DI
S
U
S
U
N
OLEH
ZIKRA MUKHLIS
ZULFIKRI
T.M RISKI MAHENDRA
i
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Ushūl fiqh merupakan suatu disiplin ilmu yang mengkaji secara khusus
dalam menggali hukum-hukum Allah dari ayat Al-Qur’an dan hadis. Dalam kajian
ushūl fiqh setidaknya ada 3 hal yang sangat urgen dalam pengkajiannya,
kriteria mujtahid. Bahkan ini juga sudah menjadi definisi dasar dalam bidang ilmu
ushūl.
Ilmu ushūl menjadi ilmu yang sangat banyak dikenal dengan yang pertama
pecahan dari kitab al-Risālah seperti, Ghāyah al-Ushūl, al-Nufahat serta masih
banyak lagi. Dari banyaknya kitab ilmu ushūl ini pembahasannya tidak terlepas dari
3 hal sebelumnya, walau dalam banyak kitab tersebut memiliki kaidah-kaidah ushūl
yang terkadang diuraikan secara Panjang lebar. Dan juga pembahasan ilmu ushūl
mempunyai banyak bagiannya mulai dari pembagian khitābullah, amar, nahi, dan
lainnya.
Temasuk salah satu kajian dalam ilmu ūshul adalah al-manthūq yang juga
menjadi bagian yang sangat penting dalam memahami makna Al-Qur’an maupun
hadis. Namun, manthūq baru dapat diaplikasikan sebagai salah satu metode dalam
kandungan manthūq itu sendiri serta bisa mengerti perihal kaidah-kaidah ushūl
1
yang berhubungan dengannya agar dapat di implementasikan dalam kasus-kasus
yang klasik maupun modern. Dari ini untuk lebih spesifik lagi pemahaman terhadap
manthūq maka penulis akan mengkaji perihal qawā’id ushūl wa tathbiqatuh dalam
B. Rumusan Masalah
modern.
2
BAB II
PEMBASAHAN
1. Pengertian Manthūq
Manthūq merupakan salah satu objek pembahasan dalam ilmu ushūl dalam
tentang manthūq juga sangat rinci disebutkan dalam kitab-kitab ushūl baik secara
Qur’an dan hadis berdasarkan metode yang sudah di terapkan dalam kitab-kitab
ushūl fiqh.
dipahami secara langsung melalui lafaz pada penuturannya1. Dalam kitab al-
muhazzab fi ilm al-ushūl fiqh al-muqāran juga disebutkan bahwa manthūq secara
bahasa adalah )به )الملفوظkandungan makna yang yang dihasilkan dari lafaz iru
Dalam redaksi kitab syarh al-‘Adhud juga disebutkan definisi dari manthūq
(tersurat)4. Berbeda halnya dengan mafhūm yang sebalik dari manthūq dari segi
1
Syihāb al-Dīn Ahmad bin Ismāīl al-Kaurāni, al-Durar al-Lawāmi’ fi Syarh Jam’u al-
Jawāmi, Jld 1, (Madinah: Jami’ah al-Islamiyah, 2008), h. 431.
2
Abd al-Karīm bin ‘Ali bin Muhammad al-Namlah, al-Muhazzab fi Ilm al-Ushūl Fiqh al-
Muqāran, Jld 4, Cet 1, ( Riyādh: Maktabah al-Rusyd, 1999), h. 1721.
3
Syihāb al-Dīn Ahmad bin Ismāīl al-Kaurāni, al-Durar al-Lawāmi’ fi Syarh Jam’u al-
Jawāmi, Jld 1, ..... h. 431.
4
‘Adhud al-Dīn Abd al-Rahman al-īzy, Syarh ‘ala Muhtashar al-Muntahal al-Ushūl, Jld 3,
Cet 1, (Lebanon: Dār al-Kutub al-Ilmiah, 2004), h. 157.
3
pemahaman terhadap kandungan dari lafaz tersebut tidak secara tersurat tetap
pemahaman makna atau kandungan dari suatu lafaz yang dipahami secara langsung
dari lafaz itu. Namun, dalam Istilah Manthūq ini bila lafaz tersebut menunjukan
kepada suatu makna yang tidak berkemungkinan bisa dialokasikan kepada makna
yang lain ini disebut dengan manthūq dhzahir. Hal ini di contohkan seperti kata
) )زيدyang ditujukan kepada makna dzat dari zaid itu sendiri. Sedangkan bila bisa
kata ) (اسدkepada 2 makna yaitu kepada dzat yang pemberani dan kepada hewan
buas.6
Dari 2 redaksi diatas definisi manthūq tidak jauh berbeda. Namun maksud
dari pemahamannya yang dipahami dari lafaz secara tersurat ialah hukum langsung
mafhūm dimengerti melalui lafaz namun hukumnya tidak dipahami sesuai dengan
lafaz tersurat tersebut. Namun, dipahami dengan kandungan yang lain baik sesuai
B. Pembagian Manthūq
menjadi 2 bagian yaitu, Manthūq Sharīh dan manthuq gair al-Sharīh. Definisi
5
Adhud al-Dīn Abd al-Rahman al-īzy, Syarh ‘ala Muhtashar al-Muntahal al-Ushūl, Jld 3,
Cet 1, .......,h. 157.
6
Tajj al-Din al-Subki, Hāsyiah al-Banānī ‘ala Syarh Matan Jam’u al-Jawāmi’, Jld 1,
(Lebanon, Dār al-Kutub Ilmiah, 1971), h. 379.
7
‘Adhud al-Dīn Abd al-Rahman al-īzy, Syarh ‘ala Muhtashar al-Muntahal al-Ushūl, Jld 3,
Cet 1, .......,h. 157.
4
kedua pembagian manthūq tersebut ialah
makna tersebut tetapi dipahami melalui lazim lafaz terhadap makna atau
pun dalālah lafadz terhadap hukum melalui jalur iltizām, hal ini
dikarenakan lafaz tersebut tidak bisa terlepas bagi makna atau hukum
untuk hukum namun, hukum pada lafaz melazimi bagi makna yang
Adapun contoh dari manthūq sharīh ialah firman Allah dalam Al-Qur’an
surah al-Baqarah.
ِّ وحَّرَم
الرب َ اَّللُ البَ ْي َع
َّ أح َّل
َو
Artinya: dan Allah halalkan jual beli dan haram riba.10 (Al-Baqarah [2]: 275).
Dari ayat ini secara langsung dipahami bahwa hukum terhadap jual beli
adalah halal dan haram terhadap riba. Hal ini langsung dipahami melalui lafaz ayat
8
Abd al-Karīm bin ‘Ali bin Muhammad al-Namlah, al-Muhazzab fi Ilm al-Ushūl Fiqh al-
Muqāran, Jld 4, Cet 1, ……, h. 1722.
9
Abd al-Karīm bin ‘Ali bin Muhammad al-Namlah, al-Muhazzab fi Ilm al-Ushūl Fiqh al-
Muqāran, Jld 4, Cet 1, ……, h. 1722
10
5
tersebut secara tersurat tidak secara tersirat. Manthūq ini digolongkan kepada
manthūq sharīh karena hukum yang dipahami dari lafaz tersebut sesuai dengan
Sedangkan contoh manthūq gair al-Sharīh ialah firman Allah SWT dalam
Al-Qur’an
Ayat ini secara manthūq sharīhnya memiliki makna bahwa nafkah tersebut
merupakan kewajiban seorang ayah terhadap anak istrinya. Namun, bila dipahami
secara lazim dari ayat maka makna dari ayat adalah kewajiban nafkah terhadap
keturunan bagi ayah bukan ibu dan kewajiban nafkah anak juga dibebankan
terhadap ayah bukan kepada ibu. Pemahaman ini dipahami melalui lazim ayat
diatas yang diistilahkan dengan manthūq gair al-sharīh bi iltizām. Dari ini juga bisa
Sedangkan manthūq gair shārih atau diistilahkan juga dengan iltizām juga
memiliki pembagian yaitu dalālah al-Iqtidhā’, dalālah al-īma’, dan dalālah al-
isyārah.11 Ketiga pembagian ini merupakan cabang dari pembagian yang ketika dari
Tadhammun, iltizām.
11
Abd al-Karīm bin ‘Ali bin Muhammad al-Namlah, al-Muhazzab fi Ilm al-Ushūl Fiqh al-
Muqāran, Jld 4, Cet 1, ……, h. 1724.
6
Ulama Ushūl fiqh juga membagi manthūq dalam 3 kategori: Nash, dzahir
1. Nash
Nash adalah teks-teks Al-Qur’an atau hadis yang hanya mengandung satu
makna dan tidak mengandung makna yang lain selain makna tersebut. Contohnya
makna, yaitu puasa tiga hari pada saat haji sebagai pengganti dam tamatu’. Begitu
juga sab’atin idza raja’tum, kalimat ini juga mengandung satu makna, yaitu puasa
tujuh hari ketika kembali ketempat tinggalnya. Hal ini menandakan sesuainya
2. Zahir
Aydiyahuma dalam ayat di atas memiliki dua makna, yaitu tangan (makna
7
dalam ayat tersebut makna yang di ambil makna tangan bukan kekuasaan, karena
3. Muawwal
majaznya bukan makna hakikatnya. Hal ini di lakukan jika menggunakan makna
hakikatnya sudah tidak mungkin lagi atau bertentangan dengan aqidah atau
(tangan), tetapi menggunakan makna majaznya. Dalam hal ini ulama’ ada yang
pengawasan Allah.
atau modern.
signifikan dalam beberapa redaksi kitab berupa pemahaman yang diambil melalui
nuthqu (penuturan) dari lafaz itu sendiri. Pembahasan manthūq termasuk salah satu
materi yang sangat urgen untuk dibahas karena untuk bisa memahami makna yang
terdiri dari beberapa bagian yang dapat diterapkan dalam setiap kasus-kasus, serta
8
1. Dalālah Mutābaqah’
Dalam ayat ini memiliki pemahaman kandungan makna yang sama dengan
2. Dalālah Tadhammun
3. Dalālah ilatizām
secara kharij atau pun tidak. Dalālah iltizām mempunyai bagiannya tersendiri,
yaitu:
a) Iqtidhā’
12
Tajj al-Din al-Subki, Hāsyiah al-Banānī ‘ala Syarh Matan Jam’u al-Jawāmi’, Jld 1...h.
379.
13
Tajj al-Din al-Subki, Hāsyiah al-Banānī ‘ala Syarh Matan Jam’u al-Jawāmi’, Jld 1...h.
379.
9
tersembunyi.14 Salah satu contohnya yang sangat familiar adalah hadis Rasulullah
SAW:
ditakdirkan makna yang lain. Artinya salah pemahamn dari pada hadis bila
kandungan makna lain yaitu Muakhadzah (siksa), maka secara manthūq makna
hadis disini adalah dihapuskan siksa terhadap umatku bila salah dan lupa. Adapun
bentuk lazim yang terjadi pada hadis tersebut ialah sudah semestinya ketika lupa
b) Isyārah
Dalālah Isyārah adalah sebalik dari dalālah iqtidhā’, berupa bila untuk
benar dan sahnya pada manthūq tidak membutuhkan makna lain tapi lafaz tersebut
bisa dialokasikan kepada makna yang menjadi objek dari manthūq lafaz tersebut.
menggauli istri dimalam hari malam bulan Ramadhan. Namun, lafaz ini bisa
ditunjukan kepada maksud lain yaitu sah puasa seseorang dalam keadaan bernujub.
14
Tajj al-Din al-Subki, Hāsyiah al-Banānī ‘ala Syarh Matan Jam’u al-Jawāmi’, Jld 1,
(Lebanon, Dār al-Kutub Ilmiah, 1971), h. 379.
15
Ali bin Muhammad al-Amudy, Al-Ihkām fi Ushūl al-Ahkām, Jld 3, Cet 3, (Damaskus:
Beirūt Maktabah al-Islāmi), h. 15.
10
Hal terpahami kepada terbenarnya berhubungan suami istri menjelang subuh dan
c) Imā’
Dilalah ima’ adalah teks yang di barengi lafaz tertentu, yang seandainya
lafaz tersebut bukan sebab dari ketentuan teks ayat/hadis maka penyebutannya tidak
akan bermakna. Hal tersebut mustahil terjadi dalam firman Allah Swt. atau hadis
berbuat kebajikan akan berada dalam kenikmatan, tetapi hal ini memberi peringatan
bagi manusia hal tersebut tidak mungkin terjadi tanpa di dahului amal-amal yang
di buat manusia.
menyesuaikan dengan ayat atau hadis yang mempunyai nilai relevansi dengan
11
BAB III
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang sudah disebutkan secara rinci disini penulis akan
melalui manthuq ialah metode memahami ayat dan hadis sesuai dengan
teks ayat dan hadis itu sendiri. Manthuq terbagi dalam beberapa rincian,
dalalahnya masing-masing.
12
DAFTAR PUSTAKA
‘Adhud al-Dīn Abd al-Rahman al-īzy, Syarh ‘ala Muhtashar al-Muntahal al-Ushūl,
Jld 3, Cet 1, Lebanon: Dār al-Kutub al-Ilmiah, 2004
Abd al-Karīm bin ‘Ali bin Muhammad al-Namlah, al-Muhazzab fi Ilm al-Ushūl
Fiqh al-Muqāran, Jld 4, Cet 1, Riyādh: Maktabah al-Rusyd, 1999
Syihāb al-Dīn Ahmad bin Ismāīl al-Kaurāni, al-Durar al-Lawāmi’ fi Syarh Jam’u
al-Jawāmi, Jld 1, Madinah: Jami’ah al-Islamiyah, 2008
Tajj al-Din al-Subki, Hāsyiah al-Banānī ‘ala Syarh Matan Jam’u al-Jawāmi’, Jld
1, Lebanon, Dār al-Kutub Ilmiah, 1971
13