mei 1966-16 Mei 1966. d. Periode 17 Mei 1966-19 November 1966. Secara
hukum, kedudukan pimpinan DPR-GR masih berstatus sebagai pembantu Presiden sepanjang Peraturan Presiden No. 32 tahun 1964 belum
dicabut.
Dalam rangka menanggapi situasi masa transisi, DPR-GR memutuskan untuk membentuk 2 buah panitia: a. Panitia politik, berfungsi
mengikuti perkembangan dalam berbagai masalah bidang politik. b. Panitia ekonomi, keuangan dan pembangunan, bertugas memonitor
situasi ekonomi dan keuangan serta membuat konsepsi tentang pokok-pokok pemikiran ke arah pemecahannya.

Masa Orde Baru (1966-1999)


Berdasarkan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966, yang kemudian dikukuhkan dalam UU No. 10/1966, maka DPR-GR Masa Orde Baru
memulai kerjanya dengan menyesuaikan diri dari Orde Lama ke Orde Baru. Kedudukan, tugas dan wewenang DPR-GR 1966-1971 yang
bertanggung jawab dan berwewenang untuk menjalankan tugas-tugas utama sebagai berikut:
1. Bersama-sama dengan pemerintah menetapkan APBN sesuai dengan pasal 23 ayat 1 UUD 1945 beserta penjelasannya.
2. Bersama-sama dengan pemerintah membentuk UU sesuai dengan pasal 5 ayat 1, pasal 20, pasal 21 ayat 1 dan pasal 22 UUD
1945 beserta penjelasannya.
3. Melakukan pengawasan atas tindakan-tindakan pemerintah sesuai dengan UUD 1945 dan penjelasannya, khususnya penjelasan
bab 7.
Selama masa orde baru DPR dianggap sebagai Tukang Stempel kebijakan pemerintah yang berkuasa karena DPR dikuasai oleh Golkar
yang merupakan pendukung pemerintah.

Masa reformasi (1999-sekarang)


Banyaknya skandal korupsi, penyuapan dan kasus pelecehan seksual merupakan bentuk nyata bahwa DPR tidak lebih baik dibandingkan
dengan yang sebelumnya. Mantan ketua MPR-RI 1999 s.d 2004, Amien Rais, bahkan mengatakan DPR yang sekarang hanya merupakan
stempel dari pemerintah karena tidak bisa melakukan fungsi pengawasannya demi membela kepentingan rakyat. Hal itu tercermin dari
ketidakmampuan DPR dalam mengkritisi kebijakan pemerintah yang terbilang tidak pro rakyat seperti kenaikan BBM, kasus lumpur
Lapindo, dan banyak kasus lagi. Selain itu, DPR masih menyisakan pekerjaan yakni belum terselesaikannya pembahasan beberapa undang-
undang. Buruknya kinerja DPR pada era reformasi membuat rakyat sangat tidak puas terhadap para anggota legislatif. Ketidakpuasan rakyat
tersebut dapat dilihat dari banyaknya aksi demonstrasi yang menentang kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak dikritisi oleh DPR.
Banyaknya judicial review yang diajukan oleh masyarakat dalam menuntut keabsahan undang-undang yang dibuat oleh DPR saat ini juga
mencerminkan bahwa produk hukum yang dihasilkan mereka tidak memuaskan rakyat.

DPR juga kerap dikritik oleh sebagian besar masyarakat Indonesia karena dianggap malas dalam bekerja. Hal ini terbukti dari pemberian
fasilitas mewah, seperti gaji besar, kendaraan, dan perumahan, namun tidak sebanding dengan hasil yang diberikan. Hal lain yang sudah
menjadi rahasia umum adalah banyaknya anggota yang "bolos" dalam sidang paripurna, atau sekedar "menitip absen", sehingga seolah-olah
hadir, namun kenyataannya tidak.

Kalaupun hadir, sebagian oknum anggota ternyata tidur saat sidang, main game, atau melakukan tindakan lain selain mengikuti proses rapat
paripurna. Kasus terbaru adalah putra Presiden, Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas), yang tertangkap kamera sedang menitip absen saat rapat
paripurna DPR membahas Undang-Undang Pencegahan Pendanaan Terorisme [1][2].

Dalam konsep Trias Politika, di mana DPR berperan sebagai lembaga legislatif yang berfungsi untuk membuat undang-undang dan
mengawasi jalannya pelaksanaan undang-undang yang dilakukan oleh pemerintah sebagai lembaga eksekutif. Fungsi pengawasan dapat
dikatakan telah berjalan dengan baik apabila DPR dapat melakukan tindakan kritis atas kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang
tidak sesuai dengan kepentingan rakyat. Sementara itu, fungsi legislasi dapat dikatakan berjalan dengan baik apabila produk hukum yang
dikeluarkan oleh DPR dapat memenuhi aspirasi dan kepentingan seluruh rakyat.

Fungsi
DPR mempunyai fungsi ; legislasi, anggaran, dan pengawasan yang dijalankan dalam kerangka representasi rakyat.

Legislasi
Fungsi Legislasi dilaksanakan untuk membentuk undang-undang bersama presiden.

Anggaran
Fungsi anggaran dilaksanakan untuk membahas dan memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap rancangan
undang-undang tentang APBN yang diajukan oleh Presiden.

Pengawasan
Fungsi pengawasan dilaksanakan melalui pengawasan atas pelaksanaan undang-undang dan APBN.

Hak
DPR mempunyai beberapa hak, yaitu; hak interpelasi, hak angket, hak imunitas, dan hak menyatakan pendapat.

Hak interpelasi
Hak interpelasi adalah hak DPR untuk meminta keterangan kepada Pemerintah mengenai kebijakan Pemerintah yang penting dan strategis
serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Hak angket
Hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang
berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Hak imunitas
Hak imunitas adalah kekebalan hukum dimana setiap anggota DPR tidak dapat dituntut di hadapan dan di luar pengadilan karena pernyataan,
pertanyaan/pendapat yang dikemukakan secara lisan ataupun tertulis dalam rapat-rapat DPR, sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan
Tata Tertib dan kode etik.

Hak menyatakan pendapat


Hak menyatakan pendapat adalah hak DPR untuk menyatakan pendapat atas:
 Kebijakan Pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau di dunia internasional
 Tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket
 Dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela, dan/atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak
lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Anggota

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Daftar anggota Dewan Perwakilan Rakyat 2009–2014

Hak anggota
Anggota DPR mempunyai hak:
 mengajukan usul rancangan undang-undang
 mengajukan pertanyaan
 menyampaikan usul dan pendapat
 memilih dan dipilih
 membela diri
 imunitas
 protokoler
 keuangan dan administratif
Kewajiban anggota
Anggota DPR mempunyai kewajiban:
 memegang teguh dan mengamalkan Pancasila
 melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menaati peraturan perundangundangan
 mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia
 mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan
 memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat
 menaati prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara
 menaati tata tertib dan kode etik
 menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga lain
 menyerap dan menghimpun aspirasi konstituen melalui kunjungan kerja secara berkala
 menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat
 memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada konstituen di daerah pemilihannya

Larangan
Anggota DPR tidak boleh merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, hakim pada badan peradilan, pegawai negeri sipil, anggota
TNI/Polri, pegawai pada BUMN/BUMD atau badan lain yang anggarannya bersumber dari APBN/APBD.
Anggota DPR juga tidak boleh melakukan pekerjaan sebagai pejabat struktural pada lembaga pendidikan swasta, akuntan publik, konsultan,
advokat/pengacara, notaris, dokter praktek dan pekerjaan lain yang ada hubungannya dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota
DPR.

Penyidikan
Jika anggota DPR diduga melakukan perbuatan pidana, pemanggilan, permintaan keterangan, dan penyidikannya harus mendapat
persetujuan tertulis dari Presiden. Ketentuan ini tidak berlaku apabila anggota DPR melakukan tindak pidana korupsi dan terorisme serta
tertangkap tangan.

Fraksi
Untuk mengoptimalkan pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang DPR, serta hak dan kewajiban anggota DPR, dibentuk fraksi sebagai
wadah berhimpun anggota DPR. Dalam mengoptimalkan pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang DPR, serta hak dan kewajiban anggota
DPR, fraksi melakukan evaluasi terhadap kinerja anggota fraksinya dan melaporkan kepada publik. Setiap anggota DPR harus menjadi
anggota salah satu fraksi. Fraksi dapat dibentuk oleh partai politik yang memenuhi ambang batas perolehan suara dalam penentuan perolehan
kursi DPR. Fraksi mempunyai sekretariat. Sekretariat Jenderal DPR menyediakan sarana, anggaran, dan tenaga ahli guna kelancaran
pelaksanaan tugas fraksi.

Fraksi Jumlah Anggota Ketua


Fraksi Partai Demokrat (F-PD) 148 Mohammad Jafar Hafsah[3][4]
Fraksi Partai Golongan Karya (F-PG) 107 Setya Novanto
Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP) 94 Tjahjo Kumolo
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) 57 Hidayat Nurwahid[5]
Fraksi Partai Amanat Nasional (F-PAN) 46 Asman Abnur
Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) 37 Hasrul Azwar
Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (F-PKB) 28 Marwan Ja'far
Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya (F-Gerindra) 26 Ahmad Muzani
Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat (F-Hanura) 17 Ahmad Fauzi

Alat kelengkapan
Alat kelengkapan DPR terdiri atas: Pimpinan, Badan Musyawarah, Komisi, Badan Legislasi, Badan Anggaran, Badan Akuntabilitas
Keuangan Negara, Badan Kehormatan, Badan Kerjasama Antar-Parlemen, Badan Urusan Rumah Tangga, Panitia Khusus dan alat
kelengkapan lain yang diperlukan dan dibentuk oleh rapat paripurna.
Dalam menjalankan tugasnya, alat kelengkapan dibantu oleh unit pendukung yang tugasnya diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.

Pimpinan
Pimpinan DPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 4 (empat) orang wakil ketua yang berasal dari partai politik berdasarkan urutan perolehan
kursi terbanyak di DPR. Ketua DPR ialah anggota DPR yang berasal dari partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama di DPR.
Wakil Ketua DPR ialah anggota DPR yang berasal dari partai politik yang memperoleh kursi terbanyak kedua, ketiga, keempat, dan kelima.
Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak sama, ketua dan wakil ketua ditentukan berdasarkan
urutan hasil perolehan suara terbanyak dalam pemilihan umum. Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh suara
sama, ketua dan wakil ketua ditentukan berdasarkan persebaran perolehan suara.
Dalam hal pimpinan DPR belum terbentuk, DPR dipimpin oleh pimpinan sementara DPR. Pimpinan sementara DPR terdiri atas 1 (satu)
orang ketua dan 1 (satu) orang wakil ketua yang berasal dari 2 (dua) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama dan kedua di
DPR. Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak sama, ketua dan wakil ketua sementara DPR
ditentukan secara musyawarah oleh wakil partai politik bersangkutan yang ada di DPR. Ketua dan wakil ketua DPR diresmikan dengan
keputusan DPR. Pimpinan DPR sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji yang teksnya dipandu oleh Ketua Mahkamah
Agung.

Tugas
Pimpinan DPR bertugas:
 memimpin sidang DPR dan menyimpulkan hasil sidang untuk diambil keputusan
 menyusun rencana kerja pimpinan
 melakukan koordinasi dalam upaya menyinergikan pelaksanaan agenda dan materi kegiatan dari alat kelengkapan DPR
 menjadi juru bicara DPR
 melaksanakan dan memasyarakatkan keputusan DPR
 mewakili DPR dalam berhubungan dengan lembaga negara lainnya
 mengadakan konsultasi dengan Presiden dan pimpinan lembaga negara lainnya sesuai dengan keputusan DPR
 mewakili DPR di pengadilan
 melaksanakan keputusan DPR berkenaan dengan penetapan sanksi atau rehabilitasi anggota sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan
 menyusun rencana anggaran DPR bersama Badan Urusan Rumah Tangga yang pengesahannya dilakukan dalam rapat paripurna
 menyampaikan laporan kinerja dalam rapat paripurna DPR yang khusus diadakan untuk itu

Berhenti
Pimpinan DPR berhenti dari jabatannya karena:
 meninggal dunia
 mengundurkan diri
 diberhentikan

Pimpinan DPR diberhentikan apabila :


 tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota DPR selama 3 (tiga) bulan
berturut-turut tanpa keterangan apa pun
 melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPR berdasarkan keputusan rapat paripurna setelah dilakukan pemeriksaan oleh
Badan Kehormatan DPR
 dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak
pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih
 diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan
 ditarik keanggotaannya sebagai anggota DPR oleh partai politiknya
 melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini
 diberhentikan sebagai anggota partai politik berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dalam hal salah seorang pimpinan DPR berhenti dari jabatannya, anggota pimpinan lainnya menetapkan salah seorang di antara pimpinan
untuk melaksanakan tugas pimpinan yang berhenti sampai dengan ditetapkannya pimpinan yang definitif. Dalam hal salah seorang pimpinan
DPR berhenti, penggantinya berasal dari partai politik yang sama. Pimpinan DPR diberhentikan sementara dari jabatannya apabila
dinyatakan sebagai terdakwa karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. Dalam hal
pimpinan DPR dinyatakan tidak terbukti melakukan tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap, pimpinan DPR yang bersangkutan melaksanakan kembali tugasnya sebagai pimpinan DPR.

Badan Musyawarah

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Badan Musyawarah Dewan Perwakilan Rakyat
Badan Musyawarah (disingkat Bamus) dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap. DPR menetapkan
susunan dan keanggotaan Badan Musyawarah pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang. Anggota Badan
Musyawarah berjumlah paling banyak 1/10 (satu persepuluh) dari jumlah anggota DPR berdasarkan perimbangan jumlah anggota tiap-tiap
fraksi yang ditetapkan oleh rapat paripurna. Pimpinan DPR karena jabatannya juga sebagai pimpinan Badan Musyawarah.

Tugas
Badan Musyawarah bertugas:
1. menetapkan agenda DPR untuk 1 (satu) tahun sidang, 1 (satu) masa persidangan, atau sebagian dari suatu masa sidang,
perkiraan waktu penyelesaian suatu masalah, dan jangka waktu penyelesaian rancangan undang-undang, dengan tidak
mengurangi kewenangan rapat paripurna untuk mengubahnya
2. memberikan pendapat kepada pimpinan DPR dalam menentukan garis kebijakan yang menyangkut pelaksanaan tugas dan
wewenang DPR;
3. meminta dan/atau memberikan kesempatan kepada alat kelengkapan DPR yang lain untuk memberikan keterangan/penjelasan
mengenai pelaksanaan tugas masing-masing
4. mengatur lebih lanjut penanganan suatu masalah dalam hal undang-undang mengharuskan Pemerintah atau pihak lainnya
melakukan konsultasi dan koordinasi dengan DPR
5. menentukan penanganan suatu rancangan undangundang atau pelaksanaan tugas DPR lainnya oleh alat kelengkapan DPR
6. mengusulkan kepada rapat paripurna mengenai jumlah komisi, ruang lingkup tugas komisi, dan mitra kerja komisi yang telah
dibahas dalam konsultasi pada awal masa keanggotaan DPR
7. melaksanakan tugas lain yang diserahkan oleh rapat paripurna kepada Badan Musyawarah

Komisi

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Komisi Dewan Perwakilan Rakyat
Komisi dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap. DPR menetapkan jumlah komisi pada permulaan masa
keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang. Jumlah anggota komisi ditetapkan dalam rapat paripurna menurut perimbangan dan
pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada permulaan tahun sidang.
Pimpinan komisi merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial. Pimpinan komisi terdiri atas 1 (satu) orang ketua
dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua, yang dipilih dari dan oleh anggota komisi berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan
proporsional dengan memperhatikan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi. Pemilihan pimpinan
komisi dalam rapat komisi yang dipimpin oleh pimpinan DPR setelah penetapan susunan dan keanggotaan komisi.
Tugas
Tugas komisi dalam pembentukan undang-undang adalah mengadakan persiapan, penyusunan, pembahasan, dan penyempurnaan rancangan
undang-undang.

Tugas komisi di bidang anggaran adalah:


1. mengadakan pembicaraan pendahuluan mengenai penyusunan rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara yang
termasuk dalam ruang lingkup tugasnya bersama-sama dengan Pemerintah;
2. mengadakan pembahasan dan mengajukan usul penyempurnaan rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara yang
termasuk dalam ruang lingkup tugasnya bersama-sama dengan Pemerintah;
3. membahas dan menetapkan alokasi anggaran untuk fungsi, program, dan kegiatan kementerian/lembaga yang menjadi mitra
kerja komisi;
4. mengadakan pembahasan laporan keuangan negara dan pelaksanaan APBN termasuk hasil pemeriksaan BPK yang berkaitan
dengan ruang lingkup tugasnya;
5. menyampaikan hasil pembicaraan pendahuluan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan hasil pembahasan, kepada Badan
Anggaran untuksinkronisasi;
6. menyempurnakan hasil sinkronisasi Badan Anggaran berdasarkan penyampaian usul komisi; dan
7. menyerahkan kembali kepada Badan Anggaran hasil pembahasan komisi, untuk bahan akhir penetapan APBN.

Tugas komisi di bidang pengawasan adalah:


1. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang, termasuk APBN, serta peraturan pelaksanaannya yang
termasuk dalam ruang lingkup tugasnya;
2. membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK yang berkaitan dengan ruang lingkup tugasnya;
3. melakukan pengawasan terhadap kebijakan Pemerintah; dan
4. membahas dan menindaklanjuti usulan DPD.

Komisi dalam melaksanakan, dapat mengadakan:


1. rapat kerja dengan Pemerintah yang diwakili oleh menteri/pimpinan lembaga;
2. konsultasi dengan DPD;
3. rapat dengar pendapat dengan pejabat Pemerintah yang mewakili instansinya;
4. rapat dengar pendapat umum, baik atas permintaan komisi maupun atas permintaan pihak lain;
5. rapat kerja dengan menteri atau rapat dengar pendapat dengan pejabat Pemerintah yang mewakili instansinya yang tidak
termasuk dalam ruang lingkup tugasnya apabila diperlukan; dan/atau
6. kunjungan kerja.

Komisi menentukan tindak lanjut hasil pelaksanaan tugas komisi. Keputusan dan/atau kesimpulan hasil rapat kerja komisi atau rapat kerja
gabungan komisi bersifat mengikat antara DPR dan Pemerintah. Komisi membuat laporan kinerja pada akhir masa keanggotaan DPR, baik
yang sudah maupun yang belum terselesaikan untuk dapat digunakan sebagai bahan oleh komisi pada masa keanggotaan berikutnya. Komisi
menyusun rancangan anggaran untuk pelaksanaan tugasnya sesuai dengan kebutuhan yang selanjutnya disampaikan kepada Badan Urusan
Rumah Tangga.

Komisi adalah unit kerja utama di dalam DPR. Hampir seluruh aktivitas yang berkaitan dengan fungsi-fungsi DPR, substansinya dikerjakan
di dalam komisi. Setiap anggota DPR (kecuali pimpinan) harus menjadi anggota salah satu komisi. Pada umumnya, pengisian keanggotan
komisi terkait erat dengan latar belakang keilmuan atau penguasaan anggota terhadap masalah dan substansi pokok yang digeluti oleh
komisi.

Pada periode 2009-2014, DPR mempunyai 11 komisi dengan ruang lingkup tugas, yaitu :
 Komisi I, membidangi pertahanan, luar negeri, dan informasi.
 Komisi II, membidangi pemerintahan dalam negeri, otonomi daerah, aparatur negara, dan agraria.
 Komisi III, membidangi hukum dan perundang-undangan, hak asasi manusia, dan keamanan.
 Komisi IV, membidangi pertanian, perkebunan, kehutanan, kelautan, perikanan, dan pangan.
 Komisi V, membidangi perhubungan, telekomunikasi, pekerjaan umum, perumahan rakyat, pembangunan pedesaan dan
kawasan tertinggal.
 Komisi VI, membidangi perdagangan, perindustrian, investasi, koperasi, usaha kecil dan menengah), dan badan usaha milik
negara.
 Komisi VII, membidangi energi, sumber daya mineral, riset dan teknologi, dan lingkungan.
 Komisi VIII, membidangi agama, sosial dan pemberdayaan perempuan.
 Komisi IX, membidangi kependudukan, kesehatan, tenaga kerja dan transmigrasi.
 Komisi X, membidangi pendidikan, pemuda, olahraga, pariwisata, kesenian, dan kebudayaan.
 Komisi XI, membidangi keuangan, perencanaan pembangunan nasional, perbankan, dan lembaga keuangan bukan bank.

Badan Legislasi

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat
Badan Legislasi dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap. DPR menetapkan susunan dan keanggotaan
Badan Legislasi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang. Jumlah anggota Badan Legislasi ditetapkan dalam
rapat paripurna menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada
permulaan tahun sidang.

Pimpinan Badan Legislasi merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial. Pimpinan Badan Legislasi terdiri atas 1
(satu) orang ketua dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota Badan Legislasi berdasarkan prinsip
musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan memperhatikan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-
tiap fraksi. Pemilihan pimpinan Badan Legislasi dilakukan dalam rapat Badan Legislasi yang dipimpin oleh pimpinan DPR setelah penetapan
susunan dan keanggotaan Badan Legislasi.
Tugas
Badan Legislasi bertugas:
1. menyusun rancangan program legislasi nasional yang memuat daftar urutan dan prioritas rancangan undang-undang beserta
alasannya untuk 1 (satu) masa keanggotaan dan untuk setiap tahun anggaran di lingkungan DPR dengan mempertimbangkan
masukan dari DPD;
2. mengoordinasi penyusunan program legislasi nasional antara DPR dan Pemerintah;
3. menyiapkan rancangan undang-undang usul DPR berdasarkan program prioritas yang telah ditetapkan;
4. melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi rancangan undang-undang yang diajukan anggota,
komisi, gabungan komisi, atau DPD sebelum rancangan undang-undang tersebut disampaikan kepada pimpinan DPR;
5. memberikan pertimbangan terhadap rancangan undang-undang yang diajukan oleh anggota, komisi, gabungan komisi, atau
DPD di luar prioritas rancangan undang-undang tahun berjalan atau di luar rancangan undang-undang yang terdaftar dalam
program legislasi nasional;
6. melakukan pembahasan, pengubahan, dan/atau penyempurnaan rancangan undang-undang yang secara khusus ditugaskan
oleh Badan Musyawarah;
7. mengikuti perkembangan dan melakukan evaluasi terhadap pembahasan materi muatan rancangan undang-undang melalui
koordinasi dengan komisi dan/atau panitia khusus;
8. memberikan masukan kepada pimpinan DPR atas rancangan undang-undang usul DPD yang ditugaskan oleh Badan
Musyawarah; dan
9. membuat laporan kinerja dan inventarisasi masalah di bidang perundang-undangan pada akhir masa keanggotaan DPR untuk
dapat digunakan oleh Badan Legislasi pada masa keanggotaan berikutnya.

Badan Legislasi menyusun rancangan anggaran untuk pelaksanaan tugasnya sesuai dengan kebutuhan yang selanjutnya disampaikan kepada
Badan Urusan Rumah Tangga.

Badan Anggaran

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat
Badan Anggaran dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap. DPR menetapkan susunan dan keanggotaan
Badan Anggaran menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada
permulaan tahun sidang. Susunan dan keanggotaan Badan Anggaran terdiri atas anggota dari tiap-tiap komisi yang dipilih oleh komisi
dengan memperhatikan perimbangan jumlah anggota dan usulan fraksi.

Pimpinan Badan Anggaran merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial. Pimpinan Badan Anggaran terdiri atas 1
(satu) orang ketua dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota Badan Anggaran berdasarkan prinsip
musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan mempertimbangkan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota
tiap-tiap fraksi. Pemilihan pimpinan Badan Anggaran dilakukan dalam rapat Badan Anggaran yang dipimpin oleh pimpinan DPR setelah
penetapan susunan dan keanggotaan Badan Anggaran.

Tugas
Badan Anggaran bertugas:
1. membahas bersama Pemerintah yang diwakili oleh menteri untuk menentukan pokok-pokok kebijakan fiskal secara umum dan
prioritas anggaran untuk dijadikan acuan bagi setiap kementerian/lembaga dalam menyusun usulan anggaran;
2. menetapkan pendapatan negara bersama Pemerintah dengan mengacu pada usulan komisi terkait;
3. membahas rancangan undang-undang tentang APBN bersama Presiden yang dapat diwakili oleh menteri dengan mengacu pada
keputusan rapat kerja komisi dan Pemerintah mengenai alokasi anggaran untuk fungsi, program, dan kegiatan
kementerian/lembaga;
4. melakukan sinkronisasi terhadap hasil pembahasan di komisi mengenai rencana kerja dan anggaran kementerian/lembaga;
5. membahas laporan realisasi dan prognosis yang berkaitan dengan APBN; dan
6. membahas pokok-pokok penjelasan atas rancangan undang-undang tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN.

Badan Anggaran hanya membahas alokasi anggaran yang sudah diputuskan oleh komisi. Anggota komisi dalam Badan Anggaran harus
mengupayakan alokasi anggaran yang diputuskan komisi dan menyampaikan hasil pelaksanaan tugas.

Badan Akuntabilitas Keuangan Negara

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Badan Akuntabilitas Keuangan Negara Dewan Perwakilan Rakyat
Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (disingkat BAKN), dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap.
DPR menetapkan susunan dan keanggotaan BAKN pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang. Anggota BAKN
berjumlah paling sedikit 7 (tujuh) orang dan paling banyak 9 (sembilan) orang atas usul fraksi DPR yang ditetapkan dalam rapat paripurna
pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang.

Pimpinan BAKN merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial. Pimpinan BAKN terdiri atas 1 (satu) orang ketua
dan 1 (satu) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota BAKN berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dengan
memperhatikan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi. Pemilihan pimpinan BAKN dilakukan dalam
rapat BAKN yang dipimpin oleh pimpinan DPR setelah penetapan susunan dan keanggotaan BAKN.

Tugas
BAKN bertugas:
1. melakukan penelaahan terhadap temuan hasil pemeriksaan BPK yang disampaikan kepada DPR;
2. menyampaikan hasil penelaahan kepada komisi;
3. menindaklanjuti hasil pembahasan komisi terhadap temuan hasil pemeriksaan BPK atas permintaan komisi; dan
4. memberikan masukan kepada BPK dalam hal rencana kerja pemeriksaan tahunan, hambatan pemeriksaan, serta penyajian dan
kualitas laporan.

Dalam melaksanakan tugas BAKN dapat meminta penjelasan dari BPK, Pemerintah, pemerintah daerah, lembaga negara lainnya, Bank
Indonesia, badan usaha milik negara, badan layanan umum, badan usaha milik daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola
keuangan negara. BAKN dapat mengusulkan kepada komisi agar BPK melakukan pemeriksaan lanjutan. Hasil kerja disampaikan kepada
pimpinan DPR dalam rapat paripurna secara berkala.
Dalam melaksanakan tugas, BAKN dapat dibantu oleh akuntan, ahli, analis keuangan, dan/atau peneliti.

Badan Kehormatan

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat
Badan Kehormatan dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap. DPR menetapkan susunan dan
keanggotaan Badan Kehormatan dengan memperhatikan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi pada permulaan masa
keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang. Anggota Badan Kehormatan berjumlah 11 (sebelas) orang dan ditetapkan dalam rapat
paripurna pada permulaan masa keanggotan DPR dan pada permulaan tahun sidang.

Pimpinan Badan Kehormatan merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial. Pimpinan Badan Kehormatan terdiri
atas 1 (satu) orang ketua dan 2 (dua) orang wakil ketua, yang dipilih dari dan oleh anggota Badan Kehormatan berdasarkan prinsip
musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan memperhatikan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-
tiap fraksi. Pemilihan pimpinan Badan Kehormatan dilakukan dalam rapat Badan Kehormatan yang dipimpin oleh pimpinan DPR setelah
penetapan susunan dan keanggotaan Badan Kehormatan.

Tugas
Badan Kehormatan bertugas melakukan penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan terhadap anggota karena:
1. tidak melaksanakan kewajiban;
2. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota DPR selama 3 (tiga) bulan
berturut-turut tanpa keterangan apa pun;
3. tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPR yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6
(enam) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah;
4. tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai
pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD; dan/atau
5. melanggar ketentuan larangan.

Selain tugas tersebut diatas, Badan Kehormatan melakukan evaluasi dan penyempurnaan peraturan DPR tentang kode etik DPR. Badan
Kehormatan berwenang memanggil pihak terkait dan melakukan kerja sama dengan lembaga lain. Badan Kehormatan membuat laporan
kinerja pada akhir masa keanggotaan.

Badan Kerja Sama Antar-Parlemen

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Badan Kerja Sama Antar-Parlemen Dewan Perwakilan Rakyat
Badan Kerja Sama Antar-Parlemen, yang selanjutnya disingkat BKSAP, dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang
bersifat tetap. DPR menetapkan susunan dan keanggotaan BKSAP pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang.
Jumlah anggota BKSAP ditetapkan dalam rapat paripurna menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi pada
permulaan masa keanggotaan DPR dan pada permulaan tahun sidang.

Pimpinan BKSAP merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial.P impinan BKSAP terdiri atas 1 (satu) orang ketua
dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua, yang dipilih dari dan oleh anggota BKSAP berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat
dan proporsional dengan memperhatikan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi. Pemilihan pimpinan
BKSAP dilakukan dalam rapat BKSAP yang dipimpin oleh pimpinan DPR setelah penetapan susunan dan keanggotaan BKSAP.

Tugas
BKSAP bertugas:
1. membina, mengembangkan, dan meningkatkan hubungan persahabatan dan kerja sama antara DPR dan parlemen negara lain,
baik secara bilateral maupun multilateral, termasuk organisasi internasional yang menghimpun parlemen dan/atau anggota
parlemen negara lain;
2. menerima kunjungan delegasi parlemen negara lain yang menjadi tamu DPR;
3. mengoordinasikan kunjungan kerja alat kelengkapan DPR ke luar negeri; dan
4. memberikan saran atau usul kepada pimpinan DPR tentang masalah kerja sama antarparlemen.

BKSAP membuat laporan kinerja pada akhir masa keanggotaan baik yang sudah maupun yang belum terselesaikan untuk dapat digunakan
sebagai bahan oleh BKSAP pada masa keanggotaan berikutnya.

Badan Urusan Rumah Tangga

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Badan Urusan Rumah Tangga Dewan Perwakilan Rakyat
Badan Urusan Rumah Tangga (disingkat BURT), dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap. DPR
menetapkan susunan dan keanggotaan BURT pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang. Jumlah anggota BURT
ditetapkan dalam rapat paripurna menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan
DPR dan pada permulaan tahun sidang.

Pimpinan BURT merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial. Pimpinan BURT terdiri atas 1 (satu) orang ketua
yang dijabat oleh Ketua DPR dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota BURT berdasarkan prinsip
musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan memperhatikan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-
tiap fraksi. Pemilihan pimpinan BURT sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam rapat BURT yang dipimpin oleh pimpinan
DPR setelah penetapan susunan dan keanggotaan BURT.

Tugas
BURT bertugas:
1. menetapkan kebijakan kerumahtanggaan DPR;
2. melakukan pengawasan terhadap Sekretariat Jenderal DPR dalam pelaksanaan kebijakan kerumahtanggaan DPR sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, termasuk pelaksanaan dan pengelolaan anggaran DPR;
3. melakukan koordinasi dengan alat kelengkapan DPD dan alat kelengkapan MPR yang berhubungan dengan masalah
kerumahtanggaan DPR, DPD, dan MPR yang ditugaskan oleh pimpinan DPR berdasarkan hasil rapat Badan Musyawarah;
4. menyampaikan hasil keputusan dan kebijakan BURT kepada setiap anggota DPR; dan
5. menyampaikan laporan kinerja dalam rapat paripurna DPR yang khusus diadakan untuk itu.

Panitia Khusus

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Panitia Khusus Dewan Perwakilan Rakyat
Panitia khusus dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat sementara. DPR menetapkan susunan dan
keanggotaan panitia khusus berdasarkan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi. Jumlah anggota panitia khusus
ditetapkan oleh rapat paripurna paling banyak 30 (tiga puluh) orang.
Pimpinan panitia khusus merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial. Pimpinan panitia khusus terdiri atas 1 (satu)
orang ketua dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota panitia khusus berdasarkan prinsip musyawarah
untuk mufakat dan proporsional dengan memperhatikan jumlah panitia khusus yang ada serta keterwakilan perempuan menurut perimbangan
jumlah anggota tiap-tiap fraksi. Pemilihan pimpinan panitia khusus sebagaimana dilakukan dalam rapat panitia khusus yang dipimpin oleh
pimpinan DPR setelah penetapan susunan dan keanggotaan panitia khusus.

Panitia khusus bertugas melaksanakan tugas tertentu dalam jangka waktu tertentu yang ditetapkan oleh rapat paripurna. Panitia khusus
bertanggung jawab kepada DPR. Panitia khusus dibubarkan oleh DPR setelah jangka waktu penugasannya berakhir atau karena tugasnya
dinyatakan selesai. Rapat paripurna menetapkan tindak lanjut hasil kerja panitia khusus.

Sekretariat Jenderal

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
Sekretariat Jenderal DPR-RI merupakan unsur penunjang DPR, yang berkedududukan sebagai Kesekretariatan Lembaga Negara yang
dipimpin oleh seorang Sekretaris Jenderal dan dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada Pimpinan DPR. Sekretaris Jenderal
diangkat dan diberhentikan dengan Keputusan Presiden atas usul Pimpinan DPR. Sekretariat Jenderal DPR RI personelnya terdiri atas
Pegawai Negeri Sipil. Susunan organisasi dan tata kerja Sekretaris Jenderal ditetapkan dengan keputusan Presiden.

Sekretaris Jenderal dibantu oleh seorang Wakil Sekretaris Jenderal dan beberapa Deputi Sekretaris Jenderal yang diangkat dan diberhentikan
oleh Presiden atas usul Pimpinan DPR..
DPR dapat mengangkat sejumlah pakar/ahli sesuai dengan kebutuhan, dan dalam melaksanakan tugasnya Sekretariat Jenderal dapat
membentuk Tim Asistensi.
Sekretaris Jendral DPR-RI saat ini dijabat oleh Dra. Nining Indra Shaleh, MSi.

Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia 2009-2014

Jenis
Jenis Lembaga Negara pada Perwakilan Daerah
Kepemimpinan
Irman Gusman, Utusan Sumatera Barat
Ketua
sejak 1 Oktober 2009
Gusti Kanjeng Ratu Hemas, Utusan D.I Yogyakarta
Wakil Ketua
sejak 1 Oktober 2009
La Ode Ida, Utusan Sulawesi Tenggara
Wakil Ketua
sejak 1 Oktober 2009
Struktur
Anggota 132
Pemilihan
Pemilihan terakhir 9 April 2009
Dewan Perwakilan Daerah (disingkat DPD), sebelum 2004 disebut Utusan Daerah, adalah lembaga tinggi negara dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia yang anggotanya merupakan perwakilan dari setiap provinsi yang dipilih melalui Pemilihan Umum.

DPD memiliki fungsi:


 Pengajuan usul, ikut dalam pembahasan dan memberikan pertimbangan yang berkaitan dengan bidang legislasi tertentu
 Pengawasan atas pelaksanaan Undang-Undang tertentu.

Anggota DPD dari setiap provinsi adalah 4 orang. Dengan demikian jumlah anggota DPD saat ini adalah 132 orang. Masa jabatan anggota
DPD adalah 5 tahun, dan berakhir bersamaan pada saat anggota DPD yang baru mengucapkan sumpah/janji.

Sejarah
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) lahir pada tanggal 1 Oktober 2004, ketika 128 anggota DPD yang terpilih untuk pertama kalinya dilantik
dan diambil sumpahnya. Pada awal pembentukannya, masih banyak tantangan yang dihadapi oleh DPD. Tantangan tersebut mulai dari
wewenangnya yang dianggap jauh dari memadai untuk menjadi kamar kedua yang efektif dalam sebuah parlemen bikameral, sampai dengan
persoalan kelembagaannya yang juga jauh dari memadai. Tantangan-tantangan tersebut timbul terutama karena tidak banyak dukungan
politik yang diberikan kepada lembaga baru ini.[1]

Keberadaan lembaga seperti DPD, yang mewakili daerah di parlemen nasional, sesungguhnya sudah terpikirkan dan dapat dilacak sejak
sebelum masa kemerdekaan. Gagsan tersebut dikemukakan oleh Moh. Yamin dalam rapat perumusan UUD 1945 oleh Badan Penyelidik
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).[1]
Gagasan-gagasan akan pentingnya keberadaan perwakilan daerah di parlemen, pada awalnya diakomodasi dalam konstitusi pertama
Indonesia, UUD 1945, dengan konsep “utusan daerah” di dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang bersanding dengan “utusan
golongan” dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hal tersebut diatur dalam Pasal 2 UUD 1945, yang menyatakan bahwa “MPR
terdiri atas anggota DPR ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan
undang-undang.” Pengaturan yang longgar dalam UUD 1945 tersebut kemudian diatur lebih lanjut dalam berbagai peraturan perundang-
undangan.[1]

Dalam periode konstitusi berikutnya, UUD Republik Indonesia Serikat (RIS), gagasan tersebut diwujudkan dalam bentuk Senat Republik
Indonesia Serikat yang mewakili negara bagian dan bekerja bersisian dengan DPR-RIS. [1]

Alat kelengkapan
Alat kelengkapan DPD terdiri atas: Pimpinan, Komite, Badan Kehormatan dan Panitia-panitia lain yang diperlukan.

Pimpinan
Pimpinan DPD terdiri atas seorang ketua dan dua wakil ketua. Selain bertugas memimpin sidang, pimpinan DPD juga sebagai juru bicara
DPD. Ketua DPD periode 2009–2014 adalah Irman Gusman.

Pimpinan DPD periode 2009–2014 adalah:


 Ketua: Irman Gusman (Sumatera Barat)
 Wakil Ketua: Gusti Kanjeng Ratu Hemas (DI Yogyakarta)
 Wakil Ketua: La Ode Ida (Sulawesi Tenggara)

Sekretariat Jenderal
Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas DPD, dibentuk Sekretariat Jenderal DPD yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden, dan
personelnya terdiri atas Pegawai Negeri Sipil. Sekretariat Jenderal DPD dipimpin seorang Sekretaris Jenderal yang diangkat dan
diberhentikan dengan Keputusan Presiden atas usul Pimpinan DPD.

Komite
Berikut ini adalah daftar komite DPD beserta jajaran pimpinannya untuk periode 2010-2011: [2]
 Komite I DPD membidangi otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, serta antardaerah, pembentukan, pemekaran, dan
penggabungan daerah; pemukiman dan kependudukan, pertanahan, dan tata ruang, serta politik, hukum dan hak asasi manusia
(HAM).
o Ketua Komite I: Dani Anwar (DKI Jakarta)
o Wakil Ketua: Eni Khairani (Bengkulu) dan Ferry FX Tinggogoy (Sulawesi Utara)
 Komite II DPD membidangi pertanian dan perkebunan, perhubungan, kelautan dan perikanan, energi dan sumber daya mineral,
kehutanan dan lingkungan hidup, pemberdayaan ekonomi kerakyatan dan daerah tertinggal, perindustrian dan perdagangan;
penanaman modal dan pekerjaan umum.
o Ketua Komite II: Bambang Susilo (Kalimantan Timur)
o Wakil Ketua: Mursyid (Nanggroe Aceh Darussalam) dan Budi Doku (Gorontalo)
 Komite III DPD membidangi pendidikan, agama, kebudayaan, kesehatan; pariwisata, pemuda dan olahraga, kesejahteraan sosial,
pemberdayaan perempuan, dan ketenagakerjaan.
o Ketua Komite III: Istibsyaroh (Jawa Timur)
o Wakil Ketua: Ahmad Jajuli (Lampung) dan Abdul Azis Qahhar Mudzakkar (Sulawesi Selatan)
 Komite IV DPD membidangi anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), pajak, perimbangan keuangan pusat dan daerah,
lembaga keuangan dan koperasi, usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).
o Ketua Komite IV: John Pieris (Maluku)
o Wakil Ketua: Abdul Gafar Usman (Riau) dan R. Ella M. Giri Komala (Jawa Barat).

Kepanitiaan
Berikut ini adalah daftar kepanitiaan DPD beserta jajaran pimpinannya untuk periode 2010-2011: [2]
 Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU)
o Ketua: I Wayan Sudirta (Bali)
o Wakil Ketua: Muhammad Syukur (Jambi) dan Amang Syafrudin (Jawa Barat)
 Panitia Urusan Rumah Tangga (PURT)
o Ketua: Zulbahri M. (Kepulauan Riau)
o Wakil Ketua: Gusti Kanjeng Ratu Ayu Koess Indriyah (Jawa Tengah) dan Baiq Diyah Ratu Ganefi (Nusa Tenggara Barat)
 Kepanitiaan lainnya antara lain Panitia Akuntabilitas Publik (PAP) DPD, Panitia Hubungan Antar-Lembaga (PHAL) DPD dan
Kelompok DPD di MPR.

Anggota
Lihat pula: Daftar anggota Dewan Perwakilan Daerah 2009–2014

Kekebalan hukum
Anggota DPD tidak dapat dituntut di hadapan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan/pendapat yang dikemukakan secara lisan ataupun
tertulis dalam rapat-rapat DPD, sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Tata Tertib dan kode etik masing-masing lembaga. Ketentuan
tersebut tidak berlaku jika anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan
atau hal-hal mengenai pengumuman rahasia negara.

Pemerintah Indonesia adalah cabang utama pada pemerintahan Indonesia yang menganut sistem presidensial. Pemerintah Indonesia
dikepalai oleh seorang presiden yang dibantu beberapa menteri yang tergabung dalam suatu kabinet. Sebelum tahun 2004, sesuai dengan
UUD 1945, presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Pada Pemilu 2004, untuk pertama kalinya Presiden Indonesia dipilih
langsung oleh rakyat.

Kewenangan
Dalam kaitannya dengan pemerintahan daerah, Pemerintah Indonesia merupakan pemerintah pusat. Kewenangan pemerintah pusat
mencakup kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan
lainnya seperti: kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, pendayagunaan sumber daya
alam serta teknologi tinggi strategis, konservasi dan standardisasi nasional.
Kewenangan lainnya diserahkan kepada (sistem pemerintahan)

Sistem pemerintahan

Pemerintahan pusat
 MPR
 DPR
 DPD
 MA
 MK
 KY
 BPK
 Presiden RI
 Wakil Presiden

Pemerintahan daerah
 Provinsi
 Kabupaten/kota
 Kecamatan dan kelurahan/desa

Presiden Indonesia (nama jabatan resmi: Presiden Republik Indonesia) adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan Indonesia.
Sebagai kepala negara, Presiden adalah simbol resmi negara Indonesia di dunia. Sebagai kepala pemerintahan, Presiden dibantu oleh wakil
presiden dan menteri-menteri dalam kabinet, memegang kekuasaan eksekutif untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintah sehari-hari.
Presiden (dan Wakil Presiden) menjabat selama 5 tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama untuk satu kali masa
jabatan. Ia digaji sekitar 60 juta per bulan.[1]

Wewenang, kewajiban, dan hak


Wewenang, kewajiban, dan hak Presiden antara lain:
 Memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD
 Memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara
 Mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Presiden melakukan pembahasan dan
pemberian persetujuan atas RUU bersama DPR serta mengesahkan RUU menjadi UU.
 Menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (dalam kegentingan yang memaksa)
 Menetapkan Peraturan Pemerintah
 Mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri
 Menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain dengan persetujuan DPR
 Membuat perjanjian internasional lainnya dengan persetujuan DPR
 Menyatakan keadaan bahaya.
 Mengangkat duta dan konsul. Dalam mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan DPR
 Menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan DPR.
 Memberi grasi, rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung
 Memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR
 Memberi gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan lainnya yang diatur dengan UU
 Meresmikan anggota Badan Pemeriksa Keuangan yang dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan Dewan
Perwakilan Daerah
 Menetapkan hakim agung dari calon yang diusulkan oleh Komisi Yudisial dan disetujui DPR
 Menetapkan hakim konstitusi dari calon yang diusulkan Presiden, DPR, dan Mahkamah Agung
 Mengangkat dan memberhentikan anggota Komisi Yudisial dengan persetujuan DPR.

Persyaratan
Syarat Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia menurut UU No 42 tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sebagai
berikut:
1. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
2. Warga Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri
3. Tidak pernah mengkhianati negara, serta tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana berat lainnya
4. Mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden
5. Bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
6. Telah melaporkan kekayaannya kepada instansi yang berwenang memeriksa laporan kekayaan penyelenggara negara
7. Tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya
yang merugikan keuangan negara
8. Tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan
9. Tidak pernah melakukan perbuatan tercela
10. Terdaftar sebagai Pemilih
11. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan telah melaksanakan kewajiban membayar pajak selama 5 tahun terakhir yang
dibuktikan dengan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak OrangPribadi
12. Belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama
13. Setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita
Proklamasi 17 Agustus 1945
14. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih
15. Berusia sekurang-kurangnya 35 (tiga puluh lima) tahun
16. Berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK),
Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat
17. Bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang
terlibat langsung dalam G.30.S/PKI
18. Memiliki visi, misi, dan program dalam melaksanakan pemerintahan negara Republik Indonesia

Prangko Presiden Susilo Bambang Yudhoyono

Pemilihan
Menurut Perubahan Ketiga UUD 1945 Pasal 6A, Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat
melalui Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres). Sebelumnya, Presiden (dan Wakil Presiden) dipilih oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat. Dengan adanya Perubahan UUD 1945, Presiden tidak lagi bertanggung jawab kepada MPR, dan kedudukan antara
Presiden dan MPR adalah setara.

Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu sebelumnya. Pilpres pertama
kali di Indonesia diselenggarakan pada tahun 2004.

Jika dalam Pilpres didapat suara >50% jumlah suara dalam pemilu dengan sedikitnya 20% di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari
separuh jumlah provinsi Indonesia, maka dinyatakan sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Jika tidak ada pasangan calon Presiden
dan Wakil Presiden terpilih, maka pasangan yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam Pilpres mengikuti Pilpres Putaran
Kedua. Pasangan yang memperoleh suara terbanyak dalam Pilpres Putaran Kedua dinyatakan sebagai Presiden dan Wakil Presiden Terpilih.

Pemilihan Wakil Presiden yang lowong


Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, Presiden mengajukan 2 calon Wapres kepada MPR. Selambat-lambatnya, dalam waktu 60
hari MPR menyelenggarakan Sidang MPR untuk memilih Wapres.

Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang lowong


Dalam hal Presiden dan Wakil Presiden keduanya berhalangan tetap secara bersamaan, maka partai politik (atau gabungan partai politik)
yang pasangan Calon Presiden/Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam Pilpres sebelumnya, mengusulkan
pasangan calon Presiden/Wakil Presiden kepada MPR.
Selambat-lambatnya dalam waktu 30 hari, MPR menyelenggarakan Sidang MPR untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden.
Pelantikan

Bendera Presiden Indonesia

Sesuai dengan Pasal 9 UUD 1945, Presiden dan Wakil Presiden terpilih bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di
hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat. Jika MPR atau DPR tidak bisa mengadakan sidang, maka
Presiden dan Wakil Presiden terpilih bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan pimpinan MPR dengan
disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung.

Sumpah Presiden (Wakil Presiden) :

“ Demi Allah saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan
sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan
peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa. ”

Janji Presiden (Wakil Presiden) :

“ Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik
Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-
undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa. ”

Pemberhentian

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Pemakzulan

Usul pemberhentian Presiden/Wakil Presiden dapat diajukan oleh DPR.


Apabila DPR berpendapat bahwa Presiden/Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden/Wakil Presiden (dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan DPR), DPR dapat mengajukan permintaan kepada Mahkamah
Konstitusi, jika mendapat dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri sekurang-
kurangnya 2/3 dari jumlah anggota.[2][3]

Jika terbukti menurut UUD 1945 pasal 7A maka DPR dapat mengajukan tuntutan impeachment tersebut kepada Mahkamah Konstitusi RI
kemudian setelah menjalankan persidangan dalam amar putusan Mahkamah Konstitusi RI dapat menyatakan membenarkan pendapat DPR
atau menyatakan menolak pendapat DPR. [4] dan MPR-RI kemudian akan bersidang untuk melaksanakan keputusan Mahkamah Konstitusi RI
tersebut.

Wakil Presiden adalah jabatan pemerintahan yang berada satu tingkat lebih rendah daripada Presiden. Biasanya dalam urutan suksesi, wakil
presiden akan mengambil alih jabatan presiden bila ia berhalangan sementara atau tetap.

Di Indonesia dan negara-negara Amerika Latin, wakil presiden dipilih langsung oleh warga negara dan merupakan satu paket dengan
presiden. Dalam sistem pemilihan umum lain, jabatan wakil presiden dapat juga diserahkan pada kandidat yang memperoleh suara kedua
terbanyak, atau ditunjuk langsung oleh presiden.

Wakil Presiden umumnya ditetapkan oleh konstitusi oleh suatu negara untuk mendampingi sang presiden jika presiden menjalankan tugas-
tugas kenegaraan di negara lain atau jika presiden menyerahkan jabatan kepresidenan baik pengunduran diri atau halangan dalam
menjalankan tugas seperti misalnya mengalami kematian saat menjabat presiden.

Kementerian (nama resmi: Kementerian Negara) adalah lembaga Pemerintah Indonesia yang membidangi urusan tertentu dalam
pemerintahan. Kementerian berkedudukan di ibukota negara yaitu Jakarta dan berada di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden.

Landasan hukum

Wikisource memiliki naskah sumber yang berkaitan dengan artikel ini:


Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2008

Wikisource memiliki naskah sumber yang berkaitan dengan artikel ini:


Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2009

Landasan hukum kementerian adalah Bab V Pasal 17 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa:
1. Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara.
2. Menteri-menteri itu diangkat dan diperhentikan oleh Presiden.
3. Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.
4. Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara diatur dalam undang-undang.

Lebih lanjut, kementerian diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara dan Peraturan Presiden Nomor
47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara.
Lihat pula: Undang-Undang Kementerian Negara
Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran
Pembentukan kementerian dilakukan paling lama 14 hari kerja sejak presiden mengucapkan sumpah/janji. Urusan pemerintahan yang
nomenklatur kementeriannya secara tegas disebutkan dalam UUD 1945 harus dibentuk dalam satu kementerian tersendiri. Untuk
kepentingan sinkronisasi dan koordinasi urusan kementerian, presiden juga dapat membentuk kementerian koordinasi. Jumlah seluruh
kementerian maksimal 34 kementerian.

Kementerian yang membidangi urusan pemerintahan selain yang nomenklatur kementeriannya secara tegas disebutkan dalam UUD 1945
dapat diubah oleh presiden. Pemisahan, penggabungan, dan pembubaran kementerian tersebut dilakukan dengan pertimbangan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), kecuali untuk pembubaran kementerian yang menangani urusan agama, hukum, keamanan, dan keuangan harus
dengan persetujuan DPR.

Daftar saat ini


Setiap kementerian membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan. Berdasarkan Perpres No. 47 Tahun 2009, kementerian-kementerian
tersebut adalah:
 Kementerian yang menangani urusan pemerintahan yang nomenklatur kementeriannya secara tegas disebutkan dalam UUD
1945, terdiri atas:
o Kementerian Dalam Negeri
o Kementerian Luar Negeri
o Kementerian Pertahanan
 Kementerian yang menangani urusan pemerintahan yang ruang lingkupnya disebutkan dalam UUD 1945, terdiri atas:
o Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
o Kementerian Keuangan
o Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
o Kementerian Perindustrian
o Kementerian Perdagangan
o Kementerian Pertanian
o Kementerian Kehutanan
o Kementerian Perhubungan
o Kementerian Kelautan dan Perikanan
o Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
o Kementerian Pekerjaan Umum
o Kementerian Kesehatan
o Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
o Kementerian Sosial
o Kementerian Agama
o Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
o Kementerian Komunikasi dan Informatika
 Kementerian yang menangani urusan pemerintahan dalam rangka penajaman, koordinasi, dan sinkronisasi program
pemerintah, terdiri atas:
o Kementerian Sekretariat Negara
o Kementerian Riset dan Teknologi
o Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah
o Kementerian Lingkungan Hidup
o Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
o Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
o Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal
o Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional
o Kementerian Badan Usaha Milik Negara
o Kementerian Perumahan Rakyat
o Kementerian Pemuda dan Olah Raga
Selain kementerian yang menangani urusan pemerintahan di atas, ada juga kementerian koordinator yang bertugas melakukan sinkronisasi
dan koordinasi urusan kementerian-kementerian yang berada di dalam lingkup tugasnya.
 Kementerian koordinator, terdiri atas:
o Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan
o Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian
o Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat

Susunan organisasi

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Organisasi kementerian negara Indonesia

Kementerian dipimpin oleh menteri yang tergabung dalam sebuah kabinet. Presiden juga dapat mengangkat wakil menteri pada kementerian
tertentu apabila terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus.

Susunan organisasi kementerian adalah sebagai berikut:


 Kementerian yang menangani urusan pemerintahan yang nomenklatur kementeriannya dan/atau ruang lingkupnya disebutkan
dalam UUD 1945
o Pemimpin: Menteri
o Pembantu pemimpin: Sekretariat jenderal
o Pelaksana: Direktorat jenderal
o Pengawas: Inspektorat jenderal
o Pendukung: Badan dan/atau pusat
o Pelaksana tugas pokok di daerah (untuk kementerian yang menangani urusan dalam negeri, luar negeri, pertahanan,
agama, hukum, keamanan, dan keuangan) dan/atau perwakilan luar negeri
 Kementerian yang menangani urusan pemerintahan dalam rangka penajaman, koordinasi, dan sinkronisasi program pemerintah
o Pemimpin: Menteri
o Pembantu pemimpin: Sekretariat kementerian
o Pelaksana: Deputi kementerian
o Pengawas: Inspektorat kementerian
 Kementerian koordinator
o Pemimpin: Menteri koordinator
o Pembantu pemimpin: Sekretariat kementerian koordinator
o Pelaksana: Deputi kementerian koordinator
o Pengawas: Inspektorat

Sejarah
Komposisi Etnis dalam Kementerian Indonesia (1945-1970) [1]
Etnis Jumlah %
Jawa 392 60,8
Minangkabau 90 14,0
Sunda 84 13,0
Minahasa 25 3,9
Maluku 20 3,1
Batak 16 2,5
Lain-lain 18 2,8

Sebagian besar kementerian yang ada sekarang telah mengalami berbagai perubahan, meliputi penggabungan, pemisahan, pergantian nama,
dan pembubaran (baik sementara atau permanen). Jumlah kementerian sendiri hampir selalu berbeda-beda dalam setiap kabinet, dimulai dari
yang hanya berjumlah belasan hingga pernah mencapai ratusan, sebelum akhirnya ditentukan di dalam UU No. 39 Tahun 2008, yaitu
sejumlah maksimal 34 kementerian.

Dalam perjalanannya, pembentukan kementerian di Indonesia selalu mempertimbangkan kekuatan politik, ideologi, dan suku bangsa. Pada
era Perjuangan Kemerdekaan dan Demokrasi Parlementer, empat partai politik, yakni PNI, Masyumi, Nahdlatul Ulama, dan PSI, saling
bersaing dalam memperebutkan posisi kementerian. Setelah tahun 1955, PKI menjadi kekuatan tambahan dalam percaturan politik
Indonesia.

Pada masa Kabinet Pembangunan I - VII, hanya ada satu kekuatan politik yang dominan, yakni Golkar. Dan pada era Reformasi, macam-
macam partai silih berganti berkuasa. Golkar, PKB, PDIP, dan Demokrat, merupakan empat partai besar yang pernah menduduki puncak
pimpinan negara.

Jika dilihat berdasarkan komposisi etnis, Kementerian Indonesia didominasi oleh Suku Jawa, yang kemudian diikuti oleh Suku Minangkabau
dan Suku Sunda. Dua suku bangsa yang berasal dari Indonesia Timur, yakni Minahasa dan Maluku, juga merupakan kelompok masyarakat
yang banyak mengisi Kementerian Indonesia.

Sepanjang sejarahnya, kementerian menggunakan nomenklatur yang berubah-ubah. Pada sekitar tahun 1968-1998, nomenklatur yang
digunakan adalah "departemen", "kantor menteri negara", dan "kantor menteri koordinator". Pada tahun 1998 mulai digunakan istilah
"kementerian negara" dan "kementerian koordinator", sementara istilah "departemen" tetap dipertahankan. Sejak berlakunya UU No. 39
Tahun 2008 dan Perpres No. 47 Tahun 2009, seluruh nomenklatur kementerian dikembalikan menjadi "kementerian" saja, seperti pada masa
awal kemerdekaan. Proses pergantian kembali nomenklatur ini mulai dilakukan pada masa Kabinet Indonesia Bersatu II.[2][3][4]

Kementerian yang digabungkan/dipisahkan


 Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan saat ini, sempat digabungkan menjadi "Departemen Perindustrian
dan Perdagangan" pada pertengahan perjalanan Kabinet Pembangunan VI, dan kemudian dipisahkan kembali pada Kabinet
Indonesia Bersatu hingga sekarang.

Kementerian yang dibubarkan


 Kementerian Kemakmuran, dibentuk sejak proklamasi kemerdekaan (Kabinet Presidensial) dan dibubarkan pada Kabinet Natsir
hingga sekarang.
 Kementerian Sosial, dibentuk sejak proklamasi kemerdekaan (Kabinet Presidensial), sempat dibubarkan pada Kabinet Persatuan
Nasional, dan dibentuk kembali pada Kabinet Gotong Royong hingga sekarang.
 Kementerian Penerangan, dibentuk sejak proklamasi kemerdekaan (Kabinet Presidensial) dan dibubarkan pada Kabinet
Persatuan Nasional hingga sekarang.

Kementerian yang berganti nama


 "Kementerian Dalam Negeri" saat ini, dibentuk sejak proklamasi kemerdekaan (Kabinet Presidensial) dengan nama
"Kementerian Dalam Negeri", berganti nama menjadi "Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah" pada perombakan I
Kabinet Persatuan Nasional, dan kembali menjadi "Departemen Dalam Negeri" pada Kabinet Gotong Royong hingga sekarang.
 "Kementerian Pertahanan" saat ini, dibentuk sejak proklamasi kemerdekaan (Kabinet Presidensial) dengan nama "Kementerian
Keamanan Rakyat", berganti nama menjadi "Departemen Pertahanan" pada Kabinet Sjahrir II, menjadi "Departemen
Pertahanan dan Keamanan" pada Kabinet Kerja I, dan kembali menjadi "Departemen Pertahanan" pada Kabinet Persatuan
Nasional hingga sekarang.
 "Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia" saat ini, dibentuk sejak proklamasi kemerdekaan (Kabinet Presidensial) dengan
nama "Kementerian Kehakiman", berganti nama menjadi "Departemen Hukum dan Perundang-undangan" pada Kabinet
Persatuan Nasional, menjadi "Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia" pada Kabinet Gotong Royong, dan terakhir
menjadi "Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia" pada Kabinet Indonesia Bersatu hingga sekarang.
 "Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral" saat ini, dibentuk pada Kabinet Kerja I dengan nama "Kementerian
Perindustrian dan Pertambangan", berganti nama menjadi "Kementerian Pertambangan" pada Kabinet Dwikora I, menjadi
"Kementerian Minyak dan Gas Bumi" pada Kabinet Dwikora II, kembali menjadi "Kementerian Pertambangan" pada Kabinet
Ampera I, menjadi "Departemen Pertambangan dan Energi" pada Kabinet Pembangunan III, dan menjadi "Departemen Energi
dan Sumber Daya Mineral" pada perombakan I Kabinet Persatuan Nasional hingga sekarang.
 "Kementerian Komunikasi dan Informatika" saat ini, dibentuk sejak proklamasi kemerdekaan (Kabinet Presidensial) dengan
nama "Kementerian Penerangan", sempat dibubarkan pada Kabinet Persatuan Nasional, dibentuk kembali dengan nama
"Kementerian Negara Komunikasi dan Informasi" pada Kabinet Gotong Royong, dan menjadi "Departemen Komunikasi dan
Informatika" pada Kabinet Indonesia Bersatu hingga sekarang.
 "Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan" sebelumnya namanya adalah "Kementerian Pendidikan Nasional dan bidang
Kebudayaan ada dalam Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata pada masa kabinet indonesia bersatu II Bidang kebudayaan
masuk kedalam Kementerian Pendidikan sedangkan Bidang Pariwisata menjadi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
 "Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif" sebelumnya bernama Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata setelah
Kebudayaan masuk kedalam kementerian Pendidikan kementerian ini merubah namanya menjadi "Kementerian Pariwisata dan
Ekonomi Kreatif".

Lembaga Pemerintah Non Kementerian disingkat (LPNK), dahulu bernama Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) adalah
lembaga negara di Indonesia yang dibentuk untuk melaksanakan tugas pemerintahan tertentu dari presiden. Kepala LPNK berada di bawah
dan bertanggung jawab langsung kepada presiden melalui menteri atau pejabat setingkat menteri yang mengoordinasikan.[1]

Lembaga nonstruktural (disingkat LNS) adalah lembaga negara di Indonesia yang dibentuk untuk melaksanakan fungsi sektoral dari
lembaga pemerintahan yang sudah ada.[1] LNS bertugas memberi pertimbangan kepada presiden atau menteri, atau dalam rangka koordinasi
atau pelaksanaan kegiatan tertentu atau membantu tugas tertentu dari suatu kementerian.

LNS bersifat nonstruktural, dalam arti tidak termasuk dalam struktur organisasi kementerian ataupun lembaga pemerintah nonkementerian.
Kepala LNS umumnya ditetapkan oleh presiden, tetapi LNS dapat juga dikepalai oleh menteri, bahkan wakil presiden atau presiden sendiri.
Sedangkan nomenklatur yang digunakan antara lain adalah "dewan", "badan", "lembaga", "tim", dan lain-lain.

Daftar lembaga nonstruktural


Berikut adalah daftar LNS di Indonesia. Daftar ini mungkin belum mencakup keseluruhan, karena memang belum terdapat definisi secara
formal mengenai LNS yang dapat dijadikan pedoman dalam mendefinisikan suatu lembaga sebagai LNS atau bukan. Pertengahan tahun
2009, LAN mengindentifikasikan jumlah LNS mencapai 92 lembaga.[2]
 Badan Pelaksana APEC
 Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas)
 Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo
 Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
 Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas)
 Badan Pengembangan Ekspor Nasional
 Badan Pengkajian Ekonomi, Keuangan dan Kerjasama Internasional
 Badan Pertimbangan Jabatan Nasional (Baperjanas)
 Badan Pertimbangan Kepegawaian (Bapek)
 Badan Pertimbangan Perfilman Nasional
 Badan Reintegrasi Aceh (BRA)
 Dewan Buku Nasional
 Dewan Energi Nasional (DEN)
 Dewan Gula Indonesia
 Dewan Kelautan Indonesia
 Dewan Ketahanan Nasional(Wantanas)
 Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD)
 Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres)
 Dewan TIK Nasional (Detiknas)
 Komisi Hukum Nasional (KHN)
 Komisi Independen Pengusutan Tindak Kekerasan di Aceh
 Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP)
 Komisi Kejaksaan Republik Indonesia
 Komisi Kepolisian Nasional
 Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT)
 Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI)
 Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI)
 Lembaga Sensor Film (LSF)
 Tim Bakorlak Inpres 6
 Tim Pengembangan Industri Hankam
 Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4)

Lembaga independen
Lembaga independen juga sering diklasifikasikan sebagai LNS. Lembaga-lembaga ini dibentuk oleh pemerintah pusat, namun bekerja secara
independen. Berikut adalah daftar beberapa lembaga independen:
 Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)
 Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI)
 Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP)
 Dewan Pers
 Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan)
 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)
 Komisi Pemilihan Umum (KPU)
 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
 Komisi Penanggulan Aids
 Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
 Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
 Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
 Komisi Yudisial (KY)
 Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)
 Ombudsman Republik Indonesia (ORI)
 Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
 Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)

Bekas lembaga nonstruktural


 Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN)
 Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi untuk Aceh dan Nias (BRR Aceh-Nias)
 Unit Kerja Presiden untuk Pengelolaan Program Kebijakan dan Reformasi (UPK3KR)

Kontroversi
Pembentukan LNS mulai marak pasca reformasi. Ada yang dibentuk melalui UU, PP, perpres, ataupun keppres. Peningkatan jumlah LNS
setiap tahunnya dapat menyebabkan tugas dan fungsi tumpang tindih dengan lembaga yang sudah ada dan dapat menambah pengeluaran
anggaran belanja negara, walau ada beberapa LNS yang tidak memerlukan anggaran besar.
Selain itu, tidak adanya definisi secara formal mengenai LNS mempersulit para pakar maupun lembaga dalam mengidentifikasikan LNS.
Akibatnya, terjadi perbedaan opini tentang jumlah LNS yang ada di Indonesia. Pertengahan tahun 2009, LAN mengindentifikasikan jumlah
LNS mencapai 92 lembaga.[2]
Posisi LNS dalam konteks keuangan negara juga menjadi sorotan. Sepertiga dari jumlah LNS dibiayai oleh APBN. Pendanaan kegiatannya
bergabung dengan pendanaan kegiatan kementerian/lembaga, bukan sebagai satuan kerja tersendiri. Hal ini dapat berimplikasi pada tumpang
tindihnya tugas dan wewenang antara kementerian/lembaga dengan LNS yang nantinya dapat menyebabkan inefisiensi anggaran.
Pertanggungjawaban pelaksanaan APBN, baik untuk laporan keuangan maupun laporan kinerja yang berada di kementerian/lembaga, bukan
dilakukan oleh LNS sebagai lembaga. Karena tidak adanya laporan kinerja dan laporan keuangan yang mandiri, audit kinerja dan audit
keuangan akan kesulitan untuk menilai akuntabilitas LNS bersangkutan. [2]

Penataan
Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan oleh Setneg bekerjasama dengan 14 perguruan tinggi dan melibatkan beberapa pakar melalui
kegiatan penelitian, diskusi dan seminar, muncul rekomendasi untuk menata ulang keberadaan LNS. Dari 92 lembaga, 13 diusulkan dihapus,
sedangkan 39 lainnya akan digabungkan. Lembaga yang akan dihapus dan digabungkan tersebut hanyalah lembaga yang dibentuk dengan
keppres dan perpres, sedangkan yang dibentuk dengan UU akan dilakukan penelaahan lebih komprehensif. Penataan ini akan dilakukan
dalam waktu 5 tahun.[1][3]

13 LNS yang akan dihapus adalah sebagai berikut:[4]


 Komite Standar untuk Satuan Ukuran
 Komite antar Departemen Bidang Kehutanan
 Badan Pengembangan Kehidupan Beragama
 Badan Pembina BUMN
 Badan Pertimbangan Kepegawaian
 Badan Kebijaksanaan dan Pengendalian Pembangunan Perumahan dan Permukiman Nasional
 Dewan Koperasi Indonesia
 Komite Nasional Pengendalian Flu Burung dan Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi Influenza
 Badan Pengembangan Pariwisata dan Kesenian
 Badan Koordinasi Energi Nasional
 Komite Kebijakan Percepatan Penyediaan Infrastruktur
 Komite Privatisasi Perusahaan Perseroan
 Komisi Independen Pengusutan Tindak Kekerasan di Aceh

Perwakilan Indonesia di luar negeri (nama resmi: Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri) adalah lembaga negara yang
mewakili kepentingan Indonesia secara keseluruhan di negara lain atau pada organisasi internasional. Perwakilan Republik Indonesia di Luar
Negeri dapat berupa Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI), Konsulat Jenderal Republik Indonesia (Konjen RI), Konsulat RI,
Perutusan Tetap RI pada PBB, maupun Perwakilan RI tertentu yang bersifat sementara.

Perwakilan Indonesia di luar negeri terdiri atas:

 Perwakilan diplomatik, kegiatannya mencakup semua kepentingan negara RI dan wilayah kerjanya meliputi seluruh wilayah
negara penerima atau yang bidang kegiatannya meliputi bidang kegiatan suatu organisasi internasional.
 Perwakilan konsuler, kegiatannya mencakup semua kepentingan negara RI di bidang konsuler dan mempunyai wilayah kerja
tertentu dalam wilayah negara penerima.

Indonesia adalah sebuah negara yang wilayahnya terbagi atas daerah-daerah Provinsi. Daerah provinsi itu dibagi lagi atas daerah Kabupaten
dan daerah Kota. Setiap daerah provinsi, daerah kabupaten, dan daerah kota mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-
undang. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas otonomi
dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam UUD 1945.

Pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui
pemilihan umum. Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih
secara demokratis.

Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota atau antara provinsi dan kabupaten dan
kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. Hubungan keuangan, pelayanan umum,
pemanfatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara
adil dan selaras berdasarkan undang-undang.

Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan
undang-undang. Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih
hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Pembentukan dan Penghapusan


Pembentukan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan daerah kota ditetapkan dengan undang-undang. Pembentukan daerah dapat berupa
penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih.
Daerah dapat dihapus dan digabung dengan daerah lain apabila daerah yang bersangkutan tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah.
Penghapusan dan penggabungan daerah beserta akibatnya ditetapkan dengan undang-undang. Untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan
tertentu yang bersifat khusus bagi kepentingan nasional, Pemerintah dapat menetapkan kawasan khusus dalam wilayah provinsi dan/atau
kabupaten/kota.

Pembagian Urusan Pemerintahan


Urusan Pemerintahan Pusat Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan
pemerintahan yang oleh Undang-undang ditentukan menjadi urusan pemerintah pusat. Urusan pemerintahan yang menjadi urusan
Pemerintah Pusat meliputi:
1. politik luar negeri;
2. pertahanan;
3. keamanan;
4. yustisi;
5. moneter dan fiskal nasional;
6. agama ; dan
7. norma.

Urusan Pemerintahan Daerah


Penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan
keserasian hubungan antar susunan pemerintahan. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah, yang
diselenggarakan berdasarkan kriteria di atas terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan.

Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi 16 buah
urusan. Urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.
Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah kabupaten atau daerah kota merupakan urusan yang berskala kabupaten atau
kota meliputi 16 buah urusan. Urusan pemerintahan kabupaten atau kota yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara
nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang
bersangkutan.

Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah, pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-
luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.

Pemerintahan daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan memiliki hubungan dengan pemerintah pusat dan dengan pemerintahan
daerah lainnya. Hubungan tersebut meliputi hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber
daya lainnya. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya dilaksanakan secara adil dan
selaras. Hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya menimbulkan
hubungan administrasi dan kewilayahan antarsusunan pemerintahan.

Penyelenggara Pemerintahan
Penyelenggara pemerintahan adalah Presiden dibantu oleh wakil presiden, dan oleh menteri negara.Penyelenggara pemerintahan daerah
adalah pemerintah daerah dan DPRD. Untuk pemerintahan daerah provinsi yang terdiri atas pemerintah daerah provinsi dan DPRD provinsi.
Untuk pemerintahan daerah kabupaten atau daerah kota yang terdiri atas pemerintah daerah kabupaten atau kota dan DPRD kabupaten atau
kota.

Dalam menyelenggarakan pemerintahan, pemerintah pusat menggunakan asas desentralisasi, tugas pembantuan, dan dekonsentrasi sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah, pemerintahan daerah menggunakan asas otonomi
dan tugas pembantuan.

Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah
dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk
melaksanakan tugas tertentu.

Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada
instansi vertikal di wilayah tertentu. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangundangan.

Dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban tersebut diwujudkan dalam bentuk rencana
kerja pemerintahan daerah dan dijabarkan dalam bentuk pendapatan, belanja, dan pembiayaan daerah yang dikelola dalam sistem
pengelolaan keuangan daerah. Pengelolaan keuangan daerah dimaksud dilakukan secara efisien, efektif, transparan, akuntabel, tertib, adil,
patut, dan taat pada peraturan perundang-undangan.

Pemerintah Daerah

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Pemerintah Daerah

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Kepala Daerah

Setiap daerah dipimpin oleh kepala pemerintah daerah yang disebut kepala daerah. Kepala daerah untuk provinsi disebut gubernur, untuk
kabupaten disebut bupati dan untuk kota adalah wali kota. Kepala daerah dibantu oleh satu orang wakil kepala daerah, untuk provinsi disebut
wakil Gubernur, untuk kabupaten disebut wakil bupati dan untuk kota disebut wakil wali kota. Kepala dan wakil kepala daerah memiliki
tugas, wewenang dan kewajiban serta larangan. Kepala daerah juga mempunyai kewajiban untuk memberikan laporan penyelenggaraan
pemerintahan daerah kepada Pemerintah, dan memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD, serta menginformasikan
laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada masyarakat.

Gubernur yang karena jabatannya berkedudukan juga sebagai wakil pemerintah pusat di wilayah provinsi yang bersangkutan, dalam
pengertian untuk menjembatani dan memperpendek rentang kendali pelaksanaan tugas dan fungsi Pemerintah termasuk dalam pembinaan
dan pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan pada strata pemerintahan kabupaten dan kota.Dalam kedudukannya sebagai
wakil pemerintah pusat sebagaimana dimaksud, Gubernur bertanggung jawab kepada Presiden.

Perangkat Daerah

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perangkat Daerah

Dasar utama penyusunan perangkat daerah dalam bentuk suatu organisasi adalah adanya urusan pemerintahan yang perlu ditangani. Namun
tidak berarti bahwa setiap penanganan urusan pemerintahan harus dibentuk ke dalam organisasi tersendiri. Besaran organisasi perangkat
daerah sekurang-kurangnya mempertimbangkan faktor kemampuan keuangan; kebutuhan daerah; cakupan tugas yang meliputi sasaran tugas
yang harus diwujudkan, jenis dan banyaknya tugas; luas wilayah kerja dan kondisi geografis; jumlah dan kepadatan penduduk; potensi
daerah yang bertalian dengan urusan yang akan ditangani; sarana dan prasarana penunjang tugas. Oleh karena itu kebutuhan akan organisasi
perangkat daerah bagi masing-masing daerah tidak senantiasa sama atau seragam.

Perangkat daerah provinsi terdiri atas sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, dan lembaga teknis daerah.

Perangkat daerah kabupaten/kota terdiri atas sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, lembaga teknis daerah, kecamatan, dan
kelurahan. Susunan organisasi perangkat daerah ditetapkan dalam Perda dengan memperhatikan faktor-faktor tertentu dan berpedoman pada
Peraturan Pemerintah.

Sekretariat daerah dipimpin oleh Sekretaris Daerah. Sekretaris daerah mempunyai tugas dan kewajiban membantu kepala daerah dalam
menyusun kebijakan dan mengkoordinasikan dinas daerah dan lembaga teknis daerah.

Sekretariat DPRD dipimpin oleh Sekretaris DPRD. Sekretaris DPRD mempunyai tugas: (a). menyelenggarakan administrasi kesekretariatan
DPRD; (b). menyelenggarakan administrasi keuangan DPRD; (c). mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi DPRD; dan (d). menyediakan
dan mengkoordinasi tenaga ahli yang diperlukan oleh DPRD dalam melaksanakan fungsinya sesuai dengan kemampuan keuangan daerah.
Dinas daerah merupakan unsur pelaksana otonomi daerah. Kepala dinas daerah bertanggung jawab kepada kepala daerah melalui Sekretaris
Daerah. Lembaga teknis daerah merupakan unsur pendukung tugas kepala daerah dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang
bersifat spesifik berbentuk badan, kantor, atau rumah sakit umum daerah. Kepala badan, kantor, atau rumah sakit umum daerah tersebut
bertanggung jawab kepada kepala daerah melalui Sekretaris Daerah.

Kecamatan dibentuk di wilayah kabupaten/kota dengan Perda berpedoman pada Peraturan Pemerintah. Kecamatan dipimpin oleh camat yang
dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan sebagian wewenang bupati atau wali kota untuk menangani sebagian urusan otonomi
daerah. Kelurahan dibentuk di wilayah kecamatan dengan

Perda berpedoman pada Peraturan Pemerintah. Kelurahan dipimpin oleh lurah yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan
dari Bupati/Walikota.

DPRD

Artikel utama untuk bagian ini adalah: DPRD

DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah. DPRD
memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. DPRD mempunyai tugas dan wewenang. DPRD mempunyai hak: (a). interpelasi; (b).
angket; dan (c). menyatakan pendapat.

Alat kelengkapan DPRD terdiri atas: (a). pimpinan; (b). komisi; (c). panitia musyawarah; (d). panitia anggaran; (e). Badan Kehormatan; dan
(f). alat kelengkapan lain yang diperlukan. Anggota DPRD mempunyai hak dan kewajiban. Anggota DPRD mempunyai larangan dan dapat
diganti antar waktu. Ketentuan tentang DPRD sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang mengenai pemerintahan daerah berlaku
ketentuan Undang-Undang yang mengatur

Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD.


Hubungan antara pemerintah daerah dan DPRD merupakan hubungan kerja yang kedudukannya setara dan bersifat kemitraan. Kedudukan
yang setara bermakna bahwa di antara lembaga pemerintahan daerah itu memiliki kedudukan yang sama dan sejajar, artinya tidak saling
membawahi. Hal ini tercermin dalam membuat kebijakan daerah berupa Peraturan Daerah. Hubungan kemitraan bermakna bahwa antara
Pemerintah Daerah dan DPRD adalah sama-sama mitra sekerja dalam membuat kebijakan daerah untuk melaksanakan otonomi daerah sesuai
dengan fungsi masing-masing sehingga antar kedua lembaga itu membangun suatu hubungan kerja yang sifatnya saling mendukung bukan
merupakan lawan ataupun pesaing satu sama lain dalam melaksanakan fungsi masing-masing.

Pilkada

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Pilkada

Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah warga negara Republik Indonesia yang
memenuhi syarat tertentu.

Pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh suara lebih dari 50 % (lima puluh persen) jumlah suara sah
ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih. Apabila ketentuan tersebut tidak terpenuhi,pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah
yang memperoleh suara lebih dari 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah suara sah, pasangan calon yang perolehan suaranya terbesar
dinyatakan sebagai pasangan calon terpilih.

Apabila tidak ada yang mencapai 25 % (dua puluh lima persen) dari jumlah suara sah, dilakukan pemilihan putaran kedua yang diikuti oleh
pemenang pertama dan pemenang kedua. Pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh suara terbanyak pada
putaran kedua dinyatakan sebagai pasangan calon terpilih.

Gubernur dan wakil Gubernur dilantik oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden dalam sebuah sidang DPRD Provinsi. Bupati dan
wakil bupati atau wali kota dan wakil wali kota dilantik oleh Gubernur atas nama Presiden dalam sebuah sidang DPRD Kabupaten atau Kota.

Kepegawaian Daerah
Pemerintah pusat melaksanakan pembinaan manajemen pegawai negeri sipil daerah dalam satu kesatuan penyelenggaraan manajemen
pegawai negeri sipil secara nasional. Manajemen pegawai negeri sipil daerah meliputi penetapan formasi, pengadaan, pengangkatan,
pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, gaji, tunjangan, kesejahteraan, hak dan kewajiban kedudukan hukum, pengembangan
kompetensi, dan pengendalian jumlah.
Pembinaan dan pengawasan manajemen pegawai negeri sipil daerah dikoordinasikan pada tingkat nasional oleh Menteri Dalam Negeri dan
pada tingkat daerah oleh Gubernur.

Perda dan Perkada

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Peraturan Daerah

Peraturan daerah ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD. Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan
otonomi daerah provinsi/ kabupaten/kota dan tugas pembantuan. Perda merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Perda tidak boleh bertentangan dengan kepentingan
umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Perda dibentuk berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundangundangan. Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan
atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan Perda. Persiapan pembentukan, pembahasan, dan pengesahan rancangan
Perda berpedoman kepada peraturan perundang-undangan.

Perda berlaku setelah diundangkan dalam lembaran daerah. Perda disampaikan kepada Pemerintah pusat paling lama 7 (tujuh) hari setelah
ditetapkan. Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan
oleh Pemerintah pusat.
Untuk melaksanakan Perda dan atas kuasa peraturan perundang-undangan, kepala daerah menetapkan peraturan kepala daerah dan atau
keputusan kepala daerah. Peraturan kepala daerah dan atau keputusan kepala daerah tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum,
Perda, dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Perda diundangkan dalam Lembaran Daerah dan Peraturan Kepala Daerah diundangkan dalam Berita Daerah. Pengundangan Perda dalam
Lembaran Daerah dan Peraturan Kepala Daerah dalam Berita Daerah dilakukan oleh Sekretaris Daerah. Untuk membantu kepala daerah
dalam menegakkan Perda dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat dibentuk Satuan Polisi Pamong Praja.

Perencanaan Pembangunan
Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah disusun perencanaan pembangunan daerah sebagai satu kesatuan dalam sistem
perencanaan pembangunan nasional. Perencanaan pembangunan daerah disusun oleh pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten atau
daerah kota sesuai dengan kewenangannya yang dilaksanakan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah.
1. Rencana pembangunan jangka panjang daerah (RPJP Daerah) untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun yang ditetapkan dengan
Perda;
2. Rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJM Daerah) untuk jangka waktu 5 (lima) tahun yang ditetapkan dengan
Perda
3. Rencana kerja pembangunan daerah (RKPD) merupakan penjabaran dari RPJM daerah untuk jangka waktu 1 (satu) tahun
dengan mengacu kepada rencana kerja Pemerintah pusat.

Keuangan Daerah
Penyelenggaraan fungsi pemerintahan daerah akan terlaksana secara optimal apabila penyelenggaraan urusan pemerintahan diikuti dengan
pemberian sumber-sumber penerimaan yang cukup kepada daerah, dengan mengacu kepada Undang-Undang yang mengatur Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, dimana besarnya disesuaikan dan diselaraskan dengan pembagian kewenangan
antara Pemerintah dan Daerah.

Semua sumber keuangan yang melekat pada setiap urusan pemerintah yang diserahkan kepada daerah menjadi sumber keuangan daerah.

Daerah diberikan hak untuk mendapatkan sumber keuangan yang antara lain berupa : kepastian tersedianya pendanaan dari Pemerintah
sesuai dengan urusan pemerintah yang diserahkan; kewenangan memungut dan mendayagunakan pajak dan retribusi daerah dan hak untuk
mendapatkan bagi hasil dari sumber-sumber daya nasional yang berada di daerah dan dana perimbangan lainnya; hak untuk mengelola
kekayaan Daerah dan mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah serta sumber-sumber pembiayaan. Dengan pengaturan tersebut,
dalam hal ini pada dasarnya Pemerintah menerapkan prinsip uang mengikuti fungsi.

Di dalam Undang-Undang yang mengatur Keuangan Negara, terdapat penegasan di bidang pengelolaan keuangan, yaitu bahwa kekuasaan
pengelolaan keuangan negara adalah sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan; dan kekuasaan pengelolaan keuangan negara dari presiden
sebagian diserahkan kepada gubernur/bupati/wali kota selaku kepala pemerintah daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili
pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan.

Ketentuan tersebut berimplikasi pada pengaturan pengelolaan keuangan daerah, yaitu bahwa Kepala daerah (gubernur/bupati/wali kota)
adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah dan bertanggungjawab atas pengelolaan keuangan daerah sebagai bagian dari
kekuasaan pemerintahan daerah. Dalam melaksanakan kekuasaannya, kepala daerah melimpahkan sebagian atau seluruh kekuasaan
keuangan daerah kepada para pejabat perangkat daerah. Dengan demikian pengaturan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah
melekat dan menjadi satu dengan pengaturan pemerintahan daerah, yaitu dalam Undang-Undang mengenai Pemerintahan Daerah.

Sumber pendapatan daerah terdiri atas:


1. pendapatan asli daerah ( PAD), yang meliputi: (a) hasil pajak daerah; (b) hasil retribusi daerah; (c) hasil pengelolaan kekayaan
daerah yang dipisahkan; dan (d) lain-lain PAD yang sah;
2. dana perimbangan yang meliputi: (a). Dana Bagi Hasil; (b). Dana Alokasi Umum; dan (c). Dana Alokasi Khusus; dan
3. lain-lain pendapatan daerah yang sah.

Pemerintah daerah dapat melakukan pinjaman yang berasal dari penerusan pinjaman hutang luar negeri dari Menteri Keuangan atas nama
Pemerintah pusat setelah memperoleh pertimbangan Menteri Dalam Negeri. Pemerintah daerah dapat melakukan penyertaan modal pada
suatu Badan Usaha Milik Pemerintah dan/atau milik swasta. Pemerintah daerah dapat memiliki BUMD yang pembentukan, penggabungan,
pelepasan kepemilikan, dan/atau pembubarannya ditetapkan dengan Perda yang berpedoman pada peraturan perundangundangan.

Anggaran pendapatan dan belanja daerah ( APBD) adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang ditetapkan dengan peraturan
daerah. APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam masa 1 (satu) tahun anggaran terhitung mulai 1 Januari sampai dengan
tanggal 31 Desember. Kepala daerah mengajukan rancangan Perda tentang APBD disertai penjelasan dan dokumen-dokumen pendukungnya
kepada DPRD untuk memperoleh persetujuan bersama. Rancangan Perda provinsi tentang APBD yang telah disetujui bersama dan
rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh Gubernur paling lambat 3 (tiga) hari disampaikan kepada
Menteri Dalam Negeri untuk dievaluasi. Rancangan Perda kabupaten/kota tentang APBD yang telah disetujui bersama dan rancangan
Peraturan Bupati/Walikota tentang Penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh Bupati/Walikota paling lama 3 (tiga) hari disampaikan kepada
Gubernur untuk dievaluasi.

Semua penerimaan dan pengeluaran pemerintahan daerah dianggarkan dalam APBD dan dilakukan melalui rekening kas daerah yang
dikelola oleh Bendahara Umum Daerah. Penyusunan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pengawasan dan pertanggungjawaban
keuangan daerah diatur lebih lanjut dengan Perda yang berpedoman pada Peraturan Pemerintah.

Kerjasama dan Perselisihan


Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, daerah dapat mengadakan kerja sama dengan daerah lain yang didasarkan pada
pertimbangan efisiensi dan efektifitas pelayanan publik, sinergi dan saling menguntungkan. Kerja sama tersebut dapat diwujudkan dalam
bentuk badan kerjasama antar daerah yang diatur dengan keputusan bersama.

Dalam penyediaan pelayanan publik, daerah dapat bekerja sama dengan pihak ketiga. Kerja sama yang membebani masyarakat dan daerah
harus mendapatkan persetujuan DPRD.

Apabila terjadi perselisihan dalam penyelenggaraan fungsi pemerintahan antar kabupaten/kota dalam satu provinsi, Gubernur menyelesaikan
perselisihan dimaksud. Apabila terjadi perselisihan antarprovinsi, antara provinsi dan kabupaten/kota di wilayahnya, serta antara provinsi dan
kabupaten/kota di luar wilayahnya, Menteri Dalam Negeri menyelesaikan perselisihan dimaksud. Keputusan Guberneur atau Menteri Dalam
Negeri sebagaimana dimaksud bersifat final.

Kawasan Perkotaan

Artikel utama untuk bagian ini adalah: kota

Kawasan perkotaan dapat berbentuk :


1. Kota sebagai daerah otonom yang dikelola oleh pemerintah kota;
2. bagian daerah kabupaten yang memiliki ciri perkotaan yang dikelola oleh daerah atau lembaga pengelola yang dibentuk dan
bertanggungjawab kepada pemerintah kabupaten.;
3. bagian dari dua atau lebih daerah yang berbatasan langsung dan memiliki ciri perkotaan yang dikelola bersama oleh daerah
terkait.

Dalam perencanaan, pelaksanaan pembangunan, dan pengelolaan kawasan perkotaan, pemerintah daerah mengikutsertakan masyarakat
sebagai upaya pemberdayaan masyarakat.

Desa atau nama lain

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Desa

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Nagari

Dalam pemerintahan daerah kabupaten/kota dibentuk pemerintahan desa yang terdiri dari pemerintah desa dan Badan Permusyawaratan
Desa. Pembentukan, penghapusan, dan/atau penggabungan Desa dengan memperhatikan asal usulnya atas prakarsa masyarakat. Landasan
pemikiran dalam pengaturan mengenai desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat.
Pemerintah mengakui otonomi yang dimiliki oleh desa ataupun dengan sebutan lainnya dan kepada desa melalui pemerintah desa dapat
diberikan penugasan ataupun pendelegasian dari Pemerintah ataupun pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah tertentu.
Sedang terhadap desa di luar desa geneologis yaitu desa yang bersifat administratif seperti desa yang dibentuk karena pemekaran desa
ataupun karena transmigrasi ataupun karena alasan lain yang warganya pluralistis, majemuk, ataupun heterogen, maka otonomi desa akan
diberikan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan dari desa itu sendiri.

Pemerintah desa terdiri atas kepala desa dan perangkat desa. Desa yang dimaksud dalam ketentuan ini termasuk antara lain Nagari di
Sumatera Barat, Gampong di provinsi NAD, Lembang di Sulawesi Selatan, Kampung di Kalimantan Selatan dan Papua, Negeri di Maluku.
Perangkat desa terdiri dari sekretaris desa dan perangkat desa lainnya. Yang dimaksud dengan Perangkat Desa lainnya dalam ketentuan ini
adalah perangkat pembantu Kepala Desa yang terdiri dari Sekretariat Desa, pelaksana teknis lapangan seperti kepala urusan, dan unsur
kewilayahan seperti kepala dusun atau dengan sebutan lain.

Kepala desa dipilih langsung oleh dan dari penduduk desa warga negara Republik Indonesia yang syarat selanjutnya dan tata cara
pemilihannya diatur dengan Perda yang berpedoman kepada Peraturan Pemerintah. Calon kepala desa yang memperoleh suara terbanyak
dalam pemilihan kepala desa sebagaimana dimaksud, ditetapkan sebagai kepala desa. Masa jabatan kepala desa adalah 6 (enam) tahun dan
dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. Masa jabatan kepala desa dalam ketentuan ini dapat dikecualikan
bagi kesatuan masyarakat hukum adat yang keberadaannya masih hidup dan diakui yang ditetapkan dengan Perda.

Badan Permusyawaratan Desa berfungsi menetapkan peraturan desa bersama kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi
masyarakat. Di desa dapat dibentuk lembaga kemasyarakatan yang ditetapkan dengan peraturan desa dengan berpedoman pada peraturan
perundangundangan. Yang dimaksud dengan lembaga kemasyarakatan desa dalam ketentuan ini seperti: Rukun Tetangga, Rukun Warga,
PKK, karang taruna, lembaga pemberdayaan masyarakat.

Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa mencakup:


1. urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa;
2. urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa;
3. tugas pembantuan dari Pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota;
4. urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-perundangan diserahkan kepada desa.

Keuangan desa adalah semua hak dan kewajiban desa yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa
barang yang dapat dijadikan milik desa berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban. Desa dapat mendirikan badan usaha milik desa
sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa. Desa dapat mengadakan kerja sama untuk kepentingan desa yang diatur dengan keputusan
bersama dan dilaporkan kepada Bupati/Walikota melalui camat.

Pembinaan dan Pengawasan


Pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah upaya yang dilakukan untuk mewujudkan tercapainya tujuan penyelenggaraan
otonomi daerah. Pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan oleh
Pemerintah dan atau Gubernur selaku Wakil Pemerintah di Daerah. Koordinasi pembinaan dilaksanakan secara berkala pada tingkat
nasional, regional, atau provinsi.

Pembinaan tersebut meliputi


1. koordinasi pemerintahan antarsusunan pemerintahan;
2. pemberian pedoman dan standar pelaksanaan urusan pemerintahan;
3. pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan urusan pemerintahan;
4. pendidikan dan pelatihan; dan
5. perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan, dan evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan.

Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah proses kegiatan yang ditujukan untuk menjamin agar pemerintah daerah
berjalan sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan oleh Pemerintah yang meliputi:
1. Pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah;
2. Pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah.

Pemerintah memberikan penghargaan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sanksi diberikan oleh Pemerintah dalam rangka
pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah apabila diketemukan adanya penyimpangan dan pelanggaran oleh penyelenggara
pemerintahan daerah tersebut. Sanksi dimaksud antara lain dapat berupa penataan kembali suatu daerah otonom, pembatalan pengangkatan
pejabat, penangguhan dan pembatalan berlakunya suatu kebijakan daerah baik peraturan daerah, keputusan kepala daerah, dan ketentuan lain
yang ditetapkan daerah serta dapat memberikan sanksi pidana yang diproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah tersebut secara nasional dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri.
Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota dikoordinasikan oleh Gubernur. Pembinaan dan
pengawasan penyelenggaraan pemerintahan desa dikoordinasikan oleh Bupati/Walikota.

Pertimbangan Otonomi
Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah, Presiden dapat membentuk suatu dewan yang bertugas memberikan saran dan
pertimbangan terhadap kebijakan otonomi daerah. Dewan ini dipimpin oleh Menteri Dalam Negeri yang susunan organisasi keanggotaan dan
tata laksananya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Presiden.
Dewan tersebut bertugas memberikan saran dan pertimbangan kepada Presiden antara lain mengenai rancangan kebijakan:
1. pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah serta pembentukan kawasan khusus;
2. perimbangan keuangan antara Pemerintah dan pemerintahan daerah,

Ketentuan Lain-lain
Daerah-daerah yang memiliki status istimewa dan diberikan otonomi khusus selain diatur dengan Undang-Undang ini diberlakukan pula
ketentuan khusus yang diatur dalam undang-undang lain. Ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku bagi Provinsi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Provinsi Papua termasuk provinsi hasil pemekarannya, dan Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta sepanjang tidak diatur secara khusus dalam Undang-Undang tersendiri.

Yang dimaksud dengan Undang-Undang tersendiri adalah Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah
Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia (LN Tahun 2007 Nomor 93; TLN 4744); Undang-Undang
Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh (LN Tahun 1999 Nomor 172; TLN 3893)
dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (LN Tahun 2006 Nomor 62; TLN 4633); dan Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (LN Tahun 2001 Nomor 135; TLN 4151). Karena Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta belum memiliki Undang-Undang tersendiri, maka keistimewaan untuk Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, adalah tetap dengan ketentuan bahwa penyelenggaraan pemerintahan
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta didasarkan pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.

Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi wewenang Pemerintah yang didekonsentrasikan, dilaksanakan oleh instansi vertikal di
daerah. Instansi vertikal tersebut jumlah, susunan dan luas wilayah kerjanya ditetapkan Pemerintah. Semua instansi vertikal yang diserahkan
dan menjadi perangkat daerah, kekayaannya dialihkan menjadi milik daerah.

Batas daerah provinsi atau kabupaten/kota yang berbatasan dengan wilayah negara lain, diatur berdasarkan peraturan perundang- undangan
dengan memperhatikan hukum internasional yang pelaksanaannya ditetapkan oleh Pemerintah.

Anggota Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak menggunakan hak memilihnya dalam
pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah sepanjang belum diatur dalam undang-undang.

Referensi
 UUD 1945
 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
 UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh
 UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua
 UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
 UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan
Republik Indonesia
Provinsi adalah nama sebuah pembagian wilayah administratif di bawah wilayah nasional. Kata ini merupakan kata pungutan dari bahasa
Belanda "provincie" yang berasal dari bahasa Latin dan pertama kalinya digunakan di Kekaisaran Romawi. Mereka membagi wilayah
kekuasaan mereka atas (peringkat kedua dari seluruh ke presidensial setelah kekuasaan presiden)"provinciae". Kemungkinan kata ini berasal
dari kata "provincia", yang berarti daerah kekuasaan. Kemungkinan besar ini terdiri dari kata-kata "pro" (di depan) dan "vincia"
(dihubungkan).

Provinsi di Indonesia
Dalam pembagian administratif, Indonesia terdiri atas provinsi, yang dikepalai oleh seorang gubernur. Masing-masing provinsi dibagi atas
kabupaten dan kota. Saat ini di Indonesia terdapat 34 provinsi. Sebelum tahun 2000 Indonesia memiliki 27 provinsi. Namun setelah pada
masa Reformasi, banyak provinsi yang dimekarkan menjadi dua bagian yang rata-rata provinsi dengan luas daerah yang cukup besar.
Pemekaran yang dilakukan dimaksud agar mendapatkan efisiensi dalam penerapan pemerataan pembangunan.

Kabupaten adalah pembagian wilayah administratif di Indonesia setelah provinsi, yang dipimpin oleh seorang bupati. Selain kabupaten,
pembagian wilayah administratif setelah provinsi adalah kota. Secara umum, baik kabupaten dan kota memiliki wewenang yang sama.
Kabupaten bukanlah bawahan dari provinsi, karena itu bupati atau wali kota tidak bertanggung jawab kepada gubernur. Kabupaten maupun
kota merupakan daerah otonom yang diberi wewenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahannya sendiri.

Meski istilah kabupaten saat ini digunakan di seluruh wilayah Indonesia, istilah ini dahulu hanya digunakan di pulau Jawa dan Madura saja.
Pada era Hindia Belanda, istilah kabupaten dikenal dengan regentschap, yang secara harafiah artinya adalah daerah seorang regent atau
wakil penguasa. Pembagian wilayah kabupaten di Indonesia saat ini merupakan warisan dari era pemerintahan Hindia Belanda.
Dahulu istilah kabupaten dikenal dengan Daerah Tingkat II Kabupaten. Sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah, istilah Daerah Tingkat II dihapus, sehingga Daerah Tingkat II Kabupaten disebut Kabupaten saja. Istilah
"Kabupaten" di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam disebut juga dengan "sagoe".

Kota merupakan kawasan pemukiman yang secara fisik ditunjukkan oleh kumpulan rumah-rumah yang mendominasi tata ruangnya dan
memiliki berbagai fasilitas untuk mendukung kehidupan warganya secara mandiri.

Pengertian "kota" sebagaimana yang diterapkan di Indonesia mencakup pengertian "town" dan "city" dalam bahasa Inggris. Selain itu,
terdapat pula kapitonim "Kota" yang merupakan satuan administrasi negara di bawah provinsi.

Artikel ini membahas "kota" dalam pengertian umum (nama jenis, common name).
Kota dibedakan secara kontras dari desa ataupun kampung berdasarkan ukurannya, kepadatan penduduk, kepentingan, atau status hukum.
[rujukan?]
Desa atau kampung didominasi oleh lahan terbuka bukan pemukiman.

Fungsi
Kota yang telah berkembang maju mempunyai peranan dan fungsi yang lebih luas lagi antara lain sebagai berikut :
 Sebagai pusat produksi (production centre). Contoh: Surabaya, Gresik, Bontang
 Sebagai pusat perdagangan (centre of trade and commerce). Contoh: Jakarta, Bandung, Hong Kong, Singapura
 Sebagai pusat pemerintahan (political capital). Contoh: Jakarta (ibukota Indonesia), Washington DC (ibukota Amerika Serikat),
Canberra (ibukota Australia)
 Sebagai pusat kebudayaan (culture centre). Contoh: Yogyakarta dan Surakarta
 Sebagai penopang Kota Pusat. Contoh : Tangerang Selatan, Bogor dan Depok

Ciri-ciri
Ciri fisik kota meliputi hal sebagai berikut:
 Tersedianya tempat-tempat untuk pasar dan pertokoan
 Tersedianya tempat-tempat untuk parkir
 Terdapatnya sarana rekreasi dan sarana olahraga

Ciri kehidupan kota adalah sebagai berikut:


 Adanya pelapisan sosial ekonomi misalnya perbedaan tingkat penghasilan, tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan.
 Adanya jarak sosial dan kurangnya toleransi sosial di antara warganya.
 Adanya penilaian yang berbeda-beda terhadap suatu masalah dengan pertimbangan perbedaan kepentingan, situasi dan kondisi
kehidupan.
 Warga kota umumnya sangat menghargai waktu.
 Cara berpikir dan bertindak warga kota tampak lebih rasional dan berprinsip ekonomi.
 Masyarakat kota lebih mudah menyesuaikan diri terhadap perubahan sosial disebabkan adanya keterbukaan terhadap
pengaruh luar.
 Pada umumnya masyarakat kota lebih bersifat individu sedangkan sifat solidaritas dan gotong royong sudah mulai tidak terasa
lagi. (stereotip ini kemudian menyebabkan penduduk kota dan pendatang mengambil sikap acuh tidak acuh dan tidak peduli
ketika berinteraksi dengan orang lain. Mereka mengabaikan fakta bahwa masyarakat kota juga bisa ramah dan santun dalam
berinteraksi)

Teori struktur ruang kota


Teori-teori yang melandasi struktur ruang kota yang paling dikenal yaitu:

 Teori Konsentris (Burgess, 1925)

Teori Konsentris
Teori ini menyatakan bahwa Daerah Pusat Kota (DPK) atau Central Business District (CBD) adalah pusat kota
yang letaknya tepat di tengah kota dan berbentuk bundar yang merupakan pusat kehidupan sosial, ekonomi,
budaya dan politik, serta merupakan zona dengan derajat aksesibilitas tinggi dalam suatu kota. DPK atau CBD
tersebut terbagi atas dua bagian, yaitu: pertama, bagian paling inti atau RBD (Retail Business District) dengan
kegiatan dominan pertokoan, perkantoran dan jasa; kedua, bagian di luarnya atau WBD (Wholesale Business
District) yang ditempati oleh bangunan dengan peruntukan kegiatan ekonomi skala besar, seperti pasar, pergudangan (warehouse), dan
gedung penyimpanan barang supaya tahan lama (storage buildings).
1. Zona pusat daerah kegiatan (Central Business District), yang merupakan pusat pertokoan besar, gedung perkantoran yang
bertingkat, bank, museum, hotel, restoran dan sebagainya.
2. Zona peralihan atau zona transisi, merupakan daerah kegiatan. Penduduk zona ini tidak stabil, baik dilihat dari tempat tinggal
maupun sosial ekonomi. Daerah ini sering ditemui kawasan permukiman kumuh yang disebut slum karena zona ini dihuni
penduduk miskin. Namun demikian sebenarnya zona ini merupakan zona pengembangan industri sekaligus menghubungkan
antara pusat kota dengan daerah di luarnya.
3. Zona permukiman kelas proletar, perumahannya sedikit lebih baik karena dihuni oleh para pekerja yang berpenghasilan kecil
atau buruh dan karyawan kelas bawah, ditandai oleh adanya rumah-rumah kecil yang kurang menarik dan rumah-rumah susun
sederhana yang dihuni oleh keluarga besar. Burgess menamakan daerah ini yaitu working men's homes.
4. Zona permukiman kelas menengah (residential zone), merupakan kompleks perumahan para karyawan kelas menengah yang
memiliki keahlian tertentu. Rumah-rumahnya lebih baik dibandingkan kelas proletar.
5. Wilayah tempat tinggal masyarakat berpenghasilan tinggi. Ditandai dengan adanya kawasan elit, perumahan dan halaman yang
luas. Sebagian penduduk merupakan kaum eksekutif, pengusaha besar, dan pejabat tinggi.
6. Zona penglaju (commuters), merupakan daerah yang yang memasuki daerah belakang (hinterland) atau merupakan batas desa-
kota. Penduduknya bekerja di kota dan tinggal di pinggiran.

 Teori Sektoral (Hoyt, 1939)

Teori Sektoral
Teori ini menyatakan bahwa DPK atau CBD memiliki pengertian yang sama dengan yang diungkapkan oleh
Teori Konsentris.
1. Sektor pusat kegiatan bisnis yang terdiri atas bangunan-bangunan kontor, hotel, bank, bioskop,
pasar, dan pusat perbelanjaan.
2. Sektor kawasan industri ringan dan perdagangan.
3. Sektor kaum buruh atau kaum murba, yaitu kawasan permukiman kaum buruh.
4. Sektor permukiman kaum menengah atau sektor madya wisma.
5. Sektor permukiman adi wisma, yaitu kawasan tempat tinggal golongan atas yang terdiri dari para eksekutif dan pejabat.

 Teori Inti Berganda (Harris dan Ullman, 1945)

Teori Inti Berganda


Teori ini menyatakan bahwa DPK atau CBD adalah pusat kota yang letaknya relatif di tengah-tengah sel-
sel lainnya dan berfungsi sebagai salah satu growing points. Zona ini menampung sebagian besar kegiatan
kota, berupa pusat fasilitas transportasi dan di dalamnya terdapat distrik spesialisasi pelayanan, seperti
retailing, distrik khusus perbankan, teater dan lain-lain. Namun, ada perbedaan dengan dua teori yang
disebutkan di atas, yaitu bahwa pada Teori Pusat Berganda terdapat banyak DPK atau CBD dan letaknya
tidak persis di tengah kota dan tidak selalu berbentuk bundar.
1. Pusat kota atau Central Business District (CBD).
2. Kawasan niaga dan industri ringan.
3. Kawasan murbawisma atau permukiman kaum buruh.
4. Kawasan madyawisma atau permukiman kaum pekerja menengah.
5. Kawasan adiwisma atau permukiman kaum kaya.
6. Pusat industri berat.
7. Pusat niaga/perbelanjaan lain di pinggiran.
8. Upakota, untuk kawasan mudyawisma dan adiwisma.
9. Upakota (sub-urban) kawasan industri

 Teori Ketinggian Bangunan (Bergel, 1955).


Teori ini menyatakan bahwa perkembangan struktur kota dapat dilihat dari variabel ketinggian bangunan. DPK atau CBD secara garis besar
merupakan daerah dengan harga lahan yang tinggi, aksesibilitas sangat tinggi dan ada kecenderungan membangun struktur perkotaan secara
vertikal. Dalam hal ini, maka di DPK atau CBD paling sesuai dengan kegiatan perdagangan (retail activities), karena semakin tinggi
aksesibilitas suatu ruang maka ruang tersebut akan ditempati oleh fungsi yang paling kuat ekonominya.

 Teori Konsektoral (Griffin dan Ford, 1980)


Teori Konsektoral dilandasi oleh struktur ruang kota di Amerika Latin. Dalam teori ini disebutkan bahwa DPK atau CBD merupakan tempat
utama dari perdagangan, hiburan dan lapangan pekerjaan. Di daerah ini terjadi proses perubahan yang cepat sehingga mengancam nilai
historis dari daerah tersebut. Pada daerah – daerah yang berbatasan dengan DPK atau CBD di kota-kota Amerika Latin masih banyak tempat
yang digunakan untuk kegiatan ekonomi, antara lain pasar lokal, daerah-daerah pertokoan untuk golongan ekonomi lemah dan sebagian lain
dipergunakan untuk tempat tinggal sementara para imigran.

 Teori Historis (Alonso, 1964)


DPK atau CBD dalam teori ini merupakan pusat segala fasilitas kota dan merupakan daerah dengan daya tarik tersendiri dan aksesibilitas
yang tinggi.

 Teori Poros (Babcock, 1960)


Menitikberatkan pada peranan transportasi dalam mempengaruhi struktur keruangan kota. Asumsinya adalah mobilitas fungsi-fungsi dan
penduduk mempunyai intensitas yang sama dan topografi kota seragam. Faktor utama yang mempengaruhi mobilitas adalah poros
transportasi yang menghubungkan CBD dengan daerah bagian luarnya.Aksesibilitas memperhatikan biaya waktu dalam sistem transportasi
yang ada. Sepanjang poros transportasi akan mengalami perkembangan lebih besar dibanding zona di antaranya. Zona yang tidak terlayani
dengan fasilitas transportasi yang cepat.

Kecamatan adalah pembagian wilayah administratif di Indonesia di bawah kabupaten atau kota. Kecamatan terdiri atas desa-desa atau
kelurahan-kelurahan.
Kecamatan atau sebutan lain adalah wilayah kerja camat sebagai perangkat daerah kabupaten/kota (PP. 19 tahun 2008). Kedudukan
kecamatan merupakan perangkat daerah kabupaten/kota sebagai pelaksana teknis kewilayahan yang mempunyai wilayah kerja tertentu dan
dipimpin oleh camat.
Pembentukan kecamatan adalah pemberian status pada wilayah tertentu sebagai kecamatan di kabupaten/kota.
Penghapusan kecamatan adalah pencabutan status sebagai kecamatan di wilayah kabupaten/kota.
Penggabungan kecamatan adalah penyatuan kecamatan yang dihapus kepada kecamatan lain.

Dalam konteks otonomi daerah di Indonesia, Kecamatan merupakan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Kabupaten atau Kota yang
mempunyai wilayah kerja tertentu yang dipimpin oleh seorang Camat. Istilah "Kecamatan" di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam disebut
juga dengan "Sagoe Cut" sedangkan di Papua disebut dengan istilah "Distrik".
Kedudukan dan susunan organisasi
Kecamatan merupakan perangkat daerah kabupaten/kota sebagai pelaksana teknis kewilayahan yang mempunyai wilayah kerja tertentu dan
dipimpin oleh camat. Sedangkan Camat berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada bupati/wali kota melalui sekretaris daerah.
Organisasi kecamatan dipimpin oleh (1) satu camat, 1 (satu) sekretaris (kecamatan), paling banyak 5 (lima) seksi yang masing-masing
dipimpin oleh 1 (satu) kepala seksi, dan sekretariat membawahkan paling banyak 3 (tiga) sub bagian yang masing-masing dikepalai oleh 1
(satu) kepala sub bagian.

Hubungan kerja
No. Hubungan Kecamatan dengan ... Sifat Hubungan Keterangan
Koordinasi teknis fungsional dan teknis
1 SKPD Kab./Kota Contoh : Dinas dan/atau UPT Dinas
operasional
Contoh: Koramil, Polsek, Mantri Statistik,
2 Instansi Vertikal di wilayah kerjanya Koordinasi teknis fungsional
KUA
Swasta, LSM, Parpol, Ormas di wilayah
3 Koordinasi dan Fasilitasi -
kerjanya

Gambaran umum
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-
tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang -undang. Hubungan wewenang antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota atau antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, diatur dengan undang
-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. Selain itu Negara mengakui dan menghormati satuan -satuan
pemerintahan daerah yang bersifat istimewa dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam penyelenggaraan pemerintahannya menganut asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas
pembantuan. Prinsip penyelenggaraan desentralisasi adalah otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengatur dan
mengurus semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah
untuk memberikan pelayanan, peningkatan peranserta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan
kesejahteraan rakyat.

Kebijakan otonomi daerah dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, secara eksplisit memberikan
otonomi yang luas kepada pemerintah daerah untuk mengurus dan mengelola berbagai kepentingan dan kesejahteraan masyarakat daerah.
Pemerintah Daerah harus mengoptimalkan pembangunan daerah yang berorientasi kepada kepentingan masyarakat. Melalui Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004, pemerintah daerah dan masyarakat di daerah lebih diberdayakan sekaligus diberi tanggung jawab yang lebih besar
untuk mempercepat laju pembangunan daerah.

Sejalan dengan hal tersebut, maka implementasi kebijakan otonomi daerah telah mendorong terjadinya perubahan, baik secara struktural,
fungsional maupun kultural dalam tatanan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Salah satu perubahan yang sangat esensial yaitu
menyangkut kedudukan, tugas pokok dan fungsi kecamatan yang sebelumnya merupakan perangkat wilayah dalam kerangka asas
dekonsentrasi, berubah statusnya menjadi perangkat daerah dalam kerangka asas desentralisasi. Sebagai perangkat daerah, Camat dalam
menjalankan tugasnya mendapat pelimpahan kewenangan dari dan bertanggung jawab kepada bupati/wali kota.

Pengaturan penyelenggaraan kecamatan baik dari sisi pembentukan, kedudukan, tugas dan fungsinya secara legalistik diatur dengan
Peraturan Pemerintah. Sebagai perangkat daerah, Camat mendapatkan pelimpahan kewenangan yang bermakna urusan pelayanan
masyarakat. Selain itu kecamatan juga akan mengemban penyelenggaraan tugas-tugas umum pemerintahan.

Camat dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh perangkat kecamatan dan bertanggung jawab kepada bupati/wali kota melalui sekretaris
daerah kabupaten/kota. Pertanggungjawaban Camat kepada bupati/wali kota melalui sekretaris daerah adalah pertanggungjawaban
administratif. Pengertian melalui bukan berarti Camat merupakan bawahan langsung Sekretaris Daerah, karena secara struktural Camat
berada langsung di bawah bupati/wali kota.

Camat juga berperan sebagai kepala wilayah(wilayah kerja, namun tidak memiliki daerah dalam arti daerah kewenangan), karena
melaksanakan tugas umum pemerintahan di wilayah kecamatan, khususnya tugas-tugas atributif dalam bidang koordinasi pemerintahan
terhadap seluruh instansi pemerintah di wilayah kecamatan, penyelenggaraan ketenteraman dan ketertiban, penegakan peraturan perundang -
undangan, pembinaan penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan, serta pelaksanaan tugas pemerintahan lainnya yang belum
dilaksanakan oleh pemerintahan desa/kelurahan dan/atau instansi pemerintah lainnya di wilayah kecamatan. Oleh karena itu, kedudukan
camat berbeda dengan kepala instansi pemerintahan lainnya di kecamatan, karena penyelenggaraan tugas instansi pemerintahan lainnya di
kecamatan harus berada dalam koordinasi Camat.

Camat sebagai perangkat daerah juga mempunyai kekhususan dibandingkan dengan perangkat daerah lainnya dalam pelaksanaan tugas
pokok dan fungsinya untuk mendukung pelaksanaan asas desentralisasi. Kekhususan tersebut yaitu adanya suatu kewajiban
mengintegrasikan nilai-nilai sosio kultural, menciptakan stabilitas dalam dinamika politik, ekonomi dan budaya, mengupayakan terwujudnya
ketenteraman dan ketertiban wilayah sebagai perwujudan kesejahteraan rakyat serta masyarakat dalam kerangka membangun integritas
kesatuan wilayah. Dalam hal ini, fungsi utama camat selain memberikan pelayanan kepada masyarakat, juga melakukan tugas-tugas
pembinaan wilayah.

Secara filosofis, kecamatan yang dipimpin oleh Camat perlu diperkuat dari aspek sarana prasarana, sistem administrasi, keuangan dan
kewenangan bidang pemerintahan dalam upaya penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan sebagai ciri pemerintahan kewilayahan yang
memegang posisi strategis dalam hubungan dengan pelaksanaan kegiatan pemerintahan kabupaten/kota yang dipimpin oleh bupati/wali kota.
Sehubungan dengan itu, Camat melaksanakan kewenangan pemerintahan dari 2 (dua) sumber yakni: pertama, bidang kewenangan dalam
lingkup tugas umum pemerintahan; dan kedua, kewenangan bidang pemerintahan yang dilimpahkan oleh bupati/wali kota dalam rangka pela
ksanaan otonomi daerah.

Dengan demikian, peran Camat dalam penyelenggaraan pemerintahan lebih sebagai pemberi makna pemerintahan di wilayah kecamatan,
atas dasar pertimbangan demikian, maka Camat secara filosofis pemerintahan dipandang masih relevan untuk menggunakan tanda jabatan
khusus sebagai perpanjangan tangan dari bupati/wali kota di wilayah kerjanya (Penjelasan Umum PP. 19 Tahun 2008).
Kelurahan adalah pembagian wilayah administratif di Indonesia di bawah kecamatan. Dalam konteks otonomi daerah di Indonesia,
Kelurahan merupakan wilayah kerja Lurah sebagai Perangkat Daerah Kabupaten atau kota. Kelurahan dipimpin oleh seorang Lurah yang
berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil.
Kelurahan merupakan unit pemerintahan terkecil setingkat dengan desa. Berbeda dengan desa, kelurahan memiliki hak mengatur wilayahnya
lebih terbatas. Dalam perkembangannya, sebuah desa dapat diubah statusnya menjadi kelurahan.

Desa, atau udik, menurut definisi "universal", adalah sebuah aglomerasi permukiman di area perdesaan (rural). Di Indonesia, istilah desa
adalah pembagian wilayah administratif di Indonesia di bawah kecamatan, yang dipimpin oleh Kepala Desa. Sebuah desa merupakan
kumpulan dari beberapa unit pemukiman kecil yang disebut kampung (Banten, Jawa Barat) atau dusun (Yogyakarta) atau banjar (Bali) atau
jorong (Sumatera Barat). Kepala Desa dapat disebut dengan nama lain misalnya Kepala Kampung atau Petinggi di Kalimantan Timur,
Klèbun di Madura, Pambakal di Kalimantan Selatan, Hukum Tua di Sulawesi Utara.

Sejak diberlakukannya otonomi daerah Istilah desa dapat disebut dengan nama lain, misalnya di Sumatera Barat disebut dengan istilah
nagari, di Aceh dengan istilah gampong, di Papua dan Kutai Barat, Kalimantan Timur disebut dengan istilah kampung. Begitu pula segala
istilah dan institusi di desa dapat disebut dengan nama lain sesuai dengan karakteristik adat istiadat desa tersebut. Hal ini merupakan salah
satu pengakuan dan penghormatan Pemerintah terhadap asal usul dan adat istiadat setempat.

Desa di Indonesia
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, disebut bahwa Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki
batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat
istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Perbedaan Desa dengan Kelurahan


Desa bukanlah bawahan kecamatan, karena kecamatan merupakan bagian dari perangkat daerah kabupaten/kota, dan desa bukan merupakan
bagian dari perangkat daerah. Berbeda dengan Kelurahan, Desa memiliki hak mengatur wilayahnya lebih luas. Namun dalam
perkembangannya, sebuah desa dapat diubah statusnya menjadi kelurahan.

Kewenangan desa adalah:


 Menyelenggarakan urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa
 Menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada
desa, yakni urusan pemerintahan yang secara langsung dapat meningkatkan pelayanan masyarakat.
 Tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota
 Urusan pemerintahan lainnya yang diserahkan kepada desa.

Pemerintahan Desa
Desa memiliki pemerintahan sendiri. Pemerintahan Desa terdiri atas Pemerintah Desa (yang meliputi Kepala Desa dan Perangkat Desa) dan
Badan Permusyawaratan Desa (BPD)

Kepala Desa

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Kepala Desa

Kepala Desa merupakan pimpinan penyelenggaraan pemerintahan desa berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama Badan
Permusyawaratan Desa (BPD). Masa jabatan Kepala Desa adalah 6 tahun, dan dapat diperpanjang lagi untuk satu kali masa jabatan. Kepala
Desa juga memiliki wewenang menetapkan Peraturan Desa yang telah mendapat persetujuan bersama BPD.

Kepala Desa dipilih langsung melalui Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) oleh penduduk desa setempat. Syarat-syarat menjadi calon Kepala
Desa sesuai Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 sbb:
1. Bertakwa kepada Tuhan YME
2. Setia kepada Pacasila sebagai dasar negara, UUD 1945 dan kepada NKRI, serta Pemerintah
3. Berpendidikan paling rendah SLTP atau sederajat
4. Berusia paling rendah 25 tahun
5. Bersedia dicalonkan menjadi Kepala Desa
6. Penduduk desa setempat
7. Tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan dengan hukuman paling singkat 5 tahun
8. Tidak dicabut hak pilihnya
9. Belum pernah menjabat Kepala Desa paling lama 10 tahun atau 2 kali masa jabatan
10. Memenuhi syarat lain yang diatur Perda Kab/Kota

Perangkat Desa
Perangkat Desa bertugas membantu Kepala Desa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Perangkat Desa terdiri dari Sekretaris Desa
dan Perangkat Desa Lainnya. Salah satu perangkat desa adalah Sekretaris Desa, yang diisi dari Pegawai Negeri Sipil. Sekretaris Desa
diangkat oleh Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota atas nama Bupati/Walikota.

Perangkat Desa lainnya diangkat oleh Kepala Desa dari penduduk desa, yang ditetapkan dengan Keputusan Kepala Desa. perangkat desa
juga mempunyai tugas untuk mengayomi kepentingan masyarakatnya.

Badan Permusyawaratan Desa


Artikel utama: Badan Permusyawaratan Desa
Badan Permusyawaratan Desa (BPD) merupakan lembaga perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Anggota BPD
adalah wakil dari penduduk desa bersangkutan berdasarkan keterwakilan wilayah. Anggota BPD terdiri dari Ketua Rukun Warga, pemangku
adat, golongan profesi, pemuka agama dan tokoh atau pemuka masyarakat lainnya. Masa jabatan anggota BPD adalah 6 tahun dan dapat
diangkat/diusulkan kembali untuk 1 kali masa jabatan berikutnya. Pimpinan dan Anggota BPD tidak diperbolehkan merangkap jabatan
sebagai Kepala Desa dan Perangkat Desa. BPD berfungsi menetapkan Peraturan Desa bersama Kepala Desa, menampung dan
menyalurkan aspirasi masyarakat.

Keuangan desa
Penyelenggaraan urusan pemerintahan desa yang menjadi kewenangan desa didanai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APB
Desa), bantuan pemerintah dan bantuan pemerintah daerah. Penyelenggaraan urusan pemerintah daerah yang diselenggarakan oleh
pemerintah desa didanai dari APBD. Penyelenggaraan urusan pemerintah yang diselenggarakan oleh pemerintah desa

Sumber pendapatan desa terdiri atas:


 Pendapatan Asli Desa, antara lain terdiri dari hasil usaha desa, hasil kekayaan desa (seperti tanah kas desa, pasar desa,
bangunan desa), hasil swadaya dan partisipasi, hasil gotong royong
 Bagi hasil Pajak Daerah Kabupaten/Kota
 bagian dari Dana Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
 bantuan keuangan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam rangka pelaksanaan urusan
pemerintahan;
 hibah dan sumbangan dari pihak ketiga yang tidak mengikat.
 Pinjaman desa

APB Desa terdiri atas bagian Pendapatan Desa, Belanja Desa dan Pembiayaan. Rancangan APB Desa dibahas dalam musyawarah
perencanaan pembangunan desa. Kepala Desa bersama BPD menetapkan APB Desa setiap tahun dengan Peraturan Desa.

Klasifikasi
Desa dapat diklasifikasikan menurut:

Menurut aktivitasnya
 Desa agraris, adalah desa yang mata pencaharian utama penduduknya adalah di bidang pertanian dan perkebunanan.
 Desa industri, adalah desa yang mata pencaharian utama penduduknya adalah di bidang industri kecil rumah tangga.
 Desa nelayan, adalah desa yang mata pencaharian utama penduduknya adalah di bidang perikanan dan pertambakan.

Menurut tingkat perkembangannya


 Desa Swadaya
Desa swadaya adalah desa yang memiliki potensi tertentu tetapi dikelola dengan sebaik-baiknya, dengan ciri:
1. Daerahnya terisolir dengan daerah lainnya.
2. Penduduknya jarang.
3. Mata pencaharian homogen yang bersifat agraris.
4. Bersifat tertutup.
5. Masyarakat memegang teguh adat.
6. Teknologi masih rendah.
7. Sarana dan prasarana sangat kurang.
8. Hubungan antarmanusia sangat erat.
9. Pengawasan sosial dilakukan oleh keluarga.
 Desa Swakarya
Desa swakarya adalah peralihan atau transisi dari desa swadaya menuju desa swasembada. Ciri-ciri desa swakarya adalah:
1. Kebiasaan atau adat istiadat sudah tidak mengikat penuh.
2. Sudah mulai menpergunakan alat-alat dan teknologi
3. Desa swakarya sudah tidak terisolasi lagi walau letaknya jauh dari pusat perekonomian.
4. Telah memiliki tingkat perekonomian, pendidikan, jalur lalu lintas dan prasarana lain.
5. Jalur lalu lintas antara desa dan kota sudah agak lancar.
 Desa Swasembada
Desa swasembada adalah desa yang masyarakatnya telah mampu memanfaatkan dan mengembangkan sumber daya alam dan potensinya
sesuai dengan kegiatan pembangunan regional. Ciri-ciri desa swasembada
1. kebanyakan berlokasi di ibukota kecamatan.
2. penduduknya padat-padat.
3. tidak terikat dengan adat istiadat
4. telah memiliki fasilitas-fasilitas yang memadai dan labih maju dari desa lain.
5. partisipasi masyarakatnya sudah lebih efektif.

Potensi Desa
Potensi desa dibagi menjadi 2 macam yaitu:
 Potensi fisik yang meliputi, tanah air, iklim dan cuaca, flora dan fauna
 Potensi non fisik, meliputi; masyarakat desa, lembaga-lembaga sosial desa, dan aparatur desa, jika potensi dimanfaatkan
dengan baik, desa akan berkembang dan desa akan memiliki fungsi, bagi daerah lain maupun bagi kota.

Fungsi Desa
Fungsi desa adalah sebagai berikut:
 Desa sebagai hinterland (pemasok kebutuhan bagi kota)
 Desa merupakan sumber tenaga kerja kasar bagi perkotaan
 Desa merupakan mitra bagi pembangunan kota
 Desa sebagai bentuk pemerintahan terkecil di wilayah Kesatuan Negara Republik Indonesia
Ciri-ciri Masyarakat Desa
 Kehidupan keagamaan di kota berkurang dibandingkan dengan kehidupan keagamaan di desa.
 Orang kota pada umumnya dapat mengurus dirinya sendiri tanpa harus bergantung pada orang lain. Yang penting disini adalah
manusia perorangan atau individu.
 Pembagian kerja di antara warga-warga kota juga lebih tegas dan mempunyai batas-batas yang nyata.
 Kemungkinan-kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan juga lebih banyak diperoleh warga kota dari pada warga desa.
 Interaksi yang lebih banyak terjadi berdasarkan pada faktor kepentingan daripada faktor pribadi.
 Pembagian waktu yang lebih teliti dan sangat penting, untuk dapat mengejar kebutuhan individu.
 Perubahan-perubahan sosial tampak dengan nyata di kota-kota, sebab kota biasanya terbuka dalam menerima pengaruh. [1]

Pola persebaran desa


Pola persebaran desa di Indonesia dibagi menjadi 3 yaitu:
 Pola Memanjang (linier).
Pola memanjang dibagi menjadi 4 yaitu:
1. Pola yang mengikuti jalan. Pola desa yang terdapat di sebelah kiri dan kanan jalan raya atau jalan umum. Pola ini banyak
terdapat di dataran rendah.
2. Pola yang mengikuti sungai. Pola desa ini bentuknya memanjang mengikuti bentuk sungai, umumnya terdapat di daerah
pedalaman.
3. Pola yang mengikuti rel kereta api. Pola ini banyak terdapat di Pulau Jawa dan Sumatera karena penduduknya mendekati
fasilitas transportasi.
4. Pola yang mengikuti pantai. Pada umumnya, pola desa seperti ini merupakan desa nelayan yang terletak di kawasan pantai yang
landai.
Maksud dari pola memanjang atau linier adalah untuk mendekati prasarana transportasi seperti jalan dan sungai sehingga memudahkan untuk
bepergian ke tempat lain jika ada keperluan. Di samping itu, untuk memudahkan penyerahan barang dan jasa.
 Pola Desa Menyebar
Pola desa ini umumnya terdapat di daerah pegunungan atau dataran tinggi yang berelief kasar. Pemukiman penduduk membentuk kelompok
unit-unit yang kecil dan menyebar.
 Pola Desa Tersebar
Pola desa ini merupakan pola yang tidak teratur karena kesuburan tanah tidak merata. Pola desa seperti ini terdapat di daerah karst atau
daerah berkapur. Keadaan topografinya sangat buruk.

Lembaga kemasyarakatan
Di desa dapat dibentuk lembaga kemasyarakatan, yakni lembaga yang dibentuk oleh masyarakat sesuai dengan kebutuhan dan merupakan
mitra pemerintah desa dalam memberdayakan masyarakat. Lembaga kemasyarakatan ditetapkan dengan Peraturan Desa. Salah satu fungsi
lembaga kemasyarakatan adalah sebagai penampungan dan penyaluran aspirasi masyarakat dalam pembangunan. Hubungan kerja antara
lembaga kemasyarakatan dengan Pemerintahan Desa bersifat kemitraan, konsultatif dan koordinatif.

Pembentukan Desa ( Pembagian Administratif Desa)


Desa dibentuk atas prakarsa masyarakat dengan memperhatikan asal-usul desa dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Pembentukan
desa dapat berupa penggabungan beberapa desa, atau bagian desa yang bersandingan, atau pemekaran dari satu desa menjadi dua desa atau
lebih, atau pembentukan desa di luar desa yang telah ada.
Desa dapat diubah atau disesuaikan statusnya menjadi kelurahan berdasarkan prakarsa Pemerintah Desa bersama BPD dengan
memperhatikan saran dan pendapat masyarakat setempat. Desa yang berubah menjadi Kelurahan, Lurah dan Perangkatnya diisi dari pegawai
negeri sipil.

Desa yang berubah statusnya menjadi Kelurahan, kekayaannya menjadi kekayaan daerah dan dikelola oleh kelurahan yang bersangkutan
untuk kepentingan masyarakat setempat.
Desa mempunyai ciri budaya khas atau adat istiadat lokal yang sangat urgen,

Pembagian Administratif Padukuhan (Dusun)


Dalam wilayah desa dapat dibagi atas dusun atau padukuhan, yang merupakan bagian wilayah kerja pemerintahan desa dan ditetapkan
dengan peraturan desa.

Saat ini, Indonesia terdiri dari 34 provinsi. Dari 34 provinsi tersebut, 5 di antaranya memiliki status khusus sebagai daerah khusus atau
daerah istimewa yaitu: Aceh, Jakarta, Papua, Papua Barat, dan Yogyakarta. Dari ke-34 provinsi tersebut, 10 di antaranya terletak di Pulau
Sumatera, 6 di Pulau Jawa, 5 di Pulau Kalimantan, 6 di Pulau Sulawesi, 3 di Kepulauan Nusa Tenggara, 2 di Kepulauan Maluku, dan 2 lainnya
terletak di Pulau Papua.

Anda mungkin juga menyukai