PENDAHULUAN
1
Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh (Jakarta : Kencana, 2017), h. 3.
Tajuddin Abd. Wahhab bin Ali al-Subki, Jam’u al-Jawami’i fi Ushul al-Fiqh ( Beirut :
2
4
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 1, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 3.
5Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh (Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1997), h.
166.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Mantuq dan Mafhum
1. Pengertian Mantuq dan Mafhum
a) Pengertian Mantuq
Manthuq pada dasarnya adalah isim maf’ul yang secara bahasa berasal
dari kata nathaqa-yanthiqu-nuthqan yang berarti pembicaraan, hal ini
sebagaimana penjelasan ibnu manzur di dalam kitabnya lisan al-Arab6.
Artinya :“Makna yang dipahami dari petunjuk lafaz secara qath’i terhadap
pembicaraan7.”
Menurut Ibn Subki sebagaimana yang dikutip oleh Musthafa Said al-
Khin, bahwa yang dimaksud dengan mafhum adalah sebagai berikut :
6
Al-‘Alamah ibn Manzhur, Lisan al-‘Arabi, (Bairut: Dar aal-Fikr, t.th), Jilid 12, h. 231.
7
Syams al-Din Muhammad bin Ahmad bin Usman al-Dzahabi, Sir A’lam al-
Nubala’,(Bairut: Muassasah al-Risalah, 1986), Jilid 22, h. 364.
8
Saif al-Din Abi Al-Hasan Ali bin Abi Ali bin Muhammad al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushul al-
Ahkam, ( Bairut: Dar al-Fikr, 1996), Jilid 3, h. 46. 16
9
Musthafa Said al-Khin, Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id al-Ushuliyah fi Ikhtilaf, h. 392
Secara sederahana, manthuq berasal dari kata nathaqa yang bermakna
terucap, manthuq adalah makna yang dikandung oleh kata yang terucap. Al-
Qathan menjelaskan di dalam bukunya, bahwa mantuq adalah suatu makna yang
ditunjukkan oleh lafaz menurut ucapannya, yakni petunjukkan makna berdasarkan
materi-materi huruf-huruf yang diucapkan. Petunjuk (dilalah) lafaz kepada makna
adakalanya kepada bunyi (mantuq, arti tersurat) perkataan yang diucapkan itu,
baik secara tegas maupun ada kemungkinan makna lain dengan takdir maupun
tanpa takdir10. Sebagaimana contoh mantuq pada surah al-An’am : 145 :
Dari Ibnu Umar berkata: Rasulullah bersabda: “Dihalalkan bagi kita dua
(macam) bangkai dan dua (macam) darah. Adapun dua macam bangkai adalah
bangkai ikan dan belalang, sedangkan dua macam darah adalah hati dan limpa”
(HR. al-Hakim dan al-Baihaqi).
10
Manna’ Khalil al-Qatthan, Mabahits Fi Ulum Al-Qur’an. h. 358.
Selain itu Contoh manthuq ialah memahami dari apa yang langsung
tersurat dalam lafaz. Misal, Surat al-Nisa’ayat 23 yang melarang seorang suami
mengawini anak tiri yang berada dalam asuhannya. Ayat ini menurut manthuqnya
menunjukkan keharaman menikahi anak tiri yang berada di bawah asuhan suami
dari istri yang telah digauli. Apa yang ditunjuk di sini memang jelas terbaca dalam
apa yang tersurat dalam ayat tersebut. Penunjukannya begitu jelas sehingga tidak
memerlukan penjelasan di balik yang tersurat itu11.
b) Pembagian Mantuq
Para ulama’ ushul fiqih membagi manthuq kepada tiga macam; nash,
zhahir dan muawwal. A) Nash, yaitu tidak mengandung kemungkinan ta’wil/
pengalihan makna. Nash terbagi dua, ada yang 1) sharih (jelas), apabila lafadh
yang digunakan menunjukkan dengan tegas dan jelas maknanya, baik makna itu
sesuai sepenuhnya degan bunyi teks (nash) atau hanya dikandung maknanya oleh
nash. Bagian ini disebut dengan ibarat al-nash. Misalnya firman Allah Swt12.:
عَش ََرٌة ََكا ِملَة َ صيَا ُم ث َ ٰلث َ ِة اَياام فِى ْال َحجِ َو
َ س ْْبعَة اَِذَا َر َج ْعت ُ ْم ِتِ ْل َك ِ َفَ َم ْن لا ْم َي ِج ْد ف
Artinya: Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak
mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi)
apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna (QS. Al-
Baqarah: 196).
Kemudian manthuq terbagi kepada dua: sharih dan ghairu sharih.
Manthuq Sharih adalah petunjuk lafaz kepada seluruh pengertian yang
dikehendaki atau sebagiannya saja.13 Manthuq Sharih dalam istilah ulama
Syafi’iyah ini adalah apa yang diistilahkan dengan ibarah al-nash dalam istilah
ulama Hanafiyah.
Manthuq ghairu sharih adalah petunjuk lafaz atas suatu ketentuan hukum
yang diperoleh dengan melihat keterkaitan yang tidak bisa dipisahkan dari
manthuq.14 Amir Syarifuddin menyatakan bahwa Manthuq ghairu sharih terbagi
11
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, jilid 2 (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 145.
12
Manna’ Khalil al-Qatthan, Mabahits Fi Ulum Al-Qur’an. h. 358.
13
Musthafa Said al-Khin, Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id al-Ushuliyah fi Ikhtilaf al-
Fuqaha’, h. 139.
14
Ibid.
kepada dua macam: 1). Penunjukannya itu dimaksud oleh pembicara, 2).
Penunjukannya itu tidak dimaksud oleh pembicara.
Artinya : ““Makna yang dipahami dari lafaz bukan menurut yang dibicarakan15.”
ما يستفاد من اللفظ وهو مسكوت عنه ال ذكر له على قضية النصريح
Artinya : ““Pengertian yang diperoleh dari arti yang tidak disebutkan secara
jelas.16”
Berdasarkan definisi ini dapat diketahui bahwa mafhum adalah se- tiap
makna yang dipahami dari suatu lafaz yang makna tersebut berada di luar ruang
lingkup yang tersurat.
15
Saif al-Din Abi Al-Hasan Ali bin Abi Ali bin Muhammad al-Amidi, Al- Ihkam fi Ushul al-
Ahkam, Jilid 3, h. 46.
16
Al-Juwaini, Al-Burhan fi Ushul al-Fiqh, h. 165.
Artinya : ““Makna yang dipahami dari kalimat2 6dengan jalan muthabaqah
(kesesuaian antara yang disebutkan dengan yang tidak disebutkan17.”
a. Fahwal khitab, yaitu apabila makna yang difahami itu lebih harus diambil
hukumnya daripada manthuq. Misalnya keharaman mencaci maki dan
memukul kedua orang tua yang dipahami dari ayat:
أف
ِ فال ِتقل لهما
17
Ali bin Muhammad bin ali al-Jurjani, Kitab al-Ta’rifat. Ditahqiq oleh Ibrahim al-Abyari, (t.t:
Dar al-Kitab al-‘Arabi, t.th), h. 289.
18
Ibid
Ayat ini menunjukkan pula keharaman membakar harta anak yatim atau
menyia-nyiakan dengan cara berbuat kerusakan dengan cara apapun. Dalalah
demikian disebut dengan lahnul khitab, karena ia sama nilainya dengan memakan
harta tersebut sampai habis tidak tersisa sama sekali (al-Qatthan, 2006: 174).
Lebih lanjut Abu Zahrah (tt: 150) menjelaskan bahwa menurut madzhab
Hanafi, mafhum mukhalafah tidak dapat dimasukkan dalam kategori metodologi
penafsiran nashnash al-Qur’an dan hadis. Bahkan lebih dari itu, mereka tidak
menggunakan mafhum mukhalafah sebagai metodologi dalam memahami syara’,
karena adanya beberapa faktor berikut ini:
Nash-nash syara’ telah menunjukkan adanya kesalahan (fasad) apa bila
mafhum mukhalafah diaplikasikan pada nash tersebut.
Mayoritas sifat-sifat yang membatasi (mentaqyid) dalam nash al-Qur’an
dan hadis bukanlah untuk menbatasi hukum, akan tetapi sekedar dorongan
atau peringatan
19
, M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir,( Jakarta: Lentera Hati, 2013), h. 174.
20
Muhamad Abu Zahrah, Ushul Fiqh,( Beirut: Dar al-Fikr al-Arab,
tt.), h. 228.
2). Mafhum al-wasfi/sifat, yaitu menetapkan hukum dalam bunyi manthuq suatu
nash yang dibatasi (diberi qayd) dengan sifat yang terdapat dalam lafadh, dan jika
sifat tersebut telah hilang, maka terjadilah kebalikan hukum tersebut.
3). Mafhum syarat, yaitu menetapkan kebalikan suatu hukum yang tergantung
pada syarat, atau bersamaan dengan syarat jika syarat tersebut tidak terwujud.
4). Mafhum al-ghayah, yaitu menetapkan hukum yang berada di luar tujuan nash
(ghayah), bila hukum tersebut dibatasi dengan tujuan (ghayah).
هو اللفظ الذي يدل على معنيين او اَكثر بوضوع مختلف على ِتْبادل
" Lafaz yang menunjukkan kepada dua makna atau lebih dengan maksud yang
berbeza secara bergantian” (maksud bergantian disini adalah kata musytarak
tidak dapat diertikan dengan semua makna yang terkandung dalam lafaz
tersebut secara bersamaan, akan tetapi harus diertikan dengan salah satu
sahaja).
Apabila di dalam nash syara’ terdapat lafal yang musytarak, maka bisa
mendefiniskian musytarak bermakna lafal yang dibentuk dengan memiliki
makna yang bermacam-macam.
Kemusytarakan itu dapat diterapkan pada makna yang bermacam-macam
sebagaimana pembentukan lafal itu yang dibuat untuk makna yang sangat
bermacam-macam. Sedangkan keumuman itu dapat terealisir dengan
petunjuk lafal atas tercukupnya semua satuan yang sesuai dengannya tanpa
batas dan kekhususan itu terealisir dengan petunjuk lafal atas satu satuan atau
beberapa satuan yang terbatas yang sesuai dengannya tidak mencakup
keseluruhan21.
Dapat disimpulkan bahwa, lafal yang musytarak adalah lafal yang dibuat
untuk dua makna atau lebih dengan pembuatan yang bermacam-macam yang
dapat menunjukan kapada maknanya secara bergantian, artinya dapat
menunjukan arti ini atau itu. Semisal lafal al’ain ( )العينyang secara bahasa
dapat berarti mata untuk melihat, mata air, dan mata-mata, lafal al-qur-u
( )القروءyang secara bahasa dibuat untuk makna haid dan suci. Lafal as yang
bermakna tahun dan lafal al-yad yang dapat diartikan dengan tangan kanan
dan kiri22.
21
Khallaf, Abdu Wahaab. 2003.Ilmu Ushul Fikih kaidah hukum islam. Jakarta:Pustaka
Amani. h. 257
22
Khallaf, Abdu Wahaab. 2003.Ilmu Ushul Fikih kaidah hukum islam. h. 258
23
Shilah, abu dan shilah,ummu. 2007. Prinsip ilmu ushul fiqh. Tholib.wordpress. PDF
1. اختالف الوضع الّغوى بين القبائل
Lafaz itu digunakan oleh suatu suku bangsa (qabilah) untuk makna tertentu
dan oleh suku bangsa yang lain digunakan untuk makna yang lain lagi,
kemudi46an sampai kepada kita dengan kedua makna tersebut tanpa ada
keterangan dari hal perbedaan yang dimaksud oleh penciptanya.
2. تطوراالستعماالواالشترك المعنوى
ّ
Berkembangnya penggunaan bahasa secara maknawi, penggunaan lafadz
terfokus pada maknanya secara utuh.
yang paling penting diantaranya adalah perbedaan suku atau kabilah dalam
meggunakan satu lafal untuk makna yang berbeda-beda24. Seperti halnya dalam
penggunaan lafadz al-yad sebagian mengartikan al-yad untuk hasta secara
keseluruhan
( )انفردdan lafaz banyak ()اشترك. Ulama’ lebih sepakat untuk memililh lafaz
24
Khallaf, Abdu Wahaab. 2003.Ilmu Ushul Fikih kaidah hukum islam. Jakarta:Pustaka
Amani. h. 258
tunggal ( )انفردdari pada lafal banyak ( )اشتركkarena akan menimbulkan arti
yang berbeda-beda dan bisa dalam mengarikan suatu kalimat tersebut.
Adalah musytarak antara hasta (dari ujung jari sampai pundak), antara
telapaktangan dan lengan bawah (dari ujung jari sampai siku), antara telapak
tangan (dari ujung jari sampai pergelangan tangan) dan antara tangan kanan
dan tangan kiri. Ini adalah makna terakhir, yakni dari ujung jari sampai
pergelangan tangan kanan.
5. تآويل المشترك
dalam menta’wil suatu lafadz musytarak memberikan empat cara dalam
menfasirkan lafaz-lafaz yang di ta’wilkan sebagai berikut :
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjelasan di atas penulis mengambil beberapa
a. Kajian manthuq dan mafhum sangat erat hubungannya dengan al-Qur’an dan
sunnah. Keduanya sebagai sumber hukum inti syariah Islamiyah dijadikan sebagai
hujjah dari proses yang digali dari pengertian manthuq dan mafhum. Karena pada
dasarnya setiap pengambilan hukum (istinbath) dalam syariat Islam harus berpijak
atas al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
lafaz menjadi dua yaitu lafaz tunggal ( )انفردdan lafaz banyak ()اشترك. Ulama’
lebih sepakat untuk memililh lafaz tunggal ( )انفردdari pada lafal banyak