Anda di halaman 1dari 17

C.

PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU (PKWT)


1. Dasar Hukum Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
Dasar hukum perjanjian kerja waktu tententu adalah :
a. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Pasal 50-66).
b. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Kep. 100/Men/VI/2004
tentang Ketentuan pelaksanaan Kerja Wakttu Tertentu.
c. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012 tentang
Syarat-syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain.

2. Prinsip Perjanjian Kerja Waktu Tertentu


Beberapa prinsip perjanjian kerja waktu tertentu yang perlu diperhatikan, antara lain:
a. Harus dibuat secara tertulis dalam bahsa Indonesia dan huruf latin, minimal 2
rangkap. Apabila dibuat dengan bahsa Indonesia dan bahsa asing dan terjadi
perbedaan penafsiran, yang berlaku Bahasa Indonesia.
b. Hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau
kegiatan pekerjaanya akan selesai dalam waktu tertentu.
c. Paling lama 3 tahun, termasuk jika ada perpanjangan atau pembaruan.
d. Pembaruan PKWT dilakukan setelah tenggang waktu 30 hari sejak berakhirnya
perjanjian.
e. Tidak dapat diadakan untuk jenis pekerjaan yag bersifat tetap.
f. Tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja.
g. Upah dan syarat-syarar kerja yang diperjanjikan tiak boleh bertentangan dengan
peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama (PKB), dan peraturan perundang-
undangan.
Apabila prinsip PKWT tersebut dilanggar:
 Terhadap huruf a-f, maka secara hokum PKWT menjadi PKWTT.
 Terhadap huruf g, maka tetap berlaku ketentuan dalam peraturan perusahaan, perjanjian
kerja sama, dan peraturan perundang-undangan.

3. Syarat-syarat Pembuatan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu


Sebagaimana penjanjian kerja pada umumnya, perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) harus
memenuhi syarat-syarat pe,buatan. Baik syarat materiil maupun syarat formil (periksa
pembahasan Syarat Sahnya Perjanjian Kerja). Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003
syarat materiil diatur dalam Pasal 52, 55, 58, 59, dan 60, sedangkan syarat formil diatur
dalam 54dan 57.
Seperti dalam pasal 58 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 diatur bahwa PKWT
tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja. Jadi, jika ada PKWT yang
mensyaratkan masa percobaan, masa percobaan dalam PKWT tersebut batal demi hokum.
Akibat hukumnya PKWT tersebut menjadi PKWTT.
Sedangkan secara formil pembuatan PKWT harus memuat sekurang-kurangnya [Pasal 54
ayat Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003], yaitu:
a. Nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;
b. Nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;
c. Jabatan atau jenis pekerjaan;
d. Tempat pekerjaan;
e. Besarnya upah dan cara pembayarannya;
f. Syarat-syarat kerja⁷ yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh;
g. Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
h. Tempat dan lokasi perjanjian kerja dibuat; dan
i. Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
Syarat-syarat kerja yang dimuat dalam PKWT tidak boleh lebih rendah dari syarat-syarat
kerja yang termuat dalam peraturan perusahaan atau perjanjian kerja kerja bersama. Jka
ternyata kualitas isiny lebih rendah, syarat-syarat kerja yang berlaku adalah yang termuat
dalam peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Perjanjian kerja waktu dibuat dalam rangkap 2, masing-masing untuk pengusaha dan
pekerja/buruh. Mengingat perlunya pencatatan PKWT sebagaimana diatur dalam Pasal 13
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep.100/Men/VI/2004, maka
ditambah 1 rangkap lagi, yaitu untuk instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan kabupaten/kota setempat. Pencatatan dilakukan selambat-lambatnya 7 hari
kerja sejak penandatanganan perjanjian kerja.
Segala hal dana/atau biaya yang timbul atas PKWT menjadi tanggung jawab pengusaha
(Pasal 53 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003).
4. Kategori Pekerjaan untuk Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
Dalam praktik sering terjadi penyimpangan atas hal ini. Dengan latar belakang dan alasan
tertentu kadang terdapat pengusaha dengan sengaja memberlakukan PKWT untuk jenis
pekerjaan yang bersifat tetap.
Guna mengantisipasi masalah ini, Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13tahun 2003
menetapkan kategori pekerjaan untuk PKWT sebagai berikut;
a. Pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya;
b. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama
dan paling lama 3 (tiga) tahun;
c. Pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk
tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.

5. Pengelompokan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu


Berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
Kep.100/Men/VI/2004 pengelompokan PKWT terdiri atas:
a. Perjanjian kerja waktu tertentu untuk pekerjaan yang sekali selesai atau sementara
sifatnya yang penyelesaiannya paling lama 3 tahun
1) Didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu.
2) Untuk jangka waktu paling lama 3 tahun.
3) Hubungan kerja putus demi hokum apabila pekerjaan tertentu dapat diselesaikan lebih
vepat dari yang diperjanjikan.
4) Dapat dilakukan pembaruan:
o Apabila karena dalam kondisi tententu pekerjaan tersebut belum diselesaikan; dan
o Setelah melebihi masa tenggang waktu 30 hari sejak berakhirnya perjanjian kerja.
5) Selama tenggang waktu 30 hari secara hukum tidak ada hubungan kerja antara
pekerj/buruh dengan pengusaha.

b. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu untuk Pekerjaan Yang Bersifat Musiman


1) Berlaku untuk pekerjaan yang pelaksanaannya bergantung pada musim atau cuaca.
2) Hanya untuk satu jenis pekerjaan tertentu.
3) Dapat juga dilakukan unuk pekerjaan-pekerjaan yang bersifat untuk memenuhi
pesanan atau target.
4) Tidak dapat dilakukan pembaruan untuk PKWT poin 1) dan 3)

c. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu untuk Pekerjaan yang Berhubungan dengan


Produk Baru
1) Berlaku untuk pekerjaan yang behubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau
produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
2) Jangka waktu paling lama 2 tahun dan dapat diperpanjang untuk 1 kali paling lama 1
tahun.
3) Tidak dapat dilakukan pembaruan.
4) Hany boleh diberlakukan bagi pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan di luar
kegiatan atau di luar pekerjaan yang biasa dilakukan perusahaan.

d. Perjanjian Kerja Harian Lepas


1) Berlaku untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu yang berubah-ubah dalam hal waktu dan
volume pekerjaan serta upah didasarkan pada kehadiran.
2) Pekerja/buruh bekekrja kurang dari 21 hari dalam sebulan.
3) Apabila pekerja/buruh bekerja 21 hari atau lebih selama 3 bulan berturut-turut,
perjanjian kerja harian lepas berubah menjadi PKWTT.
Perihal status perpanjangan dan pembaruan PKWT dapat diperiksa pada table berikut ini.
Tabel 3.4.
Status Perpanjangan dan Pembaruan PKWT
No
Jenis PKWT Perpanjangan Pembaruan
.
(1) (2) (3) (4)
PKWT untuk pekerjaan yang sekali selesai
1. Tidak dapat Dapat
atau sementara sifatnya
PKWT untuk pekerjaan yang bersifat
2. Tidak dapat Tidak dapat
musiman
Dapat 1 kali
PKWT untuk pekerjaan yang berhubungan
3. (paling lama 1 Tidak dapat
dengan produk baru
tahun)
4. Perjanjian kerja harian lepas Tidak dapat Tidak dapat
Sumber: Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
Kep.100/Men/VI/2004 (dimodifikasi)
6. Jangka Waktu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
Mengenai jangka waktu PKWT diatur pada pasal 59 ayat (3) Undang-UndangNomor 13
Tahun 2003 bahwa PKWT dapat diperpanjang ataua diperbarui pilih salah satu – dengan
jangka waktu paling lama tiga tahun
Yang dimaksud diperpanjang ialah melanjutkan hubungan kerja setelah PKWT berakhir
tanpa adanya pemutusan hubungan kerja setelah PKWT berakhir tanpa adanya pemutusan
hbungan kerja. Sedangkan pembaruan adalah melakukan hubungan kerja brau setelah PKWT
pertama berakhir melalui pemutusan hubungan kerja dengan tenggang waktu 30 hari.
a. Jangka waktu PKWT dapat diadakakn paling lama 2 tahun dan hanya boleh
diperpanjang sekali untuk jangka waktu paling lama 1 tahun [pasal 59 ayat (4)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003]
b. Pembaruan PKWT hanya boleh dilakukan sekali dan paling lama 2 tahun [pasal 59
ayat (6) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003].
Dengan berakhirnya jangka waktu yang telah disepakati dalam PKWT, secara otomatis
hubungan kerja berakhir demi hokum.
Jika disimpulkan, secara normatif jangka waktut PKWT keseluruhan hanya boleh
berlangsung selama 3 tahun, naik untuk perpanjangan maupun untuk pembaruan.
7. Perubahan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Menjadi Perjanjian Kerja Waktu
Tidak Tentu
Perubahan PKWT menjadi PKWTT merupakan salah satu akibat dari ketidakcermatan dalam
menyusun suatu perjanjian kerja. Di sinilah peran pentingnya seorang perancang kotrak
(contrack drafter) dalam menyusun suatu oerjanjian kerja. Apabila tidak cermat dalat
berakibat merugikkan perusahaan, baik secara yuridis maupun secara ekonomis.
Pengalaman penulis ketika menangani kasus perselisihan seperti ini melawan perusahaan,
akibatnya perusahaan kalah dan harus membayar ganti rugi tertentu. Untuk itu seorang
perancang kontak (contrack drafter) dituntut harus professional dalam menyusun suatu
perjanjian kerja sehingga aman sesuai ketentuan hukum
Ketentuan mengenai PKWT menjadi PKWTT telah diatur dalam pasal 57 ayat (2) dan pasal
59 ayat (7) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 serta Pasal Keputusan Menteri dan
Transmigrasi Nomor Kep.100/Men/2004.
Tabel 3.5.
Perubahanan PKWT Menjadi PKWTT

No. Alasan Perubahan Dasar Hukum


(1) (2) (3)
PKWT yang dibuat tidak tertulis bertentangan dengan Pasal 57 ayat (2) Undang-
1. Pasal 57 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun Undang Nomor 13 Tahun
2003 2003
2. PKWT yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 59 Ayat Pasal 59 ayat (7) Undang-
(1), (2), (3), (4), (5), dan (6) Undang-Undang Nomor Undang Nomor 13 Tahun
13 Tahun 2003 2003
Pasal 15 ayat (1) Kep.
PKWT yang tidak dibuat dalam bahasa Indonesia dan
3. Menakertrans Nomor
huruf Latin
Kep.100/Men/VI/2004
PKWT dibuat tidak memenuhi ketentuan Pasal 4 ayat Pasal 15 ayat (2) Kep.
4. (2) dan Pasal 5 ayat (2) Keputusan Menakertrans No. Menakertrans Nomor
Kep.100/Men/VI/2004 Kep.100/Men/VI/2004
Dalam hal PKWT dilakukan untuk pekerjaan yang
Pasal 15 ayat (3) Kep.
berhubungan dengan produk baru menyimpang dari
5. Menakertrans Nomor
ketentuan Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) Keputusan
Kep.100/Men/VI/2004
Menakertrans No. Kep.100/Men/VI/2004
Dalam hal pembaruan PKWT tidak melalui masa
Pasal 15 ayat (4) Kep.
tenggang waktu 30 hari setelah berakhirnya
6. Menakertrans Nomor
perpanjangan PKWT dan tidak diperjanjikan lain
Kep.100/Men/VI/2004
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
Keputusan Menakertrans No. Kep.100/Men/VI/2004

D. PENYERAHAN SEBAGIAN PELAKSANAAN PEKERJAAN KEPADA


PERUSAHAAN LAIN (OUTSOURCING)

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan telah memberikan


justifikasi terhadap penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain atau
perusahaan penyedia jasa pekerja / buruh, yang populer disebut outsourcing.

Pengertian outsourcing (Rajagukguk, 200: 79 ) adalah hubungan kerja dimana


pekerja / buruh yang dipekerjakan di suatu perusahaan dengan sistem kontrak tersebut
bukan diberikan oleh persahaan pemberi kerja, melainkan oleh perusahaan pengerah tenaga
kerja. Sistem outsourcing termasuk hubungan kerja berdasarkan perjanjian
pengiriman/peminjaman pekerja (uitzendverhouding). Pada hubungan kerja ini ditemukan
tiga pihak, yaitu perusahaan penyedia atau pengirim tenaga kerja/pekerja (penyedia),
perusahaan pengguna tenaga kerja/ pekerja (pengguna), dan tenaga kerja / pekerja.

Walaupun outsourcing merupakan hak pengusaha, pelaksanaan hak itu ada persyaratan
tertentu dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Artinya, dalam melakukan outsourcing disamping harus memenuhi syarat materiil dan formil,
juga secara substansial tidak boleh mengurangi hak-hak normatif pekerja/buruh hak – hak
normative pekerja/buruh, antara lain:
1. Hak atas upah yang layak;
2. Hak perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, termasuk hak istirahat dan cuti;
3. Hak atas kebebasan berpendapat dan berorganisasi;
4. Hak atas PHK;
5. Hak untuk mogok kerja, dan sebagainya.
Jadi, tegasnya pelaksanaan outsourcing menjamin hak-hak normatif pekerja/buruh. Praktis
pengusaha tidak boleh mengurangi upah pekerja/buruh dari ketentuan upah minimum,
mengurangi hak perlindungan, menekan atau mengintimidasi kebebasan pekerja/buruh dalam
menyampaikan pendapat dan berorganisasi, mengurangi hak PHK, menekan pekerja/buruh
dalam melakukan hak mogok kerja, dan sebagainya, dengan berbagai alasan dan dalih apa pun.

Berdasarkan Pasal 64 UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 ditegaskan bahwa


outsourcing dilakukan dengan perjanjian kerja secara tertulis melalui dua cara, yaitu perjanjian
pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh.

1. Perjanjian Pemborongan Pekerjaan.


Untuk dapat menyerahkan pelaksanaan pekerjaan melalui perjanjian pemborongan
pekerjaan, harus memenuhi ketentuan Pasal 65 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 sebagai
berikut:
a. Pekerjaan yang diserahkan kepada perusahaan lain adalah:
1) Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
2) Dilakukan perintah langsung atau tidak langsmg dari pemberi pekerjaan;

3) Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan

4) Tidak menghambat proses produksi secara langsung.


b. Perusahaan penerima pemborongan pekerjaan harus berbentuk badai hukum.
c. Memberikan perlindungan dan syarat-syarat kerja minimal sama dengan perusahaan
pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
d. Pelaksanaan hubungan kerja antara perusahaan penerima pekerjaan dan pekerja/buruh diatur
dalam perjanjian secara tertulis.
e. Hubungan kerja tersebut dalam butir d dapat dilakukan dengan perjanjian kerja waktu tidak
tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu jika memenuhi persyaratan PKWT (pasal 59
Undang-Undmg Nomor 13 Tahun 2003).
f. Jika butir a dan b tersebut di atas tidak terpenuhi, demi hukum hubungan kerja beralih
menjadi hubungan kerja antara perusahaan pemberi pekerjaan dan pekerja/buruh yang
bersangkutan.
Secara yuridis pembuatan perjanjian pemborongan pekerjaan harus:
a. Dibuat dalam bentuk tertulis, tidak boleh secara lisan (tidak tertulis).
b. Untuk jenis atau sifat pekerjaan yang tidak memenuhi ketentuan PKWT (Pasal 59 Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003) dibuat dengan perjanjian kerja waktu tidak tertentu
(PKWTT).
Jadi, tidak boleh menggunakan PKWT karena tidak memenuhi ketentuan PKWT. Lebih lanjut,
mengenai syarat-syarat penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan telah diatur dalam
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat
Penyerahan Sebagian Petaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain.

Adapun sebagian pekerjaan yang diserahkan kepada perusahaan pemborong pekerjaan


harus memenuhi syarat [pasal 3 ayat (2) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan transmigrasi
Nomor 19 Tahun 2012] sebagai berikut.;
a. Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama, baik manajemen maupun kegiatan
pelaksanaan pekerjaan;
b. Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan,
dimaksudkan untuk memberi penjelasan tentang cara melaksanakan pekerjaan agar sesuai
dengan standar yang ditetapkan oleh perusahaan pemberi pekerjaan;
c. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara kesel… Artlnya, kegiatan tersebut
menpakm kegiatan yang …! dan memperlancar pelaksanaan kegiatan utama sesuai dengan
alu kegiatan proses pelaksanaan pekerjaan yang duetapkan oleh asosiasi sekta' usaha yang
dibentuk sesuai peraturan penndang-mdangan; dan
d. Tidak menghambat proses produksi secara langsung. Artinya, kegiatan tersebut merupakan
kegiatan tambahan yang apabila tidak dilakukan oleh perusahaan pemberi pekerjaan, proses
pelaksanaan pekerjaan tetap berjalan sebagaimana mestinya.

Guna menentukan suatu jenis pekerjaan itu merupakan kegiatan pokok (core business)
atau kegiatan penunjang (supporting business) harus dilihat dari diagram atau alur kegiatan
proses produksi“ yang menggambarkan proses pelaksanaan pekerjaan dari awal sampai akhir
serta memuat kegiatan utama dan kegiatan penunjang dengan memerhatikan persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor 19 Tahm 2012 di atas.

Sebegitu sulitkah menentukan kegiatan pokok (core business) atau kegiatan penunjang
(supporting business) dalam suatu proses pelaksanaan pekerjaan? Mohd. Syaufli Syamsuddin
(2014) berpendapat bahwa dalam setiap proses pelaksanaan pekerjaan akan selalu ada kegiatan
pokok (core business) atau kegiatan penunjang (supporting business), baik sebelum (pra),
selama, maupun setelah (pasca) produksi.

Apakah sulit membuat alur proses pelaksanaan pekerjaan untuk dapat menentukan
kegiatan utama dan kegiatan penunjang? Apakah alur proses pelaksanaan pekerjaan memang
harus ditetapkan oleh asosiasi sektor usaha? Tentu semua itu kembali pada regulasi yang
berlaku serta tujuan dan itikad baik dari pihak pengusaha. Jenis pekerjaan atau kegiatan apa pun
dapat di-track mana kegiatan utama dan mana kegiatan penunjang. Dalam Penjelasan Pasal 66
ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dinyatakan bahwa:

“Yang dimaksud kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan dengan
proses produksi adalah kegiatan yang berhubungan diluar usaha pokok (core business) suatu
perusahaan”

Dengan demikian, kuncinya terletak dalam penafsiran “proses produksi” karena itu
yang menentukan apakah suatu kegiatan termasuk kegiatan utama ataukah kegiatan penunjang?

Memang ada saja sebagian pihak yang ”berkepentingan khusus" terhadap masalah ini
berpendapat sulit menentukan kegiatan utama dan kegiatan penunjang. Apalagi jika mereka
bangganya "mengeksploitasi bangsa sendiri" dengan tujuan efisiensi bisnis perusahaan semata-
mata.

2. Penyediaan Jasa Pekerja/Buruh


Berdasarkan ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 diatur
penyerahan pelaksanaan pekerjaan melalui perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh sebagai
berikut:
a. Tidak boleh mempergunakan pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh
untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan
proses produksi. Kegiatan pokok (core business) atau kegiatan yang berhubungan langsung
dengan proses produksi adalah jelas bukan kegiatan penunjang dalam suatu perusahaan.
Yang termasuk kegiatan penunjang, antara lain, usaha pelayanan kebersihan (cleaning
service), usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh (catering), usaha tenaga pengaman
(security), usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan
angkutan pekerja/buruh.
b. Penyedia jasa pekerja/buruh, harus memenuhi syarat-syarat:
 Adanya hubungan kerja antara pekerjalbunii dan perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh.
 Perjanjian dibuat secara tertulis dan ditandatangani kedua pihak, melalui perjanjian kerja
untuk waktu tertentu jika memenuhi persyaratan Pasal 59 Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
 Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul
menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh. Dalam hal ini
pekerja/buruh memperoleh hak (yang sama) atas perlindungan upah dan kesejahteraan.
syarat-svarat kerja, serta perselisihan yang timbul dengan pekerja/buruh lainnya sesuai
dengan yang berlaku di perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh. Pedindungan tersebut
minimal harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
 Perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerjalburuh 'dan perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal sebagaimana di
maksud dalam undang-undang ini.merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan
memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. Jika
keggngugn butir a., b.1)a), b.1)b), b.1)d), dan b.2) tidak terpenuhi, demi hukum status
hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedian jasa pekerja/buruh
beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan.

Lebih lanjut, mengenai syarat-syarat penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan


telah diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012
tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain.

Adapun sebagian pekerjaan yang dapat diserahkan kepada rusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh harus merupakan kegiatan jasa penunjang atau tidak berhubungan langsung
dengan proses produksi [Pasal 17 ayat (2) dan (3) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012] meliputi:
a. Usaha pelayanan kebersihan (cleaning service);
b. Usaha penyediaan makanan bagi pekerjalburuh (catering);
c. Usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan);
d. Usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan; dan
e. Usaha penyediaan angkutan bagi pekerjalburuh.
Jadi, tegasnya status hubungan kerja dalam outsourcing dapat dilakukan melalui
perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) atau perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT)
jika memenuhi ketentuan Pasal 59 UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003. Dengan demikian,
dapat disimpulkan:
a. Jika jenis dan sifat pekerjaan yang diberikan kepada perusahaan penerima kerja atau
pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak memenuhi ketentuan
PKWT (Pasal 59 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003), hubungan kerja dilakukan
melalui perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTI').
b. Jika ketentuan tersebut dilanggar, hubungan kerja beralih menjadi tanggung jawab
perusahaan pemberi pekerjaan dan secara hokum tetap menjadi perjanjian kerja waktu
tidak tertentu (PKWTI') atau perjanjian kerja tetap.

G. HUBUNGAN INDUSTRIAL
1. Pengertian Hubungan Industrial
Dalam Pasal 1 angka 16 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan disebutkan pengertian istilah hubungan industrial adalah:
“Suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang
dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja dan pemerintah yang didasarkan
pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945”
Walaupun istilah pancasila tidak digunakan pada hubungan insdustrial tapi Pancasila tetap
melekat pada pelaksanaannya.

2. Landasan Hubungan Indsutrial


Landasan hubungan industrial terdiri atas :
 Landasan idiil ialah pancasila.
 Landasan konstitusional ialah Undang-Undang Dasar 1945
 Landasan operasional ialah GBHN yang ditetapkan oleh MPR serta kebijakan-kebijakan
lain dari pemerintah.

3. Tujuan Hubungan Internasional


Berdasarkan hasil seminar HIP (hubungan industrial pancasila) tahun 1974 (Shamad,
1995: 12) tuujuan hubungan industrial adalah seperti cita-cita bangsa pada Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia 17 agustus 1945.
4. Ciri-Ciri Hubungan Industrial
Ciri-ciri hubungan industrial di Indonesia (Shamad, 1995: 12) :
 Mengakui dan meyakini bahwa pekerja bukan sekadar mencari nafkah saja, melainkan
juga sebagai pengabdia manusia kepada Tuhannya, sesame manusia, masyarakat, bangsa,
dan Negara.
 Menanggap pekerja bukan hanya sekadar faktor produksi belaka, melainkan juga sebagai
manusia pribadi dengan segala harkat dan martabatnya.
 Melihata natara pekerja dan pengusaha bukan mempunyai kepentingan yang
bertentangan, melainkan mempunyai kepentingan yang sama untuk kemajuan
perusahaan.
 Setiap perbedaan pendapat antara pekerja dan pengusaha harus diselesaikan dengan jalan
musyawarah untuk mencapai mufakat untuk mencapai mufakat yang dilakukan secara
kekeluargaan,
 Adanya keseimbangan antara hak kewajiban untuk kedua belah pihak, atas dasar rasa
keadilan dan kepatutan.

5. Perspektif Hubungan Industrial dan Peranan Para Pihak


a. Hubungan industrial tebentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang
dana/atau jasa yang terdiri atasa unsur pengusaha, pekerja/buruh dan pemerintah.
 Dalam perspektif sistem : Masing masing pihak memiliki keterkaitan yang
erat. Satu sama lain harus bersinergis dengan baik.
 Dalam perspektif kepentingan : Para pihak memiliki kepentingan yang
berbeda, tapi ada juga yang sama. Kepentingan inilah yang harus
diperhatikan.
 Kepentingan pengusaha : terjaminnya iklim usaha yang kondusif sehingga
terciptanya ketenangan usaha dan penigkatan keuntungan perusahaan.
 Kepentingan pekerja/buruh: kelangsungan bekerja dan peningkatan
kesejahteraan.
b. Peranan Para Pihak
 pemerintah : menetapkan kebijakan, memberikan pelayanan, melaksanakan
pengawasan, dan melakukan penindakan terhadap pelanggaran peraturan
perundang-undangan ketenagakerjaan.
 pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh : menjalankan pekerjaan sesuai
dengan kewajibannya, menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi,
menyalurkan aspirasi secara demokratis,
c. Mengembangkan keterampilan san keahliannya, serta ikut memajukan perusahaan
dan memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta keluarganya.
 pengusaha dan organisasi pengusaha : menciptakan kemitraan, mengembangkan
usaha, memperluas lapangan kerja, dan memeberikan kesejahteraan
pekerja/buruh secara terbuka, demokrasi, dan berkeadilan.

6. Sarana Pendukung Hubungan Industrial


a. Serikata pekerja/serikat buruh
b. Organisasi pengusaha
c. Lembaga kerja sama bipartit (disingkat LKS bipartite)
d. Lembaga kerja sama tripartite ( LKS Tripartit)
e. Peraturan Perusahaan
f. Perjanjian kerja sama (PKB)
g. peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan
h. lembaga penyelesaian perselisihan hubungan internasional

H. PERATURAN PERUSAHAAN DAN PERJANJIAN KERJA BERSAMA

1. Pengertian Istilah
Menurut Pasal 1 angka 20 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, pengertian
peraturan perusahaan (PP) adalah :
“Peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan
tata tertib
perusahaan.”
Sedangkan perjanjian kerja bersama menurut Pasal 1 angka 21 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 adalah :
“Perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau
beberpa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha, atau perkumpulan
pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban kedua belah pihak.”

Dalam praktik selama ini, banyak istilah yang dipergunakan untuk menyebut
perjanjian kerjasama (PKB), seperti :
a. Perjanjian Perburuhan Kolektif (PPK) atau Collevtieve Arbeids Overeenkomst (CAO)
b. Persetujuan Perburuhan Kolektif (PPK) atau Collective Labour Agreenments
c. Persetujuan Perburuhan Bersama (PPB)
d. Kesepakatan Kerja Bersama (KKB)

2. Perbandingan Peraturan Perusahaan dan Perjanjian Kerja Bersama

Perjanjian Kerja Bersama


No. Perbedaan Peraturan Perusahaan (PP)
(PKB)
Pengusaha dan serikat
Hanya pihak pengusaha
Perumus/
1. sendiri (Pasal 1 angka 20 UU pekerja/serikat buruh (Pasal 1
Pembuat
No. 13/2003)
angka 21 UU No. 13/2003)
Paling banyak 9 orang untuk
masing-masing pihak (Pasal
2. Tim perunding Tidak ada
20 ayat (1) Permenkentrans
No. 16/2011)
Ada kesepakatan karena

Tidak ada, hanya pengusaha melalui proses perundingan,


perlu memperhatikan saran sehingga kedua pihak
3. Asas kesepakatan daan pertimbangan dari wakil
pekerja/buruh (Pasal 110 ayat bertanggungjawab dalam
(1) UU No. 13/2003) pelaksanaannya (Pasal 116
ayat (2) UU No. 13/2003)
a.     Terus disempurnakan
Wajib diperbaruhi atau sesuai dengan perkembangan
Bila berakhir ditingkatkan statusnya
4. situasi.
masa berlakunya menjadi PKB (Pasal 111 ayat
(3) dan (4) UU No. 13/2003) b.     Tidak boleh diganti
menjadi PP.
Dapat diperpanjang 1 tahun
Tidak boleh diperpanjang, lagi, kemudian diperbaruhi
Perpanjangan/
5. harus diperbaruhi (Pasal 111
pembaruan (Pasal 123 ayat (3) UU No.
ayat (3) UU No. 13/2003)
13/2003.
Tanggungjawab pengusaha Tanggungjawab pengusaha
Beban biaya
6. karena sebagai kewajiban (Pasal 126 ayat (3) UU
pembuatan
(Pasal 109 UU No.13/2003) No.13/2003)

3. Tata Cara Pembuatan Peraturan Perusahaan dan Perjanjian Kerja Bersama


a. Pembuatan dan Pengesahan peraturan perusahaan
 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
1. Wajib bagi pengusaha yang memperkerjakan sekurang-kurangnya sepuluh
orang pekerja/buruh.
2. Kewajiban butir 1. Tidak berlaku bagi perusahaan yang sudah memiliki
perjanjian kerja bersama.
3. Memerhatikan saran dan pertimbangan dari wakil pekerja/buruh di perusahaan
yang bersangkutan.
4. Materi yang diatur adalah syarat kerja yang belum diatur dalam peraturan
perundang-undangan dan rincian pelaksanaan ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan.
5. Sekurang-kurangnya memuat :
a. Hak dan kewajiban pengusaha
b. Hak dan kewajiban pekerja/buruh
c. Syarat kerja
d. Tata tertib perusahaan
e. Jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan
6. Pembuatannya dilarang
a. Menggantikan perjanjian kerja berssama yang sudah ada sebelumnya.
b. Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
7. Pembuatan peraturan perusahaan tidak dapat diperselisihkan karena
merupakan kewajiban dan menjadi tanggung jawab pengusaha.
8. Wajib mengajukan pengesahan kepada menteri atau pejabat yang ditunjuk.
9. Wajib memberitahukan dan menjelaskan isi serta memberikan naskah
peraturan perusahaan atau perubahannya kepada pekerja/buruh.
 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 16 Tahun2011
1. Dalam 1 perusahaan hanya dapat dibuat 1 peraturan perusahaan (PP) yang
berlaku bagi seluruh pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.
2. Dalam hal perusahaan yang bersangkiutan memiliki cabang, dibuat PP induk
yang berlaku di semua cabang perusahaan serta dapat dibuat PP turunan yang
berlaku di masing-masing cabang perusahaan.
3. PP induk memuat ketentuan-ketentuan yang berlaku umum di seluruh cabang
perusahaan dan PP turunan memuat pelaksanaan PP induk yang disesuaikan
dengan kondisi cabang perusahaan masing-masing.
4. Dalam hal PP induk telah berlaku di perusahaan, tetapi dikehendaki adanya PP
turunan di cabang perusahaan, maka selama PP turunan belum disahkan oleh
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat, tetap
berlaku PP induk.
5. Dalam hal PP beberapa perusahaan tergabung dalam satu grup,maka PP dibuat
oleh masing-masing perusahaan.
6. Apabila diperusahaan telah terbentuk serikat pekerja/ serikat buruh, wakil
pekerja/buruh adalah pengurus serikat pekerja/serikat buruh.
7. Dalam hal di perusahaan sudah terbentuk serikat pekerja/serikat buruh, tetapi
keanggotaanya tidak mewakili mayoritas pekerja/buruh di perusahaan tersebut,
maka pengusaha selain memerhatikan saran dan pertimbangan dari pengurus
serikat pekerja/serikat buruh, harus juga memerhatikan saran dan pertimbangan
dari wakil pekerja/buruh yang tidak menjadi anggota pengurus serikat
pekerja/serikat buruh.
8. Saran dan pertimbangan dari wakil/pekerja buruh tidak dapat diperselisihkan.
9. Pengesahan PP dilakukan oleh :
a) Kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
jabupaten/kota, untuk perusahaan yang terdapat hanya dalam 1 wilayah.
b) Kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
provinsi, untuk perusahaan yang terdapat pada lebih dari 1 wilayah
kabupaten/kota dalam 1 provinsi.
c) Direktur jendral pembinaan hubungan industrial dan jaminan social tenaga
kerja, untuk perusahaan yang terdapat pada lebih dari 1 wilayah provinsi.
10. Dalam hal perusahaan akan mengadakan perubahan isi PP dalam tenggang
waktu masa berlakunya PP, apabila perubahan tersebut menjadi lebih
rendahdari PP sebelumnya, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan, maka perubahan tersebut harus disepakati oleh SP/SB
dan atau wakil pekerja/buruh.
11. Perubahan PP harus mendapat pengeshan kembali dari pejabat/instansi yang
berwenang.
12. Apabila perubahan PP tidak mendapat pengesahan, perubahan PP dianggap
tidak ada.
13. Pengusaha wajib menngajukan pembaharuan PP paling lama 30 hari kerja
sebelum berakhir masa berlakunya PP kepada pejabat/instansi yang
berwenang.
14. Pembaruan PP memerhatikan saran dan pertimbangan wakil pekerja/buruh.

b. Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama (PKB)


 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
1. PKB dibuat oleh serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat
pekerja/serikat buruh yang telah tercatat pada instansi yang bertanggung jawab
di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha.
2. PKB harus dibuat secara tertulis dengan huruf latin dan menggunakan bahasa
Indonesia
3. Dalam hal terdapat PKB yang dibuat tidak menggunakan bahasa Indonesia,
maka PKB tersebut harus diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh
penerjemah bersumpah dan terjemahan tersebut dianggap sudah memenuhi
ketentuan butir 2 diatas.
4. Masa berlaku PKB paling lama 2 tahun
5. PKB dapat diperpanjang masa berlakunya paling lama 1 tahun berdasarkan
kesepakatan tertulis anatara pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh.
6. Perundingan pembuatan PKB berikutnya dapat dimulai paling cepat 3 bulan
sebelum berakhirnya PKB yang sedang berlaku.
7. Dalam hal perundingan tidak mecapai kesepakatan,maka PKB yang sedang
berlaku, tetap berlaku untuk paling lama 1 tahun.
 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 16 Tahun 2011
1. PKB dirundingkan oleh SP/SB atau beberapa SP/SB yang telah tercatat pada
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan
oengusaha atau beberapa pengusaha.
2. Perundingan PKB harus didasari itikad baik dan kemauan bebas kedua belah
pihak.
3. Perundingan PKB dilakukan secara musyawarh mufakat.
4. Lamanya perundingan PKB ditetapkan berdasarkan keseoakatan para pihak
dan dituangkan dalam tata tertib perundingan.
5. Dalam satu perusahaan hanya dapat dibuat 1 PKB yang berlaku bagi seluruh
pekerja/buruh diperusahaan yang bersangkutan.
6. Dalam hal perusahaan yang bersangkutan memiliki cabang, dibuat PKB induk
berlaku di semua cabang perusahaan serta dapat dibuat PKB turunan yang
berlaku di masing-masing cabang perusahaan.
`

Anda mungkin juga menyukai