Anda di halaman 1dari 15

MANTHUQ DAN MAFHUM

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Metode Istinbath Hukum

Disusun oleh :

Nabila Muthi’ah Farras : 1116034000001


Muhammad Rizki Fadhillah : 11160340000019
Muji Laturokhmah : 11160340000045

PROGRAM STUDI ILMU AL- QURAN & TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2019
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah subhanahu wa ta’ala, yang telah memberikan


kemudahan, karunia dan rahmat dan hidayah- Nya, sehingga penyusun dapat
menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat beserta salam semoga tetap
tercurah kepada junjungan kita, sayyidinaa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam, seorang hamba dan utusan Allah sebagai rahmat bagi sekalian alam. Tidak
lupa juga kita curahkan untuk keluarga Nabi dan para sahabat Nabi, yang telah
mendampingi beliau dalam menyampaikan seruan Allah. Semoga tercurah
keselamatan dan kebahagiaan atas mereka. Amin.
Penyusunan makalah ini tidak lepas dari bimbingan dan dukungan berbagai
pihak oleh karena itu pada kesempatan ini penyusun mengucapkan terima kasih
sebanyak-banyaknya kepada orang-orang yang selalu mendukung dalam
mengerjakan tugas ini.
Akhir kata, penyusun menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata
sempurna dan banyak kekurangan. Oleh sebab itu,kritik dan saran sangat
diharapkan dari pembaca.

Ciputat, 12 Maret 2019

Metode Istinbath Hukum | ii


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................. ii

DAFTAR ISI ................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ......................................................................................... 4

B. Rumusan Masalah .................................................................................... 4

C. Tujuan Masalah ........................................................................................ 4

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Manthuq dan Mafhum ............................................................ 5

B. Pembagian Manthuq .................................................................................. 6

C. Pembagian Mafhum .................................................................................. 8

D. Syarat dan Pembagian Mafhum Mukhalafah .......................................... 11

E. Berhujjah Dengan Mafhum Mukhalafah ................................................. 12

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................................................ 14

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 15

Metode Istinbath Hukum | iii


BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Segala perintah yang ada dalam al-quran maupun hadits nabi


mempunyai dilalah dan lafazh yang berbeda-beda untuk mencestukan hukum.
Bukan hanya dengan memahami secara jelas dari lafazh tersebut saja sebuah
hukum dapat dicetuskan, akan tetapi masih banyak dilalah lain yang dijadikan
pegangan oleh ulama dalam menentukan sebuah hukum.

Perbedaan penemuan hukum (istinbath al-ahkam) terjadi akibat


beberapa factor, baik internal maupun eksternal. Salah satu faktor penyebab
perbedaan tersebut adalah perbedaan ulama ushul dalam memahami makna
nash alquran dan hadits melalui lafazh. Pemahaman lafazh al-quran dan hadits
ini ada kalanya dapat dipahami apa adanya dan ada kalanya butuh kedalaman
kata sehingga muncul makna yang terkandung dalam lafazh tersebut.

2. Rumusan Masalah
a. Apa itu Manthuq dan Mafhum?
b. Apa saja pembagian Manthuq dan Mafhum?
c. Bagaimana hukum berhujjah dengan Mafhum Mukhalafah?
d. Apa syarat-syarat untuk berhujjah dengan Mafhum Mukhalafah?

3. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memahami


pengambilan keputusan suatu hukum melalui dalalah manthuq dan mafhum.

Metode Istinbath Hukum | 4


BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Manthuq dan Mafhum

Secara etimologi manthuq berasal bahasa Arab (‫ ينطق‬-‫ )نطق‬yang


artinya berbicara, ‫( منطوق‬isim maf’ul) berarti yang dibicarakan. Manthuq
adalah arti yang diperlihatkan oleh lafaz yang diungkapkan (yakni, petunjuk
arti tidak keluar dari unsur-unsur huruf yang diucapkan).1, sedangkan
menurut istilah ahli Ushul Fiqih:

‫المذكور حكم على النطق محل في اللفظ داللة‬


“Penunjukan lafazh menurut apa yang diucapkan atas hukum
menurut apa yang disebut dalam lafazh itu”2

Dengan kata lain, bahwa manthuq itu ialah makna yang tersurat atau
terbaca. Contoh, QS. Al-Baqarah (2):275 …‫الربا حرم و البيع هلل أحلّ و‬
“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”3

Mafhum secara Bahasa ialah sesuatu yang dipahami dari teks.4


Menurut istilah lafazh yang kandungan hukumnya dipahami dari apa yang
terdapat dibalik dari arti manthuq-nya. Dengan kata lain, mafhum itu disebut
dengan makna tersirat.5 Sedangkan menurut ulama ushul fiqih:

‫داللة اللفظ ال في محل النطق على ثبوت حكم ما ذكر لما سكت عليه أو‬
‫على نفي الحكم عنه‬
“penunjukan lafazh yang tidak dibicarakan atas berlakunya hukum
yang disebutkan terhadap apa yang tidak disebutkan, atau tidak berlakunya
hukum itu”6

1
Rosihon, Mutiara Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Bandung: Pustaka Setia, 1999, h. 233
2
Garis-Garis besar Ushul Fiqh, Amir Syarifudin, Kencana: Jakarta, 2012, hal. 121
3
Ilmu Ushul Fiqh fi Tsubuti al-Jadid, Muhammad Jawad Mughniyah, Darul ‘Ilmi, Beirut, hal. 142
4
Ushul Fiqh, Satria Effendi M, Zein, Kencana: Jakarta, 2005, hal. 210
5
Ushul Fiqih, Sapiudin Shidiq, Kencana: Jakarta, 2011, hal. 192
6
Garis-Garis besar Ushul Fiqh, Amir Syarifudin, Kencana: Jakarta, 2012, hal. 121

Metode Istinbath Hukum | 5


2. Pembagian Manthuq

a. Manthuq Sharih
Secara Bahasa berarti sesuatu yang diucapkan secara tegas,
menurut istilah, seperti dikemukakan oleh Musthafa Sa’id al-Khin
ialah:
‫ما وضع اللفظ له فيدل له با لمطابقة أو با لتضمين‬
“makna yang secara tegas ditunjukan oleh suatu lafazh sesuai
dengan penciptaannya baik secara penuh atau berupa bagiannya”.
Misalnya, QS An-Nisa (3): 3

‫ فإن خفتم ا َ ّال تعدلوا‬,‫فا نكحوا ما طاب لكم من النسآء مثنى و ثالث و رباع‬
.....‫فواحدة‬
“….maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga,
atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku
adil, maka (nikahilah) seorang saja….”

Yang mencantumkan hukum boleh menikah lebih dari satu


orang dengan syarat adil. Jika tidak wajib membatasi seorang saja.7

b. Manthuq Ghairu Sharih


Yaitu pengertian yang diambil bukan dari makna asli dari
suatu lafazh, tetapi sebagai konsekuensi dari suatu ucapan. Manthuq
ghairu sharih ini terbagi menjadi tiga bagian:

i. Dalalat al-‘ima
Yaitu suatu pengertian yang bukan ditunjukan
langsung oleh suatu lafal, tetapi melalui pengertian logisnya,
karena menyebutkan suatu hukum langsung setelah
menyebut suatu sifat atau peristiwa. Contohnya, hadits
riwayat ahmad bin tirmidzi dari said bin Zaid bahwa
Rasulullah bersabda:

‫عن جابر بن عبدهللا عن النبي قال َمن أحيى أرضا ميّتة فهي له‬
)‫(رواه الترمذى‬

7
Ushul Fiqh, Satria Effendi M, Zein, Kencana: Jakarta, 2005, hal. 211

Metode Istinbath Hukum | 6


“dari Jabir bin Abdillah dari Nabi SAW bersabda:
barangsiapa yang menghidupkan (mulai mengolah) tanah
yang sudah mati, maka tanah itu menjadi miliknya”

Hadits tersebut menunjukan hukum melalui


manthuq-nya seperti yang jelas tertulis juga melalui dalalat
al-ima-nya yaitu bahwa aktivitas menghidupkan tanah mati
itulah yang menjadi illat bagi pemilikan tanah untuknya.

ii. Dalalat isyarat


Yaitu suatu pengertian yang ditunjukan oleh suatu
redaksi, namun bukan pengertian aslinya, tetapi merupakan
suatu kemestian atau konsekuensi dari hukum yang
ditunjukan oleh redaksi itu. Contoh, QS Al-Ahqaf ayat 15:

‫صينا ا ِالنسان بوالديه احسانا حملته ا ّمه كرها ووضعته كرها‬


ّ ‫وو‬
‫وحمله وفصاله ثالثون شهرا‬

“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik


kepada kedua orangtuanya, ibunya mengandung dengan
susah payah dan melahirkannya dengan susah payah (pula).
Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh
bulan…”

Dan dalam QS Luqman ayat 14 dijelaskan:

‫وهن وفصاله في‬


ٍ ‫صينا ا ِالنسان بوالديه حملته امه وهنا على‬
ّ ‫وو‬
... ‫عامين‬
“dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik)
kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya telah
mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-
tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun…”

Manthuq ayat pertama, menjelaskan jumlah masa


kandungan dan masa menyusukan selama tiga puluh bulan,
dan pada ayat kedua, dijelaskan masa menyusu selama dua
puluh empat bulan (2 tahun). Hal ini menunjukan (dalalat
isyarat) bahwa sisanya, yaitu 6 bulan adalah masa minimal
dalam kandungan. Kesimpulan bahwa masa minimal
kandungan adalah 6 bulan bukan dimaksud turunnya ayat,

Metode Istinbath Hukum | 7


tetapi merupakan suatu kemestian dari ketegasan dua ayat
tersebut.

iii. Dalalat al-Iqtida’


Yaitu pengertian kata yang disisipkan secara tersirat
(dalam pemahaman) pada redaksi tertentu yang tidak bisa
dipahami secara lurus kecuali dengan adanya penyisipan itu.
Contoh:

‫ذر الغفاري قال قال النبي صلىىى هللا عليه و سلم‬


ّ ‫عن أبى‬
‫إنّ هللا تجاوز عن أ ّمتي الخطاأ و النسيان وما استكرهوا عليه‬

“dari Abu Dzar al-Ghifari berkata, Rasulullah SAW


bersabda: sesungguhnya Allah mengangkat dari umatku
tersalah, lupa, dan keterpaksaan” (HR Ibnu Majah).

Hadits tersebut secara jelas menunjukan bawah


tersalah, lupa, dan keterpaksaan diangkatkan dari umat
Muhammad SAW. Pengertian tersebut sudah jelas tidak
lurus karena bertentangan dengan kenyataan. Untuk
meluruskan maknanya perlu disisipkan secara tersirat kata
al-ism (dosa) atau al-hukm (hukum), sehingga demikian arti
hadits menjadi: diangkatkan dari umatku (dosa atau hukum)
perbuatan tersalah, karena lupa, atau karena terpaksa.8

3. Pembagian Mafhum

a. Mafhum Muwafaqah
Ialah penunjukan hukum melalui motivasi tersirat atau
alasan logis dimana rumusan hukum dalam manthuq dilandaskan.
Contoh QS An-Nisa (3): 10

‫إنّ الذين يأكلون أموال اليتامى ظلما إنّما يأكلون في بطونهم نارا و‬
‫سيصلون سعيرا‬

8
Ushul Fiqh, Satria Effendi M, Zein, Kencana: Jakarta, 2005, hal. 211-214

Metode Istinbath Hukum | 8


“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara
zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan
mereka akan masuk kedalam api yang menyala-nyala (neraka)”.

Manthuq dari ayat tersebut menunjukan haram memakan


harta anak yatim diluar ketentuan hukumnya. Dapat diketahui
larangan tersebut adalah karena tindakan itu mengakibatkan lenyap
atau rusaknya harta anak yatim. Melalui mafhum muwafaqah-nya
tanpa memerlukan ijtihad diketahui bahwa setiap tindakan yang bisa
melenyapkan atau merusak harta anak yatim, seperti menipu,
membakar dan sebagainya, adalah haram hukumnya.9

Mafhum Muwaffaqah, terbagi menjadi dua:

i. Mafhum Awlawi (Fahwal Khitab)


Bila hukum yang berlaku pada yang tidak disebutkan
lebih kuat daripada yang disebutkan. Contoh QS Al-Isra
(17): 23

ّ‫و قضى ربك أالّ تعبد إالّ إياه و بلوالدين إحسانا إ ّما يبلغن‬
‫أف وال تنهر هما و قل‬ ّ ‫عندك الكبر أحدهما أو كال هما فال تقل لهما‬
‫لهما قوال كريما‬

“dan tuhamnu telah memerintahkan supaya kamu jangan


mneyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik
kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah
seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai
berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali
janganlah kamu mengatakan kepada kedua “ah” dan
janganlah kamu membentak mereka dan ucapkan kepada
mereka perkataan yang mulia.”
Hukum yang disebutkan dalam ayat ini adalah
larangan mengucapkan kata kasar kepada orang tua,
sedangkan hukum yang tidak disebutkan adalah larangan
memukul orang tua yang kedudukannya lebih kuat.

9
Ushul Fiqh, Satria Effendi M, Zein, Kencana: Jakarta, 2005, hal. 211-214

Metode Istinbath Hukum | 9


ii. Mafhum Musawi (Lahnul Khitab)
Yaitu bila hukum yang berlaku pada yang tidak
disebutkan sama kekuatannya dengan yang disebutkan
seperti firman Allah dalam QS An-Nisa (3): 10:

‫إنّ الذين يأكلون أموال اليتامى ظلما إنّما يأكلون في بطونهم نارا و‬
‫سيصلون سعيرا‬
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak
yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api
sepenuh perutnya dan mereka akan masuk kedalam api yang
menyala-nyala (neraka)”.
Hukum yang disebutkan dalam ayat ini adalah
haramnya memakan harta anak yatim, sedangkan hukum
yang tidak disebutkan adalah membakar harta anak yatim
yang kedudukannya adalah sama.10

b. Mafhum Mukhalafah

Mafhum Mukhalafah itu terjadi bila hukum yang disebutkan


disertai suatu Qa’id baik dalam bentuk sifat, syarat, batas waktu,
bilangan, atau sebutan tertentu (laqab). Dalam keadaan tidak
terdapat padanya sifat, syarat, bilangan, batas waktu, atau sebutan
tertentu, maka berlakulah hukum yang berlawanan dengan apa yang
disebutkan.11 Contohnya QS An-Nisa (4): 25

‫و من لم يستطع منكم طوال أن ينكح المحصنات المؤمنات فمن ما‬


‫ملكت أيمانكم من فتياتكم المؤمنات‬

“Barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak


perbelanjaannya untuk menikahi perempuan yang merdeka lagi
beriman, makai a boleh menikahi perempuan yang beriman, dari
budak-budak yang kamu miliki”

Dilalat al-manthuq dari ayat ini menunjukkan adanya


kebolehan menikahi hamba sahaya bagi laki-laki yang tidak mampu
memberi penghidupan yang layak dalam menikahi perempuan
mukmin yang merdeka. Berdasarkan dilalat mafhum mukhalafah

10
Amir syarifudin, Garis-Garis besar Ushul Fiqih, Kencana: Jakarta, 2012, hal. 123-125
11
Amir syarifudin, Garis-Garis besar Ushul Fiqih, Kencana: Jakarta, 2012, hal. 125

Metode Istinbath Hukum | 10


dari ayat ini, dapat disimpulkan bahwa haram hukumnya menikahi
hamba sahaya bagi laki-laki yang mampu memberi penghidupan
yang layak dalam menikahi perempuan mukmin yang merdeka.12

4. Syarat-Syarat dan Pembagian Mafhum Mukhalafah

a. Syarat-syarat Mafhum Mukhalafah adalah:


i. Mafhum Mukhalafah tidak bertentangan dengan dalil
manthuq

ii. Hukum yang disebutkan dalam manthuq tidak disebutkan


sekadar menunjukan keinginan

iii. Hukum yang terdapat dalam manthuq tidak merupakan


jawaban atas pertanyaan yang menyangkut hukum.

iv. Manthuq bukan dalam hal-hal yang biasa berlaku.

v. Dalil manthuq tidak disebutkan secara terpisah.13

b. Macam-macam Mafhum Mukhalafah

i. Mafhum dengan sifat, contohnya hadits nabi “pada biantang


yang digembalakan di rerumputan bebas, maka ada
zakatnya” maka mafhum-nya adalah binatang yang
dikandang (diberi makan dengan mengeluarkan biaya).

ii. Mafhum dengan ghayah, contohnya “makan dan minumlah


hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam”.
Mafhum-nya apabila telah terang benang putih dari benang
hitam (fajar) maka hentikan makan dan minum, artinya
berpuasa.

iii. Mafhum dengan syarat, contohnya jika mereka (istri-istri


yang telah ditalak itu sedang hamil, maka berikanlah kepada

12
Asmawi, Perbandingan ushul Fiqih, UIN Jakarta Press: Ciputat, 2006, hal. 154
13
Amir syarifudin, Garis-Garis besar Ushul Fiqih, Kencana: Jakarta, 2012, hal. 126

Metode Istinbath Hukum | 11


mereka nafkahnya. Mafhum-nya adalah jika bukan wanita-
wanita yang tidak dalam keadaan hamil, maka tidak harus
memberikan nafkah.

iv. Mafhum dengan bilangan, contohnya firman Allah QS An-


Nur (24): 4 “maka deralah mereka yang menuduh itu 80 kali
dera”. Mafhum-nya yaitu tidak boleh menderanya kurang
dari 80 atau lebih dari 80.

v. Mafhum dengan gelar (laqab), contohnya Muhammad


adalah utusan Allah SWT. Mafhum-nya adalah selain
Muhammad.14

5. Berhujjah Dengan Mafhum Mukhalafah

Mafhum Mukhalafah ada suatu istilah yang popular dalam ilmu


ushul fiqih. Namun tentang penetapan hukum melalui cara mafhum
mukhalafah ini terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama.
Jumhur ulama sepakat untuk beramal dengan menggunakan mafhum
mukhalafah, kecuali mafhum laqab karena dalam bentuk mafhum laqab itu
tidak mungkin kita menghasilkan suatu ketentuan hukum kebalikannya;
sebab dengan berlakunya suatu ketentuan pada nama tertentu, maka tidak
lazim untuk tidak memberlakukannya diluar nama itu.
Diantara argumentasi jumhur ulama adalah sebagai berikut:
a. Yang mudah dipahami dari ungkapan Bahasa Arab dan tradisi
penggunaan ‘ibaratnya adalah bahwa mengaitkan sesuatu
dengan sifat, syarat, bilangan, dan batas waktu untuk
menunjukan berlakunya hukum tersebut; juga menunjukan tidak
berlakunya hukum tersebut bila kaitan itu tidak ada.15

b. Sahabat-sahabat besar, para Tabi’in, dan Imam-imam mujtahid


serta ahli Bahasa menggunakan mafhum mukhalafah

14
Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqih, Jakarta: Kencana, 2011, hal.193-195
15
Amir Syarifudin, Ushul Fiqih Jilid II, Kencana: Jakarta, 2008. Halaman 162

Metode Istinbath Hukum | 12


c. Secara logika adanya kaitan yang terdapat pada nash-nash syara’
dalam bentuk sifat, syarat, ghayah, bukan suatu kesia-kesiaan,
melainkan ada manfaat tertentu.16

Berbeda dengan jumhur ulama, ulama Hanafiyyah justru tidak


menerima mafhum mukhalafah sebagai landasan pembentukan hukum
dengan alasan diantaranya:

a. Jika mafhum mukhalafah difungsikan pada banyak ayat al-


Quran dan hadi nabi saw akan merusak pengertian yang terdapat
pada ayat dan hadis tersebut dan meniadakan hukum yang
ditetapkan syara’ melalui ayat dan hadis tersebut.17

b. Banyak nash syara’ yang menunjukan suatu hukum diberi kaitan


dengan suatu kait, namun hukum itu tetap saja berlaku meskipun
kaitan tersebut tidak ada.

c. Tidaklah umum dalam ungkapan Bahasa arab bahwa


mengaitkan hukum dengan sifat, syarat, bilangan, atau batas
waktu berarti menunjukkan berlakunya hukum ketika ada
kaitannya itu, dan hukum itu tidak berlaku bila kaitan itu tidak
ada.18

16
Tumin, Pendapat Ulama Tentang Hukum Berhujjah dengan Mafhum Mukhalafah, Syarah:
Jurnal Hukum Islam, Vol.7. No.1. Januari-Juni 2018, hal. 10-11
17
Tumin, Pendapat Ulama Tentang Hukum Berhujjah dengan Mafhum Mukhalafah, Syarah:
Jurnal Hukum Islam, Vol.7. No.1. Januari-Juni 2018, hal. 10-11
18
Amir Syarifudin, Ushul Fiqih Jilid II, Kencana: Jakarta, 2008. Halaman 163-164

Metode Istinbath Hukum | 13


BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan

Manthuq merupakan arti yang diperlihatkan oleh lafazh itu sendiri.


Sedangkan Mafhum adalah kandungan yang dipahami dari lafazh manthuq
tersebut. Manthuq dibagi menjadi dua yaitu; manthuq sharih dan manthuq
ghairu sharih. Mafhum juga dibagi dua yaitu; mafhum muwafaqah dan
mafhum mukhalafah.

Dalam berhujjah dengan mafhum mukhalafah, ada perbedaan


pendapat antara ulama hanafiyyah dan jumhur ulama. Ulama Hanafiyyah
tidak menerima mafhum mukhalafah sebagai salah satu dasar pembentukan
hukum karena dapat merusak pemahaman, sedangkan jumhur ulama
menerima mafhum mukhalafah kecuali mafhum laqab dengan argumentasi
bahwa mafhum mukhalafah mengandung manfaat atau arti tertentu.

Metode Istinbath Hukum | 14


DAFTAR PUSTAKA

Asmawi. Perbandingan Ushul Fiqih. Ciputat: UIN Jakarta Press. 2006

Zein, M Satria Effendi. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana. 2005.

Syarifudin, Amir. Garis-Garis Besar Ushul Fiqih. Jakarta: Kencana. 2012

Syarifudin, Amin. Ushul Fiqih Jilid II. Jakarta: Kencana. 2008

Shidiq, Sapiudin. Ushul Fiqih. Jakarta: Kencana. 2011

Rosihon. Mutiara Ilmu-Ilmu Al-Quran. Bandung: Pustaka Setia. 1999

Mughniyah, Muhammad Jawa. Ilmu Ushul Fiqih fi Tsubuti Al-Jadid. Beirut:


Darul Ilmi. 1975

Tumin. Pendapat Ulama Tentang Berhujjan Dengan Mafhum Mukhalafah.


Jurnal Syarah. Vol. 7, No.1. 2018

Metode Istinbath Hukum | 15

Anda mungkin juga menyukai