B. Macam-Macam Manthuq
Para ulama’ ushul fiqih membagi manthuq kepada 2 macam; nash, zhahir (al-Qatthan,
2006: 358).
1
Abu Zahrah, Muhammad, Ushul Fiqh, Beirut: Dar al-Fikr al-Arab, t
2
Al-Hudhari, Muhammad, Ushul Fiqh, Kairo: al-Maktabah al-Taufiqiyah, 2000.
A) Nash, yaitu tidak mengandung kemungkinan ta’wil/ pengalihan makna. Nash terbagi
dua, ada yang 1) sharih (jelas), apabila lafadh yang digunakan menunjukkan dengan
tegas dan jelas maknanya, baik makna itu sesuai sepenuhnya degan bunyi teks (nash)
atau hanya dikandung maknanya oleh nash. Bagian ini disebut dengan ibarat al-nash.
B) Zhahir, yaitu lafadh yang menunjukkan sesuatu makna yang segera bisa dipahami
ketika ia diucapkan, tetapi disertai kemungkinan makna lain yang lemah (marjuh).
Maka, dhahir itu sama halnya dengan nash dalam hal penunjukannya kepada makna
yang berdasarkan pada ucapan. Akan tetapi, dari segi lain ini berbeda dengannya
karena nash hanya menunjukkan satu makna secara tegas dan tidak mengandung
kemungkinan menerima makna lain. Sedangkan dhahir, selain menunjukkan satu
makna ketika diucapkan, ia juga memberikan kemungkinan makna lain yang
meskipun lemah
C. Dilalah Iqtidha dan Dilalah Isyarah
Dilalah Iqtidla ialah penunjukkan lafal nash kepada sesuatu makna yang tidak
disebutkan, akan tetapi kebenaran lafadznya dapat dikira-kirakan atas makna
dimaksud secara syara.3
Dilalah isyarah adalah suatu dalalah yang didapat bukan dari makna secara
lafadznya atau pemahaman yang diambil dari isyarah nash (bersumber dari
isensial makna) yang dipahami dari ungkapan yang ada, dengan kata lain
maknanya tersirat bukan tersurah
D. Macam-macam Mafhum
Para ushuliyyin membagi mafhum menjadi dua bagian pokok, yaitu: Mafhum
muwafaqah atau juga dinamai dengan dilalah nash,dan mafhum mukhalafah.
A) Mafhum muwafaqah
yaitu makna yang hukumnya sesuai dengan manthuq. Atau juga berarti makna
yang tidak terucapkan sejalan dengan makna yang terucapkan.
B) Mafhum mukhalafah,
yaitu makna yang tidak terucapkan dan yang ditarik dari manthuq, namun berbeda
dengan makna yang dikandung oleh manthuq (Shihab, 2013: 174). Khalaf (1978:
3
Waluyo, Kasja Eki. "KAJIAN DALALAH DALAM USHUL FIQH." Jurnal Pendidikan Islam Rabbani 2.1 (2018),
hal 492
153) menerangkan bahwa apabila ada nash yang menunjukkan pada hukum yang
berposisi sebagai batasan (qayd) atau disifati atau menjadi syarat atau tujuan
(ghayah) atau bilangan (‘adad), maka hukum nash tersebut disebut dengan
manthuq nash, namun apabila hukum itu digali dari selain manthuq nash maka
disebut dengan mafhum mukhalafah
1. Kaidah Manthuq:
Kaidah manthuq merujuk pada kaidah yang diperoleh langsung dari sumber-sumber
hukum Islam, seperti Al-Qur'an dan Hadis. Kaidah ini didasarkan pada pemahaman teks-
teks hukum yang telah ditetapkan. Fungsi utama kaidah manthuq adalah sebagai berikut:
- Menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an dan menentukan hukum yang terkandung di
dalamnya.
- Menginterpretasikan hadis-hadis Nabi Muhammad SAW untuk memahami hukum-
hukum yang terkandung di dalamnya.
- Memberikan landasan bagi para ulama dan mujtahid dalam mengeluarkan fatwa
berdasarkan teks-teks hukum Islam.
2. Kaidah Mafhum:4
Kaidah mafhum merujuk pada kaidah yang diperoleh melalui pemahaman dan
penalaran logis terhadap teks-teks hukum. Kaidah ini digunakan ketika tidak ada teks
yang secara langsung membahas suatu masalah hukum. Fungsi utama kaidah mafhum
adalah sebagai berikut:
- Membantu para ulama dan mujtahid dalam mengeluarkan fatwa ketika tidak ada nash
(teks hukum) yang secara eksplisit mengatur suatu masalah.
4
M. Abu Zahra, Ushul Fiqh (terj.), (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), hal. 204
- Mengisi kesenjangan dalam hukum Islam dengan menggunakan penalaran logis dan
prinsip-prinsip umum dalam agama.
- Memperkaya pemahaman kita tentang ajaran Islam dan memperluas aplikasi hukum-
hukum Islam dalam kehidupan sehari-hari.
Penting untuk dicatat bahwa penggunaan kaidah-kaidah ini harus dilakukan dengan hati-
hati dan dengan mempertimbangkan metodologi dan prinsip-prinsip yang diakui dalam
ilmu ushul fiqh.
5
Khalaf, Abdul Wahhab, Ilmu Ushul Fiqh, Kairo: Dar al-Qalam, 1978.
prinsip agama) bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang menekankan kejujuran
dan keadilan.
2. Kaidah Mafhum dalam Penentuan Hukum Pajak: Islam tidak memiliki nash
(teks hukum) yang secara khusus mengatur pajak. Namun, kaidah mafhum dapat
digunakan untuk memutuskan bahwa pemerintah dapat memungut pajak untuk
memenuhi kebutuhan umum selama pemungutan pajak itu adil dan tidak merugikan
masyarakat.
3. Kaidah Mafhum dalam Penentuan Hukum Zakat pada Investasi Saham: Ketika
mempertimbangkan apakah pendapatan dari investasi saham harus dikenakan zakat,
kaidah mafhum dapat digunakan dengan mempertimbangkan prinsip umum zakat
dan asas keadilan dalam pembagian harta. Meskipun tidak ada nash yang
menyebutkan secara spesifik saham, kaidah mafhum memungkinkan pemahaman
bahwa zakat harus dikeluarkan jika saham tersebut mencapai nisab dan memenuhi
syarat zakat.6
Penting untuk diingat bahwa kaidah mafhum harus digunakan dengan hati-hati dan oleh
ulama yang berpengalaman dalam ilmu ushul fiqh. Selain itu, penafsiran kaidah mafhum
dapat bervariasi antara berbagai madzhab dalam Islam.
6
Muhammad Hasyim Kamali, Prinsip dan Teori-Teori Hukum Islam, (Terj. Noor Haidi), Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, tt