Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

‫األمور بمقاصدها‬
(Kaidah induk 1 Setiap Perkara Tergantung Pada Niatnya)
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Qawaid Fiqhiyah

Dosen Pengampu :
Prof. Dr. Rusli, M.Sos.Sc.
Nurinayah., Lc., M.H

DI SUSUN OLEH ;
Kelompok 3

Rizkaf Muh. Iqbal ; 193090027


Syadila Afifah Widya ; 193090014
Alya Nur Safitri Akmal ; 203090016
Uswatun Hasanah ; 203090013
Zulfah ; 203090018

JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARI’AH

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI (UIN) PALU

TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Puji serta syukur atas kehadirat Allah Swt. yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya,
sehingga kami dapat menyalesaikan makalah ini. Shalawat serta salam semoga senantiasa
terilimpahkan kepada Nabi besar kita Nabi Muhammad Saw. dan para sahabat serta
keluarganya.
Makalah ini kami buat untuk diajukan sebagai tugas kelompok mata kuliah Qawaid Fiqhiyah
mengenai “Setiap perkara tergantung pada niatnya.” Pada pembuataan makalah ini kami
berusaha untuk menyelesaikan tugas kuliah ini dengan baik. Dan dalam pembuatan makalah
ini pula kami telah berusaha untuk mencapai hasil yang semaksimal mungkin sesuai dengan
yang bapak/ibu serta kami harapkan, agar tidak terjadi banyak kesalahan dalam pembuatan
makalah ini. Maka dari pada itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan untuk
kemajuan penulisan kami kembali dimasa yang akan datang.
Semoga apa yang disajikan dalam makalah ini dapat berguna untuk berbagai pihak yang
membutuhkannya.
Aamiin ya rabbal Alamin

Palu, 07 Oktober 2021

Penyusun
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Masalah

BAB II PEMBAHASAN
A. Makna Kaidah
B. Sumber atau Dalil Kaidah
C. Pengertian niat, tempat dan waktu
D. Urgensi Kaidah
E. Contoh Penerapan Kaidah Fiqhi
F. Pengecualian dari kaedah Fiqhi

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan
B. Saran

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Qawaid merupakan bentuk jamak dari qaidah, yang kemudian dalam bahasa
indonesia disebut dengan istilah kaidah yang berarti aturan atau patokan. Ahmad Warson
menembahkan bahwa, kaidah bisa berarti al-asas (dasar atau pondasi), al-Qanun (peraturan
dan kaidah dasar), al-Mabda’ (prinsip), dan al-nasaq (metode atau cara).
Qowa’idul fiqiyyah atau kaidah-kaidah fiqih yaitu kaidah-kaidah yang bersifat
umum (kulli)yang mengelompokkan masalah-masalah fiqih terperinci menjadi beberapa
kelompok yang pula merupakan kaidah atau pedoman yang memudahkan dalam
mengistinbathkan (menyimpulkan) hukum bagi suatu masalah yaitu dengan cara
menggolongkan masalah-masalah yang serupa dengan suatu kaedah.
Para fuqoha pada umumnya memberikan pengertian bahwa yang dimaksud dengan
kaidah fiqhiyyah ialah hukum kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua
bagian-bagiannya atau cabang-cabangnya. Dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa
setiap qaidah fiqhiyyah telah mengatur dan menghimpun beberapa banyak masalah fiqh
dari berbagai bab dan juga diketahui bahwa para fuqoha’ telah benar-benar mengembalikan
masalah-masalah hukum fiqh kepada kaidah-kaidahnya.
Maka, Qawaidul fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqih) adalah sesuatu yang sangat penting
dan menjadi kebutuhan bagi kaum Muslim. Akan tetapi tidak sedikit orang yang kurang
memahami tentang hal ini, untuk itu perlu kiranya bagi kaum muslim untuk mempelajari
dan mengkaji ulang ilmu ini.
Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqih seorang muslim akan mengetahui benang
merah yang menguasai fiqih, karena kaidah fiqih itu menjadi titik temu dari masalah-
masalah fiqih. Selain itu juga akan menjadi lebih arif dalam menerapkan fiqih pada waktu
dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan.
Dengan mempelajari kaidah fiqih, diharapkan pada akhirnya juga bisa menjadi
lebih moderat dalam menyikapi masalah-masalah politik, ekonomi, sosial, budaya sehingga
kaum muslim bisa mencari solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan
berkembang dalam masyarakat dengan lebih baik.

B. Rumusan Masalah
1. Apa makna dari kaidah fiqh ‫? االمور بمقاصدها‬
2. Apa saja sumber atau dalil dari kaidah fiqh ‫? االمور بمقاصدها‬
3. Apa pengertian niat , tempat dan waktu dari ‫? االمور بمقاصدها‬
4. Apa saja urgensi dari kaidah ‫? االمور بمقاصدها‬
5. Bagaimana contoh penerapan dari kaidah ‫?االمور بمقاصدها‬
6. Bagaimana pengecualian dari kaidah ‫?االمور بمقاصدها‬
C. Tujuan Masalah
Sesuai dengan rumusan masalah di atas penulis memiliki maksud dan tujuan yang
ingin dicepat pada penulisan makalah ini adapun maksud dan tujuan yaitu
1. Untuk mengetahui apa itu kaidah fikih ‫االمور بمقاصدها‬
2. Untuk mengetahui apa saja sumber atau dalil dari kaidah ‫االمور بمقاصدها‬
3. Untuk mengetahui pengertian,niat ,tempat dan waktu dari kaidah ‫االمور بمقاصدها‬
4. Untuk memahami urgensi dari kaidah ‫االمور بمقاصدها‬
5. Untuk mengetahui bentuk bentuk penerapan kaidah ‫االمور بمقاصدها‬
6. Untuk mengetahui pengecualian dari kaidah ‫االمور بمقاصدها‬
BAB II
PEMBAHASAN

A. Makna Qa’idah

Lafal al-umuru merupakan bentuk jama’ dari kata tunggal al-amru yang secara bahasa
memiliki arti “perubahan” dan “tingkah”. ‫ األمور بمقاصدها‬adalah segala sesuatu yang
tergantung tujuannya. Maksudnya adalah niat atau motif yang terkandung didalam seseorang
saat melakukan perbuatan, menjadi kriteria yang dapat menentukan nilai dan status hukum
amal perbuatan yang telah dilakukan, baik berhubungan dengan peribadatan ataupun adat-
kebiasa1an. Intinya dalam qa’idah ini mencakup semua hal tentang niat.
Kaidah ini memiliki arti bahwasanya setiap perbuatan yang dilakukan tergantung pada
niat yang dimunculkan, artinya setiap niat yang terefleksikan dalam tindakan nyata, maka niat
yang tidak terealisasikan dalam bentuk dlhohir maka tidak akan berimplikasi pada wujud
syar’i.
Hukum perbuatan dikembalikan pada niat, apabila seseorang meningggalkan hal-hal
yang dilarang demi melaksanakan perintah, maka dia diberi pahala atas perbuatannya., tapi
apabila dia meninggalkan hal-hal yang dilarang tersebut hanya berdasarkan kebiasaan maka
tidak ada pahala baginya.
Contoh : Allah melarang makan bangkai diselain keadaan darurat, berdasarkan firman Allah:

‫حرمت عليكم الميتة‬


“ Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, “

Apabila seseoraang meninggalkan makan bangkai karena dia jijik, maka tidak ada
pahala baginya, tapi apabila dia tidak makan bangkai karena ada larangan syara’ maka Allah
memberi pahala baginya2
.
B. Sumber atau Dalil Kaidah
Kalau diperhatikan dengan seksama, maka kaidah-kaidah fikih bila ditinjau dari
sumbernya maka terbagi menjadi dua bagian :
➢ Kaidah fikih yang teksnya terambil langsung dari nash al-qur’an dan as-sunnah.
Misalnya firman allah ta’ala :

1
Ma’shum Zainy Al-Hasimy, Pengantar Memahami Nadzom Faroidul Bahiyyah, (Jombang: Darul Hikmah,
2010), cet. Ke-1, hlm. 26.
2
H. Toha Andiko, Ilmu Qawa’idul Fiqhiyyah, (Yogyakarta: Teras, 2001), cet. Ke-1, hlm. 36.
ِ َ‫َو َل تَأْكُلُوا أ َ ْم َوالَكُ ْم بَ ْينَكُ ْم ِبا ْلب‬
‫اط ِل‬
“Dan janganlah kalian memakan harta sesama kalian dengan cara yang bathil.” ( QS Al-
baqarah : 188)

Ayat ini merupakan sebuah kaidah tentang haramnya semua jenis transaksi dan
perbuatan yang akan berakibat memakan harta orang lain dengan cara yang tidak syar’i.
Adapun misal kaidah fikih yang terambil dari sabda Rasullah :

‫لضررولضرر‬
“tidak boleh berbuat sesuatu yang membahayakan diri sendiri maupun orang lain”

Hadis ini merupakan sebuah kaidah umum tentang berbagai hal, mulai dari masalah-
masalah makanan, pergaulan, muamalah, dan lainnya.
➢ Kaidah fikih yang teksnya tidak terambil dari al-qur’an dan as-sunnah, namun
kandungannya berdasarkan al-qur’an dan as-sunnah.
Misalnya adalah sebuah kaidah yang sangat masyur:

‫اليقين ليزؤل با لشك‬


“sesuatu yang yakin tidak bisa dihilangkan dengan sebuah keragu-raguan.’’

➢ Kaidah fikih yang tersusun berdasarkan ijtihad para ulama. Dan ini biasanya didasarkan
atas sebuah qiyas atau ta’lil ( melihat sebab dari sebuah hukum ) atau dengan melihat
kepada sifat hukum syar’i secara umum serta melihat kepada maqoshid syar’iyyah (
maksud dan tujuan dari sebuah hukum syar’i ) atau yang lainnya 3

C. Pengertian Niat, Tempat dan Waktu


➢ Pengertian Niat
Secara bahasa niat adalah bentuk mashdar dari akar kata ‫ نوئ ينو‬yang maknanya adalah
bermaksud atau bertekad untuk melakukan sesuatu.
Sedangkan secara istilah makna niat adalah berkehendak untuk menjalankan ketaatan
kepada Allah SWT dengan melakukan atau meninggalkan sesuatu.

3
Ahmad Sabid bin Abdul Lathif Abu Yusuf, kaidah-kaidah praktis memahami fiqih islami, Gresik : Yayasan Al
Furqon Al islami, 2016, hlm. 5
➢ Tempat niat
Tidak ada perselisihan dikalangan para ulama bahwa tempatnya niat adalah didalam
hati. Syaikhul islam ibnu Taimiyah berkata :
“ tempat niat itu dihati bukan dilisan” berdasarkan kesepakatan para ulama’. Ini berlaku
untuk semua ibadah, baik toharoh, shalat, zakat, puasa, haji, memperdekakan budak, jihat
maupun lainnya.4

➢ Waktu niat
Secara umum, perbuatan yang berkaitan dengan syara’ dapat dibedakan menjadi dua :
• Pertama, perbuatan yang mengharuskan adanya niat;
• kedua, perbuatan yang tidak memerlukan niat.
Perbuatan kategori pertama dapat dibedakan pula menjadi dua : pertama, niat yang
harus dilakukan diawal (sebelum berbuat); dan kedua, niat dilakukan ketika berbuat.

➢ Macam-macam niat
Niat ada dua macam :
a. Niat amal
Niat amal adalah bahwasanya dalam mengerjakan sebuah amal perbuatan harus diniati
dengan niat tertentu tentang apa jenis dan macam dari ibadah tersebut. Atas dasar inilah maka
tidak akan sah sebuah jenis cara bersuci, sholat,zakat dan ibadah lainnya kecuali dengan adanya
niat. Seseorang harus meniatkan ibadah tersebut , dan jika ibadah itu terdapat berbagai jenis
dan macamnya ,maka harus menentukan macam dan jenis ibadah tersebut. Sebagai contoh,
ialah sholat. Seseorang harus menentukan dengan niatnya apakah dia sholat wajib ataukah
sunnah , dan jika sholat itu wajib maka harus ditentukan apakah itu sholat dhuhur ataukah ashar
dan seterusnya .
Niat inilah yang membedakan antara adat dengan ibadah. Sebagai sebuah contoh
bahwasanya mandi itu bisacuma berfungsi untuk membersihkan badan saja, namun bisa juga
untuk menghilangkan hadats besar , itu semua tergantung pada niatnya. Fungsi niat amal ini
untuk menentukan apakah amal perbuatan ini sah atau tidak.

b. Niat ma’mul lahu (untuk siapakah amal perbuatan tersebut ditujukan ?)


Dan inilah yang kita sebut dengan ikhlas ,yaitu harus meniatkan semua amal perbuatan
itu hanya untuk Allah Ta’ala saja, bukan lainnya. Allah swt berfirman:

4
Ibid., hlm. 19
ُ ‫ٱلزك َٰوةَ ۚ َو ٰذَ ِلكَ دِي‬
᷉‫ن ٱ ْلقَيِ َمةِا‬ َ ‫صلَ ٰوةَ َويُؤْ ت ُوا‬ َ َ ‫َو َما أُمِ ُروا إِ َل ِليَ ْعبُدُوا‬
َ ‫ٱّلل ُم ْخل ِِصينَ لَهُ ٱلدِينَ ُحنَفَا َء َويُقِي ُموا ٱل‬
“Dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Allah dengan
mengikhlaskan agama hanya kepada-Nya” (Q.S Al-Bayyinah : 5)

Dan niat yang ini untuk menentukan apakah amal perbuatan itu diterima oleh Allah
SWT atau tidak.

D. Urgensi Kaidah
Kaedah ini adalah kaedah yang sangat penting masuk didalamnya semua permasalahan
agama. Cukuplah untuk mengetahui pentingnya kaedah ini adalah apa yang dikatakan oleh
Imam Asy Syathibi : “sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niatnya, dan sebuah
tujuan itu dijadikan sandaran dalam menghukumi sebuah perbuatan baik yang berupa ibadah
maupun adat, dalil-dalil tentang masalah ini sangat banyak tidak bisa dihitung, dan cukuplah
bagimu bahwasannya niat itu membedakan antara perbuatan yang merupakan adat ataupun
ibadah, niat juga membedakan apakah ibadah ini wajib ataukah bukan wajib, juga dalam
masalah adat, apakah dia itu merupakan adat yang wajib ataukah sunnah, mubah, makruh
ataukah sampai tingkat keharaman, juga sah dan tidaknya juga hukum-hukum lainnya yang
berhubungan dengan hal ini.”5

E. Contoh penerapan Kaidah Fikih :


Kaedah ini mencakup semua permasalahan hukum syar’i ,beberapa contoh
penerapannya,yaitu:
a) Barangsiapa yang membunuh seorang muslim tanpa ada sebab syar’i yang
membolehkannya ,maka kalau dia melakukannya karena unsur kesengajaan maka ada
hukum tersendiri ,sedangkan kalau tanpa sengaja maka hukuman nya pun lain.
b) Barangsiapa yang mengambil sebuah barang yang terjatuh dijalanan dengan niat untuk
dimilikinya ,maka dia disebut Ghasib (orang yang mengambil harta orang lain dengan
jalan haram) ,yang karena itu maka dia wajib untuk mengembalikannya ,kalau benda
itu rusak ditangannya , baik rusaknya karena kesengajaan dari dia atau tidak,namun
kalau dia mengambilnya dengan niat untuk menyimpannya dan akan
mengembalikannya kepada pemiliknya maka dia menjadi seorang amin (orang yang
mendapatkan kepercayaan untuk menjaga sebuah benda) ,maka atas dasar ini dia itu
tidak menggantinya meskipun rusak ditangannya kecuali kalau sengaja dia
merusaknya.
c) Orang yang makan , kalau dia berniat dengan makannya untuk bisa menjalankan ibadah
kepada Allah SWT ,maka makannya berubah menjadi ibadah yg berpahala, namun

5 Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf, Kaidah-kaidah Prektis Memahami Fikih Islami, (Gresik: Yayasan
Al Furqon Al Islami, 2016), cet. Ke-6, hlm. 17-18.
kalau tidak berniat dan Cuma karena sudah kebiasaanya dia makan ,maka dia tidak
mendapatkan apa – apa. Begitu juga amal perbuatan lain yang asalnya mubah.
d) Barangsiapa yang menjual anggur atau lainnya dengan niat untuk dijadikan untuk
sesuatu yang haram ,seperti akan dijadikan sebagai khomer ,maka hukumnya haram
,sedangkan kalau tidak ada niat dan tujuan seperti itu maka hukumnya halal.
e) Seseorang yang dititipi sebuah barang untuk dijaganya , lalu dia memakainya,maka
berarti dia telah berbuat melampaui batas terhadap benda tersebut ,yang mana dia harus
menggantinya apabila rusak. Lalu jika dia menyimpannya kembali tapi dengan niat
akan memakainya kembali maka dia tetap wajib menggantinya apabila rusak
ditangannya meskipun tanpa ada unsur kesengajaan darinya.namun kalau setelah dia
pakai itu lalu dia simpan kembali dengan niat tidak akan memakainya lagi,maka dia
tidak menggantinya kalau rusak tanpa ada unsur kesengajaan darinya.
f) Kalau ada seseorang yang tidur sebelum dhuhur,lalu bangun saat jam satu siang,namun
dia menyangka kalau saat itu sudah jam 5 sore ,kemudian dia sholat 4 rokaat dengan
niat sholat asar,maka sholatnya tidak sah dan dia harus mengulang sholat dhuhur lagi ,
juga dia harus mengerjakan sholat ashar kalau sudah masuk waktunya. Tidak sah nya
sholat dhuhur karena dia berniat sholat ashar dan bukan sholat dhuhur,sedangkan tidak
sah sholat asharnya karena belum masuk waktunya . namun kalau dia sholat tadi dengan
niat sholat dhuhur maka sholatnya sah.

Faedah :
Sebagian orang ada yang menyalahgunakan kaedah ini. Mereka mengatakan bahwa
semua amal perbuatan itu tergantung niatnya, baik amal tersebut baik ataupun jelek. Yang atas
dasar ini mereka mengatakan bahwa orang yang melakukan perayaan maulid nabi misalnya,
akan mendapatkan pahala karena niatnya untuk mengungkapkan rasa cinta kepada Rasullullah
SAW juga orang yang mencuri bisa aja mendapatkan pahala kalau dia berniat untuk membantu
orang yang faqir dengan hasil curiannya.
Dan masih banyak gambaran salah lainnya dari kaedah ini. Untuk menyelesaikan hal
tersebut,terdapat beberapa point :
a) Wajib bagi seorang muslim kalau ingin meghukumi sebuah masalah,jangan hanya
mengambil satu atau dua buah dalil serta meninggalkan lainnya,namun hendaklah dia
melihat semua dalil syar’i yang berhubungan dengan masalahnya lalu baru dia hukumi.
b) Berdalil dengan kaidah ini untuk hal diatas adalah sebuah kesalahan fatal ,karena
kaedah ini Cuma untuk menjelaskan salah satu pokok dan dasar bisa diterimanya
sebuah amal, yaitu masalah ikhlas kepada Allah SWT dalam semua amal perbuatan
yang dilakukannya . dan masih ada satu pokok lagi yang harus dipenuhi , yaitu
mengikuti sunnah Rasulullah SAW dalam apa yang ia kerjakan. Berdasarkan sabda
Rasulullah SAW: “dari Aisyah R.A berkata : Rasulullah SAW bersabda : “Barangsiapa
yang melakukan sebuah amal perbuatan yang tidak ada contohnya dari kami maka
perbuatan itu tertolak.”(H.R Muslim : 1718)
Kaedah diatas adalah timbangan amalan batin, sedangkan hadits Aisyah adalah
timbanga n amal perbuatan dhohir.
F. Pengecualian dari kaedah Fikih
Ada beberapa permasalahan fiqhiyah yang keluar dari kaedah diatas, diantaranya adalah:
a) Kalau ada seseorang yang membunuh orang yang dia akan mewarisi hartanya denagn
niat supaya bisa cepat mendapatkan harta warisan, maka dia tidak bisa
mendapatkannya, sebagai hukuman atas perbuatannya.
b) Kalau ada seorang suami yang menceraikan istrinya saat sakit menjelang kematian
dengan niat agar istrinya tersebut tidak mewarisi hartanya, maka si istri tetap
mewarisinya.
c) Dan beberapa masalah lain yang mirip dengan ini. Maka masalah ini tidak dilihat
niatnya, bahkan dihukumi dengan kebalikan dari niatnya yang jelek tersebut. 6

6 Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf, ..., hlm. 27


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Bentuk permasalahan-permasalah yang muncul dalam kehidupan sehari-hari ragam


macamnya. Tentunya ini mengharuskan agar supaya didapati jalan keluar terhadap jalan
penyelesaiannya. Maka disusunlah suatu kaidah secara umum yang diikuti cabang-cabang
secara lebih mendetail terkait permasalahan yang sesuai dengan kaidah tersebut. Adanya
kaidah ini tentunya sangat membantu dan memudahkan terhadap pemecahan permasahalan
yang muncul ditengah-tengah kehidupan
Hukum-hukum syara’ atau yang biasa disebut fiqh itu, pada dasarnya dapat dikembalikan
kepada lima kaidah pokok, yaitu :

‫األمور بمقاصدها‬.
“Segala sesuatu tergantung pada niatnya”.
‫اليقين اليزال بالشك‬.
“Yakin itu tidak dapat dihilangkan dengan kebimbangan”.
‫المشقة تبلب التيسير‬.
“Keberatan itu bisa membawa kepada mempermudah”.
‫الضرر يزال‬.
“Madlarat itu dapat dihapus”.
‫العادة محكمة‬.
“Adat kebiasaan itu, bisa ditetapkan”.

Dalam setiap kaidah didasarkan atas nash-nash pokok yang dapat dinilai sebagai standar
hukum fiqh, sehingga sampai dari nash itu dapat diwakili dari sekian populasi nash-nash
ahkam.

B. Saran
Demikian makalah yang kami buat, semoga dapat bermanfaat bagi pembaca. Apabila
ada saran dan kritik yang ingin disampaikan, silahkan sampaikan kepada kami. Apabila ada
terdapat kesalahan mohon dapat dimaafkan dan me makluminya, karena kami adalah hamba
Allah yang tak luput dari salah, khilaf, dan lupa.
DAFTAR PUSTAKA
Zainy Al-Hasimy, Ma’shum. 2010. Pengantar Memahami Nadzom Faroidul Bahiyyah.
Jombang: Darul Hikmah.
Andiko, Toha 200. Ilmu Qawa’idul Fiqhiyyah. Yogyakarta: Teras.
Abu Yusuf, Ahmad Sabid bin Abdul Lathif. 2016. Praktis Memahami Fiqih Islami. Gresik :
Yayasan Al Furqon Al Islami
https://smpi.alhasanah.sch.id/pengetahuan/mengenal-5-kaidah-umum-dalam-hukum-fiqh/
http://digilib.uinsuka.ac.id/id/eprint/31144/#:~:text=Urgensi%20dari%20kaidah%20fikih%20
dalam,rahasianya%2C%20membandingkan%20pendapat%20antar%20mazhab.

Anda mungkin juga menyukai