PENGERTIAN HUKUM
Hukum merupakan salah satu norma dalam masyarakat sering pula disebut sebagai Norma Hukum.
Merangkum beberapa defenisi hukum menurut para ahli maka unsur hukum ada 4, yaitu:
1. Berisi peraturan mengenai tingkah laku manusia dan pergaulan hidup masyarakat
2. Ada sanksi yang tegas terhadap pelanggaran peraturan
3. Dilaksanakan oleh badan-badan resmi negara
4. Bersifat memaksa (wajib dipatuhi)
Tujuan hukum:
1. Teori Etis
Berdasarkan pada etika. Isi hukum ditentukan oleh keyakinan kita yang etis tentang yang adil dan
tidak. Menurut teori ini, hukum bertujuan semata-mata mencapai keadilan dan memberikan setiap
orang apa yang menjadi haknya.
2. Teori Utilities
Hukum bertujuan memberikan manfaat sebanyak-banyaknya orang di dalam suatu masyarakat. Pada
hakikatnya, tujuan hukum adalah manfaat dalam memberikan kebahagiaan atau kenikmatan besar
bagi sejumlah besar orang.
3. Teori Campuran
Tujuan pokok dan pertama hukum adalah ketertiban. Karena ketertiban adalah syarat fundamental
bagi masyarakat yang teratur. Tujuan lain dari hukum adalah tercapainya keadilan.
TUGAS INDIVIDU:
Membuat karya tulis tentang apa pengertian sistem hukum (100 kata) dan pentingnya hukum dalam mengatur
masyarakat daalam kehidupan berbangsa dan bernegara (100 kata)
HUKUM DI INDONESIA
Indonesia adalah negara hukum. Hal ini dinyatakan dalam UUD 1945 yaitu Pasal 1 ayat (3) berbunyi “Negara
Indonesia adalah negara hukum.”.
Selain itu dinyatakan juga dalam:
1. Pembukaan UUD 1945
a. Alinea ke-1: “… kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di
atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”
Negara hukum mengakui HAM
b. Alinea ke-2: “… mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara
Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.” Cita-cita negara hukum:
merdeka, adil dan makmur
c. Alinea ke-4: “… maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-
Undang Dasar Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia, yang
berkedaulatan rakyat dengan berdasar pada kemanusiaan yang adil dan beradab … mewujudkan
suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Tujuan hukum: keadilan
2. Batang Tubuh UUD 1945
a. Pasal 4 ayat (1) “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintah menurut
Undang-Undang Dasar.”
b. Pasal 27 ayat (1) “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
c. Pasal 28D ayat (1) “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
d. Pasal 28I ayat (1) “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati
nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan
hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut, adalah hak asasi
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.”
e. Pasal 28I ayat (5) “Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai prinsip negara
hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin diatur dan dituangkan
dalam peraturan perundang-undangan.”
Dalam pembentukan hukum nasional kita, berdasarkan Pasal 1 Aturan Peralihan UUD 1945 yang berbunyi,
“Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru
menurut Undang-Undang Dasar ini.” Jadi selama peraturan perundang-undangan yang baru belum ada maka
segala peraturan perundang-undangan yang ada termasuk peraturan perundang-undangan zaman kolonial
masih diberlakukan, tentunya disesuaikan dengan keadaan dan jiwa bangsa Indonesia yang sudah merdeka.
Penggolongan hukum:
1. Menurut Sumbernya
a. Undang-undang (UU)
1) UU dalam arti material, adalah setiap peraturan yang dikelauarkan pemerintah yang dilihat
dari isinya disebut undang-undang dan mengikat secara umum. Contoh: UUD, Tap MPR, UU,
Perpu, Perpem, Kepres, dan Perda.
2) UU dalam arti formal, adalah setiap keputusan penguasa yang dilihat dari bentuk dan cara
terjadinya dapat disebut undang-undang. Contoh: presiden membentuk UU bersama DPR.
d. Perjanjian Internasional
Adalah perjanjian yang dibuat antara 2 negara atau lebih mengenai persoalan-persoalan tertentu
yang menjadi kepentingan negara bersangkutan.
1) Traktat bilateral, adalah perjanjian yang dibuat oleh 2 negara.
2) Traktat multilateral, adalah perjanjian yang dibuat oleh lebih dari 2 negara.
e. Doktrin
Merupakan pendapat para ahli hukum terkemuka yang dijadikan dasar/asas penting dalam
hukum dan penerapannya. Doktrin dapat menjadi sumber hukum formal apabila digunakan para
hakim dalam memutuskan perkara, bahkan berpengaruh besar dalam hubungan internasional.
1) Oleh ahli hukum tatanegara dikenal Trias Politica (Montesquieu) yang membagi kekuasaan
menjadi 3 bagian terpisah:
a) Kekuasaan eksekutif, melaksanakan UU
b) Kekuasaan legislatif, membuat UU
c) kekuasaan yudikatif, mengadili pelanggaran UU
2) Oleh ahli hukum agama
2. Menurut Sasarannya
a) Hukum satu golongan, berlaku pada satu golongan tertentu. Contoh UU Perkawinan
diperuntukkan bagi warga negara memeluk agama Islam.
b) Hukum semua golongan, berlaku bagi semua golongan tanpa kecuali. Contoh UU tentang
kewarganegaraan No.12/2006
c) Hukum antar golongan, mengatur kepentingan tertentu dengan golongan lain. Contoh UU
No.2/1985 tentang dwi-kenegaraan RI-RRC
3. Menurut Bentuknya
a) Hukum tertulis, bentuknya tertulis dan resmi dan dicantumkan dalam berbagai peraturan negara.
Contohnya UUD 1945
b) Hukum tidak tertulis, biasanya dari kebiasaan-kebiasaan yang tumbuh dan dipelihara dalam
masyarakat. Ada (hidup dan tumbuh) dalam keyakinan masyarakat tertentu (hukum adat). Dalam
kenegaraan disebut konvensi, contoh pidato kenegaraan presiden setiap 16 agustus
4. Menurut Isinya
a) Hukum publik, mengatur hubungan-hubungan hukum yang menyangkut kepentingan umum.
Contoh KUHPidana.
b) Hukum privat/sipil, mengatur hubungan-hubungan hukum yang menyangkut pribadi antara orang
yang satu dnegan orang yang lain. Contoh hukum dagang dan hukum perkawinan
5. Menurut Wujudnya
a) Hukum objektif, hukum dalam negara yang berlaku umum dan tidak mengenal orang atau
golongan tertentu. Contoh UU No.14/1992 tentang lalu lintas
b) Huykum subjektif, hukum yang timbul dari hukum objektif yang dihubungkan dengan seseorang
tertentu. Contoh UU No.1/1974 tentang perkawinan
ORANG SADAR HUKUM: TAHU MENGERTI SIKAP BAIK (MENERIMA) PERILAKU TAAT
Contoh perbuatan taat hukum:
1. Lingkungan Keluarga
a. Setiap keluarga memiliki KK
b. Seluruh anggota keluarga dilengkapi akta kelahiran
c. Setiap warga memiliki KTP bagi yang sudah berusia 17 tahun
d. Membayar pajak
2. Lingkungan Sekolah
a. Membayar uang seragam/administrasi tepat waktu
b. Mengikuti pelajaran sesuai jadwal
c. Berseragam sekolah sesuai ketentuan
d. Memelihara kebersihan lingkungan dengan bertugas piket dan buang sampah ditempat sampah
3. Lingkungan Masyarakat, Bangsa, dan Negara
a. Menaati UU lalu lintas
b. Memiliki SIM dan STNK bagi pengendara bermotor
c. Memakai helm dikawasan tertib lalin
d. Mematuhi ketentuan hukum dan pemerintah
Penggolongan tipe-tipe kejahatan pidana (yang merugikan masyarakat):
1. Kejahatan politik meliputi pengkhianatan, spionase, sabotase
2. Kejahatan profesional yaitu kejahatan yang dilakukan sebagai suatu cara hidup seseorang (mafia,
preman, dll)
3. Kejahatan perorangan dengan kekerasan, seperti pembunuhan dan perkosaan
4. Kejahatan konvensional, antara lain perampokan dan bentuk-bentuk pencurian dengan kekerasan
5. Kejahatan terhadap harta benda yang dilakukan sewaktu-waktu, seperti pencurian kendaraan
bermotor
6. Kejahatan terhadap ketertiban umum, seperti penyelenggaraan pelacuran, pungutan/sumbangan liar
7. Kejahatan yang dilakukan dalam pekerjaan dan kedudukan tertentu yang pada umumnya dilakukan
oleh orang berkedudukan tinggi (KKN)
8. Kejahatan terorganisir, antara lain pemerasan, perjudian, pengedaran narkotika
TUGAS INDIVIDU:
Proyek pengamatan dan wawancara tentang pengetahuan, pemahaman, sikap dan perilaku sadar hukum di
lingkungan keluarga, tempat tinggal dan sekolah
Dan argumentasi pribadi tentang tatib sekolah dan alasan setuju atau tidak setuju
1. Civil Law, hukum sipil berdasarkan kode sipil yang terkodifikasi. Sistem ini berasal dari hukum Romawi (Roman Law)
yang dipraktekkan oleh negara-negara Eropa Kontinental, termasuk bekas jajahannya.
2. Common Law, hukum yang berdasarkan custom.kebiasaaan berdasarkan preseden atau judge made law. Sistem ini
dipraktekkan di negara-negara Anglo Saxon, seeprti Inggris dan Amerika Serikat.
3. Islamic Law, hukum yang berdasarkan syariah Islam yang bersumber dari Al Qur’an dan Hadits.
4. Socialist Law, sistem hukum yang dipraktekkan di negara-negara sosialis.
5. Sub-Saharan Africa Law, sistem hukum yang dipraktekkan di negara Afrika yang berada di sebelah selatan Gunung
Sahara.
6. Far Fast Law, sistem hukum Timur jauh – merupakan sistem hukum uang kompleks yang merupakan perpaduan antara
sistem Civil Law, Common Law, dan Hukum Islam sebagai basis fundamental masyarakat.
Pada dasarnya sistem hukum nasional Indonesia terbentuk atau dipengaruhi oleh 3 sub-sistem hukum, yaitu :
1. Sistem Hukum Barat, yang merupakan warisan para penjajah kolonial Belanda, yang mempunyai sifat individualistik.
Peninggalan produk Belanda sampai saat ini masih banyak yang berlaku, seperti KUHP, KUHPerdata, dsb.
2. Sistem Hukum Adat, yang bersifat komunal. Adat merupakan cermin kepribadiansuatu bangsa dan penjelmaan jiwa
bangsa yang bersangkutan dari abad ke abad (Soerojo Wigdjodipuro, 1995 : 13).
3. Sistem Hukum Islam, sifatnya religius. Menurut seharahnya sebelum penjajah Belanda datang ke Indonesia, Islam telah
diterima oleh Bangsa Indonesia.
Adanya pengakuan hukum Islam seperti Regeling Reglement, mulai tahun 1855, membuktikan bahwa keberadaan hukum
Islam sebagai salah satu sumber hukum Indonesia nerdasarkan teori “Receptie” (H. Muchsin, 2004)
Sistem Peradilan Indonesia dapat diartikan sebagai “suatu susunan yang teratur dan saling berhubungan, yang berkaitan
dengan kegiatan pemeriksaan dan pemutusan perkara yang dilakukan oleh pengadilan, baik itu pengadilan yang berada di
lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, maupun peradilan tata usaha negara, yang didasari oleh
pandanganm, teori, dan asas-asas di bidang peradilan yang berlaku di Indonesia”.
Oleh karena itu dapat diketahui bahwa Peradilan yang diselenggarakan di Indonesia merupakan suatu sistem yang ada
hubungannya satu sama lain, peradilan/pengadilan yang lain tidak berdiri sendiri-sendiri, melainkan saling berhubungan dan
berpuncak pada Mahkamah Agung. Bukti adanya hubungan antara satu lembaga pengadilan dengan lembaga pengadilan
yang lainnya salah satu diantaranya adalah adanya “Perkara Koneksitas”. Hal tersebut terdapat dalam Pasal 24 Undang-
undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Sistem Peradilan Indonesia dapat diketahui dari ketentuan Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 10 Ayat (1) Undang-
undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dalam Pasal 15 UU Kekuasaan Kehakiman diatur mengenai Pengadilan Khusus sebagai berikut :
1. Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
yang diatur dengan Undang-Undang.
2. Pengadilan Syariah Islam di Provinsi Nangro Aceh Darussalam merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan
agama sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan agama, dan merupakan pengadilan khusus dalam
lingkungan paradilan umum sepanjang kewenangannya menyangkut peradilan umum.
Berdasarkan uraian tersebut, maka sistem peradilan yang ada di Indonesia sebagai berikut:
A. MAHKAMAH AGUNG
UU No. 14 Tahun 1985 jo UU No. 5 Tahun 2005
I. PERADILAN UMUM
a. Pengadilan Anak (UU No. 3 Tahun 1997)
b. Pengadilan Niaga (Perpu No. 1 Tahun 1989)
c. Pengadilan HAM (UU No. 26 Tahun 2000)
d. Pengadilan TPK (UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2002)
e. Pengadilan Hubungan Industrial (UU No. 2 Tahun 2004)
f. Mahkamah Syariah NAD (UU No. 18 Tahun 2001)
g. Pengadilan Lalu Lintas (UU No. 14 Tahun 1992)
V. PERADILAN LAIN-LAIN
a. Mahkamah Pelayaran
b. Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU)
B. MAHKAMAH KONSTITUSI
(UU No. 24 Tahun 2003)
D. Lembaga-Lembaga Peradilan
1. Peradilan Umum Badan peradilan yang mengadili rakyat Indonesia pada umumnya atau rakyat sipil.
Peradilan umum sering disebut juga peradilan sipil.
2. Peradilan Agama Merupakan peradilan agama islam, yang memeriksa dan memutuskan sengketa
antara orang – orang yang beragama islam.
3. Peradilan Militer Peradilan yang mengadili anggota TNI baik angkatan darat, angkatan laut maupun
angkatan udara.
4. Peradilan Tata Usaha Negara Badan peradilan yang mengadili perkara-perkara yang berhubungan
dengan administrasi pemeintah.
1. Pengadilan tingkat pertama, yaitu pengadilan negeri, pengadilan agama, pengadilan tata usaha negara
dan pengadilan militer.
2. Pengadilan tingkat kedua atau banding, yaitu pengadilan tinggi, pengadilan tinggi agama, pengadilan
tinggi tata usaha negara dan pengadilan tinggi militer.
3. Pengadilan tingkat kasasi, yaitu Mahkamah Agung
http://www.pn-yogyakota.go.id/pnyk/pengertian-peradilan.html
E. Peranan Lembaga Peradilan
Lembaga peradilan berperan untuk menerapkan dan menegakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.
Pengadilan sebagai lembaga penegak hukum bertugas untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan setiap
perkara yang diajukan kepadanya agar mendapatkan keadilan. Pengadilan tingkat pertama bertugas dan
berwenang memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan perkara yang pertama kali diajukan. Fungsi
pengadilan tingkat pertama adalah memeriksa tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan
yang diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasa hukumnya. Pengadilan tingkat kedua berfungsi sebagai
pengadilan banding atau keputusan pada pengadilan tingkat pertama. Pengadilan tingkat kasasi, yaitu
Mahkamah Agung bertugas untuk memeriksa dan memutuskan :
1. Permohonan Kasasi
2. Sengketa tentang kewenangan mengadili
3. Permohonan peninjuan kembali putusan pengadilan yang memperoleh keputusan hukum yang pasti.
http://just-alfin.blogspot.com/2012/03/peranan-lembaga-lembaga-peradilan.html
Didirikan 18 Agustus 1945
Yurisdiksi Indonesia
Lokasi Jakarta
Metode Dinominasikan oleh Komisi Yudisial dengan persetujuan DPR dan penetapan
penyusunan Presiden.
Disahkan oleh UUD NRI 1945
Banding Final
Lama masa
5 tahun, dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan
jabatan
Jumlah jabatan Maksimal 60 Hakim Agung
Ketua Mahkamah Agung
Republik Indonesia
Saat ini Hatta Ali
I. BENTUK :
Perisai ( Jawa : Tameng ) / bulat telur
II. I S I :
1. GARIS TEPI
5 (lima) garis yang melingkar pada sisi luar lambang menggambarkan 5 (lima sila dari pancasila)
2. TULISAN
Tulisan " MAHKAMAH AGUNG" yang melingkar diatas sebatas garis lengkung perisai bagian atas menunjukkan Badan,
Lembaga pengguna lambang tersebut.
3. LUKISAN CAKRA
Dalam cerita wayang (pewayangan), cakra adalah senjata Kresna berupa panah beroda yang digunakan sebagai
senjata " Pamungkas " (terakhir). Cakra digunakan untuk memberantas ketidak adilan.
Pada lambang Mahkamah Agung, cakra tidak terlukis sebagai cakra yang sering/banyak dijumpai misalnya cakra
pada lambang Kostrad, lambang Hakim, lambang Ikahi dan lain-lainnya yakni berupa bentuknya cakra. Jadi dalam
keadaan "diam" (statis)
Tidak demikian halnya dengan cakra yang terdapat pada Lambang Mahkamah Agung. Cakra pada lambang
Mahkamah Agung terlukis sebagai cakra yang (sudah) dilepas dari busurnya. Kala cakra dilepas dari busurnya roda
panah (cakra) berputar dan tiap ujung (ada delapan) yang terdapat pada roda panah (cakra) mengeluarkan api.Pada
lambang Mahkamah Agung cakra dilukis sedang berputar dan mengeluarkan lidah api (Belanda : vlam ).
Cakra yang rodanya berputar dan mengeluarkan lidah api menandakan cakra sudah dilepas dari busurnya untuk
menjalankan fungsinya memberantas ketidakadilan dan menegakkan kebenaran.
Jadi pada lambang Mahkamah Agung, cakra digambarkan sebagai cakra yang " aktif ", bukan cakra yang " statis "
4. PERISAI PANCASILA
Perisai Pancasila terletak ditengah-tengah cakra yang sedang menjalankan fungsinya memberantas ketidak adilan
dan menegakkan kebenaran. Hal itu merupakan cerminan dari pasal 1 UU Nomor 14 tahun 1970 yang rumusnya.
" Kekuasaan Kehakiman adalah Kekasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia."
Dengan menggunakan double M.huruf "A" yang terdapat pada akhir kata "dharma" akan dilafal sebagai "A" seperti
pada ucapan kata "ACARA ", "DUA" "LUPA" dan sebagainya.
Apabila menggunakan 1 (satu) huruf "M", huruf "A" yang terdapat pada akhir kata "dharmma" memungkinkan dilafal
sebagai huruf "O" seperti lafal "O" pada kata "MOTOR", "BOHONG" dan lain-lainnya.
Kata "DHARMMA" mengandung arti BAGUS, UTAMA, KEBAIKAN. Sedangkan kata "YUKTI" mengandung arti
SESUNGGUHNYA, NYATA. Jadi kata "DHARMMAYUKTI" mengandung arti KEBAIKAN/KEUTAMAAN YANG NYATA/ YANG
SESUNGGUHNYA yakni yang berujud sebagai KEJUJURAN, KEBENARAN DAN KEADILAN.
Susunan
Mahkamah Agung terdiri dari pimpinan, hakim anggota, panitera, dan seorang sekretaris. Pimpinan dan hakim
anggota Mahkamah Agung adalah hakim agung. jumlah hakim agung paling banyak 60 (enam puluh) orang.
Pimpinan
Lihat pula: Daftar Ketua Mahkamah Agung Indonesia
Pimpinan Mahkamah Agung terdiri dari seorang ketua, 2 (dua) wakil ketua, dan beberapa orang ketua muda.
Wakil Ketua Mahkamah Agung terdiri atas wakil ketua bidang yudisial dan wakil ketua bidang nonyudisial.
wakil ketua bidang yudisial yang membawahi ketua muda perdata, ketua muda pidana, ketua muda agama, dan
ketua muda tata usaha negara sedangkan wakil ketua bidang nonyudisial membawahi ketua muda pembinaan
dan ketua muda pengawasan.
Ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh hakim agung, dan diangkat oleh Presiden.
Pada tanggal 8 Februari 2012, Hatta Ali terpilih menjadi Ketua MA, menggantikan Harifin A. Tumpa, dengan
mendapatkan suara mayoritas yaitu 28 suara dari 54 hakim agung. Urutan kedua, Ahmad Kamil 15 suara, Abdul
Kadir Mappong 5 suara dan M Saleh 3 suara dan Paulus Effendi Lotulung 1 suara dan suara tidak sah 3 orang [1].
Hakim Agung
Pada Mahkamah Agung terdapat hakim agung sebanyak maksimal 60 orang. Hakim agung dapat berasal dari
sistem karier atau sistem non karier.
Calon hakim agung diusulkan oleh Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat, untuk kemudian
mendapat persetujuan dan ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden.
Tugas Hakim Agung adalah Mengadili dan memutus perkara pada tingkat Kasasi.
Hooggerechtshof
Pengadilan Hooggerechtshof merupakan Pengadilan Tertinggi dan berkedudukan di Jakarta dengan daerah
hukum meliputi seluruh Indonesia. Hooggerechtshof terdiri dari seorang Ketua dan 2 orang anggota, seorang
Pokrol jendral dan 2 orang Advokat Jendral, seorang Panitera dimana perlu dibantu seorang Panitera Muda atau
lebih. Jikalau perlu Gubernur Jendral dapat menambah susunan Hooggerechtshof tersebut dengan seorang
Wakil Ketua dan seorang/lebih anggota lagi. Tugas/kewenangan Hooggerechtshof : a. mengawasi jalannya
peradilan di seluruh Indonesia sehingga dapat berjalan secara patut dan wajar. b. Mengawasi
perbuatan/kelakuan Hakim serta Pengadilan-pengadilan. c. Memberi tegoran-tegoran apabila diperlukan. d.
Berhak minta laporan, keterangan-keterangan dari semua pengadilan baik sipil maupun militer, Pokrol Jendral
dan lain pejabat Penuntut Umum. e. Sebagai tingkat pertama dan terakhir mengadili perselisihan-perselisihan
tentang kekuasaan mengadili : 1. di antara pengadilan-pengadilan yang melakukan peradilan atas nama Raja,
diantara pengadilan-pengadilan ini dengan pengadilan-pengadilan adat di dalam daerah yang langsung
diperintah oleh Gubernemen, dimana rakyat dibiarkan mempunyai peradilan sendiri, diantara pengadilan-
pengadilan tersebut diatas, dengan pengadilan-pengadilan Swapraja, sepanjang ini dimungkinkan menurut
perjanjian-perjanjian politik dengan daerah-daerah pengadilan yang berselisih tidak ada di dalam daerah
hukum appelraad yang sama; 2. di antara appelraad-appelradd; 3. di antara pengadilan sipil dan pengadilan
militer, kecuali jikalau perselisihan itu timbul diantara Hooggerechtshof sendiri dengan Hoogmilitairgerechtshof,
didalam hal mana diputuskan oleh Gubernur Jendral.
1
jikalau temyata hakim tidak mengindahkan tatacara yang diharuskan dengan ancaman pembatalan;
2 jikalau hukum dilanggar. Hukum dianggap telah dilanggar, apabila hakim tidak memperlakukan atau tidak
tepat memperlakukan ketentuan-ketentuan hukum;
3 jikalau tedapat perlampauan batas kekuasaan mengadili.
4 jikalau terbukti hakim tidak berhak mengadili perkaranya. (Lihat buat selanjumya mengenai hak kasasi ini
pasal-pasal 173 s/d 176 R.O.).
Pada saat berlakunya Undang-undang Dasar 1945 di Indonesia tidak ada badan Kehakiman yang tertinggi.
Satu satunya ketentuan yang menunjuk kearah badan Kehakiman yang tertinggi adalah pasal 24 ayat 1
Undang-Undang Dasar 1945. Maka dengan keluamya Penetapan Pemerintah No. 9/S.D. tahun 1946 ditunjuk
kota Jakarta Raya sebagai kedudukan Mahkamah Agung Republik Indonesia. Peraturan tersebut hanya
penunjukan tempatnya saja. Penetapan Pemerintah tersebut pada alinea II berbunyi sebagai berikut:
Baru dengan Undang-Undang No. 7 tahun 1947 ditetapkan tentang susunan kekuasaan Mahkamah Agung
dan Kejaksaaan Agung yang mulai berlaku pada tanggal 3 Maret 1947.
Pada. tahun 1948, Undang-Undang No. 7 tahun 19 ,47 diganti dengan Undang-Undang No. 19 tahun 1948
yang dalam pasal 50 ayat 1 mengandung
2. Pengadilan-pengadilan federal yang lain dapat diadakan dengan Undang-Undang federal, dengan
pengertian, bahwa dalam Distrik Federal Jakarta akan dibentuk sekurang-kurangnya satu
pengadilan federal yang mengadili dalam tingkat pertama, dan sekuran kurangnya satu pengadilan
federal yang mengadili dalam tingkat apel.
Oleh karena kita telah kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak sesuai dengan keadaan, maka pada
tahun 1965 dibuat UndangUndang yang mencabut Undang-Undang No. 19 tahun 1948 dan Undang-Undang
No. 1 tahun 1950 dengan Undang-Undang Nomor 13 tahun 1965 tentang Pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum den Mahkamah Agung..
Namun sejak Proklamasi Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 dari sejak diundangkannya Undang-
Undang Dasar Republik Indonesia 1945 tanggal 18 Agustus 1945, semakin mantaplah kedudukan Mahkamah
Agung sebagai badan tertinggi bidang Yudikatif (peradilan) dengan kewenangan yang diberikan oleh pasal 24
Undang-Undang Daser 1945, dimana Mahkamah Agung diberi kepercayaan sebagai pemegang kekuasaan
Kehakiman tertinggi.
Mahkamah Agung pernah berkedudukan di luar Jakarta yaitu pada bulan Juli 1946 di Jogyakarta dan kembali ke
Jakarta pada tanggal 1 Januari 1950, setelah selesainya KMB dan pemulihan Kedaulatan. Dengan demikian
Mahkamah Agung berada dalam pengungsian selama 3 1/2 (tiga setengah) tahun.
Mulai pertama kali berdirinya Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung itu berada dibawah satu atap dengan
Mahkamah Agung, bahkan: bersama dibawah satu departemen, yaitu: Departemen Kehakiman. Dulu namanya:
Kehakiman Agung pada Mahkamah Agung, seperti Kejaksaan Negeri dulu namanya: Kejaksaan Pengadilan Negeri.
Kejaksaan Agung mulai memisahkan diri dari Mahkamah Agung yaitu sejak lahirnya Undang-Undang Pokok
Kejaksaan (Undang-Undang No. 15 tahun 1961) dibawah Jaksa Agung Gunawan, SH yang telah menjadi
Menteri Jaksa Agung.
Para pejabat Mahkamah Agung.(Ketua, Wakil Ketua, Hakim Anggota dan Panitera) mulai diberikan pangkat
militer tutiler adalah dengan Peraturan Pemerintah 1946 No. 7 tanggal 1 Agustus 1946, sebagai pelaksanaan
pasal 21 Undang-Undang No. 7 tahun 1946 tentang Pengadilan Tentara.
Mr. Notosubagio
Mr. Oeanoen
Hooggerechtshof juga menjadi instansi banding terhadap putusan Raad no Justitie.Mr. G. Wjjers adalah
Ketua Hooggerechtshof terakhir, yang sebelum perang dunia ke II terkenal sebagai Ketua dari Derde kamar
Read van Instills Jakarta yang memutusi perkara-perkara banding yang mengenai Hukum Adat (kamar
ketiga, hanya terdapat di Road van Justitie Jakarta).
Pada saat itu Mahkamah Agung masih tetap berkuasa di daerahdaerah Republik Indonesia yang
berkedudukan di Yogyakarta. Dengan dipulihkan kembali kedaulatan Republik Indonesia area seluruh
wilayah Indonesia (kecuali Irian Barat) maka pekerjaan Hooggerechtshof harus diserahkan kepada
Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Pada tanggal 1 Januari 1950 Mr. Dr. Kusumah Atmadja mengoper gedung dan personil serta pekerjaan
Hooggerechtshof. Dengan demikian maka para anggota Hooggerechtshof dan Procurer Genera! meletakkan
jabatan masing-masing dan selanjutnya pekerjaannya diserahkan pada Mahkamah Agung Republik Indonesia
Serikat.
Mahkamah Agung pada saat itu tidak terbagi dalam majelismajelis. Semua Hakim Agung ikut memeriksa dan
memutus baik perkara-perkara Perdata maupun perkara-perkara Pidana. Hanya penyelesaian perkara pidana
diserahkan kepada Wakil Ketua.
Masa Republik Indonesia Serkat (RIS) 27 December 1949 sampai dengan 17 Agustus 1950
Sebagaimana lazimnya dalam suatu negara yang berbentuk suatu Federasi atau Serikat, maka demikian pula
dalam negara Republik Indonesia Serikat diadakan 2 macam Pengadilan; yaitu Pengadilan dari masing-
masing negara Bagian disatu pihak
Pengadilan dari Federasi yang berkuasa disemua negara-negara Bagian dilain pihak untuk seluruh wilayah
Republik Indonesia Serikat (RIS) ada satu Mahkamah Agung Republik Indonesia Serikat sebagai Pengadilan
Tertinggi, sedang lain Badan-Badan pengadilan menjadi urusan. masing-masing negara Bagian. Undang-
Undang yang mengatur Mahkamah Agung Republik Indonesia Serikat adalah Undang-Undang No. 1 tahun
1950 tanggal 6 Mei 1950 (I-N. tahun 1950 No. 30) yaitu tentang Susunan dan Kekuasaan Mahkamah Agung
Republik Indonesia Serikat yang mulai berlaku tanggal 9 Mei 1950.
Undang-Undang tersebut adalah hasil pemikiran Mr. Supomo yang waktu itu menjabat sebagai Menteri
Kehakiman Republik Indonesia Serikat, yang pertama (Menteri Kehakiman dari negara Bagian Republik
Indonesia di Yogya adalah Mr. Abdul Gafar Pringgodigdo menggantikan Mr. Susanto Tirtoprodjo - lihat
halaman 34. "Kenang-kenangan sebagai Hakim selama 40 tahun mengalami tiga jaman" Oleh Mr. Wirjono
Prodjodikoro - terbitan tahun 1974). Menurut Undang-Undang Dasar RIS pasal 148 ayat 1 Mahkamah Agung
merupakan forum privilegiatum bagi pejabat-pejabat tertinggi negara. Fungsi ini telah dihapuskan sewaktu
kita kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945.
Beruntunglah dengan keluarnya Undang-Undang No. 1 tahun 1950 (I.N. tahun 1950 No. 30) lembaga kasasi
diatur lebih lanjut yang terbatas pada lingkungan peradilan umum saja. Pada tahun 1965 diundangkan
sebuah Undang-Undang No. 13 tahun 1965 yang mengatur tentang: Pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Umum dan Mahkamah Agung. Sayang sekali bahwa Undang-Undang tersebut tidak memikirkan lebih jauh
mengenai akibat hukum yang timbul setelah diundangkannya tanggal 6 Juni 1965, terbukti pasal 70 Undang-
Undang tersebut menyatakan Undang-Undang Mahkamah Agung No. 1 tahun 1950 tidak berlaku lagi.
Sedangkan acara berkasasi di Mahkamah Agung diatur secara lengkap dalam Undang-Undang No. 1 tahun
1950 tersebut. Timbullah suatu problema hukum yaitu adanya kekosongan hukum acara kasasi. Jalan keluar
yang diambil oleh Mahkamah Agung untuk mengatasi kekosongan tersebut adalah menafsirkan pasal 70"""
tersebut sebagai berikut:
Oleh karena Undang-Undang No. 1 tahun 1950 tersebut disamping mengatur tentang susunan, kekuasaan
Mahkamah Agung, mengatur pula tentang jalannya pengadilan di Mahkamah Agung, sedangkan Undang-
Undang No. 13 tahun 1965 tersebut hanya mengatur tentang susunan, kedudukan Pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung, dan, tidak mengatur tentang bagaimana beracara di
Mahkamah Agung, maka Mahkamah Agung menganggap pasal 70 Undang-Undang No. 13 tahun 1965 hanya
menghapus Undang-Undang No. 1 tahun 1950 sepanjang mengenai dan kedudukan Mahkamah Agung saja,
sedangkan bagaimana jalan peradilan di Mahkamah Agung masih tetap memperlakukan Undang-Undang No.
1 tahun 1950.
Pendapat Mahkamah Agung tersebut dikukuhkan lebih lanjut dalam Jurisprudensi Mahkamah Agung yaitu
dengan berpijak pada pasal 131 Undang-Undang tersebut.
Perkembangan selanjutnya dengan Undang-Undng No. 14 tahun 1970 tentang; "Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman" tanggal 17 Desember 1970, antara lain dalam pasal 10 ayat (2) disebutkan bahwa
Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara tertinggi dalam arti Mahkamah Agung sebagai badan pengadilan
kasasi (terakhir) bagi putusan-putusan yang berasal dari Pengadilan-pengadilan lain yaitu yang meliputi
keempat lingkungan peradilan yang masing-masing terdiri dari:
1. Peradilan Umum;
2. Pemdilan Agama;
3. Peradilan Militer;
4. Peadilan Tata Usaha Negara.
Bahkan Mahkamah Agung sebagai pula pengawas tertinggi atas perbuatan Hakim dari semua lingkungan
peradilan. Sejak tahun 1970 tersebut Mahkamah Agung mempunyai Organisasi, administrasi dan keuangan
sendiri. Mahkamah Agung menjalankan tugasnya dengan melakukan 5 fungsi yang sebenarnya sudah dimiliki
sejak Hooggerechtshof, sebagai berikut:
1. Fungsi Paradilan;
2. Fungsi Pengawasan;
3. Fungsi Pengaturan;
4. Fungsi Memberi Nasehat;
5. Fungsi Administrasi.
tahun 1963 tersebut adalah tepat karena Pengadilan Tinggi pada umumnya jauh letaknya dengan tempat
tinggal pemohon kasasi itu. lagi pula berkas-berkamya disimpan di Pengadilan Negeri.
a. Permohonan kasasi yang disebutkan diatas adalah "kasasi pihak" ("partij cassatie"). Selain daripada
kasasi tersebut, masih ada bentuk kasasi lain yang disebut dengan permohonan kasasi yang diajukan oleh
Jaksa Agung demi kepentingan hukum (pasal 50 ayat (2) Undang-Undang No. 13 tahun 1965).
b. Peninjauan kembali. Dalam Undang-Undang No. 13 tahun 1965 pasal 52 disebutkan bahwa: "Terhadap
putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dapat dimohon peninjauan kambali,
hanya apabila terdapat hal-hal atau keadaankeadaan yang ditentukan dengan Undang-Undang".Kemudian
dalam pasal 21 Undang-Undang No. 14 tahun 1970 lebih jelas diatur sebagai berikut: "Apabila terdapat hal-
hal atau keadaan-keadaan yang ditentukan dengan Undang-Undang, terhadap putusan Pengadilan yang
telah memperoleh kekuasan hukum yang tetap dapat dimintakan peninjauan kembali kepada Mahkamah
Agung, dalam perkara perdata dan pidana oleh pihak-pihak yang berkepentingan".
c. Hak Uji (Toetsingsrecht). Hak menguji Mahkamah Agung ini sangat erat hubungannya dengan fungsi
peradilan. Mengapa? Karena hak uji atau "toetsingsrecht" Hakim terhadap peraturan perundang-undangan
yang lebih rendah dari UndangUndang hanya formil saja dan melalui putusan kasasi. Sesungguhnya hak
menguji hakim tersebut tidak dijelaskan maksudnya secara tegas dan menyeluruh.
Dalam Undang-Undang No. 14 tahun 1970 pasal 26 yang berbunyi sebagai berikut:
(1). Mahkamah Agung berwenang untuk menyatakan tidak sah semua peraturan perundang-undangan dari
tingkat yang lebih rendah dari Undang-Undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi.
(2). Putusan tentang pernyataan tidak sahnya peraturan perundang-undangan tersebut dapat diambil
berhubung dengan pemeriksaan dalam tingkat kasasi. Pencabutan dari peraturan perundang-undangan yang
dinyatakan tidak sah tersebut dilakukan oleh instansi yang bersangkutan.
Menurut Bapak Prof. Soebekti, SH dalam karangannya tentang """Pokok-pokok pemikiran tentang hubungan
Mahkamah Agung dengan Badan Peradilan Umum" menyatakan bahwa sesungguhnys "toetsingsrecht" itu
ada 2 (dua) macam:
1. "Formiele toetsingsrecht" yaitu hak untuk menguji atau meneliti apakah suatu peraturan dibentuk secara
sah dan dikeluarkan oleh penguasa atau instansi yang berwenang mengeluarkan peraturan itu.
2. "Materiele toetsingrecht" yaitu hak untuk menguji atau menilai apakah suatu peraturan dari segi isinya
(materinya) mengandung pertentangan dengan peraturan lain dari tingkat yang lebih tinggi atau menilai
tentang adil tidaknya isi peraturan itu. dan spabila terdapat perten tangan tersebut atau apabila isi peraturan
itu dianggapnya tidak adil, tidak mengetrapkan, artinya menyisihkan atau menyingkirkan peraturan itu. (to
set aside).
2. Fungsi Pengawasan.
Fungsi Pengawasan diberikan oleh Undang-Undang No. 14 tahun 1970 yaitu dalam Bab II pasal 10 ayat 4
yang berbunyi: "Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi alas perbuatan Pengadilan yang lain,
menurut ketentuan yang ditetapkan dengan Undang-Undang". Dan di samping itu mengingat masih belum
ada peraturan pelaksanaan yang mengatur, Mahkamah Agung dalam prakteknya masih bersandar pada
pasal 47 Undang-Undang No. 13 tabun 1965 yang berbunyi sebagai berikut:
Mahkamah Agung sebagai puncak semua peradilan dan sebagai Pengadilan Tertinggi untuk semua
lingkungan peradilan memberi pimpinan kepada Pengadilan-Pengadilan yang bersangkutan.
Mahkamah Agung melakukm pengawasan tertinggi terhadap jalannya peradilan diselenggarakan dengan
seksama dan sewajamya.
Perbuatan-perbuatan Hakim di semua lingkungan peradilan diawasi dengan cermat oleh Mahkamah Agung.
Untuk kepentingan negara dan keadilan Mahkamah Agung memberi peringatan, tegoran dan petunjuk yang
dipandang perlu baik dengan surat tersendiri maupun dengan Surat Edaran.
Mahkamah Agung berwenang minta keterangan dari semua Pengadilan dalam semua lingkungan peradilan.
Mahkamah Agung dalam hal itu dapat memerintahkan disampaikannya berkas-berkas perkara dan surat-
surat untuk dipertimbangkan.
Pengawasan Mahkamah Agung menurut pasal 47 Undang-Undang Nomor 13 tahun 1965 adalah terhadap
jalannya peradilan (Bahasa Belanda: Rechtsgang), dengan tujuan agar Pengadilan-pengadilan tersebut
berjalan secara seksama dan sewajamya. Jalannya peradilan atau "rechtsgang" tersebut menurut hemat
kami terdiri dari:
a). jalannya peradilan yang bersifat tehnis peradilan atau tehnis yustisial.
b). jalannya peradilan yang bersegi administrasi peradilan
Adapun yang dimaksud dengan "tehnis peradilan" adalah segala sesuatu yang menjadi tugas pokok Hakim
yaitu menerima, memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara yang diterimakan ke padanya. Dalam kaitan
ini termasuk pula bagaimana pelaksanaan putusan tersebut dilakukan.,
Sedang yang dimaksud dengan "administrasi peradilan" adalah segala sesuatu yang menjadi tugas pokok
darl Kepaniteraan lembaga Pengadilan. (Pengadilan tingkat pertama dan banding dan lingkungan Peradilan
Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer dan Mahkamah Agung).
Administrasi peradilan harus dipisahkan dengan administrasi dalam arti mumi yang tidak ada sangkut
pautnya dengan suatu perkara di lembaga Pengadilan tersebut. Administrasi peradilan perlu memperoleh
pengawasan pula dari Mahkamah Agung, oleh karena sangat erat kaitannya terhadap tehnis peradilan. Suatu
putusan pengadilan tidak akan sempurna apabila masalah administrasi peradilan diabaikan. Pembuatan
agenda/register perkara, pencatatan setiap parkara yang berjalan/berproses, formulir-formulir putusan,
formulir panggilan, formulir laporan kegiatan Hakim dan lain sebagainya adalah tidak luput dari kewenangan
pengawasan Mahkamah Agung..Dalam praktek selama ini Mahkamah Agung dalam melakukan pengawasan
telah mendelegasikan kepada para Ketua Pengadilan tingkat banding, baik dari lingkungan Peradilan Umum
maupun dalam lingkungan Peradilan Agama. .Disamping itu pula yang termasuk kewenangan pengawasan
Mahkamah Agung adalah semua perbuatan-perbuatan Hakim. Pengadilan yang dilakukan oleh Mahkamah
Agung ini bersifat tertinggi yaitu meliputi keempat lingkungan Peradilan. Pengawasan terhadap lingkungan
Peradilan Agama lebih effektif dilakukan setelah adanya Surat Keputusan Bersama antara Ketua Mahkamah
Agung dengan Menteri Agama No. 1, 2, 3 dan 4 tahun 1983 tangga17 Januarl 1983.
Sedang pengawasan sebelum tahun 1983 tersebut hanya terbatas pada pengawasan teknis melalui
permohonan kasasi yang dimungkinkan oleh Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 1977.
Terhadap Pengacara dan Notaris termasuk pula di bawah pengawasan Mahkamah Agung. Demi keterpaduan
pengawasan terhadap para Pengara dan Notaris ini, sudah diputuskan dalam Rapat-rapat kerja antara
Mahkamah Agung dengan Departemen Kehakiman pada tahun 1982 yang dikukuhkaa lagi tahun 1983,
Bahkan terhadap Notaris, Mahkamah Agung telah mengeluarkan Surat Edaran No. 2 tahun 1984 tanggal 1
Maret 1984.
Contoh:
1. Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 1963 yang menentukan bahwa permohonan kasasi juga
dapat diajukan di Pengadilan tingkat pertama (yang dalam hal ini. Pengadilan Negeri). Dengan
demikian peraturan tersebut merupakan perluasan terhadap pasal 113 (perkara perdata) yang
mengatur agar permohonan kasasi diajukan kepada Pengadilan yang putusannya dimohonkan
kasasi (pada umumnya adalah Pengadilan Tinggi).
2. Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahm 1959 tanggal 20 April 1959 yang isinya antara lain
mengatur:
a. Biaya kasasi dibayar tunai pada Pengadilan yang bersangkutan.
b. Permohonan untuk pemeriksaan kasasi dalam perkara perdata tidak boleh diterima, jika
tidak disertai dengan pembayaran biaya perkara.
c. Panitera Mahkamah Agung tidak diharuskan mendaftarkan permohonan kasasi apabila
biaya perkara tersebut belum diterima meskipun berkas perkara yang bersangkutan telah
diterima di kepaniteraan Mahkamah Agung.
d. yang dianggap sebagai tanggal permohonan kasasi ialah tanggal pada waktu biaya perkara
tersebut diterima di Pengadilan Negeri.
3. Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 1977 maggal 26. Nopember 1977 yang isinya antara lain
mengatur: "jalan pengadilan dalam pemeriksaan kasasi dalam perkara Perdata dan perkara Pidana
oleh Pengadilan Agama dan Pengadilan Militer".
Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 1980 tanggal 1 Desember 1980 tentang Peninjauan kembali
putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap yang diperbaiki lagi dengan Peraturan
Mahkamah Agung No. 1 tahun 1982 tanggal 11 Maret 1982 tentang Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun
1980 yang disempurnakan.
"Mahkamah Agung memberi keterangan pertimbangan dan nasehat tentang soal-soal yang berhubungan
dengan hukum, apabila hal itu diminta oleh Pemerintah".
Demikian pula Undang-Undang No. 14 tahun 1970 yang tercantum dalam pasal 25;
"Semua pengadilan dapat memberi keterangan, pertimbangan dan nasehat-nasehat tentang soal-soal hukum
pada Lembaga Negara lainnya apabila diminta".
Rupa-rupanya pertembangan hukum yang memberi kewenangan kepada Mahkamah Agung untuk memberi
pertimbangan hukum diperluas lagi oleh Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. III/MPR/1978 yo
TAP MPR No. VVMPR/1973 pasal 11 ayat (2) di mana Mahkamah Agung dapat memberikan pertimbangan-
pertimbangan dalam bidang hukum, baik diminta maupun tidak, kepada Lembaga-lembaga Tinggi Negara
Sebagai contoh pelaksanaan ketentuan. Undang-Undang tersebut adalah kewenangan Mahkamah Agung
memberi pertimbangan-pertimbangan hukum terhadap pennohonan-permohonan grasi kepada
Presiden/Kepata Negam melalui Menten Kehakiman.
Dalam praktek Mahkamah Agung pemah pada tahun 1965 diminta nasehat oleh Permerintah dalam masalah
pembubaran partai politik Masyumi (masa pra-Gestapu), sehingga dalam putusan Presiden waktu itu
disebut: "Mendengar nasehat Mahkamah Agung"""".
Pada masa itu Kekuasaan Kehakiman telah kehilangan kebebasannya, dengan duduknya Ketua Mahkamah
Agung sebagai Menteri dalam Kabinet. Bahkan dalam Undang-undang No. 19 tahun 1964 dicantumkan
adanya "Campur tangan Presiden dalam dalam Pengadilan".
Dalam kaitan ini Bapak Prof. Soebekti, SH menyatakan bahwa beliau tidak kebaratan Pengadilan diminta
nasehat oleh Pemerintah atau Lembaga Tinggi Negara lainnya, asal itu tidak mengurangi kebebasan
Pengadilan.
(1). Badan-badan yang melakukan peradilan tersebut pasal 10 ayat (1) organisatoris, administratif dan
finansiil ada dibawah kekuasaan masing-masing Departemen yang bersangkutan.
(2). Mahkamah Agung mempunyai organisasi, administrasi dan keuangan tersendiri.
Dari kalimat "administrasi" dalam pasal tersebut di atas, kiranya dapat dibedakan dalam arti luas dan dalam
arti sempit. Dalam arti luas di sini adalah meliputi segala aktifitas dalam hal "tehnis operasional" (misalnya
monitoring perkara yang lelah diucapkan Hakim, pembuatan laporan kegiatan Hakim/laporan bulanan dan
lain sebagainya).
Sedangkan "administrasi" yang diartikan oleh pasal 11 tersebut adalah dalam arti sempit. Seolah-olah timbul
dualisme pimpinan dimana sepanjang mengenai administrasi dalam arti luas oleh Mahkamah Agung sedang
administrasi dalam arti sempit diselenggarakan oleh Departeman masing-masing.
Namun menumt Prof. Soebekti, SH. pandangan yang sedemikian tersebut adalah keliru, beliau berpendapat
pimpinan hanya ada satu yaitu Mahkamah Agung - RI, sedang Departemen hanya melaksanakan "dienende
functie".
Dalam pedajanan sejarah Mahkamab Agung sejak tahun 1945 yaitu pada saat berlakunya UU.D..1945
tanggal 18 Agustus 1945 mmpai sekarang, mengalami pergeseran-pergeseran mengikuti perkembangan
sistim Pemerintahan pada waktu itu, baik yang menyangkut kedudukannya maupun susunannya, walau pun
fungsi Mahkmah Agung tidak mengalami pergeseran apapun.
Pada waktu terjadi susunan Kabinet 100 Menteri, kedudukan Mahkmah Agung agak bergeser di mana Ketua
Mahkmah Agung dijadikan Menteri Koordinator yang mengakibatkan tidak tegaknya cita-cita Undang-Undang
Daer 1945 yaitu sebagai pemegang Kekuasaan Kehakiman yang merdeka terlepas dari pengaruh kekuasan
Pemerintah.
Dengan tekad Pemerintah Orde Baru, kembalilah Mahkamah Agung dalam kedudukannya semula sesuai
dengan kehendak Undang-Undang Dasar 1945. Akhimya dengan berlakunya Undang-Undang No. 14 tahun
1970 mendudukan Mahkmah Agung sebagai puncak dari ke-empat lingkungan peradilan
Bulan September 1952 Dr. Mr. Kusumah Atmadja Meninggal dunia. Sejak itu kedudukan Ketua Mahkamah
Agung menjadi lowong.
Kemudian dengan keputusan Presiden Republik Indonesia pada tanggal 13 Oktober 1952 diangkat
Ketua: Mr. Wiijono Prodjodikoro
Wakil Ketua: Mr. R. Satochid Kartanegara.
Hakim Agung:
Prof. Mr. R. Soekardono.
Sutan Kali Mahkul Adil.
Mr. Husen Tirtamidjaja.
Mr. R. Surjopokro.
Mr. Sutan Abdul Hakim.
Mr. Wirjono Kusumo.
Mr. A. Abdurrachman.
Panitera:
R. Ranuatmadja.
J. Tamara
Moeh. Ishak Soemosmidjojo, SH
Susunan majelis:
hanya ada satu majelis.
Di samping perkara yang masuk tidak terlalu padat, pula duduk sebagai Ketua Majelis dimungkinkan
bergantian antara Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Agung. Untuk memperlancar penyelesaian perkara pada
waktu itu, Mahkamah Agung sudah mengenal pembidangan tanggungjawab, seperti bidang Perdata dipimpin
oleh Ketua Mahkamah Agung sendiri, dan bidang Pidana dipimpin oleh Wakil Ketua Mahkamah Agung, dan
sekaligus mengetuai sidang-sidang yang bersangkutan. Sedangkan para Hakim Agung tetap memeriksa baik
perkara perdata maupun perkara pidana. Adanya Forum "Privilegiatum" yang dimungkinkan oleh Undang.
undang yang berlaku pada waktu itu, Mahkamah Agung mengadili dalam tingkat pertama dan terakhir.
Tokoh politik: Sultan Abdul Hamid yang mengaku terus terang ingin menggunakan tenaga Westerling untuk
mempersiapkan pembarontakan terhadap Pemerintah Republik Indonesia, yaitu akan membunuh: Sri Sultan
Hamengku Buwono ke IX, Kol. Simatupang dan Ali Budihardjo, SH Pada tanggal 8 April 1953 dijatuhi
hukuman 10 tahun penjara.
1. FUNGSI PERADILAN
a. Sebagai Pengadilan Negara Tertinggi, Mahkamah Agung merupakan pengadilan kasasi yang
bertugas membina keseragaman dalam penerapan hukum melalui putusan kasasi dan
peninjauan kembali menjaga agar semua hukum dan undang-undang diseluruh wilayah
negara RI diterapkan secara adil, tepat dan benar.
b. Disamping tugasnya sebagai Pengadilan Kasasi, Mahkamah Agung berwenang memeriksa
dan memutuskan pada tingkat pertama dan terakhir
- semua sengketa tentang kewenangan mengadili.
permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
- hukum tetap (Pasal 28, 29,30,33 dan 34 Undang-undang Mahkamah Agung No. 14 Tahun
1985)
semua sengketa yang timbul karena perampasan kapal asing dan muatannya oleh kapal
- perang Republik Indonesia berdasarkan peraturan yang berlaku (Pasal 33 dan Pasal 78
Undang-undang Mahkamah Agung No 14 Tahun 1985)
c. Erat kaitannya dengan fungsi peradilan ialah hak uji materiil, yaitu wewenang
menguji/menilai secara materiil peraturan perundangan dibawah Undang-undang tentang hal
apakah suatu peraturan ditinjau dari isinya (materinya) bertentangan dengan peraturan dari
tingkat yang lebih tinggi (Pasal 31 Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun
1985).
2. FUNGSI PENGAWASAN
3. FUNGSI MENGATUR
a. Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran
penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-
undang tentang Mahkamah Agung sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau
kekosongan hukum yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan (Pasal 27
Undang-undang No.14 Tahun 1970, Pasal 79 Undang-undang No.14 Tahun 1985).
b. Mahkamah Agung dapat membuat peraturan acara sendiri bilamana dianggap perlu untuk
mencukupi hukum acara yang sudah diatur Undang-undang.
4. FUNGSI NASEHAT
5. FUNGSI ADMINISTRATIF
a. Badan-badan Peradilan (Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan
Tata Usaha Negara) sebagaimana dimaksud Pasal 10 Ayat (1) Undang-undang No.14 Tahun
1970 secara organisatoris, administrative dan finansial sampai saat ini masih berada dibawah
Departemen yang bersangkutan, walaupun menurut Pasal 11 (1) Undang-undang Nomor 35
Tahun 1999 sudah dialihkan dibawah kekuasaan Mahkamah Agung.
b. Mahkamah Agung berwenang mengatur tugas serta tanggung jawab, susunan organisasi dan
tata kerja Kepaniteraan Pengadilan (Undang-undang No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan
Atas Undang-undang No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman).
6. FUNGSI LAIN-LAIN
Selain tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap
perkara yang diajukan kepadanya, berdasar Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 14 Tahun
1970 serta Pasal 38 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985, Mahkamah Agung dapat diserahi
tugas dan kewenangan lain berdasarkan Undang-undang.
Mahkamah Konstitusi (disingkat MK) adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang
kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Agung.
Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia
Didirikan 15 Oktober 2003
Yurisdiksi Indonesia
Lokasi Jakarta
Metode Diajukan 3 orang oleh DPR, 3 orang oleh Presiden, dan 3
penyusunan orang oleh MA dengan penetapan Presiden
Disahkan oleh UUD NRI 1945
Banding Final
Lama masa
5 tahun, dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan
jabatan
Jumlah jabatan 9 Hakim Konstitusi
Ketua Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia
Saat ini Jabatan lowong [1]
Sejak 5 Oktober 2013
Ketua
Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh Hakim Konstitusi untuk masa jabatan 3 tahun. Masa jabatan Ketua MK selama 3 tahun
yang diatur dalam UU 24/2003 ini sedikit aneh, karena masa jabatan Hakim Konstitusi sendiri adalah 5 tahun, sehingga berarti untuk masa
jabatan kedua Ketua MK dalam satu masa jabatan Hakim Konstitusi berakhir sebelum waktunya (hanya 2 tahun).
Ketua MK yang pertama adalah Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.. Guru besar hukum tata negara Universitas Indonesia kelahiran 17 April
1956 ini terpilih pada rapat internal antar anggota hakim Mahkamah Konstitusi tanggal 19 Agustus 2003. Jimly terpilih lagi sebagai ketua
untuk masa bakti 2006-2009 pada 18 Agustus 2006 dan disumpah pada 22 Agustus 2006 dengan Wakil Ketua Prof. Dr. M. Laica Marzuki,
SH. Bersama tujuh anggota hakim pendiri lainnya dari generasi pertama MK, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH dan Prof. Dr. M. Laica
Marzuki berhasil memimpin lembaga baru ini sehingga dengan cepat berkembang menjadi model bagi pengadilan modern dan terpercaya di
Indonesia. Di akhir masa jabatan Prof. Jimly sebagai Ketua, MK berhasil dipandang sebagai salah satu ikon keberhasilan reformasi
Indonesia. Atas keberhasilan ini, pada bulan Agustus 2009, Presiden menganugerahkan Bintang Mahaputera Utama kepada para hakim
generasi pertama ini, dan bahkan Bintang Mahaputera Adipradana bagi mantan Ketua MK, Prof. Jimly Asshiddiqie.
Selama 5 tahun sejak berdirinya, sistem kelembagaan mahkamah ini terbentuk dengan sangat baik dan bahkan gedungnya juga berhasil
dibangun dengan megah dan oleh banyak sekolah dan perguruan tinggi dijadikan gedung kebanggaan tempat mengadakan studi tour. Pada 19
Agustus 2008, Hakim Konstitusi yang baru diangkat untuk periode (2008-2013), melakukan pemilihan untuk memilih Ketua dan Wakil
Ketua MK masa bakti 3 tahun berikutnya, yaitu 2008-2011 dan menghasilkan Mohammad Mahfud MD sebagai ketua serta Abdul Mukthie
Fadjar sebagai wakil ketua. Sesudah beberapa waktu sesudah itu, pada bulan Oktober 2009, Prof. Jimly Asshiddiqie, SH mengunduran diri
dari anggota MK dan kembali menjadi guru besar tetap hukum tata negara Universitas Indonesia.
Hakim Konstitusi
Mahkamah Konstitusi mempunyai 9 Hakim Konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden. Hakim Konstitusi diajukan masing-masing 3 orang
oleh Mahkamah Agung, 3 orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan 3 orang oleh Presiden. Masa jabatan Hakim Konstitusi adalah 5 tahun,
dan dapat dipilih kembali untuk 1 kali masa jabatan berikutnya.
Hakim Konstitusi periode 2008-2013 adalah:[2]
1. Mohammad Mahfud MD (Ketua)
2. Harjono (2009-), menggantikan Jimly Asshiddiqie (2008-2009)
3. Maria Farida Indrati
4. Ahmad Fadlil Sumadi (2009-), menggantikan Maruarar Siahaan (2008-2009)
5. Hamdan Zoelva (2009-), menggantikan Abdul Mukthie Fajar (2008-2009)
6. Muhammad Alim
7. Achmad Sodiki
8. Anwar Usman (2011-), menggantikan Muhammad Arsyad Sanusi (2008-2011)
9. Muhammad Akil Mochtar
Pada akhir 2009, Maruarar Siahaan dan Abdul Mukthie Fajar memasuki masa pensiun. Mereka kemudian digantikan oleh 2 hakim baru,
yakni Hamdan Zoelva yang menggantikan Abdul Mukthie Fajar dan Fadlil Sumadi yang menggantikan Maruarar Siahaan.
Daftar Hakim Konstitusi
Berikut adalah nama-nama yang pernah menduduki jabatan hakim konstitusi :
Nama Mulai Jabatan Akhir Jabatan
Prof. DR. Jimly Asshiddiqie, S.H. 2003 2009
Letjen. TNI (Purn.) H. Achmad Roestandi, S.H. 2003 2008
I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H. 2003 2008
Prof. H. Ahmad Syarifuddin Natabaya, S.H., LL.M. 2003 2008
Prof. H. Abdul Mukthie Fadjar, S.H., M.S. 2003 2009
Prof. DR. H. Mohammad Laica Marzuki, S.H. 2003 2008
Soedarsono, S.H. 2003 2008
Maruarar Siahaan, S.H. 2003 2009
Prof. DR. Mohammad Mahfud MD., S.H. 2008 2013
DR. H. Mohammad Alim, S.H., M.Hum. 2008 sekarang
DR. H. Muhammad Arsyad Sanusi, S.H., M.Hum. 2008 2011
Prof. DR. Achmad Sodiki, S.H. 2008 2013
Prof. DR. Maria Farida Indrati, S.H. 2008 sekarang
Muhammad Akil Mochtar, S.H., M.H. 2008 2013
DR. Harjono, S.H., MCL. 2009 sekarang
DR. Hamdan Zoelva, S.H., M.H. 2009 sekarang
Drs. H. Ahmad Fadlil Sumadi, S.H., M.Hum. 2009 sekarang
Dr. Anwar Usman, S.H, M.H. 2011 sekarang
Prof. Dr. Arief Hidayat S.H., M.S. 2013 sekarang
Dr. H. Patrialis Akbar S.H., M.H. 2013 sekarang
Daftar Ketua Mahkamah Konstitusi
# Nama Mulai Jabatan Akhir Jabatan
1 Prof. DR. Jimly Asshiddiqie, S.H. 19 Agustus 2003 19 Agustus 2008
2 Prof. DR. Mohammad Mahfud MD., S.H. 19 Agustus 2008 3 April 2013
3 Muhammad Akil Mochtar, S.H,. M.H. 3 April 2013 5 Oktober 2013
Daftar Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi
# Nama Mulai Jabatan Akhir Jabatan
1 Prof. DR. H. Mohammad Laica Marzuki, S.H. 19 Agustus 2003 19 Agustus 2008
2 Prof. DR. Achmad Sodiki, S.H. 19 Agustus 2008 13 Agustus 2013
3 DR. Hamdan Zoelva, S.H., M.H. 13 Agustus 2013 2015
Susunan Organisasi
Sekretariat Jenderal
Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi mempunyai tugas melaksanakan dukungan administrasi umum kepada para hakim konstitusi.
Sekretaris Jenderal dipimpin oleh seorang Sekretaris Jenderal dan di bawahnya terdapat empat biro dan dua pusat, yaitu :
Biro Perencanaan dan Pengawasan
o Bagian Perencanaan
Subbagian Program dan Anggaran
Subbagian Evaluasi dan Laporan
o Bagian Keuangan
Subbagian Kas
Subbagian Akuntansi dan Verifikasi
Biro Umum
o Bagian Tata Usaha
Subbagian Persuratan
Subbagian Arsip dan Dokumentasi
o Bagian Kepegawaian
Subbagian Tata Usaha
Subbagian Pembinaan dan Pengembangan Pegawai
o Bagian Perlengkapan
Subbagian Pengadaan, Penyimpanan dan Inventarisasi
Subbagian Rumah Tangga
Biro Hubungan Masyarakat dan Protokol
o Bagian Hubungan Masyarakat
Subbagian Hubungan Antar Lembaga dan Masyarakat
Subbagian Media Massa
o Bagian Protokol dan Tata Usaha Pimpinan
Subbagian Protokol
Subbagian Tata Usaha Pimpinan
Biro Keuangan dan Kepegawaian
o Bagian Administrasi Perkara
Subbagian Registrasi
Subbagian Penyusunan Kaidah Hukum dan Dokumentasi Perkara
o Bagian Persidangan
Subbagian Pelayanan Persidangan
Subbagian Pemanggilan
o Bagian Pelayanan Risalah dan Putusan Perkara
Subbagian Pelayanan Risalah dan Pelayanan Putusan
Pusat Penelitian dan Pengkajian (Noor Sidharta)
Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi
o Bidang Program dan Penyelenggaraan
Subbidang Program dan Evaluasi
Subbidang Penyelenggaraan
o Bagian Umum
Subbagian Sarana dan Prasarana
Subbagian Tata Usaha
Kelompok Jabatan Fungsional
Kepaniteraan
Kepaniteraan MK memiliki tugas pokok memberikan dukungan di bidang administrasi justisial. Susunan organisasi kepaniteraan MK terdiri
dari sejumlah jabatan fungsional Panitera. Kepaniteraan merupakan supporting unit hakim konstitusi dalam penanganan perkara di MK.
Persidangan
Sidang Panel
Sidang Panel merupakan sidang yang terdiri dari tiga orang hakim konstitusi yang diberi tugas untuk melakukan sidang pemeriksaan
pendahuluan. Persidangan ini diselenggarakan untuk memeriksa kedudukan hukum pemohon dan isi permohonan. Hakim konstitusi dapat
memberi nasihat perbaikan permohonan.
Sidang Pleno
Sidang Pleno adalah sidang yang dilakukan oleh
majelis hakim konstitusi minimal dihadiri oleh tujuh
hakim konstitusi. Persidangan ini dilakukan terbuka
untuk umum dengan agenda pemeriksaan
persidangan atau pembacaan putusan. Pemeriksaan
persidangan meliputi mendengarkan pemohon, keterangan
saksi, ahli dan pihak terkait serta memeriksa alat-alat
bukti.
Anggaran
Sebagai lembaga negara pelaku kekuasaan
kehakiman, pelaksanaan tugas- tugas MK berikut
aktivitas dukungan yang diberikan oleh Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan MK dibiayai oleh
Anggaaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).
Dalam setiap tahunnya, MK mendapat anggaran
berdasarkan Dokumen Isian Pelaksanaan
Anggaran (DIPA) atau Rencana Kerja dan Anggaran
Kementerian/Lembaga (RKA-KL). BPK memberikan
Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atas laporan
keuangan MK tahun anggaran 2006. Kemudian
pada laporan keuangan tahun 2007, 2008 dan 2009 MK
kembali meraih predikat WTP berturut-turut dari
BPK.
Komisi Yudisial adalah lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UU no 22 tahun 2004 yang berfungsi mengawasi perilaku hakim dan
mengusulkan nama calon hakim agung
Anggota Komisi Yudisial Paruh kedua Periode 2010-2015 (Juli 2013 - Desember 2015)[1]
Dr. Suparman Marzuki, S.H., M.Si. (Ketua)[2]
H. Abbas Said, S.H., M.H. (Wakil Ketua)[3]
Jenis
Jenis Bikameral
Dewan Perwakilan Daerah
Dewan
Dewan Perwakilan Rakyat
Kepemimpinan
Sidarto Danusubroto[1], PDI-P
Ketua
sejak 8 Juli 2013
Melani Leimena Suharli, Demokrat
Wakil Ketua
sejak 4 Oktober 2009
Hajriyanto Y. Tohari, Golkar
Wakil Ketua
sejak 4 Oktober 2009
Lukman Hakim Saifudin, PPP
Wakil Ketua
sejak 4 Oktober 2009
Ahmad Farhan Hamid, Kelompok DPD
Wakil Ketua
sejak 4 Oktober 2009
Struktur
692
Anggota 132 Anggota DPD
560 Anggota DPR
Demokrat (148)
Golkar (106)
PDI-P (94)
PKS (57)
Kelompok politik Dewan Perwakilan Rakyat
PAN (46)
PPP (38)
PKB (28)
Gerindra (26)
Hanura (17)
Pemilihan
Pemilihan terakhir Dewan Perwakilan Rakyat 9 April 2009
Pemilihan terakhir Dewan Perwakilan Daerah 9 April 2009
Tempat bersidang
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia atau cukup disebut Majelis Permusyawaratan Rakyat (disingkat MPR-RI atau
MPR) adalah lembaga legislatif bikameral yang merupakan salah satu lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Sebelum Reformasi, MPR merupakan lembaga tertinggi negara. MPR bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibukota negara.
Sejarah
Sejak 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia memulai sejarahnya sebagai sebuah bangsa yang masih muda dalam menyusun pemerintahan,
politik, dan administrasi negaranya. Landasan berpijaknya adalah ideologi Pancasila yang diciptakan oleh bangsa Indonesia sendiri beberapa
minggu sebelumnya dari penggalian serta perkembangan budaya masyarakat Indonesia dan sebuah Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 pra Amandemen yang baru ditetapkan keesokan harinya pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (pra Amandemen) tersebut mengatur berbagai macam lembaga negara dari
Lembaga Tertinggi Negara hingga Lembaga Tinggi Negara. Konsepsi penyelenggaraan negara yang demokratis oleh lembaga-lembaga
negara tersebut sebagai perwujudan dari sila keempat yang mengedepankan prinsip demokrasi perwakilan dituangkan secara utuh
didalamnya. Kehendak untuk mengejawantahkan aspirasi rakyat dalam sistem perwakilan, untuk pertama kalinya dilontarkan oleh Bung
Karno, pada pidatonya tanggal 01 Juni 1945. Muhammad Yamin juga mengemukakan perlunya prinsip kerakyatan dalam konsepsi
penyelenggaraan negara. Begitu pula dengan Soepomo yang mengutarakan idenya akan Indonesia merdeka dengan prinsip musyawarah
dengan istilah Badan Permusyawaratan. Ide ini didasari oleh prinsip kekeluargaan, dimana setiap anggota keluarga dapat memberikan
pendapatnya.
Dalam rapat Panitia Perancang Undang-Undang Dasar, Soepomo menyampaikan bahwa ‘’Badan Permusyawaratan’’ berubah menjadi
‘’Majelis Permusyawaratan Rakyat’’ dengan anggapan bahwa majelis ini merupakan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia, yang mana
anggotanya terdiri atas seluruh wakil rakyat, seluruh wakil daerah, dan seluruh wakil golongan. Konsepsi Majelis Permusyawaratan Rakyat
inilah yang akhirnya ditetapkan dalam Sidang PPKI pada acara pengesahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(pra Amandemen).
Sejak diterbitkannya Maklumat Wakil Presiden Nomor X, terjadi perubahan-perubahan yang mendasar atas kedudukan, tugas, dan
wewenang KNIP. Sejak saat itu mulailah lembaran baru dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, yakni KNIP diserahi kekuasaan legislatif
dan ikut menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara. Dengan demikian, pada awal berlakunya Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (pra Amandemen) dimulailah lembaran pertama sejarah MPR, yakni terbentuknya KNIP sebagai embrio MPR.
Pada masa berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat (1949-1950) dan Undang-Undang Dasar Sementara (1950-1959), lembaga
MPR tidak dikenal dalam konfigurasi ketatanegaraan Republik Indonesia. Pada tanggal 15 Desember 1955 diselenggarakan pemilihan umum
untuk memilih anggota Konstituante yang diserahi tugas membuat Undang-Undang Dasar.
Namun, Konstituante yang semula diharapkan dapat menetapkan Undang-Undang Dasar ternyata menemui jalan buntu. Di tengah
perdebatan yang tak berujung pangkal, pada tanggal 22 April 1959 Pemerintah menganjurkan untuk kembali ke UUD 1945, tetapi anjuran ini
pun tidak mencapai kesepakatan di antara anggota Konstituante.
Dalam suasana yang tidak menguntungkan itu, tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang berisikan :
Pembubaran Konstituante,
Berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUD Sementara 1950,
Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS).
Untuk melaksanakan Pembentukan MPRS sebagaimana diperintahkan oleh Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Presiden mengeluarkan Penetapan
Presiden Nomor 2 Tahun 1959 yang mengatur Pembentukan MPRS sebagai berikut :
MPRS terdiri atas Anggota DPR Gotong Royong ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan.
Jumlah Anggota MPR ditetapkan oleh Presiden.
Yang dimaksud dengan daerah dan golongan-golongan ialah Daerah Swatantra Tingkat I dan Golongan Karya.
Anggota tambahan MPRS diangkat oleh Presiden dan mengangkat sumpah menurut agamanya di hadapan Presiden atau Ketua
MPRS yang dikuasakan oleh Presiden.
MPRS mempunyai seorang Ketua dan beberapa Wakil Ketua yang diangkat oleh Presiden.
Jumlah anggota MPRS pada waktu dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 199 Tahun 1960 berjumlah 616 orang yang terdiri dari
257 Anggota DPR-GR, 241 Utusan Golongan Karya, dan 118 Utusan Daerah.
Pada tanggal 30 September 1965 terjadi peristiwa pemberontakan G-30-S/PKI. Sebagai akibat logis dari peristiwa pengkhianatan
G-30-S/PKI, mutlak diperlukan adanya koreksi total atas seluruh kebijaksanaan yang telah diambil sebelumnya dalam kehidupan
kenegaraan. MPRS yang pembentukannya didasarkan pada Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan selanjutnya diatur dengan Penetapan Presiden
Nomor 2 Tahun 1959, setelah terjadi pemberontakan G-30-S/PKI, Penetapan Presiden tersebut dipandang tidak memadai lagi.
Untuk memenuhi kebutuhan tersebut maka diadakan langkah pemurnian keanggotaan MPRS dari unsur PKI, dan ditegaskan dalam Undang-
undang Nomor 4 Tahun 1966 bahwa sebelum terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dipilih oleh rakyat, maka MPRS
menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai dengan UUD 1945 sampai MPR hasil Pemilihan Umum terbentuk.
Rakyat yang merasa telah dikhianati oleh peristiwa pemberontakan G-30-S/PKI mengharapkan kejelasan pertangungjawaban Presiden
Soekarno mengenai pemberontakan G-30-S/PKI berikut epilognya serta kemunduran ekonomi dan akhlak. Tetapi, pidato
pertanggungjawaban Presiden Soerkarno yang diberi judul ”Nawaksara” ternyata tidak memuaskan MPRS sebagai pemberi mandat.
Ketidakpuasan MPRS diwujudkan dalam Keputusan MPRS Nomor 5 Tahun 1966 yang meminta Presiden Soekarno melengkapi pidato
pertanggungjawabannya.
Walaupun kemudian Presiden Soekarno memenuhi permintaan MPRS dalam suratnya tertangal 10 januari 1967 yang diberi nama
“Pelengkap Nawaksara”, tetapi ternyata tidak juga memenuhi harapan rakyat. Setalah membahas surat Presiden tersebut, Pimpinan MPRS
berkesimpulan bahwa Presiden Soekarno telah alpa dalam memenuhi kewajiban Konstitusional. Sementara itu DPR-GR dalam Resolusi dan
Memorandumnya tertanggal 9 Februari 1967 dalam menilai “Nawaksara” beserta pelengkapnya berpendapat bahwa “Kepemimpinan
Presiden Soekarno secara konstitusional, politis/ideologis membahayakan keselamatan bangsa, negara, dan Pancasila”.
Dalam kaitan itu, MPRS mengadakan Sidang Istimewa untuk memberhentikan Presiden Soekarno dari jabatan Presiden/Mandataris MPRS
dan memilih/mengangkat Letnan Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden/Mandataris sesuai Pasal 3 Ketetapan MPRS Nomor
IX/MPRS/1966, serta memerintahkan Badan Kehakiman yang berwenang untuk mengadakan pengamatan, pemeriksaan, dan penuntutan
secara hukum.
Pasal 1 ayat (2) yang semula berbunyi: “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat.” , setelah perubahan Undang-Undang Dasar diubah menjadi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar.” Dengan demikian pelaksanaan kedaulatan rakyat tidak lagi dijalankan sepenuhnya oleh sebuah lembaga negara,
yaitu MPR, tetapi melalui cara-cara dan oleh berbagai lembaga negara yang ditentukan oleh UUD 1945.
Tugas, dan wewenang MPR secara konstitusional diatur dalam Pasal 3 UUD 1945, yang sebelum maupun setelah perubahan salah satunya
mempunyai tugas mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar sebagai hukum dasar negara yang mengatur hal-hal penting dan
mendasar. Oleh karena itu dalam perkembangan sejarahnya MPR dan konstitusi yaitu Undang-Undang Dasar mempunyai keterkaitan yang
erat seiring dengan perkembangan ketatanegaraan Indonesia.
Usul pengubahan pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diajukan oleh sekurangkurangnya 1/3 (satu pertiga)
dari jumlah anggota MPR. Setiap usul pengubahan diajukan secara tertulis dengan menunjukkan secara jelas pasal yang diusulkan diubah
beserta alasannya.
Usul pengubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diajukan kepada pimpinan MPR. Setelah menerima usul
pengubahan, pimpinan MPR memeriksa kelengkapan persyaratannya, yaitu jumlah pengusul dan pasal yang diusulkan diubah yang disertai
alasan pengubahan yang paling lama dilakukan selama 30 (tiga puluh) hari sejak usul diterima pimpinan MPR. Dalam pemeriksaan,
pimpinan MPR mengadakan rapat dengan pimpinan fraksi dan pimpinan Kelompok Anggota MPR untuk membahas kelengkapan
persyaratan.
Jika usul pengubahan tidak memenuhi kelengkapan persyaratan, pimpinan MPR memberitahukan penolakan usul pengubahan secara tertulis
kepada pihak pengusul beserta alasannya. Namun, jika pengubahan dinyatakan oleh pimpinan MPR memenuhi kelengkapan persyaratan,
pimpinan MPR wajib menyelenggarakan sidang paripurna MPR paling lambat 60 (enam puluh) hari. Anggota MPR menerima salinan usul
pengubahan yang telah memenuhi kelengkapan persyaratan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum dilaksanakan sidang paripurna
MPR.
Sidang paripurna MPR dapat memutuskan pengubahan pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dengan
persetujuan sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen) dari jumlah anggota ditambah 1 (satu) anggota.
Memutuskan usul DPR untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya
MPR hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden diusulkan oleh DPR.
MPR wajib menyelenggarakan sidang paripurna MPR untuk memutuskan usul DPR mengenai pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden pada masa jabatannya paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak MPR menerima usul. Usul DPR harus dilengkapi dengan putusan
Mahkamah Konstitusi bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Keputusan MPR terhadap usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden diambil dalam sidang paripurna MPR yang dihadiri
sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota
yang hadir.
Keanggotaan
MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum. Keanggotaan MPR diresmikan dengan keputusan
Presiden. Sebelum reformasi, MPR terdiri atas anggota DPR, utusan daerah, dan utusan golongan, menurut aturan yang ditetapkan undang-
undang. Jumlah anggota MPR periode 2009–2014 adalah 692 orang yang terdiri atas 560 Anggota DPR dan 132 anggota DPD. Masa jabatan
anggota MPR adalah 5 tahun, dan berakhir bersamaan pada saat anggota MPR yang baru mengucapkan sumpah/janji.
Anggota MPR sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji secara bersama-sama yang dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung
dalam sidang paripurna MPR. Anggota MPR yang berhalangan mengucapkan sumpah/janji secara bersama-sama, mengucapkan
sumpah/janji yang dipandu oleh pimpinan MPR.
Hak anggota
Mengajukan usul pengubahan pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Menentukan sikap dan pilihan dalam pengambilan keputusan.
Memilih dan dipilih.
Membela diri.
Imunitas.
Protokoler.
Keuangan dan administratif.
Kewajiban anggota
Memegang teguh dan mengamalkan Pancasila.
Melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menaati peraturan perundang-undangan.
Mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan.
Melaksanakan peranan sebagai wakil rakyat dan wakil daerah.
Fraksi
Fraksi adalah pengelompokan anggota MPR yang mencerminkan konfigurasi partai politik. Fraksi dapat dibentuk oleh partai politik yang
memenuhi ambang batas perolehan suara dalam penentuan perolehan kursi DPR. Setiap anggota MPR yang berasal dari anggota DPR harus
menjadi anggota salah satu fraksi. Fraksi dibentuk untuk mengoptimalkan kinerja MPR dan anggota dalam melaksanakan tugasnya sebagai
wakil rakyat. Pengaturan internal fraksi sepenuhnya menjadi urusan fraksi masing-masing.
Kelompok anggota
Kelompok Anggota adalah pengelompokan anggota MPR yang berasal dari seluruh anggota DPD. Kelompok Anggota dibentuk untuk
meningkatkan optimalisasi dan efektivitas kinerja MPR dan anggota dalam melaksanakan tugasnya sebagai wakil daerah. Pengaturan
internal Kelompok Anggota sepenuhnya menjadi urusan Kelompok Anggota.
Alat kelengkapan
Alat kelengkapan MPR terdiri atas; Pimpinan dan Panitia Ad Hoc.
Pimpinan
Pimpinan MPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua yang berasal dari anggota DPR dan 4 (empat) orang wakil ketua yang terdiri atas 2 (dua)
orang wakil ketua berasal dari anggota DPR dan 2 (dua) orang wakil ketua berasal dari anggota DPD, yang ditetapkan dalam sidang
paripurna MPR.
Panitia Ad Hoc
Panitia ad hoc MPR terdiri atas pimpinan MPR dan paling sedikit 5% (lima persen) dari jumlah anggota dan paling banyak 10% (sepuluh
persen) dari jumlah anggota yang susunannya mencerminkan unsur DPR dan unsur DPD secara proporsional dari setiap fraksi dan
Kelompok Anggota MPR.
Sidang
MPR bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibukota negara.
Sebelum mengambil putusan dengan suara yang terbanyak, terlebih dahulu diupayakan pengambilan putusan dengan musyawarah untuk
mencapai hasil yang mufakat.
Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia
2009-2014
Jenis
Jenis Majelis rendah pada Majelis Permusyawaratan Rakyat
Kepemimpinan
Marzuki Alie, Demokrat
Ketua
sejak 1 Oktober 2009
Priyo Budi Santoso, Golkar
Wakil Ketua
sejak 1 Oktober 2009
Pramono Anung, PDI-P
Wakil Ketua
sejak 1 Oktober 2009
Sohibul Iman, PKS
Wakil Ketua
sejak 11 Februari 2013
Taufik Kurniawan, PAN
Wakil Ketua
sejak 2 Maret 2010
Struktur
Anggota 560
Kelompok politik
Demokrat (148)
Golkar (106)
PDI-P (94)
PKS (57)
PAN (46)
PPP (38)
PKB (28)
Gerindra (26)
Hanura (17)
Pemilihan
Pemilihan terakhir 9 April 2009
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia atau sering disebut Dewan Perwakilan Rakyat (disingkat DPR-RI atau DPR) adalah salah
satu lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan lembaga perwakilan rakyat. DPR terdiri atas anggota
partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan umum.
Sejarah
Masa DPR Hasil Dekrit Presiden 1959 berdasarkan UUD 1945 (1959-1965)
Jumlah anggota sebanyak 262 orang kembali aktif setelah mengangkat sumpah. Dalam DPR terdapat 19 fraksi, didominasi PNI, Masjumi,
NU, dan PKI.
Dengan Penpres No. 3 tahun 1960, Presiden membubarkan DPR karena DPR hanya menyetujui 36 milyar rupiah APBN dari 44 milyar yang
diajukan. Sehubungan dengan hal tersebut, presiden mengeluarkan Penpres No. 4 tahun 1960 yang mengatur Susunan DPR-GR.
DPR-GR beranggotakan 283 orang yang semuanya diangkat oleh Presiden dengan Keppres No. 156 tahun 1960. Adapun salah satu
kewajiban pimpinan DPR-GR adalah memberikan laporan kepada Presiden pada waktu-waktu tertentu, yang mana menyimpang dari pasal 5,
20, 21 UUD 1945. Selama 1960-1965, DPR-GR menghasilkan 117 UU dan 26 usul pernyataan pendapat.
DPR juga kerap dikritik oleh sebagian besar masyarakat Indonesia karena dianggap malas dalam bekerja. Hal ini terbukti dari pemberian
fasilitas mewah, seperti gaji besar, kendaraan, dan perumahan, namun tidak sebanding dengan hasil yang diberikan. Hal lain yang sudah
menjadi rahasia umum adalah banyaknya anggota yang "bolos" dalam sidang paripurna, atau sekedar "menitip absen", sehingga seolah-olah
hadir, namun kenyataannya tidak.
Kalaupun hadir, sebagian oknum anggota ternyata tidur saat sidang, main game, atau melakukan tindakan lain selain mengikuti proses rapat
paripurna. Kasus terbaru adalah putra Presiden, Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas), yang tertangkap kamera sedang menitip absen saat rapat
paripurna DPR membahas Undang-Undang Pencegahan Pendanaan Terorisme [1][2].
Dalam konsep Trias Politika, di mana DPR berperan sebagai lembaga legislatif yang berfungsi untuk membuat undang-undang dan
mengawasi jalannya pelaksanaan undang-undang yang dilakukan oleh pemerintah sebagai lembaga eksekutif. Fungsi pengawasan dapat
dikatakan telah berjalan dengan baik apabila DPR dapat melakukan tindakan kritis atas kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang
tidak sesuai dengan kepentingan rakyat. Sementara itu, fungsi legislasi dapat dikatakan berjalan dengan baik apabila produk hukum yang
dikeluarkan oleh DPR dapat memenuhi aspirasi dan kepentingan seluruh rakyat.
Fungsi
DPR mempunyai fungsi ; legislasi, anggaran, dan pengawasan yang dijalankan dalam kerangka representasi rakyat.
Legislasi
Fungsi Legislasi dilaksanakan untuk membentuk undang-undang bersama presiden.
Anggaran
Fungsi anggaran dilaksanakan untuk membahas dan memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap rancangan
undang-undang tentang APBN yang diajukan oleh Presiden.
Pengawasan
Fungsi pengawasan dilaksanakan melalui pengawasan atas pelaksanaan undang-undang dan APBN.
Hak
DPR mempunyai beberapa hak, yaitu; hak interpelasi, hak angket, hak imunitas, dan hak menyatakan pendapat.
Hak interpelasi
Hak interpelasi adalah hak DPR untuk meminta keterangan kepada Pemerintah mengenai kebijakan Pemerintah yang penting dan strategis
serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Hak angket
Hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang
berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Hak imunitas
Hak imunitas adalah kekebalan hukum dimana setiap anggota DPR tidak dapat dituntut di hadapan dan di luar pengadilan karena pernyataan,
pertanyaan/pendapat yang dikemukakan secara lisan ataupun tertulis dalam rapat-rapat DPR, sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan
Tata Tertib dan kode etik.
Anggota
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Daftar anggota Dewan Perwakilan Rakyat 2009–2014
Hak anggota
Anggota DPR mempunyai hak:
mengajukan usul rancangan undang-undang
mengajukan pertanyaan
menyampaikan usul dan pendapat
memilih dan dipilih
membela diri
imunitas
protokoler
keuangan dan administratif
Kewajiban anggota
Anggota DPR mempunyai kewajiban:
memegang teguh dan mengamalkan Pancasila
melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menaati peraturan perundangundangan
mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia
mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan
memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat
menaati prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara
menaati tata tertib dan kode etik
menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga lain
menyerap dan menghimpun aspirasi konstituen melalui kunjungan kerja secara berkala
menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat
memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada konstituen di daerah pemilihannya
Larangan
Anggota DPR tidak boleh merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, hakim pada badan peradilan, pegawai negeri sipil, anggota
TNI/Polri, pegawai pada BUMN/BUMD atau badan lain yang anggarannya bersumber dari APBN/APBD.
Anggota DPR juga tidak boleh melakukan pekerjaan sebagai pejabat struktural pada lembaga pendidikan swasta, akuntan publik, konsultan,
advokat/pengacara, notaris, dokter praktek dan pekerjaan lain yang ada hubungannya dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota
DPR.
Penyidikan
Jika anggota DPR diduga melakukan perbuatan pidana, pemanggilan, permintaan keterangan, dan penyidikannya harus mendapat
persetujuan tertulis dari Presiden. Ketentuan ini tidak berlaku apabila anggota DPR melakukan tindak pidana korupsi dan terorisme serta
tertangkap tangan.
Fraksi
Untuk mengoptimalkan pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang DPR, serta hak dan kewajiban anggota DPR, dibentuk fraksi sebagai
wadah berhimpun anggota DPR. Dalam mengoptimalkan pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang DPR, serta hak dan kewajiban anggota
DPR, fraksi melakukan evaluasi terhadap kinerja anggota fraksinya dan melaporkan kepada publik. Setiap anggota DPR harus menjadi
anggota salah satu fraksi. Fraksi dapat dibentuk oleh partai politik yang memenuhi ambang batas perolehan suara dalam penentuan perolehan
kursi DPR. Fraksi mempunyai sekretariat. Sekretariat Jenderal DPR menyediakan sarana, anggaran, dan tenaga ahli guna kelancaran
pelaksanaan tugas fraksi.
Alat kelengkapan
Alat kelengkapan DPR terdiri atas: Pimpinan, Badan Musyawarah, Komisi, Badan Legislasi, Badan Anggaran, Badan Akuntabilitas
Keuangan Negara, Badan Kehormatan, Badan Kerjasama Antar-Parlemen, Badan Urusan Rumah Tangga, Panitia Khusus dan alat
kelengkapan lain yang diperlukan dan dibentuk oleh rapat paripurna.
Dalam menjalankan tugasnya, alat kelengkapan dibantu oleh unit pendukung yang tugasnya diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.
Pimpinan
Pimpinan DPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 4 (empat) orang wakil ketua yang berasal dari partai politik berdasarkan urutan perolehan
kursi terbanyak di DPR. Ketua DPR ialah anggota DPR yang berasal dari partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama di DPR.
Wakil Ketua DPR ialah anggota DPR yang berasal dari partai politik yang memperoleh kursi terbanyak kedua, ketiga, keempat, dan kelima.
Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak sama, ketua dan wakil ketua ditentukan berdasarkan
urutan hasil perolehan suara terbanyak dalam pemilihan umum. Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh suara
sama, ketua dan wakil ketua ditentukan berdasarkan persebaran perolehan suara.
Dalam hal pimpinan DPR belum terbentuk, DPR dipimpin oleh pimpinan sementara DPR. Pimpinan sementara DPR terdiri atas 1 (satu)
orang ketua dan 1 (satu) orang wakil ketua yang berasal dari 2 (dua) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama dan kedua di
DPR. Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak sama, ketua dan wakil ketua sementara DPR
ditentukan secara musyawarah oleh wakil partai politik bersangkutan yang ada di DPR. Ketua dan wakil ketua DPR diresmikan dengan
keputusan DPR. Pimpinan DPR sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji yang teksnya dipandu oleh Ketua Mahkamah
Agung.
Tugas
Pimpinan DPR bertugas:
memimpin sidang DPR dan menyimpulkan hasil sidang untuk diambil keputusan
menyusun rencana kerja pimpinan
melakukan koordinasi dalam upaya menyinergikan pelaksanaan agenda dan materi kegiatan dari alat kelengkapan DPR
menjadi juru bicara DPR
melaksanakan dan memasyarakatkan keputusan DPR
mewakili DPR dalam berhubungan dengan lembaga negara lainnya
mengadakan konsultasi dengan Presiden dan pimpinan lembaga negara lainnya sesuai dengan keputusan DPR
mewakili DPR di pengadilan
melaksanakan keputusan DPR berkenaan dengan penetapan sanksi atau rehabilitasi anggota sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan
menyusun rencana anggaran DPR bersama Badan Urusan Rumah Tangga yang pengesahannya dilakukan dalam rapat paripurna
menyampaikan laporan kinerja dalam rapat paripurna DPR yang khusus diadakan untuk itu
Berhenti
Pimpinan DPR berhenti dari jabatannya karena:
meninggal dunia
mengundurkan diri
diberhentikan
Dalam hal salah seorang pimpinan DPR berhenti dari jabatannya, anggota pimpinan lainnya menetapkan salah seorang di antara pimpinan
untuk melaksanakan tugas pimpinan yang berhenti sampai dengan ditetapkannya pimpinan yang definitif. Dalam hal salah seorang pimpinan
DPR berhenti, penggantinya berasal dari partai politik yang sama. Pimpinan DPR diberhentikan sementara dari jabatannya apabila
dinyatakan sebagai terdakwa karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. Dalam hal
pimpinan DPR dinyatakan tidak terbukti melakukan tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap, pimpinan DPR yang bersangkutan melaksanakan kembali tugasnya sebagai pimpinan DPR.
Badan Musyawarah
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Badan Musyawarah Dewan Perwakilan Rakyat
Badan Musyawarah (disingkat Bamus) dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap. DPR menetapkan
susunan dan keanggotaan Badan Musyawarah pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang. Anggota Badan
Musyawarah berjumlah paling banyak 1/10 (satu persepuluh) dari jumlah anggota DPR berdasarkan perimbangan jumlah anggota tiap-tiap
fraksi yang ditetapkan oleh rapat paripurna. Pimpinan DPR karena jabatannya juga sebagai pimpinan Badan Musyawarah.
Tugas
Badan Musyawarah bertugas:
1. menetapkan agenda DPR untuk 1 (satu) tahun sidang, 1 (satu) masa persidangan, atau sebagian dari suatu masa sidang,
perkiraan waktu penyelesaian suatu masalah, dan jangka waktu penyelesaian rancangan undang-undang, dengan tidak
mengurangi kewenangan rapat paripurna untuk mengubahnya
2. memberikan pendapat kepada pimpinan DPR dalam menentukan garis kebijakan yang menyangkut pelaksanaan tugas dan
wewenang DPR;
3. meminta dan/atau memberikan kesempatan kepada alat kelengkapan DPR yang lain untuk memberikan keterangan/penjelasan
mengenai pelaksanaan tugas masing-masing
4. mengatur lebih lanjut penanganan suatu masalah dalam hal undang-undang mengharuskan Pemerintah atau pihak lainnya
melakukan konsultasi dan koordinasi dengan DPR
5. menentukan penanganan suatu rancangan undangundang atau pelaksanaan tugas DPR lainnya oleh alat kelengkapan DPR
6. mengusulkan kepada rapat paripurna mengenai jumlah komisi, ruang lingkup tugas komisi, dan mitra kerja komisi yang telah
dibahas dalam konsultasi pada awal masa keanggotaan DPR
7. melaksanakan tugas lain yang diserahkan oleh rapat paripurna kepada Badan Musyawarah
Komisi
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Komisi Dewan Perwakilan Rakyat
Komisi dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap. DPR menetapkan jumlah komisi pada permulaan masa
keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang. Jumlah anggota komisi ditetapkan dalam rapat paripurna menurut perimbangan dan
pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada permulaan tahun sidang.
Pimpinan komisi merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial. Pimpinan komisi terdiri atas 1 (satu) orang ketua
dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua, yang dipilih dari dan oleh anggota komisi berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan
proporsional dengan memperhatikan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi. Pemilihan pimpinan
komisi dalam rapat komisi yang dipimpin oleh pimpinan DPR setelah penetapan susunan dan keanggotaan komisi.
Tugas
Tugas komisi dalam pembentukan undang-undang adalah mengadakan persiapan, penyusunan, pembahasan, dan penyempurnaan rancangan
undang-undang.
Komisi menentukan tindak lanjut hasil pelaksanaan tugas komisi. Keputusan dan/atau kesimpulan hasil rapat kerja komisi atau rapat kerja
gabungan komisi bersifat mengikat antara DPR dan Pemerintah. Komisi membuat laporan kinerja pada akhir masa keanggotaan DPR, baik
yang sudah maupun yang belum terselesaikan untuk dapat digunakan sebagai bahan oleh komisi pada masa keanggotaan berikutnya. Komisi
menyusun rancangan anggaran untuk pelaksanaan tugasnya sesuai dengan kebutuhan yang selanjutnya disampaikan kepada Badan Urusan
Rumah Tangga.
Komisi adalah unit kerja utama di dalam DPR. Hampir seluruh aktivitas yang berkaitan dengan fungsi-fungsi DPR, substansinya dikerjakan
di dalam komisi. Setiap anggota DPR (kecuali pimpinan) harus menjadi anggota salah satu komisi. Pada umumnya, pengisian keanggotan
komisi terkait erat dengan latar belakang keilmuan atau penguasaan anggota terhadap masalah dan substansi pokok yang digeluti oleh
komisi.
Pada periode 2009-2014, DPR mempunyai 11 komisi dengan ruang lingkup tugas, yaitu :
Komisi I, membidangi pertahanan, luar negeri, dan informasi.
Komisi II, membidangi pemerintahan dalam negeri, otonomi daerah, aparatur negara, dan agraria.
Komisi III, membidangi hukum dan perundang-undangan, hak asasi manusia, dan keamanan.
Komisi IV, membidangi pertanian, perkebunan, kehutanan, kelautan, perikanan, dan pangan.
Komisi V, membidangi perhubungan, telekomunikasi, pekerjaan umum, perumahan rakyat, pembangunan pedesaan dan
kawasan tertinggal.
Komisi VI, membidangi perdagangan, perindustrian, investasi, koperasi, usaha kecil dan menengah), dan badan usaha milik
negara.
Komisi VII, membidangi energi, sumber daya mineral, riset dan teknologi, dan lingkungan.
Komisi VIII, membidangi agama, sosial dan pemberdayaan perempuan.
Komisi IX, membidangi kependudukan, kesehatan, tenaga kerja dan transmigrasi.
Komisi X, membidangi pendidikan, pemuda, olahraga, pariwisata, kesenian, dan kebudayaan.
Komisi XI, membidangi keuangan, perencanaan pembangunan nasional, perbankan, dan lembaga keuangan bukan bank.
Badan Legislasi
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat
Badan Legislasi dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap. DPR menetapkan susunan dan keanggotaan
Badan Legislasi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang. Jumlah anggota Badan Legislasi ditetapkan dalam
rapat paripurna menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada
permulaan tahun sidang.
Pimpinan Badan Legislasi merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial. Pimpinan Badan Legislasi terdiri atas 1
(satu) orang ketua dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota Badan Legislasi berdasarkan prinsip
musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan memperhatikan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-
tiap fraksi. Pemilihan pimpinan Badan Legislasi dilakukan dalam rapat Badan Legislasi yang dipimpin oleh pimpinan DPR setelah penetapan
susunan dan keanggotaan Badan Legislasi.
Tugas
Badan Legislasi bertugas:
1. menyusun rancangan program legislasi nasional yang memuat daftar urutan dan prioritas rancangan undang-undang beserta
alasannya untuk 1 (satu) masa keanggotaan dan untuk setiap tahun anggaran di lingkungan DPR dengan mempertimbangkan
masukan dari DPD;
2. mengoordinasi penyusunan program legislasi nasional antara DPR dan Pemerintah;
3. menyiapkan rancangan undang-undang usul DPR berdasarkan program prioritas yang telah ditetapkan;
4. melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi rancangan undang-undang yang diajukan anggota,
komisi, gabungan komisi, atau DPD sebelum rancangan undang-undang tersebut disampaikan kepada pimpinan DPR;
5. memberikan pertimbangan terhadap rancangan undang-undang yang diajukan oleh anggota, komisi, gabungan komisi, atau
DPD di luar prioritas rancangan undang-undang tahun berjalan atau di luar rancangan undang-undang yang terdaftar dalam
program legislasi nasional;
6. melakukan pembahasan, pengubahan, dan/atau penyempurnaan rancangan undang-undang yang secara khusus ditugaskan
oleh Badan Musyawarah;
7. mengikuti perkembangan dan melakukan evaluasi terhadap pembahasan materi muatan rancangan undang-undang melalui
koordinasi dengan komisi dan/atau panitia khusus;
8. memberikan masukan kepada pimpinan DPR atas rancangan undang-undang usul DPD yang ditugaskan oleh Badan
Musyawarah; dan
9. membuat laporan kinerja dan inventarisasi masalah di bidang perundang-undangan pada akhir masa keanggotaan DPR untuk
dapat digunakan oleh Badan Legislasi pada masa keanggotaan berikutnya.
Badan Legislasi menyusun rancangan anggaran untuk pelaksanaan tugasnya sesuai dengan kebutuhan yang selanjutnya disampaikan kepada
Badan Urusan Rumah Tangga.
Badan Anggaran
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat
Badan Anggaran dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap. DPR menetapkan susunan dan keanggotaan
Badan Anggaran menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada
permulaan tahun sidang. Susunan dan keanggotaan Badan Anggaran terdiri atas anggota dari tiap-tiap komisi yang dipilih oleh komisi
dengan memperhatikan perimbangan jumlah anggota dan usulan fraksi.
Pimpinan Badan Anggaran merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial. Pimpinan Badan Anggaran terdiri atas 1
(satu) orang ketua dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota Badan Anggaran berdasarkan prinsip
musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan mempertimbangkan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota
tiap-tiap fraksi. Pemilihan pimpinan Badan Anggaran dilakukan dalam rapat Badan Anggaran yang dipimpin oleh pimpinan DPR setelah
penetapan susunan dan keanggotaan Badan Anggaran.
Tugas
Badan Anggaran bertugas:
1. membahas bersama Pemerintah yang diwakili oleh menteri untuk menentukan pokok-pokok kebijakan fiskal secara umum dan
prioritas anggaran untuk dijadikan acuan bagi setiap kementerian/lembaga dalam menyusun usulan anggaran;
2. menetapkan pendapatan negara bersama Pemerintah dengan mengacu pada usulan komisi terkait;
3. membahas rancangan undang-undang tentang APBN bersama Presiden yang dapat diwakili oleh menteri dengan mengacu pada
keputusan rapat kerja komisi dan Pemerintah mengenai alokasi anggaran untuk fungsi, program, dan kegiatan
kementerian/lembaga;
4. melakukan sinkronisasi terhadap hasil pembahasan di komisi mengenai rencana kerja dan anggaran kementerian/lembaga;
5. membahas laporan realisasi dan prognosis yang berkaitan dengan APBN; dan
6. membahas pokok-pokok penjelasan atas rancangan undang-undang tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN.
Badan Anggaran hanya membahas alokasi anggaran yang sudah diputuskan oleh komisi. Anggota komisi dalam Badan Anggaran harus
mengupayakan alokasi anggaran yang diputuskan komisi dan menyampaikan hasil pelaksanaan tugas.
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Badan Akuntabilitas Keuangan Negara Dewan Perwakilan Rakyat
Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (disingkat BAKN), dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap.
DPR menetapkan susunan dan keanggotaan BAKN pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang. Anggota BAKN
berjumlah paling sedikit 7 (tujuh) orang dan paling banyak 9 (sembilan) orang atas usul fraksi DPR yang ditetapkan dalam rapat paripurna
pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang.
Pimpinan BAKN merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial. Pimpinan BAKN terdiri atas 1 (satu) orang ketua
dan 1 (satu) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota BAKN berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dengan
memperhatikan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi. Pemilihan pimpinan BAKN dilakukan dalam
rapat BAKN yang dipimpin oleh pimpinan DPR setelah penetapan susunan dan keanggotaan BAKN.
Tugas
BAKN bertugas:
1. melakukan penelaahan terhadap temuan hasil pemeriksaan BPK yang disampaikan kepada DPR;
2. menyampaikan hasil penelaahan kepada komisi;
3. menindaklanjuti hasil pembahasan komisi terhadap temuan hasil pemeriksaan BPK atas permintaan komisi; dan
4. memberikan masukan kepada BPK dalam hal rencana kerja pemeriksaan tahunan, hambatan pemeriksaan, serta penyajian dan
kualitas laporan.
Dalam melaksanakan tugas BAKN dapat meminta penjelasan dari BPK, Pemerintah, pemerintah daerah, lembaga negara lainnya, Bank
Indonesia, badan usaha milik negara, badan layanan umum, badan usaha milik daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola
keuangan negara. BAKN dapat mengusulkan kepada komisi agar BPK melakukan pemeriksaan lanjutan. Hasil kerja disampaikan kepada
pimpinan DPR dalam rapat paripurna secara berkala.
Dalam melaksanakan tugas, BAKN dapat dibantu oleh akuntan, ahli, analis keuangan, dan/atau peneliti.
Badan Kehormatan
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat
Badan Kehormatan dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap. DPR menetapkan susunan dan
keanggotaan Badan Kehormatan dengan memperhatikan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi pada permulaan masa
keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang. Anggota Badan Kehormatan berjumlah 11 (sebelas) orang dan ditetapkan dalam rapat
paripurna pada permulaan masa keanggotan DPR dan pada permulaan tahun sidang.
Pimpinan Badan Kehormatan merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial. Pimpinan Badan Kehormatan terdiri
atas 1 (satu) orang ketua dan 2 (dua) orang wakil ketua, yang dipilih dari dan oleh anggota Badan Kehormatan berdasarkan prinsip
musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan memperhatikan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-
tiap fraksi. Pemilihan pimpinan Badan Kehormatan dilakukan dalam rapat Badan Kehormatan yang dipimpin oleh pimpinan DPR setelah
penetapan susunan dan keanggotaan Badan Kehormatan.
Tugas
Badan Kehormatan bertugas melakukan penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan terhadap anggota karena:
1. tidak melaksanakan kewajiban;
2. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota DPR selama 3 (tiga) bulan
berturut-turut tanpa keterangan apa pun;
3. tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPR yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6
(enam) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah;
4. tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai
pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD; dan/atau
5. melanggar ketentuan larangan.
Selain tugas tersebut diatas, Badan Kehormatan melakukan evaluasi dan penyempurnaan peraturan DPR tentang kode etik DPR. Badan
Kehormatan berwenang memanggil pihak terkait dan melakukan kerja sama dengan lembaga lain. Badan Kehormatan membuat laporan
kinerja pada akhir masa keanggotaan.
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Badan Kerja Sama Antar-Parlemen Dewan Perwakilan Rakyat
Badan Kerja Sama Antar-Parlemen, yang selanjutnya disingkat BKSAP, dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang
bersifat tetap. DPR menetapkan susunan dan keanggotaan BKSAP pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang.
Jumlah anggota BKSAP ditetapkan dalam rapat paripurna menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi pada
permulaan masa keanggotaan DPR dan pada permulaan tahun sidang.
Pimpinan BKSAP merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial.P impinan BKSAP terdiri atas 1 (satu) orang ketua
dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua, yang dipilih dari dan oleh anggota BKSAP berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat
dan proporsional dengan memperhatikan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi. Pemilihan pimpinan
BKSAP dilakukan dalam rapat BKSAP yang dipimpin oleh pimpinan DPR setelah penetapan susunan dan keanggotaan BKSAP.
Tugas
BKSAP bertugas:
1. membina, mengembangkan, dan meningkatkan hubungan persahabatan dan kerja sama antara DPR dan parlemen negara lain,
baik secara bilateral maupun multilateral, termasuk organisasi internasional yang menghimpun parlemen dan/atau anggota
parlemen negara lain;
2. menerima kunjungan delegasi parlemen negara lain yang menjadi tamu DPR;
3. mengoordinasikan kunjungan kerja alat kelengkapan DPR ke luar negeri; dan
4. memberikan saran atau usul kepada pimpinan DPR tentang masalah kerja sama antarparlemen.
BKSAP membuat laporan kinerja pada akhir masa keanggotaan baik yang sudah maupun yang belum terselesaikan untuk dapat digunakan
sebagai bahan oleh BKSAP pada masa keanggotaan berikutnya.
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Badan Urusan Rumah Tangga Dewan Perwakilan Rakyat
Badan Urusan Rumah Tangga (disingkat BURT), dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap. DPR
menetapkan susunan dan keanggotaan BURT pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang. Jumlah anggota BURT
ditetapkan dalam rapat paripurna menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan
DPR dan pada permulaan tahun sidang.
Pimpinan BURT merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial. Pimpinan BURT terdiri atas 1 (satu) orang ketua
yang dijabat oleh Ketua DPR dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota BURT berdasarkan prinsip
musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan memperhatikan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-
tiap fraksi. Pemilihan pimpinan BURT sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam rapat BURT yang dipimpin oleh pimpinan
DPR setelah penetapan susunan dan keanggotaan BURT.
Tugas
BURT bertugas:
1. menetapkan kebijakan kerumahtanggaan DPR;
2. melakukan pengawasan terhadap Sekretariat Jenderal DPR dalam pelaksanaan kebijakan kerumahtanggaan DPR sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, termasuk pelaksanaan dan pengelolaan anggaran DPR;
3. melakukan koordinasi dengan alat kelengkapan DPD dan alat kelengkapan MPR yang berhubungan dengan masalah
kerumahtanggaan DPR, DPD, dan MPR yang ditugaskan oleh pimpinan DPR berdasarkan hasil rapat Badan Musyawarah;
4. menyampaikan hasil keputusan dan kebijakan BURT kepada setiap anggota DPR; dan
5. menyampaikan laporan kinerja dalam rapat paripurna DPR yang khusus diadakan untuk itu.
Panitia Khusus
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Panitia Khusus Dewan Perwakilan Rakyat
Panitia khusus dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat sementara. DPR menetapkan susunan dan
keanggotaan panitia khusus berdasarkan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi. Jumlah anggota panitia khusus
ditetapkan oleh rapat paripurna paling banyak 30 (tiga puluh) orang.
Pimpinan panitia khusus merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial. Pimpinan panitia khusus terdiri atas 1 (satu)
orang ketua dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota panitia khusus berdasarkan prinsip musyawarah
untuk mufakat dan proporsional dengan memperhatikan jumlah panitia khusus yang ada serta keterwakilan perempuan menurut perimbangan
jumlah anggota tiap-tiap fraksi. Pemilihan pimpinan panitia khusus sebagaimana dilakukan dalam rapat panitia khusus yang dipimpin oleh
pimpinan DPR setelah penetapan susunan dan keanggotaan panitia khusus.
Panitia khusus bertugas melaksanakan tugas tertentu dalam jangka waktu tertentu yang ditetapkan oleh rapat paripurna. Panitia khusus
bertanggung jawab kepada DPR. Panitia khusus dibubarkan oleh DPR setelah jangka waktu penugasannya berakhir atau karena tugasnya
dinyatakan selesai. Rapat paripurna menetapkan tindak lanjut hasil kerja panitia khusus.
Sekretariat Jenderal
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
Sekretariat Jenderal DPR-RI merupakan unsur penunjang DPR, yang berkedududukan sebagai Kesekretariatan Lembaga Negara yang
dipimpin oleh seorang Sekretaris Jenderal dan dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada Pimpinan DPR. Sekretaris Jenderal
diangkat dan diberhentikan dengan Keputusan Presiden atas usul Pimpinan DPR. Sekretariat Jenderal DPR RI personelnya terdiri atas
Pegawai Negeri Sipil. Susunan organisasi dan tata kerja Sekretaris Jenderal ditetapkan dengan keputusan Presiden.
Sekretaris Jenderal dibantu oleh seorang Wakil Sekretaris Jenderal dan beberapa Deputi Sekretaris Jenderal yang diangkat dan diberhentikan
oleh Presiden atas usul Pimpinan DPR..
DPR dapat mengangkat sejumlah pakar/ahli sesuai dengan kebutuhan, dan dalam melaksanakan tugasnya Sekretariat Jenderal dapat
membentuk Tim Asistensi.
Sekretaris Jendral DPR-RI saat ini dijabat oleh Dra. Nining Indra Shaleh, MSi.
Jenis
Jenis Lembaga Negara pada Perwakilan Daerah
Kepemimpinan
Irman Gusman, Utusan Sumatera Barat
Ketua
sejak 1 Oktober 2009
Gusti Kanjeng Ratu Hemas, Utusan D.I Yogyakarta
Wakil Ketua
sejak 1 Oktober 2009
La Ode Ida, Utusan Sulawesi Tenggara
Wakil Ketua
sejak 1 Oktober 2009
Struktur
Anggota 132
Pemilihan
Pemilihan terakhir 9 April 2009
Dewan Perwakilan Daerah (disingkat DPD), sebelum 2004 disebut Utusan Daerah, adalah lembaga tinggi negara dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia yang anggotanya merupakan perwakilan dari setiap provinsi yang dipilih melalui Pemilihan Umum.
Anggota DPD dari setiap provinsi adalah 4 orang. Dengan demikian jumlah anggota DPD saat ini adalah 132 orang. Masa jabatan anggota
DPD adalah 5 tahun, dan berakhir bersamaan pada saat anggota DPD yang baru mengucapkan sumpah/janji.
Sejarah
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) lahir pada tanggal 1 Oktober 2004, ketika 128 anggota DPD yang terpilih untuk pertama kalinya dilantik
dan diambil sumpahnya. Pada awal pembentukannya, masih banyak tantangan yang dihadapi oleh DPD. Tantangan tersebut mulai dari
wewenangnya yang dianggap jauh dari memadai untuk menjadi kamar kedua yang efektif dalam sebuah parlemen bikameral, sampai dengan
persoalan kelembagaannya yang juga jauh dari memadai. Tantangan-tantangan tersebut timbul terutama karena tidak banyak dukungan
politik yang diberikan kepada lembaga baru ini.[1]
Keberadaan lembaga seperti DPD, yang mewakili daerah di parlemen nasional, sesungguhnya sudah terpikirkan dan dapat dilacak sejak
sebelum masa kemerdekaan. Gagsan tersebut dikemukakan oleh Moh. Yamin dalam rapat perumusan UUD 1945 oleh Badan Penyelidik
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).[1]
Gagasan-gagasan akan pentingnya keberadaan perwakilan daerah di parlemen, pada awalnya diakomodasi dalam konstitusi pertama
Indonesia, UUD 1945, dengan konsep “utusan daerah” di dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang bersanding dengan “utusan
golongan” dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hal tersebut diatur dalam Pasal 2 UUD 1945, yang menyatakan bahwa “MPR
terdiri atas anggota DPR ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan
undang-undang.” Pengaturan yang longgar dalam UUD 1945 tersebut kemudian diatur lebih lanjut dalam berbagai peraturan perundang-
undangan.[1]
Dalam periode konstitusi berikutnya, UUD Republik Indonesia Serikat (RIS), gagasan tersebut diwujudkan dalam bentuk Senat Republik
Indonesia Serikat yang mewakili negara bagian dan bekerja bersisian dengan DPR-RIS. [1]
Alat kelengkapan
Alat kelengkapan DPD terdiri atas: Pimpinan, Komite, Badan Kehormatan dan Panitia-panitia lain yang diperlukan.
Pimpinan
Pimpinan DPD terdiri atas seorang ketua dan dua wakil ketua. Selain bertugas memimpin sidang, pimpinan DPD juga sebagai juru bicara
DPD. Ketua DPD periode 2009–2014 adalah Irman Gusman.
Sekretariat Jenderal
Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas DPD, dibentuk Sekretariat Jenderal DPD yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden, dan
personelnya terdiri atas Pegawai Negeri Sipil. Sekretariat Jenderal DPD dipimpin seorang Sekretaris Jenderal yang diangkat dan
diberhentikan dengan Keputusan Presiden atas usul Pimpinan DPD.
Komite
Berikut ini adalah daftar komite DPD beserta jajaran pimpinannya untuk periode 2010-2011: [2]
Komite I DPD membidangi otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, serta antardaerah, pembentukan, pemekaran, dan
penggabungan daerah; pemukiman dan kependudukan, pertanahan, dan tata ruang, serta politik, hukum dan hak asasi manusia
(HAM).
o Ketua Komite I: Dani Anwar (DKI Jakarta)
o Wakil Ketua: Eni Khairani (Bengkulu) dan Ferry FX Tinggogoy (Sulawesi Utara)
Komite II DPD membidangi pertanian dan perkebunan, perhubungan, kelautan dan perikanan, energi dan sumber daya mineral,
kehutanan dan lingkungan hidup, pemberdayaan ekonomi kerakyatan dan daerah tertinggal, perindustrian dan perdagangan;
penanaman modal dan pekerjaan umum.
o Ketua Komite II: Bambang Susilo (Kalimantan Timur)
o Wakil Ketua: Mursyid (Nanggroe Aceh Darussalam) dan Budi Doku (Gorontalo)
Komite III DPD membidangi pendidikan, agama, kebudayaan, kesehatan; pariwisata, pemuda dan olahraga, kesejahteraan sosial,
pemberdayaan perempuan, dan ketenagakerjaan.
o Ketua Komite III: Istibsyaroh (Jawa Timur)
o Wakil Ketua: Ahmad Jajuli (Lampung) dan Abdul Azis Qahhar Mudzakkar (Sulawesi Selatan)
Komite IV DPD membidangi anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), pajak, perimbangan keuangan pusat dan daerah,
lembaga keuangan dan koperasi, usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).
o Ketua Komite IV: John Pieris (Maluku)
o Wakil Ketua: Abdul Gafar Usman (Riau) dan R. Ella M. Giri Komala (Jawa Barat).
Kepanitiaan
Berikut ini adalah daftar kepanitiaan DPD beserta jajaran pimpinannya untuk periode 2010-2011: [2]
Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU)
o Ketua: I Wayan Sudirta (Bali)
o Wakil Ketua: Muhammad Syukur (Jambi) dan Amang Syafrudin (Jawa Barat)
Panitia Urusan Rumah Tangga (PURT)
o Ketua: Zulbahri M. (Kepulauan Riau)
o Wakil Ketua: Gusti Kanjeng Ratu Ayu Koess Indriyah (Jawa Tengah) dan Baiq Diyah Ratu Ganefi (Nusa Tenggara Barat)
Kepanitiaan lainnya antara lain Panitia Akuntabilitas Publik (PAP) DPD, Panitia Hubungan Antar-Lembaga (PHAL) DPD dan
Kelompok DPD di MPR.
Anggota
Lihat pula: Daftar anggota Dewan Perwakilan Daerah 2009–2014
Kekebalan hukum
Anggota DPD tidak dapat dituntut di hadapan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan/pendapat yang dikemukakan secara lisan ataupun
tertulis dalam rapat-rapat DPD, sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Tata Tertib dan kode etik masing-masing lembaga. Ketentuan
tersebut tidak berlaku jika anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan
atau hal-hal mengenai pengumuman rahasia negara.
Pemerintah Indonesia adalah cabang utama pada pemerintahan Indonesia yang menganut sistem presidensial. Pemerintah Indonesia
dikepalai oleh seorang presiden yang dibantu beberapa menteri yang tergabung dalam suatu kabinet. Sebelum tahun 2004, sesuai dengan
UUD 1945, presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Pada Pemilu 2004, untuk pertama kalinya Presiden Indonesia dipilih
langsung oleh rakyat.
Kewenangan
Dalam kaitannya dengan pemerintahan daerah, Pemerintah Indonesia merupakan pemerintah pusat. Kewenangan pemerintah pusat
mencakup kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan
lainnya seperti: kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, pendayagunaan sumber daya
alam serta teknologi tinggi strategis, konservasi dan standardisasi nasional.
Kewenangan lainnya diserahkan kepada (sistem pemerintahan)
Sistem pemerintahan
Pemerintahan pusat
MPR
DPR
DPD
MA
MK
KY
BPK
Presiden RI
Wakil Presiden
Pemerintahan daerah
Provinsi
Kabupaten/kota
Kecamatan dan kelurahan/desa
Presiden Indonesia (nama jabatan resmi: Presiden Republik Indonesia) adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan Indonesia.
Sebagai kepala negara, Presiden adalah simbol resmi negara Indonesia di dunia. Sebagai kepala pemerintahan, Presiden dibantu oleh wakil
presiden dan menteri-menteri dalam kabinet, memegang kekuasaan eksekutif untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintah sehari-hari.
Presiden (dan Wakil Presiden) menjabat selama 5 tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama untuk satu kali masa
jabatan. Ia digaji sekitar 60 juta per bulan.[1]
Persyaratan
Syarat Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia menurut UU No 42 tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sebagai
berikut:
1. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
2. Warga Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri
3. Tidak pernah mengkhianati negara, serta tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana berat lainnya
4. Mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden
5. Bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
6. Telah melaporkan kekayaannya kepada instansi yang berwenang memeriksa laporan kekayaan penyelenggara negara
7. Tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya
yang merugikan keuangan negara
8. Tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan
9. Tidak pernah melakukan perbuatan tercela
10. Terdaftar sebagai Pemilih
11. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan telah melaksanakan kewajiban membayar pajak selama 5 tahun terakhir yang
dibuktikan dengan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak OrangPribadi
12. Belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama
13. Setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita
Proklamasi 17 Agustus 1945
14. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih
15. Berusia sekurang-kurangnya 35 (tiga puluh lima) tahun
16. Berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK),
Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat
17. Bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang
terlibat langsung dalam G.30.S/PKI
18. Memiliki visi, misi, dan program dalam melaksanakan pemerintahan negara Republik Indonesia
Pemilihan
Menurut Perubahan Ketiga UUD 1945 Pasal 6A, Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat
melalui Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres). Sebelumnya, Presiden (dan Wakil Presiden) dipilih oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat. Dengan adanya Perubahan UUD 1945, Presiden tidak lagi bertanggung jawab kepada MPR, dan kedudukan antara
Presiden dan MPR adalah setara.
Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu sebelumnya. Pilpres pertama
kali di Indonesia diselenggarakan pada tahun 2004.
Jika dalam Pilpres didapat suara >50% jumlah suara dalam pemilu dengan sedikitnya 20% di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari
separuh jumlah provinsi Indonesia, maka dinyatakan sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Jika tidak ada pasangan calon Presiden
dan Wakil Presiden terpilih, maka pasangan yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam Pilpres mengikuti Pilpres Putaran
Kedua. Pasangan yang memperoleh suara terbanyak dalam Pilpres Putaran Kedua dinyatakan sebagai Presiden dan Wakil Presiden Terpilih.
Sesuai dengan Pasal 9 UUD 1945, Presiden dan Wakil Presiden terpilih bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di
hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat. Jika MPR atau DPR tidak bisa mengadakan sidang, maka
Presiden dan Wakil Presiden terpilih bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan pimpinan MPR dengan
disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung.
“ Demi Allah saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan
sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan
peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa. ”
“ Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik
Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-
undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa. ”
Pemberhentian
Jika terbukti menurut UUD 1945 pasal 7A maka DPR dapat mengajukan tuntutan impeachment tersebut kepada Mahkamah Konstitusi RI
kemudian setelah menjalankan persidangan dalam amar putusan Mahkamah Konstitusi RI dapat menyatakan membenarkan pendapat DPR
atau menyatakan menolak pendapat DPR. [4] dan MPR-RI kemudian akan bersidang untuk melaksanakan keputusan Mahkamah Konstitusi RI
tersebut.
Wakil Presiden adalah jabatan pemerintahan yang berada satu tingkat lebih rendah daripada Presiden. Biasanya dalam urutan suksesi, wakil
presiden akan mengambil alih jabatan presiden bila ia berhalangan sementara atau tetap.
Di Indonesia dan negara-negara Amerika Latin, wakil presiden dipilih langsung oleh warga negara dan merupakan satu paket dengan
presiden. Dalam sistem pemilihan umum lain, jabatan wakil presiden dapat juga diserahkan pada kandidat yang memperoleh suara kedua
terbanyak, atau ditunjuk langsung oleh presiden.
Wakil Presiden umumnya ditetapkan oleh konstitusi oleh suatu negara untuk mendampingi sang presiden jika presiden menjalankan tugas-
tugas kenegaraan di negara lain atau jika presiden menyerahkan jabatan kepresidenan baik pengunduran diri atau halangan dalam
menjalankan tugas seperti misalnya mengalami kematian saat menjabat presiden.
Kementerian (nama resmi: Kementerian Negara) adalah lembaga Pemerintah Indonesia yang membidangi urusan tertentu dalam
pemerintahan. Kementerian berkedudukan di ibukota negara yaitu Jakarta dan berada di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden.
Landasan hukum
Landasan hukum kementerian adalah Bab V Pasal 17 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa:
1. Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara.
2. Menteri-menteri itu diangkat dan diperhentikan oleh Presiden.
3. Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.
4. Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara diatur dalam undang-undang.
Lebih lanjut, kementerian diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara dan Peraturan Presiden Nomor
47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara.
Lihat pula: Undang-Undang Kementerian Negara
Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran
Pembentukan kementerian dilakukan paling lama 14 hari kerja sejak presiden mengucapkan sumpah/janji. Urusan pemerintahan yang
nomenklatur kementeriannya secara tegas disebutkan dalam UUD 1945 harus dibentuk dalam satu kementerian tersendiri. Untuk
kepentingan sinkronisasi dan koordinasi urusan kementerian, presiden juga dapat membentuk kementerian koordinasi. Jumlah seluruh
kementerian maksimal 34 kementerian.
Kementerian yang membidangi urusan pemerintahan selain yang nomenklatur kementeriannya secara tegas disebutkan dalam UUD 1945
dapat diubah oleh presiden. Pemisahan, penggabungan, dan pembubaran kementerian tersebut dilakukan dengan pertimbangan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), kecuali untuk pembubaran kementerian yang menangani urusan agama, hukum, keamanan, dan keuangan harus
dengan persetujuan DPR.
Susunan organisasi
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Organisasi kementerian negara Indonesia
Kementerian dipimpin oleh menteri yang tergabung dalam sebuah kabinet. Presiden juga dapat mengangkat wakil menteri pada kementerian
tertentu apabila terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus.
Sejarah
Komposisi Etnis dalam Kementerian Indonesia (1945-1970) [1]
Etnis Jumlah %
Jawa 392 60,8
Minangkabau 90 14,0
Sunda 84 13,0
Minahasa 25 3,9
Maluku 20 3,1
Batak 16 2,5
Lain-lain 18 2,8
Sebagian besar kementerian yang ada sekarang telah mengalami berbagai perubahan, meliputi penggabungan, pemisahan, pergantian nama,
dan pembubaran (baik sementara atau permanen). Jumlah kementerian sendiri hampir selalu berbeda-beda dalam setiap kabinet, dimulai dari
yang hanya berjumlah belasan hingga pernah mencapai ratusan, sebelum akhirnya ditentukan di dalam UU No. 39 Tahun 2008, yaitu
sejumlah maksimal 34 kementerian.
Dalam perjalanannya, pembentukan kementerian di Indonesia selalu mempertimbangkan kekuatan politik, ideologi, dan suku bangsa. Pada
era Perjuangan Kemerdekaan dan Demokrasi Parlementer, empat partai politik, yakni PNI, Masyumi, Nahdlatul Ulama, dan PSI, saling
bersaing dalam memperebutkan posisi kementerian. Setelah tahun 1955, PKI menjadi kekuatan tambahan dalam percaturan politik
Indonesia.
Pada masa Kabinet Pembangunan I - VII, hanya ada satu kekuatan politik yang dominan, yakni Golkar. Dan pada era Reformasi, macam-
macam partai silih berganti berkuasa. Golkar, PKB, PDIP, dan Demokrat, merupakan empat partai besar yang pernah menduduki puncak
pimpinan negara.
Jika dilihat berdasarkan komposisi etnis, Kementerian Indonesia didominasi oleh Suku Jawa, yang kemudian diikuti oleh Suku Minangkabau
dan Suku Sunda. Dua suku bangsa yang berasal dari Indonesia Timur, yakni Minahasa dan Maluku, juga merupakan kelompok masyarakat
yang banyak mengisi Kementerian Indonesia.
Sepanjang sejarahnya, kementerian menggunakan nomenklatur yang berubah-ubah. Pada sekitar tahun 1968-1998, nomenklatur yang
digunakan adalah "departemen", "kantor menteri negara", dan "kantor menteri koordinator". Pada tahun 1998 mulai digunakan istilah
"kementerian negara" dan "kementerian koordinator", sementara istilah "departemen" tetap dipertahankan. Sejak berlakunya UU No. 39
Tahun 2008 dan Perpres No. 47 Tahun 2009, seluruh nomenklatur kementerian dikembalikan menjadi "kementerian" saja, seperti pada masa
awal kemerdekaan. Proses pergantian kembali nomenklatur ini mulai dilakukan pada masa Kabinet Indonesia Bersatu II.[2][3][4]
Lembaga Pemerintah Non Kementerian disingkat (LPNK), dahulu bernama Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) adalah
lembaga negara di Indonesia yang dibentuk untuk melaksanakan tugas pemerintahan tertentu dari presiden. Kepala LPNK berada di bawah
dan bertanggung jawab langsung kepada presiden melalui menteri atau pejabat setingkat menteri yang mengoordinasikan.[1]
Lembaga nonstruktural (disingkat LNS) adalah lembaga negara di Indonesia yang dibentuk untuk melaksanakan fungsi sektoral dari
lembaga pemerintahan yang sudah ada.[1] LNS bertugas memberi pertimbangan kepada presiden atau menteri, atau dalam rangka koordinasi
atau pelaksanaan kegiatan tertentu atau membantu tugas tertentu dari suatu kementerian.
LNS bersifat nonstruktural, dalam arti tidak termasuk dalam struktur organisasi kementerian ataupun lembaga pemerintah nonkementerian.
Kepala LNS umumnya ditetapkan oleh presiden, tetapi LNS dapat juga dikepalai oleh menteri, bahkan wakil presiden atau presiden sendiri.
Sedangkan nomenklatur yang digunakan antara lain adalah "dewan", "badan", "lembaga", "tim", dan lain-lain.
Lembaga independen
Lembaga independen juga sering diklasifikasikan sebagai LNS. Lembaga-lembaga ini dibentuk oleh pemerintah pusat, namun bekerja secara
independen. Berikut adalah daftar beberapa lembaga independen:
Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)
Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI)
Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP)
Dewan Pers
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan)
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)
Komisi Pemilihan Umum (KPU)
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Komisi Penanggulan Aids
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
Komisi Yudisial (KY)
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)
Ombudsman Republik Indonesia (ORI)
Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)
Kontroversi
Pembentukan LNS mulai marak pasca reformasi. Ada yang dibentuk melalui UU, PP, perpres, ataupun keppres. Peningkatan jumlah LNS
setiap tahunnya dapat menyebabkan tugas dan fungsi tumpang tindih dengan lembaga yang sudah ada dan dapat menambah pengeluaran
anggaran belanja negara, walau ada beberapa LNS yang tidak memerlukan anggaran besar.
Selain itu, tidak adanya definisi secara formal mengenai LNS mempersulit para pakar maupun lembaga dalam mengidentifikasikan LNS.
Akibatnya, terjadi perbedaan opini tentang jumlah LNS yang ada di Indonesia. Pertengahan tahun 2009, LAN mengindentifikasikan jumlah
LNS mencapai 92 lembaga.[2]
Posisi LNS dalam konteks keuangan negara juga menjadi sorotan. Sepertiga dari jumlah LNS dibiayai oleh APBN. Pendanaan kegiatannya
bergabung dengan pendanaan kegiatan kementerian/lembaga, bukan sebagai satuan kerja tersendiri. Hal ini dapat berimplikasi pada tumpang
tindihnya tugas dan wewenang antara kementerian/lembaga dengan LNS yang nantinya dapat menyebabkan inefisiensi anggaran.
Pertanggungjawaban pelaksanaan APBN, baik untuk laporan keuangan maupun laporan kinerja yang berada di kementerian/lembaga, bukan
dilakukan oleh LNS sebagai lembaga. Karena tidak adanya laporan kinerja dan laporan keuangan yang mandiri, audit kinerja dan audit
keuangan akan kesulitan untuk menilai akuntabilitas LNS bersangkutan. [2]
Penataan
Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan oleh Setneg bekerjasama dengan 14 perguruan tinggi dan melibatkan beberapa pakar melalui
kegiatan penelitian, diskusi dan seminar, muncul rekomendasi untuk menata ulang keberadaan LNS. Dari 92 lembaga, 13 diusulkan dihapus,
sedangkan 39 lainnya akan digabungkan. Lembaga yang akan dihapus dan digabungkan tersebut hanyalah lembaga yang dibentuk dengan
keppres dan perpres, sedangkan yang dibentuk dengan UU akan dilakukan penelaahan lebih komprehensif. Penataan ini akan dilakukan
dalam waktu 5 tahun.[1][3]
Perwakilan Indonesia di luar negeri (nama resmi: Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri) adalah lembaga negara yang
mewakili kepentingan Indonesia secara keseluruhan di negara lain atau pada organisasi internasional. Perwakilan Republik Indonesia di Luar
Negeri dapat berupa Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI), Konsulat Jenderal Republik Indonesia (Konjen RI), Konsulat RI,
Perutusan Tetap RI pada PBB, maupun Perwakilan RI tertentu yang bersifat sementara.
Perwakilan diplomatik, kegiatannya mencakup semua kepentingan negara RI dan wilayah kerjanya meliputi seluruh wilayah
negara penerima atau yang bidang kegiatannya meliputi bidang kegiatan suatu organisasi internasional.
Perwakilan konsuler, kegiatannya mencakup semua kepentingan negara RI di bidang konsuler dan mempunyai wilayah kerja
tertentu dalam wilayah negara penerima.
Indonesia adalah sebuah negara yang wilayahnya terbagi atas daerah-daerah Provinsi. Daerah provinsi itu dibagi lagi atas daerah Kabupaten
dan daerah Kota. Setiap daerah provinsi, daerah kabupaten, dan daerah kota mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-
undang. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas otonomi
dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam UUD 1945.
Pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui
pemilihan umum. Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih
secara demokratis.
Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota atau antara provinsi dan kabupaten dan
kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. Hubungan keuangan, pelayanan umum,
pemanfatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara
adil dan selaras berdasarkan undang-undang.
Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan
undang-undang. Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih
hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi 16 buah
urusan. Urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.
Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah kabupaten atau daerah kota merupakan urusan yang berskala kabupaten atau
kota meliputi 16 buah urusan. Urusan pemerintahan kabupaten atau kota yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara
nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang
bersangkutan.
Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah, pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-
luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.
Pemerintahan daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan memiliki hubungan dengan pemerintah pusat dan dengan pemerintahan
daerah lainnya. Hubungan tersebut meliputi hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber
daya lainnya. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya dilaksanakan secara adil dan
selaras. Hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya menimbulkan
hubungan administrasi dan kewilayahan antarsusunan pemerintahan.
Penyelenggara Pemerintahan
Penyelenggara pemerintahan adalah Presiden dibantu oleh wakil presiden, dan oleh menteri negara.Penyelenggara pemerintahan daerah
adalah pemerintah daerah dan DPRD. Untuk pemerintahan daerah provinsi yang terdiri atas pemerintah daerah provinsi dan DPRD provinsi.
Untuk pemerintahan daerah kabupaten atau daerah kota yang terdiri atas pemerintah daerah kabupaten atau kota dan DPRD kabupaten atau
kota.
Dalam menyelenggarakan pemerintahan, pemerintah pusat menggunakan asas desentralisasi, tugas pembantuan, dan dekonsentrasi sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah, pemerintahan daerah menggunakan asas otonomi
dan tugas pembantuan.
Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah
dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk
melaksanakan tugas tertentu.
Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada
instansi vertikal di wilayah tertentu. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangundangan.
Dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban tersebut diwujudkan dalam bentuk rencana
kerja pemerintahan daerah dan dijabarkan dalam bentuk pendapatan, belanja, dan pembiayaan daerah yang dikelola dalam sistem
pengelolaan keuangan daerah. Pengelolaan keuangan daerah dimaksud dilakukan secara efisien, efektif, transparan, akuntabel, tertib, adil,
patut, dan taat pada peraturan perundang-undangan.
Pemerintah Daerah
Setiap daerah dipimpin oleh kepala pemerintah daerah yang disebut kepala daerah. Kepala daerah untuk provinsi disebut gubernur, untuk
kabupaten disebut bupati dan untuk kota adalah wali kota. Kepala daerah dibantu oleh satu orang wakil kepala daerah, untuk provinsi disebut
wakil Gubernur, untuk kabupaten disebut wakil bupati dan untuk kota disebut wakil wali kota. Kepala dan wakil kepala daerah memiliki
tugas, wewenang dan kewajiban serta larangan. Kepala daerah juga mempunyai kewajiban untuk memberikan laporan penyelenggaraan
pemerintahan daerah kepada Pemerintah, dan memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD, serta menginformasikan
laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada masyarakat.
Gubernur yang karena jabatannya berkedudukan juga sebagai wakil pemerintah pusat di wilayah provinsi yang bersangkutan, dalam
pengertian untuk menjembatani dan memperpendek rentang kendali pelaksanaan tugas dan fungsi Pemerintah termasuk dalam pembinaan
dan pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan pada strata pemerintahan kabupaten dan kota.Dalam kedudukannya sebagai
wakil pemerintah pusat sebagaimana dimaksud, Gubernur bertanggung jawab kepada Presiden.
Perangkat Daerah
Dasar utama penyusunan perangkat daerah dalam bentuk suatu organisasi adalah adanya urusan pemerintahan yang perlu ditangani. Namun
tidak berarti bahwa setiap penanganan urusan pemerintahan harus dibentuk ke dalam organisasi tersendiri. Besaran organisasi perangkat
daerah sekurang-kurangnya mempertimbangkan faktor kemampuan keuangan; kebutuhan daerah; cakupan tugas yang meliputi sasaran tugas
yang harus diwujudkan, jenis dan banyaknya tugas; luas wilayah kerja dan kondisi geografis; jumlah dan kepadatan penduduk; potensi
daerah yang bertalian dengan urusan yang akan ditangani; sarana dan prasarana penunjang tugas. Oleh karena itu kebutuhan akan organisasi
perangkat daerah bagi masing-masing daerah tidak senantiasa sama atau seragam.
Perangkat daerah provinsi terdiri atas sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, dan lembaga teknis daerah.
Perangkat daerah kabupaten/kota terdiri atas sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, lembaga teknis daerah, kecamatan, dan
kelurahan. Susunan organisasi perangkat daerah ditetapkan dalam Perda dengan memperhatikan faktor-faktor tertentu dan berpedoman pada
Peraturan Pemerintah.
Sekretariat daerah dipimpin oleh Sekretaris Daerah. Sekretaris daerah mempunyai tugas dan kewajiban membantu kepala daerah dalam
menyusun kebijakan dan mengkoordinasikan dinas daerah dan lembaga teknis daerah.
Sekretariat DPRD dipimpin oleh Sekretaris DPRD. Sekretaris DPRD mempunyai tugas: (a). menyelenggarakan administrasi kesekretariatan
DPRD; (b). menyelenggarakan administrasi keuangan DPRD; (c). mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi DPRD; dan (d). menyediakan
dan mengkoordinasi tenaga ahli yang diperlukan oleh DPRD dalam melaksanakan fungsinya sesuai dengan kemampuan keuangan daerah.
Dinas daerah merupakan unsur pelaksana otonomi daerah. Kepala dinas daerah bertanggung jawab kepada kepala daerah melalui Sekretaris
Daerah. Lembaga teknis daerah merupakan unsur pendukung tugas kepala daerah dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang
bersifat spesifik berbentuk badan, kantor, atau rumah sakit umum daerah. Kepala badan, kantor, atau rumah sakit umum daerah tersebut
bertanggung jawab kepada kepala daerah melalui Sekretaris Daerah.
Kecamatan dibentuk di wilayah kabupaten/kota dengan Perda berpedoman pada Peraturan Pemerintah. Kecamatan dipimpin oleh camat yang
dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan sebagian wewenang bupati atau wali kota untuk menangani sebagian urusan otonomi
daerah. Kelurahan dibentuk di wilayah kecamatan dengan
Perda berpedoman pada Peraturan Pemerintah. Kelurahan dipimpin oleh lurah yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan
dari Bupati/Walikota.
DPRD
DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah. DPRD
memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. DPRD mempunyai tugas dan wewenang. DPRD mempunyai hak: (a). interpelasi; (b).
angket; dan (c). menyatakan pendapat.
Alat kelengkapan DPRD terdiri atas: (a). pimpinan; (b). komisi; (c). panitia musyawarah; (d). panitia anggaran; (e). Badan Kehormatan; dan
(f). alat kelengkapan lain yang diperlukan. Anggota DPRD mempunyai hak dan kewajiban. Anggota DPRD mempunyai larangan dan dapat
diganti antar waktu. Ketentuan tentang DPRD sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang mengenai pemerintahan daerah berlaku
ketentuan Undang-Undang yang mengatur
Pilkada
Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah warga negara Republik Indonesia yang
memenuhi syarat tertentu.
Pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh suara lebih dari 50 % (lima puluh persen) jumlah suara sah
ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih. Apabila ketentuan tersebut tidak terpenuhi,pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah
yang memperoleh suara lebih dari 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah suara sah, pasangan calon yang perolehan suaranya terbesar
dinyatakan sebagai pasangan calon terpilih.
Apabila tidak ada yang mencapai 25 % (dua puluh lima persen) dari jumlah suara sah, dilakukan pemilihan putaran kedua yang diikuti oleh
pemenang pertama dan pemenang kedua. Pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh suara terbanyak pada
putaran kedua dinyatakan sebagai pasangan calon terpilih.
Gubernur dan wakil Gubernur dilantik oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden dalam sebuah sidang DPRD Provinsi. Bupati dan
wakil bupati atau wali kota dan wakil wali kota dilantik oleh Gubernur atas nama Presiden dalam sebuah sidang DPRD Kabupaten atau Kota.
Kepegawaian Daerah
Pemerintah pusat melaksanakan pembinaan manajemen pegawai negeri sipil daerah dalam satu kesatuan penyelenggaraan manajemen
pegawai negeri sipil secara nasional. Manajemen pegawai negeri sipil daerah meliputi penetapan formasi, pengadaan, pengangkatan,
pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, gaji, tunjangan, kesejahteraan, hak dan kewajiban kedudukan hukum, pengembangan
kompetensi, dan pengendalian jumlah.
Pembinaan dan pengawasan manajemen pegawai negeri sipil daerah dikoordinasikan pada tingkat nasional oleh Menteri Dalam Negeri dan
pada tingkat daerah oleh Gubernur.
Peraturan daerah ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD. Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan
otonomi daerah provinsi/ kabupaten/kota dan tugas pembantuan. Perda merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Perda tidak boleh bertentangan dengan kepentingan
umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Perda dibentuk berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundangundangan. Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan
atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan Perda. Persiapan pembentukan, pembahasan, dan pengesahan rancangan
Perda berpedoman kepada peraturan perundang-undangan.
Perda berlaku setelah diundangkan dalam lembaran daerah. Perda disampaikan kepada Pemerintah pusat paling lama 7 (tujuh) hari setelah
ditetapkan. Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan
oleh Pemerintah pusat.
Untuk melaksanakan Perda dan atas kuasa peraturan perundang-undangan, kepala daerah menetapkan peraturan kepala daerah dan atau
keputusan kepala daerah. Peraturan kepala daerah dan atau keputusan kepala daerah tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum,
Perda, dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Perda diundangkan dalam Lembaran Daerah dan Peraturan Kepala Daerah diundangkan dalam Berita Daerah. Pengundangan Perda dalam
Lembaran Daerah dan Peraturan Kepala Daerah dalam Berita Daerah dilakukan oleh Sekretaris Daerah. Untuk membantu kepala daerah
dalam menegakkan Perda dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat dibentuk Satuan Polisi Pamong Praja.
Perencanaan Pembangunan
Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah disusun perencanaan pembangunan daerah sebagai satu kesatuan dalam sistem
perencanaan pembangunan nasional. Perencanaan pembangunan daerah disusun oleh pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten atau
daerah kota sesuai dengan kewenangannya yang dilaksanakan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah.
1. Rencana pembangunan jangka panjang daerah (RPJP Daerah) untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun yang ditetapkan dengan
Perda;
2. Rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJM Daerah) untuk jangka waktu 5 (lima) tahun yang ditetapkan dengan
Perda
3. Rencana kerja pembangunan daerah (RKPD) merupakan penjabaran dari RPJM daerah untuk jangka waktu 1 (satu) tahun
dengan mengacu kepada rencana kerja Pemerintah pusat.
Keuangan Daerah
Penyelenggaraan fungsi pemerintahan daerah akan terlaksana secara optimal apabila penyelenggaraan urusan pemerintahan diikuti dengan
pemberian sumber-sumber penerimaan yang cukup kepada daerah, dengan mengacu kepada Undang-Undang yang mengatur Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, dimana besarnya disesuaikan dan diselaraskan dengan pembagian kewenangan
antara Pemerintah dan Daerah.
Semua sumber keuangan yang melekat pada setiap urusan pemerintah yang diserahkan kepada daerah menjadi sumber keuangan daerah.
Daerah diberikan hak untuk mendapatkan sumber keuangan yang antara lain berupa : kepastian tersedianya pendanaan dari Pemerintah
sesuai dengan urusan pemerintah yang diserahkan; kewenangan memungut dan mendayagunakan pajak dan retribusi daerah dan hak untuk
mendapatkan bagi hasil dari sumber-sumber daya nasional yang berada di daerah dan dana perimbangan lainnya; hak untuk mengelola
kekayaan Daerah dan mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah serta sumber-sumber pembiayaan. Dengan pengaturan tersebut,
dalam hal ini pada dasarnya Pemerintah menerapkan prinsip uang mengikuti fungsi.
Di dalam Undang-Undang yang mengatur Keuangan Negara, terdapat penegasan di bidang pengelolaan keuangan, yaitu bahwa kekuasaan
pengelolaan keuangan negara adalah sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan; dan kekuasaan pengelolaan keuangan negara dari presiden
sebagian diserahkan kepada gubernur/bupati/wali kota selaku kepala pemerintah daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili
pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan.
Ketentuan tersebut berimplikasi pada pengaturan pengelolaan keuangan daerah, yaitu bahwa Kepala daerah (gubernur/bupati/wali kota)
adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah dan bertanggungjawab atas pengelolaan keuangan daerah sebagai bagian dari
kekuasaan pemerintahan daerah. Dalam melaksanakan kekuasaannya, kepala daerah melimpahkan sebagian atau seluruh kekuasaan
keuangan daerah kepada para pejabat perangkat daerah. Dengan demikian pengaturan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah
melekat dan menjadi satu dengan pengaturan pemerintahan daerah, yaitu dalam Undang-Undang mengenai Pemerintahan Daerah.
Pemerintah daerah dapat melakukan pinjaman yang berasal dari penerusan pinjaman hutang luar negeri dari Menteri Keuangan atas nama
Pemerintah pusat setelah memperoleh pertimbangan Menteri Dalam Negeri. Pemerintah daerah dapat melakukan penyertaan modal pada
suatu Badan Usaha Milik Pemerintah dan/atau milik swasta. Pemerintah daerah dapat memiliki BUMD yang pembentukan, penggabungan,
pelepasan kepemilikan, dan/atau pembubarannya ditetapkan dengan Perda yang berpedoman pada peraturan perundangundangan.
Anggaran pendapatan dan belanja daerah ( APBD) adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang ditetapkan dengan peraturan
daerah. APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam masa 1 (satu) tahun anggaran terhitung mulai 1 Januari sampai dengan
tanggal 31 Desember. Kepala daerah mengajukan rancangan Perda tentang APBD disertai penjelasan dan dokumen-dokumen pendukungnya
kepada DPRD untuk memperoleh persetujuan bersama. Rancangan Perda provinsi tentang APBD yang telah disetujui bersama dan
rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh Gubernur paling lambat 3 (tiga) hari disampaikan kepada
Menteri Dalam Negeri untuk dievaluasi. Rancangan Perda kabupaten/kota tentang APBD yang telah disetujui bersama dan rancangan
Peraturan Bupati/Walikota tentang Penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh Bupati/Walikota paling lama 3 (tiga) hari disampaikan kepada
Gubernur untuk dievaluasi.
Semua penerimaan dan pengeluaran pemerintahan daerah dianggarkan dalam APBD dan dilakukan melalui rekening kas daerah yang
dikelola oleh Bendahara Umum Daerah. Penyusunan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pengawasan dan pertanggungjawaban
keuangan daerah diatur lebih lanjut dengan Perda yang berpedoman pada Peraturan Pemerintah.
Dalam penyediaan pelayanan publik, daerah dapat bekerja sama dengan pihak ketiga. Kerja sama yang membebani masyarakat dan daerah
harus mendapatkan persetujuan DPRD.
Apabila terjadi perselisihan dalam penyelenggaraan fungsi pemerintahan antar kabupaten/kota dalam satu provinsi, Gubernur menyelesaikan
perselisihan dimaksud. Apabila terjadi perselisihan antarprovinsi, antara provinsi dan kabupaten/kota di wilayahnya, serta antara provinsi dan
kabupaten/kota di luar wilayahnya, Menteri Dalam Negeri menyelesaikan perselisihan dimaksud. Keputusan Guberneur atau Menteri Dalam
Negeri sebagaimana dimaksud bersifat final.
Kawasan Perkotaan
Dalam perencanaan, pelaksanaan pembangunan, dan pengelolaan kawasan perkotaan, pemerintah daerah mengikutsertakan masyarakat
sebagai upaya pemberdayaan masyarakat.
Dalam pemerintahan daerah kabupaten/kota dibentuk pemerintahan desa yang terdiri dari pemerintah desa dan Badan Permusyawaratan
Desa. Pembentukan, penghapusan, dan/atau penggabungan Desa dengan memperhatikan asal usulnya atas prakarsa masyarakat. Landasan
pemikiran dalam pengaturan mengenai desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat.
Pemerintah mengakui otonomi yang dimiliki oleh desa ataupun dengan sebutan lainnya dan kepada desa melalui pemerintah desa dapat
diberikan penugasan ataupun pendelegasian dari Pemerintah ataupun pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah tertentu.
Sedang terhadap desa di luar desa geneologis yaitu desa yang bersifat administratif seperti desa yang dibentuk karena pemekaran desa
ataupun karena transmigrasi ataupun karena alasan lain yang warganya pluralistis, majemuk, ataupun heterogen, maka otonomi desa akan
diberikan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan dari desa itu sendiri.
Pemerintah desa terdiri atas kepala desa dan perangkat desa. Desa yang dimaksud dalam ketentuan ini termasuk antara lain Nagari di
Sumatera Barat, Gampong di provinsi NAD, Lembang di Sulawesi Selatan, Kampung di Kalimantan Selatan dan Papua, Negeri di Maluku.
Perangkat desa terdiri dari sekretaris desa dan perangkat desa lainnya. Yang dimaksud dengan Perangkat Desa lainnya dalam ketentuan ini
adalah perangkat pembantu Kepala Desa yang terdiri dari Sekretariat Desa, pelaksana teknis lapangan seperti kepala urusan, dan unsur
kewilayahan seperti kepala dusun atau dengan sebutan lain.
Kepala desa dipilih langsung oleh dan dari penduduk desa warga negara Republik Indonesia yang syarat selanjutnya dan tata cara
pemilihannya diatur dengan Perda yang berpedoman kepada Peraturan Pemerintah. Calon kepala desa yang memperoleh suara terbanyak
dalam pemilihan kepala desa sebagaimana dimaksud, ditetapkan sebagai kepala desa. Masa jabatan kepala desa adalah 6 (enam) tahun dan
dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. Masa jabatan kepala desa dalam ketentuan ini dapat dikecualikan
bagi kesatuan masyarakat hukum adat yang keberadaannya masih hidup dan diakui yang ditetapkan dengan Perda.
Badan Permusyawaratan Desa berfungsi menetapkan peraturan desa bersama kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi
masyarakat. Di desa dapat dibentuk lembaga kemasyarakatan yang ditetapkan dengan peraturan desa dengan berpedoman pada peraturan
perundangundangan. Yang dimaksud dengan lembaga kemasyarakatan desa dalam ketentuan ini seperti: Rukun Tetangga, Rukun Warga,
PKK, karang taruna, lembaga pemberdayaan masyarakat.
Keuangan desa adalah semua hak dan kewajiban desa yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa
barang yang dapat dijadikan milik desa berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban. Desa dapat mendirikan badan usaha milik desa
sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa. Desa dapat mengadakan kerja sama untuk kepentingan desa yang diatur dengan keputusan
bersama dan dilaporkan kepada Bupati/Walikota melalui camat.
Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah proses kegiatan yang ditujukan untuk menjamin agar pemerintah daerah
berjalan sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan oleh Pemerintah yang meliputi:
1. Pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah;
2. Pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah.
Pemerintah memberikan penghargaan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sanksi diberikan oleh Pemerintah dalam rangka
pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah apabila diketemukan adanya penyimpangan dan pelanggaran oleh penyelenggara
pemerintahan daerah tersebut. Sanksi dimaksud antara lain dapat berupa penataan kembali suatu daerah otonom, pembatalan pengangkatan
pejabat, penangguhan dan pembatalan berlakunya suatu kebijakan daerah baik peraturan daerah, keputusan kepala daerah, dan ketentuan lain
yang ditetapkan daerah serta dapat memberikan sanksi pidana yang diproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah tersebut secara nasional dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri.
Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota dikoordinasikan oleh Gubernur. Pembinaan dan
pengawasan penyelenggaraan pemerintahan desa dikoordinasikan oleh Bupati/Walikota.
Pertimbangan Otonomi
Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah, Presiden dapat membentuk suatu dewan yang bertugas memberikan saran dan
pertimbangan terhadap kebijakan otonomi daerah. Dewan ini dipimpin oleh Menteri Dalam Negeri yang susunan organisasi keanggotaan dan
tata laksananya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Presiden.
Dewan tersebut bertugas memberikan saran dan pertimbangan kepada Presiden antara lain mengenai rancangan kebijakan:
1. pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah serta pembentukan kawasan khusus;
2. perimbangan keuangan antara Pemerintah dan pemerintahan daerah,
Ketentuan Lain-lain
Daerah-daerah yang memiliki status istimewa dan diberikan otonomi khusus selain diatur dengan Undang-Undang ini diberlakukan pula
ketentuan khusus yang diatur dalam undang-undang lain. Ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku bagi Provinsi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Provinsi Papua termasuk provinsi hasil pemekarannya, dan Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta sepanjang tidak diatur secara khusus dalam Undang-Undang tersendiri.
Yang dimaksud dengan Undang-Undang tersendiri adalah Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah
Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia (LN Tahun 2007 Nomor 93; TLN 4744); Undang-Undang
Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh (LN Tahun 1999 Nomor 172; TLN 3893)
dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (LN Tahun 2006 Nomor 62; TLN 4633); dan Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (LN Tahun 2001 Nomor 135; TLN 4151). Karena Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta belum memiliki Undang-Undang tersendiri, maka keistimewaan untuk Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, adalah tetap dengan ketentuan bahwa penyelenggaraan pemerintahan
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta didasarkan pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi wewenang Pemerintah yang didekonsentrasikan, dilaksanakan oleh instansi vertikal di
daerah. Instansi vertikal tersebut jumlah, susunan dan luas wilayah kerjanya ditetapkan Pemerintah. Semua instansi vertikal yang diserahkan
dan menjadi perangkat daerah, kekayaannya dialihkan menjadi milik daerah.
Batas daerah provinsi atau kabupaten/kota yang berbatasan dengan wilayah negara lain, diatur berdasarkan peraturan perundang- undangan
dengan memperhatikan hukum internasional yang pelaksanaannya ditetapkan oleh Pemerintah.
Anggota Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak menggunakan hak memilihnya dalam
pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah sepanjang belum diatur dalam undang-undang.
Referensi
UUD 1945
UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh
UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua
UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan
Republik Indonesia
Provinsi adalah nama sebuah pembagian wilayah administratif di bawah wilayah nasional. Kata ini merupakan kata pungutan dari bahasa
Belanda "provincie" yang berasal dari bahasa Latin dan pertama kalinya digunakan di Kekaisaran Romawi. Mereka membagi wilayah
kekuasaan mereka atas (peringkat kedua dari seluruh ke presidensial setelah kekuasaan presiden)"provinciae". Kemungkinan kata ini berasal
dari kata "provincia", yang berarti daerah kekuasaan. Kemungkinan besar ini terdiri dari kata-kata "pro" (di depan) dan "vincia"
(dihubungkan).
Provinsi di Indonesia
Dalam pembagian administratif, Indonesia terdiri atas provinsi, yang dikepalai oleh seorang gubernur. Masing-masing provinsi dibagi atas
kabupaten dan kota. Saat ini di Indonesia terdapat 34 provinsi. Sebelum tahun 2000 Indonesia memiliki 27 provinsi. Namun setelah pada
masa Reformasi, banyak provinsi yang dimekarkan menjadi dua bagian yang rata-rata provinsi dengan luas daerah yang cukup besar.
Pemekaran yang dilakukan dimaksud agar mendapatkan efisiensi dalam penerapan pemerataan pembangunan.
Kabupaten adalah pembagian wilayah administratif di Indonesia setelah provinsi, yang dipimpin oleh seorang bupati. Selain kabupaten,
pembagian wilayah administratif setelah provinsi adalah kota. Secara umum, baik kabupaten dan kota memiliki wewenang yang sama.
Kabupaten bukanlah bawahan dari provinsi, karena itu bupati atau wali kota tidak bertanggung jawab kepada gubernur. Kabupaten maupun
kota merupakan daerah otonom yang diberi wewenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahannya sendiri.
Meski istilah kabupaten saat ini digunakan di seluruh wilayah Indonesia, istilah ini dahulu hanya digunakan di pulau Jawa dan Madura saja.
Pada era Hindia Belanda, istilah kabupaten dikenal dengan regentschap, yang secara harafiah artinya adalah daerah seorang regent atau
wakil penguasa. Pembagian wilayah kabupaten di Indonesia saat ini merupakan warisan dari era pemerintahan Hindia Belanda.
Dahulu istilah kabupaten dikenal dengan Daerah Tingkat II Kabupaten. Sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah, istilah Daerah Tingkat II dihapus, sehingga Daerah Tingkat II Kabupaten disebut Kabupaten saja. Istilah
"Kabupaten" di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam disebut juga dengan "sagoe".
Kota merupakan kawasan pemukiman yang secara fisik ditunjukkan oleh kumpulan rumah-rumah yang mendominasi tata ruangnya dan
memiliki berbagai fasilitas untuk mendukung kehidupan warganya secara mandiri.
Pengertian "kota" sebagaimana yang diterapkan di Indonesia mencakup pengertian "town" dan "city" dalam bahasa Inggris. Selain itu,
terdapat pula kapitonim "Kota" yang merupakan satuan administrasi negara di bawah provinsi.
Artikel ini membahas "kota" dalam pengertian umum (nama jenis, common name).
Kota dibedakan secara kontras dari desa ataupun kampung berdasarkan ukurannya, kepadatan penduduk, kepentingan, atau status hukum.
[rujukan?]
Desa atau kampung didominasi oleh lahan terbuka bukan pemukiman.
Fungsi
Kota yang telah berkembang maju mempunyai peranan dan fungsi yang lebih luas lagi antara lain sebagai berikut :
Sebagai pusat produksi (production centre). Contoh: Surabaya, Gresik, Bontang
Sebagai pusat perdagangan (centre of trade and commerce). Contoh: Jakarta, Bandung, Hong Kong, Singapura
Sebagai pusat pemerintahan (political capital). Contoh: Jakarta (ibukota Indonesia), Washington DC (ibukota Amerika Serikat),
Canberra (ibukota Australia)
Sebagai pusat kebudayaan (culture centre). Contoh: Yogyakarta dan Surakarta
Sebagai penopang Kota Pusat. Contoh : Tangerang Selatan, Bogor dan Depok
Ciri-ciri
Ciri fisik kota meliputi hal sebagai berikut:
Tersedianya tempat-tempat untuk pasar dan pertokoan
Tersedianya tempat-tempat untuk parkir
Terdapatnya sarana rekreasi dan sarana olahraga
Teori Konsentris
Teori ini menyatakan bahwa Daerah Pusat Kota (DPK) atau Central Business District (CBD) adalah pusat kota
yang letaknya tepat di tengah kota dan berbentuk bundar yang merupakan pusat kehidupan sosial, ekonomi,
budaya dan politik, serta merupakan zona dengan derajat aksesibilitas tinggi dalam suatu kota. DPK atau CBD
tersebut terbagi atas dua bagian, yaitu: pertama, bagian paling inti atau RBD (Retail Business District) dengan
kegiatan dominan pertokoan, perkantoran dan jasa; kedua, bagian di luarnya atau WBD (Wholesale Business
District) yang ditempati oleh bangunan dengan peruntukan kegiatan ekonomi skala besar, seperti pasar, pergudangan (warehouse), dan
gedung penyimpanan barang supaya tahan lama (storage buildings).
1. Zona pusat daerah kegiatan (Central Business District), yang merupakan pusat pertokoan besar, gedung perkantoran yang
bertingkat, bank, museum, hotel, restoran dan sebagainya.
2. Zona peralihan atau zona transisi, merupakan daerah kegiatan. Penduduk zona ini tidak stabil, baik dilihat dari tempat tinggal
maupun sosial ekonomi. Daerah ini sering ditemui kawasan permukiman kumuh yang disebut slum karena zona ini dihuni
penduduk miskin. Namun demikian sebenarnya zona ini merupakan zona pengembangan industri sekaligus menghubungkan
antara pusat kota dengan daerah di luarnya.
3. Zona permukiman kelas proletar, perumahannya sedikit lebih baik karena dihuni oleh para pekerja yang berpenghasilan kecil
atau buruh dan karyawan kelas bawah, ditandai oleh adanya rumah-rumah kecil yang kurang menarik dan rumah-rumah susun
sederhana yang dihuni oleh keluarga besar. Burgess menamakan daerah ini yaitu working men's homes.
4. Zona permukiman kelas menengah (residential zone), merupakan kompleks perumahan para karyawan kelas menengah yang
memiliki keahlian tertentu. Rumah-rumahnya lebih baik dibandingkan kelas proletar.
5. Wilayah tempat tinggal masyarakat berpenghasilan tinggi. Ditandai dengan adanya kawasan elit, perumahan dan halaman yang
luas. Sebagian penduduk merupakan kaum eksekutif, pengusaha besar, dan pejabat tinggi.
6. Zona penglaju (commuters), merupakan daerah yang yang memasuki daerah belakang (hinterland) atau merupakan batas desa-
kota. Penduduknya bekerja di kota dan tinggal di pinggiran.
Teori Sektoral
Teori ini menyatakan bahwa DPK atau CBD memiliki pengertian yang sama dengan yang diungkapkan oleh
Teori Konsentris.
1. Sektor pusat kegiatan bisnis yang terdiri atas bangunan-bangunan kontor, hotel, bank, bioskop,
pasar, dan pusat perbelanjaan.
2. Sektor kawasan industri ringan dan perdagangan.
3. Sektor kaum buruh atau kaum murba, yaitu kawasan permukiman kaum buruh.
4. Sektor permukiman kaum menengah atau sektor madya wisma.
5. Sektor permukiman adi wisma, yaitu kawasan tempat tinggal golongan atas yang terdiri dari para eksekutif dan pejabat.
Kecamatan adalah pembagian wilayah administratif di Indonesia di bawah kabupaten atau kota. Kecamatan terdiri atas desa-desa atau
kelurahan-kelurahan.
Kecamatan atau sebutan lain adalah wilayah kerja camat sebagai perangkat daerah kabupaten/kota (PP. 19 tahun 2008). Kedudukan
kecamatan merupakan perangkat daerah kabupaten/kota sebagai pelaksana teknis kewilayahan yang mempunyai wilayah kerja tertentu dan
dipimpin oleh camat.
Pembentukan kecamatan adalah pemberian status pada wilayah tertentu sebagai kecamatan di kabupaten/kota.
Penghapusan kecamatan adalah pencabutan status sebagai kecamatan di wilayah kabupaten/kota.
Penggabungan kecamatan adalah penyatuan kecamatan yang dihapus kepada kecamatan lain.
Dalam konteks otonomi daerah di Indonesia, Kecamatan merupakan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Kabupaten atau Kota yang
mempunyai wilayah kerja tertentu yang dipimpin oleh seorang Camat. Istilah "Kecamatan" di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam disebut
juga dengan "Sagoe Cut" sedangkan di Papua disebut dengan istilah "Distrik".
Kedudukan dan susunan organisasi
Kecamatan merupakan perangkat daerah kabupaten/kota sebagai pelaksana teknis kewilayahan yang mempunyai wilayah kerja tertentu dan
dipimpin oleh camat. Sedangkan Camat berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada bupati/wali kota melalui sekretaris daerah.
Organisasi kecamatan dipimpin oleh (1) satu camat, 1 (satu) sekretaris (kecamatan), paling banyak 5 (lima) seksi yang masing-masing
dipimpin oleh 1 (satu) kepala seksi, dan sekretariat membawahkan paling banyak 3 (tiga) sub bagian yang masing-masing dikepalai oleh 1
(satu) kepala sub bagian.
Hubungan kerja
No. Hubungan Kecamatan dengan ... Sifat Hubungan Keterangan
Koordinasi teknis fungsional dan teknis
1 SKPD Kab./Kota Contoh : Dinas dan/atau UPT Dinas
operasional
Contoh: Koramil, Polsek, Mantri Statistik,
2 Instansi Vertikal di wilayah kerjanya Koordinasi teknis fungsional
KUA
Swasta, LSM, Parpol, Ormas di wilayah
3 Koordinasi dan Fasilitasi -
kerjanya
Gambaran umum
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-
tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang -undang. Hubungan wewenang antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota atau antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, diatur dengan undang
-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. Selain itu Negara mengakui dan menghormati satuan -satuan
pemerintahan daerah yang bersifat istimewa dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam penyelenggaraan pemerintahannya menganut asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas
pembantuan. Prinsip penyelenggaraan desentralisasi adalah otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengatur dan
mengurus semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah
untuk memberikan pelayanan, peningkatan peranserta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan
kesejahteraan rakyat.
Kebijakan otonomi daerah dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, secara eksplisit memberikan
otonomi yang luas kepada pemerintah daerah untuk mengurus dan mengelola berbagai kepentingan dan kesejahteraan masyarakat daerah.
Pemerintah Daerah harus mengoptimalkan pembangunan daerah yang berorientasi kepada kepentingan masyarakat. Melalui Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004, pemerintah daerah dan masyarakat di daerah lebih diberdayakan sekaligus diberi tanggung jawab yang lebih besar
untuk mempercepat laju pembangunan daerah.
Sejalan dengan hal tersebut, maka implementasi kebijakan otonomi daerah telah mendorong terjadinya perubahan, baik secara struktural,
fungsional maupun kultural dalam tatanan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Salah satu perubahan yang sangat esensial yaitu
menyangkut kedudukan, tugas pokok dan fungsi kecamatan yang sebelumnya merupakan perangkat wilayah dalam kerangka asas
dekonsentrasi, berubah statusnya menjadi perangkat daerah dalam kerangka asas desentralisasi. Sebagai perangkat daerah, Camat dalam
menjalankan tugasnya mendapat pelimpahan kewenangan dari dan bertanggung jawab kepada bupati/wali kota.
Pengaturan penyelenggaraan kecamatan baik dari sisi pembentukan, kedudukan, tugas dan fungsinya secara legalistik diatur dengan
Peraturan Pemerintah. Sebagai perangkat daerah, Camat mendapatkan pelimpahan kewenangan yang bermakna urusan pelayanan
masyarakat. Selain itu kecamatan juga akan mengemban penyelenggaraan tugas-tugas umum pemerintahan.
Camat dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh perangkat kecamatan dan bertanggung jawab kepada bupati/wali kota melalui sekretaris
daerah kabupaten/kota. Pertanggungjawaban Camat kepada bupati/wali kota melalui sekretaris daerah adalah pertanggungjawaban
administratif. Pengertian melalui bukan berarti Camat merupakan bawahan langsung Sekretaris Daerah, karena secara struktural Camat
berada langsung di bawah bupati/wali kota.
Camat juga berperan sebagai kepala wilayah(wilayah kerja, namun tidak memiliki daerah dalam arti daerah kewenangan), karena
melaksanakan tugas umum pemerintahan di wilayah kecamatan, khususnya tugas-tugas atributif dalam bidang koordinasi pemerintahan
terhadap seluruh instansi pemerintah di wilayah kecamatan, penyelenggaraan ketenteraman dan ketertiban, penegakan peraturan perundang -
undangan, pembinaan penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan, serta pelaksanaan tugas pemerintahan lainnya yang belum
dilaksanakan oleh pemerintahan desa/kelurahan dan/atau instansi pemerintah lainnya di wilayah kecamatan. Oleh karena itu, kedudukan
camat berbeda dengan kepala instansi pemerintahan lainnya di kecamatan, karena penyelenggaraan tugas instansi pemerintahan lainnya di
kecamatan harus berada dalam koordinasi Camat.
Camat sebagai perangkat daerah juga mempunyai kekhususan dibandingkan dengan perangkat daerah lainnya dalam pelaksanaan tugas
pokok dan fungsinya untuk mendukung pelaksanaan asas desentralisasi. Kekhususan tersebut yaitu adanya suatu kewajiban
mengintegrasikan nilai-nilai sosio kultural, menciptakan stabilitas dalam dinamika politik, ekonomi dan budaya, mengupayakan terwujudnya
ketenteraman dan ketertiban wilayah sebagai perwujudan kesejahteraan rakyat serta masyarakat dalam kerangka membangun integritas
kesatuan wilayah. Dalam hal ini, fungsi utama camat selain memberikan pelayanan kepada masyarakat, juga melakukan tugas-tugas
pembinaan wilayah.
Secara filosofis, kecamatan yang dipimpin oleh Camat perlu diperkuat dari aspek sarana prasarana, sistem administrasi, keuangan dan
kewenangan bidang pemerintahan dalam upaya penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan sebagai ciri pemerintahan kewilayahan yang
memegang posisi strategis dalam hubungan dengan pelaksanaan kegiatan pemerintahan kabupaten/kota yang dipimpin oleh bupati/wali kota.
Sehubungan dengan itu, Camat melaksanakan kewenangan pemerintahan dari 2 (dua) sumber yakni: pertama, bidang kewenangan dalam
lingkup tugas umum pemerintahan; dan kedua, kewenangan bidang pemerintahan yang dilimpahkan oleh bupati/wali kota dalam rangka pela
ksanaan otonomi daerah.
Dengan demikian, peran Camat dalam penyelenggaraan pemerintahan lebih sebagai pemberi makna pemerintahan di wilayah kecamatan,
atas dasar pertimbangan demikian, maka Camat secara filosofis pemerintahan dipandang masih relevan untuk menggunakan tanda jabatan
khusus sebagai perpanjangan tangan dari bupati/wali kota di wilayah kerjanya (Penjelasan Umum PP. 19 Tahun 2008).
Kelurahan adalah pembagian wilayah administratif di Indonesia di bawah kecamatan. Dalam konteks otonomi daerah di Indonesia,
Kelurahan merupakan wilayah kerja Lurah sebagai Perangkat Daerah Kabupaten atau kota. Kelurahan dipimpin oleh seorang Lurah yang
berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil.
Kelurahan merupakan unit pemerintahan terkecil setingkat dengan desa. Berbeda dengan desa, kelurahan memiliki hak mengatur wilayahnya
lebih terbatas. Dalam perkembangannya, sebuah desa dapat diubah statusnya menjadi kelurahan.
Desa, atau udik, menurut definisi "universal", adalah sebuah aglomerasi permukiman di area perdesaan (rural). Di Indonesia, istilah desa
adalah pembagian wilayah administratif di Indonesia di bawah kecamatan, yang dipimpin oleh Kepala Desa. Sebuah desa merupakan
kumpulan dari beberapa unit pemukiman kecil yang disebut kampung (Banten, Jawa Barat) atau dusun (Yogyakarta) atau banjar (Bali) atau
jorong (Sumatera Barat). Kepala Desa dapat disebut dengan nama lain misalnya Kepala Kampung atau Petinggi di Kalimantan Timur,
Klèbun di Madura, Pambakal di Kalimantan Selatan, Hukum Tua di Sulawesi Utara.
Sejak diberlakukannya otonomi daerah Istilah desa dapat disebut dengan nama lain, misalnya di Sumatera Barat disebut dengan istilah
nagari, di Aceh dengan istilah gampong, di Papua dan Kutai Barat, Kalimantan Timur disebut dengan istilah kampung. Begitu pula segala
istilah dan institusi di desa dapat disebut dengan nama lain sesuai dengan karakteristik adat istiadat desa tersebut. Hal ini merupakan salah
satu pengakuan dan penghormatan Pemerintah terhadap asal usul dan adat istiadat setempat.
Desa di Indonesia
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, disebut bahwa Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki
batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat
istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemerintahan Desa
Desa memiliki pemerintahan sendiri. Pemerintahan Desa terdiri atas Pemerintah Desa (yang meliputi Kepala Desa dan Perangkat Desa) dan
Badan Permusyawaratan Desa (BPD)
Kepala Desa
Kepala Desa merupakan pimpinan penyelenggaraan pemerintahan desa berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama Badan
Permusyawaratan Desa (BPD). Masa jabatan Kepala Desa adalah 6 tahun, dan dapat diperpanjang lagi untuk satu kali masa jabatan. Kepala
Desa juga memiliki wewenang menetapkan Peraturan Desa yang telah mendapat persetujuan bersama BPD.
Kepala Desa dipilih langsung melalui Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) oleh penduduk desa setempat. Syarat-syarat menjadi calon Kepala
Desa sesuai Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 sbb:
1. Bertakwa kepada Tuhan YME
2. Setia kepada Pacasila sebagai dasar negara, UUD 1945 dan kepada NKRI, serta Pemerintah
3. Berpendidikan paling rendah SLTP atau sederajat
4. Berusia paling rendah 25 tahun
5. Bersedia dicalonkan menjadi Kepala Desa
6. Penduduk desa setempat
7. Tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan dengan hukuman paling singkat 5 tahun
8. Tidak dicabut hak pilihnya
9. Belum pernah menjabat Kepala Desa paling lama 10 tahun atau 2 kali masa jabatan
10. Memenuhi syarat lain yang diatur Perda Kab/Kota
Perangkat Desa
Perangkat Desa bertugas membantu Kepala Desa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Perangkat Desa terdiri dari Sekretaris Desa
dan Perangkat Desa Lainnya. Salah satu perangkat desa adalah Sekretaris Desa, yang diisi dari Pegawai Negeri Sipil. Sekretaris Desa
diangkat oleh Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota atas nama Bupati/Walikota.
Perangkat Desa lainnya diangkat oleh Kepala Desa dari penduduk desa, yang ditetapkan dengan Keputusan Kepala Desa. perangkat desa
juga mempunyai tugas untuk mengayomi kepentingan masyarakatnya.
Keuangan desa
Penyelenggaraan urusan pemerintahan desa yang menjadi kewenangan desa didanai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APB
Desa), bantuan pemerintah dan bantuan pemerintah daerah. Penyelenggaraan urusan pemerintah daerah yang diselenggarakan oleh
pemerintah desa didanai dari APBD. Penyelenggaraan urusan pemerintah yang diselenggarakan oleh pemerintah desa
APB Desa terdiri atas bagian Pendapatan Desa, Belanja Desa dan Pembiayaan. Rancangan APB Desa dibahas dalam musyawarah
perencanaan pembangunan desa. Kepala Desa bersama BPD menetapkan APB Desa setiap tahun dengan Peraturan Desa.
Klasifikasi
Desa dapat diklasifikasikan menurut:
Menurut aktivitasnya
Desa agraris, adalah desa yang mata pencaharian utama penduduknya adalah di bidang pertanian dan perkebunanan.
Desa industri, adalah desa yang mata pencaharian utama penduduknya adalah di bidang industri kecil rumah tangga.
Desa nelayan, adalah desa yang mata pencaharian utama penduduknya adalah di bidang perikanan dan pertambakan.
Potensi Desa
Potensi desa dibagi menjadi 2 macam yaitu:
Potensi fisik yang meliputi, tanah air, iklim dan cuaca, flora dan fauna
Potensi non fisik, meliputi; masyarakat desa, lembaga-lembaga sosial desa, dan aparatur desa, jika potensi dimanfaatkan
dengan baik, desa akan berkembang dan desa akan memiliki fungsi, bagi daerah lain maupun bagi kota.
Fungsi Desa
Fungsi desa adalah sebagai berikut:
Desa sebagai hinterland (pemasok kebutuhan bagi kota)
Desa merupakan sumber tenaga kerja kasar bagi perkotaan
Desa merupakan mitra bagi pembangunan kota
Desa sebagai bentuk pemerintahan terkecil di wilayah Kesatuan Negara Republik Indonesia
Ciri-ciri Masyarakat Desa
Kehidupan keagamaan di kota berkurang dibandingkan dengan kehidupan keagamaan di desa.
Orang kota pada umumnya dapat mengurus dirinya sendiri tanpa harus bergantung pada orang lain. Yang penting disini adalah
manusia perorangan atau individu.
Pembagian kerja di antara warga-warga kota juga lebih tegas dan mempunyai batas-batas yang nyata.
Kemungkinan-kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan juga lebih banyak diperoleh warga kota dari pada warga desa.
Interaksi yang lebih banyak terjadi berdasarkan pada faktor kepentingan daripada faktor pribadi.
Pembagian waktu yang lebih teliti dan sangat penting, untuk dapat mengejar kebutuhan individu.
Perubahan-perubahan sosial tampak dengan nyata di kota-kota, sebab kota biasanya terbuka dalam menerima pengaruh. [1]
Lembaga kemasyarakatan
Di desa dapat dibentuk lembaga kemasyarakatan, yakni lembaga yang dibentuk oleh masyarakat sesuai dengan kebutuhan dan merupakan
mitra pemerintah desa dalam memberdayakan masyarakat. Lembaga kemasyarakatan ditetapkan dengan Peraturan Desa. Salah satu fungsi
lembaga kemasyarakatan adalah sebagai penampungan dan penyaluran aspirasi masyarakat dalam pembangunan. Hubungan kerja antara
lembaga kemasyarakatan dengan Pemerintahan Desa bersifat kemitraan, konsultatif dan koordinatif.
Desa yang berubah statusnya menjadi Kelurahan, kekayaannya menjadi kekayaan daerah dan dikelola oleh kelurahan yang bersangkutan
untuk kepentingan masyarakat setempat.
Desa mempunyai ciri budaya khas atau adat istiadat lokal yang sangat urgen,
Saat ini, Indonesia terdiri dari 34 provinsi. Dari 34 provinsi tersebut, 5 di antaranya memiliki status khusus sebagai daerah khusus atau
daerah istimewa yaitu: Aceh, Jakarta, Papua, Papua Barat, dan Yogyakarta. Dari ke-34 provinsi tersebut, 10 di antaranya terletak di Pulau
Sumatera, 6 di Pulau Jawa, 5 di Pulau Kalimantan, 6 di Pulau Sulawesi, 3 di Kepulauan Nusa Tenggara, 2 di Kepulauan Maluku, dan 2 lainnya
terletak di Pulau Papua.