Anda di halaman 1dari 16

KAIDAH USHULIYAH

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kelompok


Pada Mata Kuliah Ushul Fikih I Semester II
Dan Telah Dipresentaskan pada Hari….Tanggal…

Oleh :
Kelompok :
1. Adelia Habibina (4905)
2. Ika Fitri Pratiwi (4889)

Dosen Pengampu:
Dr.Hj.Qurrotul Ainiyah, M.HI.

PRODI S-1 SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH


AL URWATUL WUTSQO – JOMBANG
2022
KATA PENGANTAR

Segala puji dan rasa syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT,yang telah memberikan
rahma,taufik, dan hidayah-Nya. Sholawat dan Salam mudah-mudahan tetap terus teralirkan
kepada junjungan Nabi Agung Muhammad SAW, semua keluarga, para sahabat, serta orang-
orang yang mengikuti jejak mereka dengan kebaikan hingga hari kiamat menjelang.
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan studi program
Strata 1 Pendidikan Agama Islam Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Al Urwatul Wusqo-Jombang
(STIT UW). Penulisan makalah ini berjudul ”Kaidah Ushuliyah ”.
Dengan selesainya penulisan makalah ini, penulisnya dapat menyampaikan terimakasih kepada
Ibu Dr.Hj.Qurrotul Ainiyah, M.HI. selaku dosen pengampu mata kuliah Ushul Fikih
Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat, khususnya bagi penulis dan umum nya
bagi para mahasiswa dan generasi muda yang peduli dengan pendidikan bagi generasi penerus
bangsa. Aamiin

Jombang,9 Februari 2022

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR2
DAFTAR ISI3
BAB I PENDAHULUAN4
A. Latar Belakang 4
B. Rumusan Masalah4
C. Tujuan Pembahasan4
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Kaidah Ushuliyah5
B. Lafadz Yang Jelas Dan Tidak Jelas Maknanya6
C. Shigat Amar Dan Nahi8
D. Kaidah Amar dan Nahi
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan17
B. Saran19
C. Daftar Pustaka20
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kaidah ushuliyah adalah dasar-dasar pemaknaan terhadap kalimat atau kata yang digunakan
dalam teks atau nash yang memberikan arti hukum tertentu dengan didasarkan kepada
pengamatan kebahasaan dan kesusastraan arab. Dengan demikian kaidah ushuliyah itu
berkaitan dengan bahasa. Oleh karena itu, sumber hukum adalah wahyu yang berupa bahasa.
Jadi,kaidah ushuliyyah berfungsi sebagai alat untuk menggali ketentuan hukum yang
terdapat dalam bahasa (wahyu) itu. Dengan mempelajari dan menguasai kaidah ushuliyah
dapat mempermudah faqih untuk mengetahui hukum Allah dalam setiap peristiwa hukum
yang dihadapinya .

Nash al-Quran dan as Sunnah menggunakan bahasa Arab. Hukum dari nash tersebut dapat
dipaham secara benar jika memperhatikan tuntunan tata bahasa,cara penganbilan makna dan
arti yang ditunjukkan oleh kata per kata serta susunan kalimat dalam bahasa Arab. Karena
itu para pakar ilmu Ushul Fiqih islam mengadakan penelitian tentang tata Bahasa Arab,
ungkapan dan kosa katanya. Dari hasil penelitian ini ditambah dengan ketetapan para pakar
bahasa dikembangkan menjadi kaidah dan batasan-batasan. Dengan kaidah itu diharapkan
dapat memehami hukum dari nash syara’ dengan pemahaman orang arab yang mana nash itu
diturunkan dengan bahasa mereka. Juga diharapkandapat membuka nash yang masih samar,
menghilangkan kontradiksi antara nash yang satu dengan yang lain, mentakwilkan nash
yang ada bukti takwilnya, juga hal-hal lainyang berhubungan dengan pengambilan hukum
dari nashnya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian kaidah ushuliyah?
2. Apa pengertian lafadz yang jelas dan tidak jelas maknanya?
3. Apa pengertian shigat amar dan nahi?
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui kaidah ushuliyah.
2. Untuk mengetahui pengertian lafadz yang jelas dan tidak jelas mknanya.
3. Untuk mengetahui shigat amar dan nahi.

BAB II
PEMBAHASAN
A.QAIDAH USHULIYYAH
1.Pengertian Qidah Ushuliyyah
Dalil syara` itu ada yang besifat menyeluruh,universal,dan global (kulli dan mujmal) da
nada yang hanya ditujukan bagi suatu hokum tertentu dari suatau cabang hokum tertentu pula.
Dalil yang bersifat menyeluruh itu disebut pula kaidan ushuliyyah. Dari pengertian Ushul Fiqih
yang telah dikemukakan diatas terkandung maksud bahwa objek bahasan Ushul Fiqih antara lain
adalah qidah penggalianhukum dari sumbernya. Dengan demikian yang dimaksud kaidah
ushuliyyahadalah sejumlah peraturan untk menggali hokum. Qaidah ushuliyyah itu umumnya
berkaitandengan ketentuan dalalah lafadz atau kebahasaan.
2. Urgensi Qaidah Ushuliyyah
Seperti disebutkan diatas, bahwa qaidah ushuliyyah itu berkaitan dengan bahasa. Dalam
pada itu,sumber hokum adalah wahu yang berupa bahasa. Oleh karena itu, qaidah ushuliyyah
berfungsi sebagai alat untuk menggali ketentuan hokum yang terdapat dalam bahasa (wahyu) itu
Menguasai qaidah ushuliyyah dapat mempermudah faqih untuuk mengetahui hokum Allah
dalam setiap peristiwa hukum yang dihadapinya.
Dalam hal ini, qaidah fiqhiyah pun berfungsi sama dengan qaidah ushuliyyah. Oleh
karena itu, terkadang ada suatu qaidah yang dapat disebut qaidah ushuliyyah dan qaidah
fiqhiyah.
Qaidah ushuliyyah dengan qaidah fiqhiyyahakan dijelaskan pada pembahasan qaidah
fiqhiyyah :
1) Objek qowaid ushuliyyah adalah dalil hukum,sadangkan qaidah fiqih adalah perbuatan
mukallaf.
2) Qawaid ushuliyyah,sebagai saran istmbath hukum,sedangkan qawaid fiqih sebagai usaha
menghimun dan mendekatkan ketentuan hukum yang sama untuk memudahkan pemaha,am
fiqih.
3) Qowaid ushuliyyah bersifat kebahasan dan qaidah fiqih bersifat ukuran.
3.Beberapa Contoh Qaidah Ushiliyyah
Untuk mengenai qaidah ushuliyyah lebih jauh, dibawah inidisebutkan beberapa qaidah
ushuliyyah :
1) Kaidah
‫ضي َوا ْل َما نِ ُع قُ ِد َم الّ َما نِ ُع‬ ْ ‫اِ َذ‬
ِ َ‫ااختَ َم َع ا ْل ُم ْقت‬

Artinya :
“ Bila dalil yang menyeluruh bergabung dengan dalil yang melarang maka didahulukan dalil
yang melarang “
2) Kaidah
‫النَّ ِك َرةُ فِى َمقَ ِام اانَّفِي ُد ال ُع ُمو م َم‬
Artinya ;
“ Lafadz nakirah dalam kalimat negative (nafi) mngandung pengertian umum”
3) Kaidah

َ ‫اَ ْال َء ْم ُريُفِ ْيدُال ُو ُج‬


‫وب‬
Artinya :
“ Petunjuk perintah (amr) menunjukkan wajib

A. Pengertian Lafadz Yang Jelas Dan Tidak Jelas Maknanya


Sebenarnya lafadz-lafafz yang menunjukkan hukum harus jelas dan tegas supaya tidak
para pelaku hukum. Suatu lafadz yang mempunyai makna tertentu dan mempunyai
kemungkinan makna lain disebut Mubayyan atau Nash. Bila mempunyai dua makna atau
lebih tanpa dapat diketahui makna yang lebih kuat disebut Mujnal. Namun, bila diketahui
makna yang lebih tegas dari makna yang ada disebut Zhahir. Dengan demikian yang
disebut mujmal adalah suatu lafadz yang cocok untuk berbagai makna tetap tidak
ditentukan makna yang dikehendaki baik melalui bahasa maupun menurut kebiasaan
pemakainya (Al-Ghazali :145).

1. Tingkatan Lafadz dari Segi Kejelasannya

Para ulama berbeda pendapat dalam mengatasi tingkatan dilalah lafadz dari segi
kejelasannya. Dalam hal ini, dapat dibagi dalam dua kelompok. Golongan pertama yaitu
golongan Hanafiyah yang membagi lafadz dari segi kejelasan terhadap makna dalam 4 bagian
yaitu zhahir, nash, mufassar, dan muhkam. Sedangkan dari segi ketidakjelasannya mereka
membagi menjadi 4 macam pula yaitu khafi, musykil, mujmal dan mutasyabiin.

Golongan kedua yaitu jumhur dari kalangan mukallimin dipelopori oleh Asy-Syafi'i yang
membagi lafadz dari segi kejelasannya menjadi 2 yaitu Zhahir dan Nash. Kedua bentuk lafadz ini
disebut kalam mubayyan. Sedangkan dari segi ketidakjelasannya dibagi menjadi 2 macam yaitu
mujmal dan mutasyabih.

a. Pembagian lafadz dari segi kejelasannya menurut Ulama Hanafiyah

a. Zhahir

Definisi yang lebih jelas adalah dikemukakan oleh Al-Sarakhsi:

‫َيرتََأ ِّم ٍل‬


َ ‫ َما يُع َْرفُ ْال ُم َرا ُد ِم ْنهَ بِنَ ْف ِسى السَّا ِم ِع ِم ْن غ‬.

Artinya :

" sesuatu yang dapat diketahui maksudnya dari pendengaran itu sendiri tanpa harus
dipikirkan lebih dahulu." (Ad-Sarakhsi, 1372,1:164)

b. Nash

Menurut bahasa Nash adalah raf'u asy-sya'i atau munculnya segala sesuatu yang tampak,
sedangkan menurut istilah dapat dikemukakan ooleh Ad-Dabusi:

‫اَل َّزاِئ ُد َعلَى الَّظَّا ِه ِربَيَا نًااِ َذاقُوبِ َل بِ ِه‬

Artinya :

" Sesuatu lafadz yang maknanya lebih jelas daripada zhahir bila ia dibandingkan dengan
lafadz zhahir."
Kedudukan (Hukum) lafadz nash

Hukum lafadz nash sama dengan hukum lafadz zhahir yaitu wajib diamalkan petunjuknya
atau dilalah-nya sepanjang tidak ada dalil yang menakwilkan, mentakhsis, atau menasakhnya.
Perbedaan antara zhahir dan nash adalah kemungkinan takwil, takhsis, atau nasakh pada lafadz
nash lebih jauh dari kemungkinan yang terdapat pada lafadz zhahir.

c. Mufassar

Mufassar adalah lafadz yang menunjukkan suatu hukum dengan petunjuk yang tegas dan
jelas, sehingga petunjuknya itu tidak mungkin ditakwil atau ditakhsis namun pada masa
Rasulullah masih dinasakh. Hukum mufassar wajib diamalkan secara qath'i sepanjang tidak ada
dalil yang menasakhkan.

d. Mukam

Muhkam adalah suatu lafadz yang menunjukkan makna dengan dilalah tegas dan jelas secara
qath'indan tidak mempunyai kemungkinan ditakwil, ditakhsis, dan dinasakh meskipun pada masa
Nabi lebih-lebih pada masa setelah Nabi. Misalnya firman Allah.swt :

‫َوهّٰللا ُ بِ ُك ّل َشى ٍء َعلِي ٌم‬

Artinya :

"Dan Allah Maha Mengetahui terhadap segala sesuatu."

Muhkam menurut bahasa diambil dari kata ahkama yang berarti atqana yaitu pasti atau jelas.
Sedangkan menurut istilah adalah sebagaimana yang dikemukakan As-Sarakhsi:

‫فَال ُمحْ َك ُم ُم ْمتَنِ ُ„ع ِم ْن اِحْ تِ َما ِل التَّْأ ِوي ِل َو ِم ْن اَ ْن يَ َر َد َعلَي ِه النَّس ُح‬.

Artinya :

"Muhkam itu menolak adanya penakwilan dan adanya naskh."

Hukum muhkam wajib diamalkan secara qath'i tidak boleh dipalingkan dari maksud asalnya
dan tidak boleh dihapus.

b. Tingkatan - tingkatan Kejelasan Lafadz menurut Mutakallimin (Syafi'iyah)


Menurut Mutakallimin kejelasan lafadz terbagi menjadi dua yakni Zhahir dan Nash. Namun,
Imam Syafi'i sendiri tidak membedakan antara zhahir dan nash. Baginya zhair dan nash ini
adalah dua nama (lafadz) untuk satu arti, seperti yang dikemukakan Abu A-Hasan Al-Basri:

" Nash menurut batasan Imam Syafi'i adalah suatu khitab yang dapat diketahui hukum yang
dimaksudnya, baik diketahuinya itu dengan sendirinya atau melalui yang lainn. Dan mujmal
menurutnya disebut juga demgan nash." (Muhammad Adib Shalih, I, 1982:198-199).

Pada perkembangan selanjutnya setelah Imam syafi'i, nash dan zhahir ini dibedakan
pengertian masing-masing, yaitu:
‫ْْأ‬
ُ‫اَالنَّصُّ هُ َو الَّ ِذي الَ يَحْ تَ ُل التَ ِوي َل َوالظَّا ِه ُره َُو الَّ ِذي يَحْ تَ ِملُه‬.

Artinya :

"Nash adalah duatu lafadz yang tidak mempunyai kemungkinan ditakwil, sedangakn zhahir
memmpunyai kemungkinan untuk ditakwil."

Al-Ghazali juga membedakan definisi nash itu dwngan ungkapan:

ُ ‫ َما الَ يَتطُ ُر‬.


ٍ ْ‫ق ِالَي ِه ِاحتِ َما الً اَصالً الَ َعلَى قُر‬
‫ب َوالَ بُ ْع ٍد‬

Artinya :

" Suatu lafadz yang sama sekali tidak mempunyai kemungkinan ditakwil, baik ditakwil dekat
maupun ditakwil jauh".

Pada kesempatan lain, ia mengungkapkan :

"Lafadz yang tidak mungkin ditakwil, yang diterima serta muncul dari dalil. Adaphn
kemungkinan yang didukung dengan dalil maka lafafz itu tidak keluar dari lafadz nash." (Al-
Ghazali, I, 1322H,:385-386).

Dilalah nash wajib diamalkan secara pasti dan tidak bileh meyimpang dari dilalfah nash
tersebut, kecuali apabila ada nash. Sedamgkn hukum dilalah zhahir wajib diamalkan dan tidak
bileh ditinggalkan kefuali ada dalil yang memalingkan.

3. Tingkatan Lafadz menurut Ketidakjelasannya.


Dalam hal ini ulama hanafiyah membagi ketidakjelasan lafadz menjadi empat macam
tingkatan yaitu khafi, musykil, mujmal, mitasyabih.

Sedangkan ulama Al-Syafi'iyyah (Mutakallimin) membaginya menjadi dua bagian yaitu


mujmal dan mutasyabih.

a. Tingkatan Lafadz menurut Ketidakjelasan menurut Hanafiyah

1. Khafi

Pengertian khafi menurut bahasa adalah tidak jelas atau tersembunyi, sedangkan menurut
istilah seperti yang dikemukakan oleh Ad-Dabusi adalah suatu lafadz yang maknanya menjadi
tidak jelas karena hal baru yang ada di luar lafadz itu sendiri sehingga arti lafadz itu perlu diteliti
dengan cermat dan mendalam.

Adib Shalih memberikan penjelasan bahwa khafi adalah suatu lafadz zhahir yang jelas
maknanya tetapi lafadz itu sendiri menjadi tidak jelas karena ada hal baru yang mengubahnya,
sehingga untuk mengatasinya tidak ada jalan lain kecuali dengan penelitian yang mendalam
(Muhammad Adib Shalih, 1982:230). Tegasnya lafadz zhahir itu menjadi khafa bila diterapkan
pada masalah ini.

2. Musykil

Musykil menurut bahasa ialah sulit atau sesuatu yang tidak jelas perbedaannya sedangkan
menurut istilah seperti pendapat As-Sarakhsi ialah suatu lafadz yang tidak jelas artinya dan
mengetahuinya diperlukan dalil atau qarinah. (As-Sarakgsi.1.1371 H:168). Contoh lafadz
musykil pada surat Al-Baqarah :233.

‫فَْأتُواثَ ُك ْم اَنَّى ِشْئتُ ْم‬

3. Mujmal

Mujmal dalam bahasa adalah global atau terperinci. Menurut istilah adalah lafadz yang tidak
bisa dipahami maksudnya, kecuali bila ada penafsiran dari pembuat mujmal (Syari')(As-
Sarakhsi, 1,1372H:168).

Dari definisi tersebut, dapat dipahami bahwa mujmal itu adalah suatu lafadz yang dzatiahnya,
khafi tidak bisa dipahami maksudnya kecuali bila ada penjelasan dari syara' baik
ketidakjelasannya iyi akibat peralihan lafadz dari makna yang jelas pada makna khusus yanga
dikehendaki syara' ataupun karena sinonim lafadz itu sendiri ataupun karema lafadz itu ganjil
artinya.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa mujmal lebih tinggi kadar khufanya daripada
musykil, sebab penjelasan mujmal diperoleh dari syara' bukan hasil ijtihad. Contoh lafadz sholat
menurut bahasa berarti doa tetapi menurut istilah syara' adalah ibadah khusus yang degala
sesuatunya dijelaskan oleh Rasulullah saw.

4. Mutasyabih

Mutasyabih menurut bahasa adalah sesuatu yang mempunyai kemiripan dan atau simpang
siur. Menurut istilah berdasarkan pendapat sebagian ulama adalah suatu lafadz yang maknanya
tidak jelas dan juga tidak ada penjelasan dari syara' baik Al-qur'an maupun Sunnah sehingga
tidak bisa diketahui olej semua orang kecuali orang-orang yang mendalam ilmu pengetahuannya
(Asy-Syarakhsi, 1,1372H:169).

Menurut ulama lainnya tempat ayat-ayat mutasyabih itu selain yang disebut Ibnu Hamz juga
meliputi ayat-ayat yang mempunyai makna yang berkaitan dengan penyerupaan Allah dengan
makhluk-Nya.

b. Pembagian Lafadz Ditinjau dari segi Ketidakjelasannya menurut ulama


Mutakallimin

Golongan Mutakallimin (Syafi'iyyah) tidak memiliki pernyataan yang tegas dalam membagi
lafadz ditinjau dari segi ketidakjelasannya. Namun dapat disimpulkan bahwa mereka membagi
lafadz menjadi dua bagian yaitu Mujmal dan Mutasyabih. Namun secara umum dapat dikatakan
bahwa yang dimaksud dengan mujmal adalah suatu lafadz yang menunjukkan makna yang
dimaksud, tetapi petunjuknya tidak jelas.

ِ ‫اَللَّ ْفظُ الَّ ِذي د ََْل َعلَى ال َم ْعنَى ْال ُم َرا ِد ِدالَلَةً َو‬
ً‫اض َحة‬

Artinya : " Suati lafadz yang menunjukkan makna yang dimaksud secara jelas".

Dengan demikian makna yang dimaksud lafadz itu memerlukan penjelasan, seperti :

َ‫اَقِي ُمو االص َّٰلو ِة َو ٰاتُو اال َّز ٰكو ة‬.

Lafadz sholat dan zakat disini adalah mujmal sehingga memerlukan penjabaran yang lebih
jelas. Sebagian merekan ada yang memyamakan lafadz mutasyabih dan mujmal yaitu suatu
lafadzyang tidak jelas maknanya. Hanya saja perbedaan antara munmal dan mu'awwal terletak
pada kuat (rajih) dan lemah (marjuh) makna yang dimaksud. Makna yang dimaksud pada lafadz
muawwal adalah lrmah(marjuh), sedangkan makna yang terdapat pada lafadz mujmal adalsah
kuat (rajih). (Al-Asnawi, 1:61).

B. Pengertian Shigat Amar dan Nahi


1.Pengertian Amr`
Amr adalah tuntuan dilakukan sebuah perbuatan dengan menggunakan ucapan dari orang
yang lebih rendah secara wajib.
Amr (perintah) dari yang lebih tinggi tingkatannya pada yang lebih rendah tingkatannya.
Kaidah-kaidah untuk mengetahui batas amar ini abtara lain,ialah :

ِ ‫ال َء ْم ِر لِ ْل ُوجُو‬
(‫ب‬ ْ ‫)اَال َءصْ ُل فِى ا‬

Menunjukkan wajib

Pada dasarnya peintah itu untuk menunjukkan wajib. Artinya jika perintah itu bebas tidak
disertai sesuatau qainah yang menyimpangkan kepada tuuan selain wujud maka ternayata
pengertian hukum yang kluar dari amar itu wajin.
Inilah penetapan sbagian besar menurut pendapat jumhur (ulama) karena beralasan
dengan dalil `aqli dan naqli. Berdasarkan dalil `aqli (akal) karena sebagian ahli bahasa sebelum
datang syara` sepakat mencela hamba sahaya yang tidak menjalnkan perintah majikannya,
Mereka menanamkannya hamba sahaya yang menentang perintah karena melalaikan dan
meninggalkan kewajiban.
Dengan demikian dapat disimpukan bahwa amar mutlak itu menunjukkan wajib.
Contoh firman Allah dalam Al-Qur`an dalam suarah An-Nisa` ayat 77 :

)٧٧-‫َوَأقِ ْي ُمواالصَّال ة(الناء‬

Artinya :
“Dan dirikanlah olehmu shalat : (Q.S.An-Nisa` (4) :77)
Perkataan “dirikanlah” out, suatau perintah Allah. Tiap-tiap perintah asalnya wjib.Jadi, shalat itu
hukumnya wajib.
Kata-kata “shalat” meliputi segaa macam shalat yang ada di dalam islam,yaitu shalat lima kali
sehari semlam,shalat pada dua hari raya,shalat rawatib,shalat rawatib,shalat tarawih,dan lain
sebagainya. Menurut hukum yang asal tadi, tentu harus kita tetapkan bahwa shalat dua hari
raya,tarawih,rawatib,an sebagainnya termasuk shalat wajib. Tetapi, ada keteragan yang
menetapkan bahwa sholat yang diwajibkan kepada kita hanya lima waktu saja sehari
semalam,seperti yang telah kerjakan setiap hari.
2. Shighat Amr`
Shighat yang menunjukkn amar dalah (If`al) dan yang semakna. Shighat ini ketika
dimutlakkan (tanpa dissertai qarinah) diarahkan pada wajib. Kecuali ada dalil yang
mengarahkannya ke sunnah atau ibahah,maka harus diarahakan pada sunnah atau ibahah.
Hal ini selaras dengan pendapat Jumhur bahwa amr secara hakikat menunjukkan makna
wajib dan mungkin menunjukkan makna selain wajib secara majaz.
Amr` tidak menuntut adanya pengulangan (atas perbuatan yang diperintahkan) menurut
pendapat shahih. Karena tujuan dari amar,yakni berupa merealisasikan perbuatan yang
diperintahkan, sudah tercapao dengan sekali dilakukan. Dan hukum asal menyatakan bebas dari
tanggunan lebih dari satu kali. Kecuali apabila ada dalil yang menunjukkan tujuan
pengulangan,maka dalil inipun harus diamalkan. Contoh, perintah menjalankan shalat lima
waktu dan perintah melakukan puasa Ramadhan.
Menurut muqabilus shahih, amr menuntut adanya pengulangan,sehingga orang yang
diperintah harus menjalankannya sebisa mungkin selama hidupnya. Selama tidak ada penjelasan
tentang masa berlakunya suatu yang diperintahkan. Karena disini tidak ada factor yang
mengunggulkan antara satu dengan yang lain.
3.Pengertian Nahi
Menurut ulama` ushul,definisi nahi aalah kebalikan dari amar yakni lafadz yang menunjukkan
tuntutan untuk meninggalkan sesuatau (tuntutan yang mesti dikerjakan) dari atasan kepada
bawahan. Namun para ulama` ushul sepakata bahwa nahi itu seperti juga amar dapt digunakan
dalam berbagai arti.
4. Makna Shighat Nah

Para ulama Ushul sepakat bahwa hakikat dalalah nahyi adalah untuk menuntut meninggalkan
sesuatu, tidak bisa beralih makna, kecuali bila ada suatu qarinah (Abd. Aziz Al- Bukhari : 256).
Namun, mereka berbeda pendapat tentang hakikat tuntutan untuk meninggalkan larangan
tersebut, apakah hakikatnya untuk tahrim, karahah, atau untuk keduanya.
a. Menurut jumhur, hakikatnya itu untuk tahrim bukan karahah.
Tidak bisa menunjukkan makna lain, kecuali dengan qarinah.
b. Menurut pendapat kedua, nahyi yang tidak disertai qarinah menunjukkan karahah.
c. Menurut pendapat ketiga, musytarak antara tahrim dan karahah, baik isytirak lafazhi maupun
isytirak maknawi.
d. Hakikat tuntutan nahyi itu tasawuf. (Al-Amidi, 1968,II:32)

Dari keempat pendapat diatas, yang dipandang kuat adalah pendapat jumhur. Hal ini
disimpulkan dari keumuman shigat-shigat nahyi juga didasarkan pada argumen-argumen
dibawah ini:
a. Akal yang sehat bisa menunjukkan bahwa larangan itu menunjukkan pada haram.
b. Para ulama salaf mamakai nahyi dalil untuk menunjukkan haram. Dal hal itu telah disepakati
sejak zaman para sahabat, tabi'in, dan para pengikut mereka.
c. Firman Allah.swt dalam surah Al-Hasyr : 7

)٧:‫َو َما ٰاتَا ُك ُم الَّزَ سُو ُل فَ ُخ ُذو هُ َو َما نَهَا ُك ْم َع ْنهُ فَا ْنتَهُوْ ا(الحشر‬

"Dan apa-apa yang Rasul datangkan (perintahkan) kepada kamu semua taatilah, dan apa-apa
yang dilarang kepada kamu semua jauhilah."
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
1. Kaidah ushuliyyahadalah sejumlah peraturan untk menggali hokum. Qaidah ushuliyyah itu
umumnya berkaitandengan ketentuan dalalah lafadz atau kebahasaan.
2. Pengertian lafadz yang jelas maknanya
Dalam lafadz yang jelas sendiri terdapat 2 pendapat yaitu yang pertama menurut golongan
Hanafiyah yang membagi lafadz dari segi kejelasannya terhadap makna dalam 4 bagian yaitu
Zhahir, Nash, Mufassar, dan Muhkam sedangkan menurut jumhur ulama Mutakallimin yang
membagi lafadz dari segi kejelasannya menjadi 2 yaitu Zhahir dan Nash.
Pengertian lafadz yang tidak jelas maknanya
Dalam pandangan ulama Hanafiyah lafadz yang tidak jelas maknanya dibagi menjadi 4 macam
yaitu Khafi, Musykil, Mujmal dan Mutasyabih sedangkan menurut ulama Mutakallimin
membaginya menjadi 2 yaitu Mujmql dan Mutasyabih.
3. Amar (perintah)
shigat yang menunjukkan amar adalah dalaf (if'al) dam yamg semakna. Shighat ini ketika
dimutlakkan (tanpa disertao qarinah) diarahkam pada wajib.
Nahi (larangan)
Para ulama ushul srpakat bahwa hakikat nahi adalah untuk menuntut meninggalkan sesuatu,
tidak bisa beralih malna kecuali ada suatu qarinah.
B. Saran

Dalam menulis makalah ini penulis menyadari sepenuhnya bahwa si makalah ini belum
sempurna meskipun penulis menginginkan kesempurnaan dalam penyusunan makalah ini akan
tetapi pada kenyataannya masih banyak kekurangan yang perlu penulis perbaiki. Oleh karena itu
kritik dan saran yang membangun dari pada pembaca sangat penulis harapkan sebagai bahan
evaluasi untuk kedepannya. Dan diharapkan bahwa isi dari makalh ini dapat bermanfaat bagi
pembaca terutama bagi pengajar dalam melakukan evaluasi pembelajaran apabila terdapat
kekurangan dan bisa memperbaiki pemelajaran yang dilakukan agar lebih efesien dan jauh lebih
baik.
DAFTAR PUSTAKA
Syarif, H Rahmat. Ilmu Ushul Fiqih. 2010. Bandung : CV. PUSTAKA SETIA.
Darul Azka, Nailul Huda, Munawir Rudlwan. Ushul Fiqh terjemahan syarahal-Waraqat. 2016.
Kediri. Santri salaf press.

Rifa'i, Moh. Ushul Fiqih. 1973. Bandung. PT Alma 'arif.

Anda mungkin juga menyukai