Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

QAWA’ID USHUL FIQH WA TATHBIQATUH DALAM


RUANG LINGKUP ‫منطوق‬

DI
S
U
S
U
N

OLEH
ZIKRA MUKHLIS
ZULFIKRI
T.M RISKI MAHENDRA

MA’HAD ALY MUDI MESJID RAYA SAMALANGA


KABUPATEN BIREUEN
1444 H/2023
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ...............................................................................


A. Latar Belakang .....................................................................................
B. Rumusan Masalah ................................................................................
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................

A. Klasifikasi kaidah-kaidah Ushul dalam Ruang lingkup ‫ منطوق‬.......


B. Implementasi Kaidah dalam Kasus-kasus Klasik atau Modern ...........

BAB III PENUTUP ........................................................................................


A. Kesimpulan ..........................................................................................
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................

i
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Ushūl fiqh merupakan suatu disiplin ilmu yang mengkaji secara khusus

dalam menggali hukum-hukum Allah dari ayat Al-Qur’an dan hadis. Dalam kajian

ushūl fiqh setidaknya ada 3 hal yang sangat urgen dalam pengkajiannya,

diantaranya: dalil-dalil fiqh, metode dalam memahami bagian-bagian fiqh dan

kriteria mujtahid. Bahkan ini juga sudah menjadi definisi dasar dalam bidang ilmu

ushūl.

Ilmu ushūl menjadi ilmu yang sangat banyak dikenal dengan yang pertama

sekali mengarangnya ialah imam al-Syāfi’ī dengan judul kitab al-Risālah.

Kemudian dilanjutkan dengan karangan-karangan ulama lainnya yang menjadi

pecahan dari kitab al-Risālah seperti, Ghāyah al-Ushūl, al-Nufahat serta masih

banyak lagi. Dari banyaknya kitab ilmu ushūl ini pembahasannya tidak terlepas dari

3 hal sebelumnya, walau dalam banyak kitab tersebut memiliki kaidah-kaidah ushūl

yang terkadang diuraikan secara Panjang lebar. Dan juga pembahasan ilmu ushūl

mempunyai banyak bagiannya mulai dari pembagian khitābullah, amar, nahi, dan

lainnya.

Temasuk salah satu kajian dalam ilmu ūshul adalah al-manthūq yang juga

menjadi bagian yang sangat penting dalam memahami makna Al-Qur’an maupun

hadis. Namun, manthūq baru dapat diaplikasikan sebagai salah satu metode dalam

memahami makna Al-Qur’an dan hadis perlulah memahami makna serta

kandungan manthūq itu sendiri serta bisa mengerti perihal kaidah-kaidah ushūl

1
yang berhubungan dengannya agar dapat di implementasikan dalam kasus-kasus

yang klasik maupun modern. Dari ini untuk lebih spesifik lagi pemahaman terhadap

manthūq maka penulis akan mengkaji perihal qawā’id ushūl wa tathbiqatuh dalam

ruang lingkup manthūq.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana klasifikasi kaidah ushūl dalam ruang lingkup manthūq.

2. Bagaimana Implementasi kaidah Manthūq dalam kasus-kasus klasik atau

modern.

2
BAB II

PEMBASAHAN

A. Klasifikasi Ushul Fiqh dalam Ruang lingkup Manthūq

1. Pengertian Manthūq

Manthūq merupakan salah satu objek pembahasan dalam ilmu ushūl dalam

memahami makna dan kandungan Al-Qur’an maupun hadis, sehingga pembahasan

tentang manthūq juga sangat rinci disebutkan dalam kitab-kitab ushūl baik secara

definitif maupun implementasinya dalam memahami makna dan kandungan Al-

Qur’an dan hadis berdasarkan metode yang sudah di terapkan dalam kitab-kitab

ushūl fiqh.

Adapun definisi manthūq secara etimologi adalah kandungan makna yang

dipahami secara langsung melalui lafaz pada penuturannya1. Dalam kitab al-

muhazzab fi ilm al-ushūl fiqh al-muqāran juga disebutkan bahwa manthūq secara

bahasa adalah )‫به‬ ‫ )الملفوظ‬kandungan makna yang yang dihasilkan dari lafaz iru

sendiri.2 Sedangkan secara terminologi manthūq merupakan makna yang dpahami

dari lafaz berdasarkan penuturannya3.

Dalam redaksi kitab syarh al-‘Adhud juga disebutkan definisi dari manthūq

berupa pemahaman yang dihasilkan melalui lafaz berdasarkan penuturannya

(tersurat)4. Berbeda halnya dengan mafhūm yang sebalik dari manthūq dari segi

1
Syihāb al-Dīn Ahmad bin Ismāīl al-Kaurāni, al-Durar al-Lawāmi’ fi Syarh Jam’u al-
Jawāmi, Jld 1, (Madinah: Jami’ah al-Islamiyah, 2008), h. 431.
2
Abd al-Karīm bin ‘Ali bin Muhammad al-Namlah, al-Muhazzab fi Ilm al-Ushūl Fiqh al-
Muqāran, Jld 4, Cet 1, ( Riyādh: Maktabah al-Rusyd, 1999), h. 1721.
3
Syihāb al-Dīn Ahmad bin Ismāīl al-Kaurāni, al-Durar al-Lawāmi’ fi Syarh Jam’u al-
Jawāmi, Jld 1, ..... h. 431.
4
‘Adhud al-Dīn Abd al-Rahman al-īzy, Syarh ‘ala Muhtashar al-Muntahal al-Ushūl, Jld 3,
Cet 1, (Lebanon: Dār al-Kutub al-Ilmiah, 2004), h. 157.

3
pemahaman terhadap kandungan dari lafaz tersebut tidak secara tersurat tetap

makna yang tersirat dari lafaz tersebut.5

Menurut redaksi kitab jam’u al-Jawami’ Manthūq merupakan suatu

pemahaman makna atau kandungan dari suatu lafaz yang dipahami secara langsung

dari lafaz itu. Namun, dalam Istilah Manthūq ini bila lafaz tersebut menunjukan

kepada suatu makna yang tidak berkemungkinan bisa dialokasikan kepada makna

yang lain ini disebut dengan manthūq dhzahir. Hal ini di contohkan seperti kata

)‫ )زيد‬yang ditujukan kepada makna dzat dari zaid itu sendiri. Sedangkan bila bisa

dialokasikan kepada makna selainnya disebut dengan marjūh seperti pemakaian

kata )‫ (اسد‬kepada 2 makna yaitu kepada dzat yang pemberani dan kepada hewan

buas.6

Dari 2 redaksi diatas definisi manthūq tidak jauh berbeda. Namun maksud

dari pemahamannya yang dipahami dari lafaz secara tersurat ialah hukum langsung

dipahami berdasarkan penuturan lafaz itu sendiri. Sedangkan pemahaman pada

mafhūm dimengerti melalui lafaz namun hukumnya tidak dipahami sesuai dengan

lafaz tersurat tersebut. Namun, dipahami dengan kandungan yang lain baik sesuai

dengan lafaz itu sendiri atau berbeda.7

B. Pembagian Manthūq

Berdasarkan definisi yang telah disebutkan sebelumnya manthūq terbagi

menjadi 2 bagian yaitu, Manthūq Sharīh dan manthuq gair al-Sharīh. Definisi

5
Adhud al-Dīn Abd al-Rahman al-īzy, Syarh ‘ala Muhtashar al-Muntahal al-Ushūl, Jld 3,
Cet 1, .......,h. 157.
6
Tajj al-Din al-Subki, Hāsyiah al-Banānī ‘ala Syarh Matan Jam’u al-Jawāmi’, Jld 1,
(Lebanon, Dār al-Kutub Ilmiah, 1971), h. 379.
7
‘Adhud al-Dīn Abd al-Rahman al-īzy, Syarh ‘ala Muhtashar al-Muntahal al-Ushūl, Jld 3,
Cet 1, .......,h. 157.

4
kedua pembagian manthūq tersebut ialah

1. Manthūq sharīh merupakan lafaz yang ditetapkan terhadap makna

tersebut. Dalam arti lafaz tersebut mengarah kepada makna sesuai

dengan wadha’nya atau penetepan lafaz terhadap makna tersebut.

Manthuq model ini terbagi menjadi 2 yaitu: muthābaqah dan

tadhammun. Manthūq model ini disebutkan oleh ulama Hanafi dengan

sebutan ‘ibārah al-nash.8

2. Manthūq gair al-Sharīh merupakan lafaz tidak diwadha’ kan untuk

makna tersebut tetapi dipahami melalui lazim lafaz terhadap makna atau

pun dalālah lafadz terhadap hukum melalui jalur iltizām, hal ini

dikarenakan lafaz tersebut tidak bisa terlepas bagi makna atau hukum

tersebut. Maka bisa disimpulkan lafaz disini tidak diciptakan bukan

untuk hukum namun, hukum pada lafaz melazimi bagi makna yang

diciptakan lafaz tersebut untuk makna tersebut.9

Adapun contoh dari manthūq sharīh ialah firman Allah dalam Al-Qur’an

surah al-Baqarah.

ِّ ‫وحَّرَم‬
‫الرب‬ َ ‫اَّللُ البَ ْي َع‬
َّ ‫أح َّل‬
َ‫و‬
Artinya: dan Allah halalkan jual beli dan haram riba.10 (Al-Baqarah [2]: 275).

Dari ayat ini secara langsung dipahami bahwa hukum terhadap jual beli

adalah halal dan haram terhadap riba. Hal ini langsung dipahami melalui lafaz ayat

8
Abd al-Karīm bin ‘Ali bin Muhammad al-Namlah, al-Muhazzab fi Ilm al-Ushūl Fiqh al-
Muqāran, Jld 4, Cet 1, ……, h. 1722.
9
Abd al-Karīm bin ‘Ali bin Muhammad al-Namlah, al-Muhazzab fi Ilm al-Ushūl Fiqh al-
Muqāran, Jld 4, Cet 1, ……, h. 1722
10

5
tersebut secara tersurat tidak secara tersirat. Manthūq ini digolongkan kepada

manthūq sharīh karena hukum yang dipahami dari lafaz tersebut sesuai dengan

penetapan lafaz tersebut terhadap maknanya.

Sedangkan contoh manthūq gair al-Sharīh ialah firman Allah SWT dalam

Al-Qur’an

‫وعلى املولود له رزقهن وكسوهتن بملعروف‬


Artinya: Dan kewajiban ayah adalah menanggung nafkah dan pakaian mereka
secara patut. (Al-Baqarah [2]: 233).

Ayat ini secara manthūq sharīhnya memiliki makna bahwa nafkah tersebut

merupakan kewajiban seorang ayah terhadap anak istrinya. Namun, bila dipahami

secara lazim dari ayat maka makna dari ayat adalah kewajiban nafkah terhadap

keturunan bagi ayah bukan ibu dan kewajiban nafkah anak juga dibebankan

terhadap ayah bukan kepada ibu. Pemahaman ini dipahami melalui lazim ayat

diatas yang diistilahkan dengan manthūq gair al-sharīh bi iltizām. Dari ini juga bisa

dipahami bahwa manthūq sharīh tersebut memiliki pembagiannya, yaitu terdapat 3

pembagian: Muthābaqah, tadhammun, iltizām.

Sedangkan manthūq gair shārih atau diistilahkan juga dengan iltizām juga

memiliki pembagian yaitu dalālah al-Iqtidhā’, dalālah al-īma’, dan dalālah al-

isyārah.11 Ketiga pembagian ini merupakan cabang dari pembagian yang ketika dari

pada 3 pembagian manthūq ditinjau dari kandungan maknanya yaitu: Muthabaqah,

Tadhammun, iltizām.

11
Abd al-Karīm bin ‘Ali bin Muhammad al-Namlah, al-Muhazzab fi Ilm al-Ushūl Fiqh al-
Muqāran, Jld 4, Cet 1, ……, h. 1724.

6
Ulama Ushūl fiqh juga membagi manthūq dalam 3 kategori: Nash, dzahir

dan Muawwal. Berikut ini penjelasannya:

1. Nash

Nash adalah teks-teks Al-Qur’an atau hadis yang hanya mengandung satu

makna dan tidak mengandung makna yang lain selain makna tersebut. Contohnya

kata ‫ ثالثة ايام‬pada firman Allah:

ٌ‫ك َع َشَرةٌ َك ِّاملَة‬ ِّ


َ ْ‫ام ثَ ٰلثَِّة اَََّّيٍم ِِّف ا ْْلَ ِّج َو َسْب َع ٍة اذَا َر َج ْعتُ ْم ۗ تِّل‬ ِّ ِّ
ُ َ‫فَ َم ْن ََّّلْ ََي ْد فَصي‬
Artinya: jika tidak mendapatkannya, dia (wajib) berpuasa tiga hari dalam (masa)
haji dan tujuh (hari) setelah kamu kembali. Itulah sepuluh hari yang
sempurna. (Al-Baqarah [2]: 196)
Lafaz tsalasati ayyamin dalam ayat tersebut hanya mengandung satu

makna, yaitu puasa tiga hari pada saat haji sebagai pengganti dam tamatu’. Begitu

juga sab’atin idza raja’tum, kalimat ini juga mengandung satu makna, yaitu puasa

tujuh hari ketika kembali ketempat tinggalnya. Hal ini menandakan sesuainya

pernyataan dengan definisi yang diterapkan dalam manthūq.

2. Zahir

Lafaz yang menunjukkan dua makna tetapi makna yang di di kehendaki

adalah makna yang lebih unggul. Misalnya:

‫ارقَةُ فَاقْطَعُْْٓوا اَيْ ِّديَ ُه َما‬


ِّ ‫الس‬ ِّ ‫الس‬
َّ ‫ار ُق َو‬ َّ ‫َو‬
Artinya: “Laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya.
(Al-Ma’idah/5:38)

Aydiyahuma dalam ayat di atas memiliki dua makna, yaitu tangan (makna

hakikat) dan kemampuan untuk mencuri (makna majaz). Namun aydiyahuma

7
dalam ayat tersebut makna yang di ambil makna tangan bukan kekuasaan, karena

dalam tersebut tidak ada qarinah yang menunjukkan kepada kemapuan.

3. Muawwal

Muawwal adalah teks-teks Al-Qur’an/hadis yang mengunakan makna

majaznya bukan makna hakikatnya. Hal ini di lakukan jika menggunakan makna

hakikatnya sudah tidak mungkin lagi atau bertentangan dengan aqidah atau

bertentangan dengan kaidah-kaidah yang berlaku universal. Misalnya:

‫يَ ُد ٰاَّللِّ فَ ْو َق اَيْ ِّديْ ِّه ْم‬


Artinya: “Tangan Allah di atas tangan mereka. (Al-Fath: 10)

Lafaz yadullah dalam ayat tersebut tidak menggunakan makna hakikatnya

(tangan), tetapi menggunakan makna majaznya. Dalam hal ini ulama’ ada yang

memaknainya dengan kekuasaan Allah ada juga yang menafsirinya dengan

pengawasan Allah.

B. Implementasi Implementasi kaidah Manthūq dalam kasus-kasus klasik

atau modern.

Manthūq pada pembahasan sebelumnya sudah dirincikan dengan secara

signifikan dalam beberapa redaksi kitab berupa pemahaman yang diambil melalui

nuthqu (penuturan) dari lafaz itu sendiri. Pembahasan manthūq termasuk salah satu

materi yang sangat urgen untuk dibahas karena untuk bisa memahami makna yang

lain terlebih dahulu mengerti makna manthūq dari suatu lafaz.

Dari itu sebagaimana sebelumnya sudah kita mengerti bahwa Manthūq

terdiri dari beberapa bagian yang dapat diterapkan dalam setiap kasus-kasus, serta

dipahami berdasarkan dalalah dari lafaz tersebut, diantaranya:

8
1. Dalālah Mutābaqah’

Dalālah muthābaqah merupakan pemahaman dari lafaz tersebut sesuai

dengan makna Hakikatnya.12 Adapun contohnya sesuai seperti ayat Al-Qur’an:

‫ص ََل ِّهتِّ ْم ٰخ ِّشعُ ْو َن‬ ِّ ِّ


ْ ِّ ‫قَ ْد اَفْ لَ َح الْ ُم ْؤمنُ ْو َن ۙ الَّذيْ َن ُه ْم‬
َ ‫ِف‬
Artinya: Sungguh, beruntunglah orang-orang mukmin. (Yaitu) orang-orang yang
khusyuk dalam salatnya. (Al-Mu’minun[23]: 1-2)

Dalam ayat ini memiliki pemahaman kandungan makna yang sama dengan

teks ayat yang disebutkan.

2. Dalālah Tadhammun

Dalālah Tadhammun merupakan pemahaman dari lafaz tersebut hanya pada

bagian dari makna hakikat.

3. Dalālah ilatizām

Dalālah iltizām merupakan pemahaman lafaz hanya dari makna yang

mempunyai hubungan dengan kandungan makna dasarnya, baik hubungannya

secara kharij atau pun tidak. Dalālah iltizām mempunyai bagiannya tersendiri,

yaitu:

a) Iqtidhā’

13 ‫ان توفق الصدق أو الصحة على إضمار فداللة االقتضاء‬


Dalalah Iqtidha’ merupakan suatu dalālah manthūq yang untuk bisa

memahami maknanya membutuhkan kepada makna (Idhmār) makna yang

12
Tajj al-Din al-Subki, Hāsyiah al-Banānī ‘ala Syarh Matan Jam’u al-Jawāmi’, Jld 1...h.
379.
13
Tajj al-Din al-Subki, Hāsyiah al-Banānī ‘ala Syarh Matan Jam’u al-Jawāmi’, Jld 1...h.
379.

9
tersembunyi.14 Salah satu contohnya yang sangat familiar adalah hadis Rasulullah

SAW:

15 ‫رفع عن أمىت اخلطأ والنسيان‬


Artinya: Dihilangkan dari pada ummatku salah dan lupa.
Deskripsi dari hadis ini tidak bisa dipahami secara manthūqnya bila tidak

ditakdirkan makna yang lain. Artinya salah pemahamn dari pada hadis bila

dipahami secara manthūqnya, namun dalam memahaminya butuh kepada

kandungan makna lain yaitu Muakhadzah (siksa), maka secara manthūq makna

hadis disini adalah dihapuskan siksa terhadap umatku bila salah dan lupa. Adapun

bentuk lazim yang terjadi pada hadis tersebut ialah sudah semestinya ketika lupa

dan salah itu dihilangkan secara otimatis siksa juga dihapus.

b) Isyārah

Dalālah Isyārah adalah sebalik dari dalālah iqtidhā’, berupa bila untuk

benar dan sahnya pada manthūq tidak membutuhkan makna lain tapi lafaz tersebut

bisa dialokasikan kepada makna yang menjadi objek dari manthūq lafaz tersebut.

Hal ini dicontohkan seperti firman Allah Swt:


ۤ
ۗ ‫ث اِّ ٰٰل نِّ َسا ِٕى ُك ْم‬ ِّ َ‫اُ ِّح َّل لَ ُكم لَي لَة‬
َّ ‫الصيَ ِّام‬
ُ َ‫الرف‬ ْ ْ
Artinya: Dihalalkan bagimu pada malam puasa bercampur dengan istrimu. (Al-
Baqarah[2]: 187)
Ayat ini secara manthūqnya hanya menunjukan halal bagi suami untuk

menggauli istri dimalam hari malam bulan Ramadhan. Namun, lafaz ini bisa

ditunjukan kepada maksud lain yaitu sah puasa seseorang dalam keadaan bernujub.

14
Tajj al-Din al-Subki, Hāsyiah al-Banānī ‘ala Syarh Matan Jam’u al-Jawāmi’, Jld 1,
(Lebanon, Dār al-Kutub Ilmiah, 1971), h. 379.
15
Ali bin Muhammad al-Amudy, Al-Ihkām fi Ushūl al-Ahkām, Jld 3, Cet 3, (Damaskus:
Beirūt Maktabah al-Islāmi), h. 15.

10
Hal terpahami kepada terbenarnya berhubungan suami istri menjelang subuh dan

tidak sempat untuk mandi.

c) Imā’

Dilalah ima’ adalah teks yang di barengi lafaz tertentu, yang seandainya

lafaz tersebut bukan sebab dari ketentuan teks ayat/hadis maka penyebutannya tidak

akan bermakna. Hal tersebut mustahil terjadi dalam firman Allah Swt. atau hadis

Rasullah Saw. Misalnya:

‫ا َّن ْاالَبْ َر َار لَِّف ْي نَعِّْي ٍۙم‬


Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang berbakti benar-benar berada dalam
(surga yang penuh) kenikmatan, (Al-Infitar/82:13)
Ayat ini dalam narasi teksnya hanya berbicara tentang seseorang yang

berbuat kebajikan akan berada dalam kenikmatan, tetapi hal ini memberi peringatan

bagi manusia hal tersebut tidak mungkin terjadi tanpa di dahului amal-amal yang

di buat manusia.

Adapun mengenai penerapannya dalam kasus-kasus modern harus

menyesuaikan dengan ayat atau hadis yang mempunyai nilai relevansi dengan

kasus baru yang terjadi di era sekarang.

11
BAB III

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang sudah disebutkan secara rinci disini penulis akan

mengambil beberapa kesimpulan:

1. Manthūq merupakan salah satu metode istinbath yang diterapkan oleh

ulama Ushul untuk memahami ayat dan hadis. Metode pemahaman

melalui manthuq ialah metode memahami ayat dan hadis sesuai dengan

teks ayat dan hadis itu sendiri. Manthuq terbagi dalam beberapa rincian,

diantaranya:manthuq nash, dzahir, dan muawal serta manthuq memiliki

dalalahnya masing-masing.

2. Dalam penerapanya terhadap kasus-kasus terdahulu dan yang sekarang

juga tidak terlepas dari konsep-konsep dalam metode manthuq untuk

memahami ayat dan hadis.

12
DAFTAR PUSTAKA

‘Adhud al-Dīn Abd al-Rahman al-īzy, Syarh ‘ala Muhtashar al-Muntahal al-Ushūl,
Jld 3, Cet 1, Lebanon: Dār al-Kutub al-Ilmiah, 2004

Abd al-Karīm bin ‘Ali bin Muhammad al-Namlah, al-Muhazzab fi Ilm al-Ushūl
Fiqh al-Muqāran, Jld 4, Cet 1, Riyādh: Maktabah al-Rusyd, 1999

Ali bin Muhammad al-Amudy, Al-Ihkām fi Ushūl al-Ahkām, Jld 3, Cet 3,


Damaskus: Beirūt Maktabah al-Islāmi

Syihāb al-Dīn Ahmad bin Ismāīl al-Kaurāni, al-Durar al-Lawāmi’ fi Syarh Jam’u
al-Jawāmi, Jld 1, Madinah: Jami’ah al-Islamiyah, 2008

Tajj al-Din al-Subki, Hāsyiah al-Banānī ‘ala Syarh Matan Jam’u al-Jawāmi’, Jld
1, Lebanon, Dār al-Kutub Ilmiah, 1971

13

Anda mungkin juga menyukai