Walaupun outsourcing merupakan hak pengusaha, pelaksanaan hak itu ada persyaratan
tertentu dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Artinya, dalam melakukan outsourcing disamping harus memenuhi syarat materiil dan formil,
juga secara substansial tidak boleh mengurangi hak-hak normatif pekerja/buruh hak – hak
normative pekerja/buruh, antara lain:
1. Hak atas upah yang layak;
2. Hak perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, termasuk hak istirahat dan cuti;
3. Hak atas kebebasan berpendapat dan berorganisasi;
4. Hak atas PHK;
5. Hak untuk mogok kerja, dan sebagainya.
Jadi, tegasnya pelaksanaan outsourcing menjamin hak-hak normatif pekerja/buruh. Praktis
pengusaha tidak boleh mengurangi upah pekerja/buruh dari ketentuan upah minimum,
mengurangi hak perlindungan, menekan atau mengintimidasi kebebasan pekerja/buruh dalam
menyampaikan pendapat dan berorganisasi, mengurangi hak PHK, menekan pekerja/buruh
dalam melakukan hak mogok kerja, dan sebagainya, dengan berbagai alasan dan dalih apa pun.
Guna menentukan suatu jenis pekerjaan itu merupakan kegiatan pokok (core business)
atau kegiatan penunjang (supporting business) harus dilihat dari diagram atau alur kegiatan
proses produksi“ yang menggambarkan proses pelaksanaan pekerjaan dari awal sampai akhir
serta memuat kegiatan utama dan kegiatan penunjang dengan memerhatikan persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor 19 Tahm 2012 di atas.
Sebegitu sulitkah menentukan kegiatan pokok (core business) atau kegiatan penunjang
(supporting business) dalam suatu proses pelaksanaan pekerjaan? Mohd. Syaufli Syamsuddin
(2014) berpendapat bahwa dalam setiap proses pelaksanaan pekerjaan akan selalu ada kegiatan
pokok (core business) atau kegiatan penunjang (supporting business), baik sebelum (pra),
selama, maupun setelah (pasca) produksi.
Apakah sulit membuat alur proses pelaksanaan pekerjaan untuk dapat menentukan
kegiatan utama dan kegiatan penunjang? Apakah alur proses pelaksanaan pekerjaan memang
harus ditetapkan oleh asosiasi sektor usaha? Tentu semua itu kembali pada regulasi yang
berlaku serta tujuan dan itikad baik dari pihak pengusaha. Jenis pekerjaan atau kegiatan apa pun
dapat di-track mana kegiatan utama dan mana kegiatan penunjang. Dalam Penjelasan Pasal 66
ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dinyatakan bahwa:
“Yang dimaksud kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan dengan
proses produksi adalah kegiatan yang berhubungan diluar usaha pokok (core business) suatu
perusahaan”
Dengan demikian, kuncinya terletak dalam penafsiran “proses produksi” karena itu
yang menentukan apakah suatu kegiatan termasuk kegiatan utama ataukah kegiatan penunjang?
Memang ada saja sebagian pihak yang ”berkepentingan khusus" terhadap masalah ini
berpendapat sulit menentukan kegiatan utama dan kegiatan penunjang. Apalagi jika mereka
bangganya "mengeksploitasi bangsa sendiri" dengan tujuan efisiensi bisnis perusahaan semata-
mata.
Adapun sebagian pekerjaan yang dapat diserahkan kepada rusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh harus merupakan kegiatan jasa penunjang atau tidak berhubungan langsung
dengan proses produksi [Pasal 17 ayat (2) dan (3) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012] meliputi:
a. Usaha pelayanan kebersihan (cleaning service);
b. Usaha penyediaan makanan bagi pekerjalburuh (catering);
c. Usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan);
d. Usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan; dan
e. Usaha penyediaan angkutan bagi pekerjalburuh.
Jadi, tegasnya status hubungan kerja dalam outsourcing dapat dilakukan melalui
perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) atau perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT)
jika memenuhi ketentuan Pasal 59 UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003. Dengan demikian,
dapat disimpulkan:
a. Jika jenis dan sifat pekerjaan yang diberikan kepada perusahaan penerima kerja atau
pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak memenuhi ketentuan
PKWT (Pasal 59 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003), hubungan kerja dilakukan
melalui perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTI').
b. Jika ketentuan tersebut dilanggar, hubungan kerja beralih menjadi tanggung jawab
perusahaan pemberi pekerjaan dan secara hokum tetap menjadi perjanjian kerja waktu
tidak tertentu (PKWTI') atau perjanjian kerja tetap.
G. HUBUNGAN INDUSTRIAL
1. Pengertian Hubungan Industrial
Dalam Pasal 1 angka 16 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan disebutkan pengertian istilah hubungan industrial adalah:
“Suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang
dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja dan pemerintah yang didasarkan
pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945”
Walaupun istilah pancasila tidak digunakan pada hubungan insdustrial tapi Pancasila tetap
melekat pada pelaksanaannya.
1. Pengertian Istilah
Menurut Pasal 1 angka 20 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, pengertian
peraturan perusahaan (PP) adalah :
“Peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan
tata tertib
perusahaan.”
Sedangkan perjanjian kerja bersama menurut Pasal 1 angka 21 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 adalah :
“Perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau
beberpa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha, atau perkumpulan
pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban kedua belah pihak.”
Dalam praktik selama ini, banyak istilah yang dipergunakan untuk menyebut
perjanjian kerjasama (PKB), seperti :
a. Perjanjian Perburuhan Kolektif (PPK) atau Collevtieve Arbeids Overeenkomst (CAO)
b. Persetujuan Perburuhan Kolektif (PPK) atau Collective Labour Agreenments
c. Persetujuan Perburuhan Bersama (PPB)
d. Kesepakatan Kerja Bersama (KKB)