NIM: 02040421022
1
Dr. Fence M. Wantu, Pengantar Ilmu Hukum
suatu hal untuk mengisi kekosongan hukum saja, melainkan kita juga perlu
memperhatikan sisi-sisi lain terhadap pengaruh dari ditetapkannya undang-undang dalam
sebuah negara karena undang-undang sendiri sifatnya memaksa, memaksa siapapun
untuk mematuhinya.
1. Proses Perundang-undangan;
2. Metode Perundang-undangan; dan
3. Teknik Perundang-undangan.
4
Sony Maulana Sikumbang, Fitriani Ahlan Sjarif, M. Yahdi Salampessy, Pengantar Ilmu Pengetahuan Perundang-
Undangan, Hlm 1.1
1) Peraturan Perundang-undangan merupakan keputusan tertulis yang
dikeluarkan Pejabat atau lingkungan jabatan yang berwenang, berisi aturan
tingkah laku yang bersifat mengikat umum.
2) Merupakan aturan-aturan tingkah laku yang berisi ketentuan-ketentuan
mengenai hak, kewajiban, fungsi, status, atau suatu tatanan.
3) Merupakan peraturan yang mempunyai ciri-ciri umum-abstrak atau abstrak-
umum, artinya tidak mengatur atau tidak ditujukan pada objek, peristiwa atau
gejala konkret tertentu.
6. Jelaskan apa yang dimaksud dengan Perundang-undangan sebagai sumber hukum serta
sebutkan dan jelaskan pula tata urutannya.
5
Prof. Dr. Moh. Mahfud Md, Politik Hukum Di Indonesia, Hlm 4.
6
Undang-Undang No 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
4. Peraturan Pemerintah;
5. Peraturan Presiden;
6. Peraturan Daerah Provinsi; dan
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Adanya norma hukum tentunya pasti menghasilkan sebuah perbedaan dari yang
mana sebelumnya normal hanya norma saja dan kemudian norma terbentuk menjadi
hukum karena pada dasarnya ketika norma hanya norma saja maka memang ia akan
7
Jimmly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Rajawali Pers, Jakarta 2011, Hlm 1.
terlaksana mungkin bisa secara turun-temurun jikalau hal tersebut kita perkenalkan pada
generasi generasi penerus kita namun konsekuensi dari hal tersebut ialah menjadikan
tidak semua orang akan mematuhi norma kesopanan tersebut bahkan bisa cenderung
hilang seiring berjalannya waktu karena tidak adanya kodifikasi terhadap suatu norma
dalam kehidupan sedangkan jika normal dikodifikasi ke dalam bentuk hukum maka akan
timbul konsekuensi yang bersifat memaksa karena hukum pada dasarnya bersifat
memaksa yang menghasilkan peluang ditaatinya lebih besar karena ketika normal
dibukukan menjadi hukum tertulis maka akan lebih ditaati oleh eh masyarakat karena
dalam hukum tertulis juga terdapat sanksi sedangkan dalam norma hanya ada norma saja
tanpa ada konsekuensi seperti sanksi dan lainnya.
Norma hukum terdiri dari dua yaitu norma hukum tertulis dan norma hukum tidak
tertulis. Norma hukum tertulis berupa perundang-undangan, yurisprudensi, dan aturan-
aturan yang kodifikasi dalam bentuk dokumen sedangkan norma hukum tidak tertulis
ialah berupa hukum rakyat, hukum adat, norma-norma lainnya yang hidup dalam
masyarakat seperti norma kesusilaan norma kesopanan dan norma agama dan lain-lain.
Menurut Hans Kelsen, norma itu berjenjang berlapis-lapis dalam suatu susunan
hierarki. Pengertiannya, norma hukum yang dibawah berlaku dan bersumber, dan
berdasar dari norm yang lebih tinggi, dan norma lebih tinggi juga bersumber dan berdasar
dari norma yang lebih tinggi lagi begitu seterusnya sampai berhenti pada suatu norma
tertinggi yang disebut sebagai Norma Dasar (Grundnorm) dan masih menurut Hans
Kelsen termasuk dalam sistem norma yang dinamis. Oleh sebab itu, hukum selalu
dibentuk dan dihapus oleh Lembaga-lembaga otoritas-otoritasnya yang berwenang
membentuknya, berdasarkan norma yang lebih tinggi, sehingga norma yang lebih rendah
(Inferior ) dapat dibentuk berdasarkan norma yang lebih tinggi (superior), pada akhirnya
hukum menjadi berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis membentuk suatu Hierarki.
Hubungan antara norma yang mengatur pembentukan norma lain dengan norma
yang lain lagi dapat digambarkan sebagai hubungan antara “Superordinasi” dan
“Subordinasi” yang special menurutnya yaitu:
a) Norma yang menentukan pembentukan norma lain adalah norma yang lebih
tinggi;
b) Sedangkan norma yang dibentuk menurut peraturan ini adalah norma yang
lebih rendah.
c) Tatanan hukum, terutama tatanan hukum yang dipersonifikasikan dalam
bentuk Negara, bukanlah sistem norma yang satu sama lain hanya
dikoordinasikan yang berdiri sejajar atau sederajat, melainkan suatu tatanan
urutan norma-norma dari tingkatan-tingkatan yang berbeda.
Landasan filosofis adalah suatu pandangan yang yang hadir yang bertujuan untuk
memberikan pertimbangan pandangan hidup pandangan hidup yang sesuai dengan
kesadaran dan cita-cita hukum yang sesuai dengan Pancasila dan undang-undang dasar
10
Martha Yunandaa, Aliran Filsafat Positivisme, Pragmatisme Dan Fenomenologi
1945. Landasan sosiologis merupakan pandangan yang melihat kepada bagaimana suatu
aturan dibentuk berdasarkan kebutuhan masyarakat dan melihat fakta fakta empiris
terhadap permasalahan dan kebutuhan yang sedang dihadapi oleh negara. Landasan
yuridis adalah pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang
dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan
mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut
guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat serta Landasan politis
merupakan garis kebijakan politik yang digunakan sebagai dasar penentuan pembentukan
perundang-undangan selanjutnya. Landasan di atas memiliki objek yang berbeda-beda
yang mana dalam landasan filosofis lebih objek kan kepada batiniah, sosiologis terhadap
kehidupan social, yuridis terhadap norma-norma yang telah ada dan politis terhadap
kepentingan yang ada, yang telah ada dan yang selanjutnya.11
Menurut Hans Kelsen, terdapat empat macam lingkungan keberlakuan hukum, yaitu:
Hingga saat ini, di dunia belum terdapat suatu aturan yang berlaku secara
universal dan tidak berkesudahan masa berlakunya. Setiap aturan-aturan hukum yang
berlaku di dunia memiliki keterbatasan mengenai keberlakuannya, mengakibatkan
beragamnnya aturan hukum yang tercipta di berbagai belahan dunia. Dalam kesempatan
ini, akan dibahas mengenai bagaimana keberlakuan hukum dapat terjadi, apa-apa saja
yang membatasi keberlakuan hukum ini.
Setiap aturan hukum hanya berlaku untuk suatu masa tertentu saja, dengan kata
lain tidak ada aturan yang abadi. Salah satu keterbatasan hukum mengenai keberlakuan
adalah soal waktu, suatu peraturan perundang-undangan terdapat waktu masa berlakunya,
11
Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, Rajagrapindo Persada, Jakarta 2009, Hlm.13
undang-undang tersebut tidak berlaku sebelum undang-undang dibuat, ataupun setelah
undang-undang dicabut atau digantikan. Sehingga suatu aturan hukum keberlakuannya
dibatasi oleh waktu tertentu.
Misalnya dalam hukum pidana dikenal asas legalitas (pasal 1 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana), yang mana suatu perbuatan tidak dapat dipidana jika tidak
diatur sebelumnya dalam peraturan perundang-undangan.
Keberlakuah hukum menurut soal berkaitan dengan terhadap hal apa atau
materinya keberlakuan hukum itu diterapkan. Misalnya dalam hal perbuatan yang
merugikan kepentingan Indonesia, meskipun terjadi di luar wilayah Indonesia, namun
menyangkut hal tersebut dapat terjadi keberlakuan hukum menurut soal, dimana negara
dapat terlibat.12
karena itu, hukum tidak akan bertindak manakala tindakan seseorang tersebut tidak
melanggar aturan hukum meskipun batin orang tersebut sebenarnya ingin melakukan
tindakan yang melanggar hukum. Dari segi asal kekuatan mengikatnya, hukum
mempunyai kekuatan mengikat karna ditetapkan oleh penguasa atau berkembang dari
praktik-praktik yang berkembang di masyarakat.
Hukum menitikberatkan kepada aspek manusia sebagai makhluk sosial sekaligus
aspek lahiriyah manusia. Dari segi isi norma, menetapkan hak disamping kewajiban dan
mencerminkn moral yang mendasari segala aktivitas. Norma agama cenderung memiliki
kekuatan yang mengikat yang berasal dari dalam diri tiap individu. Ketaatan itu terbentuk
karena iman. Titik berat yang menjadi sasaran norma agama adalah aspek individu
manusia bukan aspek manusia sebagai makhluk sosial. Agar manusia lebih berkenan
kepada Sang Pencipta bukan ketertiban masyarakat. Dimana semua yang dianjurkan,
dilarang, dan dijanjikan Tuhan tiap agama ada dalam Kitab Suci masing-masing agama.
Moral hadir sebagai petunjuk sebagai individu. Sebagai suatu produk budaya
yang melekat pada diri manusia moral menghendaki manusia berbudipekerti luhur dan
berbuat kebajikan. Dalam hal demikian, secara jelas moral dapat dibedakan dari hukum.
Hukum tidak pernah menuntut orang berbuat kebajikan atau demawan. Yang pertama
12
Hans Kelsen,2008,Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara, Nusa Media, Bandung, Hlm 15
13
Soerjono Soekanto. 2004. Pokok- Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta : Pt.Rajagrafindo Persada,
Hlm. 16
kali membuat perbedaan yang tegas antara hukum dan moral adalah Imanuel Kant.
Menurut ML.J. Van Apeldoorn menyatakan, bahwa perbedaan antara hukum dan moral
tidak perlu dipertajam karena tidak sepenuhnya benar kalau hukum berkaitan dengan
tingkah laku lahiriyah manusia dan moral hanya berkenaan dengan keadaan batiniyah
seseorang. Moral didalam perbincangan ini harus berkaitan dengan tingkah laku lahiriyah
manusia dalam rangkahidup manusia. Jika hukum memang ingin melarang perzinahan
atau hal-hal tidak bermoral lainnya, pesan-pesan itu harus dapat diterima oleh nalar
dalam kaitannya dengan kehidupan bermasyarakat. Jika agama dan moral lebih
menitikberatkan kepada aspek manusia sebagai individu dan aspek batiniyah manusia,
etika tingkahlaku sebagaimana hukum menitikberatkan kepada pengaturan aspek manusia
sebagai makhluk sosial dan aspek lahiriyah manusia.
Namun demikian antara hukum dan etika tingkah laku terdapat juga perbedaan.
Dalam pelaksanaan suatu norma karena adanya daya laku, dihadapkan pula pada daya
guna (efficacy) dari norma tersebut. Dalam hal ini dapat dilihat apakah suatu norma yang
ada dan berdaya laku itu berdaya guna secara efektif atau tidak. Dalam hal ini dapat pula
terjadi bahwa, suatu ketentuan dalam sebuah perundang-undangan tidak berdaya guna
lagi walaupun peraturan tersebut masih berdaya laku (karena belum dicabut). Hal ini
dapat terjadi apabila dalam suatu peraturan perundang-undangan merumuskan ketentuan
yang bertujuan untuk menggantikan rumusan dalam perturan prtundang-undangan yang
lain, tetapi tidak dengan melakukan pencebutan terhadap ketentuan yang diubah tersebut.
14. Sebutkan dan jelaskan materi muatan dari berbagai jenis peraturan Perundang-undangan,
serta identifikasi perbedaannya.
Materi Muatan UUD
UUD 1945 merupakan satu kebulatan yang utuh, dengan kata lain merupakan bagian-
bagian yang satu sama lainnya tidak dapat dipisahkan. Secara garis besar materi yang
termuat dalam Batang Tubuh UUD Tahun 1945 adalah sebagai berikut:
1. Bentuk dan Kedaulatan
2. MPR (Pasal 2-3)
3. Kekuasaan Pemerintahan Negara (Pasal 4- Pasal 16)
4. Kementrian Negara (Pasal 17)
5. Pemerintahan Daerah (Pasal 18)
6. DPR (Pasal 19 – 22B)
7. DPD (Pasal 22C)
8. Pemilihan Umum (Pasal 22 E)
9. Hal Keuangan (Pasal 23 – 23 D)
10. BPK (Pasal 23E
11. Kekuasaan Kehakiman (Pasal 24 – 25)
12. Wilayah Negara (Pasal 25A)
13. Warga Negara dan Penduduk (Pasal 26 – 28)
14. HAM (Pasal 28A -28J)
15. Agama (Pasal 29)
16. Pertahanan dan Keamanan Negara (Pasal 30)
17. Pendidikan dan Kebudayaan ( Pasal 31-32)
18. Perekonomian dan Kesejahtraan Sosial (Pasal 33- 34)
19. Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan (Pasal
35 -36);
20. Perubahan UUD.
Selain hal tersebut UUD Tahun 1945 juga memuat 3 pasal tentang Aturan
Peralihan dan 2 pasal Aturan Tambahan.
Dalam KRIS dan UUDS Tahun 1950 Perpu disebut dengan istilah UU Darurat.
Istilah UU Darurat ini menggambarkan pengertiannya sebagai emergency law
(emergency legislation). Perpu sebagai salah satu jenis peraturan perundangundangan
diatur dalam Pasal 22 UUD 1945, yang menyebutkan bahwa:
(1) dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan
Peraturan Pemerintah sebagai pengganti undang-undang;
Dengan demikian dari rumusan pasal tersebut ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan dari segi kedudukan dan keberadaan Perpu:
1. bahwa dilihat dari segi jenis/bentuknya Perpu adalah Peraturan Pemerintah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) UUD Tahun 1945, Namun dalam
keadaan yang memaksa peraturan pemerintah itu, dari segi materinya dapat memuata
ketentuan-ketentuan yang sama dengan UU;
2. Dalam UUD Tahun 1945 tidak ada istilah resmi terkait Perpu, sehingga dapat
ditafsirkan bahwa istilah perpu dapat diganti dengan UU Darurat misalnya; Perpu
hanya dapat ditetapkan Presiden apabila ada kegentingan yang memaksa, yang tidak
boleh dicampur adukkan dengan pengertian keadaan bahaya. Dalam pengertian
“kegentingan yang memaksa” terkandung sifat darurat atau emergency yang memberi
dasar kewenangan kepada Presiden untuk menetapkan Perpu. Emergency itu sendiri
timbul dari penilaian subyektif Presiden belaka mengenai tuntutan keadaan mendesak
untuk bertindak cepat dan tepat mengatasi keadaan tersebut
3. Pada dasarnya Perpu sederajat dengan atau memiliki kekuatan yang sama dengan UU,
DPR harus aktif mengawasi baik dalam penetapan maupun pengawasan Perpu;
4. Perpu bersifat sementara.
Hal lainnya juga yang membedakan Perpu dan UU menurut Bagir Manan adalah
mengenai sifat pengaturan kedua produk hukum tersebut. Jika UU adalah merupakan produk
tindakan pengaturan kenegaraan , sedangkan Perpu merupakan tindakan produk pengaturan yang
bersifat pemerintahan. Namun pendapat tersebut menurut Jimly Assidiqie tidaklah tepat karena
banyak juga UU yang dibentuk berkaitan dengan kepentingan pemerintahan dan karena itu dapat
dikatakan sebagai tindakan pemerintahan. Misalnya, pembentukan UU tentang pemekaran suatu
kabupaten atau provinsi tertentu jelas berkaitan dengan pemerintahan.
Selanjutnya dalam Pasal 11 UU No.12 Tahun 2011 menyebutkan bahwa Materi muatan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sama dengan materi muatan Undang-
Undang.Dengan demikian apa yang menjadi materi muatan Perpu adalah sama dengan materi
muatan UU sebagaimana telah disebutkan diatas. dalam keadaan yang memaksa peraturan
pemerintah itu, dari segi materinya dapat memuata ketentuan-ketentuan yang sama dengan UU;
Dalam UUD Tahun 1945 tidak ada istilah resmi terkait Perpu, sehinggadapat ditafsirkan
bahwa istilah perpu dapat diganti dengan UU Darurat misalnya; Perpu hanya dapat ditetapkan
Presiden apabila ada kegentingan yang memaksa, yang tidak boleh dicampur adukkan dengan
pengertian keadaan bahaya. Dalam pengertian “kegentingan yang memaksa” terkandung sifat
darurat atau emergency yang memberi dasar kewenangan kepada Presiden untuk menetapkan
Perpu. Emergency itu sendiri timbul dari penilaian subyektif Presiden belaka mengenai tuntutan
keadaan mendesak untuk bertindak cepat dan tepat mengatasi keadaan tersebut
Pada dasarnya Perpu sederajat dengan atau memiliki kekuatan yang sama dengan UU,
DPR harus aktif mengawasi baik dalam penetapan maupun pengawasan Perpu; dan Perpu
bersifat sementara.
Dalam Pasal 5 ayat (2) UUD Tahun 1945 menyebutkan : Presiden menetapkan peraturan
pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Ketentuan tersebut
menegaskan bahwa PP hanya dapat ditetapkan oleh Presiden jika ada UU induknya.
Kewenangan Presiden untuk menetapkan PP adalah merupakan salah satu wujud dari fungsi
Presiden sebagai kepala pemerintahan, yakni kepala kekuasaan eksekutif dalam negara, sehingga
dalam rangka menjalankan UU , Presiden mempunyai kekuasaan untuk menetapkan PP.
Hal yang sama juga diatur dalam Pasal 12 UU No,12 Tahun 2011 yang menentukan
bahwa materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan Undang-Undang
sebagaimana mestinya. Dengan demikian maka PP berisi pengaturan lebih lanjut dari UU. Bila
UU tidak mencantumkan sanksi maka dalam PP tidak boleh mencantumkan sanksi pidana
maupun sanksi pemaksa.
1. Pusat = penyusunan prolegnas oleh DPR – Koordinasi dengan DPD dan KUMHAM
– penetapan prolegnas dalam jangka 5 tahun oleh DPR – penyusunan naskah
akademik – penyusunan draft awal RUU – pemantapan konsepsi RUU – RUU hasil
harmonisasi diajukan kepada pimpinan DPR – rapat paripurna terkait pemutusan
RUU usul inisiatif DPR – penyempurnaan RUU – Penyempurnaan RUU disampaikan
pada Presiden – penunjukan Menteri untuk membahas RUU Bersama DPR oleh
Presiden – pembicaraan tingkat 1 dan 2 – RUU disampaikan dari Pimpinan DPR
kepada Presiden untuk disahkan – RUU yang telah disahkan diundangkan dalam
lembaran negara
2. Daerah = bagian hukum menyiapkan bahan dan Menyusun rencana kegiatan serta
koordinasi- menyiapkan rencana pelaksanaan rapat- menyiapkan rapat koordinasi,
pembentukan raperda, naskah akademik, dan tim legislasi-mrnyiapkan laporan hasil
rapat untuk persetujuan pada pemda- menyiapkan bahan materi muatan dan naskah
akademik- Menyusun naskah akademik- sosialisasi rancangan akademik –
penyempurnaan – pembahasan harmonisasi Raperda – konsultasi public Raperda –
penyempurnaan – menyiapkan laporan tim legislasi kepada DPRD – menyiapkan
penyusunan terkait Raperda kepada DPRD – pembahasan Raperda di DPRD –
menyiapakan bahan jawaban atas tanggapan DPRD dan masukan dalam mengikuti
14
A. Hamid S. Attamimi, Materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan
pembahasan Raperda di DPRD – menyiapkan penetapan dan pengundangan PERDA
dalam lembaran daerah – Sosialisasi dan publikasi PERDA15
15
Muhammad Eriton, Tahapan Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan