Anda di halaman 1dari 8

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.............................................................................................1

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................2

BAB II PEMBAHASAN..........................................................................3

A.Pengertian Hakikat........................................................................
B.Macam-macam Hakikat...............................................................4
C.Kedudukan Hakikat.....................................................................5

BAB III PENUTUP..................................................................................8

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................9

1
BAB I

PENDAHULUAN

Dalam pandangan Para ulama Ushul Fiqh mengklasifikasi lafaz (kata) dari
segi pemakaiannya menjadi dua : hakikat (denotatif) dan majaz (konotatif).
Mengenai kata dengan makna hakikat, tidak dipertentangkan lagi keberadaannya
dalam Al-qur’an. Kata yang seperti ini paling banyak ditemukan dalam Al-qur’an.
Adapun makna majāzi, keberadaannya dalam Al-qur’an masih debetable di
kalangan para ulama.
Jumhur Ulama berpendapat kata dengan makna majaz terdapat dalam Al-
qur’an. Namun, segolongan ulama seperti mazhab Ẓahiriyyah, Ibnu Qāis dari
Syafi’iyyah, Ibnu Khuwaiz Mindad dari Malikiyyah, dan sebagainya tidak
mengakui keberadaannya dalam Al-qur’an. secara sederhana, hakikat dan sharih
adalah kata yang menunjukkan makna asli/jelas, tidak ada indikator yang
mendorong untuk menggunakan makna majaz, kināyah, atau tasybīh (yang tidah
jelas).
Kata tersebut mempunyai makna tegas tanpa dipengaruhi adanya
pendahuluan (taqdīm) dan pengakhiran (ta’khīr) dalam susunannya.
Dari penjelsan singkat di atas, penulis akan memaparkan pengertian
hakikat dan majaz, pembagian majas, cara menentukan lafal hakikat/majaz,
ketentuan yang berkaitan hakikiat/majas dan penyebab tidak berlakunya
hakikat/majaz serta pengertian shari/kinayah.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Haqikot

Secara etimologi, hakikat merupakan dari kata haqqa yang berarti tetap. Ia
bisa bermakna subjek (fā’il), sehingga memiliki arti yang tetap atau objek
(maf’ul), yang berarti ditetapkan. Pengertian Hakikat adalah suatu lafaz yang
digunakan menurut asalnya untuk maksud tertentu.Maksudnya lafaz itu digunakan
oleh perumus bahasa memang untuk itu. Menurut Ibnu Subki menyatakan bahwa
hakikat adalah lafaz yang digunakan untuk apa lafaz itu ditentukan pada mulanya.
Ibnu Qudamah mendefinisikannya sebagai lafaz yang digunakan untuk sasarannya
semula. Sementara Al-Sarkhisi berpendapat bahwa hakikat adalah setiap lafaz
yang ditentukan menurut asalnya untuk hal tertentu1.

Contohnya seperti kata “kursi” menurut asalnya memang digunakan untuk


tempat tertentu yang memiliki sandaran dan kaki, meskipun kemudian kata
“kursi” itu sering digunakan pula untuk pengertian “kekuasaan”, namun tujuan
semula kata “kursi” bukan untuk itu tetapi “tempat duduk”2.

B. Macam-macam Haqikot

Selanjutnya macam-macam haqiqah (hakikat) dari segi ketetapannya


sebagai haqiqah, para ulama’ membagi haqiqah itu kepada beberapa bentuk yaitu
sebagai berikut.

1. Hakikat lughawiyah

1 Satria effendi, Ushul Fiqih, (Jakarta:kencana,2008).hlm.42

2 Ibid

3
Lafaz yang digunakan pada maknanya menurut pengertian bahasa
atau memaknai suatu lafad dengan menggunakan pendekatan bahasa,
yang penyusunannya pun dilakukan oleh ahli linguistik.
Contoh dari hakikat ini adalah penggunaan kata manusia pada hewan
yang berbicara dan serigala pada hewan yang buas.
2. Hakikat Syar’iyah
Yaitu lafaz yang digunakan untuk makna yang ditentukan untuk itu
oleh syara’ atau memaknai suatu lafad dengan menggunakan
pendekatan syari’at, yang penyusunannya pun dilakukan oleh ahli
syari’at (fiqh), umpamanya lafaz “shalat” untuk perbuatan tertentu
yang terdiri dari perbuatan dan ucapan yang dimulai dengan “takbir”
dan disudahi dengan “salam”.
3. Haqikah Urfiyah Khassah
Yaitu lafaz yang digunakan untuk arti menurut kebiasaan tertentu
yang biasa digunakan oleh suatu kelompok atau sebagian diantaranya,
bisa juga didefinisikan sebagai suatu lafaz yang didalam maknanya
menggunakan pendekatan kebiasaan yang tertentu. Hakikat ini juga
bisa disebut dengan al-Hakikat al-Istilahiyyat.Umpamanya istilah ijma’
yang berlaku dikalangan fiqh. Umpamanya istilah ijma’ yang berlaku
dikalangan ahli fiqh
4. Haqikoh Urfiyah Ammah

Yaitu lafaz yang digunakan dalam makna menurut yang berlaku


dalam kebiasaan hukum, atau lafad yang di dalam maknanya
menggunakan pendekatan kebiasaan yang umum dilakukan maupun
dilakukan, umpamanya penggunaan kata dabbah dalam bahasa arab
untuk hewan ternak yang berkaki empat3.

C. Cara Mengetahui Haqikot

Pada dasarnya, dalam percakapan cenderung digunakan kata


dengan makna haqîqah, kecuali jika ada sesuatu hal yang memaksa
pembicara untuk menggunakan makna majâz. Untuk itu, pentinglah
kiranya melakukan verifikasi apakah pembicara menggunakan

3 Amir Syarifudin,Ushul Fiqih,(Jakarta:Kencana,2011).hlm.28

4
makna benar-benar menggunakan lafadz haqîqah. Dalam
mengatahui haqîqah dapat dilakukan dengan cara normativitas teks
atau istidlāl.

Adapun untuk mengetahui makna Hakikat secara sima’i (‫)سماعي‬,


yaitu dari pendengaran terhadap apa yang biasa dilakukan oleh orang-
orang dalam berbahasa. Tidak ada cara lain untuk mengetahuinya
selain dari itu, juga tidak dapat diketahui melalui analogi.
Sebagaimana keadaan hukumsyara’ yang tidak dapat diketahui
melalui nash syara’ itu sendiri.4

D. Kedudukan Hakikat

Hakikat merupakan yang sebenarnya atau pokok, sedangkan majaz


merupakan cabang, oleh karena itu majaz masih membutuhkan
qorinah. Abu hanifah menjelaskan bahwasanya majaz bisa mengganti
kedudukan hakikathanya dari segi lafadznya saja tidak sampai kepada
hukumnya, karena hakikat dan majaz merupakan sifat suatu lafadz dan
bukan sifat suatu makna. Conrohnya adalah lafadz ‫ الششششجاعة‬yg
mengganti lafadz ‫ هششذا اسششد‬lfadz ‫ الشششجاعة‬menurut Abu Hanifah hanya
menganti dari segi bahasanya saja, sedangkan lafadz ‫هشششذا اسشششد‬
menurutnya adalah hewan yang terkenal mempunyai sifat berani. Para
ulama’ berpendapat bahwa pergantian itu adalah pada hukum atau
maknanya juga, bukan hanya pada lafadz atau maknanya saja,
sebagaimana lafadz diatas yng menunjukkan konsistensi sifat harimau
yang berani.

E. Penyebab tidak Berlakunya Hakikat


Pada dasaranya kata yang digunakan dalam percakapan adalah
hakikat dan tidak boleh beralih kepada majaz kecuali bila ada qarinah.

4 Arifin Miftahul, Ushul Fiqih : Kaidah-kaidah Pentapan Hukum Islam,(Surabaya: Citra


Media,1997),hlm.175

5
Namun dalam beberapa hal tidak digunakan kata bermakna hakikat
sebagaimana berikut.
1. Adanya petunjuk penggunaan secara urfi dala penggunaan
lafadz yang menghendaki meninggalkan makna hakikat semisal
kata sholat yang berarti doa. Pada kenyataannya , secara urfi
kata tersebut tidak digunakan sesuai dengan makna hakikatnya,
yaitu sebagai doa, melainkan merupakan serangkaian perbuatan
yang berbentuk ibadah tertentu.
2. Adanya petujuk lafadz, seumpama kata daging yang pada
hakikatnya mencakup seluruh daging. Namun, kata daging
dengan makna hakikat tersebut tidak lagi digunakan, yng mana
mengecualikan daging ikan dan belalang, dan sehingga
keduanya tidak lagi disebut daging.
3. Adanya petunjuk berupa aturan dalam pengungkapan suatu
ucapan, sehingga meskipn diucapkan dengan cara lain
walaupun dalam bentuk hakikatnya, harus dikembalikan
kepada aturan yang ada walaupun berada diluar hakikatnya.
Seperti firman Allah pada surata alkahfi ayat 29,
(‫فمن شاء فليؤمن ومن شاء فليكفر انا اعتدنا للضالمين نارا )النساء‬
Secara hakikat ayat tersebut memberikan pilihan untuk beriman
ataupun kafir, namun dengan adanya kalimat ancaman pada
kalimat terakhir tersebut, maka kalimat tidak lagi dipahami
secara hakikat, melainkankan dengan arti lain yaitu keharusan
beriman kepada Allah.
4. adanya petunjuk tentang tempat atau sasaran pembicaraan.
Dalam beberapa kondisi, terdapat petunjuk tempat yang
menghalangi pemahaman secara hakikat. Umpamanya firman
Allah pada ayat berikut
(19:‫وما يستوي العمي والبصير )الفطير‬
Ketidasamaan pada kalimat tersebut pada hakikatnya
menyangkut semua hal, namunjika diperhatikan arah
pembicaraan ayat diatas, maka ia hanya berlaku untuk hal-hal
yang ada kaitannya dengan penglihatan. Berarti pada hal
tersebut pemahaman secara hakikat menjadi terhalanngi

6
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Secara etimologi, hakikat merupakan dari kata haqqa yang
berarti tetap. Berarti ditetapkan Pengertian Hakikat adalah suatu
lafas yang digunakan menurut asalnya untuk maksud tertentu.

Untuk itu, pentinglah kiranya melakukan verifikasi apakah


pembicara menggunakan makna majaz atau hakikat sehingga
jelaslah perbedaan keduanya.
Dalam mengatahui majaz dan hakikat dapat dilakukan dengan
dua cara; normativitas teks atau istidlāl.
Keterkaitan-keterkaitan yang menjadi syarat penggunaan
Hakikat dan Majaz seperti: Adanya keserupaan, menamakan atau
memaknai suatu lafad sesuai, menamakan sesuatu sesuai dengan
takwil, menamakan atau memaknai sesuatu sesuai dengan

7
kekuatan, menjelaskan maksud suatu keadaan dengan
menyebutkan tempatnya, dan menyebutkan sebab dari suatu hal.

DAFTAR PUSTAKA
Syarifudin, Amir. 2011. Ushul Fiqih. Jilid 2, Cet. 6.Jakatra:
Kencana
Miftahul, Arufin.1997. Ushul Fiqih : Kaidah-kaidah Pentapan
Hukum Islam, Cet. I.Surabaya: Citra Media
Effendi, Satria. 2008. Ushul Fiqih. Jakarta: Kencana

Anda mungkin juga menyukai