Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

USHUL FIQH

“Kaidah Ushul Fiqh”

Dosen Pengampu : Bahrul Ulum, BS., MA., Ph.D.

Disusun Oleh :

1. Faiz Kharir Alluthfi (0602521011)


2. Alifa Dzihni (0602521004)
3. Iswah Risnavia (0602521014)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS PSIKOLOGI DAN PENDIDIKAN
UNIVERSITAS AL AZHAR INDONESIA
2021
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakaatuh…

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. kita
panjatkan puji serta syukur kehadirat-NYA yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, serta
inayah-NYA kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Ushul Fiqh ini
mengenai “Kaidah Ushul Fiqh” dengan lancar, shalawat serta salam kami panjatkan kepada
baginda Nabi Muhammad SAW yang menjauhkan kita dari jalan kegelapan.

Makalah yang berjudul “Kaidah Ushul Fiqh” disusun untuk memenuhi salah satu
tugas kelompok Mata Kuliah Ushul Fiqh Prodi Pendidikan Agama Islam, Fakultas Psikologi
dan Pendidikan, Universitas Al Azhar Indonesia.

Adapun makalah ini telah kami usahakan semaksimal mungkin dan tentunya dengan
bantuan berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar penyusunan makalah. Untuk itu kami
tidak lupa menyampaikan banyak terima kasih kepada :

1. Dosen Ushul Fiqh Ustadz Bahrul Ulum, BS., MA., Ph.D, yang mana bersedia
membimbing kami dalam penyusunan makalah ini.

2. Orang tua kami yang selalu memberi dukungan kepada kami demi kelancaran penyusunan
makalah ini.

3. Serta semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.

Dengan ini penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini jauh dari
kesempurnaan, karena kesempurnaan semata hanya milik ALLAH SWT, untuk itu segala
kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami nantikan.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh…

Jakarta, 11 Oktober 2021


Daftar Isi

Kata Pengantar

Bab I: Pendahuluan 1

A. Latar Belakang Masalah 1


B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan Makalah 2

Bab II: Pembahasan 3

2.1 Pengertian Muradhif dan Musytarak 3

2.2 Hukum Lafaz Muradhif dan Musytarak 3

2.3 Contoh Lafaz Muradhif dan Musytarak 4

2.4 Pengertian Zhahir dan Ta’wil 6

2.5 Contoh Zhahir dan Ta’wil 7

2.6 Pengertian Al-Nasikh dan Al-Mansukh 7

2.7 Cara Mengetahui Al-Nasikh dan Al-Mansukh 8

2.8 Macam dan Jenis Al-Nasikh dan Al-Mansukh 8

2.9 Pengertian Kaidah Fiqhiyah 12

2.10 Macam-Macam Kaidah Fiqhiyah 12

2.11 Perbedaan Kaidah Fiqhiyah dan Kaidah Ushuliyah 12

Bab III: Penutup 13

3.1 Kesimpulan 13

Daftar Pustaka 14
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang.

Terdapat tiga rumpun ilmu dalam kajian hukum Islam yang saling berkaitan satu sama
lain, yakni ushul fikih, fikih, dan kaidah fikih. Umat Islam pada umumnya lebih familiar fikih
dari pada dua rumpun ilmu yang lain. Alasan sederhananya karena fikih bersinggungan
dalam keseharian perilaku kaum muslimin. Definisi yang mudah dipahami oleh semua
kalangan bahwa fikih adalah pengetahuan tentang hukum Islam. Seluruh gerak gerik dan
tindak tanduk orang mukallaf terpantau dan disorot oleh fikih. Dengan demikian, fikih
merupakan panduan praktis tentang tata cara dan perilaku sehari-hari seorang muslim dalam
berinteraksi secara vertikal (berhubungan dengan Tuhan) yang dikenal dengan ibadah, atau
interaksi horizontal (berhubungan dengan sesama muslim, alam, dan lingkungan) yang
disebut dengan muamalah dalam arti yang luas.
Secara istilah fikih adalah pengetahuan tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat
praktis yang diperoleh melalui proses istinbat (menggali dan menelaah) dari dalil-dalil syar’i.
Ungkapan yang sangat populer dalam pembahasan fikih, nahnu nahkumu biddhawahir (kita
memutuskan dan menghukumi secara luar saja, apa yang tampak). Sehingga, fokus sorotan
fikih atau objek kajiannya adalah perbuatan orang mukallaf. Oleh karena itu, yang dihukumi
oleh fikih harus berbentuk perbuatan, bukan persoalan keyakinan yang menjadi garapan
tauhid, atau soal rasa (dzauq) yang digarap oleh ilmu tasawuf.
Sedangkan ushul fikih secara sederhana adalah cara atau metode yang dijadikan
perantara untuk memproduksi sebuah hukum. Pengetahun tentang metode dan tata cara
memproduksi hukum-hukum syar’i melalui dalilnya itu yang disebut dengan ushul fikih.
Misalnya, membasuh muka dalam wudlu’ merupakan kewajiban dan salah satu unsur yang
harus ada (rukun). Bagaimana metode dan cara menghasilkan hukum wajib membasuh muka
dalam wudlu’ itulah garapan ushul fikih. Proses apa yang harus ditempuh oleh seorang
mujtahid melalui sumber-sumber hukum atau dalil-dalil syar’i sehingga menghasilkan hukum
wajib.
Sementara rumpun ilmu yang terakhir adalah kaidah fikih. Secara bahasa kaidah berarti
rumusan yang menjadi patokan dan asas. Kaidah fikih didefinisikan sebagai ketentuan umum
(dominan) yang dapat diterapkan terhadap kasus-kasus yang menjadi cakupannya agar kasus
tersebut dapat diketahui status hukumnya. Kaidah fikih menghimpun persoalan-persoalan
fikih dalam satu naungan berupa rumus dan ketentuan umum. Contoh kaidah fikih yang
berbunyi: keyakinan tidak bisa dikalahkan oleh keraguan. Kaidah ini mencakup setiap
persoalan hukum yang terkait dengan keyakinan. Bahwa keyakinan seseorang tentang suatu
perbuatan tertentu tidak dapat dikalahkan dengan munculnya keraguan.
Ketiga disiplin ilmu di atas dipertemukan dan bersinggungan dalam satu term hukum
syar’i. Secara sederhana perbedaan antara tiga rumpun ilmu tersebut dapat digambarkan
sebagai berikut. Ushul fikih adalah rumah produksi atau pabrik, sementara fikih merupakan
produknya, sedangkan kaidah fikih adalah pengikat yang menghubungkan produk-produk
yang bertebaran dan memiliki kesamaan jenis dalam produksi. Pendek kata, fikih adalah hasil
atau produk, ushul fikih adalah cara (proses) bagaimana memproduksi, sedangkan kaidah
fikih adalah media untuk menata dan mengkaitkan sekaligus merawat produk yang
dihasilkan. Andaikan fikih adalah roti, maka ushul fikih adalah cara membuat roti, sementara
kaidah fikih mengelompokkan jenis-jenis produk roti.  
Perbedaan secara lebih detail antara ushul fikih dan kaidah fikih antara lain sebagai
berikut:

 Ushul fikih berisi kaidah-kaidah yang dijadikan sarana untuk menggali hukum syar’i
dari sumber hukum Al-Qur’an dan Hadis, sedangkan kaidah fikih berfungsi sebagai
pengikat dan penghubung antara kasus-kasus fikih yang serupa.
 Secara hierarkis urutan kemunculannya adalah ushul fikih sebelum fikih, sementara
munculnya kaidah fikih setelah fikih.
 Objek kajian ushul fikih adalah dalil-dalil syar’i, sedangkan kaidah fikih sama dengan
fikih, yakni perbuatan orang mukallaf.
 Ushul fikih menggunakan pola pendekatan deduktif, sementara kaidah fikih muncul
melalui pendekatan induktif. (1)

1.2 Rumusan Masalah.

1. Apa yang dimaksud dengan Al-Muradhif dan Al-Musytarak?


2. Bagaimana hukum lafadz Muradhif dan Musytarak?
3. Bagaimana contoh-contoh lafadz Muradhif dan Musytarak?
4. Apa yang dimaksud dengan Al-Zhahir dan Al-Ta’wil?
5. Contoh Al-Zhahir dan Al-Ta’wil?
6. Apa yang dimaksud dengan Al-Nasikh dan Al-Mansukh?
7. Bagaimana cara mengetahui Al-Nasikh dan Al-Mansukh?
8. Macam dan Jenis Al-Nasikh dan Al-Mansukh?
9. Apa yang dimaksud Kaidah Fiqhiyah?
10. Apa saja macam-macam kaidah Fiqhiyah?
11. Apa perbedaan antara kaidah Fiqhiyah dan kaidah Ushuliyah?

1.3 Tujuan Makalah

1. Untuk mempelajari pengertian, penyebab, serta contoh-contoh Al-Muradhif dan Al-


Musytarak.
2. Untuk mempelajari pengertian, penyebab, serta contoh dari Al-Dzahir dan Al-Ta’wil.
3. Untuk mempelajari pengertian, cara mengetahui, macam dan jenis Al-Nasikh dan Al-
Mansukh.
4. Untuk mempelajari pengertian, macam-macam, dan perbedaan tentang Kaidah
Fiqhiyah.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Al-Muradhif dan Al-Musytarak.

ِ ‫هُ َو اللَّ ْفظُ ْال ُمتَ َع ِّد ُد لِ َم ْعنًى َو‬   (dua kata atau lebih artinya satu) atau disebut
Muradif ialah:‫اح ٍد‬
sinonim.

  Muradif ialah lafal yang banyak tetapi artinya sama (synonym). Kadang-kadang ada
beberapa lafal yang berbeda namun hanya mempunyai satu arti seperti lafal asad dan al
llaits (artinya singa), hintah dan qamhum (artinya gandum). Lafal yang seperti ini dinamakan
lafal muradif. Mengenai lafal muradif tidak ada perbedaan pendapat dikalangan para ulama’
bahwa lafal yang satu dapat menempati tempat lafal yang lain selama tidak berubah makna
dan arti selama tidak ada larangan syara’ untuk mempergunakannya.1

Dalam bahasa Muradif  memiliki arti membonceng, ikut serta atau kata yang searti. Dan
secara istilah Muradif adalah :
Artinya “Muradif ialah lafal yang bentuk lafalnya banyak. Tetapi artinya sama”.

sedangkan musytarak ialah:


Musytarak ialah suatu lafal yang mempunyai dua arti yang sebenarnya dan arti-arti
tersebut berbeda. Seperti lafal jaun yang artinya putih atau hitam. Apabila arti yang
sebenarnya satu dan yang lain arti majaz, maka tidak dikatakan musytarak.

Musytarak secara bahasa berarti berserikat, berkumpul. Dalam ushul fiqh yang


dimaksud dengan Musytarak  adalah :

ُ ْ‫لَلَّفَظُ ْال َموْ ضُو‬


‫ع لِ َحقِ ْيقَتَ ْي ِن ُمحْ تَلِفَتَ ْي ِن اَوْ اَ ْكثَر‬
“lafadz yang dibentuk untuk dua arti atau lebih yang berbeda-beda”2

2.2 Hukum lafadz Muradhif dan Musytarak.

a. Hukum Lafal Muradhif.

  Meletakkan lafal muradif ditempat lafal lainnya diperbolehkan apabila tidak ada


larangan dari syara’. Pendapat lain mengatakan : Meletakkan lafal muradif diperbolehkan
asal masih satu bahasa. Tentang lafal-lafal qur’an tidak ada perbedaan pendapat lagi, bahwa
kita disuruh membaca lafal-lafal itu sendiri. Lagi pula lafal-lafal qur’an itu adalah mukjizat
murni dari Allah yang tidak dapat dirubah dan tidak  terdapat pada lafal-lafal lainnya.
Perbedaan pendapat tersebut hanya mengenai lafal-lafal selain qur’an yaitu zikir-zikir dalam
sholat dan lafal-lafal lainnya. Imam Malik mengatakan bahwa tidak boleh membaca takbir,
kecuali dengan lafal Allahu Akbar. Demikian pula pendapat Imam Syafi’i. Akan tetapi  Imam
1 http://allaylaa.blogspot.co.id/2014/10/mantuq-mafhum-musytarak- .html
2 http://karyacombirayang.blogspot.com/2015/11/muradhif-dan-musytarak.html
Hanafi justru membolehkan takbir dengan lafal yang sama artinya dengan Allahu Akbar,
seperti  Allah Al A’dzam atau Allah Al A’la atau Allah Al Ajjal. Maka penyebab perbedaan
pendapat ini ialah, apakah kita beribadah dengan lafalnya ataukah dengan maknanya.

b. hukum lafal musytarak.

Lafal musytarak tidak dapat menunjukan salah satu artinya yang tertentu (dari arti
lafal musytarak) selama tidak dapat menunjukan salah satu artinya yang tertentu (dari arti
lafal musytarak) selama tidak ada hal-hal (qarinah) yang menjelaskannya. Apabila ada lafal
musytarak tanpa penjelasan, padahal yang dikehendaki oleh salah satu artinya maka dengn
sendirinya lafal musytarak tersenut ditinggalkan. Sebab tidak mungkin kita beramal sesuai
dengan petunjuknya(lafal musytarak) selama kita tidak mengetahui maksud sebenarnya.3

2.3 Contoh-Contoh Lafadz Muradhif dan Musytarak.

a. Dalam al-Qur’an seorang pembaca akan sering menjumpai lafadh-lafadh muradif


seperti berikut.

1) Al-khauf dan khasyah artinya (Takut). Kedua kata ini memiliki arti yang sama akan tetapi
jelas sudah menjadi rahasia umum jika kata Al-khasyah adalah lebih tinggi atau lebih kuat
makna ketakutannya daripada kata Al-khauf. Seperti contoh berikut :

ِ ‫ُوص َل َويَ ْخ َشوْ نَ َربَّهُ ْم َويَخَافُونَ سُو َء ْال ِح َسا‬


‫ب‬ َ ‫صلُونَ َما َأ َم َر هَّللا ُ بِ ِه َأ ْن ي‬
ِ َ‫َوالَّ ِذينَ ي‬

“dan orang-orang yang menghuungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan
dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut terhadap hisab yang buruk.”

Dalam ayat ini memberitahukan bahwa sesungguhnya al-khasyhah dikhususkan hanya untuk
Allah SWT.sebab lafadh al-khasyah itu berfaedah memuliakan. Sedangkan lafadh al-khouf
berfaedah melemahkan atau dha’if.

2) Asy-syukh dan al-bukhl artinya Pelit atau kikir. Al-Askary juga membedakan al-bukhl
dengan kata adl-dlann. Dengan adl-dlann yang berarti kecelaannya atau aibnya, namun al-
bukhl karena keadaannya. Seperti contoh berikut :

‫ضنِي ٍن‬ ِ ‫َو َما ه َُو َعلَى ْال َغ ْي‬


َ ِ‫ب ب‬

“Dan dia (Muhammad) bukanlah orang yang bakhil untuk menerangkan yang ghaib.”
Di sini tidak disebutkan dengan lafadh al-bukhl. Di lain waktu juka dikatakan ad-dhanin bi
ilmihi.

3) Hasad dan al-hiqdu (dengki). Seperti pada contoh berikut :

3 http://blogpendidikanindonesia31.blogspot.com/2016/11/makalah-muradif-dan-musytarak.html
َ َ‫َسيَقُو ُل ْال ُم َخلَّفُونَ ِإ َذا ا ْنطَلَ ْقتُ ْم ِإلَى َمغَانِ َم ِلتَْأ ُخ ُذوهَا َذرُونَا نَتَّبِ ْع ُك ْم ي ُِري ُدونَ َأ ْن يُبَ ِّدلُوا كَاَل َم هَّللا ِ قُلْ لَ ْن تَتَّبِعُونَا َك َذلِ ُك ْم ق‬
‫ال هَّللا ُ ِم ْن قَ ْب ُل‬
‫فَ َسيَقُولُونَ بَلْ تَحْ ُسدُونَنَا بَلْ َكانُوا اَل يَ ْفقَهُونَ ِإاَّل قَلِياًل‬

“Orang-orang badwi yang tertinggal itu akan berkata apabila kamu berangkat untuk
mengambil barang rampasan: “biarkanlah kami, niscaya kami mengikutimu” mereka hendak
merubah janji Allah. Katakanlah: “Kamu sekali-kali tidak boleh mengikuti kami; demikian
Allah telah menetapkan sebelumnya. Mereka mengatakan: “sebenarnya kamu dengki kepada
kami. Bahkan mereka tidak mengerti melainkan sedikit sekali.”

4) As-sabil dan at-thariq (jalan). Seperti pada contoh berikut :

َ‫ت َولِتَ ْستَبِينَ َسبِي ُل ْال ُمجْ ِر ِمين‬


ِ ‫ص ُل اآْل يَا‬
ِّ َ‫َو َك َذلِكَ نُف‬

“Dan demikianlah kami terangkan ayat-ayat al-Qur’an supaya jelas jalan orang-orang yang
saleh, dan supaya jelas (pula) jalan orang-orang yang berdosa.”

b. Contoh lafadh musytarak yang sering kita jumpai dalam surah al-Baqarah : 288
adalah sebagai berikut :

‫ات يَت ََربَّصْ نَ بَِأنفُ ِس ِه َّن ثَاَل ثَةَ قُرُو ٍء‬


ُ َ‫َو ْال ُمطَلَّق‬

“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’.”

Lafadh quru’ dalam ayat tersebut, dalam bahasa Arab bias berarti suci dan bias pula berarti
masa haidh.Oleh karena itu, seorang mujtahid harus mengerahkan segala kemampuannya
untuk mengetahui arti yang dimaksudkan oleh syari’ dalam ayat tersebut.

Para ulama’ berbeda pendapat dalam mengartikan lafadhquru’ tersebut diatas. Sebagian
ulama’ yaitu Imam Syafi’i mengartikannya dengan masa suci. Alasan beliau antara lain
adalah karena adanya indikasi tanda muannats pada ‘adad (kata bilangan : tsalatsah) yang
menurut kaida bahasa arab ma’dudnya harus mudzakkar, yaitu lafadh al-thuhr (suci).
Sedangkan Imam Abu Hanifah mengartikannya dengan masa haidh. Dalam hal ini, beliau
beralasan bahwa lafadh tsalatsah adalah lafadh yang khas yang secara dzahir menunjukkan
sempurnanya masing-masing quru’ dan tidak ada pengurangan dan tambahan.4

2.4 Pengertian Al-Zhahir dan Al-Ta’wil.

4 http://blogpendidikanindonesia31.blogspot.com/2016/11/makalah-muradif-dan-musytarak.html
a. Zhahir

Zhahir secara bahasa berarti al-wudhuh (jelas). Sedangkan menurut istilah, menurut
juhur Ulama Ushul Fiqh antara lain seperti dikemukakan Ibnu al-Subki (w.771H), ahli Ushul
Fiqh dari kalangan Syafi’iyyah , bererti lafal yang menunjukkan suatu pengertian yang hanya
sampai ke tingkat zhanny (dugaan keras). Artinya yang dimaksud dengan makna zhahir dari
suatu lafal adalah makna yang cepat ditangkap dari mendengarkan lafal itu, namun masih ada
sedikit kebolehjadian pengertian lain selain pengertian yang telah ditangkap.

Contohnya dalam percakapan sehari-hari: Raaitu asadan (‫ رأيت أسدا‬aku melihat asad/
singa). Kata asad dalam ucapan tersebut mengandung dua pengertian, yaitu makna yang
cepat ditangkap ketika mendengar ucapan itu (makna zhahir-nya), yaitu seekor singa, dan
makna majazi-nya yaitu seorang laki-laki pemberani. 5

b. Ta’wil

Kata ta’wil berasal dari kata dasar al-awlu yang menurut bahasa berarti ar-ruju’u ila
al-ashl (kembali kepada asal), dan dalam bentuk kata ta’wil berarti mengembalikan sesuatu
kepada asal. Ta’wil menurut ulama-ulama Ushul Fiqh, seperti disimpulkan Adib Shalih,
berarti pemalingan suatu lafal dari maknanya yang zhahir kepada makna lain yang tidak
cepat dapat ditangkap, karena ada dalil yang menunjukkan bahwa makna itulah yang
dimaksud oleh lafal tersebut.

Menurut Adib Shalih, ta’wil banyak berlaku pada bidang hukum Islam. Misalnya,
mena’wil-kan suatu lafal dari makna hakikat kepada makna majaz-nya, mena’wil-kan suatu
bentuk perintah kepada pengertian yang selain huku wajib, dan memalingkan pengertian
suatu larangan kepada hukum selain haram.

Adib Shalih mengemukakan beberapa persyaratan untuk ta’wil yaitu:

a. Lafal yang hendak di-ta’wil-kan itu mengandung beberapa pengertian, baik ditinjau
dari segi bahasa seperti makna hakikat dan makna majazi-nya, atau dari segi
kebiasaan orang-orang Arab dalam menggunakan lafal itu, atau dari segi penggunaan
lafal itu dalam syari’at Islam.
b. Ada dalil atau indikasi yang menunjukkan bahwa yang dimaksud oleh si pembicara
bukan makna zhahir-nya, tetapi makna yang tidak zhahir, dan dalil atau indikasi itu
lebih kuat dibandingkan dengan alasan menetapkan suatu lafal pada makna
hakikatnya. 6

2.5 Contoh Al-Zhahir dan Al-Ta’wil.

a. Contoh lafaz zhahir dalam Al-Qur’an kata “yad” dalam ayat 10 Surat al-Fath:
5 Prof.Dr.H.Satria Effendi, M.Zein,M.A Ushul Fiqh hal.220
6 Prof.Dr.H.Satria Effendi, M.Zein,M.A Ushul Fiqh hal.230-232
œَ ْ‫يَ ُد هّٰللا ِ فَو‬
‫ق اَ ْي ِد ْي ِه ْم‬
“yad (tangan atau kekuasaan) Allah diatas tangan mereka” (QS. al-Fath/48:10)

Makna zhahir dari kata yad dalam ayat tersebut adalah “tangan” karena untuk itulah
kata itu dibentuk dari mulanya. Namun ada kemungkinan bahwa yang dimaksud bukan
makna zhahir-nya itu tetapi makna lain, yaitu kekuasaan. Makna tersirat ini baru boleh
difungsikan bila mana didukung oleh dalil. Menurut para Ulama Ushul Fiqh, kaidah yang
berlaku di sini adalah setiap lafaz zhahir harus dipegang makna zhahir-nya itu selama tidak
ada petunjuk bahwa maksu ‫سا‬d pembicara adalah makna yang tersembunyi.

b. Contoh lafaz ta’wil dalam hadis Rasulullah yang diriwayatkan Abu Daud:

َ‫م قا َ َل فِ ْي ُكلِّ ساَِئ َم ِة ِإبِ ٍل فِ ْي َأرْ بَ ِع ْين‬œَ َّ‫صلّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسل‬
َ َ‫ع َْن ُم َح َّم ُد بْنُ ْال َعالَ ِء ع َْن َأبِ ْي ِه ع َْن َج ِّد ِه َأ َّن َرسُوْ َل هللا‬
َ ‫ْس لآِل ِل ُم َح َّم ٍد ِم ْنها‬َ ‫ت َربَّنا َ َع َّز َو َج َّل لَي‬ ْ ‫ت لَبُوْ ٍن َو َم ْن َمنَ َعها َ فَِإ َّن آ ِخ ُذوْ ها َ َو َش‬
ِ َ ‫ط َر ماَلِ ِه ع َْز َمةً ِم ْن عَزَما‬ ُ ‫بِ ْن‬
)‫َش ْي ٌء (رواه أبو داود‬
“Dari Muhammad bin al-‘Ala’ dari Ayahnya, dari Kakeknya, sesungguhnya Rasulullah
SAW. bersabda: “Pada binatang ternak unta yang dilepas, pada setiap empat puluh ekor,
(wajib dizakatkan) satu ekor unta bintu labun, barangsiapa yang enggan mengeluarkannya,
maka kamilah yang akan mengambilnya, sebab sebagian harta miliknya merupakan hak dan
kewajiban Tuhan kami ‘azza wa jalla, yang tidak layak bagi keluarga Muhammad sedikit
pun.” (HR. Abu Dawud)

Kalangan Hanfiyah mena’wil-kan lafal seekor unta bintu labun dalam hadist di atas
adalah dengan nilainya. Berdasarkan hal tersebut, menurut menurut aliran ini, untuk
membayar zakat binatang ternak kambing misalnya, di samping beoleh dengan membayarkan
dalam bentuk kambing itu sendiri, boleh pula membayar nilainya. Alasan mereka, karena
kedua bentuk pembayaran itu sama-sama bisa menutupi kebutuhan orang yang sedang
membutuhkan, dan hal itulah yang menjadi tujuan syari’at. Namun, kalangan Syafi’iyyah
tidak melakukan ta’wil terhadap maksud hadist tersebut, sehingga yang wajib dibayarkan
adalah bentuk kambing itu sendiri, bukan nilainya. 7

2.6 Pengertian Al-Nasikh dan Al-Mansukh.


Naskh secara bahasa artinya: menghilangkan, menghapuskan, memindahkan, menulis.
Adapun secara istilah, maka ada dua macam: Pertama. Naskh menurut istilah para ulama
ushul fiqih Muta-akhirin. Mereka memiliki ta’rif yang berbeda-beda.

Al-Baidhowi rahimahullah (wafat 685 H) mendefinisikan dengan, “Naskh adalah


penjelasan berhentinya hukum syari’at dengan jalan syar’i yang datang setelahnya.”

Ibnu Qudamah rahimahullah (wafat 620 H) menyebutkan definisi naskh dengan

7 Adib Shalih, Mhuhammad, Tafsir al-Nusus fi al-Fiqh al-Islami Damaskus: al-Maktab al-Islami, 1984, cet.II
menyatakan, “Menghilangkan hukum yang ada dengan perkataan (dalil) yang dahulu, dengan
perkataan yang datang setelahnya.”

Di antara ta’rif yang ringkas dan mencakup adalah yang dikatakan oleh Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, yaitu, “Menghapuskan hukum dalil syar’i atau lafazhnya
dengan dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah.”

Kedua, Naskh menurut istilah Salafush Shalih Mutaqoddimin. Istilah naskh yang ada
pada mereka lebih luas daripada definisi para ulama ushul Mutaakhirin.

Hudzaifah ra berkata, “Yang memberi fatwa kepada manusia hanyalah tiga orang;
Orang yang mengetahui yang mansukh dari Al-Qur’an, atau amir (pemimpin) yang harus
(berfatwa), atau orang dungu yang memaksakan diri.”

Imam Ibnul Qayyim berkata mengomentari perkataan di atas: “Yang dimaksudkan


oleh beliau (Hudzaifah) dan yang dimaksudkan oleh kebanyakan Salaf dengan (istilah)
nasikh dan mansukh terkadang adalah menghapuskan hukum sekaligus. Dan ini merupakan
istilah mutaakhirin, dan terkadang adalah menghapus penunjukkan dalil ‘am, muthlaq, zhahir,
dan lainnya. Kemungkinan dengan takhshish (pengkhususan), taqyid (penentuan), atau
membawa yang muthlaq kepada muqayyad (yang ditentukan), dan tafsir (penjelasan) serta
tanbih (mengingatkan).

Nasikh artinya yang menghapuskan, yaitu dalil Al-Kitab atau As-Sunnah yang
menghapuskan hukum dalil syar’i atau lafazhnya. Pada hakikatnya nasikh (yang
menghapuskan) adalah Allah Azza wa Jalla.

Mansukh artinya yang dihapuskan, yaitu hukum dalil syar’i atau lafazhnya yang
dihapuskan.

Secara etimologi kata ini adalah bentuk isim maf’ȗl dari fii’l madi nasakha yang
bermakna yang dihapus, dinukil, disalin, diubah dan diganti. Selain itu Mannȃ’ al-Qattȃn
memaknainya dengan al-Hukmu al-Murtafi’ (hukum yang diangkat). 8

2.7 Cara Mengetahui Al-Nasikh dan Al-Mansukh.

Cara untuk mengetahui nasakh dan mansukh dapat dilihat dengan cara-cara sebagai
berikut:

1.      Keterangan tegas dari nabi atau sahabat, seperti hadis yang artinya:

8 https://www.republika.co.id/berita/lms4tr/nasikh-dan-mansukh - :~:text=Nasikh%20artinya%20yang
%20menghapuskan%2C%20yaitu,i%20atau%20lafazhnya%20yang%20dihapuskan
Aku (dulu) pernah melarangmu berziarah ke kubur, sekarang Muhammad telah.mendapat
izin untuk menziarahi ke kubur ibunya, kini berziarahlah kamu ke kubur. Sesungguhnya
ziarah kubur itu mengingatkan pada hari akhir. (Muslim, Abu Daud, dan Tirmizi).

2.      Kesepakatan umat tentang menentukan bahwa ayat ini nasakh dan ayat itu mansukh.

3.      Mengetahui mana yang lebih dahulu dan kemudian turunnya dalam perspektif sejarah.
Nasikh tidak dapat ditetapkan berdasarkan ijtihad, pendapat mufassir, atau keadaan dalil-
dalil yang secara lahir tampak kontradiktif, atau terlambatnya keislaman seseorang dari dua
perawi.
Ketiga-tiga persyaratan tersebut merupakan faktor yang sangat menentukan adanya
nasakh dan mansukh dalam Alquran. Jadi, berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami
bahwa nasakh mansukh hanya terjadi dalam lapangan hukum dan tidak termasuk
penghapusan yang bersifat asal (pokok).9

2.8 Macam dan Jenis Al-Nasikh dan Al-Mansukh.

Macamnya :

Menurut al-Zarkashi, ada tiga macam nasakh, khususnya dari segi tilawah (bacaan) dan
hukumnya.

Nasakh dari segi bacaan dan hukumnya sekaligus, yaitu bacaan dan tulisan ayatnya
pun tidak ada lagi termasuk hukum ajarannya telah terhapus dan diganti dengan
hukum yang baru. Misalnya penghapusan ayat tentang keharaman kawin dengan
saudara satu susuan karena samasama menetek kepada seorang ibu dengan sepuluh
kali susuan dengan lima kali susuan saja.

Nasakh hukumnya tanpa menasakh bacaannya, yaitu tulisan dan bacaannya tetap ada
dan boleh dibaca sedangkan isi hukumnya sudah dihapus atau tidak boleh diamalkan.
Misalnya pada surat alBaqarah ayat 240 tentang istri-istri yang dicerai suaminya harus
ber-iddah selama satu tahun dan masih berhak mendapatkan nafkah dan tempat
tinggal selama ‘iddah satu tahun.

‫َاح َعلَ ْي ُك ْم‬


َ ‫ُجن‬ ‫اج ۚ فَا ِ ْن خَ َرجْ نَ فَاَل‬ ِ ‫َوالَّ ِذ ْينَ يُتَ َوفَّوْ نَ ِم ْن ُك ْم َويَ َذرُوْ نَ اَ ْز َواج ًۖا َّو‬
ٍ ‫صيَّةً اِّل َ ْز َوا ِج ِه ْم َّمتَاعًا ِالَى ْال َحوْ ِل َغ ْي َر اِ ْخ َر‬
‫ف وهّٰللا‬
‫َز ْي ٌز َح ِك ْي ٌم‬
ِ ‫ُع‬ َ ٍ ۗ ْ‫فِ ْي َما فَ َع ْلنَ فِ ْٓي اَ ْنفُ ِس ِه َّن ِم ْن َّم ْعرُو‬

Artinya: ‚dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan
meninggalkan isteri, hendaklah Berwasiat untuk isteriisterinya, (yaitu) diberi nafkah
hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). akan tetapi jika
mereka pindah (sendiri), Maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang

9 https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36155/1/EBOOK DASWANDI.pdf
meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. dan Allah
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana‛. (QS. al-Baqarah: 240)

Ketentuan hukum ayat tersebut dihapus oleh ayat 234 surat al-Baqarah, sehingga
keharusan ‘iddah satu tahun tidak berlaku lagi.

‫َوالَّ ِذ ْينَ يُتَ َوفَّوْ نَ ِم ْن ُك ْم َويَ َذرُوْ نَ اَ ْز َواجًا يَّتَ َربَّصْ نَ بِا َ ْنفُ ِس ِه َّن اَرْ بَ َعةَ اَ ْشه ٍُر َّو َع ْشرًا ۚ فَا ِ َذا بَلَ ْغنَ اَ َجلَه َُّن فَاَل جُ نَا َح َعلَ ْي ُك ْم فِ ْي َما‬
‫ف َوهّٰللا ُ بِ َما تَ ْع َملُوْ نَ خَ بِ ْي ٌر‬
ِ ۗ ْ‫فَ َع ْلنَ فِ ْٓي اَ ْنفُ ِس ِه َّن بِ ْال َم ْعرُو‬

Artinya: ‚orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan


isteriisteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan
sepuluh hari. kemudian apabila telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para
wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah
mengetahui apa yang kamu perbuat‛. (QS. al-Baqarah: 234)

Menasakh bacaan ayat tanpa menasakh hukumnya. Yaitu tulisan ayatnya sudah
dihapus sedangkan hukumnya masih tetap berlaku. Sebagaimana hadist Umar bin
khatahab dan ubay bin Ka’ab :

Artinya: “Orang tua laki-laki dan perempuan yang berzina, maka rajamlah keduanya
itu dengan pasti sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha perkasa lagi Maha
bijaksana”

Nasakh dengan pengganti dan tanpa pengganti: Secara umum, bahwa adanya nasakh
ini menunjukkan bahwa syari’at Islam merupakan syari’at paling sempurna yang
menasakh syari’at syari’at yang datang sebelumnya. Karena syari’at Islam berlaku
untuk semua situasi dan kondisi, maka adanya nasakh berfungsi untuk menjaga
kemaslahatan umat. 10

Nasakh tanpa pengganti Terkadang ada nasakh terhadap suatu hukum tetapi tidak
ditentukan hukum lain sebagai pennggantinya, selain bahwa ketentuan hukumnya
sudah berubah. Misalnya penghapusan keharusan bersedekah sebelum menghadap
Rasulullah sebagaimana diperintahkan dalam firman Allah:

‫هّٰللا‬
َ ‫طهَ ۗ ُر فَا ِ ْن لَّ ْم تَ ِج ُدوْ ا فَا ِ َّن‬
ْ َ‫ص َدقَةً ٰۗذلِكَ خَ ْي ٌر لَّ ُك ْم َوا‬ َ ‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُ ْٓوا اِ َذا ن‬
َ ‫َاج ْيتُ ُم ال َّرسُوْ َل فَقَ ِّد ُموْ ا بَ ْينَ يَ َديْ نَجْ ٰوى ُك ْم‬
ِ ‫َغفُوْ ٌر ر‬
‫َّح ْي ٌم‬

10 https://www.binaaku.web.id/2012/08/makalah-nasikh-wal-mansukh.html
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menghadap lalu mengadakan
pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada
orang miskin) sebelum pembicaraan itu……” (QS. al-Mujadalah: 12)

Ketentuan ini dinasakh dengan firman-Nya:


‫هّٰللا‬ ‫ت فَا ْذ لَم تَ ْفعلُوْ ا وت هّٰللا‬
َ ‫َاب ُ َعلَ ْي ُك ْم فَاَقِ ْي ُموا الص َّٰلوةَ َو ٰاتُوا ال َّز ٰكوةَ َواَ ِط ْيعُوا‬ َ َ َ ْ ِ ٍ ۗ ‫صد َٰق‬ َ ‫َءاَ ْشفَ ْقتُ ْم اَ ْن تُقَ ِّد ُموْ ا بَ ْينَ يَ َديْ نَجْ ٰوى ُك ْم‬
‫هّٰللا‬
َ‫ࣖ و َرسُوْ لَهٗ َۗو ُ خَ بِ ْي ٌر ۢبِ َما تَ ْع َملُوْ ن‬
َ

Artinya: “Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan
sedekah sebelum pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kamu tidak memperbuatnya
dan Allah telah memberi taubat kepadamu maka dirikanlah sholat, tunaikan zakat….‛.
(QS. al-Mujadalah: 13)

Nasakh dengan pengganti yang seimbang Nasakh disamping menghapuskan suatu


ketentuan juga menentukan hukum baru sebagai penggantinya. Penggantinya itu
sering seimbang atau sama dengan ketentuan yang dihapusnya. Misalnya nasakh dari
sholat menghadap ke Bayt al Muqaddas yang beralih menghadap ke Bait al Haram
(Ka’bah)

Nasakh dengan pengganti yang lebih berat, misalnya penghapusan hukuman penahan
di rumah (terhadap wanita yang berzina).

‫ت َح ٰتّى يَتَ َو ٰفّىه َُّن‬ ٰ


ِ ْ‫اح َشةَ ِم ْن نِّ َس ۤا ِٕى ُك ْم فَا ْستَ ْش ِه ُدوْ ا َعلَ ْي ِه َّن اَرْ بَ َعةً ِّم ْن ُك ْم ۚ فَا ِ ْن َش ِه ُدوْ ا فَا َ ْم ِس ُكوْ ه َُّن فِى ْالبُيُو‬
ِ َ‫َوالّتِ ْي يَْأتِ ْينَ ْالف‬
‫ت اَوْ يَجْ َع َل هّٰللا ُ لَه َُّن َسبِ ْياًل‬
ُ ْ‫ْال َمو‬

Artinya: “dan terhadap para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, datangkanlah
empat orang saksi dari pihak kamu (untuk menjadi saksi). Kemudian apabila mereka
telah memberikan kesaksian, maka kurungkanlah mereka (wanita-wanita itu) di dalam
rumah…….”. (QS. an-Nisa : 15)

Ayat ini kemudian dinasakh dengan ayat:

‫اَل َّزانِيَةُ َوال َّزانِ ْي فَاجْ لِ ُدوْ ا ُك َّل َوا ِح ٍد ِّم ْنهُ َما ِماَئةَ َج ْل َد ٍة ۖ َّواَل تَْأ ُخ ْذ ُك ْم بِ ِه َما َرْأفَةٌ فِ ْي ِد ْي ِن هّٰللا ِ اِ ْن ُك ْنتُ ْم تُْؤ ِمنُوْ نَ بِاهّٰلل ِ َو ْاليَوْ ِم‬
َ‫ااْل ٰ ِخ ۚ ِر َو ْليَ ْشهَ ْد َع َذابَهُ َما طَ ۤا ِٕىفَةٌ ِّمنَ ْال ُمْؤ ِمنِ ْين‬

Artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina maka cambuklah setiap
ortang dari mereka 100 kali cambukan..........”. (QS. an-Nur : 2)

Nasakh dengan pengganti yang lebih ringan, misalnya:

َ‫ب َعلَى الَّ ِذ ْينَ ِم ْن قَ ْبلِ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَتَّقُوْ ۙن‬ َ ِ‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا ُكت‬
َ ِ‫ب َعلَ ْي ُك ُم الصِّ يَا ُم َك َما ُكت‬

Artinya: “Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang


sebelum kamu…...”. (QS. al-Baqarah: 183

Ayat tersebut kemudian dinasakh dengan ayat sebagai berikut:


‫هّٰللا‬
َ ‫ث اِ ٰلى نِ َس ۤا ِٕى ُك ْم ۗ ه َُّن لِبَاسٌ لَّ ُك ْم َواَ ْنتُ ْم لِبَاسٌ لَّه َُّن ۗ َعلِ َم ُ اَنَّ ُك ْم ُك ْنتُ ْم ت َْختَانُوْ نَ اَ ْنفُ َس ُك ْم فَت‬
‫َاب‬ ُ َ‫صيَ ِام ال َّرف‬ ِّ ‫اُ ِح َّل لَ ُك ْم لَ ْيلَةَ ال‬
َ‫َب ُ لَ ُك ْم ۗ َو ُكلُوْ ا َوا ْش َربُوْ ا َح ٰتّى يَتَبَيَّنَ لَ ُك ُم ْالخَ ْيطُ ااْل َ ْبيَضُ ِمن‬ ‫هّٰللا‬
َ ‫اشرُوْ ه َُّن َوا ْبتَ ُغوْ ا َما َكت‬ ِ َ‫َعلَ ْي ُك ْم َو َعفَا َع ْن ُك ْم ۚ فَ ْالٰٔـنَ ب‬
‫هّٰللا‬
‫ك ُح ُدوْ ُد ِ فَاَل‬ َ ‫صيَا َم اِلَى الَّي ۚ ِْل َواَل تُبَا ِشرُوْ ه َُّن َواَ ْنتُ ْم ٰع ِكفُوْ ۙنَ فِى ْال َم ٰس ِج ِد ۗ تِ ْل‬ِّ ‫ْال َخ ْي ِط ااْل َ ْس َو ِد ِمنَ ْالفَجْ ۖ ِر ثُ َّم اَتِ ُّموا ال‬
‫هّٰللا‬ َ ِ‫تَ ْق َربُوْ ه َۗا َك ٰذل‬
ِ َّ‫ك يُبَيِّنُ ُ ٰا ٰيتِ ٖه لِلن‬
َ‫اس لَ َعلَّهُ ْم يَتَّقُوْ ن‬

Artinya: “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan
isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi
mereka”. (QS. Al-Baqarah: 187)

Jenisnya :

 Al-Quran dinasikhkan dengan Al-Quran


Ulama Sepakat Mengatakan ini diperbolehkan. Demikian juga mengenai jatuhnya.
Umpama menurut ayat masa iddah bagi perempuan itu lamanya satu tahun. Ayat iddah ini
ternasikhkan oleh ayat lain. Masa iddah itu cukup empat bulan sepuluh hari.

 Al-Quran dinasikhkan dengan Sunnah


Yang termasuk dalam hal ini, terdapat dua macam definisi, yaitu:
Pertama, Al-Quran dinasikhkan dengan Hadist Ahad. Menurut jumhur tidak
diperbolehkan, karena Al-Quran itu mutawatir, harus diyakini. Sedangkan hadist ahad masih
diragukan.

Kedua, Al-Quran dinasikhkan dengan Hadist Mutawatir. Hal ini diperbolehkan menurut
imam malik, abu hanifah dan ahmad bin hambal.

 Sunnah dinasikhkan dengan Al-Quran


Ini diperbolehkan menurut jumhur. Menghadap sembahyang ke baitul mukaddis itu
ditetapkan oleh sunnah, sedangkan di dalam Al-Quran tidak ada yang menunjukkan demikian
itu. Di sini dinasikhkan oleh Al-Quran QS 2:144.

 Sunnah dinasikhkan dengan Sunnah


Yang termasuk golongan ini ada empat macam, yaitu:
a) Mutawatir dinasihkan dengan mutawatir pula.
b) ahad dinasihkan dengan ahad pula.
c) ahad dinasikhkan dnegan mutawatir.
d) mutawatir dinasikhkan dengan ahad. 11

2.9 Pengertian Kaidah Fiqhiyah


Kata Kaidah fiqhiyah terdiri dari dua kata yakni qa’idah dan fiqhiyyah. Qa’idah kata
mufrad yang jama’nya qawa’id menurut bahasa berarti dasar atau asas. Dan kata fiqhiyyah

11 https://core.ac.uk/download/pdf/229474059.pdf
berasal dari kata fiqh, yang berarti faham, yang menurut istilah berarti kumpulan hukum-
hukum syara’ yang berkaitan dengan perbuatan mukalaf, yang dikeluarkan dari dalil-dalil
yang terperinci.
            Pengertian Qa’idah fiqhiyyah menurut Dr. Musthafa Ahmad az-Zarqa ialah:
‫ث الَّتِى ت َْذ ُخ ُل‬
ِ ‫ص ُموْ ِجزَ ٍة ُد ْستُوْ ِريَّ ٍة تَضْ َمنُ َأحْ َكا ًما تَ ْش ِري ِْعيَّةً عَا َّمةً فِى ْال َح َوا ِد‬ ِ ٌ‫اُصُوْ ٌل فِ ْق ِهيَّةٌ ُكلِّيَّة‬
ٍ ْ‫فى نُصُو‬
œ‫تَحْ تَ َموْ ضُوْ ِعهَا‬
“Dasar-dasar yang bertalian dengan hukum syara’ yang bersifat mencangkup (sebagian besar
bagian-bagiannya) dalam bentuk teks-teks perundang-undangan yang ringkas (singkat padat)
yang mengandung penetapan hukum-hukum yang umum pada pristiwa-pristiwa yang dapat
dimasukkan pada permasalahannya.”
            Menurut Prof. Hasbi Ash-Shiddieqy, qa’idah fiqhiyyah itu ialah:
“qa’idah-qa’idah yang bersifat kully dan dari maksud-maksud syara’ menetapkan hukum
(maqashidusy syar’i) pada mukalaf serta dari memahami rahasia tasyri’ dan hikmah-
hikmahnya.”12

2.10 Macam-Macam Kaidah Fiqhiyah

Kaidah fiqhiyyah dibagi menjadi 3 macam yaitu:


 Lima kaidah dasar yang mempunyai skala cakupan menyeluruh, lima kaidah ini memiliki
ruang lingkup Furi’iyyah yang sangat luas, komprehensif, dan universal, sehingga hampir
menyentuh semua elemen hukum fiqih.
 Kaidah-kaidah yang mempunyai cangkupan furu’ cukup banyak, tetapi tak seluas yang
pertama, kaidah ini biasa disebut sebagai al-qawa’id al-aghlabiyah.
 Kaidah yang mempunyai cangkupan terbatas (al-qawa’id al-qaliliyah) bahkan cenderung
sangat sedikit.13
2.11 Perbedaan Kaidah Fiqhiyah dan Kaidah Ushuliyah
Perbedaan antara keduanya adalah sebagi berikut:
o Kaidah ushul pada hakikatnya adalah qa’idah istidlaliyah yang menjadi wasilah para
mujtahid dalam istinbath (pengambilan) sebuah hukum syar’iyah amaliah. Kaidah ini
menjadi alat yang membantu para mujtahid dalam menentukan suatu hukum. Dengan
kata lain, kita bisa memahami, bahwa kaidah ushul bukanlah suatu hukum, ia hanyalah
sebuah alat atau wasilah kepada kesimpulan suatu hukum syar’i. Sedangkan, kaidah fiqih
adalah suatu susunan lafadz yang mengandung makna hukum syar’iyyah aghlabiyyah

12 A. Mu’in, dkk, “Ushul Fiqih 1”, Jakarta: Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, 1986, hal,
181.
13 Abdul haq, dkk, “Formulasi Nalar Fiqih”, Surabaya: Santri Salaf, 2009, hal,82.
yang mencakup di bawahnya banyak furu’. Sehingga kita bisa memahami bahwa kaidah
fiqih adalah hukum syar’i. Dan kaidah ini digunakan sebagai istihdhar (menghadirkan)
hukum bukan istinbath (mengambil) hukum (layaknya kaidah ushul). Misalnya, kaidah
ushul “al-aslu fil amri lil wujub” bahwa asal dalam perintah menunjukan wajib. Kaidah
ini tidaklah mengandung suatu hukum syar’i. Tetapi dari kaidah ini kita bisa mengambil
hukum, bahwa setiap dalil (baik Qur’an maupun Hadits) yang bermakna perintah
menunjukan wajib. Berbeda dengan kaidah fiqih “al-dharar yuzal” bahwa kemudharatan
mesti dihilangkan. Dalam kaidah ini mengandung hukum syar’i, bahwa kemudharatan
wajib dihilangkan.

o Kaidah ushul dalam teksnya tidak mengandung asrarus syar’i (rahasia-rahasia syar’i)
tidak pula mengandung hikmah syar’i. Sedangkan kaidah fiqih dari teksnya terkandung
kedua hal tersebut.

o Kaidah ushul kaidah yang menyeluruh (kaidah kulliyah) dan mencakup seluruh furu’ di
bawahnya. Sehingga istitsna’iyyah (pengecualian) hanya ada sedikit sekali atau bahkan
tidak ada sama sekali. Berbeda dengan kaidah fiqih yang banyak terdapat istitsna’iyyah,
karena itu kaidahnya kaidah aghlabiyyah (kaidah umum).

o Perbedaan antara kaidah ushul dan kaidah fiqih pun bisa dilihat dari maudhu’nya (objek).
Jika Kaidah ushul maudhu’nya dalil-dalil sam’iyyah. Sedangkan kaidah fiqih
maudhu’nya perbuatan mukallaf, baik itu pekerjaan atau perkataan. Seperti sholat, zakat
dan lain-lain.

o Kaidah-kaidah ushul jauh lebih sedikit dari kaidah-kaidah fiqh.

o Kaidah-kaidah ushul lebih kuat dari kaidah-kaidah fiqh. Seluruh ulama sepakat bahwa
kaidah-kaidah ushul adalah hujjah dan mayoritas dibangun diatas dalil yang qot’i.
Adapun kaidah-kaidah fiqh ulama berbeda pendapat. Sebagian mengatakan bahwa
kaidah-kaidah fiqh bukan hujjah secara mutlaq, sebagian mengatakan hujjah bagi
mujtahid ‘alim dan bukan hujjah bagi selainnya, sebagian yang lain mengatakan bahwa
kaidah-kaidah tersebut hujjah secara mutlak.

o Kaidah-kaidah ushul lebih umum dari kaidah-kaidah fiqh.


o Kaidah Ushuliyah diperoleh secara deduktif, sedangkan fiqhiyah secara induktif. Kaidah
ushuliyah merupakan mediator untuk meng-istinbath-kan hukum syara’ amaliyah,
sedangkan kaidah fiqhiyah adalah kumpulan hukum-hukum yang serupa diikat oleh
kesamaan ‘illat atau kaidah fiqhiyah yang mencakupnya dan tujuannya taqribu al-masa’il
–alfiqhiyawa tashiliha.14

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

14 Muliadi Kurdi, “Ushul Fiqh Sebuah Pengenalan Awal”, cet.1, Lembaga Kajian Agama dan Sosial (LKAS),
Banda Aceh: 2011, hal. 4
Qawaidul fiqhiyah adalah suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku
pada semua bagian-bagian atau cabang-cabangnya yang banyak yang dengannya diketahui
hukum-hukum cabang itu.
Qawaid ushuliyah adalah hukum kulliyah (umum) yang dibentuk dengan bentuk yang
akurat yang menjadi perantara dalam pengambilan kesimpulan fiqh dari dalil-dalil, dan cara
penggunaan dalil serta kondisi pengguna dalil.
            Dengan berpegang kepada kaidah-kaidah fiqhiyah, para mujtahid merasa lebih mudah
dalam menginstinbathkan hukum bagi suatu masalah, yakni dengan menggolongkan masalah
yang serupa di bawah lingkup satu kaidah.

DAFTAR PUSTAKA
Adib Saleh, Muhammad, Tafsir al-Nusus fi al-Fiqh al-Islami, Damaskus: al-Mkatab al-
Islami, 1984, Cet.II
Haq, Abdul dkk, “Formulasi Nalar Fiqih”, Surabaya: Santri Salaf, 2009.
Kurdi, Muliadi, “Ushul Fiqh Sebuah Pengenalan Awal”, cet.1, Lembaga Kajian Agama dan
Sosial (LKAS), Banda Aceh: 2011.
Mu’in, A. dkk, “Ushul Fiqih 1”, Jakarta: Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama
Islam, 1986.
Muchlis Usman, Kaidah Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah Pedoman Dasar  Dalam Istinbath
Hukum Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta: 1993.

Anda mungkin juga menyukai