Anda di halaman 1dari 11

Istinbath hukum adalah suatu cara yang dilakukan atau dikeluarkan oleh pakar hukum

(fikih) untuk mengungkapkan suatu dalil hukum guna menjawab persoalan-persoalan yang
terjadi. penalaran Fiqh Bahasa Arab menyampaikan suatu pesan dengan berbagai cara dan dalam
berbagai tinggkat kejelasanya untuk itu para ahlinya telah membuat beberapa ketegori lafal atau
redaksi diantanya metode dalam beristinbat ada beberapa macam diantaranya amr (perintah),
nahi (larangan), takhyir (pilihan), am (umum) dan khas (khusus), mutlaq dan muqayyad serta
mantuq dan mafhum.

Menurut mayoritas ulama ushul fiqh adalah suatu tuntutan (Pemerintah) untuk melakukan
sesuatu dari pihak yang lebih kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah kedudukannya.
Objek utama yang akan di bahas dalam Ushul Fiqh adalah Al-Quran dan sunah untuk memahami
teks-teks dua sumber yang berbahasa arab tersebut para Ulama

A. Pengertian Istinbath Hukum


Kata "Istinbath" menurut bahasa ialah mengeluarkan, seperti " istanbathal maau minal 'ain
(mengeluarkan/mengambil air dari mata air). memiliki arti menciptakan, mengeluarkan, atau
menarik sebuah kesimpulan.
Menurut Istilah: Istikhrajul ma'ani minan nushush bi farthiz zihn wa quwatil qarihah
(mengeluarkan makna-makna dai nash-nash (yang terkandung) dengan mencurahkan pikiran
dan kemampuan (potensi) nalutiah. memiliki arti suatu kegiatan yang dilakukan oleh pakar
fikih atau hukum untuk mengungkapkan suatu dalil yang dijadikan dasar dalam menarik
sebuah kesimpulan untuk menjawab sebuah persoalan atau menyelesaikan permasalahan.
Sedangkan Hukum Istinbath adalah suatu cara yang dilakukan atau dikeluarkan oleh pakar
hukum untuk mengungkapkan suatu dalil hukum untuk menjawab persoalan yang terjadi.
Obyek yang digunakan dalam hukum istinbath adalah ayat-ayat didalam Al-Quran atau dalil
di dalam Hadis. Para pakar hukum dan pakar fiqih menetapkan bahwa pemahaman dan
penetapan hukum harus seusai kaidah yang berlaku.
1. Menurut Amir al-hajj
Kata istinbath‫تنباط‬44‫ االس‬secara bahasa bermakna mengeluarkan. Hal ini sebagaimana
diutarakan oleh Amir al-Hajj al-Hambali dalam kitabnya, Al-Taqrir Wa Al-Takhbir.
Beliau menyatakan sebagai berikut:
Jejak lafaz intinbath memiliki pengertian mengeluarkan dan yang semisalnya, memberika
isyarat terhadap segala sesuatu dalam kaitanya dengan hukum-hukum yang dikeluarkan
dari nash -nash melalui proses kesukaran dan kesulitan karena bertambahnya kelelahan.
Sebagaimana yang terjadi, sesungguhnya penggunaan yang banyak secara bahasa untuk
mengeluarkan air dari sumur dan mata air; dimana kelelahan merupakan suatu hal yang
biasa terjadi.1

Dari apa yang disampaikan oleh Amir al-hajj, memberikan pengertian bahwa proses
istinbath (mengeluarkan) hukum, bukanlah perkara yang gampang dan mudah. Tetapi
proses mengeluarkan hukum syara’ itu dengan usaha yang serius sampai dalam batas
tertentu yang disertai dengan kepayahan dan keletihan.

2. Menurut Wahbah al-Zuhaili


Pokok dari ushul fiqh adalah istinbath hukum yaitu mengeluarkan hukum syara’ dari dalil-
dalil yang rinci. Istinbath merupakan proses mengeluarkan hukum syara’ dari nash dengan
menjaga redaksi nash. Ini artinya jalan istinbath adalah dengan menggunakan metode
kebahasaan (bayani). Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Al-Sulami, sebagai berikut:
Dengan metode istibath maksudnya adalah mengeluarkan segenap kemampuan untuk
menemukan hukum syara’ dengan menjaga teks-PPteks fiqh, atau menjaga nash -nash
syara’ yang menunjukkan kepada hukum secara jelas2
3. Menurut Prof. Dr. Amir Syarifuddin
Metode intinbath adalah metode lafdhiyah yaitu pemahaman, penggalian, dan perumusan
hukum dari Alqur’an dan al-sunnah.
4. Menurut Amir Syarifudin
Ada dua metode dalam pemahaman hukum Islam, yaitu metode pemahaman hukum Islam
berangkat melalui pemahaman secara langsung dari teks (nash ) yang disebut dengan
metode lafdhiyah; dan melalui pemahaman secara tidak langsung dari alqur’an dan al-
Sunnah, yang kemudian disebut dengan metode maknawiyah. 3 Oleh karena itulah, proses

1
Muhammad bin Muhammad bin Amir al-Hajj , Al-Taqrir Wa Al-Takhbir,
ditahqiq oleh Abdullah Mahmud Muhammad umar, (Beirut: Dar al-Kutib
al-‘ilmiyah, 1999), hlm. 28
2
Iyadh Bin Namiy Bin ‘Audh Al-Sulamiy , Ushul Fiqh Alladzi La Yasa’u
Al-Faqih Jahlahu, (al-riyadh-KSA: Dar al-tadmiyah, 2005), hlm. 448
3
Prof. Dr. Amir Syarifuddin , Ushul Fiqh Jilid 2, hlm.1-2.
intinbath hukum (penggalian hukum) dari al-quran dan al-sunnah melibatkan dan
memerlukan kaidah kaidah kebahasaan sabagai instrument untuk sampai pada pemahaman
yang benar.
Kaidah bahasa disini tentunya adalah kaidah-kaidah bahasa Arab,yang merupakan bahasa
kitab suci ini diturunkan dan menjadi bahasa pengantar nabi ketika menyampaikan risalah
suci ini kepada manusia, yang kemudian dikenal dengan Sunnah.
5. Menurut Zuhri
Persoalan kebahasan dalam konteks relasi lafaz-makna, merupakan persoalan epistimologi
yang terletak pada logika bahasa (mantiq al-lughah) dan problematika pembuktian (al-
dilalah). Memberikan penjelasan tentang yang dimaksudkan dengan logika bahasa dan al-
dilalah, sebagai berikut:
Logika bahasa adalah aturan penalaran yang terbagnun dalam wacana tatabahasa Arab
(nahwu), baik itu tentang asal mula bahasa maupun konsekuensi persoalan pemaknaan
yang kemudian timbul. Sementara itu, yang dimaksudkan dengan al-dilalah adalah
implikasi-implikasi yang diberikan oleh teks sebagai akibat dari suatu pemaknaan yang
menjadi dasar atau sumber pengetahuan adalah teks atau al-nash di mana dalam proses
metode penggalianya kemudian menjadi suatu ilmu-ilmu keislaman, seperti nahwu-saraf,
balaghah, fiqh-ushul fiqh , tafsir-ilmu tafsir, hadits-ilmu hadits, dan bahkan ilmu kalam.
B. Hal-hal yang perlu diprhatikan
Untuk melakukan istinbath yang tepat ada 4 (emapt) hal yang harus diperhatikan:
1. Apakah lafad-lafad itu telah jelas makna dan dalalahnya
2. Apakah susunan bahasanya cukup jelas untuk suatu pengertian ataukah dengan isyarah.
Apakah pengetian yang terkandung di dalamnya tersurat atau tersirat.
3. Apakah lafad itu umum atau khusus, muthlaq atau muqayyad dsb.
4. Bagaimana bentuk lafad yang menimbulkan hukum taklifi ataukah lafad amr (perintah)
atau nahy (larangan).
C. Tujuan Istinbath Hukum
Hukum istinbath bertujuan untuk menetapkan sebuah hukum pada setiap perbuatan umat atau
perkataan mukallaf dengan menggunakan kaidah-kaidah yang berlaku dalam sumber hukum
islam. Dengan hukum istibath ini maka hukum islam akan mengalami perkembangan sesuai
dengan pola pikir masyarakat luas. Oleh sebab itu hukum istinbath dapat menjawab persoalan
yang ada tanpa terpaku oleh waktu.
D. Macam-Macam Istinbath Hukum
Selain pengertian Istinbath terdapat juga macam-macam Istinbath yang dibagi menjadi dua
bagian, yakni istinbath Ladfiyah dan Istinbath Maknawiyah.
1. Istinbath Ladfiyah
Istinbath Ladfiyah merupakan mengambil keputusan suatu hukum yang ditinjau dari segi
lafadz di dalam sebuah dalil.
2. Istinbath Maknawiyah
Istinbath Maknawiyah adalah Istinbath yang mengambil sebuah keputusan dari segi
makna.
E. Syarat-Syarat Istinbath Hukum
Terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk melakukan istinbath, yakni sebagai berikut:

1. Mempunyai ilmu pengetahuan yang sangat luas tentang ayat-ayat AL-Quran dan isi
Hadis yang membahas tentang hukum
2. Memahami permasalahan dalam hukumyang telah ditunjukkan dengan ijma’
3. Memiliki pengetahuan luas mengenai permasalahan hukum tentang qiyas.
4. Dapat menyimpulkan suatu rumusan masalah dengan baik dan teliti.
5. Menguasai Bahasa Arab secara mendalam untuk mengetahui makna dalam sebuah dalil.

F. Metode Istinbath Hukum


1. segi kebahasaan (istinbat bayani)
Hal yang menjadi perhatian para ahli usul fiqhi dalam istinbat kebahasaan
adalah pengertian al-lafz (lafaz atau kata) dalam kaitannya dengan posisi lafaz itu
dalam kalimat. Para ulama membahasnya secara mendalam bahkan membaginya
ke dalam beberapa kelompok seperti Wahbah al-Zuhaili, ‘Abd al- Wahhab
Khallaf dan lain-lain mencoba mengelompokkannya dalam beberapa kategori
yaitu:
a. lafaz dilihat dari cakupan maknanya
a) lafaz khas
Lafaz Khas} adalah suatu lafaz yang mengandung satu pengertian
secara tunggal.
b) mutlaq
Secara bahasa mutlaq berarti bebas tanpa ikatan, secara istilah
lafaz mutlaq adalah kata yang khusus yang tidak dikaitkan dengan
kata lain yang dapat mempersempit kandungannya
c) muqayyad
Muqayyad secara etimologi berarti terbatas, tertentu. Secara
terminologi adalah lafaz yang menunjuk pada satuan yang tidak
tertentu tetapi lafaz itu dibarengi dengan sifat yang membatasi
maksudya
d) al-amr
Al-Amr secara etimologi berarti perintah, lawan kata larangan.
Para ulama berbeda-beda dalam mendefinisikan al-amr. Beberapa
defenisi berikut; (1) Imam al-Ghazali, al-amr adalah ucapan atau
tuntutan-yang secara substansial-agar mematuhi perintah dengan
mewujudkan apa yang menjadi tuntutannya dalam perbuatan; (2)
Hafizzuddin al-Nasafi mendifinisikan al-amr sebagai titah
seseorang yang posisinya lebih tinggi kepada orang lain.
e) al-nahy
Al-Nahy secara etimologi adalah lawan dari al-amr berarti
larangan atau cegahan. Banyak ulama yang mendefinisikan makna
al-nahy, di antaranya; Zaky al-Din Sya’ban menjelaskan bahwa al-
nahy ialah sesuatu tuntutan yang menunjukkan larangan untuk
berbuat; Imam Abu Zahrah menyatakan pula bahwa yang
dimaksud dengan al- nahy adalah tuntutan yang berisi larangan
atau cegahan untuk melakukan perbuatan.
f) musytarak
musytarak adalah lafaz yang mempunyai dua arti atau lebih dengan
kegunaan yang banyak yang dapat menunjukkan artinya secara
bergantian. Artinya lafaz itu bisa menunjukkan arti ini dan itu.
Seperti lafaz a’in (‫)عین‬, menurut bahasa bisa berarti mata, sumber
mata air, dan mata-mata. Lafaz quru’ menurut bahasa bisa berarti
suci atau haid.
b. lafaz dilihat dari segi penggunaannya terhadap suatu makna
a) haqiqi
Haqiqi adalah lafaz yang menunjukan arti yang sebenarnya tanpa
membutuhkan kepada qarinah-qarinah tertentu
b) majazi
majazi adalah lafaz yang digunakan bukan menurut arti yang
sebenarnya karena qarinah yang memalingkannya atau karena
kesesuaian antara makna baru dengan makna yang sebenarnya.
c) sarih
Yang dimaksud dengan lafaz sarih adalah lafaz yang maknanya
tidak tersembunyi karena sering digunakan baik dengan arti haqiqi
atau arti majazi.
Lafaz yang sarih berakibat hukum secara langsung tanpa
bergantung kepada yang lain. Misalnya ada seorang suami berkata
kepada istrinya, “Engkau aku cerai”. Dengan perkataan tersebut
cerai dari suami terhadap istri telah terjadi talak satu meskipun
tidak disertai niat.
d) kinayah
yang dimaksud dengan kinayah adalah lafaz yang tersembunyi
maksudnya baik secara haqiqi atau majazi.
keberlakuan lafaz kinayah sangat bergantung pada niat. Misalnya
seorang suami berkata kepada istrinya, “pulanglah ke rumah orang
tuamu”. Ucapan ini bergantung pada niat suami ketika
mengatakannya. Jika ia bermaksud mencerai istrinya dengan
perkataan itu berarti telah jatuh talak. Jika suami tidak meniatkan
untuk menceraikan, maka ceraipun tidak terjadi.
c. lafaz dilihat dari segi petunjuknya dalam hal kejelasan dan kesamaran,
serta
a) Wadih al-dilalah yakni lafadz yang jelas maknanya, lafaz ini terdiri
dari;
1) zhahir
Yang dimaksud dengan lafaz zahir adalah lafaz yang
menunjukan terhadap sesuatu makna dengan shigatnya
sendiri tanpa membutuhkan qarinah hal yang bersifat
khariji (external), akan tetapi makna itu bukanlah makna
yang sebenarnya yang dikehendaki dari susunan kalimatnya
dan ia mengandung kemungkinan ta’wil.
2) nash
Adapun nash adalah lafaz yang menunjukan terhadap
makna yang dikehendaki melalui sighatnya sendiri, namun
ia mengandung kemungkinan untuk ditakwilkan. Sepanjang
makna tersebut adalah makna yang segera difahami dari
lafaz, dan pemahamannya tidak tergantung pada suatu yang
bersifat khariji (eksternal) dan makna tersebut adalah yang
dikehendaki secara asli dari susunan kalimatnya, maka
lafaz tersebut dianggap sebagai nash terhadap makna.
3) mufassar
Adapun mufassar adalah sesuatu yang menunjukan dengan
dirinya sendiri kepada maknanya yang terperinci dengan
suatu perincian yang tidak lagi tersisa kemungkinan ta’wil.
Lafaz mufassar menunjukan suatu hukum dengan petunjuk
yang tegas dan jelas, sehingga tidak mungkin dita’wil atau
di takhsis.
4) muhkam;
Muhkam adalah lafaz yang menunjukan terhadap makna
yang tidak menerima pembatalan, penggantian, dan tidak
tersisa kemungkinan ta’wil yakni memaksudkan makna lain
yang tidak zahir dari padanya, karena nash tersebut telah
diperinci dan ditafsirkan dengan suatu penafsiran yang
tidak memberikan peluang lagi bagi pena’wilan.
b) Ghairu wadhih al-dilalah, yakni lafaz yang tidak jelas maknanya, g
meliputi;
1) khafi
Amir Syarifuddin memberikan defenisi bahwa khafiy
adalah suatu lafaz yang samar artinya dalam sebagian
penunjukannya (dilalah) yang disebabkan oleh faktor luar,
bukan dari segi sigat lafadz. atau suatu yang terang
maknanya secara lahiriyah tetapi pemakaiannya kepada
sebagian afradnya tidaklah sulit memerlukan pemikiran
yang mendalam.
2) musykil
Musykil adalah lafaz yang shiqahnya sendiri tidak
menunjukan kepada makna yang dikehendaki, dan untuk
mendapatkan makna yang dikehendaki harus ada qarinah
lain yang menerangkannya.
3) mujmal
Mujmal dari segi bahasa adalah global atau tidak terperinci.
Menurut istilah adalah lafaz yang tidak bisa difahami,
kecuali bila ada penafsiran dari pembuat syariat.
4) mutasyabih
lafaz mutasyabih adalah lafaz yang siqhatnya sendiri tidak
menunjukan makna yang dikehendaki dan juga tidak ada
qarinah yang menerangkan maksudnya sedang Syari’ tidak
menjelaskan maknanya. Mutasyabih menurut bahasa adalah
sesuatu yang mempunyai kemiripan atau simpang siur.
d. lafaz dari segi cara mengungkapkannya dalam kaitannya makna yang
dikandung.
Suatu lafaz bisa dipahami secara tersurat dan bisa juga difahami
secara tersirat sesuai keadaan lafaz atau qarinah yang mengikutinya.
Untuk menemukan makna yang tepat tersebut, ulama ushul merumuskan
beberapa tehnik yaitu
1) ibarat al-nash, ialah penunjukan lafaz} kepada makna yang segera
dipahami dan makna itu memang dikehendaki oleh siyaqul kalam,
baik maksud itu asli maupun tidak.
2) isyarat al-nash, adalah lafaz yang penunjukan maknanya tidak
dimaksudkan dari teks nash karena ia mengandung makna yang
tersirat, namun makna itu tidak bisa dipisahkan (lazim) dari makna
yang dimaksud oleh teks.
3) dilalat al-nash, adalah lafaz yang penunjukkan makna yang diambil
dari nas} yang disebutkan (manthuq) berlaku juga bagi yang tidak
disebutkan (maskut) karena adanya persamaan ‘illat antara yang
manthuq dengan yang maskut.
4) iqtida al-nash, adalah nash yang penunjukan atas maknanya tidak
disebutkan dalamnya. Sesuatu yang tidak disebutkan itu harus
dipahami secara benar sehingga terasa baik menurut syara ataupun
akal.
5) mafhum al- mukhalafat, adalah makna yang tidak disebut oleh
teks, tetapi dapat dipahami daripadanya karena mengandung unsur
kesamaan, yang diduga menjadi dasar dari makna tersurat (ibarat
al-nash). Kesamaan tersebut cukup diketahui melalui pengetahuan
bahasa, tidak perlu kepada perenungan atau kajian mendalam.
2. segi maqashid syariah
a) metode istinbat ta’lili
Metode istinbat ta'lili adalah metode istinbat} yang bertumpu pada ‘illah
disyariatkannya suatu ketetuan hukum.
b) metode istilahi
Metode istinbat Istislahi adalah pola istinbat yang dilakukan dengan
menerapkan kaidah-kaidah umum karena tidak adanya dalil-dalil khusus
mengenai suatu persoalan baik dari al-Qur’an atau al-Hadis dengan
mendasarkan pada kaidah-kaidah Istislahi atau maslahah mursalah.
3. segi ta’arud dan tarjih
Kata ta’arud secara bahasa berarti pertentangan antara dua hal. Sedangkan
menurut istilah adalah satu dari dua dalil menghendaki hukum yang berbeda
dengan hukum yang dikehendaki oleh dalil yang lain.
Menurut Wahbah al-Zuhaili, pertentangan antara kedua dalil atau hukum
itu hanya dalam pandangan mujtahid, sesuai dengan kemampuan pemahaman,
analisis, dan kekuatan logikanya, bukan pertentangan aktual, karena tidak
mungkin Allah atau Rasul-Nya menurunkan aturan-aturan yang salin
bertentangan. Menurutnya pula pertentangan tidak mungkin muncul dari dalil
yang bersifat fi’liyah (perbuatan). Oleh sebab itu, Imam al-Syathibi, pertentangan
itu bersifat semu, bisa terjadi dalam dalil yang qat}’i dan dalil yang zhanni selama
kedua dalil itu dalam satu derajat.
Sedangkan tarjih menurut bahasa berarti menguatkan atau membuat
sesuatu cenderung atau mengalahkan. Secara terminologi defenisi ulama
Hanafiyyah yaitu: “membuktikan adanya tambahan bobot pada salah satu dari dua
dalil yang bersamaan (sederajat), yang dalil tambahan itu tidak berdiri sendiri’’.
Jumhur ulama membatasi tarjih pada dalil yang bersifat zhanni (relative)
karena masalah tarjih tidak termasuk dalam persoalan-persoalan yang qat’i dan
tidak juga antara yang zhanni dan yang qat’i.
G. Langkah-Langkah dalam Istinbath Hukum
H. Contoh Istinbath Hukum
Contoh nya ialah Childfree merupakan fenomena masyarakat yang berasal dari Barat yang
menyuarakan untuk tidak memiliki anak keturunan. Childfree atau dalam hal ini merupakan
voluntary childless adalah mereka yang secara sadar dan sukarela memilih untuk tidak
memiliki keturunan ataupun berusaha memilikinya dengan jalan adopsi maupun yang lainnya.
Banyak faktor yang mendorong seseorang memilih untuk childfree, di antaranya adalah faktor
personal, medis dan psikologis, filosofis, ekonomi dan kultur serts lingkungan.

Childfree dengan niat untuk membatasi keturunan (tahdid al-nasl) adalah bertentangan dengan
syariat Islam dan tujuan pernikahan. Syariat Islam yang agung menganjurkan umatnya untuk
menikah dan memperbanyak keturunan. Banyaknya keturunan tersebut tentunya harus disertai
dengan kualitas urmat yang baik demi menunjang tegaknya agama Islam hingga hari kiamat.
Sakinah, mawaddah dan rahmah sebagai tujuan pernikahan dapat digapai dengan hadirnya
anak dalam kehidupan rumah. tangga, meskipun anak merupakan rezeki dari Allah Swt., akan
tetapi patutnya sebagai hamba yang taat senantiasa berusaha memilikinya. Selain itu, berusaha
memiliki keturunan merupakan sesuatu yang bernilai ibadah. dan sunah para nabi. Juga, anak
yang saleh yang dihasilkan dari pernikahan merupakan maksud syariat bagi mukallaf. Oleh
sebab itu, jika melihat banyaknya keutamaan yang didapat dengan hadirnya anak, maka
membatasi keturunan tanpa alasan yang dibenarkan oleh syara merupakan sesuatu vang tidak
sejalan dengan tujuan pernikahan.
Syariat Islam telah memaparkan hal-hal yang berkaitan dengan memiliki keturunan dalam Al-
Qur’an, hadis, dan ijtihad para ulama Dalam hal ini penulis menyebutnya sebagai konsep
tanasul. Childfree dengan alasan-alasan yang telah dikemukakan di atas telah keluar dari
konsep tanasul Islam. Sebagai contoh, 1) praktik childfree yang membatasi keturunan secara
permanen dengan metode vasektomi dan tubektomi dilarang oleh hadis Rasulullah yang
melarang sahabatnya untuk mengebiri diri sendiri. 2) Childfree karena takut akan biaya yang
mahal dan kemiskinan dilarang olen Al-Qur'an. 3) Childfree karena khawatir akan masalah
lingkungar dikarenakan banyaknya jumlah penduduk dapat dicapai dengan cara yang lebih
manusiawi seperti randzim al-nasi. Dengan demikian, Childfree dengan alasan-alasan tersebut
tidak sesuai dengan konsep tanasul islam.

Anda mungkin juga menyukai