Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

Untuk dapat mendefanisikan pengertian ushul fiqh secara baik,


sebagaimana penuturan Sapiudin Shidiq, maka perlu dijelaskan atau dipahami dua
kata tersebut secara terpisah, yaitu lafaz ushul dan fiqh. Menurut beliau, lafazh
ushul ( ‫ ) أصول‬dilihat dari aspek bahasa Arab, yaitu bentuk jamak (plural) dari kata
‫ أصل‬yang mengandung arti sesuatu yang dijadikan sandaran oleh sesuatu yang
lain1.
Sedangkan kata fiqh berasal dari bahasa Arab, yakni lafazh masdar dari
akar kata ‫ َف ِقه يَفقَه فِق َها‬, yang secara kebahasaan berarti suatu pemahaman atau
penalaran terhadap sesuatu.
Adapun menurut istilah, lafaz fiqh didefenisikan sebagai sebuah ilmu
atau pengetahuan akan yang halal dan haram, syaraiat dan penjelasan hukum, hal
ini sebagaimana dikemukakan oleh Al-Kassani, namun sebagaimana penjelasan
Sapiudin Shidiq, defenisi yang paling kuat adalah penjelasan yang dijabarkan oleh
Imam Syafi’i, yang sebagaimana penjelasaan tersebut dikutip oleh Subki di dalam
kitabnya jam’u al-Jawani2, yakni :
‫العلم باألحكام الشّرعية العملية من أدلّتها التفصيلية‬
Artinya : “ilmu yang membahas tentang hukum syara’ yang
berhubungan dengan amaliyah (Perbuatan ) yang diperoleh melalui dalil-dalil
yang terperinci.”
Sedangkan pengertian ushul fiqh sebagaimana penjelasan jumhur ulama
yang terdiri dari mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali, mendefenisikan ushul fiqh,
yakni3 :
‫القواعد التي توصل البحث فيها الى استنباط األحكام من اذلتها التفصليية‬
Artinya : “Sejumlah kaidah yang mengkaji dan membahas proses istinbat
hukum-hukum syara’ melalui dalil-dalil yang terperinci”

1
Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh (Jakarta : Kencana, 2017), h. 3.
Tajuddin Abd. Wahhab bin Ali al-Subki, Jam’u al-Jawami’i fi Ushul al-Fiqh ( Beirut :
2

Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2002), h. 6.


3
Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami (Damaskus : Dar al-Fikr, 1986 ), h. 24.
Dan adapun yang dimaksud dengan “dalil syara” sebagaimana
penjelasan yang dituturkan oleh Amir Syarifuddin, itu ada aturannya dalam
bentuk kaidah, misalnya : setiap perintah menunjukkan wajib, pengetahuan
tentang kaidah-kaidah yang menjelaskan cara-cara mengeluarkan hukum dari
dalil-dalil syara tersebut, dan itu lah yang dimaksud dengan ilmu ushul fiqh4.
Dari defenisi yang dipaparkan oleh jumhur ulama atau kesepakatan para
ulama, menentukan pada objek ushul fiqh yang lebih memfokuskan pada
metodologi, yaitu bagaimana menggunakan kaidah-kaidah umum pada ushul fiqh.
Seorang ahli hukum (faqih), menjadi keharusan baginya untuk mengetahui
prosedur cara penggalian hukum dari nash. Untuk kepentingan itu, ilmu Ushul al-
Fiqh telah menetapkan metodologinya. Cara pengambilan hukum dari nash, ada
dua macam pendekatan yang digunakan, yaitu pendekatan makna dan pendekatan
lafal5.

Memahami redaksi Al-Qur’an dan Al-Hadits bagaikan menyelam ke


dalam samudra yang dalam lagi luas, dibutuhkan kunci, metode dan keilmuan
khusus untuk sampai ke sana sehingga kita bisa mengetahui maksud dan tujuan
nash al- Qur’an dan Al-Hadits baik dari sudut teks maupun dari aspek makna. Di
antara beberapa pembahasan yang berkaitan dengan hal tersebut. Pendekatan
makna adalah penarikan kesimpulan bukan kepada nash langsung, seperti
penggunaan kias (analogi), istihsan, mashlahat, dan sebagainya.

Sedangkan pendekatan lafal nash, penerapannya membutuhkan beberapa


faktor pendukung yang sangat dibutuhkan, yaitu penguasaan terhadap makna dari
lafal (pengertian yang ditunjuk oleh lafal) ataukah mengetahui dalalah-nya yang
menggunakan pendekatan mafhum yang diambil dari konteks kalimat, mengerti
batasan-batasan yang membatasi ibaratibarat nash. Pengertian yang dapat
dipahami dari lafal nash, apakah berdasarkan ibarat nash atau isyarat nash, dan
sebagainya.

4
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 1, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 3.
5Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh (Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1997), h.
166.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Mantuq dan Mafhum
1. Pengertian Mantuq dan Mafhum
a) Pengertian Mantuq

Manthuq pada dasarnya adalah isim maf’ul yang secara bahasa berasal
dari kata nathaqa-yanthiqu-nuthqan yang berarti pembicaraan, hal ini
sebagaimana penjelasan ibnu manzur di dalam kitabnya lisan al-Arab6.

Sedangkan pengertian manthuq secara istilah adalah sebagai berikut :


sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Amidi.

‫ما فهم من داللة اللفظ قطعا فى محل النطق‬

Artinya :“Makna yang dipahami dari petunjuk lafaz secara qath’i terhadap
pembicaraan7.”

Kemudian pengertianyang dikemukakan oleh al-Juwaini:

‫متلقى من المنطوق به المصرح بذكره‬

Artinya : ““Pengertian yang diperoleh dari apa yang tersurat.8”

Menurut Ibn Subki sebagaimana yang dikutip oleh Musthafa Said al-
Khin, bahwa yang dimaksud dengan mafhum adalah sebagai berikut :

‫ما دل عليه اللفظ فى محل النطق‬

Artinya : ““Petunjuk suatu lafaz berdasarkan apa yang diucapkan.9”

6
Al-‘Alamah ibn Manzhur, Lisan al-‘Arabi, (Bairut: Dar aal-Fikr, t.th), Jilid 12, h. 231.

7
Syams al-Din Muhammad bin Ahmad bin Usman al-Dzahabi, Sir A’lam al-
Nubala’,(Bairut: Muassasah al-Risalah, 1986), Jilid 22, h. 364.

8
Saif al-Din Abi Al-Hasan Ali bin Abi Ali bin Muhammad al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushul al-
Ahkam, ( Bairut: Dar al-Fikr, 1996), Jilid 3, h. 46. 16

9
Musthafa Said al-Khin, Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id al-Ushuliyah fi Ikhtilaf, h. 392
Secara sederahana, manthuq berasal dari kata nathaqa yang bermakna
terucap, manthuq adalah makna yang dikandung oleh kata yang terucap. Al-
Qathan menjelaskan di dalam bukunya, bahwa mantuq adalah suatu makna yang
ditunjukkan oleh lafaz menurut ucapannya, yakni petunjukkan makna berdasarkan
materi-materi huruf-huruf yang diucapkan. Petunjuk (dilalah) lafaz kepada makna
adakalanya kepada bunyi (mantuq, arti tersurat) perkataan yang diucapkan itu,
baik secara tegas maupun ada kemungkinan makna lain dengan takdir maupun
tanpa takdir10. Sebagaimana contoh mantuq pada surah al-An’am : 145 :

َ‫َِّل ا َ ْن يا ُك ْون‬ َ ‫ي ُم َح ار ًما َع ٰلى‬


ْ ‫طا ِعم ي‬
ٓ ‫اطعَ ُمهٗ ٓٗ ا ا‬ ‫ي اِلَ ا‬ ٓ ‫قُ ْل ا‬
َ ‫َّل ا َ ِجد ُ فِ ْي َما ٓ ا ُ ْو ِح‬
ٰ ‫َم ْيتَةً ا َ ْو دَ ًما ام ْسفُ ْو ًحا ا َ ْو لَ ْح َم ِخ ْن ِزيْر فَ ِاناهٗ ِر ْجس ا َ ْو فِ ْسقًا ا ُ ِه ال ِلغَي ِْر‬
ِ‫ّللا‬
‫ط ار َغي َْر َباغ او ََّل َعاد فَا اِن َرب َاك َغفُ ْور ار ِح ْيم‬ ُ ‫ض‬ ْ ‫ِبهٗٗ فَ َم ِن ا‬
Artinya : Katakanlah, “Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku,
sesuatu yang diharamkan memakannya bagi yang ingin memakannya, kecuali
daging hewan yang mati (bangkai), darah yang mengalir, daging babi – karena
semua itu kotor – atau hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah. Tetapi
barangsiapa terpaksa bukan karena menginginkan dan tidak melebihi (batas
darurat) maka sungguh, Tuhanmu Maha Pengampun, Maha Penyayang.

Umam dan Aminuddin, mereka menjelaskan ayat di atas dapat difahami


bahwa Manthuqnya adalah haram memakan darah yang mengalir. Sedangkan
mafhum mukhalafahnya adalah halal darah yang tidak mengalir dan diketahui
halalnya melalui kaidah atau melalui dalil syara’ yang lain seperti bunyi hadis
Nabi:

Dari Ibnu Umar berkata: Rasulullah bersabda: “Dihalalkan bagi kita dua
(macam) bangkai dan dua (macam) darah. Adapun dua macam bangkai adalah
bangkai ikan dan belalang, sedangkan dua macam darah adalah hati dan limpa”
(HR. al-Hakim dan al-Baihaqi).

10
Manna’ Khalil al-Qatthan, Mabahits Fi Ulum Al-Qur’an. h. 358.
Selain itu Contoh manthuq ialah memahami dari apa yang langsung
tersurat dalam lafaz. Misal, Surat al-Nisa’ayat 23 yang melarang seorang suami
mengawini anak tiri yang berada dalam asuhannya. Ayat ini menurut manthuqnya
menunjukkan keharaman menikahi anak tiri yang berada di bawah asuhan suami
dari istri yang telah digauli. Apa yang ditunjuk di sini memang jelas terbaca dalam
apa yang tersurat dalam ayat tersebut. Penunjukannya begitu jelas sehingga tidak
memerlukan penjelasan di balik yang tersurat itu11.

b) Pembagian Mantuq

Para ulama’ ushul fiqih membagi manthuq kepada tiga macam; nash,
zhahir dan muawwal. A) Nash, yaitu tidak mengandung kemungkinan ta’wil/
pengalihan makna. Nash terbagi dua, ada yang 1) sharih (jelas), apabila lafadh
yang digunakan menunjukkan dengan tegas dan jelas maknanya, baik makna itu
sesuai sepenuhnya degan bunyi teks (nash) atau hanya dikandung maknanya oleh
nash. Bagian ini disebut dengan ibarat al-nash. Misalnya firman Allah Swt12.:

‫عَش ََرٌة ََكا ِملَة‬ َ ‫صيَا ُم ث َ ٰلث َ ِة اَياام فِى ْال َحجِ َو‬
َ ‫س ْْبعَة اَِذَا َر َج ْعت ُ ْم ِتِ ْل َك‬ ِ َ‫فَ َم ْن لا ْم َي ِج ْد ف‬
Artinya: Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak
mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi)
apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna (QS. Al-
Baqarah: 196).
Kemudian manthuq terbagi kepada dua: sharih dan ghairu sharih.
Manthuq Sharih adalah petunjuk lafaz kepada seluruh pengertian yang
dikehendaki atau sebagiannya saja.13 Manthuq Sharih dalam istilah ulama
Syafi’iyah ini adalah apa yang diistilahkan dengan ibarah al-nash dalam istilah
ulama Hanafiyah.

Manthuq ghairu sharih adalah petunjuk lafaz atas suatu ketentuan hukum
yang diperoleh dengan melihat keterkaitan yang tidak bisa dipisahkan dari
manthuq.14 Amir Syarifuddin menyatakan bahwa Manthuq ghairu sharih terbagi

11
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, jilid 2 (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 145.
12
Manna’ Khalil al-Qatthan, Mabahits Fi Ulum Al-Qur’an. h. 358.
13
Musthafa Said al-Khin, Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id al-Ushuliyah fi Ikhtilaf al-
Fuqaha’, h. 139.
14
Ibid.
kepada dua macam: 1). Penunjukannya itu dimaksud oleh pembicara, 2).
Penunjukannya itu tidak dimaksud oleh pembicara.

1. Dilalah manthuq ghairu sharih yang penunjukannya dimaksud oleh


pembicara ada dua macam yaitu dilalah iqtidha’ dan Dilalah iqtidha’ ini
di kalangan Hanafiyah juga disebut dengan dilalah iqtidha’ atau iqtidha’
al-nash.
2. Dilalah manthuq ghairu sharih yang penunjukannya tidak dimaksud oleh
pembicara hanya terbatas pada satu bentuk yang disebut dengan dilalah
isyarah, yang di kalangan Hanafi juga disebut dilalah isyarah atau isyarah
al-nash.
c) Pengertian Mafhum

Adapun pengertian mafhum sebagaimana yang dipaparkan oleh para


ulama adalah sebagai berikut :

Al-amidi menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan mafhum,


sebagaimana yang termuat di dalam kitabnya al-ihkam fi Ushul al-Ahkam adalah

‫ما فهم من اللفظ فى غيره محل النطق‬

Artinya : ““Makna yang dipahami dari lafaz bukan menurut yang dibicarakan15.”

Al-Juwaini mendefinisikan mafhum dengan :

‫ما يستفاد من اللفظ وهو مسكوت عنه ال ذكر له على قضية النصريح‬

Artinya : ““Pengertian yang diperoleh dari arti yang tidak disebutkan secara
jelas.16”

Berdasarkan definisi ini dapat diketahui bahwa mafhum adalah se- tiap
makna yang dipahami dari suatu lafaz yang makna tersebut berada di luar ruang
lingkup yang tersurat.

Mafhum terbagi dua yaitu mafhum muwafaqah dan mafhum mukha-


lafah. Mafhum muwafaqah adalah :

‫ما يفهم من الكالم بطريق المطابقة‬

15
Saif al-Din Abi Al-Hasan Ali bin Abi Ali bin Muhammad al-Amidi, Al- Ihkam fi Ushul al-
Ahkam, Jilid 3, h. 46.
16
Al-Juwaini, Al-Burhan fi Ushul al-Fiqh, h. 165.
Artinya : ““Makna yang dipahami dari kalimat2 6dengan jalan muthabaqah
(kesesuaian antara yang disebutkan dengan yang tidak disebutkan17.”

Sedangkan mafhum mukhalafah adalah


18‫المنطوق‬ ‫ان يثبت الحكم فى المسكوت على خالف ماثبت فى‬

Artinya : ““Menetapkan hukum yang tidak disebutkan berbeda dengan hukum


yang disebutkan.”

Para ushuliyyin membagi mafhum menjadi dua bagian pokok, yaitu:

a) Mafhum muwafaqah atau juga dinamai dengan dilalah nash,


b) mafhum mukhalafah.

Mafhum muwafaqah yaitu makna yang hukumnya sesuai dengan


manthuq. Atau juga berarti makna yang tidak terucapkan sejalan dengan makna
yang terucapkan. Mafhum dibagi menjadi dua bagian:

a. Fahwal khitab, yaitu apabila makna yang difahami itu lebih harus diambil
hukumnya daripada manthuq. Misalnya keharaman mencaci maki dan
memukul kedua orang tua yang dipahami dari ayat:
‫أف‬
ِ ‫فال ِتقل لهما‬

Artinya : ““Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya


perkataan “ah”..” (QS. Al-Isra’: 23)

Manthuq ayat ini adalah larangan (keharaman) mengatahan “hus” atau


“ah” kepada kedua orang tua, oleh karena itu menyakiti hati, mencaci maki,
apalagi memukulnya. Menyakiti hati, mencaci maki dan memukulnya adalah
mafhum muwafaqah dari ayat di atas (Shihab, 2013: 174).
b. Lahnul khitab, yaitu apabila hukum mafhum sama nilainya dengan hukum
mantuq. Misalnya dalalah firman Allah:

Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara


dzalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya (QS. Al-Nisa’: 10)

17
Ali bin Muhammad bin ali al-Jurjani, Kitab al-Ta’rifat. Ditahqiq oleh Ibrahim al-Abyari, (t.t:
Dar al-Kitab al-‘Arabi, t.th), h. 289.
18
Ibid
Ayat ini menunjukkan pula keharaman membakar harta anak yatim atau
menyia-nyiakan dengan cara berbuat kerusakan dengan cara apapun. Dalalah
demikian disebut dengan lahnul khitab, karena ia sama nilainya dengan memakan
harta tersebut sampai habis tidak tersisa sama sekali (al-Qatthan, 2006: 174).

Lebih lanjut Abu Zahrah (tt: 150) menjelaskan bahwa menurut madzhab
Hanafi, mafhum mukhalafah tidak dapat dimasukkan dalam kategori metodologi
penafsiran nashnash al-Qur’an dan hadis. Bahkan lebih dari itu, mereka tidak
menggunakan mafhum mukhalafah sebagai metodologi dalam memahami syara’,
karena adanya beberapa faktor berikut ini:
 Nash-nash syara’ telah menunjukkan adanya kesalahan (fasad) apa bila
mafhum mukhalafah diaplikasikan pada nash tersebut.
 Mayoritas sifat-sifat yang membatasi (mentaqyid) dalam nash al-Qur’an
dan hadis bukanlah untuk menbatasi hukum, akan tetapi sekedar dorongan
atau peringatan

Para ulama’ membagi mafhum mukhalafah menjadi sepuluh macam,


yaitu: mafhum syarat, mafhum al-hal/keadaan, mafhum al-makan/tempat, mafhum
al-zamani/waktu, mafhum al-ghayah/batas, mafhum al-adad/bilangan, mafhum al-
hashr/ pembatasn atau pengkhushusan (Shihab, 2013: 174)19.

Dalam pembagian mafhum mukhalafah ini akan diringkas hanya menjadi


lima bagian, yaitu: mafhmum al-laqab, mafhum al-sifat, mafhum al-syarat,
mafhum al-ghayah, dan mafhum al-adad (Abu Zahrah, 2005: 228)20.

1). Mafhum al-laqab adalah; menyebutkan sebuah hukum yang ditentukan


(ditakhsish) dengan jenis atau macamnya, sehingga hukum tersebut positif dalam
masalah yang terdapat pada nash, dan negatif (manfi) bagi masalah yang tidak
disebutkan.

19
, M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir,( Jakarta: Lentera Hati, 2013), h. 174.
20
Muhamad Abu Zahrah, Ushul Fiqh,( Beirut: Dar al-Fikr al-Arab,
tt.), h. 228.
2). Mafhum al-wasfi/sifat, yaitu menetapkan hukum dalam bunyi manthuq suatu
nash yang dibatasi (diberi qayd) dengan sifat yang terdapat dalam lafadh, dan jika
sifat tersebut telah hilang, maka terjadilah kebalikan hukum tersebut.

3). Mafhum syarat, yaitu menetapkan kebalikan suatu hukum yang tergantung
pada syarat, atau bersamaan dengan syarat jika syarat tersebut tidak terwujud.

4). Mafhum al-ghayah, yaitu menetapkan hukum yang berada di luar tujuan nash
(ghayah), bila hukum tersebut dibatasi dengan tujuan (ghayah).

d) Al Musytarak dan Mufrad )‫المشترك‬ ‫(تعريف‬


Pengerttian Al Musytarak (‫)المشترك‬

Adapun beberapa defenesi tentang Musytrak adalah sebagai berikut :

1. Al-Shashi (ulama Hanafiah)

.‫الحقائق‬ ‫ما وضع لمعنيين مختلفين أو لمعان مختلفة‬


"Lafaz yang mempunyai dua makna atau lebih yang berbeda secara hakiki".

2. Ibnu al-Hajib (ulama Malikiyah)

.ً ‫لفظ واحد لمعنى متعدد حقيقة‬


"Satu lafaz yang mempunyai banyak makna secara hakiki"

3. Al-Mahalli (ulama Syafi'iyah)

.‫اللفظ الواحد المتعدد المعنى الحقيقي‬


"Satu lafaz yang mempunyai beberapa makna hakiki".

4. ibnu Qudamah )ulama Hanabilah)

‫والمَشترَكة فهي األسماء المنطلقة على مسميات مختلفة بالحقيقة‬


"Lafaz musytarak adalah suatu isim yang mengeluarkan isim-isim yang
berbeda secara hakiki".
5. Abu Zahrah (kontemporeri)

‫هو اللفظ الذي يدل على معنيين او اَكثر بوضوع مختلف على ِتْبادل‬
" Lafaz yang menunjukkan kepada dua makna atau lebih dengan maksud yang
berbeza secara bergantian” (maksud bergantian disini adalah kata musytarak
tidak dapat diertikan dengan semua makna yang terkandung dalam lafaz
tersebut secara bersamaan, akan tetapi harus diertikan dengan salah satu
sahaja).

Apabila di dalam nash syara’ terdapat lafal yang musytarak, maka bisa
mendefiniskian musytarak bermakna lafal yang dibentuk dengan memiliki
makna yang bermacam-macam.
Kemusytarakan itu dapat diterapkan pada makna yang bermacam-macam
sebagaimana pembentukan lafal itu yang dibuat untuk makna yang sangat
bermacam-macam. Sedangkan keumuman itu dapat terealisir dengan
petunjuk lafal atas tercukupnya semua satuan yang sesuai dengannya tanpa
batas dan kekhususan itu terealisir dengan petunjuk lafal atas satu satuan atau
beberapa satuan yang terbatas yang sesuai dengannya tidak mencakup
keseluruhan21.
Dapat disimpulkan bahwa, lafal yang musytarak adalah lafal yang dibuat
untuk dua makna atau lebih dengan pembuatan yang bermacam-macam yang
dapat menunjukan kapada maknanya secara bergantian, artinya dapat
menunjukan arti ini atau itu. Semisal lafal al’ain (‫ )العين‬yang secara bahasa
dapat berarti mata untuk melihat, mata air, dan mata-mata, lafal al-qur-u
(‫ )القروء‬yang secara bahasa dibuat untuk makna haid dan suci. Lafal as yang
bermakna tahun dan lafal al-yad yang dapat diartikan dengan tangan kanan
dan kiri22.

e) Sebab-sebab lafadz musytarak (‫المشترك‬ ‫)اسباب وجود‬


Sebab lafadz musytarak (‫المشترك‬ ‫ )اسباب وجود‬menurut bahasa itu banyak
sekali, diantarnya adalah23 :

21
Khallaf, Abdu Wahaab. 2003.Ilmu Ushul Fikih kaidah hukum islam. Jakarta:Pustaka
Amani. h. 257
22
Khallaf, Abdu Wahaab. 2003.Ilmu Ushul Fikih kaidah hukum islam. h. 258
23
Shilah, abu dan shilah,ummu. 2007. Prinsip ilmu ushul fiqh. Tholib.wordpress. PDF
1. ‫اختالف الوضع الّغوى بين القبائل‬
Lafaz itu digunakan oleh suatu suku bangsa (qabilah) untuk makna tertentu
dan oleh suku bangsa yang lain digunakan untuk makna yang lain lagi,
kemudi46an sampai kepada kita dengan kedua makna tersebut tanpa ada
keterangan dari hal perbedaan yang dimaksud oleh penciptanya.

2. ‫تطوراالستعماالواالشترك المعنوى‬
ّ
Berkembangnya penggunaan bahasa secara maknawi, penggunaan lafadz
terfokus pada maknanya secara utuh.

3. ‫التردّد بين الحقيقة والمجاز‬


Lafaz yang diciptakan menurut hakikatnya untuk satu makna, kemudian
dipakai pula kepada makna lain tetapi secara majazi (kiasan). Pemakaian
secara majazi ini masyhur pula, sehingga orang-orang menyangka bahwa
pemakaiannya dalam arti yang kedua itu adalah hakiki, bukan majazi.
Dengan demikian para ahli bahasa memasukannya ke dalam gologan lafaz
musytarak.

4. ‫التردّد بين الحقيقة والمعن اعرف‬


Lafaz itu semula diciptakan untuk satu makna, kemudian dipindahkan kepada
istilah syari'at untuk arti yang lain. Misalnya lafaz “shalat”, menurut arti
bahasa semula artinya adalah berdoa, kemudian menurut arti istilah syar'i
ialah shalat sebagaimana yang kita kenal sekarang.

yang paling penting diantaranya adalah perbedaan suku atau kabilah dalam
meggunakan satu lafal untuk makna yang berbeda-beda24. Seperti halnya dalam
penggunaan lafadz al-yad sebagian mengartikan al-yad untuk hasta secara
keseluruhan

f) petunjuk adanya musytarak ( ‫) داللة المشترك‬


Para ulama’ ushul fiqh membagi lafaz menjadi dua yaitu lafaz tunggal

(‫ )انفرد‬dan lafaz banyak (‫)اشترك‬. Ulama’ lebih sepakat untuk memililh lafaz

24
Khallaf, Abdu Wahaab. 2003.Ilmu Ushul Fikih kaidah hukum islam. Jakarta:Pustaka
Amani. h. 258
tunggal (‫ )انفرد‬dari pada lafal banyak (‫ )اشترك‬karena akan menimbulkan arti
yang berbeda-beda dan bisa dalam mengarikan suatu kalimat tersebut.

Seperti halnya dalam lafaz ‫صوم‬


ّ ‫ال‬ secara bahasa ‫امساك‬ yang bermakna
menahan, sedangkan secara istilah bermakna menahan dari semua yang
membatalkan puasa dan sebagai berikut :
1. Lafal dalam firman Allah Swt.

“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali


quru” (QS.al-Baqarah 228)

Adalah musytarak antara makna suci dan haid. Dalam pembahasan


Musykil telah kami jelaskan bahwa alasan yang digunakan sebagain petunjuk
oleh sebagian mujtahid bahwa yang dimaksud adalah suci, dan oleh sebagian
mujtahid lainya bahwa yang dimaksud adalah haid.

2. Lafal dalam firman Allah Swt.


“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya”. (QS. al Maidah : 38).

Adalah musytarak antara hasta (dari ujung jari sampai pundak), antara
telapaktangan dan lengan bawah (dari ujung jari sampai siku), antara telapak
tangan (dari ujung jari sampai pergelangan tangan) dan antara tangan kanan
dan tangan kiri. Ini adalah makna terakhir, yakni dari ujung jari sampai
pergelangan tangan kanan.

3. Lafal yang terdapat dalam firman Allah Swt.

“Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak


meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak.” (QS. an Nisa: 12).

Adalah musytarak. Menurut bahasa secara mutlak diartikan dengan


orang yang yang tidak meninggalkan anak dan orang tua, atau orang yang
ditinggal mati bukan sebagai anak dan bukan orang tua, atau kerabat dari
hubungan selain anak dan orang tua. Mayoritas mujtahid mengambil petunjuk
dengan penelitian terhadap ayat yang menerangkan waris atau menetapkan
bahwa yang dimaksud dengan ayat di atas adalah arti yang pertama.

4. Huruf wawu yang terdapat dalam firman Allah Swt.


“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama
Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu
adalah suatu kefasikan.”(QS. al An`am: 121).

Adalah musytarak yang digunakan untuk `athaf (kata sambung) dan


haal (keterangan keadaan) sedangkan, jika yang dimaksud dalam hal ini
adalah haal, maka larangan itu datang untuk bunatang yang tidak disebutkan
nama Allah kepadanya, sedangkan hal itu adalh kefasikan. Artinya, pada saat
menyembelih yang disebut adalah nama selain Allah. Jika dalam hal ini yang
dimaksud adalah `athaf, maka larangan itu datang untuk binatang yang tidak
disebut nama Allah secara mutlak. Dengan kata lain, pada saat menyembelih
yang disebut nama selain Allah atau tidak menyebut sama sekali.
Para mujtahid dalam menentukan makna ayat tersebut membagi
menjadi dua pendapat, dan masing-masing mepunyai sudut pndang sendiri.
Dalam lafal musytarak tidak boleh dikehendaki dua arti atau lebih
secara bersama-sama, sekira hukum yang ada pada nash itu dalam satu waktu
berhubungan degan lebih dari satu makna. Karena lafal itu tidak dikehendaki
oleh syari`, kecuali hanya satu makna, sedangkan dibuat dengan memiliki
beberapa makna beberapa makna adalah secara bergantian. Artinya, mungkin
berarti “ini” atau “itu”. Sedangkan petunjuknya kepada makna ini dan itu
dalam satu waktu adalah memahami lafal kepada arti yang tidak ditunjukan
oleh lafal itu, baik secara hakikat maupun majaz. Maka tidak sah
menghendaki makna al qur-u dalam ayat di atas dengan suci dan haid secara
bersamaan. Artinya, perempuan yang ditalak, jika mau dapat menunggu tiga
kali masa suci, dan jika mau dapat menunggu tiga kali masa haid. Kerena
lafal itu tidak menunjukan mana ini dengan teori penunjukan yang manapun.
Begitu juga keadaanya dengan nash undang-undang. Jika dalam
nashnya terdapat lafal yang musytarak antara beberapa makna secara bahasa,
sedangkan syari` tidak menjelaskan makna yang dikehendakinya, maka wajib
berijtihad untuk menetukan makna itu. Mungkin dengan perantaraan nash
undang-undang yang lain atau dengan mengembalikan kepada kaidah
pembentukan hukum. Den tidak sah mengartikan lafal yang musytarak itu
lebih dari satu arti (secara bersamaan). Karena lafal yang musytarak tidak
dibuat kecuali hanya untuk satu makna (pada nash), tetapi ia dapat digunakan
untuk satu makan atau lebih.

5. ‫تآويل المشترك‬
dalam menta’wil suatu lafadz musytarak memberikan empat cara dalam
menfasirkan lafaz-lafaz yang di ta’wilkan sebagai berikut :

1. ‫ِم ْن طريق السباقى‬


Pena’wilan dari segi metode terdahulu, yang mana imam syafi’i yang

mengartikan lafaz ‫ قروء‬yang diartkan dengan makana suci.

2. ‫من ناحية اللفظ‬


Pena’wilan dari segi lafaz, yang mana imam abu hanifa yang mengartikan

lafaz ‫ قروء‬yang diartkan dengan makana haid.

3. ‫من التظرالى السياقي‬


Pena’wilan dari segi konteksnya, seperti lafaz ‫الّدى احلّنا دارالمقامة‬
4. ‫ال ّدليل الخارجى‬
Pena’wilan dari segi eksternalnya, yang mana mengartikan lafaz ‫قروء‬ yang
diartkan dengan makana haid.
penakwilan nash harus lebih kuat dari arti zahir yakni dikuatkan dengan
dalil.Contoh tentang petentangan antara juz’i dan dasar umum. Nash yang berarti
juz’i dikompromikan artinya dengan dasar umum yaitu dengan cara mentaqyid
dan dasar umum itu merupakan dalil yang lebih kuat. Telah dijelaskan beberapa
men-taqyid hak kekuasaan atas harta tanpa memadaratkan tetangga dengan
mengamalkan dasar umum yakni sabda Nabi SAW:

‫ال ضرر وال ضرار‬


”Tidak madarat dan tidak memadaratkan ”
Hal itu termasuk kemaslahatan individu, sedang penakwilnnya
berdasarkan kemaslahatan umum yang dijadikan dalil adalah lebih kuat dari pada
zahir lafadz. Begitu pula bertentangan antara zahir dengan nash tidak diragukan
lagi bahwa nash itu menaksis yang zahir karena nash lebih kuat dan lebih jelas.
Selain itu ucapan juga membutuhkan arti asli maksud harus diutamakan.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari penjelasan di atas penulis mengambil beberapa

a. Kajian manthuq dan mafhum sangat erat hubungannya dengan al-Qur’an dan
sunnah. Keduanya sebagai sumber hukum inti syariah Islamiyah dijadikan sebagai
hujjah dari proses yang digali dari pengertian manthuq dan mafhum. Karena pada
dasarnya setiap pengambilan hukum (istinbath) dalam syariat Islam harus berpijak
atas al-Qur’an dan Sunnah Nabi.

b. Penjelasan tentang manthuq dan mafhum harus didahului dengan pengertian


dilalah. Menurut Abu Zahrah (tt: 138) dilalah adalah lafadh-lafadh yang ditinjau
dari segi kejelasan dan kualitas penjelasan itu yang dapat menginterpretasikan
sebagian lafadh-lafadh nash dengan sebagian lainnya untuk
Dalam penggunaan lafaz musytarak ini Para ulama’ ushul fiqh membagi

lafaz menjadi dua yaitu lafaz tunggal (‫ )انفرد‬dan lafaz banyak (‫)اشترك‬. Ulama’
lebih sepakat untuk memililh lafaz tunggal (‫ )انفرد‬dari pada lafal banyak

(‫ )اشترك‬karena akan menimbulkan arti yang berbeda-beda dan bisa dalam


mengarikan suatu kalimat tersebut dan dalam pena’wilan mengacu dalam empat
pilar yaitu :

1. ‫ِم ْن طريق السباقى‬


2. ‫من ناحية اللفظ‬
3. ‫من التظرالى السياقي‬
4. ‫الدّليل الخارجى‬
B. Saran
Hendaknya dalam pembuatan makalah, pergunakanlah kalimat yang
mudah untuk di pahami.

Anda mungkin juga menyukai