Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

Pengambilan Hukum dalam Islam: Tinjauan Kaidah Kebahasaan


diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Worldview Islam Syari’ah

Dosen Pengampu: Siti Anne Barkah Nur Fauziah, M.Pd.

Disusun Oleh:

Kelompok 7

Ilham Mulyadi (432022111072)


Muhammad Hafizh Ramadhani Suryono (432022111099)
Muhammad Sirrul Khuluq (432022111105)

Program Studi Pendidikan Agama Islam


Fakultas Tarbiyah
Universitas Darussalam Gontor
1444 H / 2022 M
PENDAHULUAN

Nash-nash Al-Qur’an dan Hadits berbahasa Arab, untuk memahami secara


sempurna kedua nash tersebut diperlukan pemahaman yang mendalam terhadap
uslub-uslub bahasa arab dan cara penunjukan lafaz nash kepada artinya. Maka
daripada itu, para ulama Ushul Fiqh mencurahkan perhatian lebih kepada
penelitian uslub-uslub dan ibarat-ibarat bahasa arab yang sering digunakan oleh
sastrawan arab dalam mengubah sya’ir dan menyusun prosa dalam bahasa Arab.1

Salah satu bentuk perhatian yang diberikan oleh para ulama’ yaitu dengan
menetapkan kaidah-kaidah dan ketentuan-ketentuan (dhabit), dengan
memperhatikan kaidah-kaidah ini maka akan mengantarkan kepada suatu
pemahaman yang benar dari hukum-hukum yang terdapat dalam nash-nash wahyu
yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Diharapkan dengan ditetapkannya kaidah-kaidah dan
ketentuan-ketentuan (dhabit) ini menjadi alat untuk memperjelas dari makna nash
yang samar serta menghilangkan kontradiksi yang kelihatan di antara nash-nash
itu dan sebagai sarana untuk mentakwil dari makna yang belum jelas.2

Kaidah-kaidah dan ketentuan-ketentuan tersebut merupakan ketentuan


dalam segi kebahasaan yang diambil dari penelitian uslub bahasa arab untuk
memahami makna lahfazh lebih mendalam, kaidah-kaidah tersebut bukanlah
merupakan kaidah keagamaan. Pembahasan tentang kaidah-kaidah kebahasaan ini
dibahas oleh Dr. Wahbah Zuhaili dengan tema “Dalalah” atau cara pengambilan
hukum melalui pembahasan dari nash-nash yaitu Al-Qur’an dan hadits.3

Pada tulisan ini akan dibahas beberapa kaidah yang telah ditetapkan para
ulama sebagai alat untuk istinbath hukum islam yaitu dalalah an-nash, mafhum
mukhallafah, wadhih dalalah, ghoyru wadhih dalalah (mubham), musytarak wa
dalalatuhu, al-amm wa dalaltuhu, dan al-khoss wa dalalatuhu.
1
Muhammad Syukri Albani Nasution, Filsafat Hukum Islam (Depok: PT
Raja Grafindo, 2013). P.142

2
Kasja Eki Waluyo, “Kajian Dalalah Dalam Ushul Fiqh,” Jurnal
Pendidikan Islam Rabbani (2018): 488–497. P. 489

3
Waluyo, “Kajian Dalalah Dalam Ushul Fiqh.”

1
2
PEMBAHASAN

Objek utama dalam pembahasan ushul fiqh yaitu Al-Qur’an dan Hadits
yang berupa nash-nash dalam bahasa arab. Untuk memahaminya, para ulama’
telah menetapkan semacam “semantik” yang akan digunakan untuk proses
penalaran hukum fiqh. Bahasa Arab dalam menyampaikan suatu pesan dengan
berbagai cara, dan dalam beragai tingkat kejelasannya. Untuk itu, para ahlinya
telah membuat beberapa kategori lafal atau redaksi di antaranya yang sangat
penting yang sempat dikemukakan di sini adalah: Masalah amar, nahi, dan
takhyir, pembahasan lafal dari segi umum dan khusus, pembahasan lafal dari segi
mutlaq dan muqayyad, pembahasan lafal dari segi mantuq dan mafhum, dari segi
jelas dan tidak jelas dan dari segi hakiki dan majaznya, seperti secara ringkas akan
dijelaskan berikut ini.4

A. Dalalah An-Nash

Secara kebahasaan dalalah berasal dari bahasa arab dari kata Mufrad Al-
Dalil dengan jamak al-adillah atau al-dalalah yang memiliki arti sesuatu yang
dapat dijadikan petunjuk atau alasan.5 Asal lain dari kata dalalah yaitu bentuk
mashdar dari kata dalla-yadullu yang berarti menunjukkan. Sedangkan secara
terminologi, dalalah yaitu penunjukan suatu lafadz nash kepada pengertian yang
dapat dipahami, sehingga dengan pengertian tersebut dapat mengambil
kesimpulan hukum dari sesuatu dalil nash.6

Memahami dalalah pada nash al-Qur’an dan hadits, merupakan suatu cara
yang sangat efektif ketika melakukan istinbath hukum. Karena, tanpa memahami
dalalah pada kedua nash ini siapa saja tidak akan mampu menjangkau atau
mencapai apa makna sebenarnya daripada suatu teks. karenanya dalam kajian

4
Khisni, Epistimologi Hukum Islam (Semarang: UNISSULA PRESS,
2015), https://www.ptonline.com/articles/how-to-get-better-mfi-results. P.83

5
Hj. Hamsidar, “Urgensi Lafazh Al-Dalalah,” jurnal Ushul Fiqh Islam 2,
no. 1 (2002): 58–71.

6
Waluyo, “Kajian Dalalah Dalam Ushul Fiqh.”.P.491

3
Ushul Fiqh ini pembahasan tentang dalalah lafal nash merupakan salah satu yang
harus diperhatikan dalam proses istinbath hukum.7

Empat cara dalam peninjauan dalalah, yaitu:

1. Ibarah Al-Nash

Ibarah berasal dari bahasa arab, yaitu kata dengan bentuk mufrod yang
jamaknya ibaaraat. Adapun makna ibarah secara bahasa yaitu ibarat, perkataan
dan keterangan. Sedangkan secara istilah bahwasanya ibarah an-nash yaitu
keterangan makna yang ada dalam nash Al-Qur’an dan hadits. Dapat disimpulkan
bahwa ibarah an-nash yaitu makna secara harfiah yang dikaji secara kata-perkata
yang kemudian menggumpal menjadi makna tertentu. Baik makna itu kembali ke
makna asal maupun tidak karena suatu teks dapat memiliki makna secara asal
maupun makna yang menyertai makna asal. 8

Sebagai contoh firman Allah Swt :

ۗ ‫واَ َح َّل هّٰللا ُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم الر ِّٰب‬....


)275 :2/‫( البقرة‬... ‫وا‬ َ
“....Padahal, Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...”

Tampak jelas bahwasanya ayat tersebut menunjukkan dua makna ibarah


yang dimaksudkan oleh redaksi ayat tersbut. Pertama, perbedaan bahwasanya jual
beli tidak sama dengan riba. Kedua, hukum jual beli halal dan riba haram. Kedua
makna ini merupakan makna yang dipahami dari ayat di atas. Akan tetapi makna
pertama adalah makna asal, sebab ayat ini ditujukan untuk menolak ucapan orang-
orang yang berpendapat bahwa jual beli sama dan tidak berbeda dengan riba.9

Adapun makna kedua adalah makna yang dituju oleh redaksi ayat sebagai
makna yang turut menyertai . Sebab kesimpulan ketidaksamaan antara jual beli
dan riba menuntut penjelasan status hukum masing-masing. Sehingga dari
7
Akhmad Farid Mawardi Sufyan, “Thariq Dalalah Al-Nash Menurut Abd
Al-Wahhab Khallaf,” Kariman 5, no. 2 (2017): 79–100.

8
Akhmad Farid Mawardi Sufyan, “Thariq Dalalah Al-Nash Menurut Abd
Al-Wahhab Khallaf.”

9
Waluyo, “Kajian Dalalah Dalam Ushul Fiqh.”

4
susunan lugas redaksi ayat yang menjelaskan status hukum masing-masing (jual
beli dan riba) itu dapat diambil kesimpulan bahwa bahwa keduanya memang
berbeda.

2. Isyarah al-nash

Isyarah berasal dari bahasa arab yang memiliki makna isyarat, alamat dan
tanda. Sehingga secara etimologi dapat dipahami bahwasanya isyarat al-nash yaitu
makna yang terkandung dalam nash dengan tanda dan isyarat. Pengertian isyarat
nash secara istilah menurut Abd Wahhab Khallaf yaitu Makna yang tidak segera
dipahami dari (rangkaian) lafazh-lafazh nash dan merupakan makna yang tidak
dituju oleh redaksi nash itu sendiri. Akan tetapi ia adalah makna lazim (makna
logis) bagi makna yang dapat dipahami dengan segera.

Sebagai contoh firman Allah:

)159 :3/‫م فِى ااْل َ ْم ۚ ِر ( ٰال عمران‬fُْ‫اورْ ه‬


ِ ‫َو َش‬
“.....bermusyawarahlah dengan mereka dalam segala urusan
(penting)....”

Makna Ibarah ayat ini adalah dorongan supaya melakukan musyawarah


dalam urusan yang penting dimusyawarahkan. Makna isyarah ayat ini adalah
wajibnya mewujudkan ketersediaan sekelompok masyarakat yang bisa intens
melakukan musyawarah dalam urusan tertentu. Sebab menyelesaikan urusan dan
tuntutan melakukan musyawarah juga menuntut makna isyarah dimaksud. Makna
Isyarah al-Nash akan semakin banyak bila lebih banyak dilakukan perenungan.
Semakin cerdas seorang mufassir, maka semakin banyak makna Isyarah al-Nash
yang didapatkannya.10

3. Dalalah Al-Nash

Secara kebahasaan, Dalalah adalah kata mufrad (tunggal) dengan jamak.


Adapun makna kata Dalalah secara bahasa berarti penunjukan. Sehingga dengan
demikian arti kata Dalalah al-Nash adalah keterangan makna yang terkandung

10
Akhmad Farid Mawardi Sufyan, “Thariq Dalalah Al-Nash Menurut Abd
Al-Wahhab Khallaf.” P.91

5
dalam nash al-Qur’an dan al-Sunnah berdasarkan penunjukan makna pada nash
itu sendiri. Dengan demikian pengertian Dalalah al-Nash adalah makna yang
digali dari nash berdasarkan pemahaman terhadap semangat makna harfiyah tanpa
melakukan ijtihad dan penggalian hukum.11

4. Iqtidla’ al-Nash

Secara kebahasaan, Iqtidla adalah masdar dari lafazh Iqtadla yang berarti
menuntut. Oleh karena itu, arti kata Iqtidla al-Nash adalah keterangan makna yang
terkandung dalam nash al-Qur’an dan al-Sunnah dengan menuntut hadirnya
sesuatu yang lain. Iqtidla al-Nash adalah makna yang harus dihadirkan dari luar
nash demi kesepurnaan pemaknaan nash itu sendiri.12

B. Mafhum Al-Mukhallafah

Mafhum mukhalafah secara bahasa, dari kata mafhum dan mukhalah.


Mafhum adalah sesuatu yang dipahami, sementara mukhalafah adalah berlawanan
atau bertentangan. Sehingga mafhum mukhalaf artinya yang dipahami berbeda
dari apa yang diucapkan. Sedangkan pengertian mafhum mukhallafah secara
istilah yaitu Penunjukan pembicaraan terhadap tidak adanya hukum yang tetap
terhadap sesuatu yang disebutkan untuk sesuatu yang didiamkan, karena tidak
adanya keterkaitan yang cukup terhadap apa yang diucapkan.13

Ulama imam Syafi’i mendefinisikan Mafhum Mukhallafah yaitu dimana


(hukum) yang tidak disebut (yang dipahami dari lafas nash) berbeda dengan
(hukum) yang disebut (dalam manthuq) lafzh nash, baik dalam istbat maupun
nafy.14

Macam-macam Mafhum Mukhallafah :

11
Hamsidar, “Urgensi Lafazh Al-Dalalah.” P.62

12
Yassirly Amrona Rosyada, “Dalalah Lafdzi (Upaya Menemukan
Hukum),” Al-Ahkam Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum 2, no. 2 (2018): 123–136.
P. 132

13
Agus Miswanto, Ushul Fiqh Metode Istinbath Hukum Islam, Magnum
Pustaka Utama, 2019. P. 163

6
1. Mafhum shifat, Yaitu petunjuk lafal yang disifati dengan sesuatu sifat,
kepada lawan hukumnya ketika tidak adanya sifat tersebut atau
dengan kata lain menghubungkan hukum sesuatu kepada salah satu
sifatnya.
2. Mafhum Syarat, yaitu menetapkan lawan hukum yang diambil dari
syarat yang ada dalam mantuq. Atau dengan ungkapan lain mafhum
syarat adalah petunjuk lafal yang memfaedahkan bagi sesuatu hukum
yang digantungkan dengan syarat kepada lawan hukum ketika tidak
ada syarat.
3. Mafhum Ghayat, menetapkan lawan hukum yang diambil dari batasan
yang ada dalam mantuq. Dengan ungkapan lain, bahwa mafhum
ghayat adalah petunjuk lafal yang memberlakukan hukum ketika
sampai kepada sesuatu tujuan. Mafhum Ghayah juga bermakna
batasan maksimal.
4. Mafhum Adad, yaitu menetapkan lawan hukum dari batasan bilangan
yang ada dalam mantuq. Atau dengan ungkapan lain, bahwa mafhum
adad adalah petunjuk lafal yang memberi faedah suatu hukum ketika
dikaitkan dengan sesuatu bilangan.
5. Mafhum Laqab, yaitu menetapkan hukum bagi mafhum dari isim alam
atau isim jenis yang disebutkan dalam mantuq. Atau dengan ungkapan
lain, mafhum laqab yaitu petunjuk yang diberikan oleh karena
digantungkan hukum dengan sesuatu isim jamid kepada meniadakan
hukum tersebut dari selainnya.
6. Mafhum Hasyr, Yaitu menetapkan lawan hukum dari hukum- hukum
mantuq yang dihasrkan.15

Adapun syarat-syarat mafhum mukhallafah yaitu :

14
M. Mawardi Djalaluddin, “Metode Dilalah Al-Alfadz Dalam Hukum
Islam,” Al Daulah : Jurnal Hukum Pidana dan Ketatanegaraan 5, no. 2 (2016):
291–300.

15
Miswanto, Ushul Fiqh Metode Istinbath Hukum Islam. P. 167

7
1. Mafhum Mukhalafah tidak berlawanan dengan dalil yang lebih
kuat, baik dalil Mantuq maupun Mafhum muwafaqah .
2. Yang disebutkan (Mantuq ) bukan suatu hal yang biasanya terjadi.
3. Yang disebutkan (Mantuq ) bukan dimaksudkan untuk menguatkan
sesuatu keadaan.
4. Yang disebutkan (Mantuq ) harus berdiri sendiri, tidak mengikuti
kepada yang lain.
C. Wadhih Dalalah

Wadih ad-dalalah ialah lafaz yang maknanya langsung dimengerti dengan


melihat redaksinya tanpa tergantung pada faktor di luarnya. 16 Ulama-ulama imam
hanafi membagi lafadz ditinjau dari segi jelas menunjukkan kepada maknanya
yaitu Zhahir, Nash, Mufassar, dan Muhkam.17

Tingkatan-tingkatan wadhih18:

1. Zhahir

Zhahir adalah apasaja yang diketahui maksudnya dengan semata-mata


mendengar tanpa harus berpikir, yaitu apa yang masuk ke dalam akal dan
pemahaman adalah jelasnya maksud, yang diperuntukkan lafaz kepada
maksud tersebut

2. Nash

Nash, yaitu lafaz yang lebih jelas dengan adanya qarinah yang disertai
dengan lafaz dari si pembicara, pada lafaz (pokok pembicaraan) tidak
terdapat sesuatu yang menyebabkan Zhahir tanpa qarinah tersebut.

16
Fatahuddun Aziz Siregar, “Formulasi Hukum Islam; Suatu Implikasi
Lafaz Wadih Dan Mubham,” El-Qonuny 4 (2018): 143–156.

17
M. Jafar, “WADHIH DAN MUBHAM SEBAGAI METODE
ISTINBATH HUKUM; Analisis Teori Antara Aliran Hanafiyah Dengan
Syafi‘Iyah,” Al-Fikrah 3, no. 1 (2014): 44–77. P. 45

18
Jafar, “WADHIH DAN MUBHAM SEBAGAI METODE ISTINBATH
HUKUM; Analisis Teori Antara Aliran Hanafiyah Dengan Syafi‘Iyah.” P. 70

8
3. Mufassar

Mufassar adalah lafaz yang menunjuk kepada hukum (makna) dengan


petunjuk yang jelas, ia tidak dapat ditakwilkan atau ditakhsis tetapi ia
dapat menerima nasakh pada zaman Rasulullah Saw. Al- Sarakhsiy
membuat definisi Mufassar dengan nama bagi yang terbuka yang
diketahui maksudnya dan ia tidak ada kemungkinan untuk ditakwilkan.

4. Muhkam

Muhkam adalah lafaz yang menunjuk kepada makna sebagaimana


dikehendaki oleh lafaz tersebut dengan petunjuk yang jelas dan pasti,
tetapi ia tidak dapat ditakwilkan, ditakhsiskan dan dinasakhkan pada masa
Rasulullah Saw masih hidup dan juga pada masa setelah beliau wafat.

D. Ghoyru Wadhih Dalalah (Mubham)

Mubham adalah lafaz yang menunjuk kepada makna lain yang dimaksud
dari lafaz itu. Kemudian mereka membagikan lafaz ditinjau dari segi tidak jelas
menunjukkan maknanya kepada empat macam juga yaitu khafi, musykil, mujmal,
dan mutasyabih.

Tingkatan-tingkatan mubham19:

1. Khafi

Khafi adalah segala yang serupa atau menyamai beberapa makna dan
tersembunyi maksudnya dengan adanya dalil yang bukan sighat, tidak
akan tercapai pada maksudnya kecuali dengan dicari.

2. Musykil

Musykil yaitu lafaz-lafaz yang merasa sukar bagi pendengarnya untuk


memahami maknanya, baik makna langsung ketika lafaz dibuat untuknya
atau makna yang dipinjam untuk lafaz tersebut. Karena maknanya halus
(mendalam) pada diri lafaz tersebut, bukan karena faktor lain.

19
Jafar, “WADHIH DAN MUBHAM SEBAGAI METODE ISTINBATH
HUKUM; Analisis Teori Antara Aliran Hanafiyah Dengan Syafi‘Iyah.” P.68

9
3. Mujmal

Mujmal adalah lafaz yang tidak mungkin dipikirkan maknanya sekali-kali.


Karena ketika dibuat jauh sekali maknanya secara bahasa atau memakai
makna pinjaman (isti‘arah). Al-Bazdawi di dalam “Ushul”nya
mendefinisikan, lafaz yang banyak maknanya dan serupa beberapa
maksudnya dengan persamaan yang tidak mungkin didapatkan melalui
ungkapannya, tetapi didapatkan melalui penafsiran lalu dicari kemudian
diteliti dan dikaji secara mendalam.

4. Mutasyabih

Mutasyabih adalah lafaz yang ada kemungkinan dua makna atau lebih.
Untuk mengarahkan maksud kepada satu dari banyak makna harus dengan
qarinah yang menunjuk kepadanya. Sebagian ulama lain
mendefinisikannya dengan, lafaz yang tersembunyi maknanya pada diri
lafaz tersebut, dan tidak dapat ditafsirkan dengan al-Qur’an dan al-Hadith.
Dan tidak ada harapan bagi seorangpun untuk mengetahui maknanya di
dunia. Atau tidak ada harapan untuk mengetahui maknanya kecuali bagi
orang-orang yang rasikh (mendalam) dalam ilmu saja.

E. Musytarak wa Dalalatuhu

Musytarak secara bahasa bermakna persekutuan, sedangkan secara istilah


bermakna yaitu lafaz yang diciptakan untuk dua hakikat atau lebih yang
kontradiksi. Adapun musytarak dicipta untuk beberapa makna yang
penunjukannya kepada makna dengan cara pergantian.20

Sebab-sebab timbulnya lafaz musytarak:

1. Lafaz itu digunakan oleh satu suku untuk suku yang lain berbeda
maknanya dan kemudian sampai kepada kita dengan kedua makna
itu tanpa ada keterangan dari penciptanya.
20
Nasri, “Dilalah Dalam Perspektif Hukum Islam; Analisis Deskriptif
Klasifikasi Dilalah Sebagai Penunjukan Atas Hukum Dalam Islam,” Bintang;
Jurnal Pendidikan dan Sains STIT Palapa Nusantara Lombok NTB 2, no. 2
(2020): 168–179, https://ejournal.stitpn.ac.id/index.php/bintang. P. 176

10
2. Lafaz itu menurut hakikatnya dipakai untuk satu makna kemudian
dipakai pula pada makna lain tetapi secara majazi.
3. Lafaz itu semula untuk satu makna kemudian dipindah kepada
istilah syar’i untuk arti yang lain.
4. Asimilasi bahasa, misalkan antara bahasa arab dengan bahasa
persia. Kata ‫ بحال‬bisa diartikan dengan kaish sayang, juga bisa
diartikan sebagai cawan atau botol yang disi air hasil asimiliasi
kedua bahasa tersebut.21
F. Al-‘Amm wa Dalalatuhu

Lafadz ‘Amm jika dilihat dari segi bahasa berarti mencakup keseluruhan
atau yang umum. Sedangkan menurut istilah pengertian ‘am dalam ilmu ushul
fiqh yaitu suatu lafal yang digunakan untuk menunjukkan suatu makna pada
jumlah yang banyak yang mencakup seluruh satuan-satuan yang tidak terbatas.
Lafadz ‘amm merupakan suatu lafadz yang meliputi semua pengertian yang dapat
mencakup seluruh bagian satuan-satuan yang tanpa batas. Jika terdapat suatu
lafadz yang menunjukkan kuantitas satuan yang terbatas maka bukanlah disebut
dengan ‘am. 22

Lafazh ‘amm terbagi menjadi empat jenis23 :

1. Lafazh jama’
2. Lafazh jinis
3. Kata ganti (al-faz mubham)
4. Kata benda tunggal yang diawali dengan kata sandang.

21
Hammam, “Analisis Lafadz Musytarak Dalam Al-Quran Dan Pengaruhnya Dalam
Tafsir Ahkam,” Konfrensi Nasional Bahasa Arab VI (2020): 841–855, http://prosiding.arab-
um.com/index.php/konasbara/article/view/738. p. 843

22
Sarmiji Aseri, “Qaidah Al-Lughawiyah Aam Dan Khas Dalam Aplikasi
Penetapan Ukum Kontemporer,” Jurnal Syariah Darussalam 6, no. 2 (2021): 1–
16. P.3

23
Sofian Al Hakim, “Konsep Dan Implementasi Al-‘Âmm Dan Al-Khâsh
Dalam Peristiwa Hukum Kontemporer,” Asy-Syari’ah 17, no. 2 (2015). P. 79

11
Shigat-shigat lafazh ‘amm24 :

1. Lafazh-lafazh jamak
2. Jamak yang dima’rifatkan dengan al yang bermakna istigraq atau
yang dima’rifatkan dengan idhofah.
3. Lafaz mufrâd yang di-ma‘rifat-kan dengan al-istigraqiyah atau di-
ma‘rifat-kan dengan idlâfah .
4. Nakirah dalam konteks negasi (larangan) atau syarat.
5. Asma al-mawshûlah
6. Asma al-syart
7. Asma al-istifham
G. Al-Khoss wa Dalalatuhu

Pengertian khâsh adalah lawan dari pengertian ‘âmm (umum). Dengan


demikian, jika telah memahami pengertian lafaz ‘âmm secara tidak langsung, juga
dapat memahami pengertian lafaz khâsh. Singkatnya bahwa setiap lafaz yang
menunjukkan arti tunggal itulah lafaz khâs. Dan menurut kesepakatan para ulama
bahwa setiap lafaz yang khâs, menunjukkan pengertian yang qath’iy yang tidak
mengandung adanya kemungkinan- kemungkinan yang lain.25

Macam-macam lafazh khas26:

1. Lafadz khas yang mutlaq, ialah lafadz yang tidak diikuti/ tidak
dibatasi oleh syarat apapun.
2. Lafadz khas yang muqayyad, ialah lafadz khas yang dibatasi oleh
suatu syarat tertentu.

24
Al Hakim, “Konsep Dan Implementasi Al-‘Âmm Dan Al-Khâsh Dalam
Peristiwa Hukum Kontemporer.”

25
Muhammad Amin Sahib, “Lafadz Ditinjau Dari Segi Cakupannya,”
Hukum Diktum 14, no. 2 (2016): 138–147,
https://www.ptonline.com/articles/how-to-get-better-mfi-results.

26
Aseri, “Qaidah Al-Lughawiyah Aam Dan Khas Dalam Aplikasi
Penetapan Ukum Kontemporer.” P.10

12
3. Bentuk Amr (Perintah), Jika lafadz khusus yang ada pada nash
syara’ berbentuk perintah atau bentuk berita yang memiliki arti
perintah maka itu artinya wajib, yaitu menuntut sesuatu yang
diperintahkan atau yang diberitakan secara tetap dan pasti.
4. Bentuk Nahi (Larangan), yaitu lafadz yang dipakai untuk menuntut
agar meninggalkan suatu larangan.

13
PENUTUP

Agama Islam merupakan agama wahyu yaitu berupa Al-Qur’an dan


Hadits Nabawiyyah. Al-Qur’an diturunkan oleh Allah swt dalam bahasa arab dan
begitu juga dengan hadits nabi. Bahasa arab merupakan bahasa yang paling kaya
akan uslub-uslub dan sastranya. Maka dari pada itu, untuk memahami wahyu dari
Allah swt yang diturunkan dalam bahasa arab dibutuhkan kaidah-kaidah tertentu
yang digunakan untuk menalar lebih dalam makna-makna yang terkandung dalam
nash-nash wahyu. Para ulama telah menetapkan kaidah-kaidah dan ketentuan-
ketentuan kebahasaan tersebut guna menggali makna mendalam dari nash-nash al-
quran dan hadits yang tujuan lebih lanjutnya untuk menetapkan suatu hukum
syari’at. Disana terdapat beberapa kaidah yang herus dipahami yaitu dalalah al
nash, mafhum mukhallafah, wadhih dalalah, ghoyru wadhih dalalah (mubham),
musytarak wa dalalatuhu, ala mm wa dalalatuhu, al-khoss wa dalalatuhu.
Beberapa kaidah yang telah ditetapkan ini akan mengantarkan seorang mujtahid
kepada lautan makna nash yang dengannya dapat dikeluarkan suatu hukum terkait
suatu perkara.

14
DAFTAR PUSTAKA

Akhmad Farid Mawardi Sufyan. “Thariq Dalalah Al-Nash Menurut Abd Al-
Wahhab Khallaf.” Kariman 5, no. 2 (2017): 79–100.

Aseri, Sarmiji. “Qaidah Al-Lughawiyah Aam Dan Khas Dalam Aplikasi


Penetapan Ukum Kontemporer.” Jurnal Syariah Darussalam 6, no. 2 (2021):
1–16.

Djalaluddin, M. Mawardi. “Metode Dilalah Al-Alfadz Dalam Hukum Islam.” Al


Daulah : Jurnal Hukum Pidana dan Ketatanegaraan 5, no. 2 (2016): 291–
300.

Al Hakim, Sofian. “Konsep Dan Implementasi Al-‘Âmm Dan Al-Khâsh Dalam


Peristiwa Hukum Kontemporer.” Asy-Syari’ah 17, no. 2 (2015).

Hammam. “Analisis Lafadz Musytarak Dalam Al-Quran Dan Pengaruhnya Dalam


Tafsir Ahkam.” Konfrensi Nasional Bahasa Arab VI (2020): 841–855.
http://prosiding.arab-um.com/index.php/konasbara/article/view/738.

Hamsidar, Hj. “Urgensi Lafazh Al-Dalalah.” jurnal Ushul Fiqh Islam 2, no. 1
(2002): 58–71.

Jafar, M. “WADHIH DAN MUBHAM SEBAGAI METODE ISTINBATH


HUKUM; Analisis Teori Antara Aliran Hanafiyah Dengan Syafi‘Iyah.” Al-
Fikrah 3, no. 1 (2014): 44–77.

Khisni. Epistimologi Hukum Islam. Semarang: UNISSULA PRESS, 2015.


https://www.ptonline.com/articles/how-to-get-better-mfi-results.

Miswanto, Agus. Ushul Fiqh Metode Istinbath Hukum Islam. Magnum Pustaka
Utama, 2019.

Nasri. “Dilalah Dalam Perspektif Hukum Islam; Analisis Deskriptif Klasifikasi


Dilalah Sebagai Penunjukan Atas Hukum Dalam Islam.” Bintang; Jurnal
Pendidikan dan Sains STIT Palapa Nusantara Lombok NTB 2, no. 2 (2020):
168–179. https://ejournal.stitpn.ac.id/index.php/bintang.

Nasution, Muhammad Syukri Albani. Filsafat Hukum Islam. Depok: PT Raja

15
Grafindo, 2013.

Rosyada, Yassirly Amrona. “Dalalah Lafdzi (Upaya Menemukan Hukum).” Al-


Ahkam Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum 2, no. 2 (2018): 123–136.

Sahib, Muhammad Amin. “Lafadz Ditinjau Dari Segi Cakupannya.” Hukum


Diktum 14, no. 2 (2016): 138–147. https://www.ptonline.com/articles/how-
to-get-better-mfi-results.

Siregar, Fatahuddun Aziz. “Formulasi Hukum Islam; Suatu Implikasi Lafaz


Wadih Dan Mubham.” El-Qonuny 4 (2018): 143–156.

Waluyo, Kasja Eki. “Kajian Dalalah Dalam Ushul Fiqh.” Jurnal Pendidikan
Islam Rabbani (2018): 488–497.

16

Anda mungkin juga menyukai